• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lembaga pendidikan. Secara historis pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lembaga pendidikan. Secara historis pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya lembaga pendidikan. Secara historis pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia yang dikenal sebelum Indonesia merdeka bahkan sebelum Islam datang dan masuk ke Indonesia. Sebagai sebuah lembaga pendidikan keagamaan pesantren memiliki ciri khas sendiri yang berbeda bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya dalam menyelenggarakan sistem pendidikan dan pengajaran agama. Pada awalnya pertumbuhan dan perkembangan pesantren bukan semata-mata sebagai tempat tinggal atau asrama para santri untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh Kiai, melainkan juga sebagai tempat training atau latihan bagi santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat.1

Pesantren merupakan tempat untuk membina manusia menjadi orang baik, dengan sistem asrama. Artinya, para santri dan Kiai hidup bersama dalam lingkungan pendidikan yang ketat dan disiplin. Kiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren karena dianggap sebagai pemilik, pengelola dan pengajar kitab kuning sekaligus merangkap imam (pemimpin) pada

1

Prof. DR.H. Samsul Nizar, Sejarah Sosial & Dinamika Intelektual Pendidikan Islam Nusantara (Jakarta :Kencana Prenada Media Group, 2013) hal 86.

(2)

acara ritual keagamaan, seperti melakukan sholat berjamaah. Jadi pertumbuhan suatu pesantren sangat bergantung kepada kemampuan pribadi Kiainya.2

Pesantren pada dasarnya sebuah asrama pendidikan Islam tradisional tempat para siswa tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan dibawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai. Asrama untuk para santri berada dalam kompleks pesantren yang juga ditinggali oleh seorang Kiai. Pada pesantren juga terdapat fasilitas ibadah sehingga dalam aspek kepemimpinan pesantren, Kiai memegang kekuasaan yang hampir mutlak.3

Penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran di pesantren didasarkan atas ajaran Islam dengan tujuan ibadah dan mendapatkan rida Allah SWT. Santri dididik untuk menjadi mukmin sejati, mempunyai integritas pribadi yang kukuh, mandiri dan mempunyai kualitas intelektual. Sehingga seorang santri diharapkan dapat menjadi panutan dalam masyarakat dan menyebarluaskan nilai budaya pesantren dengan ikhlas dalam menyiarkan dakwah. Dalam sebuah pesantren terdapat elemen-elemen yang menjadi perbedaan dengan lembaga pendidikan lainnya. Kelima elemen tersebut adalah4 :

1. Pondok

Pondok, asrama bagi para santri merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang dikebanyakan wilayah Islam di

2

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm 55.

3

Prof. DR.H. Samsul Nizar, op.cit., hlm 91.

4

(3)

negara lain. Pondok merupakan asrama tempat santri tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan Kiai. Pada umumnya kompleks pesantren dikelilingi pagar sebagai pembatas yang memisahkannya dengan masyarakat umum disekelilingnya bangunan pondok disetiap pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapannya. Ada yang didirikan atas biaya Kiainya, atas gotong-royong para santri, dan sumbangan masyarakat, atau sumbangan pemerintah. Tetapi dalam tradisi pesantren ada kesamaan umum, yaitu Kiai yang memimpin pesantren biasanya mempunyai kekuaasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolaan pondok.

2. Masjid

Masjid merupakan unsur dasar yang harus dimiliki dalam sebuah pesantren. Karena merupakan tempat yang paling tepat dalam mendidik dan melatih para santri khususnya di dalam mengerjakan tata cara ibadah, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan sebagai tempat kegiatan kemasyarakatan. Seorang Kiai yang ingin mengembangkan pesantren biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya dan berada ditengah-tengah kompleks pesantren.

3. Pengajaran Kitab-Kitab Islam Klasik

Dalam tradisi pesantren, pengajaran kitab-kitab Islam klasik lazimnya memakai metode-metode berikut:

a. Metode Sorogan, yaitu bentuk belajar untuk para santri yang masih dalam tingkat dasar. Merupakan bagian yang menuntut kesabaran,

(4)

kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab dihadapan Kiai, kemudian Kiai membacakan bagian dari kitab itu lalu santri mengulangi bacaan dibawah tuntunan Kiai sampai santri benar-benar dapat membacanya dengan baik. Bagi santri yang telah menguasai materi pelajarannya akan ditambahkan materi baru, sedangkan santri yang belum harus mengulanginya.

b. Metode Bandongan atau Weton, adalah mengajar dalam bentuk ceramah. Dalam metode ini sekelompok santri tingkat lanjutan mendengarkan Kiai membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yangg sulit dari suatu kitab. Para santri menyimak dan membuat sebuah catatan-catatan kecil tentang kata-kata yang sulit.

4. Santri

Para santri yang belajar di Pondok biasanya memiliki rasa solidaritas dan kekeluargaan yang baik antara sesama santri dan Kiai. Jumlah santri dalam sebuah pesantren biasanya dijadikan tolak ukur atas maju mundurnya suatu pesantren. Semakin banyaknya santri yang ada dipesantren, maka pesantren tersebut dinilai semakin baik. Terdapat 2 kelompok santri, yaitu

1. Santri mukim, yaitu santri yang selama menuntut ilmu tinggal di dalam pondok pesantren. Biasanya santri berasal dari daerah jauh sehingga harus menetap di pesantren. Para santri ini juga diberi

(5)

tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari, dan turut serta mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.

2. Santri kalong, yaitu santri yang berasal dari desa-desa di keliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya para santri ini harus bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri.

Kekhususan pesantren dibanding dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yaitu para santri atau murid tinggal bersama dengan Kiai atau guru mereka dalam suatu kompleks yang mandiri, sehingga menumbuhkan ciri khas pesantren seperti adanya hubungan yang akrab antara santri dan Kiai, santri taat dan patuh kepada Kiai, santri hidup secara mandiri dan sederhana, adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan, santri terlatih hidup disiplin dan terikat. 5. Kyai

Kyai merupakan tokoh sentral dalam sebuah pesantren karena biasanya Kiai merupakan pendiri dari pesantren tersebut. Sehingga pertumbuhan suatu pesantren sangat bergantung kepada kemampuan Kiainya. Para Kiai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam sering dilihat sebagai orang yang senantiasa dapaat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam. Dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Masyarakat biasanya mengharapkan seorang Kiai dapat

(6)

menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang diajarkan, Kiai semakin dikagumi.

Pesantren sebagai lembaga keagamaan Islam memiliki tugas untuk meletakkan konsep pendidikannya.5 Pendidikan yang diberikan di pesantren adalah pendidikan agama dan akhlak (mental), sehingga terdapat panggilan yang mendorong Kiai mengajarkan pengetahuan agamanya kepada santri merupakan rasa wajib berbakti kepada Allah SWT, begitu juga dengan santri yang menggerakkan hati dalam menuntut ilmu.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuhnya sejalan dengan pengembangan agama Islam di Nusantara. Pada mulanya berbentuk pengajian yang diikuti oleh beberapa murid/santri yang belajar di rumah-rumah guru atau Kiai. Kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan yang berbentuk pesantren.6 Sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial tumbuh dan berkembang secara bertahap.

Perkembangan selanjutnya dalam sebuah pesantren adalah mulai mendirikan sekolah-sekolah seperti madrasah. Sistem dan isi madrasah diupayakan adanya penggabungan antara sistem pesantren dan sekolah umum. Ditinjau dari segi historis dapat dilihat bahwa madrasah telah mengalami perubahan-perubahan. Pada tahap awal madrasah semata-mata mengajarkan mata

5

Ahmad Mutohar, Nurul Anam, Manifesto Modernisasi Pendidikan Islam & Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm 214.

6

Malik M. Thaha Tuanaya, et.al., Modernisasi Pesantren, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), hlm 43.

(7)

pelajaran agama kemudian sesuai dengan tuntutan zaman, madrasah mulai memasukkan pelajaran umum. Perkembangan berikutnya dengan keluarnya SKB Tiga Menteri tahun 1975 pada fase ini mata pelajaran umum pada madrasah lebih dominan sekitar 70 %. Walaupun demikian kedudukan mata pelajaran agama tetap memegang peranan yang amat penting.7

Tercatat hingga tahun 2016 terdapat Pondok Pesantren yang didirikan di Kota Surakarta mencapai 31 pondok Pesantren.8 Hal ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan berupa Pondok pesantren masih mendapatkan kepercayaan yang lebih dari masyarakat. Eksistensi pondok pesantren sebagai bentuk lembaga pendidikan tradisional tetap menjadi sebuah magnet disamping hiruk-pikuknya sekolah-sekolah Negeri di Kota Surakarta.

Antara pondok pesantren satu dengan yang lain memiliki perbedaan dalam sistem pengajarannya. Perbedaan tersebut dikategorikan dalam beberapa tipe pondok pesantren diantaranya adalah pondok pesantren Salafiyah/tradisional, tipe ini memiliki pengertian lembaga pesantren yang masih mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan. Sistem pengajaran pesantren

salaf memang lebih sering menerapkan model sorogan dan wetonan. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang biasanya dilaksanakan setelah mengerjakan sholat fardhu. Tipe yang kedua adalah Khalafiyah, yaitu lembaga

7

Prof. DR. Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), hlm 89-90.

8

Data Pondok Pesantren Tahun 2016, dari Kantor Kementrian Agama Kota Surakarta.

(8)

pesantren yang memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam kurikulum pesantren atau madrasah yang dikembangkan.9 Kemudian di era sekarang muncul beberapa pesantren modern. Pesantren modern pada umumnya masih memprioritaskan pengajaran agama namun juga menggabungkan pelajaran umum. Dalam sistem pengajarannya pesantren modern lebih merujuk pada sistem pengajaran yang lebih modern.

Pondok Pesantren Ta’mirul Islam merupakan salah satu pondok pesantren yang berada di Surakarta. pondok pesantren ini muncul terkait dengan dibangunnya masjid Tegalsari. para ulama pada saat itu ingin mendirikan sebuah lembaga pendidikan berupa pondok pesantren di Kompleks Masjid Tegalsari. pondok pesantren kemudian baru didirikan pada 14 Juni 1986 atas prakarsa KH. Naharusssurur bersama istrinya Hj. Muttaqiyah dan putranya Ustad. Muhamad Halim dan Ustad. Wazir Tamami.10 Pada saat itu KH. Naharussurur ingin memberikan kegiatan positif bagi siswa-siswa saat libur sekolah. Kegiatan pada awalnya berupa pesantren kilat atau pesantren syawal yang dilakukan hanya beberapa hari saja. Kemudian dilanjutkan dengan mendirikan Pondok Pesantren Ta’mirul Islam.

Pondok Pesantren Ta’mirul Islam merupakan tipe pondok Ashiriyah atau

Khalafiyah, Yakni tipe pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran

9

Zamakhsyari Dhofier, op. Cit., hlm 41. 10

www.pp-Ta’mirulIslam.com, diakses pada tanggal 7Oktober 2016 pukul 03.32.

(9)

umum dalam madrasah atau membuka tipe sekolah dalam pesantren11 Dalam tipe ini pondok pesantren Ta’mirul Islam mulai mendirikan madrasah seperti, TK&KB, Madrasah Tsanawiyah, madrasah Aliyah, dan kurikulum baru yaitu Kulliyatul Mualimin Al Islamiyah (KMI). Kurikulum ini merupakan hasil dari peleburan madrasah Aliyah kemudian berganti menjadi KMI.12

KH. Naharussurur merupakan alumni dari pondok modern Gontor dan merupakan salah satu santri yang berprestasi. Beliau sangat condong dengan pengajaran di Pondok Modern Gontor, sehingga KH. Naharussurur ingin mendirikan sebuah pesantren yang corak pendidikannya mengacu dengan Pondok Modern Gontor.

Kurikulum di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam mengacu pada kurikulum Pondok Modern Gontor dan kurikulum Departemen Agama, namun presentasinya kurikulum Pondok Gontor lebih besar. Kelas di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam tidak seperti kelas-kelas di sekolah pada umumnya, namun kelas 1-6 KMI. Kelas 1-3 KMI sama dengan kelas 1-3 SMP dan kelas 4-6 KMI sama dengan kelas 1-3 SMA. Dalam sistem Ujian Nasional juga berbeda, untuk kelas 1-3 KMI mengikuti Ujian Nasional yang diselenggarakan pemerintah, untuk kelas 4-6 KMI membuat ujian sendiri karena sudah ada surat keputusan dari Departemen Agama bahwa KMI setara dengan SMA dan ijazah lulusan pondok Pesantren Ta’mirul

11

Data Pondok Pesantren Tahun 2016, dari Kantor Kementrian Agama Kota Surakarta.

12

(10)

Islam setara dengan ijazah SMA, sehingga dapat digunakan untuk mendaftar di perguruan tinggi Negeri.13

Pondok pesantren Ta’mirul Islam tidak hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran umum namun juga pelajaran-pelajaran agama. Bobot perbandingan antara pelajaran umum dan agama sekitar 60% agama dan 40% pelajaran umum.14 Pelajaran agama yang diajarkan adalah Akidah, Tafsir, Fiqih, Hadis, Usul Fiqh, Bahasa Arab, Mustalah Hadis, Ulumul Qur’an, Tajwid, Tarikh Islam. Sedangkan pelajaran umum yang diajarkan sama dengan yang ada di sekolah-sekolah umum seperti Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, serta dalam kegiatan belajar mengajar antara kelas putra dan kelas putri berbeda, jadi di satu kelas hanya diisi putri semua atau putra semua.15

KH. Naharussurur sebagai pimpinan pondok pesantren seringkali dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah pondok pesantren melibatkan para pengurus pesantren. Sehingga menimbulkan kedekatan dan hubungan harmonis antara pimpinan, pengurus, santri dan masyarakat sekitar.

B. Rumusan Masalah

Melihat uraian latar belakang di atas, maka pokok-pokok perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Latar Belakang berdirinya Pondok Pesantren Ta’mirul Islam di Tegalsari Surakarta tahun 1986-2010?

13

Wawancara Kafin Jaladri, tanggal 7 Juni 2016. 14

Wawancara Yacob, tanggal 10 Juni 2016. 15

(11)

2. Bagaimana Dinamika Pondok Pesantren Ta’mirul Islam di Tegalsari Surakarta 1986-2010?

3. Bagaimana Peran KH. Naharussurur Dalam Pondok Pesantren Ta’mirul Islam di Tegalsari Surakarta 1986-2010?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari diadakannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Ta’mirul

Islam tahun 1986-2010.

2. Untuk mengetahui Perkembangan di Pondok Pesantren Ta’mirul Islam di Surakarta 1986-2010.

3. Untuk mengetahui Peran KH. Naharussurur dalam Pondok Pesantren Ta’mirul Islam di Surakarta 1986-2010

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan dalam mempelajari ilmu sejarah maupun dalam penelitian sejarah khususnya mengenai Peranan KH. Naharussurur dalam pondok pesantren Ta’mirul Islam di Tegalsari Surakarta tahun 1986-2010. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi referensi bagi dosen atau mahasiswa atau masyarakat umum yang ingin mempelajari sejarah Islam khususnya tentang pondok pesantren.

(12)

E. Kajian Pustaka

Kepustakaan merupakan bahan-bahan yang dapat dijadikan acuan dan berhubungan dengan pokok permasalahan yang ditulis. Adapun buku-buku yang dijadikan acuan dalam penelitian ini, antara lain:

Zamakhsyari Dhofier (1982) dalam bukunya berjudul Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai dapat digunakan untuk menjelaskan peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam tradisional di Jawa. Dalam buku ini digambarkan bahwa kebanyakan Kiai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil dimana Kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren, sebab Kiai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa. Buku ini menggambarkan dan mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren dan Islam tradisional di Jawa yang dalam periode Indonesia moderen sekarang ini tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai kekuatan sosial, kultural dan keagamaan yang turut membentuk bangunan kebudayaan Indonesia modern. Disebutkan juga tentang lima elemen pesantren yaitu Pondok, masjid, kitab, santri dan Kiai yang akan memberikan gambaran secara terperinci.

Malik M. Taha Tuanaya, et.al., (2007) dalam bukunya berjudul

Modernisasi Pesantren menjelaskan adanya perkembangam pesantren dengan kemajuan ilmu dan teknologi dalam menyelenggarakan pendidikan formal di pesantren dengan mengintegrasikan kurikulum pemerintah/nasional (Dep. Agama maupun Diknas). Dengan begitu metode pengajaran di pesantren tidak hanya

(13)

bersifat sorogan maupun bandongan, tetapi sudah diterapkannya sistem perjenjangan, klasikal dengan berpedoman pada kurikulum pemerintah. Diterapkannya kurikulum pemerintah tersebut pesantren juga menggunakan metode evaluasi sebagaimana yang terdapat dalam kurikulum nasional, seperti mid semester, semester, ujian sekolah dan ujian nasional. Hal tersebut menggambarkan seluruh jaringan sistem pendidikan pesantren telah berubah tidak hanya menyangkut nilai-nilai yang sifatnya mendasar, tetapi juga instrumental. Yang dimaksud nilai-nilai mendasar yaitu ajaran yang bersumber pada kitab-kitab klasik (kitab kuning). Sedangkan yang dimaksud nilai-nilai instrumental adalah munculnya lembaga-lembaga pendidikan formal, pergeseran gaya kepemimpinan, seminar-seminar, penelitian-penelitian yang merupakan pengembangan proses belajar mengajar di pesantren.

Kartini Kartono (2004) dalam bukunya berjudul Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu? Yang menjelaskan bahwa pemimpin harus mempunyai kecakapan dan kelebihan, sehingga mampu mempengaruhi kelompok yang dipimpin untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tertentu. Pada dasarnya konsep kepemimpinan tidak lepas dari tiga hal yang mendasar, yaitu: kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan.

Kekuasaan adalah kekuatan,otoritas dan legalitas yang memberikan wewenang kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu. Kewibawaan, adalah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga orang mampu “mbawani” atau mengatur orang lain sehingga orang

(14)

tersebut patuh pada pemimpin dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Kemampuan adalah segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan/ketrampilan teknis maupun sosial yang dianggap melebihi dari kemampuan anggota biasa.

Soerjono Soekanto (2007) dalam bukunya berjudul Sosiologi Suatu Pengantar menjelaskan bahwa suatu kepemimpinan (leadership) dapat dilaksanakan atau diterapkan dengan berbagai metode. Metode-metode tersebut antara lain:

Cara-cara otoriter yang memiliki ciri-ciri pokok seperti Pemimpin menentukan segala kegiatan kelompok secara sepihak, Pengikut sama sekali tidak diajak untuk ikut serta merumuskan tujuan kelompok dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, Pemimpin terpisah dari kelompok dan seakan-akan tidak ikut dalam proses interaksi di dalam kelompok tersebut.

Cara-cara demokratis memiliki ciri-ciri umum seperti Secara musyawarah dan mufakat pemimpin mengajak warga atau anggota kelompok untuk ikut serta merumuskan tujuan-tujuan yang harus dicapai kelompok, serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, Pemimpin secara aktif memberikan saran dan petunjuk-petunjuk, Ada kritik positif, baik dari pemimpin maupun pengikut-pengikut dan Pemimpin secara aktif ikut berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan kelompok.

Cara-cara bebas, memiliki ciri-ciri seperti Pemimpin menjalankan peranannya secara pasif, Penentuan tujuan yang akan dicapai kelompok sepenuhnya diserahkan kepada kelompok, Pemimpin hanya menyediakan sarana

(15)

yang diperlukan kelompok, Pemimpin berada ditengah-tengah kelompok, namun dia hanya berperan sebagai penonton.

Ketiga kategori cara tersebut dapat juga berlangsung bersamaan karena metode mana yang terbaik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi. Cara-cara demokratis umpamanya, mungkin hanya dapat diterapkan di dalam masyarakat yang warganya mempunyai taraf pendidikan yang cukup. Cara-cara otoriter mungkin lebih tepatnya untuk diterapkan di dalam masyarakat yang sangat heterogen. Sedangkan cara-cara bebas lebih cocok bagi masyarakat yang relatif homogen.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian sejarah, sehingga metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah adalah sekumpulan prinsip-prinsip dan aturan yang sistematis dan dimaksudkan untuk memberi bantuan penelitian sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan dalam bentuk tulisan. Proses metode sejarah ada empat tahap, yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.16

a. Heuristik

Heuristik merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian sejarah, yaitu suatu kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, atau materi sejarah atau evidensi sejarah.17 Dalam proses ini pengumpulan data harus relevan dengan tema penelitian yaitu Peranan KH. Naharussurur dalam Pondok

16

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta : Armico, 1975), Hlm 32. 17

Saefur Rochmat, Ilmu Sejarah Dalam Perspektif Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), Hlm 153.

(16)

Pesantren Ta’mirul Islam Tegalsari di Surakarta 1986-2010. Dalam tahap

Heuristik, menggunakan beberapa teknik pengumpulan data : 1) Studi Dokumen

Sumber-sumber penulisan sejarah adalah dokumen-dokumen tertulis yang dapat berupa surat-surat, laporan-laporan, surat kabar dan arsip. Dokumen berfungsi untuk menguji kebenaran dan memberikan gambaran kepada teori, sehingga akan memberikan fakta untuk memperoleh pengertian sejarah tentang fenomena yang unik.18

Sumber dokumen dalam penelitian ini, diperoleh dari : Departemen Agama Surakarta, Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta, Monumen Pers, Badan Pusat Statistik (BPS), internet, website Pondok Pesantren Ta’mirul Islam. Dokumen yang didapat dari Ponpes Ta’mirul Islam Surakarta, antara lain: Surat-surat pendirian pendidikan dan pondok pesantren (AD/ART) Ta’mirul Islam, dokumen Visi, Misi, dan Tujuan Ponpes Ta’mirul Islam Surakarta, daftar anggota pengelola Pondok Pesantren Ta’mirul Islam, foto-foto pendirian dan kegiatan pondok pesantren Ta’mirul Islam, dokumen Tata Tertib Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta. Dokumen yang didapat BPS Surakarta adalah keadaan Geografis Kota Surakarta tahun 1986.

2) Wawancara

Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian, dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara

18

Sartono Kartodirdjo, Sekali Lagi Pemikiran Sekitar Sejarah Nasional No 6, (Yogyakarta: Seksi Penelitian Jurusan Sejarah UGM, 1970), hlm 38.

(17)

pewawancara dan informan. Wawancara ini dapat melengkapi informasi yang kurang jelas dari suatu dokumen, sekaligus sebagai alat penguji kebenaran dan kaabsahan data.19 Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah model wawancara terstruktur, yaitu sebelum melakukan wawancara kepada narasumber terlebih dahulu menyiapkan materi pertanyaan yang akan disampaikan.

Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan kepada H. Mohamad Halim, S. H. , H. Muhammad Aly, H. Moh. Adhim, S. Ag, M.Pd. selaku putra dari bapak K.H. Naharussurur dan penerus pemimpin Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta, selanjutnya wawancara dilakukan kepada : Pengurus Pondok Pesantren Ta’mirul Islam Surakarta, alumni Pondok Pesantren Ta’mirul Islam, guru dan karyawan Pondok Pesantren Ta’mirul Islam. Daftar informan bisa dilihat dalam daftar informan.

3) Studi Pustaka

Untuk melengkapi penelitian ini juga menggunakan studi pustaka dalam mengumpulkan data. Studi putaka ini sangat berguna dalam mendukung, melengkapi data-data penelitian dan juga sebagai referensi, artikel, laporan penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan sejarah keagamaan, khususnya sejarah agama Islam dan pengembangannya. Dalam penelitian ini, buku-buku literatur diperoleh dari : Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UNS, Perpustakaan Pusat UNS,

19

Moh. Nasir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Galia Indonesia, 1989), hlm 234.

(18)

Perpustakaan Monumen Pers Surakarta dan Perpustakaan Daerah Kota Surakarta.

b. Kritik Sumber

Tahap kedua adalah kritik sumber merupakan tahap menganalisis keaslian sumber yang digunakan, sumber tertulis maupun lisan. Kritik sumber terdiri dari kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern digunakan untuk mengkritisi isi dari sumber tertulis maupun isi/hasil wawancara. Sedangkan kritik ekstern digunakan untuk mengkritisi bentuk sumber tersebut dan kesahihan narasumber wawancara. Arsip-arsip yang digunakan dalam penelitian ini merupakan arsip asli. Arsip yang dimiliki atau tersimpan oleh setiap instansi yang bersangkutan seperti pesantren Ta’mirul Islam. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi serta memeriksa data, sehingga diperoleh fakta.

c. Interpretasi

Tahap ketiga adalah interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah. Dalam hal ini digunakan teknik Analisis Deskriptif Kualitatif, yaitu data dianalisa secara historis dengan melihat urutan peristiwa secara kronologi sesuai dengan periode yang akan dibahas dalam sejarah. Analisa dilakukan setelah data terkumpul, baik data yang diperoleh dari dokumen, arsip, wawancara, maupun dari buku-buku literatur. Data yang telah terkumpul lalu diseleksi, dianalisa dan diinterpretasikan isinya sesuai dengan tujuan penelitian.

d. Historiografi

Historiografi merupakan tahap akhir dalam penulisan sejarah. Pada tahap ini penulisan sejarah memerlukan kemampuan untuk menjaga standar dari cerita

(19)

sejarah tersebut. Menyampaikan sumber yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah atau penulisan sejarah. Kemudian menceritakan yang telah ditafsirkan dalam penyusunan kisah sehingga menarik untuk dibaca. Tujuannya agar pembaca mudah memahami dan tidak membosankan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran terperinci, maka penelitian ini disusun dalam beberapa Bab.

Bab I Pendahuluan, terdiri atas: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang meliputi : lokasi penelitian; Metode dan teknik pengumpulan data yang mencakup: studi dokumen, wawancara dan studi pustaka; teknik analisa; dan sistematika penulisan.

Bab II Gambaran Umum Ponpes Ta’mirul Islam meliputi: A. Gambaran Umum Kota Surakarta 1986-2010. B. Latar belakang ponpes Ta’mirul yang terdiri dari: Sejarah Berdirinya; Susunan Organisasi, Kegiatan Ponpes.

Bab III Dinamika Pondok Pesantren Ta’mirul Islam meliputi: A. Biografi KH. Naharussurur yang terdiri atas: kehidupan KH. Naharussurur; riwayat pendidikan; konsep pemikiran KH. Naharussurur dalam mendirikan dan memimpin pondok tahun 1986-2010. B. Perkembangan Ponpes Ta’mirul Islam tahun 1986-2010 yang dibagi menjadi 2 periode: Perkembangan ponpes tahun 1986-2007; Perkembangan Ponpes tahun 2008-2010 yang terdiri atas: sistem dan jenjang pendidikan ponpes, susunan kepengurusan, sarana dan prasarana.

(20)

Bab IV Peranan KH. Naharussurur dalam pondok pesantren Ta’mirul Islam meliputi: A. Dalam bidang dakwah, B. Dalam bidang pendidikan, C. Dalam bidang ekonomi, D. Dalam bidang sosial.

Bab V Merupakan Kesimpulan yang ditarik dari uraian-uraian sebelumnya yang sekaligus menjadi jawaban dari permasalahan-permasalahan pokok penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Activity diagram ini menjelaskan bagaimana user melakukan akses terhadap menu laporan hasil rekomendasi. User yang telah masuk kedalam Halaman Administrator, memilih

Hipotesis tersebut sejalan dengan penelitian (Agmeka, Wathoni, & Santoso, 2019) hasil ini menunjukkan bahwa variabel brand image menjadi prediktor yang penting dalam

(a) Nyatakan satu tabiat yang boleh mengganggu proses hidup manusia.. (i) Nyatakan tabiat buruk yang dilakukan oleh

 Dalam Verifikasi dan Validasi Data Individu Peserta Didik, peserta didik memiliki tugas untuk memastikan kebenaran data yang diisikan pada aplikasi Dapodik dan mengajukan

Parameter yang akan diukur adalah QoS dan MOS, untuk Quality of Service (QoS) pada layanan Mobile VoIP pada HSDPA adalah delay end to end, packet loss dan

Blok transmitter pada komunikasi berguna untuk mengirim informasi dari user satu ke user lainnya Proses yang terjadi di bagian transmiter ini untuk mengubah informasi