• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Rancang bangun pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi ini bertujuan untuk mendesain aspek pengelolaan ekosistem dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang ada di Pulau Dullah, khususnya di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan cara mengintegrasikan kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan wisata bahari dalam satu model pengelolaan terpadu, sekaligus juga mengkaji keterpaduan ekologi-ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut tersebut dengan pendekatan konservasi. Untuk dapat menjawab tujuan dimaksud maka rancang bangun ini dimulai dengan menganalisis potensi perikanan dan pariwisata serta ekosistem dan sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan yang mendukungnya melalui analisis kesesuaian lahan; analisis skala prioritas pemanfaatan ruang; dan analisis daya dukung lingkungan dengan menggunakan alokasi ruang (spatial) sebagai variabel konservasi terhadap kondisi fisik Pulau Dullah, kemudian menghitung nilai ekonomi sumberdaya melalui valuasi ekonomi dan analisis manfaat-biaya dengan menggunakan alokasi waktu (temporal) sebagai variabel konservasi non fisik. Tahapan selanjutnya adalah mendesain model pengelolaannya.

5.1 Analisis Kesesuaian Lahan untuk Minawisata Bahari Berbasis Konservasi

Pengelolaan pada hakekatnya adalah mengatur perilaku para pengguna ekosistem dan sumberdaya alam. Ekosistem dan sumberdaya alam yang dimaksud dalam konteks ini adalah ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan lautan termasuk di dalamnya adalah ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan sumberdaya perikanan, karena ekosistem dan sumberdaya alam ini paling banyak mendapat tekanan sehingga perlu diselamatkan dari kerusakan. Pengelolaan juga dimaksud untuk menata kembali pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya alam tersebut sesuai peruntukannya berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan dengan tetap mengakomodir berbagai kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat yang ada di sekitar kawasan tersebut misalnya dalam bentuk ekowisata bahari, minawisata bahari dan lain-lain.

(2)

Ekowisata bahari merupakan kegiatan rekreasi yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan lingkungan perairan laut yang dilakukan di sekitar pantai dan lepas pantai, antara lain seperti berenang; berjemur; diving; snorkeling; dan tracking di hutan mangrove. Selain memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dan lautan, kegiatan ekowisata bahari juga terkait dengan pemanfaatan potensi sumberdaya manusia yang dimiliki melalui nilai-nilai adat istiadat dan budaya setempat (Dodds 2007). Sementara minawisata bahari merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya perikanan dan wisata bahari secara terintegrasi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari sumberdaya tersebut.

5.1.1 Kesesuaian Pemanfaatan Ruang untuk Masing-Masing Aktivitas a. Minawisata Bahari Pancing

Pada dasarnya, memancing ikan dapat dibedakan dalam 2 kategori yaitu memancing ikan dalam konteks berproduksi, dan memancing ikan dalam konteks berwisata. Dalam konteks berproduksi, memancing ikan adalah aktivitas nelayan menangkap ikan dimana hasil pancingannya kemudian dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan dalam konteks berwisata, memancing ikan merupakan aktivitas wisatawan menangkap ikan dimana hasil pancingannya diutamakan untuk mencapai kepuasan selama berwisata. Hasil pancingan dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga, atau bisa juga dibawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama keluarga. Dengan dasar pemikiran tersebut maka aktivitas perikanan dan pariwisata ini dapat dipadukan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari, yaitu berwisata sambil memancing ikan.

Kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional dan dikenal sebagai ladang ikan baronang (siganus sp) dan juga jenis-jenis ikan target lainnya seperti ikan kerapu (grouper) dan ikan maming (napoleon) yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Desa Taar dan sekitarnya bagi pemenuhan kebutuhan protein. Pemanfaatan sumberdaya laut di teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu, apalagi karena berada dalam pusat pengembangan Kota Tual, maka dikhawatirkan dimasa datang akan terjadi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya teluk ini bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk sebagai konsekuensi pengembangan Kota Tual. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dicarikan suatu bentuk

(3)

pemanfaatan sumberdaya yang berbasis konservasi agar dapat mengurangi tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya yang ada. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu untuk menjaga kelestarian ekosistem dan sumberdaya yang ada termasuk sumberdaya ikan. Dengan pertimbangan tersebut maka minawisata bahari pancing adalah merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya yang berbasis konservasi yang dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.

Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing mempertimbangkan 8 parameter kesesuaian biofisik yaitu kelompok jenis ikan; kecepatan arus; tinggi gelombang; kecerahan perairan; suhu perairan; salinitas; kedalaman perairan; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari pancing seperti ditunjukan pada Tabel 18.

Tabel 18 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pancing

No Kelas Kesesuaian Luasan (ha) Luasan (%)

1. Sesuai (S) 169,22 58,52

2. Sesuai Bersyarat (SB) 119,95 41,48

3. Tidak Sesuai (TS) - -

Total 289,17 100,00

Tabel 18 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai (S) untuk minawisata bahari pancing adalah sebesar 169,22 ha (58,52%) dan yang sesuai bersyarat (SB) adalah sebesar 119,95 ha (41,48%) dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, sedangkan untuk kelas kesesuaian yang tidak sesuai (TS) tidak ditemukan dalam perairan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, hal ini karena kondisi biofisik kawasan perairan ini memenuhi 8 parameter kesesuaian yang digunakan untuk analisis dan dari hasil ground check masing-masing parameter tersebut berada dalam kisaran yang dipersyaratkan untuk kelas sesuai dan sesuai bersyarat.

Menurut Madduppa (2009) ikan dapat dikelompokkan berdasarkan perannya yaitu kelompok ikan target; kelompok ikan indikator; dan kelompok ikan mayor. Kelompok ikan target adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai

(4)

ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat, atau ikan-ikan yang merupakan target penangkapan (ikan ekonomis penting) antara lain Serranidae; Lutjanidae; Lethrinidae; Acanthuridae; Mulidae; Siganidae; Labridae; dan Haemulidae. Kelompok ikan indikator adalah ikan-ikan yang menjadi parameter terhadap kesehatan terumbu karang karena keberadaan ikan-ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang antara lain Chaetodontidae; dan Variegatus. Sedangkan kelompok ikan mayor adalah ikan-ikan yang berperan secara umum dalam sistem rantai makanan di daerah terumbu karang, biasanya ditemukan dalam jumlah banyak dan seringkali dijadikan sebagai ikan hias air laut antara lain Pomacentridae; Pomachantidae; dan Apogonidae.

Dalam hubungannya dengan minawisata bahari pancing di kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir, Polanunu (1998) menemukan bahwa arus dominan di Teluk Un adalah arus pasang surut. Dari hasil pengukuran arus secara tertambat (eularian) pada bulan Oktober dan November 1997 diketahui bahwa kecepatan arus di Teluk Un baik di dalam maupun di luar areal padang lamun memiliki kisaran antara 0,35 - 1,12 m/detik, dan kisaran kecepatan arus ini baik untuk kehidupan ikan.

Menurut Sugiarti (2000) tinggi gelombang merupakan salah satu parameter yang harus diperhatikan dalam menentukan alokasi ruang untuk suatu peruntukan pemanfaatan sumberdaya laut, karena hal ini berkaitan dengan faktor keamanan dan keselamatan nelayan atau wisatawan selama melakukan berbagai aktivitas di laut. Tinggi gelombang yang dipersyaratkan untuk aktivitas penangkapan ikan di laut adalah kurang dari 1 meter. Dengan tinggi gelombang yang kurang dari 1 meter maka nelayan atau wisatawan akan berada dalam kondisi aman dari hempasan gelombang perairan yang terjadi di lokasi tersebut.

Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor yang cukup menentukan keberadaan ikan, baik kelompok ikan target; ikan indikator; ataupun ikan mayor, karena keberadaan ikan-ikan tersebut erat hubungannya dengan kondisi kesehatan dan kesuburan terumbu karang. Perairan yang cerah dan jernih sangat baik untuk pertumbuhan terumbu karang yang menjadi habitat dari berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Semakin sehat ekosistem terumbu karang di suatu lokasi maka

(5)

semakin banyak pula ikan dan organisme laut yang dapat kita temukan di lokasi tersebut.

Kecerahan perairan berbanding terbalik dengan kekeruhan. Pada perairan yang cerah jarak tembus pandang dalam kolom air semakin besar atau jauh, selain itu kondisi perairan yang cerah baik untuk kehidupan ikan dan organisme laut lainnya. Dalam kenyataannya, banyak terdapat ikan dan organisme laut lainnya yang hidup pada kondisi perairan yang cerah. Sebaliknya pada perairan yang keruh terdapat banyak partikel-partikel yang tersuspensi dalam kolom air sehingga membuat jarak tembus pandang dalam kolom air semakin kecil atau dekat, selain itu kondisi perairan yang keruh tidak sehat bagi kehidupan ikan dan organisme laut lainnya. Dalam hubungannya dengan minawisata bahari pancing, Sugiarti (2000) menjelaskan bahwa kegiatan pemancingan ikan biasanya dilakukan di perairan dengan jarak tembus pandang dalam kolom air (kecerahan) kurang dari 10 meter, karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan biasanya banyak terdapat di perairan dengan kondisi kecerahan seperti tersebut diatas.

Menurut Nybakken (1988) dalam kondisi normal suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 - 32,3oC, disamping itu Mulyanto (1992) menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32o

Selain parameter biofisik dan oseanografi perairan tersebut diatas, pengembangan minawisata bahari pancing di suatu lokasi tertentu perlu mempertimbangkan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S (sesuai) adalah lebih dari 500 meter, hal ini agar aktivitas minawisata bahari pancing yang dikembangkan di lokasi tersebut tidak sampai mengganggu alur pelayaran. Demikian pula sebaliknya semua kegiatan masyarakat yang ada di sekitar lokasi tersebut tidak sampai berpengaruh kepada aktivitas minawisata bahari

C. Untuk salinitas, Nontji (2003) menjelaskan bahwa nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰. Kisaran salinitas ini baik untuk kehidupan organisme laut khususnya ikan (Romimohtarto dan Juwana 1999).

(6)

pancing yang dikembangkan di lokasi tersebut (Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi).

Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S (sesuai) pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti kecepatan arus; tinggi gelombang; kecerahan perairan; suhu perairan; salinitas; dan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat (SB) yaitu kedalaman perairan dan kelompok jenis ikan.

Di beberapa bagian perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir kedalaman perairan ditemukan berada pada kisaran kurang dari 2,5 meter. Dengan tunggang pasut lebih dari 2,5 meter maka pada saat surut terendah bagian perairan tersebut akan kering sehingga yang tadinya sesuai kini menjadi tidak sesuai lagi untuk aktivitas pemancingan. Selain itu juga ada bagian perairan yang kedalamannya berada pada kisaran lebih dari 10 meter. Jika dikaitkan dengan sasaran dari aktivitas minawisata bahari pancing hal ini juga akan menjadi faktor pembatas, karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan adalah ikan-ikan ekonomis penting dari kelompok ikan pelagis dimana perairan yang sesuai untuk aktivitas ini adalah perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter karena ikan-ikan yang menjadi target penangkapan biasanya hidup pada kedalaman tersebut.

Kelompok jenis ikan juga merupakan faktor pembatas lainnya. Ikan target yaitu ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat seperti dari family Serranidae; Lutjanidae; Lethrinidae; Acanthuridae; Mulidae; Siganidae; Labridae; dan Haemulidae (Madduppa 2009) tidak tersebar merata tetapi ditemukan terkonsentrasi pada lokasi tertentu dengan kondisi terumbu karang yang masih baik. Dengan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari pancing seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 10.

Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya perikanan yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari pancing, maka perlu disiapkan sarana pendukung

(7)
(8)

lainnya seperti dermaga kecil (jetty); perahu (boat); dan peralatan pancing. Dilokasi ini tersedia jetty milik masyarakat Desa Taar yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas tersebut, sedangkan yang masih perlu dibenahi adalah penyediaan perahu berikut peralatan pancingnya.

b. Minawisata Bahari Pengumpulan Kerang (Moluska)

Di daerah Kepulauan Kei ada satu aktivitas masyarakat yang sudah berlangsung secara turun temurun yaitu pengumpulan biota laut dari jenis kerang (moluska) untuk dikonsumsi oleh keluarga. Aktivitas ini sering dilakukan pada bulan Oktober karena biasanya pada bulan tersebut temperatur udara tertinggi sepanjang tahun dan kekuatan angin sangat lemah sehingga kondisi laut sangat tenang, bersamaan dengan kondisi tersebut terjadi juga air surut terbesar yang dikenal dengan Met Ef atau Meti Kei.

Moluska adalah salah satu kelompok dari berbagai biota laut yang banyak terdapat di daerah pasang surut (intertidal). Daerah intertidal merupakan daerah pesisir yang paling banyak diminati dan dikunjungi baik untuk kegiatan penelitian maupun untuk berwisata. Dengan melihat kebiasaan masyarakat tersebut dan didukung oleh kondisi fisik alam dan potensi sumberdaya yang tersedia maka aktivitas masyarakat ini dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu berwisata sambil mengumpulkan dan menikmati makanan laut (sea-food) dari jenis moluska. Pengumpulannya dilakukan sendiri oleh wisatawan dan selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama keluarga.

Minawisata bahari pengumpulan moluska dapat dikembangkan di kawasan ini karena kondisi topografi Kepulauan Kei khususnya kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang landai, kondisi ini mengakibatkan sebagian besar wilayah mintakad pasang surut pada kawasan tersebut mengalami kekeringan, lebar dataran pasut dapat mencapai lebih dari 200 meter sehingga dapat dijadikan area pengumpulan moluska. Pemanfaatan potensi sumberdaya moluska di teluk ini cenderung meningkat dari waktu ke waktu, apalagi karena aktivitas ini telah berlangsung lama dan secara turun-temurun sehingga pengelolaannya perlu diarahkan pada aktivitas yang berbasis konservasi.

(9)

Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska mempertimbangkan 7 parameter biofisik yaitu jenis moluska; kelimpahan; lebar dataran pasut; tipe substrat pantai; kemiringan pantai; suhu perairan; dan salinitas. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska seperti ditunjukan pada Tabel 19.

Tabel 19 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan moluska

No Kelas Kesesuaian Luasan (ha) Luasan (%)

1. Sesuai (S) 107,23 37,08

2. Sesuai Bersyarat (SB) 69,15 23,92

3. Tidak Sesuai (TS) 112,79 39,00

Total 289,17 100,00

Tabel 19 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai (S) untuk minawisata bahari pengumpulan moluska adalah sebesar 107,23 ha (37,08%), yang sesuai bersyarat (SB) adalah sebesar 69,15 ha (23,92%), sedangkan yang tidak sesuai (TS) adalah sebesar 112,79 ha (39,00%) dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.

Renjaan (2006) in DPK (2006a) menjelaskan bahwa dari hasil analisis terhadap data dari 10 transek pengamatan yang dilakukan pada bulan Oktober - Nopember 1997 di kawasan perairan Teluk Un teridentifikasi beberapa jenis moluska dengan kepadatan masing-masing sebagai berikut Abra sp. (0,26); Donax variagartus (0,34); D. vittatus (1,32); D. compresus (0,56); Perna viridis (0,18); Pitar manilae (1,42); Rhinoclavis vertagus (0,72); Tellina radiate (2,8); dan Terebellum terebellum (0,22) dengan kepadatan rata-rata berkisar antara 0,18 - 2,8 individu/m2

Disamping itu, hasil pengamatan lapangan menunjukan bahwa selain yang tersebut diatas terdapat juga beberapa jenis moluska yang teridentifikasi berada di daerah intertidal kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dengan kepadatannya masing-masing sebagai berikut Anadara sp. (2,53); Cerithium sp. (2,37); Chlamys sp. (0,85); Clanculus sp. (0,16); Cypraea sp. (0,28); Donax sp. (1,32); Euspira sp. (0,64); Guilfordia sp. (0,23); Haliotis sp. (2,47); Hippopus sp. (0,12); Lambis sp. (0,23); Lioconcha sp. (0,85); Littorina sp. (2,76);

(10)

Phenacovolva sp. (1,63); Siliquaria sp. (1,93); Strombus sp. (1,63); Tectus sp. (0,16); Tridacna sp. (0,12); dan Tripneustes sp. (1,14), dengan kepadatan rata-rata berkisar antara 0,12 - 2,76 individu/m2.

Berkaitan dengan kebutuhan lahan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska pada saat terjadinya surut, maka lebar dataran pasut diukur mulai dari garis pantai sampai dengan batas surut terendah. Menurut Bengen (2008) untuk kebutuhan aktivitas ini, maka lebar dataran pasut yang ideal adalah lebih dari 100 meter, dengan pertimbangan bahwa apabila lebar dataran pasut cukup luas, maka wisatawan dapat melakukan aktivitas pengumpulan moluska dengan aman sekaligus dapat menikmati keindahan alam di lokasi pengumpulan moluska. Menurut Renjaan (2006) in DPK (2006a), lebar dataran pasut di sekitar Teluk Un dapat mencapai lebih dari 200 meter dan memiliki dasar perairan yang sangat landai. Karena kondisi dasar perairannya yang landai dan kisaran pasut wilayah ini yang tergolong kedalam mesotidal (>2,50 m) menyebabkan saat surut sebagian besar perairan ini mengalami kekeringan.

Hasil penelitian dari Latale (2003) in Natan (2008) menemukan bahwa salah satu spesies moluska dari famili Lucinidae yakni kerang lumpur (Anodontia edentula) mendiami substrat bersedimen pasir sangat kasar (very coarse sand) sampai lumpur (silt atau clay), dan umumnya didominasi oleh pasir kasar (coarse sand) dan pasir berukuran sedang (medium sand), dan mempunyai nilai porositas antara 41,71 - 55,58%.

Kemiringan pantai merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska. Pada umumnya aktivitas ini dapat dilakukan di daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang landai karena lama waktu untuk berwisata sambil mengumpulkan moluska akan lebih panjang dan relatif aman bagi wisatawan. Untuk daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang curam, aktivitas ini masih dapat dilakukan tetapi waktunya relatif lebih pendek dan cukup beresiko terhadap keselamatan wisatawan dalam hubungannya dengan proses naiknya permukaan air laut akibat pasang karena dataran pasut pada pantai yang curam akan cepat tergenang air laut, sedangkan daerah intertidal dengan kemiringan pantai yang terjal tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska.

(11)

Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu mempengaruhi secara langsung aktifitas organisme seperti pertumbuhan dan metabolisme bahkan menyebabkan kematian organisme, sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Setiap spesies hewan moluska mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Suhu optimum bagi moluska bentik berkisar antara 25 - 28o

Tunggang pasut (tidal range) sangat erat hubungannya dengan tipe pantai dan lebar dataran pasut. Menurut Renjaan (2006) in DPK (2006a) tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil umumnya lebih dari 2,5 meter, dengan kondisi tunggang pasut sedemikian pada topografi yang landai seperti halnya di Teluk Un maka pada saat surut terendah sebagian besar dataran pasut muncul dipermukaan C (Hutagalung 1988 dan Huet 1972 in Razak 2002). Sejalan dengan itu, salinitas secara tidak langsung mempengaruhi kerang melalui perubahan kualitas air seperti pH dan oksigen terlarut. Menurut Setiobudiandi (1995) salinitas optimum bagi hewan moluska berkisar antara 2 - 36 ppt.

Renjaan (2006) in DPK (2006a) menjelaskan bahwa jenis pasut di kawasan Teluk Un adalah pasut campuran mirip harian ganda (mixed predominantly semi-diurnal tide), tipe pasut ini dicirikan dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Dengan jenis pasut seperti ini maka aktivitas pengumpulan moluska oleh wisatawan dapat dilakukan selama 2 kali dalam 1 hari, dengan demikian minawisata bahari pengumpulan moluska dapat dikembangkan di daerah-daerah dengan tipe pasut seperti ini, salah satunya adalah di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir (Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi).

Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S (sesuai) pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti jenis moluska; kelimpahan; suhu perairan; salinitas; lebar dataran pasut; tipe substrat pantai; dan kemiringan pantai memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat (SB) dan tidak sesuai (TS) yaitu tunggang pasut.

(12)

air. Sementara itu menurut BAKOSURTANAL (1992) in DPK (2006a) tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil berdasarkan pengukuran selama 30 hari di stasiun TNI AL Tual adalah 2,6 meter.

Daerah-daerah dengan tunggang pasutnya besar sangat sesuai untuk lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska, hal ini karena dengan tunggang pasut yang lebih dari 2 meter pada pantai yang landai, maka pada saat surut akan membuat pantai tersebut menjadi cukup luas dan mengalami kekeringan sehingga dapat digunakan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. Sedangkan pada saat air laut bergerak pasang, daerah intertidal tersebut masih relatif aman bagi wisatawan karena permukaan air laut akan naik secara perlahan dalam waktu yang cukup lama untuk menutupi pandai yang landai. Sebaliknya untuk daerah-daerah dengan tunggang pasutnya kecil (kurang dari 2 meter) tidak sesuai untuk lokasi minawisata bahari pengumpulan moluska. Hal ini karena dengan tunggang pasut yang kurang dari 2 meter pada pantai yang relatif curam maka walaupun pada saat surut, lebar dataran pasut (lebar pantai) tidak cukup luas sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan aktivitas pengumpulan moluska. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari pengumpulan moluska seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 11.

Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya moluska di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari pengumpulan moluska maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti peralatan pengumpul kerang berikut peralatan pengolahannya, sehingga moluska yang terkumpul dapat diolah dan dinikmati saat itu juga oleh wisatawan.

c. Minawisata Bahari Karamba Pembesaran Ikan

Ikan-ikan karang seperti dari jenis baronang (Siganus gutatus); kerapu bebek (Cromileptes altivelis); kerapu sunu (Plectropomus leopardus); kerapu lumpur (Epinephelus tauvina); kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus); napoleon/maming (Cheilinus undulatus); dan beberapa jenis lainnya merupakan ikan konsumsi yang saat ini banyak dipasarkan dalam keadaan hidup, umumnya

(13)

Gambar 11 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari pengumpulan kerang (moluska).

(14)

ikan-ikan jenis ini tersebar di daerah tropis dan subtropis. Selain dapat diambil dari habitatnya, saat ini ikan-ikan tersebut mulai ditangkar (dibesarkan) dan dibudidaya. Metoda pemeliharaan yang paling produktif dengan teknik akuakultur adalah dengan metoda karamba jaring apung yang dilakukan diperairan pantai, hal ini karena jumlah dan kualitas air selalu memadai dan juga mudah dipanen.

Saat ini banyak wisatawan yang selain melakukan kegiatan wisata pantai atau wisata bahari juga mencari bentuk aktivitas lain yang berhubungan dengan ekosistem dan sumberdaya laut sebagai bentuk lain dalam berwisata. Dengan melihat peluang tersebut maka aktivitas pembesaran ikan dalam karamba jaring apung dapat dikembangkan dan dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu berwisata sambil menikmati makanan laut (sea-food) dari berbagai jenis ikan karang. Aktivitas pembesaran ikan dalam karamba jaring apung yang dimaksud dalam minawisata bahari ini adalah bukan dalam konteks berproduksi tetapi semata-mata untuk kepentingan berwisata. Wisatawan diberikan kesempatan untuk memilih ikan dalam karamba yang pengambilannya dilakukan sendiri oleh wisatawan dan selanjutnya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang kerumah untuk dinikmati bersama keluarga.

Minawisata bahari karamba pembesaran ikan ini dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena kondisi perairannya relatif tenang serta terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Kelompok ikan yang menjadi target pembesaran dalam karamba jaring apung adalah ikan-ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat, atau ikan-ikan yang merupakan target penangkapan (ikan ekonomis penting). Tentunya aktivitas yang akan dikembangkan ini adalah aktivitas yang berbasis konservasi, karena ikan-ikan tersebut tidak dibudidaya melainkan hanya diambil dari habitatnya dan dibesarkan dalam karamba jaring apung sehingga beban limbah yang dihasilkan tidak sampai mencemari lingkungan perairan.

Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan mempertimbangkan 10 parameter kesesuaian yaitu kecepatan arus; tinggi gelombang; kedalaman air dari dasar jaring; suhu perairan; salinitas; oksigen terlarut; pH perairan; nitrat; phospat; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan

(15)

lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan seperti ditunjukan pada Tabel 20.

Tabel 20 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan

No Kelas Kesesuaian Luasan (ha) Luasan (%)

1. Sesuai (S) 44,97 15,55

2. Sesuai Bersyarat (SB) 136,97 47,37

3. Tidak Sesuai (TS) 107,24 37,08

Total 289,17 100,00

Tabel 20 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai (S) untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan adalah sebesar 44,97 ha (15,55%), yang sesuai bersyarat (SB) adalah sebesar 136,97 ha (47,37%), sedangkan yang tidak sesuai (TS) adalah sebesar 107,24 ha (37,08%) dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.

Menurut DKP-RI (2002), kondisi perairan dengan kecepatan arus yang dipersyaratkan untuk kegiatan budidaya ikan dalam karamba jaring apung di laut adalah kurang dari 0,75 m/detik dengan tinggi gelombang kurang dari 0,5 meter. Sedangkan kedalaman air dari dasar jaring adalah lebih dari 10 meter, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas dan sirkulasi air serta limbah yang dihasilkan dari kegiatan karamba jaring apung. Folke et al. (l994) menjelaskan bahwa beban limbah yang dihasilkan untuk memproduksi 100 ton ikan dari kegiatan budidaya dengan karamba jaring apung adalah sama dengan beban limbah pemukiman penduduk yang didiami oleh 850 - 3.200 orang. Namun demikian menurut Kasnir dkk (2004) beban limbah tersebut dapat dikurangi dengan memberikan pakan alami berupa ikan hidup yang sudah dipotong ekornya seperti ikan mujair atau ikan lainnya, pakan alami ini dapat menghasilkan pertumbuhan sebesar 12 - 16 gram/minggu.

Suhu perairan adalah merupakan salah satu parameter ekologis yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Menurut Nybakken (1988) dalam kondisi normal suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 – 32,3oC, disamping itu Mulyanto (1992) menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan

(16)

ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32oC, sementara menurut LP Undana (2006) suhu perairan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 24 - 31o

Selain parameter fisika kimia dan oseanografi perairan tersebut diatas, pengembangan minawisata bahari karamba pembesaran ikan di suatu lokasi tertentu juga harus mempertimbangkan jarak lokasi pengembangan dari alur pelayaran, kawasan budidaya dan kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S (sesuai) adalah lebih dari 500 meter, hal ini agar aktivitas minawisata bahari karamba pembesaran ikan yang dikembangkan di lokasi

C.

Selain suhu perairan, salinitas juga merupakan parameter ekologis lainnya yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan ikan. Nontji (2003) menjelaskan bahwa nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰, kisaran ini baik untuk kehidupan organisme laut khususnya ikan (Romimohtarto dan Juwana 1999) sementara menurut LP Undana (2006) salinitas yang baik untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 30 - 33‰.

Oksigen adalah salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organime dalam proses respirasi dan metabolisme sel. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan ikan kerapu adalah >3,5 ppm. Demikian juga dengan kadar ion hydrogen (pH) perairan yang merupakan parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan organisme. Dalam skala 0 - 14 setiap organisme mempunyai pH optimal, dimana pH optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu berkisar antara 7,8 - 8 (LP Undana 2006).

Menurut Tiensongrusmee et al. (1986) kandungan nitrat dalam kolom air yang dipersyaratkan untuk budidaya ikan dalam karamba jaring apung adalah lebih kecil dari 0,9 mg/l, sedangkan nilai optimalnya adalah kurang dari 0,1 mg/l. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa kandungan phospat dalam kolom air yang dipersyaratkan untuk budidaya ikan dalam karamba jaring apung adalah lebih kecil dari 0,9 mg/l, sedangkan nilai optimalnya adalah kurang dari 0,1 mg/l.

(17)

tersebut tidak sampai mengganggu alur pelayaran. Demikian pula sebaliknya semua kegiatan masyarakat yang ada di sekitar lokasi tersebut tidak sampai berpengaruh kepada aktivitas minawisata bahari karamba pembesaran ikan yang dikembangkan dilokasi tersebut (Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi).

Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S (sesuai) pada umumnya parameter fisika kimia dan oseanografi perairan seperti kecepatan arus; tinggi gelombang; kedalaman air dari dasar jaring; suhu perairan; salinitas; oksigen terlarut; pH perairan; nitrat; phospat; serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan perairan menjadi sesuai bersyarat (SB) dan tidak sesuai (TS) yaitu kedalaman perairan.

Di beberapa bagian Teluk Un, kedalaman perairan ditemukan berada pada kisaran kurang dari 15,5 meter sehingga dengan tunggang pasut 2,5 meter maka pada saat surut terendah, kedalaman perairan di bagian tersebut akan menjadi kurang dari 13 meter. Dengan kedalaman jaring karamba sekitar 3 meter dan persyaratan kedalaman air dari dasar jaring harus lebih dari 10 meter maka bagian perairan tersebut menjadi tidak sesuai untuk menempatkan karamba jaring apung. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari karamba pembesaran ikan seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 12.

Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya ikan karang di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan, perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti peralatan untuk mengambil ikan dari dalam karamba berikut peralatan pengolahannya sehingga ikan-ikan tersebut dapat diolah dan dinikmati saat itu juga oleh wisatawan.

d. Minawisata Bahari Selam

Wisata selam merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam bawah laut dan dinamika air lautnya untuk kepuasan manusia yang dikembangkan

(18)

Gambar 12 Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari karamba pembesaran ikan.

(19)

dengan pendekatan konservasi laut. Objek kegiatannya adalah berupa penyelaman dengan objek ekosistemnya adalah terumbu karang, sedangkan objek komoditinya adalah ikan-ikan dan berbagai biota laut penghuni ekosistem terumbu karang. Selain sebagai kegiatan wisata bahari, selam juga dapat dikemas dalam bentuk minawisata bahari yaitu mengintroduksikan kegiatan menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan seperti spear-gun atau peralatan penangkap ikan lainnya kedalam aktivitas selam tersebut. Dengan demikian selain dapat menikmati keindahan bawah laut, wisatawan juga dapat menangkap ikan-ikan target atau ikan-ikan konsumsi. Hasil tangkapannya dapat langsung diolah dan dinikmati pada saat itu juga untuk mencapai kepuasan selama berwisata, atau bisa juga dibawa pulang kerumah untuk dinikmati bersama keluarga.

Minawisata bahari selam ini dapat dikembangkan di kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena selain memiliki terumbu karang sebagai objek ekosistem, teluk ini juga merupakan daerah penangkapan ikan bagi nelayan tradisional dan dikenal sebagai ladang ikan baronang, kerapu, maming, dan juga jenis-jenis ikan target lainnya yang telah lama dimanfaatkan oleh penduduk Desa Taar dan sekitarnya bagi pemenuhan kebutuhan protein. Tentunya minawisata bahari selam yang akan dikembangkan ini adalah yang berbasis konservasi. Pengembangan minawisata bahari selam ini tentunya membutuhkan berbagai sarana pendukung seperti perahu, spear gun atau alat penangkap ikan lainnya, peralatan selam, dan pemandu selam (buddies), namun sampai saat ini kondisi riil di lokasi penelitian menunjukan bahwa semua sarana pendukung tersebut belum ada yang menyediakannya.

Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam mempertimbangkan 8 parameter kesesuaian yaitu jenis ikan karang; kecerahan perairan; tutupan komunitas karang; jenis life-form; suhu perairan; salinitas; kedalaman terumbu karang; dan kecepatan arus. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari selam seperti ditunjukan pada Tabel 21.

Tabel 21 menunjukan bahwa luas perairan yang sesuai (S) untuk minawisata bahari selam adalah sebesar 24,12 ha (8,34%), yang sesuai bersyarat (SB) adalah sebesar 157,82 ha (54,58%), sedangkan yang tidak sesuai (TS) adalah sebesar 107,24 ha (37,08%) dari total luas perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.

(20)

Tabel 21 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam

No Kelas Kesesuaian Luasan (ha) Luasan (%)

1. Sesuai (S) 24,12 8,34

2. Sesuai Bersyarat (SB) 157,82 54,58

3. Tidak Sesuai (TS) 107,24 37,08

Total 289,17 100.00

Jumlah jenis ikan karang merupakan parameter penting dalam minawisata bahari selam, suatu perairan dapat dikategorikan sesuai untuk minawisata bahari selam apabila terdapat minimal 75 spesies ikan karang, dan 20 - 75 spesies untuk kelas sesuai bersyarat, sedangkan apabila jumlah jenisnya kurang dari 20 spesies maka perairan tersebut tidak sesuai untuk minawisata bahari selam. Menurut DPK (2003) berdasarkan hasil sensus visual yang dilakukan pada beberapa titik di perairan Kabupaten Maluku Tenggara menunjukan bahwa kepadatan dan sediaan cadang ikan karang relatif cukup tinggi terutama pada daerah perairan karang dekat tubir. Jumlah jenis ikan karang yang teridentifikasi di sekitar perairan Pulau Dullah termasuk di Ngadi, Teluk Un, dan Teluk Vid Bangir adalah sebanyak 109 spesies.

Untuk kecerahan perairan, hasil penelitian Suharsono dan Yosephine (1994) menunjukan bahwa terdapat korelasi positif antara kecerahan perairan dengan persentase tutupan karang di 27 buah pulau di Kepulauan Seribu. Semakin tinggi transparansi air semakin besar persentase tutupan karang hidup, demikian pula sebaliknya semakin rendah transparansi air semakin kecil pula persentase tutupan karang hidup. Data lapangan menunjukan bahwa kecerahan perairan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah mencapai 100 % pada kedalaman 12 meter. Kedalaman terbesar perairan Teluk Un adalah 14,6 meter dan Teluk Vid Bangir adalah 17,8 meter pada saat pasang tertinggi. Dengan kecerahan 100 % pada kedalaman 12 meter tersebut maka bila dihitung dalam persentase kecerahan perairan di Teluk Vid Bangir mencapai 68% dan di Teluk Un mencapai 82%.

Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan tingkat persentase penutupan karang relatif tinggi. Kategori untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Gomes dan Yap (1998) dengan

(21)

kategori 0 - 24,9% maka tergolong dalam kondisi buruk, 25 - 49,9% adalah sedang, 50 - 74,9% adalah baik, dan 75 - 100% adalah baik sekali. DKP (2003) menemukan bahwa persentase penutupan karang di perairan sekitar Pulau Dullah adalah 68,74%, bila mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Gomes dan Yap tersebut diatas maka ekosistem terumbu karang di kawasan ini berada dalam kategori baik sehingga dapat dikembangkan untuk minawisata bahari selam.

Untuk jenis life-form, Yulianda (2007) dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata selam mengemukakan bahwa jumlah jenis life-form yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S (sesuai) adalah lebih dari 10 spesies, untuk kelas kesesuaian SB (sesuai bersyarat) adalah 4 - 10 spesies, sedangkan apabila jumlah jenis life-form kurang dari kurang dari 4 spesies atau tidak ada karang sama sekali maka perairan tersebut tidak sesuai untuk ekowisata selam. Konsep ini yang kemudian diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Demikian pula dengan suhu yang merupakan salah satu parameter penting bagi biota perairan, perubahan suhu yang drastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Menurut Nybakken (1988) dalam kondisi normal, suhu dipermukaan laut berkisar antara 25,6 – 32,3oC, disamping itu Mulyanto (1992) menjelaskan bahwa suhu perairan yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25 - 32oC. Selanjutnya menurut Hubbard (1990), ekosistem terumbu karang pada umumnya terbatas pada suhu 18 - 36oC, dengan nilai optimal antara 26 - 28oC. Pertumbuhan karang hermatypic tumbuh dan berkembang dengan subur antara 25 - 29oC (Tamrin, 2006). Data lapangan menunjukan bahwa suhu rata-rata di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah 29 - 32o

Menurut Nontji (2003) nilai salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 - 37‰. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32 - 34‰ sedangkan untuk laut terbuka umumnya berkisar antara 33 - 37‰ dengan rata-rata adalah 35‰. Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan hewan karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan hewan karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36‰ (Kinsman 2004). Dengan batasan yang dikemukakan diatas maka perairan Teluk Un dan

C, kondisi ini memungkinkan untuk kehidupan terumbu karang dan ikan sehingga dapat dijadikan lokasi minawisata bahari selam.

(22)

Teluk Vid Bangir dapat dijadikan lokasi minawisata bahari selam karena salinitasnya masih berada pada kisaran yang dipersyaratkan yaitu 30 - 33‰.

Kedalaman perairan meskipun merupakan faktor pembatas kehidupan terumbu karang tetapi pada perairan yang jernih dan kondisi lingkungannya memungkinkan, terumbu karang dapat tumbuh sampai kedalaman 50 meter. Menurut Nybakken (1988) terumbu karang tidak dapat berkembang diperairan yang lebih dalam dari 50 - 70 meter. Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 meter. Yulianda (2007) dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata selam mengemukakan bahwa kedalaman terumbu karang yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S (sesuai) adalah antara 3 - 20 meter, untuk kelas kesesuaian SB (sesuai bersyarat) adalah 21 - 30 meter, sedangkan apabila kedalaman terumbu karang kurang dari 3 meter dan/atau lebih dari 30 meter maka tidak sesuai untuk ekowisata selam. Konsep ini juga yang kemudian diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Data lapangan menunjukan bahwa terumbu karang yang ada di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berada pada kedalaman 5 - 17 meter sehingga memenuhi kisaran yang dipersyaratkan untuk lokasi minawisata bahari selam.

Disamping kecerahan perairan, kecepatan arus juga sangat menentukan bagi kegiatan wisata selam maupun untuk ekologi terumbu karang. Menurut Jokiel dan Morrissey (1993) pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan distribusi jenis karang pada suatu daerah. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka presentase tutupan karangnya relatif rendah. Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang akan mengganggu proses pemulihan karang. Selain itu kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Yulianda (2007) dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata selam mengemukakan bahwa kecepatan arus yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S (sesuai) adalah antara 0 - 25 cm/detik, untuk kelas kesesuaian SB (sesuai bersyarat) adalah 26 - 50 cm/detik, sedangkan apabila kecepatan arusnya lebih dari 50 cm/detik maka tidak sesuai untuk ekowisata selam. Konsep ini pula yang kemudian diadopsi sebagai salah satu parameter kesesuaian dalam minawisata bahari selam. Hasil pengukuran kecepatan arus pada saat pengambilan data lapangan

(23)

menunjukan bahwa kecepatan arus di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berkisar antara 19 - 33 cm/detik dengan demikian memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, kecuali pada kanal dan mulut kanal yang menghubungkan kedua teluk tersebut kecepatan arusnya berkisar antara 76 - 91 cm/detik.

Data lapangan menunjukan bahwa untuk lingkungan perairan dengan kelas kesesuaian S (sesuai) pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti jenis ikan karang; kecerahan perairan; tutupan komunitas karang; jenis life-form; suhu perairan; salinitas; kedalaman terumbu karang; dan kecepatan arus memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan sebagian dari lokasi perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir yang sesuai bersyarat (SB) akan menjadi tidak sesuai (TS) yaitu tunggang pasut. Dengan tunggang pasut (tidal range) lebih dari 2,5 meter maka pada saat surut sebagian wilayah akan mengalami kekeringan sehingga tidak bisa digunakan untuk kegiatan penyelaman. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak semua kawasan perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir sesuai untuk aktivitas minawisata bahari selam seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 13.

Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan ekosistem terumbu karang serta potensi dan sumberdaya ikan karang di Teluk Un yang dikemas dalam bentuk minawisata bahari selam maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti perahu, spear gun atau alat penangkap ikan lainnya, peralatan selam, dan pemandu selam (buddies).

Perahu digunakan sebagai salah satu sarana untuk mencapai lokasi penyelaman, oleh karena minawisata bahari selam yang akan dikembangkan adalah yang berbasis konservasi, maka jenis perahu yang disarankan adalah yang terbuat dari bahan kayu dan pengoperasiannya adalah dengan cara didayung oleh wisatawan (perahu tidak bermotor) dengan kapasitas muat sekitar 3 - 4 orang. Hal ini selain untuk menambah kenikmatan selama berwisata, juga bertujuan untuk menghindari adanya tumpahan minyak yang dapat mencemari perairan di sekitar lokasi penyelaman apabila menggunakan perahu bermotor. Selain itu agar kelihatan menarik dan artistik, perahu tersebut dapat diberi hiasan dengan

(24)
(25)

corak khas budaya daerah setempat. Selain perahu, peralatan penunjang lainnya adalah spear gun atau alat penangkap ikan lainnya yang akan digunakan oleh wisatawan untuk menangkap ikan pada saat melakukan penyelaman.

Peralatan selam yang akan digunakan dalam aktivitas ini adalah peralatan standar scuba diving yang terdiri dari baju selam, tabung oksigen dan regulator udara, masker, sepatu dayung (fins), timah pemberat, dan beberapa aksesoris tambahan lainnya yang memang dibutuhkan dalam aktivitas tersebut. Sesuai aturan POSSI bahwa setiap melakukan aktivitas penyelaman seorang penyelam (wisatawan) harus didampingi oleh seorang pemandu selam (buddies), hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan pada saat berada didalam laut, seperti panik; kehabisan oksigen; kehilangan arah; dan lain-lain. Pemandu selam yang dipersyaratkan adalah yang telah memiliki lisensi yang dikeluarkan oleh POSSI dan telah mengenal kondisi fisik lingkungan perairan di lokasi penyelaman.

e. Minawisata Bahari Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, oleh karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai Teluk yang dangkal dan daerah pantai yang terlindung, salah satunya seperti yang terdapat di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.

Salah satu bentuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah dengan mengembangkan konsep minawisata bahari yaitu berwisata menikmati ekosistem mangrove dengan semua proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Minawisata bahari mangrove dapat dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir karena selain cocok untuk aktivitas perikanan dan pariwisata terpadu dan berbasis konservasi, teluk ini juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk pendidikan bahari.

(26)

Kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove mempertimbangkan 6 parameter kesesuaian yaitu ketebalan mangrove; kerapatan mangrove; jenis mangrove; jenis biota; tinggi pasut; dan jarak dari kawasan lainnya. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, diperoleh luasan lahan untuk minawisata bahari mangrove seperti ditunjukan pada Tabel 22.

Tabel 22 Hasil analisis kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove

No Kelas Kesesuaian Luasan (ha) Luasan (%)

1. Sesuai (S) - -

2. Sesuai Bersyarat (SB) 29,29 72,39 3. Tidak Sesuai (TS) 11,17 27,61

Total 40,46 100,00

Tabel 22 menunjukan bahwa ekosistem mangrove yang ada di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S (sesuai), namun demikian masih terdapat sebagian ekosistem mangrove yang memenuhi kriteria untuk kelas kesesuaian yang sesuai bersyarat (SB) yaitu sebesar 29,29 ha (72,39%), sedangkan luasan ekosistem mangrove yang tidak sesuai (TS) untuk aktivitas ini adalah sebesar 11,17 ha (27,61%) dari luas ekosistem mangrove yang ada di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir.

Yulianda (2007) dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata mangrove mengemukakan bahwa ketebalan mangrove yang dipersyaratkan untuk kelas S (sesuai) adalah lebih dari 300 meter, untuk kelas kesesuaian SB (sesuai bersyarat) adalah 50 - 300 meter, sedangkan apabila ketebalan mangrovenya kurang dari 50 meter maka tidak sesuai untuk ekowisata mangrove. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa untuk kerapatan mangrove, kisaran yang dipersyaratkan untuk kelas S (sesuai) adalah lebih dari 10 - 25 ind/100 m2, untuk kelas kesesuaian SB (sesuai bersyarat) adalah 5 - 10 ind/100 m2 dan/atau lebih dari 25 ind/100 m2, sedangkan apabila kerapatan mangrovenya kurang dari 5 ind/100 m2 maka tidak sesuai untuk ekowisata mangrove. Konsep ini yang kemudian diadopsi sebagai parameter kesesuaian dalam minawisata bahari mangrove. Hasil penelitian MERDI in DPK (2006a) menunjukan bahwa tingkat kerapatan individu mangrove di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir adalah 1,52 ind/m2 dengan nilai rerata kepadatan per spesies

(27)

0,28 ind/m2. Sedangkan kisaran tingkat kerapatan per spesies berkisar antara 0,13 ind/m2 (Avicenia rumpiana; Xylocarpus granatum) hingga 0,44 ind/m2 (Soneratia alba). Jika nilai dari selisih kisaran kepadatan individu mangrove (0,31 ind/m2

Menurut Bengen (2001), komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran 2 kelompok, yaitu (1) kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas serangga, ular, primata dan burung; dan (2) kelompok fauna perairan/akuatik yang umumnya terdiri atas 2 tipe : (a) yang hidup dikolom, air terutama berbagai jenis ikan dan udang; dan (b) yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove), maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang, dan berbagai jenis invertebrata lainnya. Selanjutnya MERDI in DPK (2006a) menjelaskan bahwa vegetasi pantai di bagian darat ekosistem mangrove di Teluk Un umumnya adalah tumbuhan Nipah (Nypa fruticans), pada bagian Utara vegetasi pantai tersebut tumbuh pohon jenis Ketapang (Terminalia catapa); Waru laut (Hibiscus tiliaceus); Pandan darat (Pandanus tectorius). Terdapat pula Cemara darat (Casuaria equisetifolia), dan berbagai jenis tumbuhan anggrek (Dendrobium sp.) yang mendiami batang dan dahan mangrove. Pepohonan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai jenis burung seperti Kakatua (Cacatua sp.) dan Nuri (Lorius sp.); Kakatua Tanimbar (Cacatua gofini); dan Kakatua (Cacatua galerita eleonora). Pada Pepohonan dengan kanopi yang besar dan lebat, hidup berbagai ), dibandingkan dengan nilai rerata kepadatan Mangrove dilokasi ini maka diketahui bahwa perbedaan nilai kepadatan per spesies mangrove cukup bervariasi.

Selanjutnya dijelaskan juga bahwa pada ujung Utara teluk ini terdapat sumber air tanah yang merembes ke dalam teluk tersebut, substrat lumpur di teluk ini umumnya berasosiasi dengan ekosistem mangrove khususnya dari jenis api-api (Avicennia alba) dan jenis bakau (Rhizophora mucronata), sehingga kandungan lumpur ini umumnya terdiri dari serasah daun mangrove. Di bagian pantai Teluk Vid Bangir terdapat 5 jenis mangrove yakni Aegiceras corniculatum; Rhizophora apiculata; Avicenia rumpiana; Soneratia alba, dan Xylocarpus granatum. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, mangrove dan lamun mendominasi kawasan perairan Teluk Un. Mangrove mengitari keseluruhan teluk sedangkan lamun hampir menutupi 50% dasar perairan teluk tersebut.

(28)

jenis Kuskus antara lain Kuskus coklat biasa (Phalanger orientalis), Kuskus kelabu (Phalanger gymnotis), kuskus totol hitam (Phalanger rufoniger).

Dalam hubungannya dengan jenis biota yang mendiami ekosistem mangrove tersebut, Yulianda (2007) dalam matriks kesesuaian lahan ekowisata mangrove mengemukakan bahwa jenis biota yang dipersyaratkan untuk kelas S (sesuai) antara lain ikan; udang; kepiting; moluska; reptile; dan burung, untuk kelas kesesuaian SB (sesuai bersyarat) antara lain ikan dan moluska, sedangkan apabila hanya terdapat salah satu biota air maka ekosistem mangrove tersebut tidak sesuai untuk dijadikan lokasi ekowisata mangrove. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa bahwa bahwa tinggi pasut yang dipersyaratkan untuk kelas S (sesuai) adalah kurang dari 2 meter, untuk kelas kesesuaian SB (sesuai bersyarat) adalah 2 - 5 meter, sedangkan apabila tinggi pasutnya lebih dari 5 meter maka tidak sesuai untuk ekowisata mangrove. Konsep ini pula yang kemudian diadopsi sebagai parameter kesesuaian dalam minawisata bahari mangrove. Hasil pengukuran tinggi pasut pada saat pengambilan data lapangan menunjukan bahwa tinggi pasut di perairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir berkisar antara 2 - 2,5 meter. Kondisi seperti ini juga sama dengan yang ditemukan oleh Renjaan (2006) in DPK (2006a) yang menjelaskan bahwa tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil umumnya lebih dari 2,5 meter. Sementara menurut BAKOSURTANAL (1992) in DPK (2006a) tunggang pasut maksimum di perairan Kei Kecil berdasarkan pengukuran selama 30 hari di stasiun TNI AL Tual adalah 2,6 meter.

Salah satu parameter yang perlu diperhatikan dalam menentukan lokasi pengembangan minawisata bahari mangrove adalah jarak lokasi pengembangan dari kawasan lainnya seperti sentra pemukiman; perekonomian; aktivitas pemerintahan; dan lain-lain. Idealnya jarak untuk kelas kesesuaian S (sesuai) adalah lebih dari 500 meter. Hal ini untuk menjaga agar kegiatan masyarakat disekitarnya tidak sampai berpengaruh terhadap aktivitas minawisata bahari mangrove yang dikembangkan di lokasi tersebut (Bengen DG 24 Pebruari 2008, komunikasi pribadi).

Data lapangan menunjukan bahwa untuk kelas kesesuaian S (sesuai) pada umumnya parameter biofisik dan oseanografi perairan seperti kerapatan mangrove; jenis mangrove; jenis biota; tinggi pasut, dan jarak dari kawasan

(29)

lainnya memenuhi kisaran yang dipersyaratkan, namun ada faktor pembatas lain yang mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi sesuai bersyarat (SB) dan tidak sesuai (TS) yaitu ketebalan mangrove.

Ketebalan mangrove yang dipersyaratkan untuk minawisata bahari mangrove adalah lebih dari 300 meter, namun hasil interpretasi citra satelit menunjukan bahwa ketebalan ekosistem mangrove di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir tidak ada yang mencapai 300 meter. Ketebalan terbesar hanya sekitar 180 meter, dengan demikian ekosistem mangrove di kawasan ini tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan untuk kelas kesesuaian S (sesuai). Dibagian Barat Teluk Un ketebalan mangrove berkisar antara 100 - 180 meter sehingga masih dapat dikembangkan untuk aktivitas minawisata bahari mangrove walaupun hanya masuk kelas kesesuaian SB (sesuai bersyarat), sedangkan di bagian lainnya ketebalan mangrove berada pada kisaran 50 - 100 meter, bahkan ada juga yang kurang dari 50 meter sehingga tidak sesuai untuk aktivitas minawisata bahari mangrove. Dengan kondisi dan faktor pembatas tersebut maka tidak ada kawasan yang sesuai untuk minawisata bahari mangrove, namun masih ada sebagian yang masuk dalam kategori sesuai bersyarat (SB) seperti yang ditunjukan dalam peta kesesuaian lahan pada Gambar 14.

Untuk dapat menarik minat wisatawan dalam memanfaatkan ekosistem mangrove yang ada di Teluk Un maka perlu disiapkan sarana pendukung lainnya seperti jembatan kayu (trail); anjungan (hut); pondok peristirahatan; menara pengamatan burung; dan pemandu jejak (tracker). Lain halnya dengan para peneliti yang mengeksplorasi ekosistem mangrove dengan tujuan untuk melakukan penelitian, masuknya wisatawan ke dalam areal ekosistem mangrove semata-mata hanya merupakan bagian dari aktivitas selama berwisata. Agar dapat memberikan nilai tambah dalam wisata tersebut, maka dibutuhkan jembatan kayu (trail) sebagai sarana untuk melakukan tracking sehingga dapat meningkatkan minat wisatawan untuk masuk kedalam areal ekosistem mangrove sekaligus dapat mengeksplorasi semua proses alami yang terjadi di dalam ekosistem mangrove.

(30)
(31)

Lebar trail adalah sekitar 2 - 3 meter, sedangkan panjang trail dan rutenya disesuaikan dengan kondisi dan luas ekosistem mangrove yang ada atau disesuaikan dengan kebutuhan. Anjungan adalah sarana tambahan lainnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari trail dan berfungsi sebagai tempat istirahat bagi wisatawan yang melakukan tracking. Luas anjungan adalah sekitar 25 m2 (5 x 5 m) atau disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan letaknya dibuat agak menjorok ke laut sehingga sambil beristirahat wisatawan juga dapat memancing ikan dan menikmati indahnya suasana alam dari atas laut. Agar terlihat artistik dan alami, bentuk anjungan di desain sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan adat budaya setempat.

Sama halnya dengan anjungan, pondok peristirahatan adalah sarana tambahan berikutnya yang dapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung pada saat terjadi hujan atau untuk beristirahat sejenak sambil menikmati bekal makanan yang dibawa oleh wisatawan. Luas bangunan pondok peristirahatan adalah sekitar 36 m2

Trail, anjungan, pondok peristirahatan, dan menara pengamatan burung tersebut diatas sebaiknya dibuat dengan memanfaatkan bahan dari sumberdaya alam yang tersedia di daerah tersebut tetapi konstruksinya harus cukup kuat dan dapat digunakan dalam waktu yang relatif lama. Selain itu, agar wisatawan dapat menikmati suasana alam dalam hutan mangrove dan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan selama melakukan aktivitas minawisata bahari mangrove maka (6 x 6 m) atau disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan letaknya disesuaikan dengan kondisi alam setempat sehingga dapat menjamin keamanan wisatawan. Agar terlihat artistik dan alami, bentuk pondok peristirahatan di desain sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan adat budaya setempat. Menara pengamatan burung juga dibutuhkan untuk melengkapi fasilitas pendukung minawisata bahari mangrove, tinggi menara sebaiknya 2 kali tinggi pohon yang paling tertinggi di lokasi tersebut atau sekitar 10 meter agar wisatawan dapat mengamati pergerakan burung dan menikmati suasa sekitar dari posisi yang cukup tinggi. Biasanya konstruksi menara dibuat dari besi dengan pertimbangan agar cukup kuat dan dapat tahan lama, tapi untuk daerah yang dekat dengan laut, konstruksi menara yang terbuat dari besi tidak efektif karena sifat bahannya yang mudah berkarat.

(32)

dibutuhkan pemandu jejak. Pemandu jejak yang dipersyaratkan adalah yang telah mengenal kondisi fisik lokasi minawisata bahari mangrove, dan memiliki pengetahuan tentang ekosistem mangrove seperti deskripsi jenis-jenis mangrove, zonasi, struktur vegetasi, daur hidup, jenis-jenis adaptasi pohon mangrove, fauna hutan mangrove, fungsi ekologis, pemanfaatan, dan juga dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove. Dengan bekal pengetahuan tersebut pemandu jejak diharapkan dapat menuntun wisatawan untuk mengeksplorasi ekosistem mangrove dan semua proses alami yang terjadi didalamnya sebagai manfaat yang bisa dipetik selama melakukan aktivitas minawisata bahari mangrove.

5.1.2 Tumpang Susun Kesesuaian Pemanfaatan Ruang

Tumpang susun (overlay) kesesuaian pemanfaatan ruang dilakukan untuk mendapatkan luasan lahan untuk kelas sesuai (S) dan sesuai bersyarat (SB). Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan kelima peta kesesuaian lahan minawisata bahari. Hasil overlay kelima peta kesesuaian lahan untuk kelas sesuai (S) seperti ditunjukan pada Tabel 23 sedangkan peta kesesuaian lahannya seperti yang ditunjukan pada Gambar 15.

Tabel 23 Hasil tumpang susun semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai (S)

No Kategori Luasan (ha)

1. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 1.09

2. Minawisata bahari pancing 86.89

3. Minawisata bahari pengumpulan kerang (moluska) 81.00

4. Minawisata bahari pancing dan selam 12.22

5. Minawisata bahari pancing dan pengumpulan kerang

(moluska) 26.24

6. Minawisata bahari pancing dan karamba pembesaran

ikan 31.98

7. Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan,

(33)

Gambar 15 Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai.

(34)

Hasil overlay kelima peta kesesuaian lahan minawisata bahari untuk kelas sesuai bersyarat (SB) seperti ditunjukan pada Tabel 24 sedangkan peta kesesuaian lahannya seperti yang ditunjukan pada Gambar 16.

Tabel 24 Hasil tumpang susun semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai bersyarat (SB)

No Kategori Luasan (ha)

1. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan dan

pengumpulan kerang (moluska) 1.00

2. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan dan

selam 42.51

3. Minawisata bahari pancing dan selam 1.09

4. Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan,

dan selam 14.09

5. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan, selam,

dan pengumpulan kerang (moluska) 44.38

6. Minawisata bahari pancing, karamba pembesaran ikan,

selam, dan pengumpulan kerang (moluska) 23.76

7. Minawisata bahari mangrove 29.29

8. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan 11.22

9. Minawisata bahari pancing 81.00

10. Minawisata bahari selam 31.98

Berdasarkan kedua peta kesesuaian lahan yang ditunjukan pada Gambar 15 dan 16, secara biofisik ternyata masih terdapat tumpang tindih pemanfaatan ruang kawasan Teluk Un dan Vid Bangir diantara berbagai kategori aktivitas minawisata bahari sehingga dibutuhkan analisis lebih lanjut untuk menentukan skala prioritas pemanfaatan ruang tersebut yaitu dengan menggunakan pertimbangan ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Metoda yang digunakan adalah dengan multi criteria decision making (MCDM) dimana untuk analisis data menggunakan simple multi atribute rating technique (SMART).

(35)

Gambar 16 Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari untuk kelas sesuai bersyarat.

(36)

5.1.3 Penentuan Skala Prioritas Pemanfaatan Ruang

Penentuan skala prioritas pemanfaatan ruang untuk berbagai kategori aktivitas minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir dilakukan dengan menggunakan metoda multi criteria decision making (MCDM). Prinsip penilaian dalam MCDM adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu. Selain kesesuaian biofisik yang telah didapatkan melalui hasil analisis kesesuaian lahan, pertimbangan lainnya yang digunakan adalah kesesuaian secara ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan kelembagaan. Dengan metoda MCDM ini diharapkan dapat menghasilkan keputusan yang tepat tentang kategori aktivitas mana dari model pengelolaan minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi yang harus diprioritaskan apabila terjadi tumpah tindih dalam pemanfaatan ruang.

Analisis MCDM dilakukan dengan cara pembobotan dimana bobot dari masing-masing kriteria dan subkriteria diperoleh dari hasil analisis, hasil focus group discussion (FGD) dan hasil kuesioner. Struktur yang dibangun terdiri atas empat tingkatan keputusan yaitu: Tujuan: Kriteria; Subkriteria; dan Alternatif, sebagaimana yang ditunjukan pada Gambar 17.

1) Tujuan

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk kelima kategori aktivitas minawisata bahari berbasis konservasi ternyata ada tumpang tindih pemanfaatan lahan perairan antara satu dengan yang lain khususnya antara minawisata bahari pancing, pengumpulan kerang, karamba pembesaran ikan dan selam, sedangkan terhadap minawisata bahari mangrove tidak ada tumpang tindih pemanfaatan lahan karena sebagian besar aktivitas minawisata bahari mangrove menggunakan lahan darat. Untuk dapat mengakomodir semua kategori aktivitas minawisata bahari tersebut hampir dapat dipastikan akan menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya di antara berbagai pemangku kepentingan. Salah satu cara untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya adalah dengan metoda MCDM. Tujuan yang ingin dicapai adalah menentukan skala prioritas pemanfaatan ruang Teluk Un dan Teluk Vid Bangir untuk model pengelolaan minawisata bahari

(37)

pulau kecil berbasis konservasi, sehingga semua kategori aktivitas minawisata bahari dapat dilakukan secara terencana, terpadu, terarah dan sistematis berdasarkan skala prioritas.

Gambar 17 Struktur hirarki penentuan skala prioritas pemanfaatan ruang.

2) Kriteria

Untuk mencapai tujuan diatas, maka ada empat kriteria yang harus dijadikan bahan pertimbangan yaitu 1) dimensi ekologi; 2) dimensi ekonomi; 3) dimensi sosial budaya; dan 4) dimensi kelembagaan. Hasil pengolahan data dengan Criterium DecisionPlus Version 3.0 menunjukan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai seperti ditunjukan pada Tabel 25.

Tabel 25 Kontribusi masing-masing kriteria terhadap terhadap tujuan yang ingin dicapai

Kriteria Bobot Persentase

Ekologi 0,270 27,0 %

Ekonomi 0,282 28,2 %

Sosial Budaya 0,254 25,4%

Kelembagaan 0,194 19,4 %

Total 1 100 %

(38)

Dari Tabel 25 terlihat bahwa total bobot seluruh kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah 1. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa secara hirarki kriteria yang paling penting dalam upaya mencapai tujuan diatas adalah pertimbangan ekonomi dengan bobot 0,282. Agar aktivitas minawisata bahari yang dikembangkan di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir bisa berkelanjutan maka pertimbangan ekonomi menjadi salah satu faktor yang penting. Secara finansial, biaya investasi untuk mengembangkan suatu unit usaha minawisata bahari tertentu harus dapat dijangkau oleh masyarakat, selain itu juga unit usaha tersebut harus dapat memberikan manfaat ekonomi dan dapat memberikan kontribusi secara langsung terhadap peningkatan pendapatan dan ekonomi masyarakat setempat.

Kriteria yang merupakan urutan kedua adalah pertimbangan ekologi dengan bobot 0,270. Terkadang untuk mendukung berbagai kegiatan pembangunan, sumberdaya alam yang ada dieksploitasi sedemikian rupa sehingga terjadi pemanfaatan berlebih bahkan sampai menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Untuk itu pengembangan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus dilakukan dengan bijaksana dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan serta memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Selain hasil analisis kesesuaian lahan, pengembangan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan daya dukung lahan dan daya dukung kawasan agar pengelolaannya dapat berkelanjutan. Dalam bentuk fisik, jumlah maksimum unit usaha yang ditempatkan diperairan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus sesuai dengan daya dukung lahan, disamping itu juga jumlah pengunjung/wisatawan tidak boleh melampaui daya dukung kawasan sehingga dapat meminimalisir kerusakan lingkungan.

Kriteria yang merupakan urutan ketiga adalah pertimbangan sosial budaya dengan bobot 0,254. Agar dapat berkelanjutan, pengembangan minawisata bahari di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan faktor kebiasaan masyarakat atau budaya masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, dengan demikian maka akan timbul rasa memiliki yang berdampak pada keinginan untuk menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungannya. Disamping itu tenaga kerja yang dibutuhkan akan cukup tersedia karena

(39)

masyarakat sudah terbiasa dengan aktivitas yang akan dikembangkan dan mampu mengatasi masalah yang timbul kemudian dilapangan.

Kriteria yang merupakan urutan terakhir adalah pertimbangan kelembagaan dengan bobot 0,194. Semua bentuk aktivitas yang akan dikembangkan di kawasan Teluk Un dan Teluk Vid Bangir harus mempertimbangkan aspek kelembagaanya baik lembaga pengelola maupun lembaga pengawas dan perlu diatur dalam aturan formal atau aturan adat sehingga keamanan pemilik usaha dan unit usahanya maupun keamanan wisatawan yang datang berkunjung di kawasan tersebut dapat terjamin.

3) Subkriteria

Dari keempat kriteria diatas, selanjutnya diuraikan lagi menjadi sub-subkriteria. Kriteria ekologi terbagi dalam 3 subkr iteria yaitu kesesuaian lahan, daya dukung lahan, dan daya dukung kawasan. Kriteria ekonomi terbagi dalam 3 subkriteria yaitu kemudahan berinvestasi, manfaat ekonomi, dan tingkat pendapatan masyarakat. Kriteria sosial budaya terbagi dalam 2 subkriteria yaitu kebiasaan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan kriteria kelembagaan terbagi dalam 2 subkriteria yaitu aturan pengelolaan dan tingkat keamanan. Hasil pengolahan data dengan Criterium DecisionPlus Version 3.0 menunjukan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing subkriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai seperti ditunjukan pada Tabel 26.

Tabel 26 Kontribusi masing-masing subkriteria terhadap terhadap tujuan yang ingin dicapai

Kriteria Subkriteria Bobot Persentase

(%)

Ekologi Kesesuaian Lahan 0,083 8.3

Daya Dukung Lahan 0,082 8.2

Daya Dukung Kawasan 0,105 10.5

Ekonomi Kemudahan Berinvestasi 0,074 7.4

Manfaat Ekonomi 0,073 7.3

Tingkat Pendapatan Masyarakat 0,135 13.5

Sosial Budaya Kebiasaan Masyarakat 0,124 12.4

Penyerapan Tenaga Kerja 0,130 13.0

Kelembagaan Aturan Pengelolaan 0,104 10.4

Tingkat Keamanan 0,090 9.0

(40)

4) Alternatif

Berdasarkan struktur yang telah dibangun terdapat 4 alternatif kategori aktivitas minawisata bahari pulau kecil berbasis konservasi yang akan dicarikan skala prioritas dalam pemanfaatan ruang kawasan perairan Teluk Un dan Vid Bangir yaitu 1) minawisata bahari pancing, 2) minawisata bahari pengumpulan

kerang (moluska), 3) minawisata bahari karamba pembesaran ikan, dan 4) minawisata bahari selam. Berdasarkan hasil analisis Criterium DecisionPlus

Version 3.0 diketahui prioritas alternatif kategori aktivitas minawisata bahari berbasis konservasi yang akan dikembangkan di Teluk Un dan Teluk Vid Bangir seperti yang ditunjukan pada Tabel 27 dan Gambar 18.

Tabel 27 Skala prioritas alternatif aktivitas berdasarkan kriteria dan subkriteria

No Alternatif Bobot Persentase

(%)

Prioritas

1. Minawisata bahari karamba pembesaran ikan

0,288 28,8 1

2. Minawisata bahari pancing 0,269 26,9 2

3. Minawisata bahari selam 0,249 24,9 3

4. Minawisata bahari pengumpulan kerang (moluska)

0,194 19,4 4

Total 1 100 -

Gambar 18 Diagram batang skala prioritas alternatif aktivitas berdasarkan kriteria dan subkriteria.

Gambar

Gambar 12  Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari  karamba pembesaran                      ikan
Gambar 13  Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari selam.
Gambar 14  Peta kesesuaian lahan untuk minawisata bahari mangrove.
Gambar 15  Peta kesesuaian lahan semua kategori minawisata bahari untuk kelas                       sesuai
+7

Referensi

Dokumen terkait

PPAT diangkat dan diberhentikan oleh BPN, tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran

Salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan di lahan pasang surut untuk budidaya tanaman padi atau jagung adalah pengelolaan air pada jaringan tata air mikro

Pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau dipermukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur keterapungan (buoyancy) pengguna

Siswa memiliki kemampuan mengaplikasikan konsep geometri dan trigonometri dalam masalah kehidupan sehari-hari pada topik:. -

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah jenis penelitian hukum yuridis normatif, dengan terjadinya konflik norma dalam beberapa pasal dalam aturan

Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan judul “ PENGARUH KINERJA DAN KARAKTERISTIK PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KUALITAS INFORMASI DALAM WEBSITE PEMDA (Studi

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam penyelesaian sertifikat tanah waris harus berdasarkan dengan Pasal 111 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya interaksi antara lama fermentasi dan lama pengukusan terhadap kadar serat kasar tepung ubijalar yang dihasilkan,