• Tidak ada hasil yang ditemukan

01. Pengantar: Konteks Kemunculan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "01. Pengantar: Konteks Kemunculan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

01. Pengantar: Konteks Kemunculan

KEMUNCULAN KEPRIHATINAN SOSIAL GEREJA

Ensiklik Paus Fransiskus yang terbaru berjudul Laudato si‘ (24 Mei 2015) mengungkapkan keprihatinan Paus atas persoalan lingkungan hidup yang semakin rusak. Dalam ensiklik tersebut, Paus memaparkan analisa mengenai mengapa kerusakan alam terus berlangsung, dan bahkan menjadi semakin parah. Salah satu tanggapan di forum internasional terhadap ensiklik Paus ini cenderung skeptik dan negatif: “Paus tidak perlu campur tangan dalam persoalan lingkungan hidup!“ Kita tahu, persoalan lingkungan hidup telah menjadi isu politis yang ditunggangi kepentingan ekonomis. Di balik persoalan ekologis, ada kelompok kepentingan (interest groups) yang “bermain“, misalnya perusahaan-perusahaan multinasional. Mereka ini berpendapat bahwa persoalan ini bukanlah “wilayah“ urusan Paus. Paus tidak punya kompetensi dalam isu seperti ini, pikir mereka. Di dalam lingkup Gereja Katolik, entah secara lokal, nasional, maupun internasional, persoalan lingkungan hidup adalah salah satu dari sekian banyak isu sosial yang mendapat perhatian sejak lama. Selain krisis ekologis, dibicarakan mengenai persoalan kemiskinan, ketidakadilan, demokrasi, bahkan narkoba (bdk. Surat Gembala atau Nota Pastoral dari KWI 2013). Singkatnya, persoalan kemasyarakatan (khususnya di Indonesia) telah menjadi bagian dari pergulatan iman (orang Katolik di Indonesia). Orang beriman bertanya mengenai tatanan hidup bersama dalam suatu masyarakat. Maka kita mengenal apa yang biasa disebut “Ajaran Sosial Gereja“ (ASG). Tapi kapan sebetulnya isu-isu sosial atau pertanyaan mengenai “a good societal life“ muncul dalam ajaran resmi Gereja? Bagaimana ceritanya, sehingga Gereja mengarahkan perhatiannya pada isu-isu sosial?

Sebelum Paus Leo XIII menulis ensiklik Rerum novarum (RN) pada tahun 1891, di dalam ajaran resmi terdapat sedikit sekali gagasan yang bisa diidentifikasi sebagai pemikiran-pemikiran sosial/mengenai masyarakat; bahkan praktis tidak ada yang namanya “ajaran sosial“ (social

doctrine/social teaching). Struktur politik dipandang sebagai sesuatu yang diterima begitu saja. Situasi

sosial dan ekonomi di mana suatu masyarakat hidup jarang sekali dilihat sebagai keprihatinan dan kepedulian para pemimpin Gereja. Namun di lingkup orang Katolik, sudah lama berkembang gagasan-gagasan mengenai persoalan-persoalan sosial (social thoughts). Apa yang kini kita sebut sebagai ASG itu muncul dari suatu kemendesakan pastoral yang dialami Gereja di Eropa pada abad ke-19. Kelompok masyarakat pekerja (buruh) meningkat secara kuantitatif akibat revolusi industri. Namun kualitas hidup mereka terpuruk lantaran kondisi hidup dan pekerjaan yang jauh dari memadai (jam kerja lama, gaji rendah, rumah sempit, kurang gizi, dst.). Penderitaan para pekerja menuntut pertolongan.

Masyarakat Eropa pada abad ke-19 telah mewarisi salah satu keutamaan kristiani, yakni mempraktekkan cintakasih. Tapi rupanya cara mewujudkan cintakasih di abad ini tidak lagi cocok dengan masalah zamannya. Sejak dulu memang sudah ada kemiskinan, dan orang-orang kristiani yang baik telah berusaha menjalankan nasihat Injil: ”Ketika Aku lapar, engkau memberi Aku makan…” (Mat 25:31dst). Namun kali ini (dengan revolusi industri, kapitalisme modern, dan liberalisme ekonomi), kemiskinan yang merebak sudah lain sekali jenisnya dari kemiskinan di zaman sebelumnya. Kemiskinan dan penderitaan ini bersifat kolektif. Di sinilah muncul kesadaran bahwa pertolongan yang dapat diusahakan orang beriman tidak dapat hanya menjangkau pribadi per pribadi dari kelompok pekerja itu. Bentuk bantuannya pun disadari tidak cukup hanya dengan sumbangan

(2)

2

karitatif kepada pribadi per pribadi. Tindakan karitatif individual, betatapun indahnya, tidak lagi akan mampu mengobati penyakit yang diderita. Penderitaan kelas pekerja menjadikan orang beriman sadar: Memang ketidakadilan sosial dalam pengertian etis ada sungguh-sungguh; kemiskinan yang tidak disebabkan oleh kesalahan pribadi (misalnya karena kemalasan), melainkan oleh struktur-struktur yang ada di masyarakat. Struktur-struktur-struktur tersebut dapat “digunakan” untuk menindas suatu kelompok tertentu dalam masyarakat. Akhirnya disadari bahwa anjuran-anjuran maupun perintah-perintah moral (yang tradisional) tidak lagi memadai untuk memberikan orientasi etis bagi orang beriman di dalam urusan ekonomi atau urusan kemasyarakatan yang lain. Akhirnya ajaran sosial berkembang untuk menanamkan kesadaran pada diri orang beriman akan tanggungajawabnya dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan.

Pada tahun 1891, untuk menanggapi persoalan eksploitasi yang dialami oleh para pekerja industri, Paus Leo XIII menyerukan perubahan-perubahan besar dalam tatanan sosio-ekonomi. Ini adalah seruan untuk keadilan dalam tata ekonomi. Secara keras Paus mengusulkan intervensi terhadap suatu sistem yang telah mengizinkan sejumlah kecil orang kaya dapat meletakkan beban kerja berat atas sejumlah besar massa orang miskin (pekerja/buruh). Sedikit banyak pada zaman itu kekuasaan politik dipandang sebagai kekuasaan yang diberikan oleh Allah (divine rights of the kings). Dalam situasi seperti ini, perubahan masyarakat yang mengarah kepada keadilan dan kesejahteraan bersama sulit diwujudkan.

Memang Paus Leo XIII tidak mampu memberikan jawaban yang lengkap dan koheren atas semua persoalan yang timbul akibat revolusi industri. Namun setidaknya, ia telah mengawali suatu proses dalam Gereja, di mana orang beriman memikirkan pertanyaan: bagaimana membentuk suatu peradaban/masyarakat “yang baik“. Sejak RN, paus-paus menerbitkan ensiklik-ensiklik dalam rangka menanggapi isu-isu sosial dengan kacamata Injil. Berikut daftarnya:

Leo XIII 1891 Rerum novarum Mengenai masalah kaum buruh

Pius XI 1931 Quadragesimo anno Mengenai pembaruan masyarakat, ulangtahun RN ke-40 Yohanes XXIII 1961 Mater et magistra Mengenai perkembangan sosial dan pembangunan masyarakat

dalam terang iman kristiani

1963 Pacem in terris Mengenai perdamaian antara bangsa-bangsa dalam kebenaran, keadilan, kasih dan kemerdekaan

Paulus VI 1967 Populorum progressio Mengenai perkembangan bangsa-bangsa 1971 Octogesima adveniens Peringatan ulangtahun RN ke-80 Yoh. Paulus II 1981 Laborem exercens Mengenai kerja manusia

1987 Sollicitudo rei socialis Peringatan ulangtahun PP ke-20 1991 Centesimus annus Peringatan ulangtahun RN ke-100

Benediktus XVI 2009 Caritas in veritate Mengenai kemajuan global dan proses menuju terwujudnya

common good

Fransiskus 2015 Laudato si‘ Mengenai kepedulian merawat bumi sebagai ”rumah bersama”

Selain tertuang dalam ensiklik-ensiklik sosial para paus ini, ajaran Gereja mengenai persoalan-persoalan kemasyarakatan dirumuskan dalam aneka dokumen, baik yang diterbitkan oleh paus, atau yang merupakan hasil dari Konsili Vatikan II, juga yang dihasilkan oleh federasi konferensi waligereja tertentu. Jadi, memang istilah ”Ajaran Sosial Gereja” mengacu pada dokumen yang dikeluarkan oleh hirarki Gereja Katolik. Namun sebetulnya tidak ada ajaran sosial yang dibakukan (kanon) karena ajaran sosial Katolik mencakup lebih luas daripada ensiklik-ensiklik itu (namun belum

(3)

3

tentu suatu ensiklik merupakan ensiklik sosial). Maka pentinglah mengetahui pula ajaran sosial gereja pada Gaudium et spes (KV II, 1965), Deklarasi Medellín (hasil konferensi para uskup Amerika Latin di dalam sidang umum mereka yang kedua di tahun 1968), Evangelii nuntiandi (anjuran apostolis Paus Paulus VI mengenai evangelisasi) atau yang cukup baru: Evangelii gaudium (anjuran apostolis Paus Fransiskus). Kendati tidak dikenal luas oleh dunia, Gereja Indonesia juga pernah menerbitkan dokumen-dokumen yang bicara mengenai isu-isu sosial. Di sini dapat disebut misalnya Nota Pastoral 2003, 2004, dan 2005 (ketiganya bicara mengenai keadilan sosial dari perspektif politik, budaya, dan ekonomi) atau Nota Pastoral 2013 mengenai keutuhan ciptaan, dan Nota Pastoral 2014 yang mengangkat persoalan sosial penyalahgunaan narkoba.

KETERLIBATAN GEREJA DI SANA DAN DI SINI

Rerum novarum bolehlah disebut sebagai tonggak keterlibatan sosial, namun sama sekali bukan

awalan. Sebab, gerakan sosial di antara orang-orang Katolik sudah mulai sebelum Paus Leo XIII menerbitkan RN. Saat itu Gereja berhadapan dengan negara modern/masyarakat sekulir. Karena industrialisasi, kelas pekerja menjadi semakin banyak. Penemuan mesin uap memungkinkan barang-barang diproduksi secara massal. Banyak orang Katolik yang adalah buruh baru pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan. Dengan perpindahan orang ke kota (urbanisasi), mulailah sistem ekonomi pasar. Sayangnya saat itu belum ada undang-undang mengenai upah minimal, pembatasan jam kerja, hak untuk berorganisasi, perlindungan kerja, apalagi asuransi. Sementara itu, di banyak tempat –khususnya Inggris yang amat terkena dampak Revolusi Industri– berkembanglah daerah-daerah kumum (slums) yang menjadi tempat tinggal kaum pekerja dan keluarganya.i

Di lingkup intelektual, beredarlah gagasan dan pendekatan yang saling bertabrakan. Sebagian orang Katolik sering memandang kapitalisme ekonomi yang memandang manusia (para pekerja) hanya sebagai faktor produksi, merupakan ekses dari Pencerahan (Enlightenment). Liberalisme ekonomi seakan menghalalkan cara untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya (misalnya dengan menekan ongkos tenaga kerja). Di sisi lain, ada sebagian orang Katolik yang membangkitkan gagasan nostalgia dan romantisme dari zaman Abad Pertengahan. Zaman Medieval dipandang sebagai zaman keemasan hidup manusia dan puncak cita-cita Kristen: semua orang Kristen sebagai pribadi sosial bersatu pada dalam suatu masyarakat organis. Para raja dan penguasa menjalankan kewajiban mereka kepada Allah dan kepada Hukum Kodrat: mereka pembela orang miskin, yatim-piatu, dan janda. Namun akibat Reformasi (Luther) dan Enlightenment, tatanan dunia itu menjadi berubah secara signifikan. Di lain pihak, ada tanggapan lain terhadap kemiskinan dan penderitaan para buruh: sosialisme. Karl Marx (1818-1883) mencita-citakan suatu masyarakat tanpa kelas. Unsur materialisme dan corak revolusioner (plus anti-iman) dari gagasan Marx ini ditolak orang-orang Katolik. Cita-cita Pencerahan dan sosialisme adalah dua kutub yang saling bertentangan. Sedangkan pendekatan Katolik berusaha mencari jalan tengah.

Namun bagaimanapun juga sosialisme telah merangsang timbulnya gerakan sosial katolik. Dan tentu saja gerakan ini menimbulkan kecurigaan dari kalangan orang Katolik sendiri. Namun demikian, gaung pergerakan ini tetap memberi dampak tersendiri. Frédéric Ozanam (1813-1853; telah diangkat menjadi beato oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 22 Agustus 1997) misalnya, mendirikan Serikat Santo Vincentius (SSV) pada tahun 1833. Gerakan ini berhasil mengusulkan persetujuan untuk mogok (bagi para buruh). Inilah permulaan sederhana dari gerakan sosial Katolik modern. Perlu diketahui, gerakan Ozanam ini muncul di Prancis yang belum lama tercabik-cabik oleh Revolusi Prancis (1789) yang mengakibatkan antiklerikalisme dan sekularisasi. Sekularisasi juga

(4)

4

melanda wilayah Eropa yang lain, misalnya di Jerman, di bawah Otto von Bismarck. Gereja mau tidak mau menghadapi kesulitan ketika mau “ikut bicara“ mengenai persoalan sosial. Mereka yang anti-Gereja/klerus berpendapat bahwa usaha untuk menganalisis dan membedah persoalan sosial bukan domain Gereja.

Bagaimana dengan di kepulauan “Indonesia“?

Mula permulaan abad ke-19 kepulauan Hindia-Belanda/Timur (East Indies) berada secara resmi di bawah Kerajaan Belanda (sebelumnya di bawah kongsi dagang VOC yang gulung tikar pada tanggal 31 Desember 1799). Seorang gubernur jenderal, Johannes van den Bosch diangkat menjadi wakil ratu Belanda di Hindia-Timur. Kerajaan Belanda mengambil alih seluruh aset VOC sekaligus hutang-hutang yang cukup besar. Masih ditambah dengan perlawanan-perlawanan penduduk pribumi, terutama karena Perang Diponegoro (1825-1830), Kerajaan Belanda harus mengeluarkan uang amat banyak sehingga bagi Van den Bosch yang menjadi gubernur jenderal dari 1829-1834, kebijakan ekonomi adalah prioritas. Di sinilah dimulai kebijakan “tanam paksa“ (cultuurstelsel). Bagi Kerajaan Belanda, kepulauan Hindia-Timur ini adalah aset penting yang menyediakan bahan baku mentah bagi industrinya sekaligus tenaga kerja murah meriah. Di tahun 1834, Hindia Belanda telah menghasilkan keuntungan amat besar, sekitar 10 juta gulden. Sebelumnya, hutang yang ditanggung sejumlah 175 juta gulden.

Kebijakan cultuurstelsel di Pulau Jawa pada zaman itu semakin memperjelas struktur kelas, suatu “kasta sosial“ berdasarkan warna kulit. Setelah kebijakan Van den Bosch, berkembanglah firma-firma perorangan yang membuka perkebunan-perkebunan, khususnya di Sumatera dan Jawa. Di kasta teratas terdapat orang-orang Belanda yang bekerja sebagai pegawai pada lembaga administrasi kolonial, atau para pemilik perkebunan. Di bawahnya terdapat orang-orang Tionghoa atau orang Eropa yang lain. Mereka ini bekerja sebagai pedagang atau mandor di perkebunan. Sedangkan di strata paling bawah terdapat orang-orang pribumi yang bekerja sebagai kuli, pembantu rumah tangga, petani kecil (dkl. tenaga kerja murah). Orang-orang ningrat dan aristokrat tergolong berstatus sosial tinggi. Pada tahun 1870, kaum ekonomi liberal telah berhasil mengubah peta perekonomian di Hindia Belanda.

Pada akhir abad ke-19, kelompok Katolik di Negeri Belanda pelan-pelan mempunyai pengaruh kuat. Mereka lalu mengusulkan nilai-nilai kristiani ke dalam agenda dan kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda. Pengaruh mereka ini nantinya menghasilkan kebijakan baru yang disebut “Politik Etis“, yang gagasan awalnya muncul berkat tulisan Ch. Van Deventer yang berjudul “Hutang Budi“. Tujuan dari politik ini adalah perbaikan kualitas hidup orang-orang pribumi dengan mengupayakan sarana kesehatan dan pendidikan, serta melibatkan mereka dalam pengambilan kebijakan. Dalam situasi zaman semacam ini, Rm. Frans van Lith SJ (1863-1926) datang ke Jawa sebagai misionaris. Dalam kisah mengenai upayanya mendirikan sekolah bagi orang Jawa, kita akan menemukan usaha mengangkat martabat manusia (pribumi) yang dikaburkan oleh struktur masyarakat hirarkis. Selama struktur sosial semacam ini berlangsung, selalu ada kelompok tertindas. Masyarakat Jawa sendiri sudah diwarnai kuat oleh suasana hirarkis. Dengan pelaksanaan “Politik Etis“, orang Jawa tidak hanya dibelenggu oleh hirarki sosial, melainkan juga oleh mentalitas paternalisme. Pemerintah Kolonial memandang dirinya sebagai seorang bapak yang harus mendidik dan mengatur (mendisiplinkan) anak-anaknya, yakni rakyat negeri jajahannya (perselisihan antara Rm. Van Lith dan rekan se-ordonya, Rm. Hoevenaars SJ, sedikit banyak menampilkan suasana zaman ini). Upaya misi Rm. Van Lith pada zaman itu menunjukkan betapa sejarah misi di Tanah Jawa amat berkaitan erat dengan persoalan-persoalan sosial. Gerak ini nantinya diteruskan oleh Rm. Prennthaler SJ di Kalibawang, Kulon Progo.

(5)

5

Masih dalam periode yang sama dengan Rm. Van Lith, di sebelah selatan kota Yogyakarta konon ada kisah mengenai upaya penerapan ASG dalam pabrik gula di Gondanglipura yang dimiliki oleh Schmutzer bersaudara (yang juga mendirikan Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran).ii

REFLEKSI:BAGAIMANA GEREJA BER-TEOLOGI MORAL SOSIAL?

Ungkapan “terlibat (dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan”) tampaknya sudah jamak diucapkan oleh banyak orang kristiani, terutama Katolik. Namun tidak bisa dipungkiri, banyak orang (termasuk orang Katolik juga) yang mempertanyakan keterlibatan itu. “Gereja Katolik toh bukan partai politik atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).” demikian alasan yang dimunculkan oleh mereka. Ini pula alasan mereka yang mengkritik Paus dengan Laudato si’-nya: “Sudahlah, Gereja dan Paus tak perlu ikut campur urusan duniawi ini…” Beberapa pihak menilai bahwa Paus Fransiskus terlalu memandang negatif pada ekonomi pasar bebas.iii Kendati pendapat-pendapat Paus memunculkan pertanyaan di kalangan para ahli, namun Laudato si‘ merupakan wujud kesaksian iman (witness), dan bukan pernyataan politis. Ensiklik sosial dan dokumen-dokumen ASG lainnya tidak dimaksudkan sebagai analisa ilmiah yang komprehensif, melainkan untuk menegaskan iman Kristiani. Lantas, di mana sebetulnya letak “wewenang“ Gereja untuk bicara mengenai persoalan-persoalan sosial? Untuk menjawab hal ini, mari kita merefleksikan sejarah kemunculan pemikiran-pemikiran sosial di atas.

Pertama, pada masa itu (Eropa di abad ke-19) terjadi perubahan dalam eklesiologi. Gereja yang

awalnya merupakan bagian dari institusi feodal berhadapan dengan monarki modern (cikal bakal negara modern) dengan otoritas yang kurang lebih tersentralistis. Feodalisme bergeser ke pinggir, digantikan oleh kapitalisme. Paham ekonomi mengubah wajah masyarakat yang memunculkan persoalan-persoalan sosial baru. Di dalam pergumulan sosial seperti ini, Injil diwartakan dalam keterlibatan yang sosial (lih. Contoh gerakan Ozanam).

Kedua, Revolusi Prancis menandai berakhirnya sistem feodalisme di Eropa. Moment tersebut menjadi

bukti bahwa ternyata orang mampu mengubah masyarakat dengan cara menciptakan lembaga-lembaga politik, ekonomi, dan sosial. Dengan melihat Revolusi Prancis dan Revolusi Indrustri, orang menjadi sadar akan persoalan-persoalan sosial. Kesadaran sosial berubah seiring dengan terjadinya perubahan sosial.

Ketiga, orang (Kristiani) menjadi sadar bahwa perubahan masyarakat dan segala strukturnya tidak

dapat terjadi tanpa perubahan “dari dalam”. Maksudnya, tanpa upaya orang Kristiani membarui kehidupan menggereja, tak dapat diharapkan adanya perubahan dalam masyarakat luas.

Dalam kuliah kita yang berjudul “Teologi Moral Sosial”, kita akan mempelajari “ajaran sosial Gereja” yang terumuskan dalam ensiklik-ensiklik para paus dan dokumen-dokumen yang lain. Kita akan belajar, bagaimana kita menemukan “nilai-nilai” –entah lokal atau universal– yang mampu membangkitkan aktivitas sosial itu.

Jadi, ada empat pokok bahasan dalam setiap pembahasan dokumen: • pemikiran dan pendirian yang dipegang oleh Gereja • konteks historis penulisan

• pendalaman tematik

(6)

6

i Hidup di zaman Revolusi Indrustri misalnya digambarkan demikian:

https://www.youtube.com/watch?v=tkrvm9DEin8.

ii Kisah singkatnya dapat dibaca pada: K. Steenbrink, Catholics in Indonesia 1808-1942 (Leiden: KITLV, 2007),

395-397.

iii Lih. misalnya Samuel Gregg, “Laudato Si’: Well Intentioned, Economically Flawed”, The American Spectators,

Referensi

Dokumen terkait

Pada awalnya dibuat model diesel engine dengan bahan bakar solar lalu dirunning, jika hasil running sudah sesuai dengan spek mesin aslinya baru dilakukan perubahan bahan bakarnya

Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak konsumen yang mengonsumsi buah lokal, baik itu karena jenisnya lebih banyak maupun selera konsumen yang lebih menyukai rasa

Seharusnya distribusi buku harus sudah selesai sebelum tahun ajaran 2014-2015 dimulai, namun dalam pelaksanaannya mengalami kendala sehingga menjadi permasalahan

Pirous (2003:162) mengatakan bahwa kajian konsep penciptaan sangat jarang dilakukan padahal sangat penting dalam membukakan prospek pemikiran baru bagi ilmu pengetahuan

memerlukan suatu alat yang dianggap suci dalam bentuk simbol yang didiyakini memiliki kekuatan gaib dan dapat mempersatukan mereka yang disebut Totem (lambang kelompok ).

Faktor yang punya pengaruh besar adalah besarnya penjualan kredit yang mana faktor ini dipengaruhi oleh potongan penjualan dan jangka waktu kredit yang merupakan

2) Konfigurasi kontr asi kontrol ol infer inferensial: ensial: mengg menggunakan penguk unakan pengukuran uran sekunder sekunder unt untuk uk control controlled