• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kultur Mikrospora

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kultur Mikrospora"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Subpokok Bahasan 2 : FAKTOR FA KTOR YANG MEMPENGARUHI INDUKSI EMBRIOGENESIS MIKROSPORA

Pendahuluan

Para peneliti telah membuktikan bahwa embryogenesis dan tanaman regenerasi dapat diperoleh dari kultur mikrospora. Induksi pembelahan sporofitik pada mikrospora bukanlah sebagai akibat dari isolasi organ dan penggunaan zat pengatur tumbuh semata, tetapi memerlukan praperlakuan khusus pada tanaman donor, kuncup bunga, anther atau mikrospora. Diketahui bahwa praperlakuan stress berfungsi sebagai pemicu untuk induksi perkembangan sporofitik dan menghambat perkembangan gametofit pada pollen. Stress secara fisiologis dapat menginduksi pembentukan/produksi suatu set protein yang sama sekali baru, protein ini berperan penting pada metabolisme sel. Pada tembakau, karbohidrat dan nitrogen starvation yang diperlakukan pada biselular pollen dapat menginduksi pembentukan pollen yang embryogenik, dimana setelah dipindah pada medium sederhana yang mengandung sukrosa dan nitrogen, membelah secara berulang-ulang dan menghasilkan embryo. Heat shock treatment kurang effektif pada stadium biselular polen, embryogenesis dapat diinduksi pada stadium yang lebih awal yaitu uniselular. Kombinasi starvation dan heat shock stress dapat menginduksi embryogenesis pada hampir semua mikrospora yang hidup pada tembakau dan gandum. Mikrospora yang diisolasi pada stadium yang sama bila dikulturkan pada kondisi tanpa stress akan berkembang menjadi pollen yang fertil. Pada Brassica napus, heat shock treatment pada 32°C selama 8 jam mampu menginduksi embryogenesis sampai 40% dari mikrospora yang diisolasi dan dikulturkan pada medium sederhana tanpa zat pengatur tumbuh. Pada suhu 18°C, mikrospora melanjutkan perkembangan normal gametofitiknya dan menghasilkan pollen yang masak.

Materi Subpokok Bahasan 2

Faktor-faktor ekstra dan intraselular sangat berpengaruh pada induksi mikrospora embryogenesis. Beberapa parameter penting yang harus dipertimbangkan untuk mengoptimasi efisiensi induksi adalah: kondisi fisiologis dari tanaman donor, stadium perkembangan pollen, metoda isolasi, stress pretreatment dan medium kultur.

(2)

Tanaman donor 

Kualitas tanaman donor sangat berpengaruh pada kultur mikrospora. Kemampuan mikrospora untuk membelah secara sporofitik dan menghasilkan tanaman regenerasi sangatlah bervariasi didalam suatu varietas, disebabkan karena faktor lingkungan dimana tanaman donor tumbuh. Faktor lingkungan yang mempengaruhi vigor dari tanaman donor termasuk fotoperiodisitas, intensitas sinar, temperatur dan nutrisi.

Telah diketahui bahwa pollen yang kompeten untuk membelah secara sporofitik, secara alami sebenarnya telah ada didalam anther, pollen tersebut berbeda ukuran dan sifat pengecatannya, kultur dari anther selanjutnya memberikan lingkungan yang dapat memacu eksoresi dari pollen yang secara alami kompeten untuk membelah secara sporofitik tersebut menjadi embryo.  Adanya variasi pollen yang berbeda dari populasi pollen yang normal disebut pollen dimorphism. Kondisi yang memungkinkan pembentukan dimorphic pollen pada tanaman dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan tanaman donor, dengan kata lain tanaman donor dapat diberi perlakuan stress untuk menginduksi embryogenesis. Pada tembakau fotoperiodik dan temperatur berperan dalam evolusi dari pollen yang kompeten pada embryogenesis. Tanaman yang dijumbuhkan pada hari pendek (8 jam periode terang) pada temperatur rendah (18°C) mengliasilkan daun-daun yang jumlahnya lebih sedikit dengan ukuran yang lebih kecil sampai periode berbunga, anthernya lebih kecil dan mengandung banyak pollen yang mempunyai potensi embryogenic yang sangat besar (p-grain). Embryoid akan dihasilkan dalam jumlah sangat besar jika anther atau pollen yang ada didalamnya diisolasi dan dikulturkan. Faktor lingkungan lain (edafik) yang dapat meningkatkan frekuensi embryogenik pollen (p-grain) adalah nitrogen starvation.

Growth substances yang diketahui dapat mengurangi fertilitas jantan, seperti auxin dan anti-gibberellin jika di semprotkan pada tananan dapat meningkatkan pollen yang embryogenik pada tembakau dan kentang. Pada gandum, penyemprotan dengan ethylene releasing agent ethrel juga meningkatkan frekuensi pollen yang embryogenik. Pada padi, penyemprotan ethrel meningkatkan pembentukan tanaman haploid pada kultur anther. Gametocide juga telah digunakan untuk meningkatkan pembentukan tanaman haploid pada kultur anther. Gametocide mi sebelumnya dikembangkan untuk

(3)

menghambat perkembangan gametofit jantan yaitu untuk menghambat self-pollination pada produksi biji hibrida. Jika gametocide ini disemprotkan pada gandum dapat meningkatkan produksi tanaman haploid pada kultur anther.

Stadium perkembangan pollen

Stadium perkembangan pollen didalam anther pada saat dikulturkan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalarn menginduksi pembelahan sporofitik. Stadium ini bervariasi pada setiap jenis tanaman, biasanya diantara haploid mitosis yang pertama(late unicelular atau early bicellular) diketahui merupakan stadium yang sangat kritis untuk induksi androgenesis. Sunderland dan Wick (1971) menunjukkan bahwa pada tembakau, anther dapat dikulturkan pada stadium perkembangan apa saja mulai dari tetrade sampai late bisellular pollen, tetapi jumlah embryoid terbanyak diperoleh jika digunakan anther yang mengandung pollen yang telah menyelesaikan mitosis yang pertama. Pada Brassica napus atau rapeseed, stadium late unicelular atau early bicellular adalah yang paling kompeten untuk pembentukan tanaman, sedangkan pada barley stadium mid-late sampai late unicelular adalah yang optimal. Pada gandum dan padi stadium late unicelular sampai premitosis adalah yang optimal untuk percobaan-percobaan kultur mikrospora.

Dengan kemajuan teknologi kultur mikrospora, batasan stadium perkembangan mikrospora menjadi kurang penting. Percobaan-percobaan yang dilakukan Touraev et al. (1977) menunjukkan bahwa pada kultur mikrospora tembakau yang populasinya terdiri dari mikrospora yang stadiumnya sangat heterogen, mulai dari mikrospora yang unicellular sampai early bicellular dapat diinduksi menjadi embryogenik. Binarova et al., (1997) menunjukkan bahwa pada Brassica napus stadium late bicellular pollen juga dapat diinduksi menjadi embryogenik.

Membahas stadium perkembangan pollen tidak dapat lepas dari siklus sel. Dediferensiasi sel tanaman dapat didefinisikan sebagai reinisiasi dari pembelahan sel. Perkembangan normal pollen dicirikan dengan peristiwa-peristiwa siklus sel yang dikendalikan secara ketat. Setelah pembelahan asymmetris yang pertama dari mikrospora, sel generative dengan cepat mengalami replikasi DNA dan tertahan pada fase G2 dari siklus sel. Sementara

(4)

itu sel vegetative tertahan pada fase G1 dari siklus sel (Zarsky et al., 1992). Tergantung dari jenis tanaman, sel generative membelah lagi, baik selama perkembangan pollen (seperti pada kebanyakan nimput-rumputan) atau setelah berkecambah, didalam buluh kecambah (seperti pada tembakau). Kemampuan dari mikrospora atau bicellular pollen untuk masuk siklus sel yang baru selama stres pretreatment atau setelah dibebaskan dari stres merupakan salah satu aspek yang sangat penting didalam mikrospora embryogenesis. Mikrospora pada tembakau yang diisolasi pada fase G1 mengalami replikasi DNA selama induksi stres (starvation dan heat shock) treatment, kemudian berhenti dan tertahan pada fase G2. Hanya setelah dibebaskan dari stres (dipindah ke medium yang diperkaya pada temperatur kamar) siklus sel dapat dilanjutkan, yaitu mitosis. Mikrospora yang diisolasi pada fase G2 mengalami mitosis selama stres pretreatment. Sel generative langsung masuk siklus sel baru kemudian berhenti dan tertahan pada fase G2, sedangkan sel vegetative tidak masuk replikasi DNA (Touraev et al., 1997). Penelitian yang dilakukan Zarsky et al. (1992) pada pollen tembakau yang bicellular menunjukan, sel vegetative mengalami replikasi DNA selama stres pretreatment (nitrogen/carbohydrate starvation) dan tertahan lagi pada fase G2. Sel generative tidak terpengaruh oleh stres pretreatment dan tetap tertahan pada fase G2 setelah dipindah ke medium yang diperkaya, atau dengan kata lain sel generativ tidak memberikan kontribusi pada pembentukan embryo pada tembakau.

Stres pretreatment

 Agar supaya program genetik pada mikrospora dapat diubah dari perkembangan gametofitik kearah perkembangan sporofitik diperlukan suatu sinyal. Sinyal ini dapat diberikan dengan berbagai cara meldui stres pada mikrospora. Berbagai stres pretreatment terbukti telah berhasil menginduksi mikrospora menjadi embryogenik dengan frekuensi yang cukup tinggi, antara lain: cold shock pada jagung, gandum, barley, padi dan masih banyak spesies yang lain; heat shock pada Brassica, gandum dan tembakau; carbohydrate dan nitrogen starvation pada tembakau, gandum, padi dan barley dan colchicine pretreatment pada Brassica. Beberapa stres yang lain seperti ethanol dan irradiasi sinar gamma pada Brassica, stres air, kondisi aerobik , dan atmosfer  jenuli air pada tembakau, tidak dapat diaplikasika n secara meluas.

(5)

Stres pretreatment ini dapat diaplikasikan pada tanaman donor, kuncup bunga atau spike, anther atau secara langsung pada mikrospora yang sudah diisolasi. Peranan dari trauma fisik atau termal atau khemis dalam memicu androgenesis masih menjadi spekulasi dan belum diketahui secara pasti. Bukti-bukti yang terkumpul menunjukkan peranan dari sitoskeleton pada pengaturan posisi inti sel yang mendahului terjadinya pembelahan mitosis yang pertama, dan keterlibatannya pada pollen embryogenesis. Zhao et al. (1996) menguji pengaruh colchicine pada anther dan mikrospora embryogenesis pada Brassica napus. Dari hasil penelitiannya didapatkankan bahwa agensia antimikrotubul ini dapat meningkatkan frekuensi induksi embryogenesis pada kultur anther dan mikrospora dengan meningkatkan jumlah sel-sel yang membelah symmetris. Mereka menyimpulkan bahwa colchicine bekerja dengan cara menghambat penyusunan mikrotubul, mikrospora yang diperlakukan dengan colchicine, sebelum pembelahan mitosis yang pertama, akan menekan penyusunan mikrotubul yang diperlukan untuk menempatkan inti sel pada posisinya diperiferi unruk membelah secara asymmetris. Penelitian yang terbaru dari Zhao (1996) menunjukkan bahwa colchicine sendiri dapat memicu pollen embryogenesis pada Brassica napus yang dikulturkan pada non-induktif temperatur (mikrospora pada Brassica dapat diinduksi menjadi embryogenik dengan mengkulturkan pada temperatur 33°C) menunjukkan bahwa stimulus heat shock mungkin beraksi pada tingkatan sitoskeleton yang menyebabkan mikrospora masuk ke jalur embryogenik. Cordewener et al.,(1994) menyatakan bahwa sintesis tubulin isoform tidak berubah selama induksi embryogenik dibandingkan dengan kondisi non-embryogenik pada mikrospora Brassica napus. Penelitian ini mendukung dugaan bahwa stimulus shock lingkungan untuk embryogenesis berperan secara langsung dengan adanya komponen dari sitoskeleton pada stadium awal dari embryogenesis. Juga dengan menggunakan kultur mirospora Brassica napus, penelitian yaiig dilakukan Simmond (1994) menunjukan bahwa bersamaan dengan pergerakan inti sel pada posisi ditengah dari mikrospora, perubahan struktural pertama yang menunjukan reprograming selular unttik masuk ke jalur sporofitik adalah adanya preprophase band dari mikrotubul (PPB). Selama ontogeni perkembangan pollen yang normal, PPB tidak berpartisipasi pada pembelahan mitosis yang pertama dari pollen Brassica. Penelitian ini menegaskan bahwa sitoskeleton berperan penting pada stadium awal dari

(6)

embryogenesis pada pollen Brassica.

Pada sel somatik, pembentukan phragmosome merupakan fenomena yang tampak pertamakali bila sel-sel dikulturkan pada kondisi yang memungkinkan sel-sel mengalami reinisiasi untuk membelah. Phragmosome merupakan suatu lapisan sitoplasma padat yang menyelimuti inti sel yang bergerak pada posisi ditengah-tengah sel dan dipertahankan pada posisi tersebut dengan mikrotubul yang memancar radial dari inti sel. Pembentukan phragmosome diikuti dengan pembelahan sel dengan arah yang ditentukan oleh PPB, yang terletak pada sisi dimana phragmosome menyentuh dinding sel.

Medium kultur

Medium untuk kultur anther dan mikrospora bukan merupakan faktor yang kritis pada induksi embryogenesis. Mikrospora dari beberapa spesies tanaman dapat diinduksi menjadi embryogenik dengan mengkulturkan pada medium sederhana yang hanya terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro, besi, vitamin, myo-inositol dan gula. Penelitian rutin yang dilakukan di Laboratorium kami bahkan menggunakan medium yang sama untuk kultur mikrospora tembakau dan padi-padian. Namun demikian komposisi medium masih dipandang penting, berbagai usaha telah dilakukan untuk mengoptimasi komposisi medium untuk kultur anther dan mikrospora. Telah diketahui bahwa komposisi nitrogen pada medium kultur berperan sangat penting pada androgenesis. Peningkatan jumlah plantlet pada kultur anther barley diperoleh dengan mengurangi konsentrasi ammonium nitrat pada medium dan menggunakan glutamin sebagai sumber nitrogen non-toxic. Penelitian yang sangat intensif mengenai kebutuhan nitrogen menunjukan bahwa inisiasi pembelahan, proliferasi lebih lanjut dan regenerasi menjadi plantlet pada kultur mikrospora barley merupakan peristiwa yang berdiri sendiri-sendiri yang mungkin dapat dimanipulasi dengan nitrogen.

Sumber karbohidrat yang berbeda juga telah dicoba, sukrose tidak umum digunakan untuk anther kultur barley, kentang dan gandum, sebagai gantinya digunakan maltose. Perbedaan metabolisme sukrose dan maltose pada kultur mikrospora barley menjadi alasan utama keunggulan dari maltose dibandingkan dengan sukrose. Telah diketahui bahwa maltose dimetabolisir lebih lamban. Sukrose yang dimetabolisir lebih cepat, menyebabkan ternkumulasinya sejumlah ethanol yang berakibat toksik didalam mikrospora.

(7)

Tekanan osmotik pada media juga diketahui merupakan parameter yang penting. Pada tekanan osmotik yang tinggi, peningkatan jumlah plantlet hijau bersamaan dengan penurunan jumlah plantlet albino telah diamati pada kultur mikrospora barley. Penambahan Fikoll pada medium kultur juga diketahui dapat meningkatkan persentase plantlet hijau pada kultur anther gandum. Penggunaan Polyethylene glycol (PEG)-400, yang tidak dapat dimetabolisir, sebagai osmotikum pada medium kultur juga diketahui dapat menginduksi peningkatan  jumlah embryo pada kultur mikrospora Brassica napus.

Diketahui bahwa zat pengatur tumbuh bukan merupakan komponen yang esensial pada medium untuk menginduksi embryogenesis. Pada kultur mikrospora beberapa jenis tanaman, misalnya barley, jagung, gandum dan tembakau, digunakan medium tanpa hormon. Conditioning pada medium kultur dengan ovary terbukti sangat bermanfaat untuk kultur mikrospora. Manfaat penggunaan ovary-conditioned media pada kultur mikrospora telah dilaporkan pada barley dan gandum. Pada kultur mikrospora gandum, co-culture dengan ovary dari barley atau gandum menyebabkan lingkungan menjadi cocok untuk pembentukan embryo dan regenerasi plantlet yang fertil. Koehler dan Wenzel, (1985) menyatakan bahwa pada gandum, co-culture dengan ovary mengakibatkan medium menjadi terkondisi dengan substansi-substansi yang diproduksi oleh ovary, misalnya auxin-like hormon yang memacu embryogenesis. Kombinasi zat pengatur tumbuh dengan bahan-bahan tambahan seperti air kelapa, ekstrak yeast, atau ekstrak kentang diketahui dapat memacu induksi pembentukan embryo dan plantlet dari mikrospora.

(8)

Latihan soal-soal 1.

1. Apa yang dimaksud dengan pollen dimorphism, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dimorphic pollen!

2. Jelaskan pentingnya stadium perkembangan pollen pada induksi embryogenesis mikrospora!

3. Jelaskan perubahan-perubahan sitologis apa yang terjadi pada mikrospora yang dihadapkan pada stress!

4. Mengapa medium kultur bukan merupakan faktor kritis pada induksi embryogenesis mikrospora?

5. Jelaskan peranan sumber karbohidrat pada medium kultur mikrospora!

Petunjuk jawaban latihan soal-soal

1. Ingat pengaruh tanaman donor pada induksi embryogenesis mikrospora! 2. Ingat siklus sel yang berkaitan dengan induksi embryogenesis

mikrospora!

3. Ingat peranan sitoskeleton pada pengubahan jalur perkembangan sporofitik mikrospora!

4. Ingat peranan stress pretreatment pada embriogenesis mikrospora! 5. Ingat fungsi gula pada medium kultur!

Referensi

Dokumen terkait

terhadap pertumbuhan bibit tanaman nilam serta untuk mendapatkan strain yang dapat digunakan untuk multiplikasi tunas dan induksi akar tanaman nilam dalam kultur in

Apabila tanaman mengalami kekurangan air atau kandungan air dalam tanah kering akan mengganggu aktivitas fisiologis dan morfologis pada tanaman, seperti menurunya efisiensi

Telah diungkapkan invensi mengenai proses induksi kalus tanaman tebu ( Saccharum officinarum L.) yang terdiri dari tahapan (a) Sterilisasi alat; (b) Pembuatan dan

Untuk melihat apakah ada penurunan efisiensi dari motor induksi akibat adanya cacat pada bantalan sehubungan dengan kondisi parameter getaran yang terjadi, maka

Untuk melihat apakah ada penurunan efisiensi dari motor induksi akibat adanya cacat pada bantalan sehubungan dengan kondisi parameter getaran yang terjadi, maka

Efisiensi kultur antera yang terkait dengan produksi tanaman hijau dinyatakan dalam rasio tanaman hijau (TH) terhadap jumlah kalus menghasilkan tanaman (KMT) dan

Kelebihan penggunaan teknik kutur jaringan tanaman diantaranya: kualitas bibit yang dihasilkan lebih baik; efisiensi dalam jumlah bibit yang dihasilkan terhadap waktu;

Deskripsi suatu varietas adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran pertumbuhan dan perkembangan tanaman yaitu mencakup karakter morfologis, agronomis, dan fisiologis tanaman