II.1. Aktinomisetes
Pada awalnya aktinomisetes digolongkan dalam kelompok fungi, sebab penampakan morfologi dan perkembangannya yang mirip dengan fungi yang dilihat dari miseliumnya, sehingga aktinomisetes juga disebut ray fungi (Kuster 1958). Namun demikian dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, morfologi aktinomisetes lebih dekat dengan bakteri. Dilihat dari ukuran sel, spora serta miselianya aktinomisetes dikategorikan sebagai bakteri yang memiliki nukleod yang sama dengan bakteri. Chitin dan selulosa sebagai penyusun dinding sel fungi tidak terdapat pada aktinomisetes. Penyusun dinding sel aktinomisetes adalah polimer gula, gula amino, dan beberapa asam amino seperti halnya bakteri gram positif. Sensitifitas terhadap beberapa antibiotik menempatkan aktinomisetes termasuk dalam golongan bakteri gram positif. Aktinomisetes biasanya dipandang sebagai kelompok bakteri Gram-positif yang memiliki kandungan Guanin (G) dan Citosin (C) yang tinggi di dalam DNA-nya (>55%) dengan kemampuan membentuk cabang-cabang hifa pada tahap-tahap pengembangannya (Locci et al. 1983).
Aktinomisetes memiliki morfologi yang sangat bervariasi, dari bentuk sel bulat/coccus (Micrococcus) dan rod-coccus cycle (Arthrobacter), bentuk hifa berfragmen (Nocardia, Rothia), sampai dengan jenis dengan miselium bercabang yang berbeda-beda (Micromonospora dan Streptomyces). Actinnobacteria,
Actinoplanetes, Nocardioforms, dan Streptomyces memiliki filogenik yang
berbeda dan heterogen. Aktinomisetes ada yang bersifat saprofit namun ada yang bersifat parasit atau bersimbiosis mutualisme dengan tumbuhan dan hewan (Goodfellow 1983).
Aktinomisetes khususnya Streptomyces dikarakterisasi dengan pertumbuhan koloni yang spesifik. Koloni aktinomisetes bukan akumulasi dari kumpulan sel-sel tunggal dan seragam seperti halnya bakteri, melainkan bentuk masa filamen bercabang (Locci et al. 1983). Koloni yang tumbuh pada medium padat tersusun secara vegetatif dan dengan miselia berantena atau bersungut. Pada
koloni yang belum tumbuh miselianya, permukaan koloni terlihat mengkilap. Pada genus Streptomyces, miselium tumbuh secara luas menempel pada medium padat dan keseluruhan unit mudah diambil dengan kawat Ose (Cross 1982). Dilain pihak koloni yang dibentuk oleh Nocardia cenderung mudah terpisah setiap hifanya dan cenderung mudah pecah seperti tepung. Apabila miselium berkembang, permukaannya cenderung seperti tepung dan halus. Struktur, bentuk, ukuran dan warna dari koloni sangat bervariasi dan dapat berubah sesuai dengan kondisi kulturnya. Kebanyakan Streptomyces mengeluarkan bau yang khas seperti tanah. Asam asetat, acetaldehida, etanol, isobutanol, dan isobutil asetat sekarang ini sudah diidentifikasi sebagai aroma senyawa utama yang dihasilkan oleh
Streptomyces. Bahkan hidrogen sulfida dipercaya berperan dalam pembentukan
aroma tanah yang dikeluarkannya (Goodfellow 1983).
Miselium vegetatif aktinomisetes berbentuk hifa non-septat yang panjang. Beberapa hifa membentang dan panjangnya lebih dari 600 μm, bercabang, melengkung/meliuk-liuk, dan cabangnya berbentuk monopodial. Miselium vegetatif memiliki karakteristik berwarna, seperti kuning, oranye, merah, hijau, coklat, atau hitam. Apabila terlarut dalam air, pigmen akan dikeluarkan dalam medium (Cross 1982).
Beberapa jenis aktinomisetes memiliki miselium aerial. Miselium aerial merupakan bentuk dan struktur dari miselium vegetatif. Miselium aerial muncul dari substrat miselium dan menutupi seluruh koloni, sehingga terlihat seperti kapas atau tepung. Miselium aerial ada yang bersifat steril dan ada yang fertil. Hifa steril umumnya tipis dan menunjukkan tidak adanya pertambahan diameter. Hifa sporogenous awalnya tipis tetapi pada tahap akhir perkembangannya menjadi lebih tebal. Fertil aerial micellium mengandung sporosphores yang berbentuk panjang, lurus atau bengkok. Hifa pendek memberikan permukaan koloni yang mirip tepung, sementara hifa panjang menunjukkan permukaan menyerupai kapas. Karakteristik aerial micellium lain dari Streptomyces adalah pigmentasi yang dapat memiliki warna dari putih atau abu-abu sampai ke kuning, oranye, lavender, biru, dan hijau, sehingga sering disebut sebagai ”colour wheel” (Locci
et al.1983). Bentuk aerial micellium yang dibentuk oleh Streptomyces disajikan
http://www.microbiologyprocedure.com/
Gambar 1 Morfologi aerial micellium Streptomyces
Spora tumbuh berawal dari ujung hifa sporogenous dan terbentuk oleh proses fragmentasi atau segmentasi. Pada proses fragmentasi sitoplasma pecah dan membentuk bagian-bagian kecil yang seragam, yang pada akhirnya lepas dan memisah dari dinding sel. (Cross 1982).
II.2. Isolasi Aktinomisetes
Isolasi mikroba dari alam merupakan tahap awal dalam penapisan metabolit mikroba seperti antibiotik. Biasanya tidak diketahui jenis dan jumlah mikroba dalam sampel tersebut. Pada prinsipnya tujuan isolasi mikroba yaitu untuk mendapatkan mikroba yang dikehendaki sebanyak-banyaknya (Morrelo 2002). Untuk maksud tersebut dapat digunakan teknik medium diperkaya dan sistem pengenceran. Misalnya sampel tanah atau air diencerkan sedemikian rupa, sehingga diharapkan pertumbuhan koloni tidak lebih 200 koloni per cawan petri. Suspensi tersebut dengan metode taburan spread plate diinokulasikan pada cawan petri yang mengandung medium diperkaya. Setelah diinkubasi, akan terlihat koloni-koloni pada cawan tersebut dan siap untuk diisolasi (Hogg 2005). Namun dalam praktek cara tersebut kurang efisien karena harus mengisolasi banyak mikroba yang potensinya belum jelas, sehingga para peneliti sudah membatasi jenis mikroba yang akan diisolasi. Biasanya tidak diinginkan isolasi semua mikroba yang ada dalam sampel, karena akan menghabiskan banyak biaya, tenaga dan waktu. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengeliminasi mikroba yang tak diinginkan. Ada beberapa contoh yang sering dilakukan oleh para peneliti, misalnya sampel tanah dikeringkan di udara pada suhu kamar selama 3 - 10 hari
tergantung dari kandungan airnya untuk mengurangi populasi bakteri (Hayakawa dan Hideo 1987). Untuk memperbesar kemungkinan isolasi aktinomisetes dari sampel air, misalnya Rhodococcus dan Micromonospora dapat dilakukan pemanasan sampel 55 °C selama beberapa menit (Goodfellow et al. 1988).
Untuk mendapatkan Streptomyces telah digunakan medium khusus yaitu Medium International Streptomyces Project (ISP) (Horan 1999). Fungi dapat dihilangkan dengan menambahkan antifungi seperti nistatin atau sikloheksimid ke dalam medium, dan bakteri dapat dieliminasi dengan menambahkan beberapa antibiotik ke dalam medium. Selain itu parameter kondisi lingkungan juga harus diperhatikan seperti pH, suhu dan sebagainya. Sebagian besar bakteri lebih peka terhadap pH asam, sedangkan fungi lebih tahan terhadap rentang pH yang lebih lebar. Suhu inkubasi dapat meningkatkan isolasi mikroba yang dikehendaki, misalnya isolasi Thermoactinomyces dapat ditingkatkan dengan inkubasi 50-55 °C, Nocardia pada 25 °C, Streptosporangium pada 40 °C dan sebagainya. Isolasi anggota aktinomisetes pada umumnya menggunakan suhu inkubasi 28 – 30 °C.
Aktinomisetes merupakan mikroba yang paling efektif dalam menggunakan substrat. Sebagai organisme heterotrop, aktinomisetes memerlukan bahan organik sebagai sumber karbon bagi kelangsungan hidupnya dan beberapa jenis diantaranya mampu mendegradasi inulin dan chitin. Bahkan Nocardia sp mampu memecah molekul organik yang tak lazim di alam seperti parafin, fenol, steroid dan pirimidin. Micromonospora mampu mendekomposisi pati, chitin, selulosa, glukosida, pentosan dan mungkin lignin. Atas dasar kemampuannya yang jarang dijumpai pada mikroba lain, maka para ahli telah mengembangkan medium isolasi yang hanya menguntungkan pertumbuhan aktinomisetes daripada mikroba yang lain. Medium tersebut seperti Arginine-Glycerol salt, Benedict,
Collodial Chitin, Starch-Casein dan sebagainya (Cross 1982). Menurut Pisano et al. (1989) medium campuran pati dengan kasein sangat cocok digunakan untuk
isolasi aktinomisetes. Aktinomisetes mudah tumbuh dalam medium campuran pati dan kasein, namun demikian mikroba lain tumbuh lebih lama dibandingkan dengan aktinomisetes.
Beberapa teknik perlakuan pendahuluan sampel juga telah digunakan peneliti untuk mendapatkan isolat aktinomisetes yang diinginkan. Sebagai contoh
teknik rehidrasi diterapkan pada sampel pada habitat air tawar yang akan menghasilkan banyak actinoplanete dan genus baru Cupolomyces. Spora aktinomisetes biasanya tahan terhadap proses pengeringan baik proses pengeringan kering atau basah. Pemanasan sampel pada suhu hangat mampu menekan pertumbuhan bakteri gram negatif yang sering mengganggu proses isolasi aktinomisetes (Pisano 1986). Cara lain untuk menekan perumbuhan bakteri gram negatif adalah dengan mengurangi water activity pada medium isolasi. Kelembaban pada permukaan agar dapat mendorong tumbuh dan menyebarnya bakteri Gram-negatif yang secara signifikan dapat menekan proses germinasi dan pertumbuhan aktinomisetes. Oleh karena itu cawan isolasi dan permukaan agar harus dalam kondisi kering pada saat menyebarkan sampel isolasi (Seong 2001). Beberapa spesies aktinomisetes lebih menyukai permukaan medium kering untuk proses germinasi dan pertumbuhan. Proses pemanasan dan pengeringan dengan kombinasi medium selektif akan mampu menghasilkan koloni aktinomisetes yang relatif banyak. Sentrifugasi diferensial juga dapat digunakan dalam proses pra-perlakuan sampel (Araujo 2008).
Spora aktinomisetes juga tahan terhadap pemanasan kering sampai suhu 120 °C, sifat ini dimanfaatkan untuk perlakuan pendahuluan yang dapat menghilangkan sejumlah bakteri kontaminan (Takashi 2003). Spora aktinomisetes lebih sentisitif terhadap pemanasan basah, yaitu sampel tersuspensi dalam pelarut yang dipanaskan. Pemanasan sampel pada suhu 45-50 °C dapat digunakan untuk isolasi Streptomyces, pada suhu pemanasan 55 °C dapat digunakan untuk mengisolasi Rhodococcus, dan spesies yang lebih tahan pada pemanasan yang lebih tinggi lagi adalah Micromonospora yang dapat bertahan pada pemanasan 60-70 °C selama 30 menit. Perlakuan pendahuluan sampel secara kimia juga banyak dilakukan untuk mengisolasi aktinomisetes, misalnya penggunaan fenol, klor atau amonium kuartener. Metode pra-perlakuan ini biasanya juga mengurangi sejumlah aktinomisetes yang akan diisolasi (Goodfellow et al. 1988).
Seong et al. (2001) telah melakukan modifikasi pra-perlakuan sampel untuk isolasi aktinomisetes dari tanah. Isolasi dilakukan dengan medium HHVA (Hair Hydrolysate Vitamin Agar) dan pra-perlakuan sampel dengan menggunakan 4 metode, yaitu dengan penambahan antibiotik, pemanasan kering (1 jam pada
suhu 100 °C), pemanasan basah (70 °C) selama 15 menit, dan udara kering selama 24 jam. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa hasil isolasi aktinomisetes dengan beberapa metode pra-perlakuan sampel tersebut menunjukkan hasil yang sangat bervariatif.
Penggunaan senyawa antibakteri dan antifungi juga menentukan hasil isolasi aktinomisetes. Penggunakan senyawa antibakteri dapat memberikan efek mengurangi jumlah aktinomisetes yang akan diisolasi. Namun demikian cara ini dipandang sangat membantu menekan sejumlah bakteri dan kapang kontaminan, sehingga mempermudah proses isolasi dan pemurnian aktinomisetes. Kombinasi benzyl penicillin (5-10 μg mL-1) dengan asam nalidiksat (15 μg mL-1) dapat
digunakan untuk mendapatkan Saccharothrix, novobiocin (25 μg mL-1) dan
streptomycin (15 μg mL-1) dapat digunakan untuk mendapatkan isolat dari genus
Glycomyces, dan dengan menambahkan vancomycin dapat digunakan untuk
mendapatkan Amylocolatopsis. Hanka (1985) dapat menaikkan perolehan koloni
Streptoverticillium dengan menggunakan medium agar yang mengandung oxytetracycline dengan metode filter membran yang dapat menghilangkan koloni
bakteri nonmiselia.
Salah satu faktor yang penting dalam proses isolasi dan fermentasi aktinomisetes adalah suhu inkubasi. Secara umum aktinomisetes tumbuh baik pada suhu 25 sampai dengan 30 °C. Namun demikian ada beberapa aktinomisetes yang tumbuh baik pada suhu 45 °C (Goodfellow et al. 1988). Isolasi aktinomisetes termofilik akan lebih mudah diisolasi dan dimurnikan dari bakteri kontaminan dibandingkan jenis mesofilik. Namun pada proses produksinya aktinomisetes termofilik akan membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk tetap menjaga panas yang lebih tinggi.
Waktu inkubasi proses isolasi aktinomisetes pada cawan agar sampai dapat dilihat koloninya dengan mata telanjang kurang lebih selama 7 sampai dengan 14 hari. Masa inkubasi yang semakin lama biasanya dihindari oleh peneliti. Hal ini disebabkan pertumbuhan aktinomisetes yang lambat akan meningkatkan biaya produksi pada saat masuk dalam proses fermentasi. Namun demikian pertumbuhan aktinomisetes dapat dimodifikasi melalui medium pertumbuhan dan kondisi lingkungan yang digunakan (Cross 1982).
II.3. Antibiotik
Sejarah perkembangan penemuan antibiotik berawal dari penemuan oleh Fleming yang terus berkembang sampai sekarang. Sekarang ini telah ditemukan lebih dari 10.000 senyawa bahan alam yang dihasilkan dari mikroba. Tahun 1940 sampai dengan awal tahun 1950 merupakan tahun keemasan yaitu banyak ditemukan senyawa alam antibiotik yang berasal dari mikroba. Hampir semua antibakteri penting seperti tetrasiklin, sefalosporin, amiloglikosid, dan makrolida telah ditemukan pada tahun-tahun tersebut. Menurut Berdy (2005) pada tahun 1940 sekitar 10-20 antibiotik telah ditemukan, pada tahun 1950-an telah ditemukan 300-400 antibiotik, sekitar tahun 1960 ditemukan 800-1000 antibiotik, tahun 1970 telah ditemukan 2500, tahun 1980 telah ditemukan 5000, tahun 1990 telah ditemukan sekitar 10.000, dan tahun 2000 telah ditemukan sekitar 20.000 antibiotik.
Antibiotik merupakan substansi yang dihasilkan oleh mikroba, dalam konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba lain (Cross 1982). Setiap antibiotik mempunyai aktivitas penghambatan pertumbuhan hanya terhadap mikroba patogen spesifik, yang disebut spektrum penghambat. Mikroba penghasil antibiotik meliputi golongan bakteri, aktinomisetes, fungi, dan beberapa mikroba lainnya. Kurang lebih 70% antibiotik dihasilkan oleh aktinomisetes, 20% dihasilkan oleh fungi dan 10% dihasilkan oleh bakteri. Streptomyces merupakan penghasil antibiotik yang paling besar jenisnya (Berdy 2005). Distribusi senyawa aktif yang telah diketemukan sampai saat ini disajikan pada Tabel 1.
Pada siklus hidupnya yang normal, mikroba akan tumbuh dalam medium yang sesuai dan menghasilkan jumlah sel maksimum. Setelah itu pertumbuhannya berhenti dan memasuki fase stasioner, dan selanjutnya masuk pada fase kematian terjadi kematian sel vegetatif (lisis) atau pembentukan spora. Pada fase stasioner sel-sel berhenti membelah dan metabolit sekunder mulai diproduksi. Metabolit sekunder sering diproduksi dalam jumlah besar dan kebanyakan disekresikan ke dalam medium biakan (Cross 1982). Sebagian besar antibotik merupakan metabolit sekunder, akan tetapi ada antibiotik merupakan metabolit primer, yaitu
antibiotik yang terbentuk selama fase pertumbuhan eksponensial, misalnya antibiotik polipeptida nisin.
Tabel 1 Distribusi senyawa aktif dan tidak aktif yang telah diketahui.
Sumber Jenis antibiotik Senyawa aktif lainnya Total senyawa aktif Penggunaan pada manusia Senyawa tidak aktif Bakteri 2900 900 3800 10-12 3000-5000 Aktinomisetes 8700 1400 10100 100-120 5000-10000 Fungi 4900 3700 8600 30-35 2000-15000 Total 16500 6000 22500 140-160 20000-25000 (Berdy, 2005)
Antibiotik dan produk alami (natural product) yang sejenis merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh hampir semua tipe makhluk hidup, seperti mikroba prokariotik, eukariotik, beberapa tumbuhan dan hewan. Kemampuan menghasilkan metabolit sekunder sangat bervariasi pada setiap spesies. Total jenis senyawa aktif yang dihasilkan oleh kelompok bakteri adalah sebanyak 3.800 atau 17% dari total senyawa aktif yang telah ditemukan. Aktinomisetes menghasilkan lebih dari 10.000 senyawa aktif, 7.600 dihasilkan oleh Streptomyces dan 2.500 dihasilkan oleh aktinomisetes langka (Berdy 2005)
II.4. Metabolit Mikroba
Secara garis besar metabolit yang dihasilkan oleh mikroba dibagi menjadi 2 golongan yaitu metabolit sekunder dan metabolit primer. Metabolit primer dihasilkan oleh dalam proses biokimia yaitu proses anabolik dan katabolik yang menghasilkan asimilasi, respirasi, transportasi, dan diferensiasi. Metabolisme primer yang terjadi dalam semua sel hampir semuanya memiliki kemiripan baik prosesnya maupun produk yang terjadi maupun fungsi biologisnya. Sedangkan metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang dihasilkan mikroba, tumbuhan, atau hewan yang tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi. Metabolit sekunder merupakan produk spesifik dari setiap spesies (atau hanya ditemukan dalam bagian kecil dari spesies dalam
grup filogenik). Tanpa senyawa ini maka organisme akan berakibat menderita karena kurang dapat mempertahankan diri namun demikian tidak menyebabkan kematian secara langsung, contohnya antifungi, antibakteri, antikolesterol, enziminhibitor, dan lain-lain. Fungsi utama dari metabolit sekunder dalam organisme adalah sebagai fungsi ekologi yaitu sebagai alat pertahanan melawan predator, parasit, dan kompetisi antar spesies (Prescot et al. 2002; Bennett et
al.1989; Luckner 1990). Konsep metabolisme sekunder pertama kali dikenal oleh
Kossel 1891 (Haslam 1986; Seigler 1998). Metabolit sekunder pada mulanya diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah organisme sebagai akibat produksi metabolit primer yang berlebih. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak sesuai (Dewick 1997). Metabolit sekunder dihasilkan melalui jalur biosintesis metabolit primer. Jalur biosintesis metabolit sekunder lebih spesifik untuk setiap famili atau genus mikroba dan berhubungan terhadap mekanisme evolusi suatu spesies (Torssell 1997).
Berbeda dengan metabolit sekunder, metabolit primer merupakan metabolit yang digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup, diantaranya adalah lemak, DNA, protein dan karbohidrat. Metabolisme primer telah ditunjukkan pada proses sintesis asam karboksilat melalui siklus Krebs, asam amino, karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat, yang semuanya merupakan kebutuhan dasar untuk tetap dapat hidup dan terjadi pada semua mikroorganime (Luckner (1990). Semua mikroba yang memiliki sistem jalur metabolisme yang sama akan menghasilkan senyawa metabolit primer yang sama pula. Berbeda halnya dengan metabolit sekunder, metabolit ini bukan merupakan metabolit dasar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya tetapi mendukung kelangsungan hidup suatu spesies untuk tetap hidup (Torsell 1997).
Metabolit sekunder tidak memiliki peran dalam proses kehidupan dasar. Metabolit sekunder disintesis dari substrat yang dihasilkan oleh metabolit primer melalui lintasan metabolisme primer. Metabolit sekunder dalam tumbuhan biasanya dapat divisualisasi dari warna, bau, dan rasa yang dihasilkan dari senyawa kimia. Metabolit sekunder ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan obat, insektisida, pewangi dan lain-lain.
Ada beberapa metabolit sekunder khususnya antibiotik yang dihasilkan dari jalur biosintesis ini seperti antibiotik β-laktam (misalnya penisilin dan sefalosporin), antibiotik aminoglikosid (streptomisin), steroid (gibberelin), makrolida (tetrasiklin), aktinomisin, dan anthramisin.
II.5. Pertumbuhan Mikrobial
Kurva pertumbuhan mikroba secara curah yang ditumbuhkan dalam medium kimiawi dapat dibuat dengan pengaluran data jumlah sel atau biomassa terhadap waktu pertumbuhannya. Kurva pertumbuhan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase lag, fase eksponensial atau fase log, dan fase stasioner. Fase lag atau sering disebut juga fase adaptif, berlangsung segera setelah inokulasi pada medium nutrien dan merupakan periode adaptasi. Pada fase ini mikroba mengalami penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan dan substrat yang tersedia. Jumlah sel pada fase ini bisa tetap namun demikian massa sel bisa bertambah. Dapat pula terjadi fase lag yang panjang bila inokulumnya kecil, mempunyai daya tumbuh rendah, atau bila komposisi media propagasi sangat berbeda dengan media fermentasi. Panjang pendeknya fase lag sangat tergantung dari kemampuan adaptasi mikroba tersebut terhadap kondisi yang baru dan medium yang ada (Judoamidjojo et al.1992). Pada periode ini tidak terjadi peningkatan jumlah sel, sehingga dengan persamaan matematis dapat dituliskan sebagai berikut;
X = Xo = tetap dan rx = dx/dt = 0
Demikian pula laju pertumbuhan spesifik, μ adalah nol dx/dt. 1/x = μ = 0
Keterangan :
X = konsentrasi selular (g L-1) Xo = konsentrasi selular pada t = 0 rx = laju pertumbuhan
μ = laju pertumbuhan spesifik (Jam-1)
Setelah fasa lag selesai, maka mulai terjadi reproduksi sel. Konsentrasi selular atau biomassa meningkat, dengan demikian dx/dt dan laju pertumbuhan spesifik meningkat. Fase log ditandai oleh suatu garis lurus pada plot semilog
antara ln X versus waktu. Ini adalah periode pertumbuhan seimbang atau kondisi mantap dengan laju pertumbuhan spesifik konstan. Sel mikroba membelah dengan cepat dan konstan sehingga jumlah pertumbuhan selnya mengikuti kurva logaritmik. Pada saat laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik maksimum, maka terjadi pertumbuhan secara logaritmik atau eksponensial. Pada fasa ini keadaan pertumbuhan adalah mantap. Dengan laju pertumbuhan spesifik, μ tetap, komposisi selular tetap, sedangkan komposisi kimiawi medium biakan berubah akibat terjadinya sintesis produk dan penggunaan substrat.
Pada fase eksponensial, laju pertumbuhan, dx/dt meningkat berbanding lurus dengan X. Laju pertumbuhan spesifik tetap dan mencapai nilai maksimal. Laju pertumbuhan dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut (Stanbury dan Whitaker, 1984);
dX/dt = μm X...(1)
Dari persamaan (1) apabila dilakukan integrasi akan diperoleh persamaan sebagai berikut;
ln X1 = lnXo + μ t ...(2)
dari persamaan (2) maka laju pertumbuhan spesifik (μ) merupakan kemiringan kurva hasil pengaluran (plotting) ln X1 (konsentrasi biomassa) terhadap waktu (t).
Pertumbuhan berbanding lurus dengan kerapatan selular mikroba, rx = dx/dt = μm X ………..…..(3)
pada fasa ini : logX2 – log X1 = μm (t2-t1) ….……...…(4)
maka X2 = X1 eμm (t2-t1) ………..(5)
apabila pada saat Tg adalah X2 = 2X1 maka
Tg =ln2/μm = 0,69/μm ………..(6)
Tg = waktu penggandaan (waktu yang diperlukan untuk mendapatkan konsentrasi biomassa (X) menjadi dua kali konsentrasi awal (Xo) pada fasa eksponensial).
Pada beberapa titik laju pertumbuhan mulai menurun karena nutrisi dasar telah menjadi berkurang dan hambatan oleh adanya produk metabolik yang terakumulasi. Sel-sel tersebut selanjutnya akan mengalami transisi, sehingga laju pertumbuhan menjadi nol dan memasuki ke fase stasioner.
Fase stasioner akan terjadi setelah semua sel berhenti membelah diri atau bila sel hidup dan sel mati mencapai keseimbangan, yaitu dengan laju kematian. Namun meskipun pertumbuhan telah berhenti, mungkin saja masih dapat berlangsung proses metabolisme dan akumulasi produk dalam sel atau dalam kaldu fermentasi. Pada awal fase stasioner, konsentrasi konsentrasi biomassa mengalami maksimal. Fasa penurunan ditandai dengan berkurangnya jumlah sel hidup dalam medium akibat kematian yang diikuti autolisis sel oleh enzim selular. Beberapa kemungkinan yang terjadi apabila inkubasi tetap dilakukan, pertama massa sel total mungkin konstan, kedua masa sel hidup cenderung menurun, ketiga terjadi lisis sel dan masa sel menurun drastis atau sel hidup meningkat kembali oleh pertumuhan kriptik. Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase stasioner disajikan dalam Gambar 2.
Fase lag Fase eksponensial Fase stasioner waktu Ko nse nt rasi bi omassa a b c Keterangan :
a.massa sel tanpa terjadi lisis
b.massa sel terjadi lisis, diikuti pertumbuhan kriptik c.jumlah sel hidup dengan terjadi lisis
Gambar 2 Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase stasioner (Wang 1979)
Berdasarkan kajian pertumbuhan mikroba, dapat ditentukan parameter pertumbuhan seperti koefisien konversi atau rendemen produktivitas.
Yx/s = Xf - Xo ………..(7)
So - S
Keterangan:
So : konsentrasi awal substrat
S : konsentrasi substrat tersisa yang umumnya mendekati nol dan dapat diabaikan dibandingkan nilai So apabila jauh lebih besar.
Nilai Yx/s dinyatakan dalam bobot sel kering per bobot atau mol substrat yang
dikonsumsi (rendemen molekuler). Produktivitas (bobot biomassa yang dihasilkan per volume medium per jam) merupakan kriteria untuk mengevaluasi proses fermentasi. Produktivitas maksimal dicapai pada waktu tm dan konsentrasi Xm,
sehingga;
Pm = Xm / tm ………..…….……(8)
Bila produktivitas total dinyatakan sebagai berikut;
Pt = Xt / tt ………(9)
Hubungan laju pertumbuhan mikroba (μ) dengan konsentrasi substrat (S) telah digambarkan oleh Monod berdasarkan analogi model kinetik enzimatik Michaelis Menten. Persamaan matematik hubungan laju pertumbuhan dengan konsentrasi substrat adalah sebagai berikut;
………...………(10) μ = μm S
Ks + S
Ks merupakan konstanta penggunaan substrat yang menunjukkan afinitas mikroba terhadap substrat. Ks merupakan konsentrasi substrat pada saat μ = μm/2.
Pengaruh konsentrasi substrat terhadap laju pertumbuhan spesifik digambarkan pada Gambar 3. Berdasarkan model Monod, laju pertumbuhan (rx) dapat
dinyatakan sebagai berikut;
………….(11) rx = μ X = μm S X Ks + S a b c Substrat (g L-1) μ (jam -1 ) Keterangan :
a. Pembatasan oleh substrat b.Tidak ada pengaruh oleh substrat c. Penghambatan oleh substrat berlebih
Gambar 3 Pengaruh konsentrasi substrat (S) terhadap laju pertumbuhan spesifik (Wang et al.1979).
Pada kinetika pertumbuhan mikroba dalam kondisi keseimbangan kimiawi, pertumbuhan sel, pembentukan produk berkaitan erat dengan penggunaan hara atau substrat. Pada fermentasi curah, laju penggunaan substrat persatuan volume, secara sederhana berbanding lurus dengan laju pertumbuhan. rs = 1/Yx/s (rx) karena rx = μX maka rs = μX / Yx/s
µ = dx/dt. 1/x
Yx/s adalah rendemen biomassa yang terbentuk persatuan substrat yang
dikonsumsi. Bila pertumbuhan mikroba mengikuti model Monod, maka laju penggunaan substrat (rs) dapat dinyatakan sebagai berikut;
…..………(12) rs = 1/Yx/s μm S X
Ks + S
Hubungan kinetik pertumbuhan dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk di dalam metabolisme sel. Ada tiga pola kinetika yang umum dalam hubungannya pada kinetika pertumbuhan dengan pembentukan produk, yaitu: pola pembentukan produk berasosiasi dengan pertumbuhan, pola pembentukan produk tidak berasosiasi dengan pertumbuhan, dan pola campuran antara pembentukan produk berasosiasi dan tak berasosiasi dengan pertumbuhan.
Produk yang terbentuk dengan pola pertumbuhan yang berasosiasi dengan pembentukan produk merupakan hasil langsung suatu lintasan katabolik atau disebut metabolit primer. Pada pola ini laju pembentukan produk berbanding secara proporsional dengan laju pertumbuhan;
dp/dt = α dx/dt atau rp = Yp/x rx dan rp = dp/dt
dengan Yp/x adalah rendemen produk yang dihasilkan per biomassa yang
dihasilkan (g/g).
Pada berbagai fermentasi, terutama yang menghasilkan metabolit sekunder seperti antibiotik, pembentukan produk tidak berasosiasi dengan pertumbuhan, pembentukan produk biasanya terjadi pada akhir fase pertumbuhan. Laju pembentukan produk berbanding secara proporsional dengan konsentrasi selular dan tidak pada laju pertumbuhan, sehingga ; rp = β x
Pada pola campuran antara pembentukan produk dan pertumbuhan, laju pembentukan produk berbanding terbalik dengan konsentrasi sel maupun laju pertumbuhan yang dinyatakan sebagai berikut;
dp/dt = α dx/dt + β x atau
1/x dp/dt = α 1/x dx/dt + β atau rp/x = α μ + β …….(13) p = Konsentrasi produk
x = Konsentrasi biomassa t = Waktu
µ = Laju pertumbuhan spesifik
α = Tetapan yang menunjukkan bagian produk yang diproduksi pada fase logaritmik.
β = Tetapan yang menunjukkan bagian produk yang diproduksi pada fase logaritmik.
Model ini disebut model kinetika Leudeking dan Piret (Mangunwidjaja dan Suryani 1994).
II.6. Identifikasi Mikroba Menggunakan 16S rRNA
Identifikasi mikroba menggunakan metode molekuler dengan mendeteksi elemen genom (DNA dan RNA) merupakan salah satu teknik identifikasi yang akurat. Identifikasi secara molekuler banyak digunakan untuk mempertegas hasil identifikasi secara fenotip seperti identifikasi morfologi, maupun identifikasi secara biokimia. Identifikasi molekuler memiliki keunggulan lebih akurat, pengerjaannya lebih cepat, dan dapat digunakan untuk identifikasi mikroba yang tidak dapat dikulturkan (unculture).
Prinsip dasar identifikasi secara molekuler adalah mendeteksi secara spesifik sekuen nukleotida pada genom mikroba, dan dihibridisasi menggunakan sekuen label komplementer berdasarkan pendeteksian (Iwen dan Peter, 2004). Identifikasi berdasarkan sekuen memerlukan pengenalan target molekuler untuk memberikan perbedaan banyaknya varietas mikroba. Beberapa area target genom yang sudah dikenal yaitu bagian gen 16S rRNA. Daerah 16S rRNA merupakan daerah terkonservasi pada mikroba prokariot dan memberikan ciri spesifik dari
tiap mikroba prokariot. Sehingga daerah 16S rRNA digunakan untuk mengklarifikasi makhluk hidup ke dalam kelompok yaitu archaea, bakteri, dan prokarya. Ribosomal RNA (rRNA) merupakan salah satu jenis molekul RNA yang unik disamping duta RNA (mRNA) dan transfer RNA (tRNA). RNA berperan dalam pembentukan kerangka ribosom yang merupakan organel penting dalam proses translasi RNA menjadi asam amino (Gick dan Pasternack 2003). Saat ini RNA telah banyak dijadikan sebagai sumber analisis filogenik dan pengklasifikasian makluk hidup. Hal ini disebabkan molekul rRNA bersifat homologi baik secara fungsional maupun evolusinya pada organisme yang berbeda (Broun-Howland et al. 1992).
Tahapan dasar untuk identifikasi molekuler dengan menggunakan analisis sekuen adalah sebagai berikut;
1. Isolasi DNA atau RNA.
Deoxyribonucleic acid atau disingkat DNA merupakan bahan penyusun
gen, yaitu penurun sifat yang meneruskan informasi dari induknya (Campbell et al. 2002). DNA terdapat di dalam inti sel terutama pada kromosom. Molekul DNA juga ditemukan pada organel-organel sel seperti sel pada mitokondria dan kloroplas. Ada beberapa tahapan dalam melakukan isolasi DNA, pertama isolasi jaringan, pelisisan dinding sel ekstraksi DNA, dan presipitasi. Presipitasi dilakukan untuk mengendapkan protein sehingga terpisah dari ikatan DNA.
2. PCR (Polymerase Chain Reaction).
Reaksi polimerasi berantai atau lebih dikenal dengan PCR merupakan suatu metode amplifikasi fragmen DNA secara cepat dan dapat menghasilkan DNA dalam jumlah besar. Secara prinsip PCR merupakan proses berulang, setiap siklusnya dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu pertama tahap denaturasi yaitu DNA terputus dan membentuk DNA rantai tunggal, kedua tahap penempelan (annealing), yaitu primer menempel pada bagian DNA template yang berkomplementer urutan basanya, ketiga tahap amplifikasi, yaitu tahap penggandaan. Setelah tahap ketiga selesai, maka akan terjadi lagi secara berulang secara terus menerus. Tahapan ini terus berulang 20 sampai dengan 30 kali (Yuwono dan Triwibowo 2006).
3. Elektroforesis Gel.
Elektroforeses gel merupakan suatu teknik untuk memisahan makromolekul (DNA atau protein) berdasarkan ukuran dan muatan listrik(Cambell et al. 2002). Setiap bakteri memiliki 16S rRNA yang merupakan suatu sub unit dari RNA ribosom. Gen 16S rRNA memiliki nukleotida yang relatif pendek yaitu sekitar 1500 bp. Munculnya pita (band) tunggal pada daerah 1500 bp, maka dapat diketahui bahwa gen 16 S rRNA telah diamplifikasi.
4. Sekuensing.
Metode sekuensing merupakan metode pengurutan basa nukleotida pada DNA dan mendapatkan data berupa ukuran nukleotida dari fragmen DNA. Sekuensing DNA akan menghasilkan sekuen yang digambarkan sebagai untaian abjad lambang nukleotida-nukleotida penyusun DNA, yaitu ”A” (nukleotida berbasa adenin), ”T”(nukleotida berbasa timin, ”G”(nukleotida berbasa guanin, dan ”C”(nukleotida berbasa sitosin. (Campbell et al. 2002).
5. BLAST (Basis Local Aligment and Search Tool).
Basis data merupakan kumpulan informasi yang disimpan di dalam komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan program komputer untuk memperoleh informasi basis data tersebut. Salah satu basis data untuk BLAST adalah NCBI yang merupakan Gen Bank. Data ini dapat dibuka melalui website http://www.ncbi.nih.nlm.gov yang dapat digunakan untuk membandingkan hasil gen yang telah disekuen.
II.7. Response Surface Methodology
Response surface Methodology (RSM) merupakan teknik statistik empiris
yang digunakan pada analisis regresi berganda dengan menggunakan data kuantitatif yang didapatkan dari percobaan-percobaan yang telah didesain dengan baik untuk menyelesaikan persamaan multi peubah secara simultan. Menurut Montgomery (1997), RSM adalah metode statistik yang menggunakan data kuantitatif dari desain penelitian yang sesuai untuk menentukan dan
menyelesaikan persamaan multivariabel secara simultan. Persamaan persamaan ini dapat ditampilkan secara grafis sebagai respon permukaan yang dapat digunakan dalam tiga cara, yaitu 1) untuk menggambarkan bagaimana faktor dapat mempengaruhi respon; 2) untuk menentukan hubungan inter-relasi antar faktor; dan 3) untuk menggambarkan efek gabungan dari respon seluruh faktor. Box et al. (1978) menyatakan bahwa RSM memiliki beberapa sifat
menarik, diantaranya: (a) RSM merupakan suatu pendekatan sequensial. Hasil dari setiap tahapan akan memandu percobaan yang perlu dilakukan pada tahap berikutnya. Setiap tahapan pengulangan (iterasi) hanya memerlukan sejumlah kecil percobaan, sehingga menjamin peneliti terhindar dari percobaan yang tidak produktif; (b) RSM mengantarkan fokus penelitian dalam bentuk geometri yang dapat segara dipahami dengan mudah. Hasil RSM berupa ringkasan grafik dan plot-plot kontur merupakan suatu bentuk penyajian yang paling efektif dan mudah dicerna dibandingkan dengan persamaan-persamaan matematis; (c) RSM dapat diaplikasikan pada berbagai peubah. Box dan Draper (1987) menambahkan bahwa RSM telah terbukti sangat berguna dalam penyelesaian sejumlah besar problem dan dapat diaplikasikan dalam : (a) pemetaan permukaan dalam wilayah yang terbatas; (b) pemilihan kondisi operasi untuk mendapatkan spesifikasi yang diinginkan; dan (c) pencarian kondisi-kondisi yang optimal.
Tampilan persamaan-persamaan ini dalam bentuk grafik disebut sebagai permukaan respon. Permukaan respon adalah bentuk geometri yang didapatkan jika suatu peubah respon diproyeksikan sebagai fungsi dari satu atau beberapa peubah kuantitatif (Mason et al.1989). Plot kontur adalah suatu seri garis atau kurva yang mengidentifikasi nilai-nilai peubah uji pada respon yang konstan. Plot-plot kontur ini dapat dibuat dengan beberapa cara. Jika fungsi respon cukup rumit, maka penyelesaiannya secara langsung dapat dilakukan dengan menghitung nilai-nilai respon pada jaringan nilai-nilai dari dua peubah uji. Sebagai ganti memproyeksikan titik-titik, nilai nilai numerik respon dapat diproyeksikan pada suatu grafik sebagai fungsi dari dua peubah; yaitu kedua aksis yang mempresentasikan nilai peubah uji dan nilai numerik respon yang dihitung pada titik potong kedua nilai peubah yang digunakan. Selanjutnya kontur dapat diperkirakan dengan menginterpolasikan antar nilai-nilai peubah respon.
Suatu model permukaan respon menggambarkan bentuk funsional suatu permukaan respon. Model-model permukaan respon dapat didasarkan pada pertimbangan teoritis atau empiris. Jika suatu model teoritis tidak dapat dinyatakan secara spesifik dalam suatu percobaan, maka model-model polinomial sering digunakan untuk memperkirakan permukaan respon tersebut. Polinomial kuadratik dapat memberikan perkiraan yang berguna untuk berbagai aplikasi.
Model-model permukaan respon dan model-model regresi pada umumnya dapat disesuaikan dengan dua tipe data yakni data pengamatan dan data yang diperoleh dari percobaan yang terancang baik. Penyesuaian data pengamatan dengan model permukaan respon memiliki beberapa kelemahan potensial, antara lain : (a) umumnya terdapat problem yang berkaitan dengan kolinearitas antar peubah uji, (b) pengaruh peubah uji yang penting mungkin tidak dijumpai karena bervariasi dalam kisaran yang sangat sempit, (c) meskipun pengaruh yang signifikan teridentifikasi, namun penyebabnya tidak dapat dikonfirmasi karena peubah uji yang nyata dapat menjadi pengganti bagi peubah-peubah yang tidak diamati atau dikendalikan, (d) perlu upaya yang berlebihan berkaitan dengan galat data kasar, nilai-nilai yang hilang, dan periode pengumpulan data yang tidak konsisten.
Sebagian problem yang berkaitan dengan data pengamatan diuraikan di atas untuk menekankan pentingnya rancangan secara statistik untuk memenuhi kriteria tujuan, pengaruh faktor, ketepatan, efisiensi, dan keteracakan. Sementara itu data yang diperoleh dari percobaan yang dirancang menggunakan rancangan komposit pusat dapat digunakan secara efisien dan memenuhi model permukaan kuadratik penuh.
RSM juga merupakan metode yang mengeksplorasi hubungan dari masing-masing unsur dalam penelitian misalnya hubungan suatu hasil penelitian dengan sejumlah peubah yang diduga dapat mempengaruhi hasil tersebut. Teknik optimasi RSM bekerja didasarkan pada proses atau siklus: pengetahuan, gagasan, analisis desain dan percobaan berulang. Jadi RSM merupakan teknik optimasi yang sangat berguna untuk investigasi proses yang kompleks. Adapun kegunaan teknik optimasi RSM adalah:
1. Dapat menentukan kombinasi optimum dari faktor (peubah bebas) yang akan menghasilkan respon (peubah tidak bebas) yang diinginkan dan dapat menggambarkan bahwa respon mendekati optimum.
2. Dapat menentukan bagaimana suatu pengukuran respon tertentu dipengaruhi oleh perubahan fakto-faktor pada level tertentu.
3. Dapat menentukan level faktor yang akan menghasilkan sekumpulan spesifikasi yang diinginkan secara simultan.
Response surface methodology (RSM) adalah kumpulan teknik matematik
dan statistik yang digunakan untuk membentuk model dan menganalisis masalah dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa peubah dan bertujuan untuk mengoptimalisasi respon ini (Box et al. 1978). Dalam banyak masalah RSM, bentuk hubungan antara respon dan peubah bebas tidak diketahui. Jadi langkah pertama adalah mendapatkan suatu pendugaan yang cocok untuk fungsi yang sebenarnya antara y dan himpunan bebasnya. Untuk pendugaan ini biasanya digunakan suatu polinomial orde rendah. Jika respon telah dimodelkan dengan baik oleh fungsi linier dari peubah bebasnya, maka fungsi yang diduga adalah model ordo pertama.
Y = β0 + βiXi + β2X2 + …….+ βkXk + ε ………..………(14)
Jika ada lengkungan dalam sistem, maka polinomial dengan orde yang lebih tinggi harus digunakan, seperti pada model orde kedua.
Y = β0 + ∑βiXi + ∑β2X2 + …….+ ∑βkXk + ε ………(15)
i= 1 i= 1 i< 1
Hampir semua persoalan RSM menggunakan salahsatu dari kedua model ini. Memang model polinomial ini bukan satu-satunya model untuk menduga hubungan fungsi sebenarnya, tetapi untuk wilayah yang relatif kecil maka model ini dapat digunakan dengan baik. Metode kuadrat terkecil juga dapat digunakan untuk menduga parameter dalam pendugaan polinomial. Analisis permukaan respon kemudian dibentuk menggunakan pengepasan permukaan. Jika pengepasan permukaan merupakan suatu pendugaan yang memadai dari fungsi respon yang sebenarnya, maka analisis dari pengepasan permukaan kira-kira sama dengan analisis sistem yang sebenarnya (Mongomery 1997).
Analisis untuk menduga fungsi respon sering disebut sebagai analisis permukaan respon yang pada dasarnya mirip dengan analisis regresi yaitu menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode kuadrat terkecil (least square method), hanya saja dalam analisis permukaan respon diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematik untuk menentukan titik-titik optimum agar dapat ditemukan respon yang optimum. Penentuan kondisi operasi optimum diperlukan fungsi respon orde kedua dengan menggunakan rancangan komposit terpusat dalam mengumpulkan data percobaan.