ASESMEN DALAM PENDIDIKAN
Disusun oleh:
Prof. Dr. I Wayan Koyan, M.Pd.
JURUSAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendidikan Sebagai Suatu Sistem
Sebelum sampai pengkajian tentang asesmen dalam pendidikan, terlebih dahulu perlu dikemukakan tentang pendidikan sebagai suatu sistem. Suatu sistem adalah jalinan antar beberapa komponen yang saling terkait dan saling mempengaruhi, sehingga jika salah satu komponen mengalami gangguan, keseluruhan sistem akan terganggu. Pendidikan sebagai sistem tersusun atas komponen konteks, input, proses,output,danoutcome. Konteks berpengaruh pada input, input berpengaruh pada proses, proses berpengaruh pada output, danoutput
berpengaruh padaoutcome. Dengan demikian, jika mutu pendidikan rendah, maka yang mempengaruhinya adalah semua komponen yang terkait dalam sistem tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kualitas masukan mentah, masukan instrumen (pendidik, kurikulum, sarana dan prasarana, dana pendidikan, tujuan pendidikan), mutu proses belajar, dan pengaruh lingkungan (lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya). Komponen-komponen inilah yang mempengaruhi kualitas hasil pendidikan. Berikut ini disajikan gambar yang menunjukkan kaitan antar beberapa komponen dalam suatu sistem.
PENDIDIKAN SEBAGAI SUATU SISTEM
Gambar 01. Pendidikan sebagai Suatu Sistem RAW INPUT INSTRUMENTAL INPUT ENVIRONMENTAL INPUT OUTPUT PROCESS
Konteks,adalah eksternalitas yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan dan karenanya harus diiternalisasikan ke dalam penyelenggaraan pendidikan. Lembaga pendidikan yang mampu menginternalisasikan konteks ke dalam dirinya akan membuat lembaga pendidikan sebagai bagian dari konteks dan bukannya terisolasi darinya. Jika demikian, lembaga pendidikan akan menjadi sekolah masyarakat. Konteks meliputi kemajuan ipteks, nilai dan harapan masyarakat, dukungan pemerintah dan masyarakat, kebijakan pemrintah, landasan yuridis, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan tuntutan pengembangan diri serta peluang tamatan untuk melanjutkan pendidikan ataupun untuk terjun ke masyarakat.
Input, adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan, khususnya proses pembelajaran. Input digolongkan menjadi dua, yaitu yang diolah dan pengolahnya. Input yang diolah adalah peserta didik dan input pengolah meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, kurikulum, tenaga kependidikan, dana, sarana dan prasarana, regulasi pendidikan, organisasi pendidikan, administrasi pendidikan, budaya pada satuan pendidikan, dan peran masyarakat dalam mendukung lembaga pendidikan.
Process, adalah kejadian berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Proses, meliputi manajemen, kepemimpinan, dan terutama proses pembelajaran. Dalam pendidikan, proses adalah kejadian berubahnya peserta didik yang belum terdidik menjadi peserta didik terdidik. Mutu proses pembelajaran sangat tergantung pada mutu interaksi antara pendidik dan peserta didik. Perilaku pendidik di kelas misalnya, kejelasan mengajar, penggunaan variasi metode mengajar, variasi penggunaan media pendidikan, kesungguhan mengajar, penggunaan jenis pertanyaan, manajemen kelas, penggunaan waktu, kedisiplinan, keempatian terhadap peserta didik, hubungan interpersonal, ekspektasi, keinovasian pengajaran, dan penggunaan prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran yang efektif. Demikian juga, mutu interaksi peserta didik di kelas sangat tergantung pada mutu perilaku peserta didik di kelas. Misalnya, keseriusan belajar, semangat belajar, perhatian terhadap pelajaran, keingintahuan, usaha, pertanyaan, dan kesiapan belajar.
Output pendidikan adalah hasil belajar atau prestasi belajar yang merefleksikan seberapa efektif proses pembelajaran diselenggarakan. Artinya, prestasi belajar ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan kemampuan fungsional. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya kalbu, dan daya raga yang diperlukan oleh peserta didik untuk terjun di masyarakat dan untuk mengembangkan dirinya. Daya pikir terdiri atas daya pikir deduktif, induktif, ilmiah, kritis, kreatif, eksploratif, diskoveri, nalar, lateral, dan berpikir sistem. Daya kalbu terdiri atas daya spiritual, emosional, moral, rasa kasih saying, kesopanan, toleransi, kejujuran dan kebersihan, disiplin diri, harga diri, tanggung jawab, keberanian moral, kerajian, komitmen, estetika, dan etika. Daya raga terdiri atas kesehatan, kestaminaan, ketahanan, dan keterampilan. Kemampuan fungsional antara lain meliputi kemampuan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan, kemampuan mengelola sumberdaya, kemampuan kerjasama, kemampuan memanfaatkan informasi, kemampuan menggunakan sistem dalam kehidupan, kemampuan berwirausaha, kemampuan kejuruan, kemampuan menjaga harmoni dengan lingkungan, kemampuan mengembangkan karir.
Outcome adalah dampak jangka panjang dari output atau hasil belajar, baik dampak bagi individu tamatan maupun bagi masyarakat. Outcome memiliki dua dimensi yaitu: (1) kesempatan melanjutkan pendidikan dan kesempatan kerja, dan (2) pengembangan diri tamatan.
Berdasarkan konsep pendidikan sebagai suatu sistem, kita dapat mengadakan asesmen atau evaluasi pada masing-masing komponen atau pada beberapa komponen dalam sistem. Asesmen dalam pendidikan mencakup aspek-aspek yang luas, paling sedikit mencakup tiga sasaran pokok, yaitu: (1) asesmen program pendidikan, (2) asesmen dalam proses pembelajaran, dan (3) asesmen hasil belajar. Asesmen program pendidikan, menyangkut penilaian terhadap semua komponen pendidikan, yaitu: penilaian pada konteks, input, proses, dan output; bahkan mungkin sampai pada outcome atau dampak. Atau hanya menyangkut beberapa aspek saja, antara lain: tujuan pendidikan, isi program, strategi pelaksanaan program, dan sarana pendidikan.
Asesmen proses pembelajaran menyangkut penilaian terhadap kualitas interaksi antara pendidik dan peserta didik, kegiatan pendidik dalam proses pembelajaran, kegiatan peserta didik, pola interaksi pendidik-peserta didik, dan keterlaksanaan program pembelajaran. Sedangkan asesmen hasil belajar menyangkut hasil belajar jangka pendek dan jangka panjang, meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam buku teks ini, pengkajian difokuskan kepada asesmen proses dan hasil belajar.
B. Pengertian Asesmen, Pengukuran, Tes, dan Evaluasi
Sebelum diuraikan lebih lanjut, perlu dijelaskan mengenai beberapa istilah yang berkaitan dengan asesmen, yaitu mengenai istilah: assessment, test,
evaluation, dan measurement,yang penggunaannya sering agak membingungkan karena semua istilah tersebut termasuk ke dalam proses yang sama.
Menurut Linn dan Gronlund, asesmen (assessment) adalah istilah umum yang melibatkan semua rangkaian prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang hasil belajar peserta didik (misalnya: observasi, skala bertingkat tentang kinerja, tes tertulis) dan pelaksanan penilaian mengenai kemajuan belajar peserta didik. Sedangkan testadalah tipe khusus dari asesmen yang secara khusus terdiri atas seperangkat pertanyaan yang dilaksanakan pada periode waktu tertentu sampai dengan dapat membandingkan semua peserta didik. Di lain pihak,
measurement atau pengukuran ialah pemberian tanda atau angka pada hasil
sebuah tes atau bentuk lain dari asesmen menurut aturan tertentu. Pengertian asesmen hampir sama dengan pengertian evaluasi (evaluation), tetapi asesmen memberi penekanan yang lebih besar pada kinerja tugas-tugas pada bentuk nyata dan kompleks (Linn dan Gronlund, 1995). Penggunaan istilah asesmen tampaknya lebih ramah dan saat ini cenderung digunakan secara bergantian atau bersama-sama dengan istilah evaluasi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa assessment memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengertian evaluation, measurement, dan test. Dalam hubungan ini, Brown menyatakan bahwa pengukuran adalah pemberian tanda dengan angka terhadap perilaku menurut aturan tertentu (Brown, 1983). Sedangkan Kerlinger menyatakan bahwa pengukuran adalah pemberian angka
pada objek-objek atau kejadian-kejadian menurut suatu aturan (Kerlinger,
terjemahan: 2000). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengukuran
adalah proses kuantifikasi atau pemberian tanda dengan bilangan atau angka kepada objek atau perilaku tertentu menurut aturan-aturan tertentu.
Selanjutnya, mengenai tes, Gronlund menyatakan bahwa tes hasil belajar adalah suatu prosedur yang sistematis untuk mengukur sampel perilaku yang representatif tentang tugas-tugas pembelajaran peserta didik (Gronlund, 1993). Pendapat lain menyatakan bahwa tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas-tugas untuk menentukan bentuk-bentuk respon yang berkenaan dengan perilaku peserta didik (Salvia dan Ysseldyke, 1995). Sedangkan Nitko menyatakan bahwa tes adalah suatu instrumet atau prosedur yang sistematis untuk mengobservasi dan menggambarkan satu atau lebih ciri-ciri peserta didik dengan menggunakan skala numerik atau klasifikasi tertentu (Nitko, 1996).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tes adalah instrumen atau alat atau prosedur yang sistematis yang terdiri atas seperangkat pertanyaan atau tugas-tugas untuk mengukur suatu perilaku tertentu pada peserta didik dengan menggunakan bantuan skala numerik atau kategori tertentu. Tes hasil belajar adalah alat atau instrumen untuk mengukur hasil belajar, baik hasil belajar pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Untuk melaksanakan asesmen terhadap proses dan hasil belajar, terlebih dahulu perlu dilakukan pengukuran terhadap sasaran ukur (atribut orang, objek, peristiwa).
Selanjutnya, mengenai pengukuran (measurement) adalah pemberian angka pada objek atau peristiwa menurut aturan (Kerlinger). Pendapat yang hampir sama menyatakan bahwa pengukuran adalah pemberian angka pada objek atau peristiwa menurut aturan yang memberikan arti kuantitatif kepada angka itu (Wiersma dan Jurs, 1990). Selanjutnya, Gronlund menyatakan bahwa pengukuran adalah proses untuk memperoleh deskripsi angka tentang derajat karakteristik tertentu yang dimiliki oleh individu (Gronlund, 1993). Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengukuran adalah pemberian bilangan kepada atribut orang, objek, atau peristiwa menurut aturan tertentu. Hal ini dapat dibaca pada bagan mengenai proses pengukuran berikut ini.
Sasaran Ukur: Atribut orang, objek, Peristiwa
Alat Ukur (Skala Ukur)
Aturan Cara Ukur
Responden: orang, objek, peristiwa
Skor (Data): Bilangan Gambar 02. Proses Pengukuran
Makna gambar tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Sasaran ukur pada responden adalah atribut orang (hasil belajar mahapeserta didik, sikap karyawan), atribut objek (tinggi meja, kedalaman ilmu), peristiwa (kecepatan pengolahan data); biasanya berbentuk variable.
2) Alat ukur (skala ukur) dibuat, diuji coba, diperbaiki, dan harus cocok dengan sasaran ukur dan responden
3) Skala ukur adalah besaran pada alat ukur (Misalnya: satuan ukur) yang digunakan untuk memperoleh skor atau data.
4) Cara ukur adalah cara alat ukur diberikan kepada responden untuk memperoleh skor; dalam hal ini perlu diperhatikan sifat alat ukur, sifat responden, dan kualitas skor.
5) Skor adalah bilangan yang diberikan kepada atribut orang, objek, atau peristiwa.
6) Nilai adalah arti dari skor sebagai hasil pengukuran; skor ditransformasi menjadi nilai.
C. Manfaat Asesmen
Asesmen atau evaluasi memiliki manfaat bagi berbagai pihak, antara lain bagi peserta didik, pendidik, pembimbing atau konselor, sekolah, dan bagi orang tua peserta didik.
Bagi peserta didik, hasil evaluasi memberikan informasi tentang kompetensi yang telah dicapai oleh peserta didik. Atas dasar informasi itu, peserta didik dapat melakukan upaya untuk perbaikan hasil evaluasi terhadap dirinya. Bagi peserta didik yang belum mencapai kompetensi minimal, tentu hasil evaluasi yang diperolehnya dapat memberikan motivasi untuk belajar lebih giat. Sebaliknya, bagi peserta didik yang telah mencapai hasil memuaskan atau telah mencapai kompetensi dasar minimal sesuai dengan kriteria, mereka akan berupaya untuk mempertahankan prestasinya dan bahkan berusaha lebih giat untuk mencapai kompetensi ideal atau maksimal.
Bagi pendidik, hasil evaluasi terhadap peserta didik dapat memberi gambaran tentang keadaan peserta didik, materi pembelajaran, metode pembelajaran, dan sistem evaluasi yang digunakan. Hasil evaluasi terhadap peserta didik akan memberikan informasi tentang kemajuan belajar tiap peserta didik dan kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didik atau mengetahui pada indikator mana peserta didik belum memahami sehingga perlu diadakan pembelajaran remedi. Berdasarkan petunjuk tersebut, pendidik dapat menupayakan langkah-langkah perbaikan dalam proses pembelajarannya. Demikian juga tentang penggunaan metode pembelajaran, pendidik dapat mengadakan refleksi dan mengupayakan penggunaan metode pembelajaran yang tepat sesuai dengan karakteristik materi pembelajaran.
Bagi pembimbing atau konselor, bimbingan dan konseling dapat diarahkan kepada upaya peningkatan daya serap peserta didik dan penyesuaian lingkungan belajarnya. Bimbingan dan konseling diarahkan pada aspek intelektual atau emosional peserta didik, setelah memperoleh informasi yang akurat tentang hasil evaluasi terhadap peserta didik.
Manfaat evaluasi bagi sekolah, tergantung pada hasil proses pembelajaran yang telah terjadi. Sekolah dapat melakukan introspeksi diri, apakah kondisi pembelajaran telah sesuai dengan standar pelayanan minimal sekolah. Jika terjadi
kendala dalam proses pembelajaran karena tidak tersedianya sarana belajar yang memadai, maka sekolah dapat mengupayakan untuk mengatasinya. Tetapi, jika kondisi sarana dan prasarana pembelajaran telah tersedia cukup memadai, maka sekolah dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas proses pembelajaran.
Bagi orang tua peserta didik, laporan hasil pendidikan yang tercermin dalam buku rapor, akan memberikan informasi yang cukup bagi orang tua tentang tingkat keberhasilan anaknya di sekolah pada periode waktu tertentu. Atas dasar informasi tersebut, orang tua peserta didik dapat mengupayakan intensitas bimbingan belajar di rumah atau melalui lembaga-lembaga kursus tertentu.
D. Tujuan dan Fungsi Asesmen
Tujuan utama melakukan asesmen atau evaluasi dalam proses pembelajaran adalah untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian proses pembelajaran. Berdasarkan informasi tersebut, dapat dilakukan tindak lanjut yang merupakan fungsi evaluasi, yang dapat berupa: (1) penempatan yang tepat, (2) pemberian umpan balik, (3) diagnosis kesulitan belajar, dan (4) penentuan kenaikan tingkat atau kelulusan pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu. Dengan demikian, tindak lanjut tersebut dapat berupa: (1) tes penempatan (placement test), (2) tes formatif, (3) tes diagnostik, dan (4) tes sumatif.
E. Beberapa Prinsip Asesmen
Beberapa prinsip asesmen yang banyak dijumpai dalam kepustakaan tentang asesmen atau evaluasi, antara lain bahwa asesmen hendaknya dilakukan secara komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan. Prinsip-prinsip asesmen seperti itu, saat ini dikenal dengan asesmen otentik, asesmen berbasis kelas, atau asesmen berbasis kompetensi yang dapat berupa esai, tes kinerja, tugas-tugas, proyek, atau portofolio. Mengenai hal ini, dikaji lebih lanjut pada bagian berikutnya.
BAB II
KLASIFIKASI ALAT UKUR
Setelah diuraikan mengenai pengertian tentang pengukuran, tes, evaluasi, dan asesmen, pada bab ini akan dikaji mengenai klasifikasi alat ukur dalam pendidikan. Jenis-jenis alat ukur dapat diklasifikasikan antara lain sebagai berikut: (a) alat ukur fisik (timbangan, meteran, stop watch, thermometer), (b) isian inventori (biasanya berbentuk isian atau kuesioner), (c ) tes (tes hasil belajar, tes kinerja, tes inteligensi, tes bakat, tes kepribadian), (d) kuesioner berisikan sejumlah butir yang ditanyakan kepada responden), (e) wawancara (interviu atau wawancara dilakukan oleh pewawancara kepada responden), (f) observasi (pengamatan), (g) daftar cocok (chek list), (h) skala (alat ukur kiraan atau rating), (i) studi kasus, (j) riwayat hidup, (k) sosiometri, dan (l) asesmen portofolio.
A. Alat Ukur Tes 1. Hakikat Tes
Mengenai alat ukur fisik tidak dibahas dalam buku ini, karena alat ukur tersebut telah ada secara baku yang digunakan oleh ilmu-ilmu alam. Dalam buku ini, uraian dibatasi pada alat ukur di lingkungan pendidikan. Salah satu alat untuk mengukur hasil belajar adalah tes. Tes sebagai salah satu alat ukur adalah suatu prosedur yang sistematis untuk membandingkan perilaku beberapa orang (Cronbach, 1960: 21). Untuk membandingkan perilaku beberapa orang dapat digunakan skala numerik atau sistem kategori tertentu. Dalam kaitan ini Fernandez mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan tes adalah suatu prosedur yang sistematis untuk mengamati perilaku seseorang dan menggambarkannya dengan bantuan skala numerik atau sistem kategori tertentu (Fernandez, 1984:1). Pendapat lain yang lebih rinci menyatakan bahwa tes adalah suatu instrumen atau prosedur yang sistematis untuk mengukur suatu perilaku tertentu (Gronlund dan Linn, 1995: 5). Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tes adalah suatu alat atau prosedur yang terencana dan sistematis untuk mengukur suatu perilaku tertentu serta menggambarkannya dengan bantuan angka-angka atau kategori tertentu. Prosedur yang sistematis mengandung pengertian suatu proses yang teratur.
Dalam hubungan ini, Brown menyatakan bahwa “measurement is the
assignment of numerals to behavior according to rules” (Brown, 1983: 11). Ini
berarti bahwa pengukuran adalah pemberian tanda dengan angka terhadap perilaku menurut aturan tertentu. Sedangkan Kerlinger menyatakan bahwa pengukuran ialah pemberian angka pada objek-objek atau kejadian-kejadian menurut suatu aturan (Kerlinger, 2000: 687). Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Nunnally, yang menyatakan bahwa pengukuran terdiri dari aturan-aturan untuk mengenakan bilangan kepada objek sedemikian rupa guna menunjukkan kuantitas atribut pada objek itu (Nunnally, 1978: 3). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengukuran adalah proses kuantifikasi atau pemberian tanda dengan bilangan kepada objek atau perilaku tertentu menurut aturan-aturan tertentu.
Selanjutnya, Gronlund menyatakan bahwa tes prestasi belajar adalah suatu prosedur sistematis untuk mengukur sampel yang representatif tentang tugas-tugas pembelajaran peserta didik (Gronlund, 1993:1). Pendapat yang lebih spesifik dikemukakan oleh Salvia dan Ysseldyke, yang menyatakan bahwa tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas-tugas untuk menentukan bentuk-bentuk respon yang berkenaan dengan perilaku peserta didik yang dicari (Salvia dan Ysseldyke, 1995:32). Pendapat lain menyatakan bahwa tes adalah suatu instrumen atau prosedur yang sistematis untuk mengobservasi dan menggambarkan satu atau lebih ciri-ciri peserta didik dengan menggunakan skala numerik atau klasifikasi tertentu (Nitko, 1996:6).
Dari uraian dan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tes adalah instrumen atau alat atau prosedur yang sistematis, yang terdiri atas seperangkat pertanyaan atau tugas-tugas untuk mengukur suatu perilaku tertentu pada peserta didik dengan menggunakan bantuan skala numerik atau kategori tertentu.
2. Tes Formatif
Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tes adalah alat atau prosedur yang sistematis, yang terdiri dari seperangkat pertanyaan atau tugas-tugas untuk mengukur perilaku tertentu pada peserta didik dengan menggunakan bantuan skala numerik atau kategori tertentu. Dilihat dari tujuan
dan fungsinya, tes atau alat ukur atau instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengadakan tes penempatan, tes diagnostik, tes formatif dan tes sumatif (Suharsimi Arikunto, 1986:30-34). Lebih lanjut akan diuraikan secara khusus mengenai tes formatif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa tes formatif adalah alat atau seperangkat pertanyaan atau tugas-tugas yang digunakan untuk melaksanakan evaluasi formatif. Evaluasi formatif atau disebut juga tes formatif adalah salah satu fungsi penilaian untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu proses pembelajaran dengan tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas proses pembelajaran. Dalam kaitan ini, Tessmer menyatakan bahwa yang dimaksud dengan evaluasi formatif adalah merupakan satu tahapan kegiatan yang dilakukan pada saat suatu bagian materi pelajaran telah selesai diberikan kepada peserta didik . Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana para peserta didik telah memahami materi pelajaran tersebut dan juga untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang terjadi pada proses pembelajaran, seperti ketepatan penggunaan metode, media, dan sistem evaluasi yang digunakan dalam proses pembelajaran tersebut. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh umpan balik yang tepat sehingga proses pembelajaran bisa disempurnakan sehingga menjadi lebih baik (Tessmer, 1995:11). Dalam hubungan ini evaluasi formatif memiliki peranan yang sangat penting untuk memonitor dan memfasilitasi pembelajaran peserta didik , sehingga peserta didik menjadi peduli terhadap pelaksanaan tes formatif (Bailey, 2000:2).
Dalam hubungan dengan evaluasi formatif ini, Popham menyatakan bahwa evaluasi formatif menunjuk pada proses penilaian program pembelajaran dengan maksud untuk memperbaiki program pembelajaran tersebut (Popham, 1995:246). Selanjutnya Tessmer menyatakan bahwa evaluasi formatif memiliki empat bentuk atau tipe dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) pandangan ahli (expertreview), (2) penilaian orang-perorang (one-to-one evaluation), (3) kelompok kecil (small
group), dan (4) tes lapangan (field test). Keempat ciri evaluasi formatif tersebut
merupakan suatu proses penilaian yang dapat digambarkan ke dalam bagan seperti tercantum pada halaman berikut.
Pada bentuk pandangan ahli, mereka meninjau proses pembelajaran dengan atau tanpa dihadiri oleh penilai. Para ahli dapat berupa ahli isi pelajaran, ahli teknik, ahli desain, atau instruktur dalam suatu proses pembelajaran.
Pandangan ahli
revisi? Revisi Kelompok Revisi Tes
kecil lapangan
Penilaian orang-perorang
Gambar 3. Rangkaian Umum Bentuk Evaluasi Formatif Sumber: Diadaptasi dari Martin Tessmer, Planning and Conducting
Formative Evaluation(London: Kogan Page Limited, 1995: 15-16).
Pada bentuk penilaian orang-perorang, seorang peserta didik pada suatu waktu meninjau proses pembelajaran bersama dengan penilai dan memberikan komentar sesuai dengan keperluan. Pada bentuk kelompok kecil, penilai mengadakan uji-coba proses pembelajaran pada kelompok peserta didik dan mencatat kinerja mereka dan memberikan komentar sesuai dengan keperluan. Sedangkan pada bentuk tes lapangan, penilai mengamati proses pembelajaran yang sedang diujicobakan dalam situasi sesungguhnya dalam kelompok peserta didik . Secara ideal, pertama-tama penilai hendaknya sebagai ahli, merevisi proses pembelajaran, dan kemudian melakukan penilaian terhadap kelompok kecil dan memperbaiki proses pembelajaran sekali lagi.
Dalam evaluasi formatif biasanya membutuhkan waktu khusus dari seluruh rangkaian proses pembelajaran. Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan evaluasi formatif tidak boleh terlalu lama dan penilaian tersebut tidak sulit untuk dilaksanakan pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa evaluasi atau tes formatif dilaksanakan pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung atau setelah selesai membahas satu sub pokok bahasan, misalnya dalam bentuk ulangan harian atau kuis kecil. Sedangkan tes sumatif dilaksanakan pada suatu periode tertentu
setelah beberapa pokok bahasan selesai diberikan, misalnya dalam bentuk ulangan umum yang biasanya dilakukan setiap akhir catur wulan atau akhir semester. Secara diagram, hubungan antara tes formatif dan tes sumatif dapat digambarkan sebagai berikut.
Program Program Program Program Akhir
evaluasi evaluasi evaluasi evaluasi evaluasi
formatif formatif formatif formatif sumatif
Gambar 4. Diagram Hubungan antara Evaluasi Formatif dan Sumatif
Sumber: Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bina Aksara, 1986), pp. 33-34.
Dalam diagram tersebut tampak bahwa evaluasi formatif atau tes formatif dapat dilakukan berkali-kali dalam satu satuan program pembelajaran. Frekuensi pemberian tes formatif tentu harus disesuaikan dengan banyaknya sub pokok bahasan dalam satu program pembelajaran tersebut.
Sebaiknya setiap akhir sub pokok bahasan perlu diberikan tes formatif dengan maksud untuk memantau penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran tersebut, sehingga dapat diadakan perbaikan-perbaikan. Dalam hubungan ini, Bloom, Hastings, dan Madaus menyatakan bahwa evaluasi formatif tidak hanya digunakan untuk pembuatan atau perbaikan kurikulum, tetapi juga untuk memperbaiki proses pembelajaran dan cara belajar peserta didik . Evaluasi formatif digunakan untuk menilai proses pembuatan kurikulum, proses pembelajaran, dan cara belajar peserta didik dengan tujuan untuk memperbaiki setiap proses-proses tersebut. Ini berarti bahwa dalam evaluasi formatif, pendidik hendaknya berusaha mengembangkan beberapa jenis petunjuk yang sangat berguna selama proses pembelajaran berlangsung, mencari metode yang paling tepat untuk melaporkan kejadian dan mencari cara untuk mengurangi efek negatif yang terkait dengan evaluasi. Hal ini bisa dilakukan dengan memberi tahu pengguna evaluasi formatif, seperti guru, peserta didik , dan penyusun kurikulum. Tujuannya adalah supaya pengguna tes formatif menemukan cara
menghubungkan hasil tes dengan tujuan pembelajaran yang dianggap penting (Bloom, Hasting, dan Madaus, 1971:118).
Berdasarkan uraian dan pendapat-pendapat tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tes formatif adalah tes yang digunakan untuk mengukur dalam memantau kemajuan belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung dalam satu program pembelajaran tertentu, misalnya pada satu sub pokok bahasan dalam pembelajaran. Di samping itu, pelaksanaan tes formatif juga bermanfaat untuk memberikan umpan balik kepada peserta didik , guru-guru, dan penyusun kurikulum guna memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran, baik pada peserta didik maupun guru. Melalui umpan balik tersebut diharapkan peserta didik dapat menguasai materi pelajaran secara optimal, dan pendidik dapat memperbaiki program pembelajaran, metode, media, dan sistem evaluasi yang digunakan.
3. Bentuk Tes Formatif
Menurut bentuknya, tes formatif dapat berbentuk tes esai dan tes objektif dalam berbagai variasi. Dalam hubungan ini, Popham menyatakan bahwa bentuk tes tertulis dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu: (1) soal-soal jawaban memilih (selected-response tests), yang terdiri dari butir soal pilihan benar-salah
(true-false items), butir soal pilihan ganda (multiple-choice items), dan butir soal
menjodohkan (matching items); dan (2) soal-soal jawaban tersusun atau terstruktur (constructed-response tests), yang terdiri dari butir soal jawaban singkat (short-answer items), dan butir soal esai (essay items) (Popham, 1995:101-132). Sejalan dengan pendapat ini, Wiersma dan Jurs menyatakan bahwa terdapat dua bentuk utama butir tes, yang secara umum disebut tes objektif dan esai, yang masing-masing memiliki format yang bervariasi. Selanjutnya dinyatakan bahwa istilah butir tes objektif secara umum berhubungan dengan butir jawaban pilihan (selected-response items). Sedangkan butir tes esai adalah salah satu bentuk dari butir jawaban tersusun (constructed-reasponse items) (Wiersma and Stephen G. Jurs, 1990: 41).
Dengan demikian pada dasarnya tes tertulis terdiri atas: (1) tes objektif atau tes jawaban memilih dengan berbagai variasi, seperti bentuk pilihan benar-salah, pilihan ganda, dan butir soal menjodohkan; dan (2) tes esai atau tes jawaban
tersusun atau terstruktur, yang terdiri dari butir tes jawaban singkat dan butir tes uraian atau esai. Dalam kaitan dengan bentuk tes ini, Gronlund dan Linn menyatakan bahwa secara khusus tes yang digunakan dalam kelas dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu: (1) butir tes objektif, yang menuntut pada peserta didik untuk mengisi satu kata atau dua kata, atau memilih jawaban yang benar dari sejumlah alternatif; dan (2) tes esai, yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk memilih, mengatur, dan mengemukakan jawaban dalam bentuk esai atau uraian. Pendapat lain menyatakan bahwa pada umumnya terdapat dua bentuk butir tes, yaitu: (1) butir tes objektif yang menuntut peserta didik untuk memilih jawaban yang benar dari beberapa alternatif atau mengisi satu kata atau kalimat pendek untuk menjawab atau melengkapi pernyataan; dan (2) butir tes subjektif atau esai yang memberi kebebasan kepada peserta didik untuk menyusun dan mengemukakan jawaban yang orisinil. Selanjutnya masing-masing bentuk tes tersebut akan diuraikan secara lebih rinci pada bagian berikut.
a. Tes Objektif
Tes objektif memiliki beberapa variasi dan bentuk yang berbeda, tetapi dapat diklasifikasikan ke dalam butir tes yang meminta peserta didik untuk mengisi jawaban dan butir tes yang meminta peserta didik untuk memilih jawaban dari sejumlah alternatif yang ada. Kedua golongan besar ini, menurut Gronlund dan Linn, secara umum dapat dibagi menjadi bentuk butir tes sebagai berikut. (1) Yang termasuk bentuk tes mengisi jawaban (supply type), yakni butir soal jawaban singkat (short answer) dan butir soal melengkapi (completion). (2) Yang termasuk bentuk butir tes yang meminta peserta didik untuk memilih jawaban, yakni butir soal benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda (Gronlund dan Linn, 1993: 122). Mengenai bentuk butir tes jawaban singkat, pengarang lain seperti Popham, menggolongkannya ke dalam tes terstruktur atau tersusun seperti telah dikemukakan di atas. Berkenaan dengan hal tersebut, Ebel menyatakan bahwa bentuk tes yang paling umum dari tes objektif adalah bentuk pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, dan jawaban singkat (Ebel, 1972: 102).
Di antara bentuk tes objektif yang umum digunakan adalah butir tes pilihan ganda, menjodohkan, dan benar-salah. Dari ketiga bentuk butir tes tersebut, bentuk pilihan ganda yang paling banyak digunakan (Salvia dan
Ysseldyke, 1995:223). Dalam hubungan ini Nitko mengemukakan bahwa tes bentuk jawaban singkat meminta pada peserta didik untuk menjawab setiap butir pertanyaan dengan sebuah kata, kalimat pendek, nomor, atau simbol. Tiga bentuk butir tes jawaban singkat biasanya dibedakan menjadi beberapa variasi, yaitu bentuk pertanyaan, melengkapi, dan asosiasi. Variasi bentuk pertanyaan, biasanya mengemukakan pertanyaan secara langsung. Variasi bentuk tes melengkapi meminta peserta didik untuk menambahkan kata-kata untuk melengkapi suatu pernyataan yang tidak lengkap. Sedangkan variasi bentuk asosiasi terdiri dari daftar istilah-istilah atau gambar terhadap mana peserta didik dapat menyebutkan nomor-nomor, label, simbol, atau bentuk lain. Selanjutnya, dijelaskan bahwa tes bentuk benar-salah terdiri dari sebuah pernyataan atau proposisi yang harus dinilai oleh peserta didik dan kemudian memberi tanda, apakah benar atau salah. Dalam hubungan ini paling sedikit terdapat enam variasi, yaitu: benar-salah (true-false), ya-tidak (yes-no), betul-salah (right-wrong), pembetulan atau koreksi (correction), pilihan benar-salah jamak (multiple true-false), dan ya-tidak dengan penjelasan
(yes-no with explanation). Variasi ”benar-salah” berbentuk proposisi yang harus
dinilai oleh peserta didik , apakah penyataan itu benar atau salah. Variasi bentuk “ya-tidak” menanyakan pertanyaan langsung, terhadap mana peserta didik menjawab ya atau tidak. Pada variasi bentuk ”betul-salah,” dikemukakan perhitungan, persamaan, atau kalimat yang harus dinilai oleh peserta didik apakah betul atau tidak betul. Variasi bentuk “koreksi atau pembetulan,” meminta kepada peserta didik untuk menilai sebuah proposisi, seperti pada bentuk benar-salah, tetapi peserta didik juga diminta untuk memperbaiki atau mengoreksi setiap pernyataan yang salah dan membetulkannya. Variasi bentuk pilihan “benar-salah” tampaknya sama dengan butir pilihan ganda, malahan pada saat memilih satu opsi yang benar, peserta didik memperlakukan tiap opsi sebagai suatu pernyataan “benar-salah” yang terpisah, yakni lebih dari satu pilihan bisa benar. Sedangkan pada variasi “ya-tidak” dengan penjelasan, menanyakan pertanyaan langsung dan meminta peserta didik untuk menjawab “ya” atau “tidak,” dan dijelaskan mengapa pilihannya benar (Nitko, 1996: 124-129).
Dalam penelitian ini, bentuk tes objektif yang akan digunakan adalah bentuk pilihan ganda. Oleh karena itu, pada uraian lebih lanjut mengenai tes
objektif, difokuskan pada tes bentuk pilihan ganda. Mengenai tes bentuk pilihan ganda ini, Nitko menjelaskan bahwa butir tes pilihan ganda terdiri dari satu atau lebih kalimat pengantar dan diikuti oleh daftar tentang dua atau lebih jawaban sugestif. Peserta didik diminta untuk memilih jawaban yang benar di antara alternatif jawaban yang didaftar. Kalimat pengantarnya disebut “stem” dan daftar jawaban sugestif disebut “alternative, responses, choices, atau option.” Alternatif jawaban selalu harus diurut secara bermakna, yakni disusun secara logis, numerik, menurut abjad, dan susunan lain (Nitko, 1996: 138-153).
Berkaitan dengan tes pilihan ganda ini, Ebel memberikan petunjuk sebagai berikut. (1) Susun tes pilihan ganda berdasarkan ide-ide yang penting dan menunjukkan pernyataan yang bermakna, relevan, dan independen, (2) pilih topik dan ide, kemudian tulis butir soal pilihan ganda yang mampu memaksimalkan daya beda butir-butir tes tersebut, (3) susun draf awal dan adakan revisi, sehingga penggabungan menjadi seperangkat tes akhir menjadi sempurna, (4) awali stem pertanyaan dengan pernyataan yang tidak lengkap dan disertai jawaban yang tepat serta dilengkapi dengan jawaban yang salah, tetapi masuk akal, (5) susun jawaban yang benar sedemikian rupa atau secara acak tanpa menampakkan adanya petunjuk ke arah jawaban benar tersebut, dan (6) pilih susunan pengecoh sedemikian rupa sehingga menjadi salah, tetapi tampak masuk akal, khususnya bagi peserta didik yang bodoh (Ebel, 1972: 191-202). Dalam kaitan ini, Hopkin dan Antes memberikan petunjuk yang lebih rinci dan praktis dalam menyusun tes pilihan ganda, yaitu: (1) definisikan tugas-tugas dalam stem secara jelas, (2) tulis alternatif jawaban pada akhir pertanyaan, (3) tempatkan sebanyak mungkin kata-kata dalam stem, (4) hindari penggunaan kata-kata-kata-kata negatif, (5) hindari stem yang mengarah pada alternatif jawaban yang salah atau benar, (6) buat alternatif jawaban yang paralel, (7) tulis alternatif jawaban secara vertikal, (8) hindari jawaban “semua di atas”, (9) buat alternatif jawaban sama panjang, (10) hilangkan petunjuk ke arah jawaban benar, (11) buat pengecoh yang masuk akal, (12) usahakan stemnya dalam bentuk pertanyaan, (13) kontrol tingkat kesulitan soal sehingga persentase jawaban benar kira-kira separuhnya, (14) hindari kemungkinan menebak, (15) gunakan jawaban “tidak ada jawaban benar” hanya kalau tidak ada jawaban lain, (16) susun alternatif jawaban sesuai dengan abjad
atau urutan lainnya, (17) letakkan jawaban benar secara acak, dan (18) usahakan memiliki empat sampai lima alternatif jawaban (Hopkin dan Antes, 1990: 185-191).
Demikianlah beberapa petunjuk penting yang diperlukan dalam menyusun butir soal pilihan ganda yang baik dan bermutu. Dengan memperhatikan petunjuk tersebut, diharapkan pendidik dapat menyusun butir tes pilihan ganda yang baik.
Masing-masing bentuk tes memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan tes objektif, antara lain dapat mengurangi subjektivitas dalam pemberian skor, menuntut kemampuan tertentu untuk membedakan pilihan yang tepat, lebih cepat untuk mengoreksi pekerjaan peserta didik , bisa mencakup materi pelajaran secara komprehensif, dan bisa menguji peserta didik dalam jumlah yang besar sekaligus. Sedangkan kelemahannya, antara lain: sulit untuk menyusun butir soal yang baik, membutuhkan waktu cukup lama untuk menyusunnya, mengandung sifat “coba-coba”(guessing), dan kurang bisa melatih peserta didik untuk memecahkan masalah serta kurang bisa melatih berpikir evaluatif, divergen yang bersifat holistik, lateral, intuitif, imajinatif, dan kreatif.
Berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan tes objektif, Gronlund dan Linn berpendapat bahwa kelebihan dan kelemahan tes objektif, antara lain adalah sebagai berikut. (1) Kelebihan pada butir soal jawaban singkat adalah sangat mudah menyusunnya, karena secara relatif biasanya mengukur hasil belajar yang sederhana. Kecuali untuk mengukur hasil belajar pemecahan masalah pada matematika dan sain, butir tes jawaban singkat hanya mengukur ingatan (recall) tentang informasi ingatan. Kelebihan lain butir tes jawaban singkat adalah bahwa peserta didik harus menyisipkan jawaban sehingga mengurangi kemungkinan bahwa peserta didik menjawab dengan benar karena tebakan. Sedangkan kelemahan tes jawaban singkat adalah tidak cocok untuk mengukur hasil belajar yang kompleks dan kesulitan untuk memberi skor.(2) Kelebihan pada butir tes benar-salah adalah bahwa butir tes benar-salah mudah disusun, tetapi untuk menyusun butir tes benar-salah yang tidak ambigius diperlukan keterampilan tertentu. Kelebihan kedua pada butir tes banar-salah adalah bahwa dapat mencakup materi yang luas. Di samping itu, salah satu kekurangan atau kelemahan yang serius pada butir benar-salah adalah bentuk hasil belajar yang
dapat diukur. Di samping itu bentuk tes benar-salah bisa ditebak, dan peluang benarnya adalah 50%. (3) Kelebihan pada butir tes menjodohkan adalah bentuknya yang kompak dan dapat mengukur sejumlah besar hasil belajar yang berkaitan dengan fakta-fakta, dan mudah menyusunnya. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa butir tes menjodohkan terbatas untuk mengukur informasi tentang fakta-fakta pada belajar hafalan, dan kesulitan untuk menemukan materi yang homogen yang signifikan dengan tujuan dan hasil belajar. (4) Kelebihan pada butir tes pilihan ganda adalah efektif untuk mengukur berbagai tipe pengetahuan dan hasil belajar yang kompleks. Di samping itu, butir tes pilihan ganda memiliki tingkat reliabilitas yang lebih tinggi daripada bentuk butir tes benar-salah, karena kesempatan untuk menebak dapat dikurangi. Sedangkan kelemahan butir tes pilihan ganda adalah bahwa sebagai tes tertulis memiliki keterbatasan untuk mengukur hasil belajar yang bersifat verbal, mengukur keterampilan pemecahan masalah, mengukur kecakapan untuk mengorganisasikan dan mengemukakan pendapat. Di samping itu, butir tes pilihan ganda memiliki kesulitan untuk menemukan pengecoh yang tepat (Linn dan Gronlund, 1995: 153-183).
Sehubungan dengan adanya kelebihan dan kelemahan butir tes objektif tersebut di atas, Ebel menyarankan bahwa tes objektif hendaknya digunakan dalam kondisi sebagai berikut: (1) kelompok yang diberikan tes jumlahnya besar atau banyak, dan tes akan digunakan kembali, (2) reliabilitas skor tes yang tinggi harus diperoleh seefisien mungkin, (3) kejujuran penilaian, keterbukaan, dan bebas dari “halo effect”, (4) pengajar atau pendidik lebih percaya akan kemampuannya untuk menyusun butir-butir tes objektif secara jelas dibandingkan dengan kemampuannya untuk menilai jawaban tes esai secara jelas, dan (5) lebih menekankan pada kecepatan laporan skor tes daripada kecepatan menyiapkan tes (Ebel, 1972: 144).
Berdasarkan uraian dan pendapat-pendapat tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa tes objektif adalah butir tes yang menuntut jawaban memilih, yang terdiri dari butir tes bentuk jawaban benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda dalam berbagai variasi; dan butir soal yang menuntut jawaban mengisi, yang terdiri dari butir tes jawaban singkat dan butir tes melengkapi. Dalam penelitian ini hanya digunakan tes objektif dalam bentuk pilihan ganda, karena
bentuk tes ini yang umum digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta didik . Butir tes objektif memiliki beberapa kelebihan dan keterbatasan yang berkaitan dengan cara penyusunan butir tes, tingkat reliabilitas, cakupan materi yang bisa diukur, peluang untuk menebak dan menjawab benar, dan jumlah peserta didik yang bisa diuji atau di tes pada waktu yang bersamaan. Untuk mengatasi kelemahan dari masing-masing bentuk tes objektif tersebut, dianjurkan kepada penulis butir tes objektif untuk mengikuti petunjuk penulisan butir soal obyektif yang baik.
b. Tes Esai atau Tes Uraian
Tes esai sering disebut tes subjektif, karena proses pemberian skornya dipengaruhi oleh opini atau penilaian dari pendidik atau pemeriksa tes tersebut. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa tes esai termasuk ke dalam kelompok tes dengan jawaban tersusun (constructed-response tests). Jenis tes esai menghendaki peserta didik untuk mengorganisasikan, merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya. Dengan perkataan lain bahwa peserta didik tidak memilih jawaban, akan tetapi memberikan jawaban dengan kata-katanya sendiri secara bebas. Oleh karena itu, jawaban peserta didik tersebut hanya bisa diperiksa oleh mereka yang menulis butir tes tersebut atau oleh orang yang ahli atau mengetahui dengan jelas mengenai inti pokok persoalan yang ditanyakan dalam butir tes tersebut. Dalam hubungan ini, Hopkins dan Antes menyatakan bahwa tes esai adalah tes untuk mengembangkan jawaban atau respon peserta didik secara penuh. Keakuratan dan kualitas dari jawaban peserta didik harus dinilai oleh seseorang yang memiliki pengetahuan dan keahlian tentang materi yang diujikan, dalam hal ini biasanya adalah orang yang membuat butir soal tersebut.
Menurut Mehrens dan Lehmann, tes esai dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) dan jawaban terbatas
(restricted-response), dan hal ini tergantung pada kebebasan peserta didik untuk
mengorganisasikan atau menyusun ide-idenya dan menuliskan jawabannya. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka atau jawaban luas dari pertanyaan uraian atau esai, mengijinkan peserta didik untuk mendemonstrasikan kecakapannya untuk: (1) menyebutkan atas pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya,
(3) menyusun ide-idenya, dan (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Sedangkan pada tes esai jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi pada bentuk dan ruang lingkup jawabannya, karena secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang harus diberikan oleh peserta didik (Mehrens dan Lehmann, 1973: 206-207).
Seperti halnya pada tes objektif, butir tes esai juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan atau keunggulan tes esai, yaitu: (1) secara relatif lebih mudah untuk menyiapkan butir soalnya dibandingkan dengan menyusun butir soal pilihan ganda, (2) merupakan alat yang bisa mengukur kecakapan peserta didik untuk menyusun jawaban dan mengemukakannya dalam prosa, (3) dapat membantu pendidik untuk melihat kejujuran peserta didik dengan memberi tekanan pada kemampuan peserta didik untuk mengisi jawaban yang benar, dan (4) dapat membantu merangsang hasil yang baik bagi pembelajaran peserta didik . Di samping keunggulannya, tes esai juga memiliki kelemahan, yaitu: (1) terbatas pada cakupan materi yang bisa diukur, khususnya pada bentuk tes esai jawaban terbuka, dan (2) memiliki reliabilitas keterbacaan yang rendah (Mehrens dan Lehmann, 1973: 73-76).
Menurut Wiersma dan Jurs, kelebihan tes esai adalah memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkatan yang lebih tinggi atau kompleks. Pada butir tes esai memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menyusun, menganalisis, dan mensintesis ide-ide, dan peserta didik harus mengembangkan sendiri buah pikirannya serta menuliskannya dalam bentuk yang tersusun atau terorganisasi. Hal ini tidak terjadi pada penggunaan tes objektif. Sedangkan kelemahan tes esai adalah berkaitan dengan pensekoran. Ketidak konsistenan pembaca merupakan penyebab kurang objektifnya dalam memberikan sekor dan terbatasnya reliabilitas tes. Pensekoran dapat dipengaruhi oleh baik-buruknya tulisan peserta didik atau kerapian dan keindahan tulisan peserta didik (Wiersma dan Jurs, 1990: 73-76). Dalam hubungan ini, Hopkins dan Stanley mengemukakan bahwa keterbatasan tes esai adalah sebagai berikut. (1) tidak konsistennya pembaca (reader reliability), (2) adanya efek dari kecenderungan menilai yang dipengaruhi oleh keadaan lain (halo effect), (3) akibat yang timbul karena adanya pengaruh pada jawaban butir soal sebelumnya (item-to-item
carryover effects), (4) akibat yang timbul karena pengaruh hasil tes sebelumnya
(test-to-test carryover effects), (5) akibat yang timbul karena urutan penilaian
(order effects), dan (6) akibat yang timbul karena bentuk tulisan atau bahasa
(language mechanics effects). Sedangkan kelebihan tes esai adalah bahwa dengan
tes esai, mampu untuk mengukur tingkat berpikir lebih tinggi dan kompleks, serta bisa mengembangkan sikap untuk memecahkan masalah (Hopkins dan Stanley, 1981: 205-213).
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tes esai, berikut ini akan diuraikan mengenai beberapa petunjuk praktis dalam menyusun butir tes esai. Dalam hubungan ini, Hopkins dan Stanley menganjurkan bahwa untuk menyusun tes esai yang baik perlu memperhatikan langkah-langkah berikut. (1) Siapkan secara pasti perlengkapan yang diperlukan dalam menyiapkan peserta didik untuk mengikuti ujian dengan tes esai. (2) Yakinkan bahwa pertanyaan-pertanyaan telah terfokus dan disiapkan secara hati-hati. (3) Isi dan panjang pertanyaan perlu disusun sedemikian rupa. (4) Gunakan teman-teman sejawat untuk memberi masukan terhadap tes yang disusun. (5) Hindari penggunaan pertanyaan pilihan. (6) Kecuali untuk kemampuan menulis, batasi penggunaan tes esai pada tujuan pembelajaran yang sesuai. (7) Pada umumnya beberapa pertanyaan singkat lebih baik disiapkan untuk mengurangi pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur prestasi secara umum (Hopkins dan Stanley, 1981: 216-220).
Selanjutnya Linn dan Gronlund menyatakan bahwa untuk menyusun tes esai hendaknya memperhatikan beberapa petunjuk sebagai berikut. (1) Batasi penggunaan tes esai pada hasil belajar yang tidak bisa diukur dengan tes objektif. (2) Susun pertanyaan yang akan mengungkap perilaku yang menentukan hasil belajar. (3) Susun pertanyaan sedemikian rupa sehingga tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik bisa dipahami secara jelas. (4) Berikan batas waktu untuk setiap pertanyaan. (5) Hindari penggunaan pertanyaan yang bersifat pilihan. Lebih kanjut dijelaskan bahwa dalam pemberian skor hendaknya mengikuti petunjuk-petunjuk berikut ini, yaitu: (1) siapkan garis besar jawaban yang diharapkan dikuasai; (2) gunakan metode pensekoran yang paling tepat, yakni dengan metode analitik atau metode holistik; (3) tentukan bagaimana menangani faktor-faktor yang tidak relevan dengan hasil belajar yang akan diukur; (4)
berikan penilaian untuk semua jawaban peserta didik pada satu nomor pertanyaan sebelum beralih pada nomor pertanyaan berikutnya; (5) jika memungkinkan, berikan nilai pada jawaban-jawaban peserta didik tanpa memperhatikan identitas atau nama peserta didik ; dan (6) Gunakan dua atau lebih penilai bebas jika keputusan penting akan diambil atau dibuat (Linn dan Gronlund, 1995; 225-234). Mengenai metode pemberian skor pada tes esai, dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada metode pemberian skor secara analitik, tiap jawaban dibandingkan dengan jawaban ideal dan nilai diberikan untuk setiap elemen. Penilaian didasarkan pada angka kumulatif secara absolut, misalnya, A = 10 atau lebih, B = 6-9 poin, dan sebagainya, atau secara relatif, A = skor tertinggi 15%, B = skor berikutnya 30%, dan sebagainya. Sedangkan pada metode global, tiap jawaban peserta didik dibaca dan diberikan skor didasarkan pada kualitas total jawaban peserta didik atau pada kualitas total dari jawaban peserta didik dibandingkan dengan jawaban peserta didik yang lain. Di samping pendapat-pendapat tersebut, Mehrens dan Lehmann juga memberikan beberapa petunjuk tentang penyusunan tes esai yang baik, yaitu: (1) berikan waktu dan pikiran yang cukup untuk menyusun pertanyaan tes esai; (2) pertanyaan hendaknya ditulis sedemikian rupa sehingga memperoleh bentuk perilaku yang akan diukur; (3) pertanyaan esai yang disusun dengan baik akan membuat peserta didik mengerti tentang kerangka jawaban yang harus dikerjakan: (4) tentukan dengan jelas, penguasaan fakta-fakta apa yang akan dipertimbangkan dalam menilai jawaban tes esai; (5) hindari menyediakan pertanyaan pilihan dalam tes esai; (6) gunakan sejumlah besar pertanyaan yang menuntut jawaban singkat (sekitar setengah halaman) daripada hanya menyediakan sedikit pertanyaan yang memerlukan jawaban panjang; (7) jangan memulai pertanyaan esai dengan kata-kata, seperti: daftarlah, siapakah, apakah, tahukah anda; (8) sesuaikan kompleksitas dan panjang jawaban yang diharapkan dengan tingkat kematangan peserta didik ; (9) jika memungkinkan, gunakan pertanyaan bentuk novel; dan (10) siapkan kunci jawaban. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam memeriksa jawaban tes esai hendaknya diperhatikan petunjuk berikut, yaitu: (1) gunakan metode yang tepat (metode analitik atau metode global) untuk mengurangi bias; (2) berikan perhatian hanya pada aspek jawaban yang signifikan dan relevan; (3) hati-hati, jangan terpengaruh oleh aspek
pribadi yang dinilai; dan (4) terapkan patokan yang sama untuk semua lembar jawaban peserta didik .Dalam hubungan dengan penyusunan tes esai ini, terdapat sejumlah kata-kata kunci yang perlu diperhatikan, yaitu: (1)analyze atau analisis,
(2)comentatau berikan komentar, (3)compareatau bandingkan, (4)contrastatau
perbedaan antara dua hal atau lebih, (5) criticize, interpret, review atau berikan kritik, intepretasikan, dan berikan pandangan, (6) define atau definisikan, (7)
diagram, illustrate, atau buat diagram dan berikan ilustrasi, (8) discuss atau
diskusikan, (9) evaluateatau berikan penilaian, (10)explain, relate, atau jelaskan, hubungkan, (11)justify, prove, atau berikan alasan, buktikan, (12)list, enumerate, atau buat daftar, sebutkan satu-persatu, (13) outline atau buat garis besar, (14)
summarize atau buat ringkasan, dan (15) trace atau berikan deskripsi tentang
kemajuan secara runtut.
Berkenaan dengan pemerikasaan dan pemberian skor pada butir tes esai ini, Wiersma dan Jurs menyatakan bahwa prosedur pemberian skor butir tes esai hendaknya mengikuti langkah-langkah berikut ini, yaitu: (1) siapkan daftar yang jelas tentang konsep-konsep, fakta-fakta, dan lain-lain yang dianggap penting yang termasuk dalam jawaban soal, serta bekerjalah berdasarkan garis besar model jawaban yang diinginkan; (2) bacalah sejumlah sampel (sekitar lima atau enam orang) dari jawaban-jawaban tersebut tanpa memberikan skor dengan maksud untuk memperoleh gambaran tentang kualitas jawaban yang bisa diharapkan; (3) jika memungkinkan, bacalah lembaran kerja peserta didik tanpa memperhatikan identitas peserta didik untuk menghindari terjadinya “halo
effect”, seperti memberi skor yang tinggi kepada peserta didik yang telah
diketahui sebagai peserta didik yang baik; (4) beri skor untuk semua jawaban peserta didik pada satu nomor soal sebelum memberi skor pada butir soal berikutnya, sehingga dapat menjaga konsistensi pemberian skor; (5) atur kembali lembaran kerja peserta didik secara random setelah pemberian skor untuk tiap butir soal, sehingga posisinya tidak sama; (6) Jika jumlah soal yang akan diberi skor cukup banyak, aturlah waktu pemeriksaan tersebut sedemikian rupa dengan maksud untuk mengurangi kelelahan dan kebosanan (Wiersma dan Jurs, 1990: 84-85).
Dari uraian dan pendapat-pendapat tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa tes esai adalah butir tes yang menuntut peserta didik untuk menyusun, merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya menurut kata-katanya sendiri secara bebas. Tes esai dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu tes esai yang menginginkan jawaban luas atau terbuka dan tes esai yang menginginkan jawaban terbatas atau terstruktur. Pada bentuk tes esai yang menginginkan jawaban terbuka, peserta didik boleh mendemonstrasikan kecakapannya untuk menyebutkan pengetahuan faktual, menilai pengetahuan faktualnya, menyusun ide-idenya, dan mengemukakan ide-idenya secara logis dan koheren. Sedangkan pada tes esai dengan jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi pada bentuk dan lingkup jawabannya yang harus diberikan oleh peserta didik .
Di samping memiliki beberapa keunggulan, seperti dapat mengukur aspek kemampuan yang tinggi dan kompleks, tetapi tes esai juga memiliki beberapa kelemahan, misalnya, sulit memberikan skor secara objektif, sehingga tingkat reliabilitasnya lebih rendah dari tes objektif. Namun demikian, tes esai secara keseluruhan lebih unggul jika dibandingkan dengan tes objektif, karena tes esai bisa mengukur tingkat kemampuan yang paling rendah sampai dengan tingkat kemampuan paling tinggi. Untuk mengatasi kelemahan pada tes esai, dapat dilakukan dengan cara mengikuti secara cermat petunjuk-petunjuk penulisan tes esai yang dikemukakan oleh para ahli pada bidang pengukuran dan evaluasi. Di samping itu, pemeriksaan dan pemberian skor pada tes esai harus dilakukan oleh orang yang membuat soal tersebut atau oleh orang yang ahli dan menguasai materi yang ditanyakan dalam butir tes esai, serta harus mengikuti prosedur pemberian skor secara ketat, antara lain dengan cara memberi skor tanpa memperhatikan identitas peserta didik , memberi skor untuk satu nomor butir soal bagi semua peserta didik sebelum melangkah kepada butir soal berikutnya, dan memeriksa butir soal secara periodik untuk mengurangi kelelahan dan kebosanan.
c. Perbandingan antara Tes Esai dan Tes Objektif
Antara kedua bentuk tes, yaitu esai dan tes objektif, terdapat perbedaan dan persamaannya. Perbedaan tersebut tampak pada berbagai aspek, misalnya
dilihat dari tujuan pengukuran, ranah atau jenis kemampuan yang diukur, cara penulisan butir soal, dan cara pemberian skor untuk setiap butir soal. Sedangkan persamaannya, antara lain adalah sama-sama berupa alat untuk mengukur sebagian besar hasil pendidikan yang dapat diukur dengan tes tertulis. Di samping itu, baik tes objektif maupun tes esai dapat digunakan untuk mendorong peserta didik supaya belajar memahami prinsip-prinsip, menyusun dan memadukan ide-ide, dan penerapan pengetahuan pada proses pemecahan masalah.
Mengenai perbedaan antara tes esai dan tes objektif, Ebel menyatakan sebagai berikut. (1) Pada tes esai, meminta peserta didik untuk merencanakan, menyusun, dan mengemukakan jawabannya dengan menggunakan kata-katanya sendiri; sedangkan pada tes objektif, peserta didik diminta untuk memilih di antara beberapa alternatif jawaban yang telah disediakan. (2) Pada tes esai, secara relatif terdiri dari sedikit pertanyaan yang bersifat umum, dan memerlukan jawaban yang luas; sedangkan pada tes objektif terdiri dari banyak pertanyaan, dan menuntut jawaban secara singkat atau hanya memilih jawaban. (3) Pada tes esai, peserta didik menghabiskan waktu untuk berpikir dan menulis jawban pada saat mengerjakan soal; sedangkan pada tes objektif, waktu lebih banyak digunakan untuk membaca dan berpikir ketika mengerjakan soal objektif. (4) Pada tes esai, kualitas tes sebagian besar ditentukan oleh keterampilan membaca jawaban peserta didik ; sedangkan pada tes objektif, kualitas tes ditentukan oleh pembuat soal. (5) Secara relatif, ujian tes esai lebih mudah disiapkan, tetapi relatif membosankan serta sulit untuk memberi skor secara akurat; sedangkan ujian pada tes objektif secara relatif membosankan dan sulit untuk menyiapkan, tetapi relatif mudah untuk memberi skor secara akurat. (6) Pada ujian tes esai, memberi kebebasan kepada peserta didik untuk mengemukakan jawabannya secara individual, dan bebas bagi pemeriksa untuk memberikan skor sesuai dengan pandangan pribadi pemeriksa; sedangkan pada ujian tes objektif, memberi banyak kebebasan bagi penyusun soal untuk mengemukakan pengetahuan dan nilainya, tetapi kepada peserta didik diberikan kebebasan untuk memilih dan menunjukkan proporsi jawaban benar yang ia berikan, dan berapa banyak yang ia ketahui dan kerjakan. (7) Tuntutan pada tes esai yang digunakan sebagai dasar penentuan derajat penguasaan peserta didik , kurang jelas; sedangkan pada tes objektif,
tugas-tugas peserta didik yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan derajat penguasaan, lebih jelas daripada tes esai. (8) Pada tes esai, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berpura-pura bisa mengerjakan soal, sedangkan pada tes objektif memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menebak. (9) Distribusi skor hasil tes esai dapat dikontrol oleh kesungguhan penilai; sedangkan pada tes objektif, distribusi skor ditentukan oleh banyaknya butir tes (Ebel, 1972: 123-138). Dari pendapat Ebel tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan antara tes esai dan tes objektif tampak pada cara peserta didik menjawab soal, jumlah butir soal, waktu yang digunakan untuk mengerjakan soal, kualitas dan reliabilitas tes, penyelenggaraan ujian, pemberian skor, kebebasan mengemukakan pendapat peserta ujian, kriteria untuk menentukan derajat penguasaan peserta didik , kesempatan untuk menebak jawaban, dan distribusi skor hasil penilaian.
Dalam hubungan ini, Hoffman, yang dilaporkan oleh Hopkins dan Stanley menyatakan bahwa tes objektif dapat mengukur pengetahuan tentang fakta-fakta, tetapi tes esai dapat mengukur kemampuan berpikir yang lebih kompleks, dan berpikir pada tingkat tinggi. Di samping itu tes objektif tidak dapat mengembangkan kualitas penalaran, kemampuan menyusun ide-ide, merancang, dan pemahaman yang kompleks pada peserta didik (Hopkins dan Stanley, 1981: 205).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa secara keseluruhan tes esai lebih unggul jika dibandingkan dengan tes objektif, karena dengan tes esai dapat mengukur kemampuan pada tingkat tinggi dan kompleks, serta dapat mengembangkan kualitas penalaran, kemampuan menyusun ide-ide, merancang, dan mengembangkan pemahaman yang kompleks pada peserta didik . Kemampuan-kemampuan tersebut sangat bermanfaat bagi peserta didik untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, Gronlund dan Linn (1990: 124) mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek yang dapat dibandingkan antara tes esai dan tes objektif, seperti tercantum dalam tabel pada halaman berikut .
Tabel 01. Perbandingan antara Tes Esai dan Tes Objektif
Tes Objektif Tes Esai
1.Hasil belajar
yang diukur Baik untuk mengukur hasil belajarpada tingkat pengetahuan tentang fakta, pemahaman, keterampilan berpikir, dan hasil belajar yang kompleks. Tetapi tidak mampu untuk mengukur kemampuan untuk memilah dan menyusun ide-ide, kecakapan menulis, dan beberapa bentuk keterampilan untuk memecahkan masalah
Tidak efisien untuk mengukur pengetahuan tentang fakta. Dapat
mengukur pemahaman,
keterampilan berpikir, dan hasil belajar yang kompleks lainnya (khususnya sangat berguna jika jawaban orisinil yang diinginkan). Cocok untuk memilih dan menyusun ide-ide, keterampilan menulis, dan keterampilan untuk
memecahkan masalah yang
menuntut pemikiran yang orisinil 2.Penyiapan
butir soal Banyak memerlukan waktu untukmenyusun butir soal. Sukar mempersiapkan butir soal yang baik dan memerlukan waktu lama
Hanya sedikit pertanyaan yang diperlukan untuk seperangkat tes. Menyiapkan butir soal relatif mudah, tetapi lebih sulit daripada anggapan orang.
3.Mengambil sampel materi pelajaran
Dapat mewakili semua materi pelajaran dan dapat memuat butir soal yang banyak dalam seperangkat tes.
Tidak dapat mewakili seluruh materi pelajaran, karena hanya sedikit pertanyaan yang bisa dimasukkan dalam seperangkat tes.
4.Kontrol terhadap jawaban peserta didik
Tinggal memilih jawaban yang telah tersedia. Menghindari gertak sambal dan pengaruh keterampilan menulis, bisa menebak jawaban
Bebas menjawab atas dasar kata-katanya sendiri, dan keterampilan menulis mempengaruhi sekor, berpikir menebak bisa dikurangi 5.Pemberian
skor Pensekoran secara objektif dancepat, mudah, dan konsisten Pensekoran subjektif dan lambat,sulit, dan tidak konsisten 6.Pengaruh
pada proses pembelajaran
Biasanya mendorong peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan tentang fakta-fakta khusus dan kemampuan untuk pembedaan di antara fakta tersebut. Dapat
mendorong pengembangan
pemahaman, keterampilan berpikir, dan hasil belajar yang kompleks lainnya
Mendorong peserta didik untuk memusatkan pikiran pada sejumlah besar materi pelajaran, dengan
penekanan khusus pada
kemampuan untuk menyusun,
mengintegrasikan, dan
mengemukakan ide-ide secara
efektif. Dapat mendorong
kebiasaan menulis buruk jika waktunya mendesak.
7.Reliabilitas Reliabilitas yang tinggi mungkin dicapai, khususnya jika tes disusun secara baik
Reliabilitasnya lebih rendah, terutama karena pensekoran yang tidak konsisten.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat dicermati bahwa jika dilihat dari tujuan pengukuran, tes objektif lebih cocok untuk mengukur hasil belajar pada tingkat pengetahuan tentang fakta-fakta, pemahaman, aplikasi, dan analisis.
Sedangkan tes esai lebih efisien untuk mengukur hasil belajar pada tingkat pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi, serta sangat baik untuk mengukur hasil belajar pada tingkat tinggi dan kompleks, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi. Dengan perkataan lain bahwa tes esai sangat baik untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, divergen, holistik, imajinatif, dan berpikir kreatif. Dengan demikian berarti bahwa jika dilihat dari tujuan pengukuran, tes esai lebih luas penggunaannya, yaitu pada semua tingkat berpikir pada ranah kognitif. Sedangkan penggunaan tes objektif paling tinggi dapat mengukur hasil belajar sampai pada tingkat sintesis.
Jika diamati dari segi cakupan materi yang bisa dijangkau oleh tes, bentuk tes objektif dapat menjangkau seluruh materi pelajaran, karena tes objektif dapat memuat butir-butir soal yang banyak dalam waktu ujian yang sama yang telah ditentukan. Sedangkan tes esai, kurang representatif luas materi yang bisa dicakup dalam seperangkat tes, karena butir-butir tes yang dimuat dalam seperangkat tes hanya sedikit atau terbatas jumlahnya untuk waktu ujian yang ditentukan. Selanjutnya, dalam hal penulisan butir-butir tes, pada tes objektif lebih sukar dan membutuhkan keakhlian tinggi dan waktu yang lebih lama, karena jumlah butir soal yang ditulis cukup banyak, di samping kesulitan dalam memilih pengecoh atau distraktor yang baik atau efektif. Jika dilihat dari cara pemberian skor, memeriksa tes objektif lebih mudah, konsisten, dan objektif, sehingga memiliki derajat reliabilitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tes esai. Di samping hal-hal yang telah disebutkan di atas, pada tes objektif ada peluang untuk menebak jawaban, sehingga mempengaruhi skor yang diperoleh oleh peserta didik , dan biasanya menjadi lebih meningkat, karena nilai sesungguhnya (skor murni) ditambah dengan nilai tebakan. Pada tes esai juga terjadi peningkatan perolehan nilai karena pengaruh faktor tulisan, yaitu tulisan peserta didik yang rapi, bagus, indah, dan mudah dibaca oleh pemeriksa, cenderung pemeriksa memberikan skor lebih tinggi. Sebaliknya, jika tulisan peserta didik tidak baik, kotor, banyak coretan, dan sulit dibaca oleh pemeriksa, cenderung menurunkan skor yang diberikan oleh pemeriksa ujian. Apabila dicermati pengaruhnya terhadap proses pembelajaran, maka penggunaan tes objektif dapat mendorong peserta didik untuk mengingat fakta-fakta, kemampuan membedakan, menginterpretasi, dan
menganalisis ide-ide orang lain, dan bukan kemampuan atau keterampilan untuk menyusun dan mengungkapkan ide-idenya sendiri yang berkaitan dengan materi yang dikaji dalam pelajaran. Sedangkan dengan penggunaan tes esai yang baik, dapat mendorong dan mengembangkan keterampilan peserta didik untuk menyusun dan mengorganisasikan ide-idenya serta mengemukakannya secara bebas dan orisinil.
Dari uraian tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa penggunaan tes esai dapat mengukur hasil belajar dari kemampuan berpikir tingkat rendah (pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi) sampai dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi (analisis, sintesis, dan evaluasi). Sedangkan penggunaan tes objektif hanya mampu untuk mengukur hasil belajar pada tingkat rendah dan sebagian hasil belajar tingkat tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam rangka mengembangkan daya nalar peserta didik , kapasitas peserta didik untuk berpikir kritis, divergen, holistik, dan kreatif, maka penggunaan tes esai akan lebih efektif.
Berdasarkan analisis terhadap konsep tes formatif menurut bentuknya, yaitu tes esai dan tes objektif bentuk pilihan ganda, dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. Tes formatif adalah instrumen atau alat ukur yang digunakan untuk mengukur hasil belajar dan memantau kemajuan belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung dalam satu program tertentu, misalnya dalam satu sub pokok bahasan dalam proses pembelajaran, yang bermanfaat untuk memberikan umpan balik kepada peserta didik dan guru, dengan maksud untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran, baik pada peserta didik maupun guru. Melalui umpan balik itu diharapkan peserta didik dapat menguasai materi pelajaran secara penuh, dan pendidik dapat memperbaiki program pembelajaran, metode pembelajaran, media, dan sistem evaluasi yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Tes objektif adalah seperangkat tes atau alat ukur yang setiap butirnya menuntut jawaban memilih, yang terdiri dari butir tes bentuk jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan, dan pilihan ganda dalam berbagai variasi. Dalam penelitian ini bentuk tes objektif yang digunakan adalah bentuk pilihan ganda. Tes pilihan ganda adalah seperangkat tes yang setiap butirnya menyediakan pilihan
jawaban dan salah satu opsinya merupakan jawaban yang benar, sedangkan opsi lainnya berfungsi sebagai distraktor atau pengecoh. Butir tes pilihan ganda memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan yang berkaitan dengan penyusunan butir tes, tingkat reliabilitas, cakupan materi yang bisa diukur, peluang untuk menebak dan menjawab benar, dan jumlah peserta didik yang bisa diuji dalam waktu bersamaan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, penyusun butir tes diharapkan mengikuti beberapa petunjuk untuk penulisan butir tes yang baik. Pemeriksaan dan cara pemberian skor pada tes objektif pilihan ganda dapat dilakukan oleh pendidik dan siapa saja, asalkan diberikan kunci jawaban yang benar oleh pembuat tes yang profesional.
Selanjutnya, tes esai adalah butir tes yang menuntut peserta didik untuk menyusun, merumuskan, dan mengemukakan sendiri jawabannya menurut kata-katanya sendiri secara bebas. Tes esai dapat dibedakan menjadi tes esai yang menuntut jawaban terbuka dan tes esai yang menginginkan jawaban terbatas. Di samping memiliki keunggulan, seperti: dapat mengukur hasil belajar pada kemampuan berpikir tingkat rendah sampai dengan kemampuan berpikir tinggi tinggi yang kompleks, tetapi tes esai juga memiliki kelemahan-kelemahan, seperti: kesulitan dalam pemberian skor secara objektif, sehingga tingkat reliabilitasnya rendah. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, dapat dilakukan dengan cara mengikuti beberapa petunjuk penulisan butir soal yang baik, serta dalam penskorannya harus dilakukan oleh pembuat soal atau oleh ahli lainnya, serta mengikuti petunjuk pemberian skor secara ketat.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat dicermati bahwa jika dilihat dari tujuan pengukuran, tes objektif lebih cocok untuk mengukur hasil belajar pada tingkat pengetahuan tentang fakta-fakta, pemahaman, aplikasi, dan analisis. Sedangkan tes esai lebih efisien untuk mengukur hasil belajar pada tingkat pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi, serta sangat baik untuk mengukur hasil belajar pada tingkat tinggi dan kompleks, seperti analisis, sintesis, dan evaluasi. Dengan perkataan lain bahwa tes esai sangat baik untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, divergen, holistik, imajinatif, dan berpikir kreatif. Dengan demikian, berarti bahwa jika dilihat dari tujuan pengukuran, tes esai lebih luas penggunaannya, yaitu pada semua tingkat berpikir pada ranah kognitif.