• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PARENTAL PERMISSIVENESS TERHADAP TINGKAT KREATIVITAS KOGNITIF PADA REMAJA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN PARENTAL PERMISSIVENESS TERHADAP TINGKAT KREATIVITAS KOGNITIF PADA REMAJA."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PARENTAL PERMISSIVENESS TERHADAP TINGKAT KREATIVITAS KOGNITIF PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

I’in Khalimatus Sa’diyah

B07212051

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTISARI

Kreativitas kognitif berguna dalam kelangsungan hidup setiap idnividu, karena dalam setiap menyelesaikan permasalahan individu dituntut untuk berfikir secara efektif dalam pemecahan masalah. Masing-masing indidvidu memiliki tingkat kreativitas kognitif yang berbeda-beda, hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah lingkungan. Orang tua sebagai salah satu lingkungan yang berpengaruh besar terhadap kreativitas seseorang. Sikap permisif orang tua (parental permissiveness) sebagai suatu kebebasan yang memberikan jalan akan perkembangan atau peningkatan terhadap kreativitas kognitif yang dimiliki seseorang. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara parental permissiveness dengan tingkat kreativitas kognitif pada remaja.

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif korelasional, yaitu untuk mencari korelasi atau hubungan antara variabel satu dengan yang lainnya berdasarkan koefisien korelasi yang ada. Sampel pada penelitian ini adalah 41 siswa/i kelas X SMA Islam Duduksampeyan Gresik yang berjumlah 70 remaja dengan kriteria usia 15 sampai 18 tahun. Sampel tersebut diambil secara random dari jumlah populasi 70 siswa/i kelas X SMA Islam Duduksampeyan Gresik. Alat ukur yang digunakan untuk parental permissiveness adalah skala sikap parental permissiveness model likert, sedangkan untuk mengukur tingkat kreativitas kognitifnya menggunakan tes kreativitas figural.

Berdasarkan hasil koefisien korelasi hasil uji hipotesis pada penelitian ini adalah 0.441 dengan signifikansi 0,000. Karena signifikansi < 0,050 maka dalam hasil analisis tersebut dikatakan bahwa terdapat hubungan antara parental permissiveness terhadap tingkat kreativitas kognitif pada remaja.

(7)

Abstract

Cognitive creativity useful in the survival of each person, because every person is required to resolve problems effectively thinking in problem solving. Each person has a level of cognitive creativity different, it is influenced by many factors, one of which is the environment. Parents as one of the neighborhoods that will greatly affect one's creativity. Permissive attitude of parents (parental permissiveness) as a freedom are on the road will be the development or improvement of the cognitive one's own creativity. The focus of this study was to determine whether there is a relationship between parental permissiveness with the level of cognitive creativity in adolescents.

This study uses a quantitative correlation, ie to find a correlation or relationship between the variables with each other based on the correlation coefficient. Samples in this study were 41 students / i of class X SMA Islam Duduksampeyan Gresik numbering 70 adolescenses with a minimum age requirement of 15 to 18 years. The samples were taken at random from a population of 70 students / i of class X SMA Islam Duduksampeyan Gresik. Measuring devices used for parental permissiveness permissiveness is the parental attitude scale Likert models, while to measure the level of cognitive creativity using figural creativity test.

Based on the correlation coefficient test results hypothesis in this study is 0441 to 0,000 significance. Because of the significance of <0,050 then in the analysis, it is said that there is a relationship between parental permissiveness of the level of cognitive creativity in adolescents.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ……… vii

DAFTAR TABEL ……… ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……….... 1

B. Rumusan Masalah ……… 10

C. Tujuan Penelitian ………. 11

D. Manfaat Penelitian ……….. 11

E. Keaslian Penelitian ……….. 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……….. 14

A. Kreativitas kognitif ………... 14

1. Pengertian Kreativitas Kognitif ………... 14

2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kreativitas Kognitif …... 18

3. Ciri-Ciri Individu Kreatif ………. 25

4. Kendala dalam Pengembangan Kreativitas Kognitif ... 26

B. Parental Permissiveness ………. 30

1. Pengertian Parental Permissiveness ……… 30

2. Sikap Orang Tua ……….. 32

C. Remaja ………. 38

1. Pengertian Remaja ………... 38

2. Batasan dan Karakteristik Remaja ………... 39

D. Hubungan Parental Permissiveness dengan Kreativitas Kognitif 41 E. Landasan Teoritis ………. 42

(9)

BAB III METODE PENELITIAN ……… 46

A. Variabel dan Definisi Operasional ………... 46

1. Variabel ……… 46

2. Definisi Operasional ……… 46

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling ……….. 47

1. Populasi ……… 47

2. Sampel ………. 47

3. Teknik Sampling ………. 48

C. Teknik Pengumpulan Data ……….. 50

D. Validitas dan Reliabilitas ………. 58

E. Analisis Data ………. 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

A.Hasil Penelitian ... 68

1. Deskripsi Subjek ... 68

2. Pengujian Hipotesis ... 71

B.Pembahasan ... 75

BAB V PENUTUP ... 81

A.Kesimpulan ... 81

B.Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ……….. 83

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelangsungan hidup setiap individu sangat ditentukan oleh

kemampuan masing-masing dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang

terjadi dalam hidupnya secara kreatif, baik dalam skala yang besar maupun

kecil. Begitupun dalam berbagai aspek kehidupan, kebutuhan individu akan

kreativitas kognitif sangat terasa. Karena kreativitas kognitif digunakan

sebagai salah satu cara menghadapi berbagai macam tantangan, baik dalam

bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik, dan sosial. Adanya kemajuan

teknologi yang terus meningkat dan ledakan penduduk yang terus terjadi

dengan disertai berkurangnya persediaan sumber-sumber alami menuntut

individu untuk beradaptasi secara kreatif dan mencari pemecahan masalah

yang imajinatif (Munandar 1999).

Perhatian utama terhadap kreativitas kognitif dan kesadaran akan

pentingnya bagi dunia ilmu pengetahuan juga datang dari bidang di luar

psikologi. Banyak perusahaan yang mengakui makna besar dari

gagasan-gagasan baru dan banyak departemen pemerintah yang mencari orang-orang

yang memiliki potensi kreatif. Namun kebutuhan-kebutuhan ini belum cukup

dapat dilayani (Munandar, 2009)

Pada dasarnya pola pemikiran yang berbeda atau berfikir secara

kreatif terkadang menyimpang dari jalan yang telah dirintis sebelumnya dan

(11)

2

dengan mempertimbangkan apa yang mungkin ada untuk suatu masalah

bukan hanya satu penyelesaian yang benar. Hal ini berbeda dari pemikiran

pada umumnya, yang menhgikuti jalur secara konvensional dimana pemikir

hanya menggunakan informasi yang tersedia untuk samapai pada kesimpulan

yang mengarah ke suatu jawaban yang benar dimana hal tersebut dapat

dicapai juga oleh orang lain. Orang yang kreatif suka mengutak-atik segala

sesuatu dan berani mencoba berbagai hal dan lebih luwes serta lancar dan

tidak terikat dengan apa yang ada. Hal tersebut yang menimbulkan arus

gagasan yang lebih kaya dan hasilnya membuka jalan ke arah penyelesaian

yang baru dan lebih kreatif (Hurlock 1999).

Mengenai pengembangan kreativitas kognitif dalam sistem

pendidikan juga disebutkan dalam GBHN (1993) menekankan bahwa

Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia

Indonesia yang manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang

Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh,

cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin ,beretos kerja, profesional, bertanggung

jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani”. Selanjutnya ditekankan

pula bahwa “Iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa

percaya diri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus dikembangkan

agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif inovatif dan keinginan untuk

maju (Munandar 2009).

Dalam GBHN 1993 (Kaidah Penuntun) termasuk bahwa

(12)

3

ekonomi nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1943

yang disusun untuk mewujudkan Demokratis Ekonomi yang harus dijadikan

dasar pelaksanaan pembangunan yang memiliki ciri, antara lain potensi,

inisiatif, dan daya kreatif setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya

dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum. Dan situasi

pengajaran atau pendidikan di Indonesia penekanannya lebih pada hafalan

dan kemampuan individu mencari satu jawaban yang benar dari soal-soal

yang diberikan sehingga akan terjadi proses pemikiran yang tinggi dan proses

berfikir kreatif, namun hal tersebut masih jarang dilatih pada peserta didik

begitupun di negara-negara lainnya (Munandar 2009).

Guilford 1950 dalam Munandar 1999 yang menyatakan bahwa

pengembangan kreativitas kognitif ditelantarkan dalam pendidikan formal

padahal ini amat bermakna bagi pengembangan potensi individu secara utuh

dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan serta seni budaya. Oleh karena kurang

terlatih melakukan proses berpikir yang menantang, siswa tidak mampu

melihat kemungkinan bermacam-macam solusi penyelesaian masalahnya

sehingga siswa Indonesia melakukan respon yang buruk terhadap kesulitan

yang dihadapi atau kurang mampu bertahan terhadap kesulitan yang terjadi

didalam mengatasi masalahnya.

Pendidikan mempunyai peran yang amat penting dalam menentukan

perkembangan dan perwujudan dari individu, terutama bagi pembangunan

bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung pada cara

(13)

4

manusia dalam hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang

diberikan kepada seluruh peserta didik atau masyarakatnya umumnya. Seperti

remaja akhir yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), yang

nantinya akan memasuki dunia kerja ataupun ke perguruan tinggi, memiliki

peran yang besar dalam meningkatkan kondisi ekonomi serta Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi negara Indonesia, sehingga kreativitas kognitif

juga perlu dikembangkan dalam dunia sekolah. Dengan kreativitas kognitif,

peserta didik juga dapat mencapai keberhasilan di bidang yang berarti bagi

mereka dan dipandang baik oleh orang yang berarti baginya. Hal ini akan

menjadi kepuasan ego yang besar pada periode remaja (Hurlock, 1997).

Namun pada hasil survey dari Poetri (dalam Aliyati, 2014)

menunjukkan, bahwa tingkat kreativitas kognitif seseorang menurun sangat

drastis yang semula dari 98% pada umur 5 tahun menjadi 2% pada usia 15

tahun yaitu pada usia remaja yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas

(SMA). Penurunan ini dikarenakan adanya perbedaan penekanan pendidikan

dimana di indonesia lebih menekankan pada kepatuhan untuk menerima

informasi dari figurotoritas (Prematura, 2006).

Kreativitas kognitif di Indonesia sendiri masih berada pada tingkat

yang cukup rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Global Creativity

Index tahun 2010 memaparkan data tentang kreativitas kognitif. Sample

diambil darimasyarakat yang ada di Ibukota dari 78 negara di dunia, yang

bekerja di berbagai bidang seperti sains, teknologi, managemen, seni,

(14)

5

pemecahan masalah dalam pekerjaan sehari-harinya. Hasilnya menunjukkan

bahwa, Indonesia berada di peringkat 76 dari 78 negara (Global Creative

Index dalam Aliyati 2014).

Kreativitas kognitif juga bisa terhambat pada periode-periode

perkembangan tertentu, seperti yang dilaporkan oleh Arasteh (dalam Aliyati

2014). Arasteh menyebutkan bahwa perkembangan kreativitas kognitif dapat

terhambat di beberapa periode kritis, yaitu salah satu diantaranya usia remaja

17-19 tahun yaitu pada usia remaja yang duduk di bangku Sekolah Menengah

Atas (SMA). Terhambatnya perkembangan kreatifitas ini disebabkan karena

beberapa individu dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang menyebabkan

kebekuan kreativitas kognitif mereka (Aliyati 2014).

Menurut Hermans dalam Monks, 1989 dalam Setyabudi, siswa yang

pasif dan tidak mempunyai semangat memunculkan ide-ide kreatifnya,

terutama disebabkan oleh ketakutan akan gagal. Ketakutan akan gagal siswa

jaman sekarang mungkin berhubungan dengan situasi pengajaran, juga

dengan situasi hidup keseluruhan, dan sebagian disebabkan karena siswa

makin dihadapkan dengan kemungkinan pilihan yang lebih banyak di dalam

maupun di luar situasi pengajaran, sehingga kapasitas intelektual tidak

sepenuhnya dapat bekerja.

Kreativitas kognitif adalah suatu aktifitas kognitif yang menghasilkan

pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi

pada hasil pragmatis yaitu selalu dipandang menurut kegunaanya. Proses

(15)

6

saja (meskipun hampir sebagian besar orang kreatif selalu menghasilkan

penemuan, tulisan maupun sebuah teori) (Solso dkk 2007). Jika anak

memiliki kreativitas kognitif yang tinggi maka diharapkan anak mampu

memecahkan persoalan yang dihadapinya secara efektif dan efisien.

Akibatnya anak memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses di masa

depannya dan kreativitas kognitif merupakan kemampuan anak menciptakan

gagasan baru yang asli, imajinatif, dan juga kemampuan mengadaptasi

kemampuan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki (Safaria 2005).

Beberapa pengertian mengenai kreativitas kognitif oleh para tokoh

dapat ditarik kesimpulkan bahwa kreativitas kognitif merupakan proses

berfikir individu secara berbeda daripada umumnya untuk menyelesaikan

suatu permasalahan secara cepat dan tepat.

Guilford (dalam Munandar, 1999) mengemukakan aspek-aspek dari

kreativitas kognitif antara lain: a. Kelancaran berpikir (fluency of thinking),

yaitu kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari pemikiran

seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir, yang ditekankan adalah

kuantitas dan bukan kualitas. b. Keluwesan berpikir (flexibility), yaitu

kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau

pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari

sudut pandang yang beda, mencari alternatif atau arah yang

berbeda-beda, serta mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara

pemikiran. Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir.

(16)

7

menggantikannya dengan cara berpikir yang baru. c. Originalitas (originality),

yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan untuk

mencetuskan gagasan asli. d. Elaborasi (elaboration), yaitu kemampuan

dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan atau memperinci

detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

Hurlock (1999) menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat

meningkatkan kreativitas kognitif yaitu waktu, kesempatan menyendiri,

dorongan, sarana, lingkungan yang merangsang, hubungan orang tua dan

anak yang tidak posesif, cara mendidik anak, dan kesempatan untuk

memperoleh pengetahuan. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas,

menurut Hurlock (1999) terdapat berbagai faktor lainnya yang dapat

menyebabkan munculnya variasi atau perbedaan kreativitas kognitif yang

dimiliki individu yaitu jenis kelamin, status sosial ekonomi, urutan kelahiran,

ukuran keluarga, lingkungan kota vs lingkungan pedesaan, dan inteligensi.

Kreativitas kognitif juga dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu

faktor internal (faktor yang berasal dari atau terdapat pada diri individu yang

bersangkutan atau disebut motivasi intrinsik) (Munandar 2009). Faktor ini

meliputi keterbukaan, locus of control yang internal, kemampuan untuk

bermain atau bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-bentuk,

konsep-konsep, serta membentuk kombinasi-kombinasi baru berdasarkan hal-hal

yang sudah ada sebelumnya.

Faktor eksternal (faktor yang berasal dari luar diri individu yang

(17)

8

Faktor-faktor ini antara lain meliputi keamanan dan kebebasan psikologis,

sarana atau fasilitas terhadap pandangan dan minat yang berbeda, adanya

penghargaan bagi orang yang kreatif, adanya waktu bebas yang cukup dan

kesempatan untuk menyendiri, dorongan untuk melakukan berbagai

eksperimen dan kegiatan-kegiatan kreatif, dorongan untuk mengembangkan

fantasi kognisi dan inisiatif serta penerimaan dan penghargaan terhadap

individual.

Dalam kebebasan psikologis dijelaskan jika orang tua atau guru

mengizinkan atau memberi kesempatan pada anak untuk bebas

mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaannya yaitu

permissiveness. Permissiveness ini berarti memberikan kepada anak sebuah kebebasan yang luas dalam hal berfikir atau merasa sesuai dengan apa yang

ada dalam dirinya. Mengekspresikan dalam tindakan konkrit

perasaan-perasaanya yang tidak selalu dimungkinkan, karena hidup dalam masyarakat

selalu ada norma dan batasan-batasannya, tetapi untuk sebuah ekspresi secara

simbolis hendaknya dilakukan. Motivasi pada remaja itu sendiri ditandai oleh

harapan untuk sukses dalam memecahkan masalah tingkah laku, tinjauan

masa depan dan optimistis dan prestasi akademis, dorongan sosial dan lain

sebagainya (Hamalik 2010).

Berpijak pada paparan di atas maka diasumsikan bahwa kreativitas

kognitif individu dapat dipengaruhi pula oleh faktor internal (motivasi

intrinsik) dan faktor eksternal (motivasi ekstrinsik). Pada salah satu faktor

(18)

9

individu dapat dipengaruhi dari kebebasan psikologisnya yaitu sikap permisif

(permissiveness) dari lingkungan. Dalam hal ini peneliti mengambil sikap permisif dari orang tua (parental permissiveness) sebagai lingkungan yang dimungkinkan dapat mempengaruhi kreativitas kognitif individu tersebut.

Parental permissiveness diartikan sebagai sikap orang tua yang membiarkan anak-anaknya melakukan apapun yang ia inginkan. Serba

membolehkan dan penuh dengan kebebasan menjadi karakteristik pada sikap

orang tua tersebut. Bahkan beberapa orang tua dengan sengaja mengasuh

bersikap permisif kepada anak-anaknya karena mereka berkeyakinan bahwa

kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit kekangan akan

melibatkan anak yang kreatif dan percaya diri (Santrock 2011). Dimana

dalam hal ini sikap orang tua memberikan kebebasan atau serba

membolehkan atas apa yang hendak remaja kerjakan sehingga diharapkan

mampu mempengaruhi kreativitas kognitif remaja tersebut.

Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan

penelitian guna mengetahui hubungan yang lebih spesifik antara sikap orang

tua yang permisif (parental permissiveness) terhadap tingkat kreativitas kognitif pada remaja dalam sebuah judul penelitian Hubungan Parental

Permissiveness Terhadap Kreativitas Kognitif. Dalam penelitian ini juga subjek yang ditentukan adalah remaja kerena dalam fase tersebut terjadi

proses kritis pada kreativitas kognitif mereka. Hal tersebut terkait pula dengan

(19)

10

perkembangan pada kreativitas kognitif remaja seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya.

Penelitian ini dilakukan di SMA Islam Duduksampeyan Gresik

dikarenakan saat pre-eliminary study peneiliti menemukan fenomena yang mengindikasikan kreativitas pada siswa/inya masih cenderung rendah. Hal

ini dibuktikan dengan tidak adanya pemanfaatan kegiatan ekstrakurikuler dan

pengoptimalan kemampuan diri dengan baik oleh para siswa. Semisal pada

ekstrakurikuler menjahit, membordir, menari, dan bela diri, menurut pengajar

dari masing-masing ekstrakurikuler tersebut ada beberapa siswa/i yang

memiliki kemampuan lebih pada salah satu bidang ekstrakurikuler, namun

nampak dari mereka masih rendah keinginannya dalam mengembangkan

kemampuan yang dimiliki masing-masing individu pada salah satu bidang.

Padahal jika kegiatan ekstrakurikuler tersebut dapat diikuti dengan maksimal

maka dapat menciptakan hasil karya (produk) kreativitas yang luar biasa.

Begitupun dengan sikap orang tua (wali murid) yang masih rendah dalam

mengontrol dan mengarahkan anaknya untuk mengikuti salah satu kegiatan

ekstrakurikuler. Hal ini mengindikasikan Parental Permissiveness yang relatif rendah. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melihat hubungan

Parental Permissiveness terhadap kreativitas kognitif remaja. B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :

(20)

11

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah di atas diperoleh tujuan penelitian sebagai

berikut :

Untuk mengetahui hubungan parental permissiveness dengan tingkat kreativitas kognitif pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu:

1. Manfaat teoritis, yaitu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,

khususnya di bidang studi psikologi perkembangan serta untuk

memperkaya pengetahuan psikologi umunya dan pengetahuan tentang

pengaruh parental permissiveness (sikap orang tua permisif/serba membolehkan) terhadap kreativitas kognitif khususnya.

2. Manfaat praktis, yaitu untuk dijadikan rujukan bagi orang tua ataupun

pendidik dalam menyikapi kreativitas kognitif remaja.

E. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian terdahulu dengan penelitian ini adapun

beberapa kesamaan baik dalam topik maupun yang lainnya. Seperti pada

Jurnal berjudul Hubungan Antara Perceived Autonomy Support Siswa

terhadap Guru dengan Kreativitas kognitif Siswa Kelas XI SMA Insan Mulia

Surabaya (Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 3, No. 01,

April 2014) memiliki kesamaan pada variabel dependennya dan subjek yang

dipilih yaitu menggunakan variabel dependen kreativitas kognitif pada remaja

(21)

12

bagi subjek yang ditentukan, hanya terkait dalam kelas XI saja, sedangkan

dalam penelitian ini subjek yang ditentukan adalah seluruh siswa kelas X

SMA Islam Duduksampeyan Gresik yang berusia 15 sampai 18 tahun.

Adapun pada Jurnal Psikologi Indonesia Mei 2014, Vol. 3, No. 02

yang berjudul Motivasi Intrinsik, Pola Asuh Orangtua Demokratis Dan

Kreativitas kognitif Anak Sekolah Dasar memiliki kesamaan dengan

penelitian ini yaitu pada salah satu variabel prediktornya yakni motivasi

intrinsik serta dua variabel prediktor lainnya namun variabel terikat yang

digunakan memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu kreativitas kognitif.

Jika dalam penelitian tersebut motivasi intrinsik dipilih sebagai varibel yang

mampu mempengaruhi kreativitas kognitif sedangkan dalam penelitian ini

menggunakan motivasi ekstrinsik (faktor eksternal) sebagai variabel

prediktornya bahkan lebih dispesifikasikan lagi yaitu sikap permisif orang tua

(parental permissiveness) yang termasuk dalam lingkup kebebasan psikologis individu akan digunakan sebagai variabel prediktornya terhadap kreativitas

kognitif. Begitupun dengan subjek yang ditentukan pada penelitian

sebelumnya dengan penelitian ini juga memiliki perbedaan. Di mana pada

penelitian sebelumnya anak SD dipilih sebagai respondennya sedangkan

dalam penelitian ini remaja dengan usia 15 sampai 18 tahun dipilih sebagai

responden atau subjeknya.

Pada jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Vo.1 No.02, Juni

(22)

13

penelitian korelasional dan variabel terikatnya yaitu kreativitas kognitif.

Subjek dalam penelitian tersebut adalah siswa SMK sedangkan pada

penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Islam Duduksampeyan Gresik yang

(23)

(24)

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kreativitas Kognitif

1. Pengertian Kreativitas Kognitif

Menurut Munandar dalam Sari (2013) mendefinisikan kreativitas

sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru, asosiasi

baru berdasarkan bahan, informasi, data atau elemen-elemen yang sudah

ada sebelumnya menjadi hal-hal yang bermakna dan bermanfaat. Hafeele

dalam Munandar (2002) mengatakan kreativitas adalah kemampuan untuk

membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna sosial.

Menurut Hurlock (1999) kreativitas adalah kemampuan seseorang

untuk menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada

dasarnya baru serta dapat berupa apa saja. Hal baru tersebut berawal dari

adanya kemampuan dalam menkombinasikan gagasan-gagasan yang

sudah ada sebelumnya sehingga terwujud suatu penemuan yang baru.

Menurut Solso dkk (2007) kreativitas adalah suatu aktifitas kognitif

yang menghasilkan pandangan yang baru mengenai suatu bentuk

permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil pragmatis yaitu selalu

dipandang menurut kegunaanya. Proses kreativitas bukan hanya sebatas

menghasilkan suatu yang bermanfaat saja (meskipun hampir sebagian

besar orang kreatif selalu menghasilkan penemuan, tulisan maupun

(25)

15

Sedangkan menurut Gordon dan Bowne dalam Moelichatoen

dalam Yuliati (2010) kreativitas merupakan kemampuan anak

menciptakan gagasan baru yang asli, imajinatif, dan juga kemampuan

mengadaptasi kemampuan baru dengan gagasan yang sudah dimiliki.

Hasil sebuah adaptasi dari gagasan-gagasan yang sudah ada diciptakan

melalui proses imajinatif dan kemampuan adaptasi yang baik.

Menurut Drevdahl dalam Hurlock (1999) kreativitas adalah

kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau

gagasan apa saja yang pada dasarnya baru dan sebelumnya tidak dikenal

pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif yang dihasilkan dari

proses kognitifnya.

Kreativitas adalah kemampuan berfikir secara berbeda (divergen)

dalam berbagai macam sudut pandang yang fleksibel dan bervariasi

(Safaria, 2005). Kemampuan berfikir yang terjadi pada individu akan

menghasilkan sebuah sudut pandang yang berbeda dan lebih variatif

tentunya.

Menurut Guilford dalam Munandar (1999) pada studi-studi faktor

analisis seputar ciri-ciri utama dari kreativitas membedakan antara aptitude

(kognitif) dan non aptitude traits (afektif) yang berhubungan dengan

kreativitas. Ciri-ciri aptitude (kognitif) dari kreativitas meliputi

kelancaran, kelenturan dan orisinalitas dalam berfikir. Sedangkan ciri-ciri

kreativitas dari non aptitude traits meliputi kepercayaan diri, keuletan,

(26)

16

kognitif yang tinggi maka diharapkan individu mampu memecahkan

persoalan yang dihadapinya secara efektif dan efisien. Akibatnya anak

memiliki kemungkinan lebih besar untuk sukses di masa depannya

(Munandar 1999).

Dapat dijelaskan bahwa dari segi kognitif, kreativitas merupakan

kemampuan berfikir yang memiliki ciri-ciri antara lain kelancaran,

kelenturan, orisinalitas dan elaborasi. Selain itu terbentuknya kreativitas

tidak terlepas dari aspek kognitif karena dalam kreativitas terjadi proses

berfikir kreatif (berfikir divergen) yang melibatkan kognisi dari individu

itu sendiri. Kreativitas kognitif yang baik akan melalui proses berfikir

kreatif (berfikir divergen) yang tinggi, bukan semata-mata mengutamakan

pada hasil (produk) berfikir yang konvergen. Sebelum suatu produk kreatif

dihasilkan maka akan melewati tahap kogntitif terlebih dahulu. Dalam

tahap kognitif tersebut terjadi proses berfikir yang lancar, lentur, dan

orisinal sehingga terciptalah sebuah produk (hasil) dari proses kreativitas

kognitif tersebut. Sehingga dengan adanya perkembangan kreativitas

kognitif individu dapat memberikan pengaruh yang besar pada hal

pemecahan masalah ataupun hal-hal kreatif lainnya, karena dalam setiap

sikap kreatif (afektif) akan terlebih dahulu melalui tahap proses berfikir

kreatif (kognitif) terlebih dahulu.

Dari beberapa pengertian kreativitas dan penjelasan oleh para tokoh

(27)

17

berpikir yang lancar dan orisinal dalam menciptakan suatu gagasan yang

bersifat unik, berbeda, baru, dan bermakna.

Sejalan dengan penjelasan di atas menurut Munandar (1999)

mengatakan terdapat empat ciri-ciri kreativitas dari segi kognitif antara

lain :

a. Kelancaran (fluency).

Kelancaran yaitu kesigapan, kelancaran, kemampuan untuk

menghasilkan banyak gagasan secara cepat. Dalam kelancaran

berfikiryang ditekankan adalah kuantitas bukan kualitas.

b. Kelenturan/Keluwesan (flexibility).

Kelenturan/Keluwesan yaitu kemampuan untuk menggunakan

bermacam-macam cara dalam mengatasi masalah, kemampuan untuk

mempoduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban atau pertanyaan yang

bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang

berbeda, mencari alternatif atau arah yang berbeda, serta mampu

menggunakan bermacam-macam pendekatan atau cara pemikiran.

Orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berfikir. Mereka

dengan mudah dapat meninggalkan cara berfikir lama dan

menggantikannya dengan cara berfikir baru.

c. Originalitas (original).

Originalitas yaitu kemampuan dalam berpikir atau memberi

(28)

18

d. Kemampuan mengelaborasi (elaboration).

Elaboration yaitu kemampuan untuk melakukan hal yang detail.

Untuk melihat gagasan atau detail yang nampak pada objek disamping

gagasan pokok yang muncul, kemampuan dalam mengembangkan

gagasan dan menambahkan atau memperinci datail-detail dari suatu

objek, gagasan atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas kognitif

Faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas kognitif, menurut

Munandar 1999 antara lain :

a. Kecerdasan (inteligensi) dan memperbanyak bahan berpikir berupa

pengalaman dan ketrampilan.

b. Sikap, motivasi, nilai dan ciri kepribadian yang lain yang

berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Faktor kepribadian terdiri

dari rasa ingin tahu, harga diri, dan kepercayaan diri, sifat mandiri,

berani dalam mengambil resiko dan asertif.

Hurlock (1999) mengukapkan faktor lain yang dapat

mempengaruhi kreativitas adalah:

a. Jenis kelamin

Beberapa penelitian menunjukan anak laki-laki mempunyai

kreativitas kognitif yang lebih tinggi daripada anak perempuan,

terutama setelah berlalunya masa kanak-kanak. Hal ini disebabkan

karena adanya perbedaan dalam perlakuan yaitu laki-laki lebih diberi

(29)

19

sedangkan perempuan cenderung diberi perlakuan untuk lebih patuh

kepada perintah orang tua, kurang diberi kebebasan untuk

mengemukakan pendapat dan cenderung dimanja.

b. Status sosial – ekonomi.

Anak dari keluarga dengan sosial ekonomi yang lebih tinggi

cenderung lebih kreatif dari pada anak-anak dari keluarga dengan

sosial ekonomiyang rendah. Hal ini disebabkan karena orang tua

dengan sosial ekonomi yang tinggi sebagian besar mendidik anak

dengan cara demokratis, sedangkan keluarga dengan sosial ekonomi

rendah cenderung menggunakan sistem otoriter.

c. Urutan kelahiran.

Urutan kelahiran juga mempengaruhi tingkat kreativitas kognitif.

Anak pertama cenderung lebih ditekankan untuk menyesuaikan

dengan harapan orang tua, dibanding dari anak yang lahir kemudian

(anak nomor dua, tiga, dst) yang lebih diberi kebebasan untuk

berkreasi.

d. Ukuran keluarga.

Anak yang tumbuh dalam keluarga kecil, cenderung lebih kreatif

daripada anak dari keluarga besar. Pada keluarga besar cara

mendidik anak yang otoriter dan kondisi sosial ekonomi yang kurang

menguntungkan dapat menghalangi perkembangan kreativitas

(30)

20

e. Lingkungan kota versus lingkungan pedesaan.

Anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif dari anak

lingkungan pedesaan. Anak desa cenderung dididik secara otoriter

dan kurang merangsang kreativitas kognitif. Sedangkan anak kota

cenderung dididik secara demokratis serta lebih diberi kebebasan

untuk berkreasi.

f. Inteligensi.

Pada setiap tingkatan umur, anak yang pandai (IQ diatas rata-rata)

menunjukkan kreativitas kognitif yang lebih besar daripada anak

yang kurang pandai. Anak yang pandai lebih banyak mengeluarkan

gagasan baru untuk menangani suasana konflik sosial dan mampu

merumuskan lebih banyak penyelesaian konflik tersebut. Pendapat

masyarakat tentang anak yang mempunyai inteligensi yang tinggi

selalu mempunyai kreativitas kognitif yang tinggi pula, belum tentu

benar sepenuhnya. Hal ini disebabkan karena kreativitas kognitif

dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mendukung atau tidak serta

faktor dari dalam diri seseorang sering mengganggu perkembangan

kreativitas kognitif.

Menurut Munandar (2009) kreativitas individu dapat terwujud

dengan adanya pengaruh dua faktor, yaitu :

1. Faktor internal atau motivasi intrinsik (faktor yang berasal dari

(31)

21

Motivasi adalah suatu perubahan energi dalam pribadi

seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk

mencapai tujuan. Rumusan ini mengandung unsur-unsur bahwa

motivasi dimulai dari adanya perubahan energi di dalam pribadi.

Pada setiap orang terdapat kecenderungan atau dorongan dari dalam

dirinya untuk mewujudkan seluruh potensinya, dorongan untuk

berkembang menjadi matang, dorongan untuk mengungkapkan dan

mengaktifkan seluruh kapasitas. Dorongan ini merupakan motivasi

yang utama untuk sebuah kreativitas kognitif ketika individu

membentuk hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya dalam

upaya menjadi dirinya yang sepenuhnya. Dorongan pada setiap

orang yang bersifat internal ada dalam individu itu sendiri namun

membutuhkan kondisi yang tepat untuk mewujudkannya.

Faktor internal (motivasi intrinsik) ini meliputi keterbukaan,

locus of control yang internal, kemampuan untuk bermain atau

bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-bentuk, konsep-konsep,

serta membentuk kombinasi-kombinasi baru berdasarkan hal-hal

yang sudah ada sebelumnya.

2. Faktor eksternal atau motivasi ekstrinsik (faktor yang berasal dari

dorongan atau pengaruh lingkungan).

Lalu kondisi lingkungan yang bagaimana yang mampu

menjadi pendorong bagi individu untuk meningkatkan kreativitas

(32)

22

namun dapat selalu untuk ditumbuh kembangkan. Menurut

pengalaman Rogers dalam Munandar 1999 bahwa penciptaan

kondisi keamanan dan kebebasan memungkinkan timbulnya

kreativitas kognitif pada inidividu. Jadi dalam motivasi eksternal

kondisi yang mampu meningkatkan kreativitas kognitif individu

adalah yang penuh dengan keamanan dan kebebasan psikologis.

a. Keamanan psikologis

Keamanan psikologis akan terbentuk dari tiga proses yang

saling berhubungan yaitu :

1. Menerima individu dengan apa adanya dan segala kelebihan

serta keterbatasannya. Jika lingkungan memberikan

kepercayaan pada individu bahwa ia pada dasarnya baik dan

mampu, bagaimanapun tingkah laku dan prestasi yang

dicapai individu tersebut maka kondisi itu akan mampu

mendorong kreativitas kognitifnya. Pengaruhnya adalah baha

individu telah mengahayati suasana keamanan.

2. Mengusahakan tidak adanya evaluasi eksternal. Evaluasi

kesternal selalu mengandung ancaman sehingga

menimbulkan kebutuhan akan pertahanan. Bagi individu

untuk berada di dalam suasana dimana ia tidak dinilai dan

tidak diukur menurut patokan dari luar maka akan

(33)

23

3. Memberikan pengertian secara empatis (dapat ikut

menghayati). Mengenal dan ikut menghayati perasaan

individu, pemikiran-pemikirannya, tindakan-tindakannya,

dapat melihat dari sudut pandang anak dan tetap

menerimanya, dan benar-benar memberikan rasa keamanan.

b. Kebebasan psikologis.

Jika lingkungan mengizinkan atau memberi kesempatan

kepada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis

pikiran-pikiran atau perasaan-perasaanya disebut

permissiveness. Sikap permissiveness akan memberikan kepada

individu kebebasan dalam berfikir atau merasa sesuai dengan

apa yang ada dalam dirinya. Mengekspresikan dalam tindakan

konkrit perasaan-perasaanya (semisal dengan memukul) tidak

selalu dimungkinkan, karena hidup dalam masyarakat selalu ada

norma dan batasan-batasannya. Namun sikap permissiveness

dalam hal ini adalah sikap selalu mengizinkan atau selalu

membolehkan atas apa yang akan dilakukan individu sehingga

diharapkan mampu meningkatkan kreativitas kognitif individu

tersebut.

Dalam kebebasan psikologis dijelaskan jika lingkungan

memberi kesempatan dan bersikap selalu membolehkan kepada

individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis

(34)

24

yaitu permissiveness. Dimana dalam hal ini lingkungan yang

dimaksudkan adalah orang tua atau guru, sehingga sikap

permisif (permissiveness) dari orang tua atau guru itulah yang

dianggap mampu mempengaruhi dan memberikan dorongan

terhadap kreativitas kognitif individu.

Dalam penelitian ini telah ditentukan salah satu

lingkungan yang menjadi pendorong kreativitas kognitif

individu yaitu orang tua yang memberikan kebebasan secara

psikologis, sehingga dapat dispesifikasikan bahwa sikap

permisif dari orang tua (parental permissiveness) tersebut dapat

memberikan dorongan terhadap tingkat kretaifitas individu

tersebut.

Amabile dalam Safaria (2005) menegaskan pula bahwa

sikap orang tua memiliki pengaruh terhadap kreativitas individu

dalam hal ini dilihat dari aspek kognitifnya. Beberapa sikap dari

orang tua yang menentukan perkembangan kreatif individu salah

satunya yaitu kebebasan (permisif). Orang tua yang permisif

akan percaya untuk memberikan kebebasan kepada anaknya.

Mereka tidak otoriter, tidak selalu mengawasi anak, dan tidak

terlalu membatasi kegiatan anak. Mereka juga tidak terlalu

cemas mengenai anak mereka. Teori Amabile di atas

menguatkan pernyataan dari Munandar (2009) yang mengatakan

(35)

25

permissiveness) mampu memberikan dorongan positif terhadap

tingkat kreativitas individu.

3. Ciri-ciri Individu kreatif

Torrance (Safaria, 2005), mengemukakan ciri-ciri lain dari

individu yang kreatif, yaitu :

a. Tidak takut untuk berada dalam segala hal dengan orang lain. Mereka

memegang teguh pendirian dan keyakinannya sekaligus berani

mengungkapkannya. Meskipun bertemu dengan orang-orang yang

baru ia temui individu kreatif tidak akan mudah canggung dengan

lingkungan pada saat itu, ia tetap percaya diri dengan kemampuan

yang dimilikinya.

b. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi atau melit. Keingin tahuan

individu terhadap suatu hal yang dilihat dan dialami sangat tinggi dan

harus ia ketahui.

c. Mandiri dalam berpikir dan dalam memberikan pertimbangan serta

tidak mudah ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Ketika

menghadapi sebuah permasalahan individu kreatif akan berfikir cepat

dan lebih efektif dalam memecahkan masalah tersebut.

d. Memiliki semangat dan energi yang besar dalam melakukan kegiatan

yang diminatinya dan tidak mudah teralihkan oleh hal lain sebelum

tugasnya selesai.

e. Intuitif, artinya dalam memecahkan suatu masalah anak tidak hanya

(36)

26

f. Memiliki keuletan yang tinggi, tidak mudah putus asa, karena proses

kreatif membutuhkan waktu yang lama untuk diselesaikan.

g. Tidak begitu saja menerima pendapat orang lain (termasuk figur

otoritas) jika tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya.

h. Memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi, berani mengekspresikan

dirinya dan memiliki keyakinan bahwa mereka bisa menyelesaikan

masalah yang sedang mereka hadapi.

4. Kendala dalam Pengembangan Kreativitas Kognitif

Dalam mengembangkan dan mewujudkan potensi kreatifnya,

seseorang apakah dia anak, remaja atau dewasa dapat mengalami berbagai

hambatan, kendala atau rintangan yang dapat merusak bahkan mematikan

kreativitasnya. Sumber kendla itu dapat bersifat internal, yaitu berasal dari

individu itu sendiri, dan dapat bersifat eksternal yaitu terletak pada

lingkungan individu, baik lingkungan makro (kebudayaan, masyarakat)

maupun lingkungan mikro (keluarga, sekolah, teman sebaya).

Menurut Schalcross dalam Munandar (1999) kendala dalam

pengembangan kreativitas kognitif individu antara alain :

a. Kendala historis

Shallcross menyebut sebagai contoh di dunia barat, kehidupan pada

abad Victoria tidak memberikan banyak kebebasan untuk perilaku

termasuk pemikiran anggota masyarakatnya. Sehubungan dengan ini

(37)

27

Indonesia saat ini mampu membuat iklim yang kondusif untuk

penegembangan kreativitas.

b. Kendala biologis

Ditinjau dari sudut biologis, beberapa pakar menekankan bahwa

kemampuan kreatif merupakan ciri herediter, sementara pakar lainnya

percaya bahwa lingkunganlah yang menjadi penentu utama. Harus

diakui bahwa gen yang diwarisi berperan dalam menentukan

batas-batas intelegensi, tetapi sering dalam hal ini hereditas lebih banyak

digunakan sebagai alasannya.

c. Kendala fisiologis

Seseorang dapat mengalami kendala faal karena terjadi kerusakan otak

karena penyakit atau karena kecelakaan. Atau seseorang menyandang

salah satu keturunan fisik yang menghambatnya untuk

mengungkapkan kreativitasnya.

d. Kendala sosiologis

Lingkungan sosial mempunyai dampak terhadap lingkungan kreatif

kita. Setiap masyarakat memiliki norma, nilai dan tradisi tertentu.

Sering anggota masyarakat menganggap perilaku ynag menyimpang

dari norma sebagai tindakan yang tak bermoraljika menyimpang dari

aturan hukum yang tertulis ataupun tidak tertulis.

e. Kendala psikologis

Kendala yang dikemukakan sebagaian besar hanya dari faktor

(38)

28

bahwa faktor eksternal menyebabkan mereka tidak mempunyai

kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya, dan keyakinan

inipun sudah merupakan sebagai kendala psikologis.

f. Kendala diri sendiri

Terdapat beberapa faktor internal yang menghambat perilaku kreatif,

seperti pengaruh dari kebiasaan atau pembiasaan, perkiraan harapan

orang lain, kurangnya usaha atau kemalasan mental, dan

ketidaklenturan dalam berfikir.

Menurut Amabile dalam Munandar (1999) mengemukakan adanya

empat penghambat kreativitas kognitif, antara lain :

a. Evaluasi

Salah satu syarat untuk memupuk kreatvitas ialah bahwa pendidik

tidak memberikan evaluasi, atau paling tidak menunda pemberian

evaluasi sewaktu anak sedang asyik berkreasi. Bahkan menduga akan

dievaluasi pun akan mengurangi kreativitas individu. Apakah

anak-aanak yang lukisannya dinilai kurang kreatif dalam membuat kolase,

karena mereka menjadi kecil hati sebagai akibat lukisan mereka

dikritik? Kenyataannya lukisan mereka tidak dikritik. Ucapan yang

diberikan cukup positif, jadi pujianpun dapat menjadikan anak kurang

kreatif, jika pujian itu membuat mereka memusatkan perhatian pada

(39)

29

b. Hadiah

Dalam salah satu studi, siswa sekolah dapat ditugaskan membuat

cerita untuk melengkapi buku bergambar, dengan atau tanpa hadiah.

Satu kelompok anak diberitahu bahwa sebagai hadiah mereka boleh

mengambil foto dengan alat pemotret instan. Pada kelompok yang

tidak dijanjikan hadiah, anak-anak diberitahu bahwa mengambil foto

merupakan kegiatan lain yang dapat mereka lakukan sesudah

membuat cerita. Pada kelompok yang diberi hadiah anak-anak

diberitahu bahwa mereka hanya boleh mengambil foto jika mereka

membuat cerita. Kemudia guru menilai kekreatifan cerita tersebut, dan

ternyata hasil membuat cerita dari kelompok yang tidak diberi hadiah

lebih kreatif daripada kelompok yang diberi hadiah.

c. Persaingan

Persaingan lebih kompleks daripada pemberian evaluasi atau hadiah

secara tersendiri, karena persaingan meliputi keduanya. Biasanya

persaingan terjadi apabila siswa merasa bahwa pekerjaannya akan

dinilai terhadap pekerjaan siswa lain dan bahwa yang terbaik akan

mendapatkan hadiah. Hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan

sayangnya dapat mematikan kreativitas.

d. Lingkungan yang membatasi

Alber Einstein yakin bahwa belajar dn kreativitas tidak dapat

ditingkatkan dengan paksaan. Sebagai anak ia mempunyai

(40)

30

dan hafalan semata-mata. Ia selalu diberitahu apa yang harus

dipelajari, bagaimana mempelajarinya dan pada ujian harus dapat

mengulanginya dengan tepat, pengalaman yang baginya amat

menyakitkan dan menghilangkan minat terhadap ilmu, meskipun

hanya untuk sementara. Padahal sewaktu berumur lima tahun ia amat

tertarik untuk belajar ketika ayahnya menunjukkan kompas

kepadanya. Dcontoh ini menunjukkan bahwa jika berfikir dan belajar

dipaksakan dalam lingkungan yang amat membatasi, minat dan

motivasi intrinsik dapat tidak sengaja dirusak.

B. Parental Permissiveness (Sikap Permisif Orang Tua) 1. Pengertian Parental Permissiveness

Permissiveness diartikan sebagai sikap memberikan banyak

kelonggaran dan pembolehan kepada anak dan remaja (Yusuf 2012).

Menurut Munandar 1999 permissiveness adalah sikap orang tua atau guru

yang selalu memberikan perizinan atau memberi kesempatan pada anak

untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau

perasaan-perasaanya. Sikap permisif dilakukan orang tua atau guru

kepada anak atau peserta didiknya. Sikap tersebut cenderung kepada sikap

pemberian kelonggaran dan pembolehan yang besar serta pemberian

perizinan oleh orang tua ataupun guru. Permissiveness didapatkan

individu dari orang tua dan guru ataupun aspek lingkungan lainnya.

(41)

31

dispesifikasikan lagi yaitu sikap permisif dari orang tua (parental

permissiveness).

Parental permissiveness dalam penelitian ini didefinisikan

sebagai sikap permisif (serba membolehkan) dari orang tua kepada anak

atau remajanya. sikap permisif ini memberikan kepada anak atau remaja

kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai dengan dirinya denga

mengekspresikan dalam tindakan konkrit perasaan-perasaannya yang

tidak selalu dimungkinkan tetapi jika ekspresi tersebut secara simbolis

hendaknya dimungkinkan (Munandar 1999). Lingkungan sangat

mempengaruhi sifat dan kepribadian individu adapun pengaruh dari sikap

orang tua terhadap tingkat kreativitas kognitif remaja karena beberapa

sikap dari orang tua yang dapat mempengaruhi tingkat perkembangan

kreativitas kognitif anak salah satunya yaitu kebebasan (permisif) dalam

Amabile dalam Safaria 2005.

Menurut Yusuf (2012) terdapat beberapa sikap dari orang tua

yang dapat dikatakan sebagai sikap permisif orang tua (parental

permissiveness) antara lain orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya

kepada remaja atau anak untuk berfikir dan berusaha, orang tua selalu

menerima gagasan/pendapat yang disampaikan remaja/anak, orang tua

berusaha membuat anak merasa diterima dan merasa kuat, orang tua

memiliki sikap toleransi yang tinggi, memahami kelemahan remaja atau

(42)

32

dan cenderung orang tua lebih suka memberi yang diminta remaja atau

anak daripada menerima sesuatu dari mereka.

2. Sikap Orang Tua

Pada umumnya sikap dari orang tua tidak hanya secara permisif

(permissiveness) saja, melainkan ada beberapa sikap yang biasanya

dilakukan oleh orang tua antara lain otoriter dan demokratis. Setiap orang

tua memiliki pola asuh dan sikap yang berbeda dalam mendidik

anak-anaknya.

Menurut Yusuf 2012 terdapat beberapa indikator perilaku dari

parental permissiveness (sikap orang tua permisif) antara lain :

a. Orang tua memberikan kebebasan kepada remaja untuk berfikir dan

berusaha sendiri.

b. Orang tua selalu menerima gagasan/pendapat yang mereka sampaikan.

c. Orang tua berusaha membuat remaja selalu diterima dan menjadikan

mereka merasa semakin kuat.

d. Orang tua lebih menyukai apa yang diminta remaja daripada orang tua

yang menerima sesuatu atau meminta sesuatu dari remaja tersebut.

Adapun beberapa pola sikap atau perlakuan orang tua terhadap

anak-anaknya yang mampu mempengaruhi tingkah laku dan kepribadian

(43)

[image:43.595.139.516.185.743.2]

33

Tabel 1

Sikap atau Perlakuan Orang Tua dan Dampak yang Ditimbulkan (Yusuf, 2012)

Pola sikap orang

tua Sikap orang tua

Profil tingkah laku anak

1. Permissiveness

(Pembolehan) 1. Memberikan kebebasan untuk berfikir atau berusaha

2. Menerima

gagasan/pendapat. 3. Membuat anak

merasa diterima dan merasa kuat

4. Toleran dan memahami

kelemahan anak

5. Cenderung lebih suka memberi yang diminta anak daripada menerima

1. Pandai mencari jalan keluar. 2. Dapat bekerja

sama. 3. Percaya diri. 4. Penuntut

2. Overprotection (terlalu

melindungi)

1. Kontak yang berlebihan dengan anak.

2. Pemberian bantuan kepada anak yang terus menerus meskipun anak sebenarnya sudah mampu.

3. Mengawasi kegiatan anak secara berlebihan.

4. Memcahkan masalah anak.

1. Perasaan tidak aman.

2. Agresif 3. Mudah gugup 4. Sangat tergantung 5. Ingin menjadi

pusat perhatian 6. Mudah menyerah 7. Kurang mampu

mengendalikan emosi 8. Menolak tanggung jawab 9. Mudah terpengaruh 10.Suka bertengkar

(44)

34

3. Rejection

(penolakan) 1. Bersikap bodoh masa 2. Bersikap kaku 3. Kurang

mempedulikan kesejahteraan anak 4. Menampilkan sikap

permusuhan

1. Agresif

2. Kurang dapat mengerjakan tugas 3. Pemalu 4. Mudah tersinggung 5. Penakut 6. Sulit bergaul 7. Pendiam 8. Sadis 4. Acceptence

(penerimaan) 1. Memberikan perhatian dan cinta kasih kepada anak 2. Menempatan anak

dalam posisi yang penting di dalam rumah

3. Mengembangkan hubungan yang dekat dengan anak 4. Bersikap respek

kepada anak

5. Mendorong anak untuk

menyampaikan pendapat atau perasaannya

6. Berkomunikasi dengan anak

1. Mau bekerja sama

2. Bersahabat 3. Loyal

4. Emosinya stabil 5. Ceria

6. Bertanggung jawab 7. Jujur

8. Dapat dipercaya 9. Bersikap realistik

5. Domination

(dominasi) Mendominasi anak 1. Bersikap sopan dan sangat berhati-hati 2. Pemalu, penurut,

inferior dn mudah bingung

3. Tidak dapat bekerja sama

6. Submission

(penyerahan) 1. Senantiasa memberikan apapun yang diminta anak 2. Membiarkan anak

berperilaku

semaunya jika di rumah

1. Tidak patuh 2. Tidak bertanggung

(45)

35

7. Punitiveness/ov erdicipline (terlalu disiplin)

1. Mudah memberikan hukuman

2. Menanamkan

kedisiplinan secara keras

1. Impulsif 2. Tidak dapat

mengambil keputusan 3. Nakal

4. Suka bermusuhan

Sumber : Yusuf, 2012: 49-50

Sebenarnya sikap orang tua yang dimunculkan pada pengasuhan

mereka bukan hanya sikap permisif saja. Bermacam-macam sikap dan

pengasuhan yang dilakukan orang tua akan memiliki dampak yang

berbeda bagi setiap individu.adapun seperti yang dijelaskan dalam tabel di

atas. Menurut Khalid dalam Farzana 2013 dkk :

Two dimensional model of parenting: warmth-hostility and restrictiveness- permissiveness was presented by Becker, high in warmth and restrictiveness Parents produce complaint, well-behaved children, whereas those high in warmth and permissiveness promote socially outgoing, independent, and creative children ( as cited in khalid, 2004).

Berpendapat bahwa terdapat dua dimensi model pengasuhan yaitu

kehangatan - permusuhan dan pembatasan - permisif yang disajikan oleh

Becker jika anak disikapi dengan kehangatan dan pembatasan akan

menghasilkan anak-anak yang berperilaku baik, sedangkan anak yang

disikapi dengan kehangatan dan sikap permisif menghasilkan anak yang

memiliki sosial tinggi, mandiri dan kreatif.

Adapun beberapa pernyataan lain mengenai parental

permissiveness (sikap orang tua permisif) yang dapat diambil dari kutipan

(46)

36

Those adolescents who had tried alcohol, tobacco and cannabis during their lifetime perceived higher levels of parental permissiveness toward such use, as well as less control and more affect from both their father and their mother.

Diartikan bahwa terdapat remaja yang telah mencoba

mengkonsumsi alkohol, tembakau dan ganja selama hidup mereka,

perilaku tersebut muncul karena adanya sikap permisif yang lebih tinggi

dari orangtua terhadap penggunaan alcohol dan lain sebagainya, serta

kurang kontrol khususnya dari kedua ayah dan ibu mereka (Becona dkk).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa parental permissiveness

merupakan sikap orang tua permisif yang hanya sedikit saja memberikan

kontrol kepada remajanya. Dalam kutipan dari pernyataan lain mengatakan

bahwa :

Parental Permissiveness—Allowance of Drinking Perceived parental allowance of drinking was assessed using one item, “How old were you the first time you drank alcohol (more than a few sips) with permission from your parents?” and response options were recoded as (0) never permitted, and (1) ever permitted.

Diartikan bahwa orang tua permisif jika dihubungan dengan perilaku

minum (alkohol) dan perizinan atau permissiveness orang tua diukur

dengan menggunakan satu item,yaitu "Berapa umur Anda saat pertama

kali Anda minum alkohol (lebih dari beberapa teguk) tentunya dengan izin

dari orang tua Anda?" dan pilihan respon sebagai berikut (0) tidak pernah

diizinkan, dan (1) pernah diizinkan (dalam Weld dkk). Dari pernyataan di

(47)

37

yang berkaitan dengan kemudahan orang tua dalam memberikan izin bagi

remaja untuk melakukan sesuatu yang diinginkan remaja tersebut.

Parental Permissiveness—Perceived Parental Limits Perceived parental limits were assessed using one item, “During your senior year of high school, how many drinks would your parents consider to be an upper limit for you to consume on any given occasion?” with the following response options: (0) no amount, (1) one drink, (2), two drinks, (3) three drinks, (4) four drinks, (5) five drinks, (6) six to 12 drinks, and (7) there is no upper limit (Abar et al. 2009).

Diartikan bahwa orang tua permisif berhubungan dengan batasan

dari orang tua kepada individu yang dinilai menggunakan satu aitem

“Selama Anda sekolah di perguruan tinggi, berapa kali anda minum

(alkohol) dan orang tua dianggap sebagai pihak yang memberikan batasan

kepada Anda untuk mengkonsumsi (alkohol) tersebut” dengan pilihan

respon berikut tidak ada jumlah, satu minuman, dua minuman, tiga

minuman, empat minuman, lima minuman, enam sampai dua belas

minuman, dan tak terbatas (dalam Abar dalam Weld dkk 2013).

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa parental

permissiveness adalah sikap permisif orang tua yang berhubungan dengan

pemberian batasan kepada remaja (orang tua permisif tidak memberikan

banyak batasan kepada remaja) atas suatu tindakan atau keinginan remaja

(48)

38

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Konsep remaja bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan

dari bidang ilmu-ilmu sosial. Di Indonesia sendiri konsep remaja tidak

dikenal dalam sebagaian undang-undang yang berlaku. Hukum di

Indonesia hanya mnegenal anak-anak dan remaja, walaupun batasan

yang diberikan untuk itu pun bermacam-macam. Hukum pidana

misalnya yang memberikan batasan usia 16 tahun sebagai dewasa

(pasal 45,47 KUHP). Anak-anak yang berusia kurang dari 16 tahun

masih menjadi tanggung jawab orang tuanya jika ia melanggar hukum

pidana (Sarwono, 2011).

Beberapa Undang-undang lain juga tidak mengenal istilah remaja.

Undang-Undang kesejahteraan Anak (UU. No. 4/1979) misalnya,

menganggap semua orang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum

menikah dianggap sebagai anak-anak dan berhak mendapat perlakuan

dan kemudahan-kemudahan yang diperuntukkan bagi anak. Tetapi

batas usia ini lebih rendah yaitu 16 tahun dalam UU Perlindungan Anak

no. 23/2002 pasal 1 (Sarwono, 2011).

Dalam hubungan ini tampaknya Undang-undang perkawinan saja

yang mengenal konsep remaja meskipun tidak terbuka. Usia minimal

untuk suatu perkawinan menurut Undang-Undang tersebut adalah 16

tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria 9pasal 7 UU No.1/1974

(49)

39

orang di atas usia itu bukanlah anak-anak sehingga mereka sudah

diperbolehkan menikah. Remaja dalam arti psikologis sendiri sangat

berkaitan dengan kehidupan dan keadaan masyarakat dimana masa

remajanya sangat panjang. Dapat disimpulkan pengertian dari remaja

adalah suatu masa transisi dari masa anak ke masa dewasa yang

ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, agama,

kognitif dan social (Sarwono, 2011).

2. Batasan dan Karakteristik Remaja

Pada tahun 1974, WHO (Worl Health Organization) menetaptan

batasan usia remaja yaitu antara 10 – 20 tahun dengan pembagian kurun

usia menjadi 2 bagian, yaitu remaja awal (usia 10 – 14 tahun) dan

remaja akhir (usia 15 – 20 tahun). Monks, dkk tahun 2000 memberi

batasan usia remaja adalah mereka yang sudah memasuki usia 12-21

tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada

pada rentang usia 12-23 tahun.

Menurut PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menetapkan usia

remaja yaitu usia 15 – 24 tahun sebagai usia pemuda (youth) dalam

rangka keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun

Pemuda Internasioal (Hanifah dalam Sarwono 2011). Jika dihubungkan

dengan teori-teori di atas dapat dijelaskan bahwa dalam peneltian ini

subjek yang akan dipilih adalah remaja, lalu karakter pada subjek yang

akan ditentukan nantinya adalah mereka yang masuk pada usia remaja

(50)

40

Adapun beberapa karakter yang dimiliki dari remaja itu sendiri.

Berikut adalah karakteristik yang dimiliki oleh remaja, Gunarsa (1989)

merangkum beberapa karakteristik remaja antara lain :

a. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.

b. Ketidakstabilan emosi.

c. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan

petunjuk hidup.

d. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.

e. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab

pertentangan-pertentang dengan orang tua.

f. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak

sanggup memenuhi semuanya.

g. Senang bereksperimentasi.

h. Senang bereksplorasi.

i. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.

j. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan

berkelompok.

Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah

masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk

perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan

pencapaian. Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan

baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada

(51)

41

yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang

ada pada diri remaja. Berikut ini dirangkum beberapa permasalahan

utama yang dialami oleh remaja

Adapun pada salah satu karakteristik yang dimiliki remaja

yaitu senang bereksperimentasi dan bereksplorasi dimana pada kedua

karakteristik tersebut merupakan ciri dari sikap yang dapat

menumbuhkan kreativitas kognitif remaja. Dijelaskan pula dalam

Munandar 1999 bahwa sikap permisif diberikan oleh orang tua kepada

remaja dengan memberikan kebebasan dan selalu membolehkan remaja

untuk bereksplorasi.

D. Hubungan Parental Permissiveness dan Kreativitas Kognitif.

Dalam sebuah teori dijelaskan individu yang disikapi dengan

kehangatan dan sikap permisif menghasilkan anak yang memiliki sosial

tinggi, mandiri dan kreatif (Khalid dalam Bibi dkk 2013). Begitupun

dengan dampak daripada sikap permisif orang tua (parental

permissiveness) itu sendiri akan muncul beberapa sikap pada anak/remaja

diantaranya yaitu kemampuan dalam memecahkan masalah yang lebih

cepat dan tepat serta tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Kedua perilaku

tersebut merupakan salah satu dari beberapa ciri-ciri yang dimiliki oleh

individu yang kreatif seperti yang dijelaskan Torrance dalam Safaria tahun

(2005).

Menurut Munandar (1999) Kreativitas kognitif individu

(52)

42

faktor eksternal (motivasi ekstrinsik). Faktor internal merupakan faktor

yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri semisal motivasi. Faktor

eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar individu atau

lingkungan. Dijelaskan bahwa sikap permisif orang tua (parental

permissiveness) sebagai salah satu motivasi ekstrinsik yang berpengaruh

dalam mengembangkan kreativitas kognitif individu dan parental

permissiveness sebagai kebebasan psikologis yang didapatkan individu

dari lingkungan yaitu orang tua. Parental permissiveness diartikan

sebagai sikap memberikan kebebasan atau selalu membolehkan kepada

anak/remaja dalam mengekspresikan perasaannya melalui tindakan konkrit

sehingga mampu memberikan implikasi tersendiri kepada individu

terhadap kreativitas kognitifnya.

Berdasarkan keterangan dari sebelumnya juga dikatakan bahwa

parental permissiveness akan mempengaruhi pola tingkah laku

anak/remaja, antara lain anak/remaja menjadi pribadi yang lebih intuitif

(pandai memecahkan masalah) dan merasa percaya diri seperti beberapa

ciri-ciri dari individu yang kreatif (Yusuf, 2012).

E. Landasan Teoritis

Kreativitas adalah kemampuan berfikir kreatif (secara kognitif)

yang berbeda dalam berbagai macam sudut pandang yang fleksibel dan

bervariasi (Safaria, 2005). Menurut Munandar 2009 kreativitas individu

dapat terwujud dengan adanya pengaruh dua faktor, yaitu faktor internal

(53)

43

bersangkutan atau disebut motivasi intrinsik) dan faktor eksternal atau

motivasi ekstrinsik (faktor yang berasal dari dorongan atau pengaruh

lingkungan). Faktor internal seperti motivasi pada seseorang. Motivasi ini

merupakan dorongan yang utama untuk sebuah kreativitas ketika individu

membentuk hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya dalam upaya

menjadi dirinya yang sepenuhnya. Dorongan pada setiap orang yang

bersifat internal ada dalam individu itu sendiri namun membutuhkan

kondisi yang tepat untuk mewujudkannya.

Faktor eksternal atau motivasi ekstrinsik (faktor yang berasal dari

dorongan atau pengaruh lingkungan) seperti kondisi lingkungan yang yang

mampu menjadi pendorong bagi individu untuk meningkatkan

kreativitasnya. Adapun lingkungan yang dimaksudkan seperti keamanan

psikologis dan kebebasan psikologis. Keamanan psikologis akan terbentuk

dari tiga proses yang saling berhubungan yaitu dengan menerima individu

dengan apa adanya dan segala kelebihan serta keterbatasannya,

mengusahakan tidak adanya evaluasi eksternal, dan memberikan

pengertian secara empatis (dapat ikut menghayati).

Kebebasan psikologis yaitu apabila lingkungan mengizinkan atau

memberi kesempatan kepada individu untuk bebas mengekspresikan

secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaan-perasaanya (permissiveness).

Sikap permissiveness akan memberikan kepada individu kebebasan dalam

berfikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya. Dalam

(54)

44

kesempatan dan bersikap selalu membolehkan kepada individu untuk

bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaannya

melalui sebuah kreativitas yaitu permissiveness. Salah satu faktor

Gambar

Tabel 1  Sikap atau Perlakuan Orang Tua dan Dampak yang Ditimbulkan (Yusuf,
Tabel 2  Perbandingan Skala Tes Kreativitas Figural
Tabel 3  Indikator Perilaku
  Tabel 4 Blue Print
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hanya saja ketersediaan dan fluktuasi yang berbeda pada produksi rumput gajah sebagai hijauan makanan ternak khususnya pada musim kemarau belum dapat memenuhi

Pelanggaran terhadap maksim kesantunan tersebut, terlihat dari tanpa dimulainya ucapan salam saat mahasiswa mengirimkan sms; tanpa disertai identitas pengirim; isi

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan seksama dan penuh

Dari hasil penelitian tersebut dapat dibuktikan bahwa penerapan metode Inside Outside Circle dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sains kelas V

Jika auditor tidak dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian (tidak sesuai.. dengan harapan perusahaan), perusahaan akan berpindah KAP yang

Dari uraian-uraian diatas tersebut maka maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti tentang pandangan para ulama dari organisasi masyarakat yang cukup besar

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP RUSUNAWA BRUJUL KECAMATAN JATEN..

Untuk mengetahui pengaruh Kompetensi, Kompensasi, Iklim Organisasi dan Penempatan Pegawai secara simultan terhadap kinerja pegawai pada Dinas Kesehatan