• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Matematika sebagai sebuah spiritualitas dan sumbangannya terhadap pembentukan karakter.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembelajaran Matematika sebagai sebuah spiritualitas dan sumbangannya terhadap pembentukan karakter."

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEBAGAI SEBUAH SPIRITUALITAS DAN SUMBANGANNYA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER

Felicianus Dari

ABSTRAK

Upaya membentuk karakter melalui pendidikan adalah hal yang kini mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama karena berbagai permasalahan yang kini dihadapi dalam kehidupan bersama, yang ditandai dengan dekadensi moral pada hampir seluruh segi kehidupan. Ada kesadaran baru bahwa upaya pembentukan karakter dapat diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran, termasuk mata pelajaran matematika, bahkan menilik keunggulan nilai-nilai yang dimiliki pembelajaran matematika, dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika adalah tulang punggung upaya pembentukan karakter tersebut.

Mata pelajaran matematika memiliki nilai-nilai yang sangat penting untuk penataan nalar dan pembentukan karakter peserta didik. Dengan mengenalkan dan kemudian menanamkan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik, maka dapat dikembangkan kemampuan, ketrampilan, sikap dan kepribadian yang positif dan bermanfaat bagi mereka. Tugas guru yang penting adalah mendidik, sehingga seyogyanya guru memiliki secara lengkap kompetensi-kompetensi yang disyaratkan baginya, karena dia harus sekaligus menjadi contoh dan teladan bagi peserta didiknya.

Setiap pribadi berkarakter dibimbing oleh spiritualitas hidup tertentu. Spiritualitas dipahami sebagai pengalaman manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas, juga sebagai semangat dasar yang menjadi inspirasi dan motivasi utama dalam melakukan sesuatu, yang selalu mendorong, memberi inspirasi dan motivasi untuk membuat diri dan hidup manusia bermakna.

Spiritualitas sebagai upaya manusia dengan bantuan Yang Kudus, untuk membuat hidupnya bernilai dan bermartabat dalam ziarahnya kembali menuju Sang Kudus, mempunyai banyak jalan. Matematika mengandung banyak nilai dari Yang Kudus, sekaligus merupakan jejak dari Yang Kudus, dan dalam batasan tertentu boleh menjadi spiritualitas bagi hidup dan perjuangan manusia. Dalam konteks itu, melaksanakan pembelajaran matematika adalah lalu menjadi sebuah karya pastoral. Guru matematika mengemban tugas sebagai gembala tradisi dan nabi masa depan.

Kata Kunci : Pembelajaran matematika, pembentukan karakter, spiritualitas

(2)

LEARNING MATH AS A SPIRITUALITY mainly because of the problems now facing in a common life, marked by moral decadence in almost all aspects of life. There is a new awareness that efforts to establish the characters can be integrated into every subject, including mathematics courses, and even view the primacy of values possessed mathematics, it can be said that learning mathematics is the main power of efforts to establish the character.

Mathematics courses have values that are very important for the structuring of reason and character formation of students. By introducing and then embed those values to students, it can be developed abilities, skills, attitudes and personality are very useful for learners. Important task is to educate teachers, so the teachers should have a complete competencies required for him, because he must be an example and role model for learners.

Each character personal life guided by certain spirituality. Spirituality understood as the common human experience of a sense of meaning, purpose and morality, as well as the basic spirit of the inspiration and the main motivation in doing something, which is always encouraging, inspiring and motivation to make themselves and the human life meaningful.

Spirituality as an efforts of human being with the help of the Holy One, trying to make his life worth, dignity during his pilgrimage back towards the Holy One, has many paths. Mathematics containing many values of the Holy One, at once as stable of Holy One, within certain limits should be a spirituality for life and human struggle. In the context of developing and shaping the character through the study of mathematics, then carry out learning of mathematics is a pastoral work, there a math teacher serve as

shepherd tradition and prophet of the future.

Keywords: Mathematic education, character formation, spirituality

(3)

1

PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEBAGAI SEBUAH SPIRITUALITAS DAN SUMBANGANNYA TERHADAP

PEMBENTUKAN KARAKTER

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun oleh : FELICIANUS DARI

NIM : 111414002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

6

PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEBAGAI SEBUAH SPIRITUALITAS DAN SUMBANGANNYA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER

Felicianus Dari

ABSTRAK

Upaya membentuk karakter melalui pendidikan adalah hal yang kini mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama karena berbagai permasalahan yang kini dihadapi dalam kehidupan bersama, yang ditandai dengan dekadensi moral pada hampir seluruh segi kehidupan. Ada kesadaran baru bahwa upaya pembentukan karakter dapat diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran, termasuk mata pelajaran matematika, bahkan menilik keunggulan nilai-nilai yang dimiliki pembelajaran matematika, dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika adalah tulang punggung upaya pembentukan karakter tersebut.

Mata pelajaran matematika memiliki nilai-nilai yang sangat penting untuk penataan nalar dan pembentukan karakter peserta didik. Dengan mengenalkan dan kemudian menanamkan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik, maka dapat dikembangkan kemampuan, ketrampilan, sikap dan kepribadian yang positif dan bermanfaat bagi mereka.

Tugas guru yang penting adalah mendidik, sehingga seyogyanya guru memiliki secara lengkap kompetensi-kompetensi yang disyaratkan baginya, karena dia harus sekaligus menjadi contoh dan teladan bagi peserta didiknya.

Setiap pribadi berkarakter dibimbing oleh spiritualitas hidup tertentu. Spiritualitas dipahami sebagai pengalaman manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas, juga sebagai semangat dasar yang menjadi inspirasi dan motivasi utama dalam melakukan sesuatu, yang selalu mendorong, memberi inspirasi dan motivasi untuk membuat diri dan hidup manusia bermakna.

Spiritualitas sebagai upaya manusia dengan bantuan Yang Kudus, untuk membuat hidupnya bernilai dan bermartabat dalam ziarahnya kembali menuju Sang Kudus, mempunyai banyak jalan. Matematika mengandung banyak nilai dari Yang Kudus, sekaligus merupakan jejak dari Yang Kudus, dan dalam batasan tertentu boleh menjadi spiritualitas bagi hidup dan perjuangan manusia. Dalam konteks itu, melaksanakan pembelajaran matematika adalah lalu menjadi sebuah karya pastoral. Guru matematika mengemban tugas sebagai gembala tradisi dan nabi masa depan. Kata Kunci : Pembelajaran matematika, pembentukan karakter, spiritualitas

(9)

7

LEARNING MATH AS A SPIRITUALITY

AND IT’S CONTRIBUTION TOWARD FORMATION OF CHARACTER

FelicianusDari

ABSTRACT

Efforts to form character through education is now serious attention from all sides, mainly because of the problems now facing in a common life, marked by moral decadence in almost all aspects of life. There is a new awareness that efforts to establish the characters can be integrated into every subject, including mathematics courses, and even view the primacy of values possessed mathematics, it can be said that learning mathematics is the main power of efforts to establish the character.

Mathematics courses have values that are very important for the structuring of reason and character formation of students. By introducing and then embed those values to students, it can be developed abilities, skills, attitudes and personality

are very useful for learners.

Important task is to educate teachers, so the teachers should have a complete competencies required for him, because he must be an example and role model for learners.

Each character personal life guided by certain spirituality. Spirituality understood as the common human experience of a sense of meaning, purpose and morality, as well as the basic spirit of the inspiration and the main motivation in doing something, which is always encouraging, inspiring and motivation to make themselves and the human life meaningful.

Spirituality as an efforts of human being with the help of the Holy One, trying to make his life worth, dignity during his pilgrimage back towards the Holy One, has many paths. Mathematics containing many values of the Holy One, at once as stable of Holy One, within certain limits should be a spirituality for life and human struggle. In the context of developing and shaping the character through the study of mathematics, then carry out learning of mathematics is a pastoral work, there a math teacher serve as shepherd tradition and prophet of the future.

Keywords: Mathematic education, character formation, spirituality

(10)

8

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur berlimpah penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pembelajaran Matematika Sebagai Sebuah

Spiritualitas dan Sumbangannya Terhadap Pembentukan Karakter” ini.

Skripsi ini merupakan salah satu matakuliah yang wajib ditempuh di Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma, sekaligus sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan.

Penulis sangat sadar bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis mengalami kesulitan dan hambatan. Namun penulis yakin sungguh bahwa berkat bimbingan dan rahmat dari Yang Kudus, dan bantuan semua pihak berupa peneguhan dan masukan-masukan yang berarti, akhirnya hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi. Untuk itu sudah sepatutnya penulis ucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Bapak Dr. Hongki Julie, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika periode 2015-2019, yang telah membantu penulis dalam memperlancar penyelesaian tulisan ini.

3. Bapak Dr. Yansen Marpaung, sebagai dosen pembimbing yang dengan tekun dan sabar telah mendampingi, membimbing dan memberi masukan untuk penyelesaian tulisan ini.

(11)

9

4. Segenap staf sekretariat dan semua dosen jurusan pendidikan matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, juga teman-teman seangkatan dan sekelas.

5. Bapak Uskup dan Para Romo Keuskupan Maumere yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi lagi, membina dan membimbing perjalanan panggilan serta membiayai hidup penulis khususnya selama masa tugas belajar tersebut.

6. Orang tua dan saudara-saudariku, keluarga besar dan umat yang sering dalam doa yang tak terkatakan menunjukkan dukungan dan cintanya pada panggilanku ini, terkhusus selama selang waktu tugas belajar di Yogyakarta ini.

Penulis berbesar harapan, kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya pembelajaran matematika, demi melaluinya tampil pribadi-pribadi yang unggul karakter dan bermilitansi iman.

Penulis

(12)

10

1.2 Identifikasi Masalah ... 4

1.3 Batasan Masalah ... 4

2.1.1 Hakikat Pendidikan ... 6

2.1.2 Pengertian Pendidikan ... 7

2.1.3 Manfaat Pendidikan ... 8

2.1.4 Tujuan Pendidikan ... 9

2.2 Matematika ... 11

(13)

11

2.2.1 Hakikat Matematika ... 11

2.2.2 Hakikat Pembelajaran Matematika ... 14

2.2.3 Arti Matematika ... 15

2.2.4 Karakteristik Kultural Matematika ... 16

2.2.5 Deskripsi Matematika ... 19

2.2.6 Karakteristik Umum Matematika ... 20

2.2.7 Karakteristik Matematika Sekolah ... 26

2.3 Karakter ... 27

2.3.1 Arti Karakter ... 27

2.3.2 Perbedaan Karakter dan Kepribadian ... 29

2.3.3 Pribadi Berkarakter ... 29

2.3.4 Pendidikan Karakter ... 31

2.4 Spiritualitas ... 33

2.4.1 PemahamanTentang Spiritualitas ... 34

2.4.2 Kecerdasan Spiritual ... 34

2.4.3 Kebutuhan Manusia Terhadap Spiritualitas ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

3.4.1 Analisis Data Hasil Wawancara Dengan Guru Matematika……...………..44

3.4.2 Analisis Data Hasil Pengamatan Terhadap Proses Pembelajaran...…….44

3.5 Waktu Dan Tempat Pengamatan/observasi...63

BAB IV SUMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA TERHADAP PEMBENTUKAN KARAKTER………...……….. 68

4.1 Karakteristik Pendidikan Matematika Dan Nilai – Nilai Yang Terkandung Di Dalamnya Dalam Kaitannya Dengan Pembentukan Karakter………....68

(14)

12

4.2 Pembentukan Karakter Peserta Didik Dengan Menggunakan Wahana

Pendidikan Matematika ... 77

4.3 Kemampuan – Kemampuan Yang Disumbangkan Matematika Bagi Pembentukan Karakter Peserta Didik ... 79

BAB V MUNGKINKAH MATEMATIKA MENJADI SEBUAH SPIRITUALITAS………...………82

5.1 Hidup Yang Bermakna Sebagai Ekspresi Kecerdasan Spiritual ... 82

5.2 Sumbangan Matematika Bagi Peradaban ... 82

5.3 Mungkinkah Matematika Menjadi Sebuah Spiritualitas ... 89

5.3.1 Kaitan Antara Matematika Dengan Spiritualitas ... 90

5.3.2 Guru Matematika Sebagai Gembala Tradisi Dan Nabi Masa Depan ... 100

BAB VI P E N U T U P ... 102

6.1 Kesimpulan ... 102

6.2 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ……….104 LAMPIRAN :

1. Pertanyaan Penuntun Wawancara

2. Transkrip Wawancara 01 dan 02

3. Data Hasil Wawancara dan Analisis Atasnya

4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

(15)

13 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menjadi cita-cita bersama dan tujuan setiap upaya khususnya di bidang pendidikan adalah tampilnya manusia-manusia yang berkarakter, karena hanya pribadi-pribadi yang demikianlah yang akan menjadikan bumi ini sebagai rumah besar bersama yang nyaman didiami oleh semua. Disadari bahwa pribadi-pribadi seperti itu tidak dilahirkan, mereka hanya dijadikan, dan itu hanya melalui pendidikan yang berkualitas.

Pelaksanaan pendidikan karakter di setiap jenjang pendidikan merupakan suatu keharusan dan mendesak karena bangsa Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada berbagai problem kebangsaan yang serius. Budaya hidup gampangan (instan), banyak peserta didik yang mencontek, tawuran, maraknya seks bebas, peredaran narkoba dan kekerasan bahkan atas nama agama, masih sering menghiasi halaman pemberitaan kita, sebagian dari potret kelam wajah bangsa ini.

Dekadensi moral disinyalir sebagai penyebabnya; orang tenggelam dalam kedangkalan terhadap nilai-nilai hidup yang utama. Prinsip-prinsip hidup yang mengedepankan kerja keras dan perjuangan yang sungguh demi meraih hasil maksimal dan prestasi cemerlang telah diganti prinsip mumpung ada kesempatan yang ditafsir secara amat negatif dan destuktif.

Jika keadaan di atas dibiarkan berlarut-larut dalam carut-marutnya, Indonesia akan semakin terpuruk dalam era persaingan global, dan sulit mengejar ketertinggalan dalam upaya mencapai Millenium Developments Goals yang

(16)

14

menekankan dan memperjuangkan beberapa hal, yaitu: (1) menghapus tingkat kemiskinan dan kelaparan yang kini masih masif dan menjadi momok dunia; (2) mencapai pendidikan dasar (dan lanjutan) secara universal, terutama di kawasan dunia sedang berkembang; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) mengurangi tingkat kematian anak dan kematian anak dan ibu saat melahirkan; (5) memerangi dan membatasi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit endemik lainnya yang mematikan; (6) menjamin pembangunan berkelanjutan berbasis pelestarian lingkungan; dan (7) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Tujuan-tujuan luhur ini dapat tercapai hanya jika didukung oleh masyarakat yang berkualitas. (Sumantri:2010).

Sebuah pertanyaan besar muncul sehubungan dengan hal di atas, adakah yang salah dengan kehidupan berbangsa dan bernegara kita sehingga mimpi para pendiri bangsa yaitu terbentuknya Indonesia yang bermartabat dan berdaulat, yang berkeadilan dan berkemakmuran merata, masih sulit terwujud meskipun usia republik ini telah tidak lagi muda? Kalau pendidikan diyakini sebagai faktor unggulan untuk membentuk manusia yang berkarakter, adakah yang salah dengan pendidikan kita? Bagaimana meretas kembali jalan yang telah menyimpang ini menuju hakikat dan tujuan pendidikan yang sesungguhnya? Siapa yang bertanggung jawab atas semua upaya ini?

Krisis moral multidimensi memicu keresahan bangsa ini sehingga muncul wacana mengatasi masalah tersebut melalui pendidikan. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yang mengatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

(17)

15

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan kata lain, pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi kecerdasan intelektual, spiritual, sosial, dan moral peserta didik sebagai generasi penerus dan tulang punggung bangsa.

Misi memahat karakter adalah tanggung jawab semua pihak. Dalam konteks pembentukan karakter melalui pendidikan, misi tersebut diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran, termasuk matematika. Bahkan oleh banyak kalangan, pelajaran matematika diyakini memiliki nilai-nilai yang amat penting dalam membentuk dan mengembangkan karakter peserta didik. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dan dikaitkan dengan konteks kehidupan dan diharapkan menyumbang sesuatu terhadap pembentukan karakter. Maka pembentukan karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi juga menyentuh tataran internalisasi dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari.

Peran reflesi sangat diandaikan. Sebuah refleksi adalah hasil perpaduan dan pengolahan berbagai macam hal seperti olah rasa, olah batin, dan kemampuan intelektual. Sementara disadari saat ini bahwa proses pendidikan kita hanya merupakan proses pengolahan intelektual, yang akhirnya hanya menjadi proses pembelajaran saja dan tidak berkembang menjadi suatu proses hidup yang holistik,

(18)

16

padahal pembalajaran sebagai bagian dari seluruh proses pendidikan adalah upaya pemanusiaan manusia seutuhnya.

Disadari bahwa pendidikan karakter menjadi salah satu kunci dari kemajuan pembangunan bangsa. Kekuatan karakter bersumber pada keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual dan transendental. Maka amat diyakini bahwa manusia yang berkarakter adalah manusia yang hidupnya senantiasa didorong, diinspirasi dan dikuatkan oleh spiritualitas tertentu, dikontrol serta mengarah pada sesuatu yang lebih tinggi dan bernilai bahkan sesuatu yang mulia.

Menyadari bahwa pembelajaran matematika mempunyai nilai yang amat kaya bagi upaya pembentukan karakter, bagi peradaban dan kemanusiaan, maka jalan matematika adalah jalan menuju pemuliaan manusia, jalan menuju hidup yang bermakna, sebuah jalan kekudusan. Atas dasar itu, tidak berlebihan bila penulis berkesimpulan bahwa matematika juga adalah sebuah spiritualitas.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari uraian di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana pendidikan karakter seharusnya diimplementasikan di sekolah?

2. Apa karakteristik pendidikan matematika dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya?

3. Bagaimana strategi pembentukan karakter dengan menggunakan wahana pendidikan matematika?

4. Mungkinkan matematika menjadi sebuah spiritualitas?

1.3 Batasan Masalah

(19)

17

Tulisan ini membahas pembelajaran matematika dan refleksi atasnya untuk menjadi sebuah spiritualitas dan bagaimana melihat sumbangannya terhadap pembetukan karakter. Dengan demikian tujuan pendidikan yaitu untuk membentuk pribadi-pribadi yang berkualitas dan menjadi manusia seutuhnya dapat terlaksana secara maksimal.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penulis merumuskan masalah yang menjadi kajian tulisan ini sebagai berikut: “Bagaimana

merefleksikan pembelajaran matematika sebagai sebuah spiritualitas dan sumbangannya terhadap pembentukan karakter peserta didik ?”.

1.5 Tujuan Penulisan

Tujuan tulisan ini adalah untuk mengkaji dan memaparkan upaya menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik melalui pembelajaran matematika, yaitu pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran matematika di SD Marsudirini.

1. Memaparkan karakteristik pembelajaran matematika dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya yang dapat disumbangkan bagi upaya pembentukan karakter pada diri peserta didik di SD Marsudirini.

2. Memaparkan penanaman dan pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter pada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran matematika di SD Marsudirini.

(20)

18

3. Menegaskan bahwa matematika dengan nilai-nilai yang dikandung di dalamnya dapat menjadi sebuah spiritualitas hidup bagi manusia.

1.6 Sistematika Penulisan

Skripsi ini mempunyai sistematika sebagai berikut; Bab I Pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang, Rumusan dan Identifikasi Masalah, Tujuan Penulisan, Batasan Masalah, Sistematika Penulisan dan Teknik Pengumpulan Data.

Dalam Bab II ditampilkan landasan teoritik tentang pendidikan, matematika dan pembelajarannya, karakter dan spiritualitas, untuk memperoleh dasar yang kuat bagi keseluruhan kajian ini.

Bab III berisi metode penelitian. Asumsi dasar tulisan ini didukung data yang diambil melalui penelitian dan dianalisis untuk menjadi pijakan bagi penulisan selanjutnya.

Dalam Bab IV berbicara tentang karakteristik matematika, terutama nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan bagaimana sumbangsihnya terhadap pembentukan karakter.

Bab V berisi ulasan tentang kaitan antara matematika dengan spiritualitas untuk sampai pada kesimpulan bahwa matematika dapat menjadi sebuah spiritualitas.

Bab VI adalah bab penutup, berisi kesimpulan dan saran.

(21)

19 BAB II

LANDASAN TEORI

Berbicara tentang pembelajaran matematika sebagai sebuah spiritualitas dan kontribusinya terhadap pembentukan karakter adalah suatu uraian yang panjang, sebuah tema yang besar. Pada bagian ini akan ditelaah landasan teoritis dari beberapa hal yang merupakan sub-judul di atas yang akhirnya akan membentuk satu-kesatuan judul tersebut.

2.1 Pendidikan

2.1.1 Hakikat Pendidikan

Pada umumnya, pendidikan merupakan upaya memperoleh pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan dari sekelompok orang, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pembelajaran, pelatihan, atau penelitian. Maka setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau bertindak dapat dianggap sebagai upaya pendidikan.

Pendidikan merupakan hal yang amat diperhatikan oleh seluruh bangsa, karena kemajuan suatu bangsa amat dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan hasil proses pendidikan yang berkualitas pula dan manusia yang berkualitas sajalah yang mampu membangun bangsanya ke arah yang dicita-citakan.

Pendidikan merupakan proses yang dilakukan untuk mengembangkan nilai-nilai, pandangan hidup, visi, misi, kepercayaan, kebudayaan dan berbagai simbol yang digunakan dalam mengekspresikan pengetahuan dan teknologi kepada generasi

(22)

20

muda sehingga komunikasi sosial antara generasi tua dan generasi muda dapat berjalan dengan lancar dan konstruktif. Dengan demikian, pendidikan adalah suatu proses yang manusiawi berupa tindakan komunikatif, dialogis, dan transformatif antara peserta didik dan pendidik yang bertujuan etis, yaitu membantu pengembangan kepribadian peserta didik seutuhnya dalam konteks lingkungan alamiah dan kebudayaan yang berkeadaban.

2.1.2 Pengertian Pendidikan

Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk mengembangkan kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Secara etimologis, pendidikan berasal dari Bahasa Yunani,”paedagogie” yang akar katanya adalah ”pais” yang artinya anak, dan ”again” yang artinya membimbing, sehingga paedagogie berarti bimbingan yang

diberikan kepada anak. Pendidikan juga sering disamakan dengan edukasi, kata yang berasal dari bahasa Latin, “educare” yang berarti membawa keluar yang

tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang. Kata

educare bisa diartikan juga sebagai upaya menyuburkan, maka pendidikan dalam artian tersebut merupakan sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, menata, dan mengarahkan berbagai potensi yang ada dalam diri manusia agar dapat berkembang dengan baik dan maksimal serta bermanfaat bagi dirinya. sesama dan lingkungannya.

Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 memberi batasan tentang pendidikan sebagai sebuah usaha yang sadar dan terrencana untuk

(23)

21

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sedemikian rupa supaya peserta didik dapat mengembangkan seluruh potensi dirinya secara aktif, supaya memiliki pengendalian diri, kecerdasan, ketrampilan dalam masyarakat, kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, serta akhlak mulia.

Beberapa tokoh pendidikan juga telah berusaha memberi batasan tentang pendidikan, seperti Ki Hajar Dewantara -Bapa Pendidikan Nasional-, yang merumuskan pendidikan sebagai upaya menuntun segala kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak yaitu: budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)

Tokoh pendidikan dunia juga telah memberi defenisi tentang pendidikan, misalnya John Dewey yang mengartikan pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. (John Dewey: 1944). Sementara itu, Paulo Freire melihat pendidikan sebagai jalan menuju pembebasan yang permanen bagi manusia melalui dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan mutlak perlunya pembebasan mereka. Tahap kedua sebagai kelanjutan tahap pertama berupa tindakan kultural yang membebaskan. (Agung Prihantoro, 2007:83).

2.1.3 Manfaat Pendidikan

Secara umum dapat dikatakan bahwa manfaat dari pendidikan adalah untuk: 1. Membentuk kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

Esa.

(24)

22

2. Mendapatkan ilmu dan ketrampilan yang akan dibutuhkan untuk masa mendatang.

3. Dengan bekal ilmu dan wawasan yang luas, cita-cita yang diimpikan dapat diraih

4. Memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan.

5. Mengembangkan nilai-nilai baru sehingga dapat memperkaya dan melestarikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara.

Menurut Horton dan Hunt, (Ary H. Gunawan, 2010 : 84-86) lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata sebagai berikut:

1. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah dan memperluas wawasan.

2. Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

3. Melestarikan dan memperkaya kebudayaan.

4. Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.

5. Mengurangi pengendalian orang tua, artinya melalui mekanisme pendidikan di sekolah, orang tua melimpahkan sebagian wewenang dan tugas dalam mendidik anak kepada pihak sekolah atau lembaga pendidikan tertentu.

6. Pendidikan sekolah juga dianggap memperpanjang masa remaja seseorang sebab peserta didik dianggap masih tergantung secara psikologis dan ekonomis pada orang tuanya.

2.1.4 Tujuan Pendidikan

Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

(25)

23

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.”

Penulis menambahkan juga tujuan pendidikan menurut UNESCO, karena

dunia kini telah menjadi satu komunitas manusia yang besar, yang diharapkan akan

bergerak maju dalam derap langkah dan semangat yang sama. Suatu kesadaran

global yang sangat kuat bahwa untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa adalah

melalui peningkatan kualitas pendidikannya. Berdasarkan pemikiran tersebut,

UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan yakni: (1) learning to know, (2)

learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Ke-empat hal

tersebut sesungguhnya telah merangkum tujuan-tujuan dari kecerdasan intelektuak,

kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual, yang diharapkan dimiliki oleh semua

warga dunia ini melalui pendidikan yang berkualitas.

1) Learning To Know (belajar untuk mengetahui/menguasai). Learning to know

memungkinkan peserta didik untuk juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan (learning to how), belajar sepanjang hayat (long life education) dan belajar bagaimana caranya belajar (learning how to learn). Asas belajar sepanjang hayat mengandaikan tanggung jawab subjek untuk mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara terus-menerus yang disadari sebagai kewajiban kodratinya.

2) Learning To Do. Belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerja sama dalam tim dan belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi. Prinsip aktivitas ini

(26)

24

mencakup hard skills dan soft skills sehingga proses belajar diharapkan menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, dan perasaan, serta kemauan yang kuat untuk berbuat atau merespon. Sekolah harus memfasilitasi peserta didiknya untuk mengaktualisasikan keterampilan, bakat dan minatnya, serta menyadarkan mereka bahwa berbuat sesuatu adalah hal yang penting. Dengannya peserta didik akan terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah, sehingga mereka terbiasa untuk bertanggung jawab.

3) Learning To Be. Belajar untuk dapat mandiri dan menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, juga merupakan proses untuk mencapai aktualisasi diri. Pendidikan harus bermuara pada bagaimana peserta didik menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang berperi kemanusiaan, menjadi manusia yang berkarakter.

4) Learning To Live Together. Berbagai konflik yang timbul dewasa ini, didasari oleh ketidakmampuan individu atau kelompok untuk menerima perbedaan.

Learning to live together menjadi pilar belajar untuk menanamkan jiwa perdamaian, belajar memahami dan menghargai orang lain dengan berbagai latar belakang yang berbeda, mampu berperan secara maksimal dan menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi dalam masyarakat. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu dikembangkan di sekolah karena memungkinkan tumbuhnya

(27)

25

sikap saling pengertian, saling menghargai dan membangun dialog yang menjembatani berbagai perbedaan.

Menyikapi hal di atas, UNESCO, melalui badannya ICETw-fC (The International Commission on Education for the Twenty-first Century) memandang penting untuk merubah paradigma pendidikan yang dianutnya selama ini yang melihat pendidikan semata sebagai instrument, menjadi paradigma yang memandang pendidikan sebagai pengembangan manusia seutuhnya (all-rounded human beings).

2.2 Matematika

2.2.1 Hakikat Matematika

Menurut Hudoyo (1979:96), hakekat matematika berkenaan dengan ide-ide struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang diatur menurut urutan yang logis. Jika matematika dipandang sebagai struktur dari hubungan-hubungan yang logis maka simbol-simbol formal diperlukan untuk membantu memanipulasi aturan-aturan yang beroperasi di dalam struktur-struktur tersebut.

a. Matematika, Ilmu atau Bukan

Juhaya S. Praja (2005) mengatakan bahwa ilmu/pengetahuan pada dasarnya mempunyai tiga kriteria, yaitu: adanya gagasan atau konsep dalam pikiran, adanya kesesuaian antara konsep itu dengan benda-benda sebenarnya; dan adanya keyakinan tentang persesuaian itu.

Konsep dalam matematika sangat abstrak. Sebagai contoh: konsep lingkaran, yang didefinisikan sebagai himpunan semua titik yang berjarak sama terhadap titik tertentu. Ketika kita berbicara tentang lingkaran maka gagasan yang terbayang dalam pikiran kita persis sama dengan definisi lingkaran tersebut, namun faktanya tidak ada

(28)

26

satu benda pun yang persis memenuhi definisi lingkaran tersebut. Kita memperagakan lingkaran dengan uang logam atau tutup kaleng sebenarnya itu bukan lingkaran tetapi hanya menyerupai lingkaran. Jadi konsep lingkaran dengan benda sebenarnya tidak ada kesesuaian. Maka berpedoman pada pendapat Juhaya atas, dapat disimpulkan bahwa matematika bukan ilmu.

Banyak ahli sepakat bahwa suatu pengetahuan disebut ilmu apabila lahir dari suatu kajian ilmiah yang bertumpu pada metode ilmiah, yang langkah-langkah utamanya yaitu membuat hipotesis, mengumpulkan data, melakukan percobaan, dan membuat kesimpulan. Apabila kita berketetapan bahwa suatu ilmu harus lahir dari metode ilmiah, maka matematika bukanlah ilmu. Matematika merupakan buah pikir manusia yang kebenarannya bersifat umum (deduktif), artinya tidak bergantung pada metode ilmiah yang mengandung proses induktif. Kebenaran matematika pada dasarnya bersifat koheren yaitu kebenaran yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang telah diterima sebelumnya.

Kebenaran matematika bersifat universal. Keuniversalan kebenaran matematika menjadikannya “lebih tinggi” dari produk ilmiah mana pun juga; dan karenanya matematika menjadi ratunya ilmu (Bell:1987). Matematika juga menjadi pelayan ilmu sebab dengan matematika maka ilmu yang lain dapat berkembang lebih maju.

b. Matematika, Sebuah Produk atau Suatu Proses

Matematika itu adalah produk dari pemikiran intelektual manusia, yang bisa timbul dari persoalan yang menyangkut kehidupan nyata sehari-hari atau dari persoalan pemikiran belaka. Contoh bahwa bahwa matematika itu produk pemikiran manusia adalah bilangan. Bilangan asli muncul karena kebutuhan manusia untuk

(29)

27

mengetahui jumlah hewan yang dimiliki manusia pada zaman purba. Bilangan imajiner muncul karena kebutuhan manusia untuk memberi arti pada penyelesaian suatu masalah yang murni bersifat pemikiran belaka (matematis). Contoh: mencari penyelesaian dari i2 + 1 = 0, maka didapat/dikenal i2 = -1.

Di samping sebagai produk pemikiran, matematika dapat pula dipandang sebagai proses berpikir itu sendiri, dengan logika matematika memegang peranan amat penting di dalamnya. Sebagai produk pemikiran, matematika dipandang sebagai alat yang ampuh dalam menyelesaikan persoalan manusia. Penggunaan simbol-simbol matematika menjadikan proses berpikir menjadi lebih efisien dan akurat.

Contoh tentang matematika itu suatu proses: A dan B membeli jenis pensil dan pulpen yang sama. A membeli 2 pensil dan 1 pulpen dan ia membayar Rp 1.400, sedangkan B membayar Rp 2.575 untuk membeli 3 pensil dan 2 pulpen. Bagaimana dapat mengetahui berapa harga masing-masing pensil dan pulpen, tanpa harus bertanya ke A dan B, atau toko yang menjual barang-barang tersebut? Di sini matematika akan membantu. Andaikan pensil dan pulpen yang dibeli A menjadi dua kali, yaitu 4 pensil dan 2 pulpen, maka ia harus membayar juga dua kali lipat, yaitu Rp 2.800. Andaikan pula dari 4 pensil dan 2 pulpen A tersebut dikembalikan 3 pensil dan 2 pulpen, maka yang tersisa adalah sebuah pensil. Karena harga 3 pensil dan 2 pulpen adalah Rp 2.575, maka harga sebuah pensil tersebut adalah Rp 2.800 − Rp 2.575 = Rp 225. Selanjutnya, harga 2 pensil menjadi Rp 450, dan harga sebuah pulpen adalah Rp 1.400 − Rp 450 = Rp 950. Walaupun proses penyelesaian tersebut merupakan kegiatan matematis, tetapi kita dapat pula menggunakan simbol matematika agar penyelesaiannya lebih efisien dan efektif. Andaikan harga sebuah pensil = a, dan harga sebuah pulpen = b, maka proses di atas dinyatakan sebagai

(30)

28

berikut: 2a + b = 1.400, dan 3a + 2b = 2.575. Ada dua persamaan linear dengan dua variabel. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan di atas adalah dengan menggunakan metode substitusi dan eliminasi serta campuran keduanya, sebagai berikut:

Nilai a ini bila disubstitusikan ke persamaan pertama,

maka akan didapat nilai b, yaitu b = 950. Demikianlah, matematika dapat dipandang sebagai produk maupun sebagai proses berpikir, tergantung segi mana yang kita tekankan.

2.2.2 Hakikat Pembelajaran Matematika

Dalam proses pembelajaran matematika perlu diciptakan situasi di mana peserta didik dapat aktif, kreatif dan responsif secara fisik pada dunia sekitarnya, karena peserta didik harus membangun pemahaman untuk diri mereka sendiri yang hanya dapat dilakukan dengan eksplorasi, membenarkan, menggambarkan, mendiskusikan, menguraikan, menyelidiki, dan pemecahan masalah. Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif jika guru memfasilitasinya dan menerapkan pembelajaran bermakna.

Dalam pembelajaran matematika, konsep yang akan dikonstruksi peserta didik sebaiknya dikaitkan dengan konteks nyata yang dikenal peserta didik. Menurut Freudenthal (Gravemeijer, 1994:20) matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan pembelajaran matematika merupakan proses penemuan kembali.

2a + b = 1.400 …. x2 →.4a + 2b = 2.800

3a + 2b = 2.575 ….|x1| → 3a + 2b = 2.575 a = 225

(31)

29

Ditambahkan oleh de Lange (dalam Sutarto Hadi, 2005:19) bahwa proses penemuan kembali tersebut harus dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia real. Konstruksi pengetahuan matematika oleh peserta didik dengan memperhatikan konteks itu berlangsung dalam proses yang oleh Freudenthal dinamakan reinvensi terbimbing (guided reinvention) (Gravemeijer,1994:123).

Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (Van den Heuvel, 1996:11) menyebutkan dua jenis matematisasi, yaitu matematisasi horizontal; meliputi proses transformasi masalah nyata/sehari-hari ke dalam bentuk simbol, dan matematisasi vertikal; merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Gravemeijer (1994:93) mengemukakan bahwa dalam proses matematisasi horizontal, peserta didik belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual, yang diawali dengan pemecahan masalah-masalah secara informal (menggunakan bahasa dan simbol-simbol mereka sendiri). Kemudian setelah beberapa waktu dengan proses pemecahan masalah yang serupa, melalui simplifikasi dan formalisasi peserta didik akan menggunakan bahasa yang lebih formal dan diakhiri dengan proses dimana peserta didik akan menemukan suatu algoritma tertentu yang berhubungan dengan pembahasan atau materi tertentu, itulah matematisasi vertikal.

2.2.3 Arti Matematika

Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai pengertian matematika, karena pandangan dan penekanan yang berbeda-beda dari para ahlinya. Kata matematika berasal dari bahasa Yunani, “μα ματ ά” yang berarti mempelajari. Asal

katanya adalah mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Jadi, berdasarkan asal

(32)

30

katanya, matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika memang lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan pada eksperimen. Matematika terbentuk karena pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran (Russeffendi ET, 1980 :148).

Beberapa definisi matematika dari para ahli mengenai matematika, diantaranya Russefendi (1988:23) yang mengatakan bahwa matematika terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil di mana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya lalu berlaku untuk umum. Karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif dan hirarkis.

Pendapat dari Johnson dan Rising (1972, dalam Rusefendi, 1988:2) yang menyatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, dan pembuktian yang logis. Reys - dkk (1984, dalam Rusefendi, 1988:2), mengatakan bahwa matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu pola berpikir, suatu seni yang keindahannya terletak pada keterurutan, keteraturan dan keharmonisannya, matematika itu suatu bahasa dan suatu alat. Kline (1973, dalam Rusefendi, 1988:2) memberi batasan bahwa matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.

Soedjadi (2000:1) mengemukakan bahwa ada beberapa definisi matematika berdasarkan sudut pandang pembuatnya, yaitu: a) Matematika sebagai cabang ilmu pengetahuan eksak yang terorganisir secara sistematik. b) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi. c) Matematika adalah pengetahuan

(33)

31

tentang penalaran logis dan berhubungan dengan bilangan. d) Matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk. e) Matematika itu pengetahuan tentang struktur-struktur yang logis dan tentang aturan-aturan yang ketat.

2.2.4 Karakteristik Kultural Matematika

Matematika bersifat sosial-kultural-historis, karena itu matematika bersifat universal. Matematika itu sendiri lahir dari perjalanan panjang yang menyejarah dalam kehidupan manusia. Pembicaraan tentang aspek kultural matematika pada umumnya mencakup tiga tema besar, yaitu sejarah matematika, evolusi matematika, dan etnomatematika. Masing-masing tema itu berhubungan mempunyai pengaruh terhadap pembelajaran matematika.

a Sejarah Matematika

Matematika memiliki sisi yang tidak terpisahkan yaitu sejarah matematika, yang terbentang dari sekitar 4000 SM hingga kini serta memuat sumbangan dari ribuan tokoh matematika. Sejarah matematika menampilkan bagian matematika yang berkaitan dengan perkembangan matematika hingga menemukan bentuknya dewasa ini, yang terrekam dalam kebudayaan-kebudayaan besar yaitu: Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, India Kuno, China Kuno, Arab Kuno, Persia, dan Eropa Kuno, serta zaman modern yang sebagian besar terpusat di Eropa.

Sejarah matematika tidak saja ada karena keberadaanya merupakan suatu keniscayaan, tetapi ia juga penting karena dapat memberi pengaruh kepada perkembangan matematika dan pembelajarannya. Melihat bahwa matematika itu

(34)

32

“diciptakan” oleh manusia terdahulu, maka hal tersebut memberi ilham bagi

paradigma pembelajaran yang bersifat konstruktivisme. Peserta didik diperbolehkan menggunakan usahanya sendiri dalam menyelesaikan suatu masalah matematika bahkan dengan menggunakan bahasa dan lambangnya sendiri. Paradigma semacam ini kini menjadi trend dalam pembelajaran matematika realistik atau konstruktivis. b. Evolusi Matematika

Matematika yang dikenal dewasa ini telah melewati sejarah yang panjang. Matematika itu produk yang biasa saja, ia lahir karena ada sebab-sebab yang melahirkannya seperti halnya produk manusia lainnya. “Mathematics has not grown

in a vacuum” (Wilder, 1981: 161).

Perbedaan antara sejarah matematika dengan evolusi matematika: sejarah matematika umumnya berkenaan dengan record (catatan) perkembangan matematika secara kronologis, sedangkan evolusi matematika lebih menekankan pada proses perkembangan matematika itu atau secara lebih khusus membicarakan sebab-sebab perkembangan konsep yang satu (biasanya konsep yang sederhana/primitif) menuju ke konsep yang lain (yang lebih kompleks dan modern).

Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan matematika antara lain:

hereditary stress (faktor dari “dalam” diri/turunan matematika), environment stress

(faktor lingkungan), diffusion (faktor bergabungnya beberapa ide matematika),

consolidation (faktor meleburnya beberapa ide/konsep matematika menjadi ide/konsep baru), selection (faktor seleksi ide matematika yang tepat/penting),

simbolic achievement (faktor perkembangan simbolisasi), exceptional individual (faktor manusia yang secara luar biasa dapat melihat beberapa hal jauh ke depan

(35)

33

melebihi pemikiran yang umum/biasa pada zamannya), leaps in abstraction (faktor lompatan tingkat abstraksi suatu ide/konsep matematika), dan lain-lain (Wilder, 1981:164).

Contoh: Mengapa di dalam matematika kita menggunakan 3600 untuk satu putaran penuh? Jawabannya, kebutuhan manusia menghendaki penggunaan bilangan 3600, yaitu ketika manusia dahulu memanfaatkan perputaran bumi selama lebih kurang 360 hari (tepatnya 365 hari). Dalam perkembangan selanjutnya, para ahli memandang tidak penting mengubah bilangan 3600 tersebut. Ini contoh dari faktor

environment stress. c. Ethnomatematika

Implikasi karakteristik kultural dalam pembelajaran matematika juga dapat dilihat pada topik yang disebut ethnomatematika (ethnomathematics), yaitu cara khusus yang dipakai oleh suatu kelompok budaya tertentu dalam aktivitas mengelompokkan, mengurutkan, berhitung dan mengukur (aktivitas-aktivitas matematis) (Anonim:1985).

Bagaimana ethnomatematika mempengaruhi pembelajaran matematika? Seperti yang kita ketahui bahwa, “isi” dan “semangat” matematika ada di mana

-mana termasuk dalam suatu komunitas budaya tertentu seperti arsitektur, pertanian, permainan masyarakat, tatabahasa, olahraga, bahkan peribadatan agama (D’Ambrosio:2002). Tentu saja yang dipelajari adalah sifat-sifat atau bentuk-bentuk

matematika di dalamnya. Pembelajaran matematika dapat mengambil manfaat dari budaya setempat, terutama sebagai khazanah yang memperkaya sumber belajar matematika, selain untuk meningkatkan motivasi, minat dan kepercayaan diri peserta didik dalam belajar matematika karena mereka merasa bahwa belajar matematika

(36)

34

adalah juga bagian dari upaya untuk semakin mengenal dan mencintai budaya mereka sendiri. Mereka berpikir bahwa matematika bukanlah ilmu yang asing bagi mereka.

2.2.5 Deskripsi Matematika

Sebagaimana telah digambarkan di atas, matematika sering dideskripsikan dengan cara yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana yang dipakai. Menurut Sumardyono (2004:28) secara umum matematika dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Matematika sebagai struktur yang terorganisir. Ini yang membedakan matematika dengan ilmu yang lain. Sebagai sebuah struktur ia terdiri atas beberapa komponen, yaitu: aksioma/postulat, pengertian pangkal, dalil/teorema (termasuk lemma dan sifat).

2. Matematika sebagai alat (tool), dalam mencari solusi atas pelbagai masalah. 3. Matematika sebagai pola pikir deduktif, artinya suatu teori atau pernyataan dalam

matematika dapat diterima kebenarannya apabila telah dibuktikan secara deduktif. 4. Matematika sebagai cara bernalar (the way of thinking), paling tidak karena beberapa hal seperti matematika matematika memuat cara pembuktian yang sahih, rumus-rumus atau aturan yang umum, atau sifat penalaran matematika yang sistematis.

5. Matematika sebagai bahasa simbol yang bersifat artifisial, yang baru memiliki arti bila dikenakan pada suatu konteks tertentu.

(37)

35

6. Matematika sebagai seni berpikir yang kreatif. Penalaran yang logis dan efisien serta perbendaharaan ide-ide dan pola-pola yang kreatif dan menakjubkan,

menjadikan matematika sebagai sebuah seni, khususnya seni berpikir yang kreatif. Dalam pembelajaran matematika, semua pandangan tersebut di atas harus

dipergunakan secara proposional. Penekanan pada keberadaan simbol sambil tetap memperhatikan struktur yang terkait, mementingkan penalaran disertai penguasaan rumus atau aturan/prosedur matematika yang memadai, mementingkan sifat deduktif dengan tidak mengabaikan contoh atau pendekatan induktif dalam pembelajarannya.

Deskripsi matematika dalam Buku panduan Lawrence University seperti dikutip oleh Frans Susilo, (dalam Sumaji, dkk., 1998:228) menyuguhkan harmoni yang sungguh indah dan menurut penulis telah meliputi seluruh karakteristik matematika. Redaksi pernyataan tersebut sebagai berikut,

Lahir dari dorongan primitif manusia untuk menyelidiki keteraturan dalam

alam semesta, matematika merupakan suatu bahasa yang terus-menerus

berkembang untuk mempelajari struktur dan pola. Berakar dalam dan

diperbaharui oleh realitas dunia, serta didorong oleh keingintahuan

intelektual manusiawi, matematika menjulang tinggi menggapai alam

abstraksi dan generalitas, tempat terungkapnya hubungan-hubungan dan

pola-pola yang tak terduga, menakjubkan, sekaligus amat bermanfaat bagi

kehidupan manusia. Matematika adalah rumah alami baik bagi

pemikiran-pemikiran yang abstrak maupun bagi hukum-hukum alam semesta yang

konkret. Matematika sekaligus merupakan logika yang murni dan seni yang

kreatif”.

(38)

36 2.2.6 Karakteristik Umum Matematika a. Memiliki Objek Kajian Yang Abstrak

Matematika mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak, walaupun tidak setiap objek abstrak adalah matematika. Beberapa matematikawan menganggap objek matematika itu “konkret” dalam pikiran mereka, maka objek matematika lebih

tepat disebut sebagai objek mental atau pikiran. Ada beberapa objek kajian matematika, yaitu:

1) Fakta. Fakta adalah kesekapakatan dalam matematika yang biasanya diungkapkan lewat simbol tertentu. Contoh tentang fakta adalah : Simbol “2” secara umum telah dipahami sebagai simbol untuk bilangan dua. Sebaliknya, bila kita menghendaki bilangan dua, cukup dengan menggunakan simbol “2”.

Fakta yang lain dapat berupa gabungan dari beberapa simbol, seperti “3 + 2” yang dipahami sebagai “tiga ditambah dua”, “3 × 4 = 12” yang dipahami sebagai

“tiga kali empat sama dengan dua belas”. Contoh yang lebih kompleks : “π ≈ 3,14” yang dipahami sebagai “bilangan pi mendekati tiga koma satu empat”, “23

=2 ×2 ×2” yang dipahami sebagai “dua pangkat tiga sama dengan dua kali dua

kali dua”. Dalam geometri juga terdapat simbol-simbol tertentu, seperti “⊥” yang berarti “tegak lurus”, simbol “//” yang berarti “sejajar”. Dalam

trigonometri kita kenal simbol “∠” yang berarti “sudut”, simbol “∆” berarti “segitiga”.Dalam aljabar, simbol “(a, b)” berarti “pasangan terurut”, dll.

Cara mempelajari fakta bisa dengan cara hafalan, dan latihan terus-menerus, demontrasi tertulis, dan lain-lain. Namun perlu dicamkan bahwa mengingat fakta adalah penting tetapi jauh lebih penting memahami konsep yang diwakilinya.

(39)

37

2) Konsep. Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengkategorikan sekumpulan objek. Contoh: “segitiga” adalah nama suatu konsep. Dengan konsep itu kita dapat membedakan mana yang merupakan contoh segitiga dan mana yang bukan contoh segitiga. “Bilangan prima” juga

suatu konsep, yang dengan konsep itu kita dapat membedakan mana yang merupakan bilangan prima dan mana yang bukan. Di samping itu, dalam matematika terdapat konsep-konsep yang penting, seperti “fungsi” dan “variabel”. Selain itu terdapat pula konsep-konsep yang lebih komplek, seperti “matriks”, “determinan”, “gradien”, “vektor”, “group”, dll. Konsep dapat

dipelajari lewat definisi atau observasi langsung. Peserta didik telah dianggap memahami konsep bila ia dapat memisahkan contoh konsep dari yang bukan.

3) Definisi. Konsep berhubungan dengan definisi. Definisi adalah ungkapan yang membatasi simbol dari konsep yang didefinisikan. Contoh tentang definisi: Konsep “lingkaran” dapat didefinisikan sebagai “kumpulan titik-titik pada bidang datar yang memiliki jarak yang sama terhadap titik tertentu”. Dengan

definisi tersebut, menjadi jelas apa yang disebut lingkaran. Dengan definisi tersebut pula orang dapat membuat sketsa dari lingkaran, dan pada kasus ini orang sepakat memilih simbol “ ☼ ” untuk menunjukkan lingkaran. Apakah definisi di atas merupakan satu-satunya definisi untuk lingkaran? Tentu tidak. Di SMU, telah dikenal pendefinisian lingkaran dengan cara analitik, yaitu menggunakan koordinat titik (x, y) dalam bidang datar.

4) Prinsip. Secara sederhana dikatakan bahwa prinsip adalah hubungan antara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa “aksioma”, “teorema”

atau “dalil”, “corollary” atau “sifat”, dan sebagainya. Contoh: sifat komutatif

(40)

38

dan sifat asosiatif dalam aritmetika merupakan suatu prinsip. Contoh sebuah aksioma: “melalui satu titik A di luar sebuah garis g dapat dibuat tepat sebuah garis yang sejajar garis g”.

Peserta didik dianggap telah memahami suatu prinsip bila ia tahu bagaimana prinsip tersebut dibentuk dan dapat menggunakannya dalam situasi yang cocok. Bila demikian berarti ia telah memahami fakta, konsep atau definisi, serta operasi atau relasi yang termuat dalam prinsip tersebut.

5) Operasi. Operasi adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar dan pengerjaan matematika yang lain. Contoh operasi: penjumlahan, perkalian, gabungan, irisan. Pada dasarnya operasi dalam matematika adalah suatu fungsi karena operasi adalah aturan untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang diketahui. Elemen yang dihasilkan dari suatu operasi disebut hasil operasi. Skill adalah keterampilan dalam matematika berupa kemampuan pengerjaan operasi dan melakukan prosedur yang harus dikuasai oleh peserta didik dengan kecepatan dan ketepatan yang tinggi. Beberapa keterampilan ditentukan oleh seperangkat aturan atau prosedur yang berurutan yang disebut algoritma.

b. Bertumpu Pada Kesepakatan

Simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan yang memudahkan komunikasi dan pembahasan selanjutnya. Lambang bilangan yang digunakan sekarang: 1, 2, 3,… merupakan contoh sederhana sebuah kesepakatan dalam matematika. Peserta didik secara tidak sadar menerima kesepakatan itu ketika mulai belajar tentang angka atau bilangan.

c. Berpola Pikir Deduktif

(41)

39

Dalam matematika hanya diterima pola pikir yang bersifat deduktif, yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan pada hal yang bersifat khusus. Contoh: seorang peserta didik telah memahami konsep “lingkaran”, ketika berada di dapur ia dapat menggolongkan mana peralatan dapur yang berbentuk menyerupai lingkaran dan mana yang bukan. Dalam hal ini peserta didik tersebut telah menggunakan pola pikir deduktif secara sederhana ketika dia sudah mampu menunjukkan suatu peralatan yang berbentuk menyerupai lingkaran. Contoh lainnya adalah untuk membuktikan bahwa jumlah besar sudut dalam sebuah segitiga adalah 1800: Secara induktif, melalui semua percobaan pengukuran terhadap semua jenis segitiga didapat bahwa benar jumlah besar sudut dalam sebuah segitiga adalah 1800. Tetapi secara matematis kebenaran tersebut tidak dapat diterima, maka harus dibuktikan secara deduktif, sebagai berikut :

a. buat sebuah segitiga, misalnya ABC

(42)

40

Karena garis k // g, maka akan terlihat beberapa hubungan sebagai berikut:

ABC = ∠ A1 (sudut berseberangan)

 ∠ BCA = ∠ A3 (sudut berseberangan)

CAB = ∠ A2

∠ABC + ∠BCA + ∠CAB = ∠A1 + ∠A3 ∠A2

Karena ∠A1 + ∠A3 ∠A2 adalah sudut berpelurus yang besarnya = 1800 maka jumlah besar ketiga sudut ABC di atas adalah 1800. Pembuktian selesai.

d. Konsisten Dalam Sistemnya

Dalam matematika terdapat berbagai macam sistem yang dibentuk dari beberapa aksioma dan memuat beberapa teorema. Ada sistem-sistem yang berkaitan, ada pula sistem-sistem yang dapat dipandang lepas satu dengan lainnya. Di dalam masing-masing sistem berlaku ketaatazasan atau konsistensi, artinya bahwa dalam setiap sistem tidak boleh terdapat kontradiksi. Konsistensi itu harus tetap dijaga, baik dalam makna maupun dalam hal nilai kebenarannya.

Antara sistem atau struktur yang satu dengan sistem atau struktur yang lain tidak mustahil terdapat pernyataan yang saling kontradiksi. Contoh yang menunjukkan dua sistem yang memiliki pernyataan yang berbeda: Di dalam sistem geometri Euclid dikenal teorema berikut ini. “Jumlah besar sudut-sudut sebuah segitiga adalah seratus delapan puluh derajat”. Sementara di dalam sistem geometri

Riemann (geometri “lengkung bola”, salah satu sistem geometri non-euclides), salah

(43)

41

satu teorema berbunyi. “Jumlah besar sudut-sudut sebuah segitiga lebih (besar) dari seratus delapan puluh derajad”.

e. Memiliki Simbol yang Kosong dari Arti

Di dalam matematika terdapat banyak simbol. Simbol-simbol tersebut membentuk kalimat matematika yang biasanya disebut model matematika. Model matematika dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, maupun fungsi. Selain itu ada pula model matematika yang berupa gambar seperti bangun-bangun geometrik, grafik, maupun diagram. Contoh: model matematika, seperti x + y = z tidak selalu dikaitkan dengan konteks tertentu. Hal ini pulalah yang membedakannya dengan simbol bukan matematika. Kosongnya arti dari simbol matematika itu merupakan “kekuatan” matematika, yang dengan sifat tersebut ia bisa masuk pada berbagai

bidang kehidupan.

f. Memperhatikan Semesta Pembicaraan

Karena simbol-simbol matematika itu kosong dari arti maka bila kita menggunakannya kita harus memperhatikan lingkup pembicaraannya yang disebut semesta pembicaraan (universum). Benar-salahnya atau ada-tidaknya penyelesaian suatu soal juga ditentukan oleh semesta pembicaraan yang digunakan. Sebuah contoh: Dalam semesta himpunan bilangan bulat terdapat model 2x = 3. Bila

(44)

42

diselesaikan seperti biasa, tanpa menghiraukan semesta pembicaraanya, maka diperoleh x = 1,5. Tetapi 1,5 bukan bilangan bulat. Maka dikatakan bahwa model tersebut tidak memiliki penyelesaian dalam semesta pembicaraan bilangan bulat, atau penyelesaiannya adalah “himpunan kosong”.

2.2.7 Karakteristik Matematika Sekolah

Sehubungan dengan karakteristik umum matematika di atas, dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah harus memperhatikan ruang lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika sebagai “ilmu” dengan matematika yang dibelajarkan di sekolah, dalam beberapa hal, yaitu:

1) Penyajian. Penyajian matematika harus disesuaikan dengan perkembangan intelektual peserta didik. Contoh penyajian topik tentang perkalian di SD; pengertian perkalian seharusnya tidak langsung disajikan dalam bentuk matematika, misalnya 3 × 4 = 12, tetapi hendaknya didahului dengan melakukan penjumlahan berulang menggunakan peraga, misalnya kelereng. Dengan peragaan itu, peserta didik mendapatkan pemahaman bahwa walaupun 3 × 4 dan 4 × 3 bernilai sama, yaitu 12, tetapi makna perkaliannya berbeda. Dengan demikian, sudah sejak dari awal pembelajaran, peserta didik diperkenalkan dengan konsep tentang perkalian secara tepat.

2) Pola pikir. Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir deduktif maupun pola pikir induktif, disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat intelektual peserta didik. Biasanya di SD menggunakan pendekatan induktif lebih dahulu karena hal ini lebih memungkinkan peserta didik menangkap

(45)

43

pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola pikir deduktif sudah semakin ditekankan.

3) Semesta Pembicaraan. Semakin meningkat tahap perkembangan intelektual peserta didik, maka semesta pembicaraannya semakin diperluas. Contoh: operasi bilangan bulat pada Kurikulum 2004 di SD dibatasi pada operasi penjumlahan dan pengurangan, di SMP belum diperkenalkan tentang bilangan imajiner atau kompleks.

4) Tingkat keabstrakan. Tingkat keabstrakan matematika juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik. Contoh: di SD dimungkinkan untuk mengkonkretkan objek-objek matematika agar peserta didik lebih memahami pelajaran. Namun, semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan objek semakin diperjelas. Contoh: Dalam pembelajaran fakta mengenai bilangan di SD, peserta didik tidak langsung diperkenalkan simbol “2”,

“3”, beserta sifat urutannya, tetapi dimulai dengan menggunakan benda-benda konkret dan menyuguhkan sifat urutan/relasi sebagai sifat “lebih dari” atau

“kurang dari”.

2.3 Karakter

2.3.1 Arti Karakter

Secara etimologis kata karakter berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti mengukir, melukis, memahat atau menggoreskan. Pendapat lain mengatakan bahwa istilah karakter berasal dari bahasa Yunani karasso yang berarti cetak biru, format dasar, sidik jari (Doni, 2007:90). Kamus Besar Bahasa Indonesia memberi

(46)

44

pengertian karakter sebagai sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya.

Thomas Lickona (1991) menjelaskan bahwa karakter mulia (good character) meliputi hal-hal dasar seperti pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Menurutnya, kualitas moral, ciri karakter yang membentuk pengetahuan moral, perasaan moral dan perbuatan moral, mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations),serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

Doni Koesoema melihat karakter sebagai kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratnya, tetapi juga usaha untuk mengatasinya demi hidup yang makin integral dalam proses penyempurnaan diri terus menerus. Berdasarkan hal ini, karakter bukan sekedar hasil tindakan, melainkan secara simultan sekaligus merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi dialektika terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. (Doni, Majalah Basis, 2007).

Dengan demikian karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal, dalam rangka dengan dirinya, sesamanya, lingkungan dan bahkan dengan Tuhan-nya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perilaku berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya/tradisi, dan adat-istiadatnya. Pengertian demikian ini jelas memungkinkan terbentuknya formulasi pendidikan karakter dalam lingkup sekolah, sehingga muncul gagasan tentang pendidikan

(47)

45

karakter (character education) dan konsep tentang pembentukan/pengembangan karakter (character building).

Memahami karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya, akan membuat kita tidak jatuh dalam fatalisme akibat determinasi alam ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang kita miliki. Tetapi melalui dua hal itu kita diajak untuk sungguh mengenali diri sendiri: keterbatasan-keterbatasan, potensi-potensi, dan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangannya. Karena itu, tentang karakter seseorang, kita hanya bisa menilai apakah seorang itu memiliki karakter kuat atau lemah, apakah ia lebih terdominasi pada kondisi-kondisi yang telah ada dari bawaannya atau ia menjadi tuan atas kondisi natural yang telah ia terima.

Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada dari bawaannya yang menghambat pertumbuhannya, tetapi berjuang membangun dan merancang masa depannya sendiri demi kesempurnaan kemanusiaannya. Mereka yang berkarakter lemah ibarat wayang di tangan sang dalang. Orang seperti ini, dalam tingkatan yang paling ekstrem bisa jatuh dalam fatalisme; hal yang tentu sangat kontraproduktif dengan cita-cita pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan terstruktur agar manusia semakin dapat memiliki kebebasan sehingga mampu lebih bijak dalam menempa dan membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya, menuju sebuah cita-cita yang lebih mulia, menuju pribadi yang lebih manusiawi dan bermartabat.

(48)

46 2.3.2 Perbedaan Karakter dan Kepribadian

Orang sering mencampur-adukkan penggunaan kata karakter dan kepribadian secara tidak tepat, padahal keduanya berbeda. Sumadi Suryabrata (2000) dalam bukunya berjudul Psikologi Kepribadian mengutip Allport yang berkata,“Character

is personality evaluated, and personality is character devaluated”. Ketika

kepribadian seseorang diletakkan pada norma moral, maka kita sedang membahas tentang karakter. Sedangkan kepribadian adalah sejumlah karakteristik sifat yang muncul dalam perilaku tanpa adanya penilaian moral. Jadi sekedar deskripsi saja tentang seseorang, misalnya pemarah, penyabar, tahan uji, mudah iba, mudah tersinggung, dan sebagainya.

Kepribadian dan karakter seseorang adalah hasil interaksi antara diri orang itu, pengalaman hidup dan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, kepribadian seseorang bisa berubah, sedangkan karakter individu bisa dibentuk.

2.3.3 Pribadi Berkarakter

Berbicara tentang karakter tidak bisa terlepas dari masalah kepribadian seseorang, meskipun keduanya tidak sama. Karakter tidak dapat diwariskan, karena itu harus dibangun dan dikembangkan setiap insan secara terus menerus melalui proses pendidikan yang berkualitas. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, adab, atau ciri kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Oleh karena itu, pendidikan karakter memiliki peran penting dalam membangun dan mengembangkan kepribadian peserta didik untuk menjadi lebih baik, dewasa dan bermartabat.

Gambar

Tabel 4.1  Perbedaan Karakteristik Matematika dan Pendidikan Matematika
Gambar 4.1 Hubungan antara titik dengan garis
gambar sebuah daerah segitiga samakaki sbb :
Gambar 4.2 Hubungan antara titik dengan bidang datar
+2

Referensi

Dokumen terkait

Salah satunya adalah pengkondisian kemandirian belajar siswa dengan berbagai karakteristik matematika yang mendukung pembentukan karakter siswa dalam membangun

Hipotesis pada penelitian ini adalah: (1) Hasil belajar matematika siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran matematika realistik (PMR) lebih tinggi

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah tentang penggunaan pendekatan realistik dalam

faktor-faktor penyebab kesalahan siswa adalah tidak lancar membaca soal serta kurangnya pengetahuan tentang simbol-simbol yang terdapat dalam soal-soal matematika,tidak

Contoh implementasi lainnya yang dapat kita terapkan di luar sekolah adalah dengan aktif mengadakan seminar (workshop) tentang pendidikan karakter dan kearifan budaya

(2) menemukan definisi umum jenis fungsi dari contoh yang diberikan (3) bagaimana membuat mahasiswa dapat menggambar grafik fungsinya. Hasil diskusi adalah dengan

43 Tujuan penelitian ini adalah (1) membentuk karakter tanggung jawab dan keterampilan komunikasi matematika sis- wa melalui penerapan model Problem Po- sing berbantuan

Mata Pelajaran Matematika membekali peserta didik tentang cara berpikir, bernalar, dan berlogika melalui aktivitas mental tertentu yang membentuk alur berpikir berkesinambungan dan