• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun di wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun di wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta."

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM

UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN

INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA, dipilih penulis untuk membantu pasangan suami istri Katolik yang kurang menghayati perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dalam perkawinan Katolik, pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit, dalam upaya mewujudkan ciri/ sifat perkawinan Katolik, yakni unitas dan indissolubilitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun, ditemukan pasangan suami istri menghayati janji perkawinan untuk tetap setia seumur hidup didukung oleh beberapa faktor antara lain: faktor kepribadian, faktor internal keluarga, faktor budaya, faktor kesehatan dan faktor fisik dalam upaya dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas; sedangkan faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang indissolubilitas, yakni: faktor iman, ekonomi dan sosial. Faktor-faktor di atas membantu pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan perkawinan yang bahagia bersama pasangan dan tidak ingin bercerai.

Dalam penelitian juga ditemukan pasangan mengalami hambatan dalam upaya mewujudkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup, ketika mengalami suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Hambatan dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas menyebabkan perkawinan yang tidak bahagia bersama pasangan dan ingin bercerai. Beberapa hambatan yang dialami antara lain: kurang puas dalam hubungan seks dengan pasangan dan masalah anak; menyimpan dan sukar melupakan kesalahan pasangan yang menyakitkan hati serta kurang mengampuni dan tidak menerima pasangan yang telah berselingkuh untuk hidup bersatu kembali; tidak terlibat dalam kegiatan doa di lingkungan bersama pasangan dan anak-anak; pasangan lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan keluarga dan keterlibatan di lingkungan dan masyarakat kadang membuat keluarga harmonis.

(2)

ABSTRACT

This thesis entitled SUPPORTING FACTOR IN AN EFFORT TO FORM THE UNITAS AND INDISSOLUBILITAS MARRIAGE FOR CATHOLIC COUPLES AGE 15-30 YEARS OF MARRIAGE IN PATANGPULUHAN AREA OF SECRED HEART OF JESUS PUGERAN PARISH. It is chosen by the writer to help catholic couples who have less understanding of the unity and inseparable of marriage. In catholic marriage, a husband and a wife states their marriage vow to live faithfully in good and bad, in sickness and healthy, in an effort to form the feature/nature of catholic marriage, that is unity and inseparable.

Based on research done to catholic couples ages15-30 years of marriage, it was found that couples experience to the full their marriage vow to be always faithful a long their life, supported by some factors such as: personality factor, family internal factor, cultural factor, health factor, and physical factor for the unity marriage. However, the supporting factors for the inseparable marriage are: faith, economic and social factors. The above factors help the catholic couples to form a happy family and far from divorce. In the research it is also found that couples experience obstacles in the effort to form their marriage vow to live faithfully a long their life when they experience the good and bad, sickness and healthy.

Those Obstacles causes unhappy marriage and willingness to divorce. Those obstacles are: unsatisfied sexual intercourse with spouse and children problem, keeping and uneasy to forget hurting mistake of the spouse, uneasy to forgive and to receive back unfaithful spouse to be reunited; not participate in prayer activity in the community together with the spouse and children; the spouse chooses job more than the family and to participate actively in the community and society maybe to build a harmony family.

(3)

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS

BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN

PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Njo Mei Fang NIM: 121124056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada

(7)

v MOTTO

“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia, dan kepada Dia; Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.”

(8)
(9)
(10)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM

UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN

INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA, dipilih penulis untuk membantu pasangan suami istri Katolik yang kurang menghayati perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dalam perkawinan Katolik, pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit, dalam upaya mewujudkan ciri/ sifat perkawinan Katolik, yakni unitas dan indissolubilitas.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun, ditemukan pasangan suami istri menghayati janji perkawinan untuk tetap setia seumur hidup didukung oleh beberapa faktor antara lain: faktor kepribadian, faktor internal keluarga, faktor budaya, faktor kesehatan dan faktor fisik dalam upaya dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas; sedangkan faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang indissolubilitas, yakni: faktor iman, ekonomi dan sosial. Faktor-faktor di atas membantu pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan perkawinan yang bahagia bersama pasangan dan tidak ingin bercerai.

Dalam penelitian juga ditemukan pasangan mengalami hambatan dalam upaya mewujudkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup, ketika mengalami suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Hambatan dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas menyebabkan perkawinan yang tidak bahagia bersama pasangan dan ingin bercerai. Beberapa hambatan yang dialami antara lain: kurang puas dalam hubungan seks dengan pasangan dan masalah anak; menyimpan dan sukar melupakan kesalahan pasangan yang menyakitkan hati serta kurang mengampuni dan tidak menerima pasangan yang telah berselingkuh untuk hidup bersatu kembali; tidak terlibat dalam kegiatan doa di lingkungan bersama pasangan dan anak-anak; pasangan lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan keluarga dan keterlibatan di lingkungan dan masyarakat kadang membuat keluarga harmonis.

(11)

ix ABSTRACT

This thesis entitled SUPPORTING FACTOR IN AN EFFORT TO FORM THE UNITAS AND INDISSOLUBILITAS MARRIAGE FOR CATHOLIC COUPLES AGE 15-30 YEARS OF MARRIAGE IN PATANGPULUHAN AREA OF SECRED HEART OF JESUS PUGERAN PARISH. It is chosen by the writer to help catholic couples who have less understanding of the unity and inseparable of marriage. In catholic marriage, a husband and a wife states their marriage vow to live faithfully in good and bad, in sickness and healthy, in an effort to form the feature/nature of catholic marriage, that is unity and inseparable.

Based on research done to catholic couples ages15-30 years of marriage, it was found that couples experience to the full their marriage vow to be always faithful a long their life, supported by some factors such as: personality factor, family internal factor, cultural factor, health factor, and physical factor for the unity marriage. However, the supporting factors for the inseparable marriage are: faith, economic and social factors. The above factors help the catholic couples to form a happy family and far from divorce. In the research it is also found that couples experience obstacles in the effort to form their marriage vow to live faithfully a long their life when they experience the good and bad, sickness and healthy.

Those Obstacles causes unhappy marriage and willingness to divorce. Those obstacles are: unsatisfied sexual intercourse with spouse and children problem, keeping and uneasy to forget hurting mistake of the spouse, uneasy to forgive and to receive back unfaithful spouse to be reunited; not participate in prayer activity in the community together with the spouse and children; the spouse chooses job more than the family and to participate actively in the community and society maybe to build a harmony family.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih, atas segala rahmat dan

kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul FAKTOR-FAKTOR

PENDUKUNG DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA. Skripsi ini diajukan guna memberikan sumbangan pemikiran, gagasan, dan inspirasi bagi siapapun yang memilki kerinduan dalam

mengembangkan Gereja Katolik di manapun berada.

Proses penyusunan skripsi ini, berjalan dengan lancar karena dukungan dan

kebaikan dari banyak orang, sehingga memampukan penulis untuk tetap semangat

meskipun mengalami banyak kesulitan. Penulis mengalami pendampingan,

dukungan, motivasi, serta perhatian, yang diyakini sebagai karya Tuhan dalam

membimbing serta memampukan penulis menyelesaikan skripsi dengan penuh

kesetiaan. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, selaku dosen pembimbing utama dan dosen

penelitian yang telah setia meluangkan waktu untuk membimbing dan

mendampingi penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran, memberi

masukan-masukan dan kritikan-kritikan, sehingga penulis termotivasi dalam

penyusunan skripsi dari awal hingga akhir.

(13)

xi

dan dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan

memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.

3. P. Banyu Dewa HS, S. Ag., M. Si., selaku dosen penguji III yang telah

meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan demi

semakin baiknya skripsi ini.

4. Para dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah mendidik

dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini dengan

penuh kasih dan sepenuh hati.

5. Staf dan karyawan Prodi PAK yang turut memberi perhatian dan dukungan

bagi penulis.

6. Sr. Yosepha Bahketah, KKS sebagai Pemimpin Umum Kongregasi Suster

Dina Keluarga Suci dari Pangkalpinang, yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk menjalani studi di Prodi PAK.

7. Para Suster KKS yang selalu mendukung, mendoakan dan memberi semangat

kepada penulis selama menjalani masa studi.

8. RD. F. Ngadiyono, RP. Sarto Mitakda SVD, dan Br. Rein Sihura BM, yang

menyemangati, mendoakan, memotivasi dan mendukung penulis selama

menjalani studi.

9. Keluarga yang senantiasa memberikan cinta dan perhatian serta dukungan doa

kepada penulis.

10. RD. Paulus Supriyo selaku Romo Kepala Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

(14)
(15)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C.Tujuan Penulisan ... 5

D.Manfaat Penulisan ... 5

E. Metode Penulisan... 7

F. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II. FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT MEMPENGARUHI UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN KATOLIK YANG UNITAS DAN INDIS SOLUBILITAS ... 10

A.Perkawinan Katolik ... .... 10

1. Hakikat ... ... 10

2. Tujuan ... ... 13

a. Kesejahteraan Suami Istri (Bonum Coniugum) ... ... 15

1) Pengertian Kesejahteraan ………... ... 15

(16)

xiv

3) Kesejahteraan Suami Istri ... 16

4) Beberapa Upaya Menyejahterakan Pasangan ... ... 19

b. Kelahiran Anak (Prokreasi) ... ... 19

c. Pendidikan Anak ………... ... 20

3. Ciri/Sifat Perkawinan Katolik ... ... 22

a. Unitas (kesatuan) ..………... .... 24

1) Dasar Unitas ………... ... 24

2) Pengertian Unitas ... ... 26

3) Implikasi atau konsekuensi Unitas …………..…... ... 27

b. Indissolubilitas (tak terputuskan) ... ... 28

1) Dasar Indissolubilitas ..……... ... 28

2) Pengertian Indissolubilitas ... ... 30

3) Implikasi atau konsekuensi Indissolubilitas .……... ... 32

4. Sakramental ……….………... 34

5. Janji Perkawinan Katolik …... ... 36

B. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Mempengaruhi Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas ... 38

a) Faktor Kepribadian …..……... ... 38

b) Faktor Internal Keluarga ………... ... 40

c) Faktor Budaya ... ... 43

d) Faktor Kesehatan ………. ... 44

e) Faktor Fisik ………. ... 45

C.Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Mempengaruhi Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Indissolubilitas ……….. 46

a) Faktor Iman/ Agama ..…... 46

b) Faktor Ekonomi .……….………... .. 48

c) Faktor Sosial (relasi dengan orang lain)... .. 50

(17)

xv

A.Gambaran Umum Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ... 52

1. Sejarah Paroki ….……… ... 52

2. Keadaan Geografis ………... 55

3. Keadaan Demografis ... 58

4. Visi Misi Gereja ... 59

5. Situasi Umum Umat Paroki ... 63

a. Situasi Kependudukan ………... ... 63

1) Gambaran Umum ………... ... 63

2) Keadaan Umat ..………... ... 64

3) Jenis Kelamin dan Hubungan Kekeluargaan ... ... 66

4) Kesukuan (Etnis) ……... ... 69

5) Struktur Usia ………..………... ... 70

b. Situasi Sosial Ekonomi …………... 72

1) Keadaan Ekonomi Keluarga …... ... 72

2) Kegiatan Ekonomi …………... ... 74

c. Tingkat Pendidikan ………....……... ... 77

d. Situasi Perkawinan ..……….……….. ... 78

1) Perkawinan Katolik …... ... 80

2) Perkawinan Beda Gereja ... ... 80

3) Perkawinan Beda Agama ... ... 80

4) Perkawinan Bermasalah ……… ... 81

B. Gambaran Umum Perwujudan Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran- Yogyakarta ... ... 81

C.Penelitian Tentang Faktor-Faktor Pendukung Dalam Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ………… 82

1. Metodologi Penelitian ……….………... ... 82

a. Latar Belakang Penelitian ………. ... 82

b. Tujuan Penelitian ………... 83

(18)

xvi

d. Jenis Penelitian ………... ... 84

e. Tempat dan Waktu Penelitian ………... ... 85

f. Responden Penelitian ………... ... 85

g. Instrumen Penelitian ………... ... 86

h. Variabel Penelitian ………... ... 86

2. Laporan Hasil dan Pembahasan Penelitian ... ... 87

a. Gambaran Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ... ... 87

1) Faktor-faktor yang berpengaruh pada unitas perkawinan ... 88

a) Faktor Kepribadian ... 88

b) Faktor Internal Keluarga ... 91

c) Faktor Budaya ... 95

d) Faktor Kesehatan ... 99

e) Faktor Fisik ... 103

2) Faktor-faktor yang berpengaruh pada indissolubilitas per- kawinan ... 107

a) Faktor Iman ... 107

b) Faktor Ekonomi ... 111

c) Faktor Sosial ... 115

3) Bahagia Bersama Pasangan ... 119

4) Keinginan Tidak Bercerai ... 121

b. Keterbatasan Penelitian ……….………... .. 123

c. Kesimpulan Penelitian ... 124

BAB IV. PENGOLAHAN HASIL PENELITIAN DALAM UPAYA ME-WUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDIS-SOLUBILITAS ... 126

A.Unitas (Kesatuan) ... 127

1. Faktor Pendukung ... 127

a. Faktor Kepribadian ... 127

(19)

xvii

c. Faktor Budaya ... 129

d. Faktor Kesehatan ... 129

e. Faktor Fisik ... 130

2. Faktor Penghambat ... 131

B. Indissolubilitas (Tak Terputuskan) ... 132

1. Faktor Pendukung ... 133

a. Faktor Iman ... 133

b. Faktor Ekonomi ... 134

c. Faktor Sosial ... 134

2. Faktor Penghambat ... 135

C.Bahagia Dengan Pasangan ... 136

D.Tidak Ingin Bercerai ... 136

BAB V. PROGRAM PEMBINAAN IMAN: REKOLEKSI BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PER- KAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HKTY PUGERAN- YOGYAKARTA ... 138

A.Latar Belakang Pemilihan Program Dalam Bentuk Rekoleksi ... 139

B. Usulan Program Dalam Bentuk Rekoleksi Bagi Pasangan Suami Istri Katolik Yang Usia Perkawinan 15-30 Tahun Di Wilayah Pantang- puluhan Paroki HKTY Pugeran – Yogyakarta ... 142

C.Tema Dan Tujuan Rekoleksi ... 143

D.Matriks Program ... 148

E. Gambaran Pelaksanaan Program ... 152

F. Contoh Salah Satu Pelaksanaan Program ... 154

BAB VI. PENUTUP ... 166

A.Kesimpulan ... 166

B. Saran ... 168

DAFTAR PUSTAKA ... 171

(20)

xviii

Lampiran 2 : Surat Telah Melakukan Penelitian ... (2)

Lampiran 3 : Kuisioner Penelitian ... (3)

Lampiran 4 : Salah Satu Contoh Jawaban Responden Penelitian ... (10)

(21)

xix

DAFTAR SINGKATAN

A.Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan

Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat.

(Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik

Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende:

Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

Kej : Kejadian

Ul : Ulangan

Mal : Malaekhi

Hos : Hosea

Mat : Matius

Mrk : Markus

Luk : Lukas

Kor : Korintus

Ef : Efesus

B.Singkatan Dokumen Resmi Gereja

KGK : Katekismus Gereja Katolik. Dicetak oleh Percetakan Arnoldus, Ende,

1995.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus

(22)

xx

GE : Gravissimum Educationis. Pernyataan Konsili Vatikan II tentang

Pendidikan Kristen, 28 Oktober 1965.

GS : Gaudium Et Spes. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang

GerejaDewasa ini, 7 Desember 1965.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang

Gereja, 21 November 1965.

FC : Familiaris Consortio. Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II

tentang Peran Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern, 22 November

1981.

CC : Casti Cannubii. Ensiklik Paus Pius XI tahun 1930.

HV : Humanae Vitae. Ensiklik Paus Paulus VI tahun 1968.

C. Singkatan Lain

Art. : Artikel

Bdk. : Bandingkan

Kan. : Kanonik

UU : Undang-Undang

RI : Republik Indonesia

No : Nomor

Th : Tahun

PIL : Pria Idaman Lain

WIL : Wanita Idaman Lain

TTM : Teman Tapi Mesra

(23)

xxi KSPB : Kitab Suci Perjanjian Baru

PMI : Palang Merah Indonesia

LCD : Liquid Crystal Display

RT : Rukun Tetangga

RW : Rukun Warga

SJ : Serikat Yesus

Pr : Projo

dsb. : dan sebagainya

km : kilometer

(24)

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Hidup perkawinan merupakan panggilan dari Allah. Oleh karena itu hidup

perkawinan adalah sakral dan kudus, yang mendorong pasangan suami istri

menghayati kesucian persatuan laki-laki dan perempuan. Hal ini ditegaskan

Susianto Budi (2015: 9) mengatakan “Hubungan cinta kasih suami istri bersifat luhur, mulia, dan ilahi, dikehendaki Allah dan menunjuk kepada kesatuan Kristus

dan Gereja-Nya” (bdk. Ef 5:11-22).

Dalam menjalani hidup panggilan berkeluarga, penulis mengamati adanya

pasangan suami istri Katolik yang mengalami hambatan dalam hidup perkawinan,

sehingga mengakibatkan ketidak-setiaan pasangan suami istri terhadap komitmen

untuk saling menyerahkan diri seutuhnya dan perceraian, seperti terdapat dalam

Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes artikel 47 mengatakan:

Akan tetapi tidak dimana-mana martabat lembaga itu bersama-sama berseri semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cedera lainnya. Selain itu cinta perkawinan sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tidak ringan terhadap keluarga (GS, art. 47).

Yohannes Paulus II dalam Amanat Apostolik Familiaris Consortio artikel

6 menggambarkan situasi keluarga dalam dunia dewasa ini sebagai berikut:

(25)

perceraian; malapetaka pengangguran; makin kerapnya sterilisasi; tumbuhnya mentalitas yang jelas-jelas kontraseptif (FC, art. 6).

Di tengah kesulitan dan tantangan zaman, ditemukan semakin meningkat

presentase jumlah perceraian dan sikap-sikap egois lainnya yang merusak relasi

dan komunikasi keluarga merupakan fenomena yang memprihatinkan dan

membuat keluarga masuk dalam kegelisahan (bdk. GS, art. 47 dan FC, art. 1).

Agung Prihartana (2013: 27) mengatakan bahwa “Keluarga mengabaikan bahkan tidak setia pada rahmat pengudusan dan sakramen baptis dan perkawinan (bdk.

FC, art. 58).

Selain itu ditemukan pasangan suami istri Katolik yang mampu

mewujudkan hidup perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Cinta perkawinan

itu setia dan eksklusif dari semua yang lain dan itu sampai mati (HV, art. 12).

Hello (2006: 16-17) mengatakan bahwa “Walaupun kesetiaan suami istri seringkali memberikan kesulitan-kesulitan, namun bukan hal yang mustahil, sebab

kesetiaan merupakan sesuatu yang terhormat dan berguna serta memperoleh

penghargaan tertinggi.” Barang siapa setia sampai akhir, ia akan menuai kebahagiaan. Kesetiaan dalam perkawinan bagi seorang Kristiani dipahami

sebagai tak terceraikan dan tak terbatalkan.

Penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian kepada pasangan suami istri

Katolik mengenai faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan

yang unitas dan indissolubilitas, alasannya: pertama pasangan suami istri Katolik

lebih mudah untuk memberikan jawaban secara jujur, sehingga penelitian yang

dilaksanakan lebih akurat; kedua membantu pasangan suami istri Katolik semakin

(26)

indissolubilitas; ketiga membantu pasangan suami istri Katolik semakin mewujudkan kesetiaan dan kebahagian dalam hidup perkawinan.

Faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang

unitas dan indissolubilitas, antara lain: faktor iman, pada saat pasangan suami istri Katolik menghayati perkawinan sebagai lambang cinta kasih Kristus kepada

Gereja-Nya bersifat total, penuh, tidak terbatas dan berlangsung kekal abadi,

sehingga mereka mampu menghayati perkawinan yang bersifat unitas dan

indissolubilitas (bdk. Ef 5:21-32); faktor sosial, pada saat pasangan suami istri terus menerus menjaga keutuhan dalam cinta yang eksklusif dan sepenuhnya

sepanjang hidup atau kekal tak terceraikan (bdk. Mat 19:6), sehingga praktek

poligami, apapun alasannya bertentangan dengan kehendak Allah sendiri (bdk.

GS, art. 49).

Penulis memilih usia perkawinan antara 15-30 tahun, alasannya: pertama

pada usia perkawinan 15-30 tahun dianggap pasangan suami istri Katolik sudah

matang dalam menjalani hidup perkawinan; kedua usia sekitar 40-55 tahun, saat

itu pasangan suami istri Katolik telah melewati masa krisis dalam perkawinan;

ketiga pasangan suami istri masih lengkap atau keduanya masih hidup.

Penulis memilih tempat di Wilayah Patangpuluhan, Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus (HKTY) Pugeran-Yogyakarta, alasannya: pertama tempat penulis

berdomisili, sehingga lebih mudah dalam melaksanakan penelitian; kedua Gereja

di Wilayah Patangpuluhan bernaung dalam perlindungan Keluarga Kudus Nazaret,

Yesus, Maria, Yosef yang menjadi teladan bagi keluarga Kristiani; ketiga jumlah

pasangan suami istri Katolik yang akan diteliti sebanyak 46 pasang dari 8

(27)

Rubiyatmoko (2015: 20) menjelaskan ciri-ciri hakiki perkawinan ialah

unitas dan indissolubilitas, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen (bdk. kan. 1056). Kedua kekhasan ini

esensial, karena terlekat dan terkandung dalam setiap perkawinan sebagai realitas

natural. Kedua sifat ini merupakan data hukum ilahi kodrati, yang sudah tertanam

dalam kodrat manusia sebagai tatanan fundamental bagi kebaikan umat manusia.

Catur Raharso (2014: 100) mengatakan bahwa “Kesetiaan adalah konsekuensi langsung dan logis dari kesatuan atau monogami.”

Penulis tertarik melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai

faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan

indissolubilitas, dengan mengambil judul skripsi “Faktor-Faktor Pendukung Dalam Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas Dan Indissolubilitas Bagi Pasangan Suami Istri Katolik Yang Usia Perkawinan 15-30 Tahun Di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.”

B.RUMUSAN MASALAH

Penulis mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang muncul sebagai

berikut:

1. Apa pengertian perkawinan Katolik yang berciri unitas dan indissolubilitas?

2. Apa faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan

(28)

3. Bagaimana upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas

bagi pasangan suami istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta?

C.TUJUAN PENULISAN

Beberapa tujuan dari penulisan sebagai berikut:

1. Menambah wawasan mengenai ciri perkawinan Katolik yang unitas dan

indissolubilitas.

2. Mengetahui faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang

unitas dan indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.

3. Memberikan sumbangan program pendampingan iman kepada tim kerasulan

keluarga untuk membantu pasangan suami istri Katolik agar semakin mewujudkan

perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

4. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata I Program Studi

Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

D.MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Bagi Pasangan Suami Istri Katolik

a. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin memahami sifat perkawinan

Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

(29)

dalam upaya mewujudkan perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

c. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin mengupayakan penghayatan

perkawinan yang unitas dan indissolubilitas dalam hidup sehari-hari.

d. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin meningkatkan kekudusan

hidup perkawinan.

2. Bagi penulis

a. Penulis sebagai seorang biarawati semakin diperkaya dalam pemahaman

mengenai perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

b. Penulis dibantu dalam melaksanakan tugas perutusan Kongregasi yang

fokusnya pada Kerasulan Keluarga.

3. Bagi Pembaca

a. Pembaca semakin memahami perkawinan Katolik yang unitas dan

indissolubilitas.

b. Pembaca semakin mengetahui faktor pendukung dalam mewujudkan

perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.

4. Bagi Kampus

Memberikan ide-ide dan pengetahuan bagi mahasiswa prodi PAK dalam

mencari bahan mengenai faktor-faktor pendukung bagi pasangan suami istri

(30)

E.METODE PENULISAN

Metode Penulisan yang akan digunakan penulis dengan penelitian kualitatif

dan studi pustaka. Penulis mengumpulkan data dengan menyebarkan kuisioner

kepada pasangan suami istri Katolik berupa pertanyaan tertutup (memilih jawaban

yang sudah tersedia) dan pertanyaan terbuka (jawaban menurut pendapat sendiri),

agar memperoleh data yang lengkap mengenai faktor pendukung dalam upaya

mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami

istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

Pugeran-Yogyakarta.

Defenisi metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang diamati (Moleong, 1989: 3). Studi Pustaka digunakan untuk memperkuat

teori mengenai ciri hakiki perkawinan Katolik.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Gambaran umum mengenai sistematika penulisan yang akan dibahas di

dalam penulisan skripsi, sebagai berikut:

Bab I berisikan pendahuluan, meliputi: latar belakang, rumusan masalah,

tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II berisikan faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan

perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas, meliputi deskripsi

perkawinan Katolik: hakikat perkawinan, tujuan perkawinan, ciri-ciri perkawinan

yang unitas dan indissolubilitas menyangkut dasar, pengertian dan implikasinya,

(31)

penghambat mempengaruhi upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan

indissolubilitas, antara lain: faktor kepribadian, internal keluarga, budaya, kesehatan, fisik, iman/agama, ekonomi dan sosial atau relasi dengan orang lain.

Bab III berisikan penelitian terhadap pasangan suami istri Katolik yang

usia perkawinan 15-30 tahun dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas

dan indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY

Pugeran-Yogyakarta, meliputi gambaran umum Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta;

gambaran umum perwujudan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas di

Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta; penelitian tentang

faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan

indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta. Bab IV berisikan pengolahan hasil penelitian dalam upaya mewujudkan

perkawinan yang unitas dan indissolubilitas, meliputi faktor pendukung dan faktor

penghambat dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan

indissolubilitas, bahagia dengan pasangan dan tidak ingin bercerai.

Bab V berisikan program pembinaan iman: rekoleksi bagi pasangan suami

istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun dalam upaya mewujudkan

perkawinan yang unitas dan indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki

HKTY Pugeran-Yogyakarta, meliputi: latar belakang pemilihan program, usulan

program dalam bentuk rekoleksi, tema dan tujuan rekoleksi, matriks program,

gambaran pelaksanaan program, contoh pelaksanaan program.

Bab VI Penutup berisikan kesimpulan dan saran.

Demikian proses berpikir penulis yang dituangkan dalam skripsi ini.

(32)

perkawinan yang Unitas dan Indissolubilitas berguna bagi pasangan suami istri

(33)

BAB II

FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT

MEMPENGARUHI UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN KATOLIK YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS

Bab ini secara khusus mendalami ciri/sifat dari perkawinan Katolik yang

unitas dan indissolubilitas menyangkut: dasar, pengertian dan implikasinya. Namun sebelum membahas mengenai ciri/sifat perkawinan, terlebih dahulu

disampaikan mengenai perkawinan Katolik, menyangkut hakikat perkawinan;

tujuan perkawinan antara lain kesejahteraan suami istri (bonum coniugum),

kelahiran anak (prokreasi) dan pendidikan anak; janji perkawinan untuk setia pada

pasangan dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit; dan sakramen

perkawinan.

Kemudian mendalami faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya

mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas antara lain: kepribadian,

internal keluarga, budaya, kesehatan, fisik, iman/agama, ekonomi dan sosial atau

relasi dengan orang lain. Hal ini menjadi pokok pembahasan mengenai faktor

pendukung bagi pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan

perkawinan yang unitas dan indissolubilitas.

A.PERKAWINAN KATOLIK 1. Hakikat

Hakikat perkawinan menurut Kej 1:26-28 merupakan persatuan antara

(34)

tugas bersama oleh-Nya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara

dunia. Kemudian menurut Kej 2:18-25 mengatakan bahwa kesatuan erat antara

seorang pria dan seorang wanita, atas dorongan Allah sendiri, yang mendorong

suami mampu dan mau meninggalkan ayah ibunya serta hidup bersatu dengan

istrinya sedemikian erat, sehingga keduanya menjadi satu manusia baru

(Hadiwardoyo, 2004: 13-14).

Pendahuluan dalam Konsili Trente yang mengatakan bahwa “Sejak awal

mula perkawinan merupakan suatu ikatan tetap dan tak terputuskan

(indissolubilitas),” yang didasarkan pada Kej 2:23-24; Mat 19:5 dan Mrk 10:8.

Penegasan Konsili bukan penegasan historis atau seolah-olah begitulah nyatanya

awal perkawinan di antara manusia, melainkan suatu keterangan teologis atau apa

yang dimaksud Pencipta (Groenen, 1993: 249). Hal ini ditegaskan kembali dalam

ensiklik Humanae Vitae artikel 8 mengatakan bahwa “Perkawinan itu lembaga

yang didirikan oleh Pencipta.”

Ajaran Gereja mengenai hakikat perkawinan mulai zaman Bapa-bapa

Gereja sampai zaman ini mengatakan perkawinan mempunyai martabat suci,

karena diberkati oleh Allah dan direstui oleh Tuhan Yesus. Setelah suami istri

mengungkapkan janji nikah, maka perkawinan menjadi sah. Perkawinan sah antara

dua orang Kristen merupakan sebuah Sakramen. Perkawinan sebagai lembaga

Ilahi dan komunitas seluruh hidup berdasarkan kasih serta lambang dari partisipasi

dalam hubungan kasih Kristus dan Gereja (Hadiwardoyo, 2015: 48-61).

Hakikat perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup terdapat dalam

(35)

Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk diantara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

Beberapa defenisi perkawinan antara lain: pertama perkawinan adalah

sebuah persekutuan hidup suami istri yang penuh, total dan eksklusif, tak

terputuskan, yang melibatkan seluruh pribadi dalam semua aspek kehidupan dan

aktivitas: material-ekonomis, cinta kasih, afeksi, pelayaanan dan perhatian, relasi

seksual (Catur Raharso, 2014: 47); kedua perkawinan adalah persekutuan hidup

antara seorang pria dan seorang wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total,

dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali, dengan

tujuan antara lain: kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan

keluarga” (Gilarso, 2015: 9); ketiga Abineno (1982: 28-38) mengatakan bahwa

“Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup antara suami dan istri yang total,

eksklusif, dan kontinyu.

Gaudium et Spes art. 48 mengatakan bahwa “Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta kasih yang mesra, yang diciptakan oleh pencipta dan

dilengkapi dengan hukumnya, diwujudkan oleh perjanjian nikah atau persetujuan

pribadi yang tak dapat ditarik kembali.” Kemudian seorang teolog keluarga

bernama M. Foley yang dikutip oleh Hello (2006: 16) mengatakan bahwa “Dalam

perkawinan seorang pria ditambah seorang wanita berkembang menjadi satu

kesatuan yang menghasilkan dua pribadi yang lebih kaya dan lebih mendalam.”

Beragamnya wujud perkawinan, maka C. Groenen (1993: 19) mengusulkan

defenisi perkawinan dari segi sosio-antropoligis, yakni “Perkawinan ialah

(36)

atau beberapa orang) justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang

oleh masyarakat yang bersangkutan (kurang lebih luas) sedikit banyak diatur,

diakui dan dilegalisasikan.”

Hadiwardoyo (2007: 5-7) melihat hakikat perkawinan dari tiga sudut

pandang yang berbeda, yakni: pertama sudut pandang yuridis bahwa perkawinan

pada hakikatnya merupakan suatu ikatan sah antara seorang pria dan seorang

wanita, sebagai suami istri; kedua sudut pandang psikologis bahwa perkawinan

pada hakikatnya merupakan persatuan menyeluruh antara seorang pria dan seorang

wanita, yang masing-masing tetap unik; ketiga sudut pandang religius bahwa

setiap perkawinan yang sah merupakan lambang dari “Perkawinan Suci” antara

Allah dan umat-Nya.

Beberapa pendapat di atas mengenai hakikat perkawinan, maka penulis

memilih persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang

didasarkan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang

tidak dapat ditarik kembali.

2. Tujuan

Tujuan perkawinan menekankan unitif dari perkawinan, yakni kesatuan

erat antara suami-isteri itu sendiri (bdk. Kej 2:18-25) dan ditegaskan dalam Mat

19:6 bahwa “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa

yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Dengan demikian

di dalam tujuan perkawinan secara inplisit mengandung unsur unitif dan

(37)

Ajaran Gereja mengenai tujuan perkawinan mulai zaman Bapa-bapa Gereja

sampai zaman ini, sebagai berikut: memudahkan pembagian warisan dan

menurunkan anak-anak yang sah serta sehat, membentuk kesatuan jiwa suami istri

dalam kasih rohaniah dan menurunkan anak-anak, pengaturan nafsu seksual dan

terbuka pada keturunan (Hadiwardoyo, 2015: 63-78).

Pedoman Pastoral Keluarga art. 7 mengatakan bahwa “Perkawinan adalah

sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun

hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera.” Kemudian Pedoman Pastoral

Keluarga art. 8 mengatakan bahwa “Perkawinan adalah suatu ikatan suci demi

kesejahteraan suami istri dan kelahiran anak serta pendidikannya itu tidak hanya

tergantung pada kemauan manusiawi semata-mata, tetapi juga pada kehendak

Allah.”

Setiap keputusan yang dipilih mengandung tujuan yang hendak dicapai,

sebagaimana seorang laki-laki dan seorang perempuan memutuskan untuk

menikah. Rubiyatmoko (2012: 19) dengan sederhana menunjukkan adanya 3

tujuan utama perkawinan (bdk. kan. 1055§ 1) yakni: kesejahteraan suami-istri

(bonum coniugum), kelahiran anak (prokreasi) dan pendidikan anak (bonum

prolis). Kemudian Catur Raharso (2014: 60) melihat tujuan perkawinan dalam dua aspek, yaitu kesejateraan suami istri dan kesejahteraan anak. Selanjutnya

Gilarso (2015: 11-12) mengatakan:

(38)

demi ketenangan, nama baik, kerukunan keluarga, jaminan nafkah/ ekonomi, sah dan sehatnya keturunan dan sebagainya.

Beberapa pendapat di atas mengenai tujuan perkawinan, maka penulis

memilih kesejahteraan dan kebahagiaan suami istri menyangkut relasi

inter-personal antara suami istri, persekutuan jiwa dan hati untuk saling menolong dan

membantu, terbuka bagi kelahiran anak serta mendampingi dan mendidik anak

sesuai dengan iman Katolik.

a. Kesejahteraan Suami Istri (Bonum Coniugum)

1) Pengertian Kesejahteraan

Kesejahteraan menurut pandangan Gereja terdapat dalam surat apostolik

Paus Yohanes Paulus II “Familiaris Consortio” bagian II art. 11-16 merumuskan bahwa “Keluarga sejahtera dalam kesetiaan kepada rencana Allah.” Kemudian

kesejahteraan menurut pandangan negara pasal 1 ayat 11 UU RI no. 10 th. 1992

tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejatera

merumuskan sebagai berikut:

“Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.”

Selain itu dirumuskan dalam Piagam Hak-Hak Keluarga mengenai kesejahteraan

keluarga yang terdapat dalam mukadimahnya yang isinya:

(39)

berjuang untuk mengembangkannya serta membelanya melawan semua yang menyerangnya.”

Beberapa pengertian di atas, maka keluarga disebut sejahtera bukan hanya

dilihat dari segi jasmani, ketika segala materi terpenuhi, namun juga segi rohani,

ketika hubungan dengan Tuhan dan relasi pasangan, relasi dengan keluarga dan

masyarakat terjalin dengan baik dan harmonis.

2) Aspek-Aspek Sejahtera Seutuhnya

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa

“Keluarga sejahtera seutuhnya dalam segala aspeknya berpegang pada visi dan

paham manusia seutuhnya, termasuk dalam kehidupan keluarga.”

Keanekaragaman aspek keluarga sejahtera itu tidak bisa berdiri sendiri, melainkan

saling berkaitan di dalam keutuhan manusia dan keluarga yang sama. Dalam upaya

untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga utuh meliputi berbagai aspek yang

saling berkaitan dan merupakan upaya terus menerus dalam mewujudkannya di

tengah dunia yang terbatas ini. Aspek-aspek keluarga sejahtera meliputi Aspek

Fisik, Psikis, Intelektual, Kultural, Religius, Moral, Sosial.

3) Kesejahteraan Suami Istri

Ukuran kesejahteraan suami istri menurut Kej 2:18-25 adalah penghargaan

seseorang terhadap pasangan nikahnya (Bambang Alriyanto, 1996: 3); ketika

pasangan suami istri sadar akan pemenuhan secara terus menerus dalam diri

mereka sendiri hingga cinta timbal balik mereka tetap ada dan total (Eminyan,

(40)

pangan, papan serta pendidikan yang memadai (Eminyan, 2005: 21); ketika

pasangan suami istri bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan

pasangannya (Gilarso, 2015: 11); ketika masing-masing pihak memahami hak dan

kewajiban, saling berkorban dan saling memberi (Haskim dan Laendra, 1980: 19).

Kesejahteraan pasangan secara abstrak bisa didefenisikan sebagai suami

istri itu sendiri yang saling menyerahkan dan menerima diri pribadi (Catur

Raharso, 2014: 62). Hal ini ditegaskan oleh St.Thomas Aquino yang dikutip oleh

Catur Raharso (2014: 63) mengatakan bahwa “Cinta selalu mengarahkan

seseorang kepada dua objek sekaligus, kepada apa yang baik dan bernilai (bonum),

dan kepada orang yang dicintai itu.” Dengan demikian pengertian kesejahteraan

suami istri dalam perkawinan bukanlah kesejahteraan individualistik dua

bujangan yang hidup bersama, melainkan kesejahteraan dualistik dan altruistik

sebagai pasangan.

Kesejahteraan suami istri mengandung pengertian yang sangat kompleks

dan dinamis, karena konsep kesejateraan sangat kontekstual, ditentukan oleh

faktor budaya, mentalitas, pandangan dan gaya hidup, hukum, serta latar belakang

pendidikan serta situasi sosial ekonomi (Catur Raharso, 2014: 63). Jadi

kesejahteraan suami istri dapat tercapai jika masing-masing pribadi pasangan

saling menghargai dan menempatkan pasangannya sebagai patner cinta kasih

dalam mewujudkan kesejateraan keluarga.

Kesejahteraan suami istri adalah komunitas intim hidup dan cinta pasangan

itu sendiri, yang mereka bangun, pertahankan dan upayakan selalu dan

bersama-sama. Hal ini menuntut secara konkret pada masing-masing pihak beberapa

(41)

kebutuhan-kebutuhan hidup pasangan, berpartisipasi dalam pengambilan

keputusan-keputusan mengenai hidup perkawinan dan keluarga (Catur Raharso, 2014:

63-64).

Dalam mengupayakan bonum coniugum terdapat dua aspek yakni: pertama

aspek eksternal dan lahiriah, diwujudkan dengan membangun kehidupan sebagai

pasangan; kedua aspek internal, diwujudkan dengan integrasi spiritual dan afektif

(Catur Raharso, 2014: 64). Hal ini tidak boleh dimengerti sekadar sebagai

kehidupan bersama secara fisik, melainkan lebih-lebih solidaritas (pelayanan dan

bantuan timbal balik) dan partisipasi pada setiap situasi kondisi vital pasangan.

Catur Raharso (2014: 65-66) mengatakan bahwa “Kesejahteraan suami istri

dibangun atas dasar kemampuan untuk saling menyesuaikan dan menyempurnakan

diri demi pasangannya, yang juga diwujudkan dalam relasi seksual sebagai wujud

penyerahan diri mereka secara timbal balik” (bdk. kan. 1057§ 2).

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa

“Dalam mewujudkan dan menghayati kesatuan hati dan jiwa yang dicita-citakan, sehingga terciptalah kebahagiaan hidup berkeluarga, pada suami istri melekat beberapa pokok tanggungjawab yang meliputi membina dan mengembangkan hidup bersama, membina dan mengembangkan kesetiaan satu sama lain, mengembangkan komitmen seumur hidup, menghormati nilai pribadi manusia, mengembangkan relasi dan komunikasi serta saling mendukung dan menghayati iman.”

Dalam membangun kesejahteraan, pasangan suami istri mengalami

hambatan karena perilaku egosentris, ketika pasangan tidak mampu melihat atau

memahami suatu hal atau peristiwa di sekitarnya menurut pikiran dan perasaan

(42)

4) Beberapa Upaya Menyejahterakan Pasangan

Beberapa upaya menyejahterakan pasangan antara lain: memberikan

nafkah lahiriah (sandang, pangan dan papan) dan nafkah batiniah (hubungan

seksual), memberikan kebebasan kepada pasangannya untuk memelihara imannya

dan melaksanakan kewajiban agamanya, memberikan kebebasan-kebebasan lain

yang sewajarnya kepada pasangan lainnya untuk mengembangkan dirinya, tidak

berlaku kasar (secara fisik, moral atau psikologis) atau bahkan menyiksa

pasangannya (Raharso. 2014: 64).

b. Kelahiran Anak (Prokreasi)

Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) dalam Kej 2:18 mengatakan bahwa

Tuhan Allah berfirman "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan

menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia," dan Kej 2:23

mengatakan bahwa “Allah menciptakan manusia dari awal pria dan wanita,” serta

Kej 1:28 mengatakan bahwa Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman

kepada mereka “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan

taklukkanlah itu.” (bdk. GS, art. 50).

Paus Paulus VI dalam ensiklik Human Vitae artikel 12 mengatakan bahwa

“Hubungan seks suami istri itu mempunyai dua makna yang tak terpisahkan, yakni

menyatukan suami istri dan menurunkan anak (unitif dan prokreatif).” Kemudian

Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art. 50a mengatakan bahwa “Perbuatan

khas pernikahan, dari kodratnya terarah kepada kelahiran dan pendidikan anak.”

Pedoman Pastoral Keluarga art. 13 mengatakan bahwa dengan melahirkan

(43)

karya penciptaan-Nya (bdk. FC, art. 28) dan Kej 1:28 memperlihatkan dengan

jelas bahwa Allah sendirilah yang mengangkat mereka menjadi rekan kerja dalam

karya penciptaan. Catur Raharso (2014: 68) menegaskan bahwa “Agar ada

kesepakatan nikah, perlulah mempelai sekurang-kurangnya mengetahui bahwa

perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara pria dan wanita yang terarah

pada kelahiran anak, dengan suatu kerjasama seksual.”

Hasil dari relasi intim suami istri saling memberi diri dan menikmati cinta

secara sempurna adalah mengadakan, membesarkan dan mendidik anak. Anak

adalah buah kasih orangtua. Anak adalah milik Allah yang dititipkan pada

orangtua “membuat mereka menjadi lebih manusia” (Hello, 2006: 18).

Perkawinan adalah lembaga yang ditetapkan secara bijaksana oleh Allah

Pencipta untuk mewujudkan rencana kasih-Nya bagi umat manusia, melalui

penyerahan diri timbal balik yang khas, personal dan eksklusif, suami istri

membentuk persekutuan hidup untuk saling membantu mencapai kesempurnaan

pribadi, serta kerjasama dengan Allah dalam menciptakan generasi baru dan

mendidiknya. Cinta kasih suami istri yang mengantar mereka untuk saling

mengenal hingga menjadikan mereka “satu daging,” tidak hanya untuk suami istri

berdua, melainkan memampukan mereka untuk pemberian diri setinggi mungkin

sebagai rekan kerja Allah dalam meneruskan kehidupan baru dan

menumbuh-kembangkannya menjadi pribadi manusia (Catur Raharso, 2014: 69-70).

c. Pendidikan Anak

Tanggungjawab menyejahterakan anak, terkandung pula kewajiban untuk

(44)

Karena telah memberikan kehidupan kepada anak-anak mereka, orangtua terikat kewajiban yang sangat berat untuk mendidik anak-anak mereka, dan karena itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak mereka. Tugas mendidik ini begitu berat, sehingga kalau tidak ada sulit untuk dilengkapi.”

Kemudian dalam FC, art. 36 mengatakan:

“Tugas mendidik berakar dalam panggilan utama suami istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Dengan membangkitkan dalam dan demi cinta kasih seorang pribadi yang baru yang dalam dirinya mengembangkan diri, orangtua sekaligus bertugas mendampinginya secara efektif untuk menghayati hidup manusiawi sepenuhnya.”

Catur Raharso (2014: 75) menegaskan kembali pernyataan di atas dengan

mengutip KHK kan. 1136 mengatakan bahwa “Orangtua mempunyai kewajiban

sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak,

baik fisik, sosial dan kultur, maupun moral dan religius.” Pendidikan anak harus

mengarah pada pendidikan demi masa depan anak-anak terdapat dalam GS, art.

52a mengatakan:

“Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa, dapat mengikuti dengan penuh rasa tanggungjawab panggilan mereka termasuk juga panggilan khusus, dan memilih status hidup, bila mereka memilih status hidup pernikahan, semoga mereka dapat membangun keluarganya sendiri dalam situasi moral, sosial dan ekonomi yang menguntungkan mereka.”

Pedoman Pastoral Keluarga art. 9 mengatakan bahwa “Berkat rahmat

sakramen perkawinan, suami istri menerima rahmat istimewa yang membuat

mereka lebih mampu menjadi suci dan mendidik anak-anak secara Katolik” (bdk.

LG, art. 11). Kemudian Pedoman Pastoral Keluarga art. 10 mengatakan bahwa

“Kehadiran anak-anak dalam keluarga merupakan anugerah sangat berharga dan

(45)

Maka anak-anak selayaknya dicintai, dihargai, diterima sepenuhnya dan

dikembangkan sebaik mungkin oleh kedua orangtua. Tugas mendidik anak

bersumber dari panggilan asli orangtua untuk berpartisipasi dalam karya

penciptaan Allah. Karena cinta dan demi cinta orangtua telah melahirkan

kehidupan baru. Selanjutnya kelahiran baru (anak) ini terpanggil untuk

berkembang dan bertumbuh menjadi pribadi manusia yang utuh dan dewasa.

Karena itu, sangatlah logis dan natural bahwa orangtua memiliki tugas dan

tanggungjawab utama dan langsung untuk membantu secara efektif anak-anak

mereka agar dapat hidup sepenuhnya sebagai pribadi manusia (Catur Raharso,

2014: 75).

Hello (2006: 19) mengatakan bahwa “Orangtua dapat melakukan tugasnya

sebagai pembimbing utama yang mengarahkan, menuntun, memberikan

pengertian dan pemahaman yang benar tentang sesuatu hal sesuai kaidah-kaidah

iman kristiani.” Keluarga menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan

iman (bdk. Ul 6:7).

3. Ciri-ciri Perkawinan Katolik

Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB) dalam Mrk 10:8; Mat 19:5 dan 1Kor 7

mengajarkan ciri/sifat perkawinan Katolik yakni monogami dan sifat tak

terputuskan.

Ajaran Gereja mengenai ciri-ciri perkawinan mulai zaman Bapa-bapa

Gereja sampai zaman ini sebagai berikut: ikatan perkawinan antara orang-orang

Kristen bersifat monogam dan tak terputuskan setelah diucapkannya “janji nikah”

(46)

merupakan lambang hubungan kasih antara Kristus dan Gereja. Perkawinan sah

antara dua orang kristen benar-benar merupakan sebuah sakramen dan ikatannya

bersifat tak terputus, monogami dan menolak poligami berdasarkan hukum ilahi

HV, art. 9 dan GS, art. 49 mengatakan bahwa “Cinta suami istri adalah setia dan

eksklusif sampai akhir hidup, demikianlah mempelai dan pengantin memahaminya

pada hari mereka dengan bebas dan sadar saling mengikat dengan janji nikah

mereka.” Kemudian FC, art. 19 mengatakan bahwa “Perjanjian kasih perkawinan

suami isteri „bukanlah dua, melainkan satu‟ dan dipanggil untuk senantiasa

tumbuh dalam kesatuan dan kesetiaan setiap hari, dengan berpegang teguh pada

janji perkawinan untuk penyerahan diri timbal balik.”

Perkawinan Katolik memiliki ciri-ciri hakiki, yang membedakannya

dengan perkawinan lain. Rubiyatmoko (2012: 20) mengungkapkan kekhasan

perkawinan Katolik dengan mengutip KHK kan. 1056 mengatakan “Ciri-ciri

hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (tak

terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus

atas dasar sakramen”. Dua ciri hakiki perkawinan, yaitu kesatuan (unitas) dan tak terputuskan (indissolubilitas) yang merupakan ciri esensial karena melekat dan

terkandung dalam setiap perkawinan sebagai realitas natural (Catur Raharso, 2014:

94). Perkawinan yang baik harus memiliki dan memperjuangkan ciri-ciri berikut:

monogami, tak terceraikan, terbuka bagi keturunan dan keluarga Kristiani adalah

“Gereja mini” (Gilarso, 2015: 12-13).

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai ciri perkawinan Katolik, maka

penulis memilih monogami artinya perkawinan yang dilakukan antara seorang

(47)

terceraikan artinya suatu perkawinan yang berlangsung seumur hidup dan tidak

dapat diputuskan dengan alasan apapun dan oleh siapapun, kecuali oleh kematian.

a. Unitas (kesatuan) 1) Dasar Unitas

Dasar unitas terungkap dalam KSPL dan KSPB menjadi “satu daging”

(Kej 2:24; Mrk 10:8; Mat 19:5; Ef 5:31) yang isinya “Sebab itu seorang laki-laki

akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga

keduanya menjadi satu daging.” Cinta kasih suami isteri sungguh-sungguh

merupakan cinta kasih perjanjian yang bersifat eksklusif dan tetap (bdk. Ams

5:15-20).

Kej 1:27 dan Kej 2:24 dengan tegas dan berwibawa merestui cita-cita suci

perkawinan monogam sebagai perkawinan yang memenuhi kehendak Allah,

karena melambangkan kesetiaan kasih antara Yahwe dan umat-Nya (Bambang

Alriyanto, 1996: 3, 5). Kemudian St. Paulus dalam 1Kor 7 dan Ef 5 dengan sikap

yang cukup keras dan tegas memperjuangkan nilai perkawinan yang monogam tak

terceraikan, dengan berpegang pada faham penciptaan (Bambang Alriyanto, 1996:

58).

Paus Pius XI dalam ensiklik “Casti Cannubii” mengatakan bahwa ikatan perkawinan bersifat monogami dan tak terputus berdasarkan hukum ilahi dan perlu

dilaksanakan dengan kasih yang teguh. Kemudian Konsili Vatikan II dalam

konstitusi “Gaudium et Spes” bahwa praktik poligami dan perceraian mengaburkan martabat perkawinan, dan sifat monogami dan tak terputusnya

ikatan perkawinan muncul dari sifat kodrati kasih suami istri, diajarkan oleh

(48)

Selanjutnya Paus Pius VI dalam ensiklik “Humanae Vitae” menghubungkan sifat monogami dan tak terputusnya ikatan perkawinan dengan sifat-sifat khas kasih

suami istri yang eksklusif dan setia. Akhirnya Paus Yohanes Paulus II dalam

amanat apostoliknya “Familiaris Consortio” mengajarkan bahwa sifat monogam dan tak terputusnya ikatan perkawinan bersumber pada kasih suami istri dan

disempurnakan oleh Roh Kudus dalam Sakramen Perkawinan.

Rubiyatmoko (2012: 21) menegaskan kembali dengan mengutip kan. 1056

“Ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan) menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan”. Dengan unsur unitif dimaksud sebagai unsur yang menyatukan suami istri secara lahir dan batin. Sedangkan unsur monogam

menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah jika dilaksanakan hanya antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Katekismus Gereja Katolik

(KGK) artikel 1645 mengatakan bahwa “Kesatuan perkawinan yang dikukuhkan

oleh Tuhan tampak secara jelas dari martabat pribadinya yang sama baik pria

maupun wanita, yang harus diterima dalam cinta kasih timbal balik dan penuh.”

Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada

taranya pria dan wanita saling menyerahkan dan menerima diri dalam cinta kasih

total tanpa syarat dan secara eksklusif. Hal ini mau menegaskan bahwa pasangan

suami istri saling menyerahkan diri secara total dan eksklusif, sehingga tidak ada

alasan untuk poligami (Go, 2005: 17).

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa

“Persekutuan suami istri berakar dalam sifat saling melengkapi secara kodrati,

yang terdapat antara pria dan wanita, dan makin dikukuhkan oleh kerelaan pribadi

(49)

saling berbagi apa yang dimiliki dan seluruh kenyataan mereka.” Hal ini mau

mengatakan bahwa dalam perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan

dengan cinta yang penuh, total, dan tidak terbagi-bagi, saling menyerahkan diri

seutuhnya, sehingga mendorong suami istri untuk mewujudkan persatuan yang

semakin kaya di antara mereka.

Dalam kehidupan di masyarakat, dapat ditemukan pasangan suami istri

yang tidak setia pada dasar monogami perkawinan dengan melakukan tindakan

poligami, karena alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,

cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak

dapat melahirkan keturunan. Tentu hal ini bertentangan dengan monogami, karena

istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu dan tidak menurut martabatnya

sebagai manusia. bdk. dengan gagasan janji perkawinan: kasih-setia dalam

suka-duka, untung-malang, sehat-sakit (Go, 2005: 17).

2) Pengertian Unitas

Pandangan Gereja mengenai unitas sebagai perjanjian pernikahan pria dan

wanita “Bukan lagi dua melainkan satu” (Mat 19:6; bdk. Kej 2:24), yang dipanggil

untuk tetap bertumbuh dalam persekutuan melalui kesetiaan dari hari ke hari

terhadap janji pernikahan untuk saling menyerahkan diri seutuhnya. Pandangan

Negara mengenai unitas terdapat dalam UU RI no. 1/1974 bab 1 pasal 3

mendefenisikan perkawinan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri.”

Kesatuan atau unitas menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan.

(50)

secara lahir batin. Sedangkan unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan

hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan

(Rubiyatmoko, 2012: 21).

Perkawinan adalah kesatuan (unitas, unity) relasi antara seorang pria dan

seorang wanita untuk hidup sebagai suami istri sepanjang hayat melalui perjanjian

yang bersifat eksklusif (Catur Raharso, 2014: 95). Tindakan atau perilaku yang

bertentangan dengan kesatuan relasi suami istri, yaitu poligami (poligini artinya

seorang pria beristri lebih dari satu perempuan atau poliandri artinya seorang

wanita bersuami lebih dari satu laki-laki), sekaligus kontra ketidaksetiaan, karena

ketidaksetiaan melanggar kesatuan perkawinan karena kesetiaan adalah

konsekuensi langsung dan logis dari kesatuan atau monogami (Catur Raharso,

2014: 97, 100). Selanjutnya Go (2005: 16) mengatakan bahwa “Monogami berarti

perkawinan antara seorang pria dan seorang perempuan, jadi lawan dari poligami

atau poliandri.”

Keseluruhan defenisi mengenai unitas mengandung pengertian bahwa

perkawinan itu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersatu lahir

batin seumur hidup secara eksklusif.

3) Impikasi atau konsekuensi Unitas

Pasangan suami istri dengan mengikrarkan janji perkawinan menyadari

konsekuensi dari perkawinan untuk tetap setia dan mencintai pasangannya dengan

tidak poligami. Implikasi atau konsekuensi unitas dengan mengesampingkan

poligami simultan dan poligami suksesif serta hubungan intim dengan pihak ketiga

(51)

dengan kesetiaan (Go, 1990: 7). Dalam hal ini menolak poligami simultan

maksudnya dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang

sama dan poligami suksesif artinya berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya

perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak

sah.

KHK kan.1056 mengenai ikatan perkawinan yang unitas, eksklusif dan

indissolubilitas. Kemudian ditegaskan dalam Gaudium et Spes artikel 49 mengatakan bahwa “Sebagai pemberian diri timbal balik antara dua pribadi,

persatuan yang mesra itu, begitu pula kepentingan anak-anak menuntut kesetiaan

seutuhnya dari suami istri, dan meminta kesatuan yang tak terceraikan antara

mereka.”

b. Indissolubilitas (tak terputuskan) 1) Dasar Indissolubilitas

Go (2005: 18) mengatakan dasar indissolubilitas terungkap dalam KSPB

misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5:31-32; 19:2-12; Luk 16:18. Dalam Kitab Suci

dikisahkan orang Farisi bertanya kepada Yesus “Apakah diperbolehkan suami

menceraikan istrinya?” Yesus menegaskan “Apa yang telah dipersatukan Allah,

janganlah itu diceraikan manusia” (Mat 19:6) dan pasangan suami istri yang

bercerai serta kawin lagi melakukan perbuatan zinah (bdk. Mat 19:9; Mrk 10:12).

Jelas dalam teks Mat 19:2-12 dan Mrk 10:2-12 menyatakan penolakan Yesus

terhadap perceraian. Ia memahami izin perceraian yang diberikan oleh hukum

Musa sebagai suatu hal yang terpaksa diberikan karena ketegaran hati orang-orang

(52)

sendiri yang telah menyatukan suami-istri, agar mereka menjadi “satu daging”.

Dengan perkataan lain Yesus mengajarkan bahwa perkawinan itu menurut

kehendak Allah harus bercirikan “tak terceraikan” (Hadiwardoyo, 2004: 22).

Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa

“Pasangan suami istri Katolik menyadari bahwa perkawinan itu dikehendaki dan

diberkati oleh Allah, sehingga tidak ada satu alasanpun dapat memutuskan

perkawinan.” Bila terjadi perceraian kemudian menikah lagi, mereka hidup

dalam perzinahan. Sifat perkawinan yang tak dapat diputuskan berakar pada

panggilan Allah yang mempersatukan seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami istri, sehingga apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan

manusia (bdk. Mat 19:6) dan memperoleh dasar kebenarannya dalam rencana yang

diwahyukan oleh Allah, Ia menghendaki serta menganugerahkan sifat tak

terbatalkan pernikahan sebagai buah hasil, sebagai lambang dan tuntutan cinta

yang mutlak setia, kasih Allah terhadap manusia dan kasih Tuhan Yesus terhadap

Gereja.

Dalam perkawinan pasangan suami istri selain dituntut untuk hidup dalam

persekutuan (kesatuan), juga hidup dalam penyerahan diri seumur hidup, demi

kesejahteraan pasangan maupun demi kepentingan anak-anak, sehingga tidak ada

alasan apapun untuk bercerai. Ajaran Kitab Suci dengan tegas mengatakan kepada

pasangan suami istri untuk setia dan menolak percerian maupun perzinahan, yang

menjadi tantangan dalam menghayati janji perkawinan jaman sekarang, sebab

perceraian dan perselingkuhan zaman ini dianggap hal yang biasa, sehingga orang

kurang menghayati janji perkawinan yang diikrarkan untuk setia seumur hidup

(53)

Ajaran Gereja dalam Konsili Trente Denzinger artikel 1801 mengatakan

bahwa “Perkawinan sebagai sakramen, tandanya perkawinan itu sendiri, yang

merupakan kesatuan kehendak dan kesatuan tubuh.” Tanda ini menghasilkan apa

yang ditandakan yakni kesatuan yang tak terceraikan di antara dua pribadi dan

menunjuk kepada realitas yang lebih dalam yaitu kesatuan Kristus dan

Gereja-Nya.”

Hal ini ditegaskan kembali oleh Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes

art. 48 mengatakan:

“Persekutuan mesra hidup perkawinan dan cinta itu telah ditegakkan oleh Pencipta sendiri dan diaturnya dengan undang-undang-Nya, dan sudah jauh berakar di dalam janji perkawinan dengan kesepakatan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Karenanya dengan tindakan kemanusiaan itu, dengan mana suami istri saling memberi dan menerima, timbullah suatu perkerabatan yang menurut kehendak Ilah

Gambar

Tabel 1. Keadaan Umat
Tabel 2. Keadaan Umat berdasarkan Agama
Tabel di atas menunjukkan mayoritas umat Katolik masih berpusat di
Tabel di atas menunjukkan komposisi umat Paroki Hati Kudus Tuhan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Al-Farisi (2014) Pengaruh Inovasi dan Kreatifitas terhadap Keberhasilan Usaha (Survey terhadap para pengusaha di Industri Rajut Binong Jati Bandung) • Inovasi

Lebih daripada itu, dalam Renstra ini telah termuat visi, misi, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan dalam bidang perpustakaan dan kearsipan yang nantinya akan

Pada buah yang tidak disarung apabila kondisi lingkungan mendukung perkembangan spora, akan memberi peluang yang lebih besar untuk diserang penyakit busuk buah

Sebagai perusahaan yang taat akan pajak maka, PT Bina Karnada berkewajiban untuk melakukan perhitungan dan pelaporan pajak penghasilan sesuai ketentuan yang

• Soal yang menghendaki jawaban yang dapat dinilai benar-salah, dibuat dalam bentuk kata : Bilangan ,Kalimat,Simbol • Untuk mengukur pengetahuan yang. berhubungan dengan

Dari beberapa penelitian diatas di perguruan tinggi Agama Hindu belum ada pembahasan mengenai Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Dalam Meningkatan Mutu

kepala madrasah menunjuk perwakilannya untuk mengikuti kegiatan tersebut tanpa di pungut biaya. Demikian atas perhatian dan kerjasamanya kami sampaikan

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali