ABSTRAK
Skripsi ini berjudul FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM
UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN
INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA, dipilih penulis untuk membantu pasangan suami istri Katolik yang kurang menghayati perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dalam perkawinan Katolik, pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit, dalam upaya mewujudkan ciri/ sifat perkawinan Katolik, yakni unitas dan indissolubilitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun, ditemukan pasangan suami istri menghayati janji perkawinan untuk tetap setia seumur hidup didukung oleh beberapa faktor antara lain: faktor kepribadian, faktor internal keluarga, faktor budaya, faktor kesehatan dan faktor fisik dalam upaya dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas; sedangkan faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang indissolubilitas, yakni: faktor iman, ekonomi dan sosial. Faktor-faktor di atas membantu pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan perkawinan yang bahagia bersama pasangan dan tidak ingin bercerai.
Dalam penelitian juga ditemukan pasangan mengalami hambatan dalam upaya mewujudkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup, ketika mengalami suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Hambatan dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas menyebabkan perkawinan yang tidak bahagia bersama pasangan dan ingin bercerai. Beberapa hambatan yang dialami antara lain: kurang puas dalam hubungan seks dengan pasangan dan masalah anak; menyimpan dan sukar melupakan kesalahan pasangan yang menyakitkan hati serta kurang mengampuni dan tidak menerima pasangan yang telah berselingkuh untuk hidup bersatu kembali; tidak terlibat dalam kegiatan doa di lingkungan bersama pasangan dan anak-anak; pasangan lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan keluarga dan keterlibatan di lingkungan dan masyarakat kadang membuat keluarga harmonis.
ABSTRACT
This thesis entitled SUPPORTING FACTOR IN AN EFFORT TO FORM THE UNITAS AND INDISSOLUBILITAS MARRIAGE FOR CATHOLIC COUPLES AGE 15-30 YEARS OF MARRIAGE IN PATANGPULUHAN AREA OF SECRED HEART OF JESUS PUGERAN PARISH. It is chosen by the writer to help catholic couples who have less understanding of the unity and inseparable of marriage. In catholic marriage, a husband and a wife states their marriage vow to live faithfully in good and bad, in sickness and healthy, in an effort to form the feature/nature of catholic marriage, that is unity and inseparable.
Based on research done to catholic couples ages15-30 years of marriage, it was found that couples experience to the full their marriage vow to be always faithful a long their life, supported by some factors such as: personality factor, family internal factor, cultural factor, health factor, and physical factor for the unity marriage. However, the supporting factors for the inseparable marriage are: faith, economic and social factors. The above factors help the catholic couples to form a happy family and far from divorce. In the research it is also found that couples experience obstacles in the effort to form their marriage vow to live faithfully a long their life when they experience the good and bad, sickness and healthy.
Those Obstacles causes unhappy marriage and willingness to divorce. Those obstacles are: unsatisfied sexual intercourse with spouse and children problem, keeping and uneasy to forget hurting mistake of the spouse, uneasy to forgive and to receive back unfaithful spouse to be reunited; not participate in prayer activity in the community together with the spouse and children; the spouse chooses job more than the family and to participate actively in the community and society maybe to build a harmony family.
FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS
BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN
PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Njo Mei Fang NIM: 121124056
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada
v MOTTO
“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia dan oleh Dia, dan kepada Dia; Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.”
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DALAM
UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN
INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA, dipilih penulis untuk membantu pasangan suami istri Katolik yang kurang menghayati perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Dalam perkawinan Katolik, pasangan suami istri mengikrarkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit, dalam upaya mewujudkan ciri/ sifat perkawinan Katolik, yakni unitas dan indissolubilitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasangan suami istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun, ditemukan pasangan suami istri menghayati janji perkawinan untuk tetap setia seumur hidup didukung oleh beberapa faktor antara lain: faktor kepribadian, faktor internal keluarga, faktor budaya, faktor kesehatan dan faktor fisik dalam upaya dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas; sedangkan faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang indissolubilitas, yakni: faktor iman, ekonomi dan sosial. Faktor-faktor di atas membantu pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan perkawinan yang bahagia bersama pasangan dan tidak ingin bercerai.
Dalam penelitian juga ditemukan pasangan mengalami hambatan dalam upaya mewujudkan janji perkawinan untuk setia seumur hidup, ketika mengalami suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Hambatan dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas menyebabkan perkawinan yang tidak bahagia bersama pasangan dan ingin bercerai. Beberapa hambatan yang dialami antara lain: kurang puas dalam hubungan seks dengan pasangan dan masalah anak; menyimpan dan sukar melupakan kesalahan pasangan yang menyakitkan hati serta kurang mengampuni dan tidak menerima pasangan yang telah berselingkuh untuk hidup bersatu kembali; tidak terlibat dalam kegiatan doa di lingkungan bersama pasangan dan anak-anak; pasangan lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan keluarga dan keterlibatan di lingkungan dan masyarakat kadang membuat keluarga harmonis.
ix ABSTRACT
This thesis entitled SUPPORTING FACTOR IN AN EFFORT TO FORM THE UNITAS AND INDISSOLUBILITAS MARRIAGE FOR CATHOLIC COUPLES AGE 15-30 YEARS OF MARRIAGE IN PATANGPULUHAN AREA OF SECRED HEART OF JESUS PUGERAN PARISH. It is chosen by the writer to help catholic couples who have less understanding of the unity and inseparable of marriage. In catholic marriage, a husband and a wife states their marriage vow to live faithfully in good and bad, in sickness and healthy, in an effort to form the feature/nature of catholic marriage, that is unity and inseparable.
Based on research done to catholic couples ages15-30 years of marriage, it was found that couples experience to the full their marriage vow to be always faithful a long their life, supported by some factors such as: personality factor, family internal factor, cultural factor, health factor, and physical factor for the unity marriage. However, the supporting factors for the inseparable marriage are: faith, economic and social factors. The above factors help the catholic couples to form a happy family and far from divorce. In the research it is also found that couples experience obstacles in the effort to form their marriage vow to live faithfully a long their life when they experience the good and bad, sickness and healthy.
Those Obstacles causes unhappy marriage and willingness to divorce. Those obstacles are: unsatisfied sexual intercourse with spouse and children problem, keeping and uneasy to forget hurting mistake of the spouse, uneasy to forgive and to receive back unfaithful spouse to be reunited; not participate in prayer activity in the community together with the spouse and children; the spouse chooses job more than the family and to participate actively in the community and society maybe to build a harmony family.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih, atas segala rahmat dan
kasih-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul FAKTOR-FAKTOR
PENDUKUNG DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS PUGERAN-YOGYAKARTA. Skripsi ini diajukan guna memberikan sumbangan pemikiran, gagasan, dan inspirasi bagi siapapun yang memilki kerinduan dalam
mengembangkan Gereja Katolik di manapun berada.
Proses penyusunan skripsi ini, berjalan dengan lancar karena dukungan dan
kebaikan dari banyak orang, sehingga memampukan penulis untuk tetap semangat
meskipun mengalami banyak kesulitan. Penulis mengalami pendampingan,
dukungan, motivasi, serta perhatian, yang diyakini sebagai karya Tuhan dalam
membimbing serta memampukan penulis menyelesaikan skripsi dengan penuh
kesetiaan. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, selaku dosen pembimbing utama dan dosen
penelitian yang telah setia meluangkan waktu untuk membimbing dan
mendampingi penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran, memberi
masukan-masukan dan kritikan-kritikan, sehingga penulis termotivasi dalam
penyusunan skripsi dari awal hingga akhir.
xi
dan dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan
memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.
3. P. Banyu Dewa HS, S. Ag., M. Si., selaku dosen penguji III yang telah
meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan demi
semakin baiknya skripsi ini.
4. Para dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah mendidik
dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini dengan
penuh kasih dan sepenuh hati.
5. Staf dan karyawan Prodi PAK yang turut memberi perhatian dan dukungan
bagi penulis.
6. Sr. Yosepha Bahketah, KKS sebagai Pemimpin Umum Kongregasi Suster
Dina Keluarga Suci dari Pangkalpinang, yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menjalani studi di Prodi PAK.
7. Para Suster KKS yang selalu mendukung, mendoakan dan memberi semangat
kepada penulis selama menjalani masa studi.
8. RD. F. Ngadiyono, RP. Sarto Mitakda SVD, dan Br. Rein Sihura BM, yang
menyemangati, mendoakan, memotivasi dan mendukung penulis selama
menjalani studi.
9. Keluarga yang senantiasa memberikan cinta dan perhatian serta dukungan doa
kepada penulis.
10. RD. Paulus Supriyo selaku Romo Kepala Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
xiii DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN ... iii
PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C.Tujuan Penulisan ... 5
D.Manfaat Penulisan ... 5
E. Metode Penulisan... 7
F. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II. FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT MEMPENGARUHI UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN KATOLIK YANG UNITAS DAN INDIS SOLUBILITAS ... 10
A.Perkawinan Katolik ... .... 10
1. Hakikat ... ... 10
2. Tujuan ... ... 13
a. Kesejahteraan Suami Istri (Bonum Coniugum) ... ... 15
1) Pengertian Kesejahteraan ………... ... 15
xiv
3) Kesejahteraan Suami Istri ... 16
4) Beberapa Upaya Menyejahterakan Pasangan ... ... 19
b. Kelahiran Anak (Prokreasi) ... ... 19
c. Pendidikan Anak ………... ... 20
3. Ciri/Sifat Perkawinan Katolik ... ... 22
a. Unitas (kesatuan) ..………... .... 24
1) Dasar Unitas ………... ... 24
2) Pengertian Unitas ... ... 26
3) Implikasi atau konsekuensi Unitas …………..…... ... 27
b. Indissolubilitas (tak terputuskan) ... ... 28
1) Dasar Indissolubilitas ..……... ... 28
2) Pengertian Indissolubilitas ... ... 30
3) Implikasi atau konsekuensi Indissolubilitas .……... ... 32
4. Sakramental ……….………... 34
5. Janji Perkawinan Katolik …... ... 36
B. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Mempengaruhi Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas ... 38
a) Faktor Kepribadian …..……... ... 38
b) Faktor Internal Keluarga ………... ... 40
c) Faktor Budaya ... ... 43
d) Faktor Kesehatan ………. ... 44
e) Faktor Fisik ………. ... 45
C.Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Mempengaruhi Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Indissolubilitas ……….. 46
a) Faktor Iman/ Agama ..…... 46
b) Faktor Ekonomi .……….………... .. 48
c) Faktor Sosial (relasi dengan orang lain)... .. 50
xv
A.Gambaran Umum Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ... 52
1. Sejarah Paroki ….……… ... 52
2. Keadaan Geografis ………... 55
3. Keadaan Demografis ... 58
4. Visi Misi Gereja ... 59
5. Situasi Umum Umat Paroki ... 63
a. Situasi Kependudukan ………... ... 63
1) Gambaran Umum ………... ... 63
2) Keadaan Umat ..………... ... 64
3) Jenis Kelamin dan Hubungan Kekeluargaan ... ... 66
4) Kesukuan (Etnis) ……... ... 69
5) Struktur Usia ………..………... ... 70
b. Situasi Sosial Ekonomi …………... 72
1) Keadaan Ekonomi Keluarga …... ... 72
2) Kegiatan Ekonomi …………... ... 74
c. Tingkat Pendidikan ………....……... ... 77
d. Situasi Perkawinan ..……….……….. ... 78
1) Perkawinan Katolik …... ... 80
2) Perkawinan Beda Gereja ... ... 80
3) Perkawinan Beda Agama ... ... 80
4) Perkawinan Bermasalah ……… ... 81
B. Gambaran Umum Perwujudan Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran- Yogyakarta ... ... 81
C.Penelitian Tentang Faktor-Faktor Pendukung Dalam Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ………… 82
1. Metodologi Penelitian ……….………... ... 82
a. Latar Belakang Penelitian ………. ... 82
b. Tujuan Penelitian ………... 83
xvi
d. Jenis Penelitian ………... ... 84
e. Tempat dan Waktu Penelitian ………... ... 85
f. Responden Penelitian ………... ... 85
g. Instrumen Penelitian ………... ... 86
h. Variabel Penelitian ………... ... 86
2. Laporan Hasil dan Pembahasan Penelitian ... ... 87
a. Gambaran Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Perkawinan Yang Unitas dan Indissolubilitas Di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta ... ... 87
1) Faktor-faktor yang berpengaruh pada unitas perkawinan ... 88
a) Faktor Kepribadian ... 88
b) Faktor Internal Keluarga ... 91
c) Faktor Budaya ... 95
d) Faktor Kesehatan ... 99
e) Faktor Fisik ... 103
2) Faktor-faktor yang berpengaruh pada indissolubilitas per- kawinan ... 107
a) Faktor Iman ... 107
b) Faktor Ekonomi ... 111
c) Faktor Sosial ... 115
3) Bahagia Bersama Pasangan ... 119
4) Keinginan Tidak Bercerai ... 121
b. Keterbatasan Penelitian ……….………... .. 123
c. Kesimpulan Penelitian ... 124
BAB IV. PENGOLAHAN HASIL PENELITIAN DALAM UPAYA ME-WUJUDKAN PERKAWINAN YANG UNITAS DAN INDIS-SOLUBILITAS ... 126
A.Unitas (Kesatuan) ... 127
1. Faktor Pendukung ... 127
a. Faktor Kepribadian ... 127
xvii
c. Faktor Budaya ... 129
d. Faktor Kesehatan ... 129
e. Faktor Fisik ... 130
2. Faktor Penghambat ... 131
B. Indissolubilitas (Tak Terputuskan) ... 132
1. Faktor Pendukung ... 133
a. Faktor Iman ... 133
b. Faktor Ekonomi ... 134
c. Faktor Sosial ... 134
2. Faktor Penghambat ... 135
C.Bahagia Dengan Pasangan ... 136
D.Tidak Ingin Bercerai ... 136
BAB V. PROGRAM PEMBINAAN IMAN: REKOLEKSI BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK USIA PERKAWINAN 15-30 TAHUN DALAM UPAYA MEWUJUDKAN PER- KAWINAN YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS DI WILAYAH PATANGPULUHAN PAROKI HKTY PUGERAN- YOGYAKARTA ... 138
A.Latar Belakang Pemilihan Program Dalam Bentuk Rekoleksi ... 139
B. Usulan Program Dalam Bentuk Rekoleksi Bagi Pasangan Suami Istri Katolik Yang Usia Perkawinan 15-30 Tahun Di Wilayah Pantang- puluhan Paroki HKTY Pugeran – Yogyakarta ... 142
C.Tema Dan Tujuan Rekoleksi ... 143
D.Matriks Program ... 148
E. Gambaran Pelaksanaan Program ... 152
F. Contoh Salah Satu Pelaksanaan Program ... 154
BAB VI. PENUTUP ... 166
A.Kesimpulan ... 166
B. Saran ... 168
DAFTAR PUSTAKA ... 171
xviii
Lampiran 2 : Surat Telah Melakukan Penelitian ... (2)
Lampiran 3 : Kuisioner Penelitian ... (3)
Lampiran 4 : Salah Satu Contoh Jawaban Responden Penelitian ... (10)
xix
DAFTAR SINGKATAN
A.Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan
Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat.
(Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik
Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende:
Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.
Kej : Kejadian
Ul : Ulangan
Mal : Malaekhi
Hos : Hosea
Mat : Matius
Mrk : Markus
Luk : Lukas
Kor : Korintus
Ef : Efesus
B.Singkatan Dokumen Resmi Gereja
KGK : Katekismus Gereja Katolik. Dicetak oleh Percetakan Arnoldus, Ende,
1995.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus
xx
GE : Gravissimum Educationis. Pernyataan Konsili Vatikan II tentang
Pendidikan Kristen, 28 Oktober 1965.
GS : Gaudium Et Spes. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang
GerejaDewasa ini, 7 Desember 1965.
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang
Gereja, 21 November 1965.
FC : Familiaris Consortio. Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II
tentang Peran Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern, 22 November
1981.
CC : Casti Cannubii. Ensiklik Paus Pius XI tahun 1930.
HV : Humanae Vitae. Ensiklik Paus Paulus VI tahun 1968.
C. Singkatan Lain
Art. : Artikel
Bdk. : Bandingkan
Kan. : Kanonik
UU : Undang-Undang
RI : Republik Indonesia
No : Nomor
Th : Tahun
PIL : Pria Idaman Lain
WIL : Wanita Idaman Lain
TTM : Teman Tapi Mesra
xxi KSPB : Kitab Suci Perjanjian Baru
PMI : Palang Merah Indonesia
LCD : Liquid Crystal Display
RT : Rukun Tetangga
RW : Rukun Warga
SJ : Serikat Yesus
Pr : Projo
dsb. : dan sebagainya
km : kilometer
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Hidup perkawinan merupakan panggilan dari Allah. Oleh karena itu hidup
perkawinan adalah sakral dan kudus, yang mendorong pasangan suami istri
menghayati kesucian persatuan laki-laki dan perempuan. Hal ini ditegaskan
Susianto Budi (2015: 9) mengatakan “Hubungan cinta kasih suami istri bersifat luhur, mulia, dan ilahi, dikehendaki Allah dan menunjuk kepada kesatuan Kristus
dan Gereja-Nya” (bdk. Ef 5:11-22).
Dalam menjalani hidup panggilan berkeluarga, penulis mengamati adanya
pasangan suami istri Katolik yang mengalami hambatan dalam hidup perkawinan,
sehingga mengakibatkan ketidak-setiaan pasangan suami istri terhadap komitmen
untuk saling menyerahkan diri seutuhnya dan perceraian, seperti terdapat dalam
Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes artikel 47 mengatakan:
Akan tetapi tidak dimana-mana martabat lembaga itu bersama-sama berseri semarak, sebab disuramkan oleh poligami, malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat cedera lainnya. Selain itu cinta perkawinan sering dicemarkan oleh cinta diri, gila kenikmatan dan ulah cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dan kemasyarakatan dewasa ini menimbulkan gangguan-gangguan yang tidak ringan terhadap keluarga (GS, art. 47).
Yohannes Paulus II dalam Amanat Apostolik Familiaris Consortio artikel
6 menggambarkan situasi keluarga dalam dunia dewasa ini sebagai berikut:
perceraian; malapetaka pengangguran; makin kerapnya sterilisasi; tumbuhnya mentalitas yang jelas-jelas kontraseptif (FC, art. 6).
Di tengah kesulitan dan tantangan zaman, ditemukan semakin meningkat
presentase jumlah perceraian dan sikap-sikap egois lainnya yang merusak relasi
dan komunikasi keluarga merupakan fenomena yang memprihatinkan dan
membuat keluarga masuk dalam kegelisahan (bdk. GS, art. 47 dan FC, art. 1).
Agung Prihartana (2013: 27) mengatakan bahwa “Keluarga mengabaikan bahkan tidak setia pada rahmat pengudusan dan sakramen baptis dan perkawinan (bdk.
FC, art. 58).
Selain itu ditemukan pasangan suami istri Katolik yang mampu
mewujudkan hidup perkawinan yang unitas dan indissolubilitas. Cinta perkawinan
itu setia dan eksklusif dari semua yang lain dan itu sampai mati (HV, art. 12).
Hello (2006: 16-17) mengatakan bahwa “Walaupun kesetiaan suami istri seringkali memberikan kesulitan-kesulitan, namun bukan hal yang mustahil, sebab
kesetiaan merupakan sesuatu yang terhormat dan berguna serta memperoleh
penghargaan tertinggi.” Barang siapa setia sampai akhir, ia akan menuai kebahagiaan. Kesetiaan dalam perkawinan bagi seorang Kristiani dipahami
sebagai tak terceraikan dan tak terbatalkan.
Penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian kepada pasangan suami istri
Katolik mengenai faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan
yang unitas dan indissolubilitas, alasannya: pertama pasangan suami istri Katolik
lebih mudah untuk memberikan jawaban secara jujur, sehingga penelitian yang
dilaksanakan lebih akurat; kedua membantu pasangan suami istri Katolik semakin
indissolubilitas; ketiga membantu pasangan suami istri Katolik semakin mewujudkan kesetiaan dan kebahagian dalam hidup perkawinan.
Faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang
unitas dan indissolubilitas, antara lain: faktor iman, pada saat pasangan suami istri Katolik menghayati perkawinan sebagai lambang cinta kasih Kristus kepada
Gereja-Nya bersifat total, penuh, tidak terbatas dan berlangsung kekal abadi,
sehingga mereka mampu menghayati perkawinan yang bersifat unitas dan
indissolubilitas (bdk. Ef 5:21-32); faktor sosial, pada saat pasangan suami istri terus menerus menjaga keutuhan dalam cinta yang eksklusif dan sepenuhnya
sepanjang hidup atau kekal tak terceraikan (bdk. Mat 19:6), sehingga praktek
poligami, apapun alasannya bertentangan dengan kehendak Allah sendiri (bdk.
GS, art. 49).
Penulis memilih usia perkawinan antara 15-30 tahun, alasannya: pertama
pada usia perkawinan 15-30 tahun dianggap pasangan suami istri Katolik sudah
matang dalam menjalani hidup perkawinan; kedua usia sekitar 40-55 tahun, saat
itu pasangan suami istri Katolik telah melewati masa krisis dalam perkawinan;
ketiga pasangan suami istri masih lengkap atau keduanya masih hidup.
Penulis memilih tempat di Wilayah Patangpuluhan, Paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus (HKTY) Pugeran-Yogyakarta, alasannya: pertama tempat penulis
berdomisili, sehingga lebih mudah dalam melaksanakan penelitian; kedua Gereja
di Wilayah Patangpuluhan bernaung dalam perlindungan Keluarga Kudus Nazaret,
Yesus, Maria, Yosef yang menjadi teladan bagi keluarga Kristiani; ketiga jumlah
pasangan suami istri Katolik yang akan diteliti sebanyak 46 pasang dari 8
Rubiyatmoko (2015: 20) menjelaskan ciri-ciri hakiki perkawinan ialah
unitas dan indissolubilitas, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen (bdk. kan. 1056). Kedua kekhasan ini
esensial, karena terlekat dan terkandung dalam setiap perkawinan sebagai realitas
natural. Kedua sifat ini merupakan data hukum ilahi kodrati, yang sudah tertanam
dalam kodrat manusia sebagai tatanan fundamental bagi kebaikan umat manusia.
Catur Raharso (2014: 100) mengatakan bahwa “Kesetiaan adalah konsekuensi langsung dan logis dari kesatuan atau monogami.”
Penulis tertarik melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai
faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan
indissolubilitas, dengan mengambil judul skripsi “Faktor-Faktor Pendukung Dalam Upaya Mewujudkan Perkawinan Yang Unitas Dan Indissolubilitas Bagi Pasangan Suami Istri Katolik Yang Usia Perkawinan 15-30 Tahun Di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.”
B.RUMUSAN MASALAH
Penulis mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang muncul sebagai
berikut:
1. Apa pengertian perkawinan Katolik yang berciri unitas dan indissolubilitas?
2. Apa faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan
3. Bagaimana upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas
bagi pasangan suami istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus
Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta?
C.TUJUAN PENULISAN
Beberapa tujuan dari penulisan sebagai berikut:
1. Menambah wawasan mengenai ciri perkawinan Katolik yang unitas dan
indissolubilitas.
2. Mengetahui faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang
unitas dan indissolubilitas bagi pasangan suami istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran-Yogyakarta.
3. Memberikan sumbangan program pendampingan iman kepada tim kerasulan
keluarga untuk membantu pasangan suami istri Katolik agar semakin mewujudkan
perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.
4. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata I Program Studi
Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
D.MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Bagi Pasangan Suami Istri Katolik
a. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin memahami sifat perkawinan
Katolik yang unitas dan indissolubilitas.
dalam upaya mewujudkan perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.
c. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin mengupayakan penghayatan
perkawinan yang unitas dan indissolubilitas dalam hidup sehari-hari.
d. Pasangan suami istri Katolik diharapkan semakin meningkatkan kekudusan
hidup perkawinan.
2. Bagi penulis
a. Penulis sebagai seorang biarawati semakin diperkaya dalam pemahaman
mengenai perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.
b. Penulis dibantu dalam melaksanakan tugas perutusan Kongregasi yang
fokusnya pada Kerasulan Keluarga.
3. Bagi Pembaca
a. Pembaca semakin memahami perkawinan Katolik yang unitas dan
indissolubilitas.
b. Pembaca semakin mengetahui faktor pendukung dalam mewujudkan
perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas.
4. Bagi Kampus
Memberikan ide-ide dan pengetahuan bagi mahasiswa prodi PAK dalam
mencari bahan mengenai faktor-faktor pendukung bagi pasangan suami istri
E.METODE PENULISAN
Metode Penulisan yang akan digunakan penulis dengan penelitian kualitatif
dan studi pustaka. Penulis mengumpulkan data dengan menyebarkan kuisioner
kepada pasangan suami istri Katolik berupa pertanyaan tertutup (memilih jawaban
yang sudah tersedia) dan pertanyaan terbuka (jawaban menurut pendapat sendiri),
agar memperoleh data yang lengkap mengenai faktor pendukung dalam upaya
mewujudkan perkawinan yang unitas dan Indissolubilitas bagi pasangan suami
istri Katolik di Wilayah Patangpuluhan Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus
Pugeran-Yogyakarta.
Defenisi metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati (Moleong, 1989: 3). Studi Pustaka digunakan untuk memperkuat
teori mengenai ciri hakiki perkawinan Katolik.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Gambaran umum mengenai sistematika penulisan yang akan dibahas di
dalam penulisan skripsi, sebagai berikut:
Bab I berisikan pendahuluan, meliputi: latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II berisikan faktor-faktor pendukung dalam upaya mewujudkan
perkawinan Katolik yang unitas dan indissolubilitas, meliputi deskripsi
perkawinan Katolik: hakikat perkawinan, tujuan perkawinan, ciri-ciri perkawinan
yang unitas dan indissolubilitas menyangkut dasar, pengertian dan implikasinya,
penghambat mempengaruhi upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan
indissolubilitas, antara lain: faktor kepribadian, internal keluarga, budaya, kesehatan, fisik, iman/agama, ekonomi dan sosial atau relasi dengan orang lain.
Bab III berisikan penelitian terhadap pasangan suami istri Katolik yang
usia perkawinan 15-30 tahun dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas
dan indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY
Pugeran-Yogyakarta, meliputi gambaran umum Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta;
gambaran umum perwujudan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas di
Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta; penelitian tentang
faktor pendukung dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan
indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki HKTY Pugeran-Yogyakarta. Bab IV berisikan pengolahan hasil penelitian dalam upaya mewujudkan
perkawinan yang unitas dan indissolubilitas, meliputi faktor pendukung dan faktor
penghambat dalam upaya mewujudkan perkawinan yang unitas dan
indissolubilitas, bahagia dengan pasangan dan tidak ingin bercerai.
Bab V berisikan program pembinaan iman: rekoleksi bagi pasangan suami
istri Katolik yang usia perkawinan 15-30 tahun dalam upaya mewujudkan
perkawinan yang unitas dan indissolubilitas di Wilayah Patangpuluhan Paroki
HKTY Pugeran-Yogyakarta, meliputi: latar belakang pemilihan program, usulan
program dalam bentuk rekoleksi, tema dan tujuan rekoleksi, matriks program,
gambaran pelaksanaan program, contoh pelaksanaan program.
Bab VI Penutup berisikan kesimpulan dan saran.
Demikian proses berpikir penulis yang dituangkan dalam skripsi ini.
perkawinan yang Unitas dan Indissolubilitas berguna bagi pasangan suami istri
BAB II
FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT
MEMPENGARUHI UPAYA MEWUJUDKAN PERKAWINAN KATOLIK YANG UNITAS DAN INDISSOLUBILITAS
Bab ini secara khusus mendalami ciri/sifat dari perkawinan Katolik yang
unitas dan indissolubilitas menyangkut: dasar, pengertian dan implikasinya. Namun sebelum membahas mengenai ciri/sifat perkawinan, terlebih dahulu
disampaikan mengenai perkawinan Katolik, menyangkut hakikat perkawinan;
tujuan perkawinan antara lain kesejahteraan suami istri (bonum coniugum),
kelahiran anak (prokreasi) dan pendidikan anak; janji perkawinan untuk setia pada
pasangan dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit; dan sakramen
perkawinan.
Kemudian mendalami faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya
mewujudkan perkawinan yang unitas dan indissolubilitas antara lain: kepribadian,
internal keluarga, budaya, kesehatan, fisik, iman/agama, ekonomi dan sosial atau
relasi dengan orang lain. Hal ini menjadi pokok pembahasan mengenai faktor
pendukung bagi pasangan suami istri Katolik dalam upaya mewujudkan
perkawinan yang unitas dan indissolubilitas.
A.PERKAWINAN KATOLIK 1. Hakikat
Hakikat perkawinan menurut Kej 1:26-28 merupakan persatuan antara
tugas bersama oleh-Nya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara
dunia. Kemudian menurut Kej 2:18-25 mengatakan bahwa kesatuan erat antara
seorang pria dan seorang wanita, atas dorongan Allah sendiri, yang mendorong
suami mampu dan mau meninggalkan ayah ibunya serta hidup bersatu dengan
istrinya sedemikian erat, sehingga keduanya menjadi satu manusia baru
(Hadiwardoyo, 2004: 13-14).
Pendahuluan dalam Konsili Trente yang mengatakan bahwa “Sejak awal
mula perkawinan merupakan suatu ikatan tetap dan tak terputuskan
(indissolubilitas),” yang didasarkan pada Kej 2:23-24; Mat 19:5 dan Mrk 10:8.
Penegasan Konsili bukan penegasan historis atau seolah-olah begitulah nyatanya
awal perkawinan di antara manusia, melainkan suatu keterangan teologis atau apa
yang dimaksud Pencipta (Groenen, 1993: 249). Hal ini ditegaskan kembali dalam
ensiklik Humanae Vitae artikel 8 mengatakan bahwa “Perkawinan itu lembaga
yang didirikan oleh Pencipta.”
Ajaran Gereja mengenai hakikat perkawinan mulai zaman Bapa-bapa
Gereja sampai zaman ini mengatakan perkawinan mempunyai martabat suci,
karena diberkati oleh Allah dan direstui oleh Tuhan Yesus. Setelah suami istri
mengungkapkan janji nikah, maka perkawinan menjadi sah. Perkawinan sah antara
dua orang Kristen merupakan sebuah Sakramen. Perkawinan sebagai lembaga
Ilahi dan komunitas seluruh hidup berdasarkan kasih serta lambang dari partisipasi
dalam hubungan kasih Kristus dan Gereja (Hadiwardoyo, 2015: 48-61).
Hakikat perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup terdapat dalam
Perjanjian (feodus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk diantara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
Beberapa defenisi perkawinan antara lain: pertama perkawinan adalah
sebuah persekutuan hidup suami istri yang penuh, total dan eksklusif, tak
terputuskan, yang melibatkan seluruh pribadi dalam semua aspek kehidupan dan
aktivitas: material-ekonomis, cinta kasih, afeksi, pelayaanan dan perhatian, relasi
seksual (Catur Raharso, 2014: 47); kedua perkawinan adalah persekutuan hidup
antara seorang pria dan seorang wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total,
dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali, dengan
tujuan antara lain: kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan
keluarga” (Gilarso, 2015: 9); ketiga Abineno (1982: 28-38) mengatakan bahwa
“Perkawinan adalah suatu persekutuan hidup antara suami dan istri yang total,
eksklusif, dan kontinyu.
Gaudium et Spes art. 48 mengatakan bahwa “Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta kasih yang mesra, yang diciptakan oleh pencipta dan
dilengkapi dengan hukumnya, diwujudkan oleh perjanjian nikah atau persetujuan
pribadi yang tak dapat ditarik kembali.” Kemudian seorang teolog keluarga
bernama M. Foley yang dikutip oleh Hello (2006: 16) mengatakan bahwa “Dalam
perkawinan seorang pria ditambah seorang wanita berkembang menjadi satu
kesatuan yang menghasilkan dua pribadi yang lebih kaya dan lebih mendalam.”
Beragamnya wujud perkawinan, maka C. Groenen (1993: 19) mengusulkan
defenisi perkawinan dari segi sosio-antropoligis, yakni “Perkawinan ialah
atau beberapa orang) justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang
oleh masyarakat yang bersangkutan (kurang lebih luas) sedikit banyak diatur,
diakui dan dilegalisasikan.”
Hadiwardoyo (2007: 5-7) melihat hakikat perkawinan dari tiga sudut
pandang yang berbeda, yakni: pertama sudut pandang yuridis bahwa perkawinan
pada hakikatnya merupakan suatu ikatan sah antara seorang pria dan seorang
wanita, sebagai suami istri; kedua sudut pandang psikologis bahwa perkawinan
pada hakikatnya merupakan persatuan menyeluruh antara seorang pria dan seorang
wanita, yang masing-masing tetap unik; ketiga sudut pandang religius bahwa
setiap perkawinan yang sah merupakan lambang dari “Perkawinan Suci” antara
Allah dan umat-Nya.
Beberapa pendapat di atas mengenai hakikat perkawinan, maka penulis
memilih persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang
didasarkan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang
tidak dapat ditarik kembali.
2. Tujuan
Tujuan perkawinan menekankan unitif dari perkawinan, yakni kesatuan
erat antara suami-isteri itu sendiri (bdk. Kej 2:18-25) dan ditegaskan dalam Mat
19:6 bahwa “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Dengan demikian
di dalam tujuan perkawinan secara inplisit mengandung unsur unitif dan
Ajaran Gereja mengenai tujuan perkawinan mulai zaman Bapa-bapa Gereja
sampai zaman ini, sebagai berikut: memudahkan pembagian warisan dan
menurunkan anak-anak yang sah serta sehat, membentuk kesatuan jiwa suami istri
dalam kasih rohaniah dan menurunkan anak-anak, pengaturan nafsu seksual dan
terbuka pada keturunan (Hadiwardoyo, 2015: 63-78).
Pedoman Pastoral Keluarga art. 7 mengatakan bahwa “Perkawinan adalah
sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, melahirkan anak, membangun
hidup kekerabatan yang bahagia dan sejahtera.” Kemudian Pedoman Pastoral
Keluarga art. 8 mengatakan bahwa “Perkawinan adalah suatu ikatan suci demi
kesejahteraan suami istri dan kelahiran anak serta pendidikannya itu tidak hanya
tergantung pada kemauan manusiawi semata-mata, tetapi juga pada kehendak
Allah.”
Setiap keputusan yang dipilih mengandung tujuan yang hendak dicapai,
sebagaimana seorang laki-laki dan seorang perempuan memutuskan untuk
menikah. Rubiyatmoko (2012: 19) dengan sederhana menunjukkan adanya 3
tujuan utama perkawinan (bdk. kan. 1055§ 1) yakni: kesejahteraan suami-istri
(bonum coniugum), kelahiran anak (prokreasi) dan pendidikan anak (bonum
prolis). Kemudian Catur Raharso (2014: 60) melihat tujuan perkawinan dalam dua aspek, yaitu kesejateraan suami istri dan kesejahteraan anak. Selanjutnya
Gilarso (2015: 11-12) mengatakan:
demi ketenangan, nama baik, kerukunan keluarga, jaminan nafkah/ ekonomi, sah dan sehatnya keturunan dan sebagainya.
Beberapa pendapat di atas mengenai tujuan perkawinan, maka penulis
memilih kesejahteraan dan kebahagiaan suami istri menyangkut relasi
inter-personal antara suami istri, persekutuan jiwa dan hati untuk saling menolong dan
membantu, terbuka bagi kelahiran anak serta mendampingi dan mendidik anak
sesuai dengan iman Katolik.
a. Kesejahteraan Suami Istri (Bonum Coniugum)
1) Pengertian Kesejahteraan
Kesejahteraan menurut pandangan Gereja terdapat dalam surat apostolik
Paus Yohanes Paulus II “Familiaris Consortio” bagian II art. 11-16 merumuskan bahwa “Keluarga sejahtera dalam kesetiaan kepada rencana Allah.” Kemudian
kesejahteraan menurut pandangan negara pasal 1 ayat 11 UU RI no. 10 th. 1992
tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejatera
merumuskan sebagai berikut:
“Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.”
Selain itu dirumuskan dalam Piagam Hak-Hak Keluarga mengenai kesejahteraan
keluarga yang terdapat dalam mukadimahnya yang isinya:
berjuang untuk mengembangkannya serta membelanya melawan semua yang menyerangnya.”
Beberapa pengertian di atas, maka keluarga disebut sejahtera bukan hanya
dilihat dari segi jasmani, ketika segala materi terpenuhi, namun juga segi rohani,
ketika hubungan dengan Tuhan dan relasi pasangan, relasi dengan keluarga dan
masyarakat terjalin dengan baik dan harmonis.
2) Aspek-Aspek Sejahtera Seutuhnya
Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa
“Keluarga sejahtera seutuhnya dalam segala aspeknya berpegang pada visi dan
paham manusia seutuhnya, termasuk dalam kehidupan keluarga.”
Keanekaragaman aspek keluarga sejahtera itu tidak bisa berdiri sendiri, melainkan
saling berkaitan di dalam keutuhan manusia dan keluarga yang sama. Dalam upaya
untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga utuh meliputi berbagai aspek yang
saling berkaitan dan merupakan upaya terus menerus dalam mewujudkannya di
tengah dunia yang terbatas ini. Aspek-aspek keluarga sejahtera meliputi Aspek
Fisik, Psikis, Intelektual, Kultural, Religius, Moral, Sosial.
3) Kesejahteraan Suami Istri
Ukuran kesejahteraan suami istri menurut Kej 2:18-25 adalah penghargaan
seseorang terhadap pasangan nikahnya (Bambang Alriyanto, 1996: 3); ketika
pasangan suami istri sadar akan pemenuhan secara terus menerus dalam diri
mereka sendiri hingga cinta timbal balik mereka tetap ada dan total (Eminyan,
pangan, papan serta pendidikan yang memadai (Eminyan, 2005: 21); ketika
pasangan suami istri bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan
pasangannya (Gilarso, 2015: 11); ketika masing-masing pihak memahami hak dan
kewajiban, saling berkorban dan saling memberi (Haskim dan Laendra, 1980: 19).
Kesejahteraan pasangan secara abstrak bisa didefenisikan sebagai suami
istri itu sendiri yang saling menyerahkan dan menerima diri pribadi (Catur
Raharso, 2014: 62). Hal ini ditegaskan oleh St.Thomas Aquino yang dikutip oleh
Catur Raharso (2014: 63) mengatakan bahwa “Cinta selalu mengarahkan
seseorang kepada dua objek sekaligus, kepada apa yang baik dan bernilai (bonum),
dan kepada orang yang dicintai itu.” Dengan demikian pengertian kesejahteraan
suami istri dalam perkawinan bukanlah kesejahteraan individualistik dua
bujangan yang hidup bersama, melainkan kesejahteraan dualistik dan altruistik
sebagai pasangan.
Kesejahteraan suami istri mengandung pengertian yang sangat kompleks
dan dinamis, karena konsep kesejateraan sangat kontekstual, ditentukan oleh
faktor budaya, mentalitas, pandangan dan gaya hidup, hukum, serta latar belakang
pendidikan serta situasi sosial ekonomi (Catur Raharso, 2014: 63). Jadi
kesejahteraan suami istri dapat tercapai jika masing-masing pribadi pasangan
saling menghargai dan menempatkan pasangannya sebagai patner cinta kasih
dalam mewujudkan kesejateraan keluarga.
Kesejahteraan suami istri adalah komunitas intim hidup dan cinta pasangan
itu sendiri, yang mereka bangun, pertahankan dan upayakan selalu dan
bersama-sama. Hal ini menuntut secara konkret pada masing-masing pihak beberapa
kebutuhan-kebutuhan hidup pasangan, berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan-keputusan mengenai hidup perkawinan dan keluarga (Catur Raharso, 2014:
63-64).
Dalam mengupayakan bonum coniugum terdapat dua aspek yakni: pertama
aspek eksternal dan lahiriah, diwujudkan dengan membangun kehidupan sebagai
pasangan; kedua aspek internal, diwujudkan dengan integrasi spiritual dan afektif
(Catur Raharso, 2014: 64). Hal ini tidak boleh dimengerti sekadar sebagai
kehidupan bersama secara fisik, melainkan lebih-lebih solidaritas (pelayanan dan
bantuan timbal balik) dan partisipasi pada setiap situasi kondisi vital pasangan.
Catur Raharso (2014: 65-66) mengatakan bahwa “Kesejahteraan suami istri
dibangun atas dasar kemampuan untuk saling menyesuaikan dan menyempurnakan
diri demi pasangannya, yang juga diwujudkan dalam relasi seksual sebagai wujud
penyerahan diri mereka secara timbal balik” (bdk. kan. 1057§ 2).
Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa
“Dalam mewujudkan dan menghayati kesatuan hati dan jiwa yang dicita-citakan, sehingga terciptalah kebahagiaan hidup berkeluarga, pada suami istri melekat beberapa pokok tanggungjawab yang meliputi membina dan mengembangkan hidup bersama, membina dan mengembangkan kesetiaan satu sama lain, mengembangkan komitmen seumur hidup, menghormati nilai pribadi manusia, mengembangkan relasi dan komunikasi serta saling mendukung dan menghayati iman.”
Dalam membangun kesejahteraan, pasangan suami istri mengalami
hambatan karena perilaku egosentris, ketika pasangan tidak mampu melihat atau
memahami suatu hal atau peristiwa di sekitarnya menurut pikiran dan perasaan
4) Beberapa Upaya Menyejahterakan Pasangan
Beberapa upaya menyejahterakan pasangan antara lain: memberikan
nafkah lahiriah (sandang, pangan dan papan) dan nafkah batiniah (hubungan
seksual), memberikan kebebasan kepada pasangannya untuk memelihara imannya
dan melaksanakan kewajiban agamanya, memberikan kebebasan-kebebasan lain
yang sewajarnya kepada pasangan lainnya untuk mengembangkan dirinya, tidak
berlaku kasar (secara fisik, moral atau psikologis) atau bahkan menyiksa
pasangannya (Raharso. 2014: 64).
b. Kelahiran Anak (Prokreasi)
Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) dalam Kej 2:18 mengatakan bahwa
Tuhan Allah berfirman "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia," dan Kej 2:23
mengatakan bahwa “Allah menciptakan manusia dari awal pria dan wanita,” serta
Kej 1:28 mengatakan bahwa Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman
kepada mereka “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu.” (bdk. GS, art. 50).
Paus Paulus VI dalam ensiklik Human Vitae artikel 12 mengatakan bahwa
“Hubungan seks suami istri itu mempunyai dua makna yang tak terpisahkan, yakni
menyatukan suami istri dan menurunkan anak (unitif dan prokreatif).” Kemudian
Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes art. 50a mengatakan bahwa “Perbuatan
khas pernikahan, dari kodratnya terarah kepada kelahiran dan pendidikan anak.”
Pedoman Pastoral Keluarga art. 13 mengatakan bahwa dengan melahirkan
karya penciptaan-Nya (bdk. FC, art. 28) dan Kej 1:28 memperlihatkan dengan
jelas bahwa Allah sendirilah yang mengangkat mereka menjadi rekan kerja dalam
karya penciptaan. Catur Raharso (2014: 68) menegaskan bahwa “Agar ada
kesepakatan nikah, perlulah mempelai sekurang-kurangnya mengetahui bahwa
perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara pria dan wanita yang terarah
pada kelahiran anak, dengan suatu kerjasama seksual.”
Hasil dari relasi intim suami istri saling memberi diri dan menikmati cinta
secara sempurna adalah mengadakan, membesarkan dan mendidik anak. Anak
adalah buah kasih orangtua. Anak adalah milik Allah yang dititipkan pada
orangtua “membuat mereka menjadi lebih manusia” (Hello, 2006: 18).
Perkawinan adalah lembaga yang ditetapkan secara bijaksana oleh Allah
Pencipta untuk mewujudkan rencana kasih-Nya bagi umat manusia, melalui
penyerahan diri timbal balik yang khas, personal dan eksklusif, suami istri
membentuk persekutuan hidup untuk saling membantu mencapai kesempurnaan
pribadi, serta kerjasama dengan Allah dalam menciptakan generasi baru dan
mendidiknya. Cinta kasih suami istri yang mengantar mereka untuk saling
mengenal hingga menjadikan mereka “satu daging,” tidak hanya untuk suami istri
berdua, melainkan memampukan mereka untuk pemberian diri setinggi mungkin
sebagai rekan kerja Allah dalam meneruskan kehidupan baru dan
menumbuh-kembangkannya menjadi pribadi manusia (Catur Raharso, 2014: 69-70).
c. Pendidikan Anak
Tanggungjawab menyejahterakan anak, terkandung pula kewajiban untuk
Karena telah memberikan kehidupan kepada anak-anak mereka, orangtua terikat kewajiban yang sangat berat untuk mendidik anak-anak mereka, dan karena itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak mereka. Tugas mendidik ini begitu berat, sehingga kalau tidak ada sulit untuk dilengkapi.”
Kemudian dalam FC, art. 36 mengatakan:
“Tugas mendidik berakar dalam panggilan utama suami istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Dengan membangkitkan dalam dan demi cinta kasih seorang pribadi yang baru yang dalam dirinya mengembangkan diri, orangtua sekaligus bertugas mendampinginya secara efektif untuk menghayati hidup manusiawi sepenuhnya.”
Catur Raharso (2014: 75) menegaskan kembali pernyataan di atas dengan
mengutip KHK kan. 1136 mengatakan bahwa “Orangtua mempunyai kewajiban
sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak,
baik fisik, sosial dan kultur, maupun moral dan religius.” Pendidikan anak harus
mengarah pada pendidikan demi masa depan anak-anak terdapat dalam GS, art.
52a mengatakan:
“Anak-anak harus dididik sedemikian rupa sehingga setelah mereka dewasa, dapat mengikuti dengan penuh rasa tanggungjawab panggilan mereka termasuk juga panggilan khusus, dan memilih status hidup, bila mereka memilih status hidup pernikahan, semoga mereka dapat membangun keluarganya sendiri dalam situasi moral, sosial dan ekonomi yang menguntungkan mereka.”
Pedoman Pastoral Keluarga art. 9 mengatakan bahwa “Berkat rahmat
sakramen perkawinan, suami istri menerima rahmat istimewa yang membuat
mereka lebih mampu menjadi suci dan mendidik anak-anak secara Katolik” (bdk.
LG, art. 11). Kemudian Pedoman Pastoral Keluarga art. 10 mengatakan bahwa
“Kehadiran anak-anak dalam keluarga merupakan anugerah sangat berharga dan
Maka anak-anak selayaknya dicintai, dihargai, diterima sepenuhnya dan
dikembangkan sebaik mungkin oleh kedua orangtua. Tugas mendidik anak
bersumber dari panggilan asli orangtua untuk berpartisipasi dalam karya
penciptaan Allah. Karena cinta dan demi cinta orangtua telah melahirkan
kehidupan baru. Selanjutnya kelahiran baru (anak) ini terpanggil untuk
berkembang dan bertumbuh menjadi pribadi manusia yang utuh dan dewasa.
Karena itu, sangatlah logis dan natural bahwa orangtua memiliki tugas dan
tanggungjawab utama dan langsung untuk membantu secara efektif anak-anak
mereka agar dapat hidup sepenuhnya sebagai pribadi manusia (Catur Raharso,
2014: 75).
Hello (2006: 19) mengatakan bahwa “Orangtua dapat melakukan tugasnya
sebagai pembimbing utama yang mengarahkan, menuntun, memberikan
pengertian dan pemahaman yang benar tentang sesuatu hal sesuai kaidah-kaidah
iman kristiani.” Keluarga menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan
iman (bdk. Ul 6:7).
3. Ciri-ciri Perkawinan Katolik
Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB) dalam Mrk 10:8; Mat 19:5 dan 1Kor 7
mengajarkan ciri/sifat perkawinan Katolik yakni monogami dan sifat tak
terputuskan.
Ajaran Gereja mengenai ciri-ciri perkawinan mulai zaman Bapa-bapa
Gereja sampai zaman ini sebagai berikut: ikatan perkawinan antara orang-orang
Kristen bersifat monogam dan tak terputuskan setelah diucapkannya “janji nikah”
merupakan lambang hubungan kasih antara Kristus dan Gereja. Perkawinan sah
antara dua orang kristen benar-benar merupakan sebuah sakramen dan ikatannya
bersifat tak terputus, monogami dan menolak poligami berdasarkan hukum ilahi
HV, art. 9 dan GS, art. 49 mengatakan bahwa “Cinta suami istri adalah setia dan
eksklusif sampai akhir hidup, demikianlah mempelai dan pengantin memahaminya
pada hari mereka dengan bebas dan sadar saling mengikat dengan janji nikah
mereka.” Kemudian FC, art. 19 mengatakan bahwa “Perjanjian kasih perkawinan
suami isteri „bukanlah dua, melainkan satu‟ dan dipanggil untuk senantiasa
tumbuh dalam kesatuan dan kesetiaan setiap hari, dengan berpegang teguh pada
janji perkawinan untuk penyerahan diri timbal balik.”
Perkawinan Katolik memiliki ciri-ciri hakiki, yang membedakannya
dengan perkawinan lain. Rubiyatmoko (2012: 20) mengungkapkan kekhasan
perkawinan Katolik dengan mengutip KHK kan. 1056 mengatakan “Ciri-ciri
hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (tak
terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus
atas dasar sakramen”. Dua ciri hakiki perkawinan, yaitu kesatuan (unitas) dan tak terputuskan (indissolubilitas) yang merupakan ciri esensial karena melekat dan
terkandung dalam setiap perkawinan sebagai realitas natural (Catur Raharso, 2014:
94). Perkawinan yang baik harus memiliki dan memperjuangkan ciri-ciri berikut:
monogami, tak terceraikan, terbuka bagi keturunan dan keluarga Kristiani adalah
“Gereja mini” (Gilarso, 2015: 12-13).
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai ciri perkawinan Katolik, maka
penulis memilih monogami artinya perkawinan yang dilakukan antara seorang
terceraikan artinya suatu perkawinan yang berlangsung seumur hidup dan tidak
dapat diputuskan dengan alasan apapun dan oleh siapapun, kecuali oleh kematian.
a. Unitas (kesatuan) 1) Dasar Unitas
Dasar unitas terungkap dalam KSPL dan KSPB menjadi “satu daging”
(Kej 2:24; Mrk 10:8; Mat 19:5; Ef 5:31) yang isinya “Sebab itu seorang laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging.” Cinta kasih suami isteri sungguh-sungguh
merupakan cinta kasih perjanjian yang bersifat eksklusif dan tetap (bdk. Ams
5:15-20).
Kej 1:27 dan Kej 2:24 dengan tegas dan berwibawa merestui cita-cita suci
perkawinan monogam sebagai perkawinan yang memenuhi kehendak Allah,
karena melambangkan kesetiaan kasih antara Yahwe dan umat-Nya (Bambang
Alriyanto, 1996: 3, 5). Kemudian St. Paulus dalam 1Kor 7 dan Ef 5 dengan sikap
yang cukup keras dan tegas memperjuangkan nilai perkawinan yang monogam tak
terceraikan, dengan berpegang pada faham penciptaan (Bambang Alriyanto, 1996:
58).
Paus Pius XI dalam ensiklik “Casti Cannubii” mengatakan bahwa ikatan perkawinan bersifat monogami dan tak terputus berdasarkan hukum ilahi dan perlu
dilaksanakan dengan kasih yang teguh. Kemudian Konsili Vatikan II dalam
konstitusi “Gaudium et Spes” bahwa praktik poligami dan perceraian mengaburkan martabat perkawinan, dan sifat monogami dan tak terputusnya
ikatan perkawinan muncul dari sifat kodrati kasih suami istri, diajarkan oleh
Selanjutnya Paus Pius VI dalam ensiklik “Humanae Vitae” menghubungkan sifat monogami dan tak terputusnya ikatan perkawinan dengan sifat-sifat khas kasih
suami istri yang eksklusif dan setia. Akhirnya Paus Yohanes Paulus II dalam
amanat apostoliknya “Familiaris Consortio” mengajarkan bahwa sifat monogam dan tak terputusnya ikatan perkawinan bersumber pada kasih suami istri dan
disempurnakan oleh Roh Kudus dalam Sakramen Perkawinan.
Rubiyatmoko (2012: 21) menegaskan kembali dengan mengutip kan. 1056
“Ciri hakiki perkawinan ialah unitas (kesatuan) menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan”. Dengan unsur unitif dimaksud sebagai unsur yang menyatukan suami istri secara lahir dan batin. Sedangkan unsur monogam
menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah jika dilaksanakan hanya antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Katekismus Gereja Katolik
(KGK) artikel 1645 mengatakan bahwa “Kesatuan perkawinan yang dikukuhkan
oleh Tuhan tampak secara jelas dari martabat pribadinya yang sama baik pria
maupun wanita, yang harus diterima dalam cinta kasih timbal balik dan penuh.”
Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang tiada
taranya pria dan wanita saling menyerahkan dan menerima diri dalam cinta kasih
total tanpa syarat dan secara eksklusif. Hal ini mau menegaskan bahwa pasangan
suami istri saling menyerahkan diri secara total dan eksklusif, sehingga tidak ada
alasan untuk poligami (Go, 2005: 17).
Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa
“Persekutuan suami istri berakar dalam sifat saling melengkapi secara kodrati,
yang terdapat antara pria dan wanita, dan makin dikukuhkan oleh kerelaan pribadi
saling berbagi apa yang dimiliki dan seluruh kenyataan mereka.” Hal ini mau
mengatakan bahwa dalam perkawinan, seorang laki-laki dan seorang perempuan
dengan cinta yang penuh, total, dan tidak terbagi-bagi, saling menyerahkan diri
seutuhnya, sehingga mendorong suami istri untuk mewujudkan persatuan yang
semakin kaya di antara mereka.
Dalam kehidupan di masyarakat, dapat ditemukan pasangan suami istri
yang tidak setia pada dasar monogami perkawinan dengan melakukan tindakan
poligami, karena alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan bila istri tidak
dapat melahirkan keturunan. Tentu hal ini bertentangan dengan monogami, karena
istri diperlakukan menurut sifat-sifat tertentu dan tidak menurut martabatnya
sebagai manusia. bdk. dengan gagasan janji perkawinan: kasih-setia dalam
suka-duka, untung-malang, sehat-sakit (Go, 2005: 17).
2) Pengertian Unitas
Pandangan Gereja mengenai unitas sebagai perjanjian pernikahan pria dan
wanita “Bukan lagi dua melainkan satu” (Mat 19:6; bdk. Kej 2:24), yang dipanggil
untuk tetap bertumbuh dalam persekutuan melalui kesetiaan dari hari ke hari
terhadap janji pernikahan untuk saling menyerahkan diri seutuhnya. Pandangan
Negara mengenai unitas terdapat dalam UU RI no. 1/1974 bab 1 pasal 3
mendefenisikan perkawinan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri.”
Kesatuan atau unitas menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan.
secara lahir batin. Sedangkan unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan
hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
(Rubiyatmoko, 2012: 21).
Perkawinan adalah kesatuan (unitas, unity) relasi antara seorang pria dan
seorang wanita untuk hidup sebagai suami istri sepanjang hayat melalui perjanjian
yang bersifat eksklusif (Catur Raharso, 2014: 95). Tindakan atau perilaku yang
bertentangan dengan kesatuan relasi suami istri, yaitu poligami (poligini artinya
seorang pria beristri lebih dari satu perempuan atau poliandri artinya seorang
wanita bersuami lebih dari satu laki-laki), sekaligus kontra ketidaksetiaan, karena
ketidaksetiaan melanggar kesatuan perkawinan karena kesetiaan adalah
konsekuensi langsung dan logis dari kesatuan atau monogami (Catur Raharso,
2014: 97, 100). Selanjutnya Go (2005: 16) mengatakan bahwa “Monogami berarti
perkawinan antara seorang pria dan seorang perempuan, jadi lawan dari poligami
atau poliandri.”
Keseluruhan defenisi mengenai unitas mengandung pengertian bahwa
perkawinan itu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersatu lahir
batin seumur hidup secara eksklusif.
3) Impikasi atau konsekuensi Unitas
Pasangan suami istri dengan mengikrarkan janji perkawinan menyadari
konsekuensi dari perkawinan untuk tetap setia dan mencintai pasangannya dengan
tidak poligami. Implikasi atau konsekuensi unitas dengan mengesampingkan
poligami simultan dan poligami suksesif serta hubungan intim dengan pihak ketiga
dengan kesetiaan (Go, 1990: 7). Dalam hal ini menolak poligami simultan
maksudnya dituntut ikatan perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang
sama dan poligami suksesif artinya berturut-turut kawin cerai, sedangkan hanya
perkawinan pertama yang dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak
sah.
KHK kan.1056 mengenai ikatan perkawinan yang unitas, eksklusif dan
indissolubilitas. Kemudian ditegaskan dalam Gaudium et Spes artikel 49 mengatakan bahwa “Sebagai pemberian diri timbal balik antara dua pribadi,
persatuan yang mesra itu, begitu pula kepentingan anak-anak menuntut kesetiaan
seutuhnya dari suami istri, dan meminta kesatuan yang tak terceraikan antara
mereka.”
b. Indissolubilitas (tak terputuskan) 1) Dasar Indissolubilitas
Go (2005: 18) mengatakan dasar indissolubilitas terungkap dalam KSPB
misalnya Mrk 10:2-12; Mat 5:31-32; 19:2-12; Luk 16:18. Dalam Kitab Suci
dikisahkan orang Farisi bertanya kepada Yesus “Apakah diperbolehkan suami
menceraikan istrinya?” Yesus menegaskan “Apa yang telah dipersatukan Allah,
janganlah itu diceraikan manusia” (Mat 19:6) dan pasangan suami istri yang
bercerai serta kawin lagi melakukan perbuatan zinah (bdk. Mat 19:9; Mrk 10:12).
Jelas dalam teks Mat 19:2-12 dan Mrk 10:2-12 menyatakan penolakan Yesus
terhadap perceraian. Ia memahami izin perceraian yang diberikan oleh hukum
Musa sebagai suatu hal yang terpaksa diberikan karena ketegaran hati orang-orang
sendiri yang telah menyatukan suami-istri, agar mereka menjadi “satu daging”.
Dengan perkataan lain Yesus mengajarkan bahwa perkawinan itu menurut
kehendak Allah harus bercirikan “tak terceraikan” (Hadiwardoyo, 2004: 22).
Pedoman persiapan perkawinan di lingkungan Katolik mengatakan bahwa
“Pasangan suami istri Katolik menyadari bahwa perkawinan itu dikehendaki dan
diberkati oleh Allah, sehingga tidak ada satu alasanpun dapat memutuskan
perkawinan.” Bila terjadi perceraian kemudian menikah lagi, mereka hidup
dalam perzinahan. Sifat perkawinan yang tak dapat diputuskan berakar pada
panggilan Allah yang mempersatukan seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri, sehingga apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia (bdk. Mat 19:6) dan memperoleh dasar kebenarannya dalam rencana yang
diwahyukan oleh Allah, Ia menghendaki serta menganugerahkan sifat tak
terbatalkan pernikahan sebagai buah hasil, sebagai lambang dan tuntutan cinta
yang mutlak setia, kasih Allah terhadap manusia dan kasih Tuhan Yesus terhadap
Gereja.
Dalam perkawinan pasangan suami istri selain dituntut untuk hidup dalam
persekutuan (kesatuan), juga hidup dalam penyerahan diri seumur hidup, demi
kesejahteraan pasangan maupun demi kepentingan anak-anak, sehingga tidak ada
alasan apapun untuk bercerai. Ajaran Kitab Suci dengan tegas mengatakan kepada
pasangan suami istri untuk setia dan menolak percerian maupun perzinahan, yang
menjadi tantangan dalam menghayati janji perkawinan jaman sekarang, sebab
perceraian dan perselingkuhan zaman ini dianggap hal yang biasa, sehingga orang
kurang menghayati janji perkawinan yang diikrarkan untuk setia seumur hidup
Ajaran Gereja dalam Konsili Trente Denzinger artikel 1801 mengatakan
bahwa “Perkawinan sebagai sakramen, tandanya perkawinan itu sendiri, yang
merupakan kesatuan kehendak dan kesatuan tubuh.” Tanda ini menghasilkan apa
yang ditandakan yakni kesatuan yang tak terceraikan di antara dua pribadi dan
menunjuk kepada realitas yang lebih dalam yaitu kesatuan Kristus dan
Gereja-Nya.”
Hal ini ditegaskan kembali oleh Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes
art. 48 mengatakan:
“Persekutuan mesra hidup perkawinan dan cinta itu telah ditegakkan oleh Pencipta sendiri dan diaturnya dengan undang-undang-Nya, dan sudah jauh berakar di dalam janji perkawinan dengan kesepakatan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Karenanya dengan tindakan kemanusiaan itu, dengan mana suami istri saling memberi dan menerima, timbullah suatu perkerabatan yang menurut kehendak Ilah