• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap umat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap umat"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan anugerah yang diberikan Tuhan pada setiap umat manusia. Setiap anak dilahirkan dengan berbagai kemampuan, bahkan ketika ia dilahirkan. Orang tua yang diberi anugerah anak kemudian mempunyai tanggung jawab yang besar agar mampu menjaga dan mendidik anak sehingga dapat tumbuh kembang sebagaimana mestinya. Tidak dapat disangkal lagi, orang tua merupakan pemberi stimulus pertama kali yang akan menunjang segala kemampuan anak dikemudian hari, terutama dalam usia satu sampai enam tahun yang sering kali disebut sebagai “usia emas” (the golden age) karena pentingnya usia ini dalam tahap perkembangan seorang anak (Nugraha, 2003).

Pada usia ini seluruh aspek perkembangan kecerdasan tumbuh dan berkembang sangat luar biasa. Para ahli berpendapat bahwa perkembangan kecerdasan anak berkembang cepat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Pada usia inilah perkembangan anak terjadi dengan pesatnya, segala kemampuan yang ada dalam diri anak akan segera berkembang dalam usia ini, jika orang tua kurang memahami apa yang terjadi pada anak dan kurang memberi stimulus yang tepat, maka yang terjadi adalah perkembangan yang kurang optimal. Pada usia ini umumnya seorang anak disebut juga sebagai usia pra sekolah, karena dalam rentang perkembangan usia ini seorang anak umumnya diikutsertakan oleh orang

(2)

tua dalam program pendidikan pra sekolah baik itu formal, non formal, maupun pendidikan program pra sekolah informal (Nugraha, 2003).

Pendidikan anak pra sekolah (PAPS) pada tahun-tahun awal kehidupan seseorang sangat penting. Sejak seorang bayi lahir, sel-sel otak berkembang secara luar biasa dan membuat sambungan antar sel. Proses yang kemudian membentuk pengalaman yang akan dibawa seumur hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Ann Kesis (dalam Beth, 1997) menunjukkan lebih dari 50 persen perkembangan individu, terutama pertumbuhan dan perkembangan otak terjadi pada usia pra sekolah. Usia pra sekolah, khususnya usia tiga sampai lima tahun merupakan periode penting bagi pertumbuhan dan perkembangan otak sehingga sering disebut sebagai masa peka. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik dan psikis (intelektual, motorik, bahasa, sosial dan emosional).

Menurut Mc Devita dan Ormord (dalam Rifai 1993), ada beberapa perkembangan yang dijalani oleh anak pada masa kanak-kanak awal (usia dua sampai enam tahun) yaitu perkembangan fisik, kognitif, intelegensi, perkembangan bahasa, kemampuan literasi, emosional, moral, sosial, perkembangan motivasi serta hubungan interpersonal. Selanjutnya anak akan terus berkembang sesuai tahap perkembangannya. Seiring perkembangan anak tersebut, segala kemampuan anak pun akan semakin meningkat. Agar

(3)

pertumbuhan dan perkembangan tercapai secara optimal, maka dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak.

Menurut Fagot dan Gauvam (dalam Murray, 1997) bimbingan kognitif dari orang tua juga sangat menentukan perkembangan kognitif tiga tahun pertama. Anak yang mendapatkan petunjuk-petunjuk praktis serta strategis pada saat bermain bebas dari ibunya, mendapatkan skor kecerdasan yang tinggi pada usia lima tahun. Berdasarkan hasil penilaian guru, anak-anak tersebut kurang bermasalah dalam hal belajar. Namun sebaliknya menurut Hart (dalam Murray, 1997) anak-anak yang ibunya sering memberikan komentar atau pengarahan pada tugas-tugas akan mendapatkan skor kecerdasan lebih rendah dan peringkat yang tinggi pada ketidakmampuan belajar . Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Burgess (1997) bahwa kepedulian akan bahasa pada orang tua memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan sensitivitas fonologi anak.

Perkembangan bahasa anak diusia pra sekolah merupakan salah satu dari sekian banyak kemampuan anak yang berkembang pesat pada usia ini. Hal ini karena perkembangan anak ditandai dengan masa peka terutama dalam hal perkembangan bahasa. Masa peka inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi perkembangan pada masa selanjutnya. Jika masa peka perkembangan bahasa ini terlewatkan begitu saja, maka orangtua akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan anak dengan kemampuan berbahasa yang optimal.

Anak yang memiliki kecerdasan lebih dalam berbahasa akan terlihat kemampuan yang lebih dalam hal mengarang, membaca, berdiskusi hingga berpidato di depan umum (Sunarti, 2004).

(4)

Stimulus berupa ajakan untuk berbahasa akan membuat percabangan otak menjadi lebih banyak dan daerah kortikal otak lebih tebal, sehingga anak menjadi lebih terampil, kemampuan berbahasa berkembang dengan pesat dan koordinasi indera menjadi lebih baik. Otak yang jarang atau tidak pernah digunakan karena tidak mendapatkan stimulasi untuk berbahasa akan menyebabkan musnahnya sambungan dan percabangan daerah kortikal otak (Sunarti, 2004).

Proses berbahasa melibatkan sejumlah saraf otak untuk menyusun kata- kata agar dapat dipahami. Berbahasa juga dapat dipahami sebagai proses berpikir.

Sejak awal usia batita (bawah tiga tahun), anak mulai mampu mengucapkan sebuah kata yang mempunyai arti, tetapi belum mampu mengucapkan kata dengan artikulasi yang baik dan benar seperti orang dewasa. Oleh karena itu pengucapan seorang anak pada usia ini lebih merupakan potongan kata. Kemampuan berbahasa dipengaruhi oleh kematangan otak, khususnya limbik otak bahasa dan pengaruh lingkungan, terutama dipengaruhi oleh orang tua. Semakin banyak orang tua memberikan stimulus pada anak, maka efeknya akan bersifat positif yaitu anak akan semakin kaya dengan kosa kata. Dengan kata lain, semakin sering orangtua merespon ajakan anak untuk berkomunikasi, mengenalkan banyak konsep, dan benda, maka perkembangan bahasa anak akan semakin baik (Sears, 2004).

Menurut Hurlock (1993) ada tiga hal yang mempengaruhi kemampuan berbahasa seorang individu, pertama yaitu intelegensi. Dimana perilaku berbahasa pada umumnya mengikuti perkembangan kognitif seorang anak. Hal ini mencerminkan logika dari proses berpikir anak. Kedua adalah status sosial

(5)

ekonomi. Dalam keluarga kelas rendah, kegiatan keluarga cenderung kurang terorganisasi daripada keluarga kelas menengah keatas. Jarang terjadi pembicaraan antar anggota keluarga dan anak kurang didorong untuk berbicara.

Ketiga adalah pendidikan orang tua. Orang tua yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memahami peran penting stimulus dalam merangsang kemampuan berbahasa anak, sehingga dari orang tua yang berpendidikan lebih tinggi akan lahir anak yang memiliki perkembangan kemampuan berbahasa yang tinggi pula.

Anak yang tumbuh dan berkembang dengan baik ditandai dengan perkembangan bahasa yang meningkat baik. Hal ini juga ditunjukkan dengan kemampuan anak secara bertahap berubah dari melakukan ekspresi suara kemudian berekspresi dengan berkomunikasi dan dari hanya berkomunikasi dengan menggunakan gerakan dan isyarat untuk menunjukkan kemauan, berkembang menjadi komunikasi melalui perkataan yang tepat dan jelas (Patmonodewo, 2003).

Anak pra sekolah biasanya telah mampu mengembangkan keterampilan berbahasa melalui percakapan yang dapat menarik perhatian orang lain. Mereka dapat menggunakan bahasa dengan berbagai cara, antara lain dengan bertanya, melakukan dialog dan bernyanyi. Sejak berusia dua tahun anak memiliki minat yang tinggi untuk menyebut berbagai nama benda. Minat tersebut akan terus berlangsung dan meningkat bersamaan dengan bertambahnya perbendaharaan kata dari yang telah dimiliki sebelumnya (Patmonodewo, 2003).

(6)

Hal-hal disekitar anak akan mempunyai arti apabila anak mengenal nama diri. Pengalaman dan situasi yang dihadapi anak akan mempunyai arti apabila anak mampu menggunakan kata-kata untuk menyebut benda-benda atau menjelaskan peristiwa. Dengan demikian akan membantu anak untuk membentuk gagasan yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Pendengar ataupun penerima berita akan mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh pengirim berita melalui bahasa yang digunakan. Anak-anak dapat menggunakan bahasa dengan ungkapan yang lain, misalnya bermain peran, isyarat yang ekspresif, dan melalui bentuk seni contohnya menggambar. Ungkapan tersebut dapat merupakan petunjuk bagaimana anak memandang lingkungan sekitarnya dalam kaitan dirinya dengan orang lain (Patmonodewo, 2003).

Selanjutnya anak akan memasuki tahap perkembangan bahasa yang lebih tinggi yaitu pembentukan konsep-konsep yang sederhana mengenai kenyataan- kenyataan yang bersifat sosial dan yang bersifat fisik. Pada waktu lahir anak mengalami ketidakteraturan dalam dunianya. Seiring perkembangan anak akan belajar mengamati benda dan membuat generalisasi serta mengarahkan pada satu nama, misalnya bulat, binatang, manusia (Rifai, 1993).

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995) dorongan terhadap kemampuan berbahasa anak berhubungan erat dengan pembinaan dari keluarga. Keluarga dan suasana keluarga memegang peran utama untuk menanamkan dan mengembangkan kemampuan berbahasa anak. Bagaimana orang tua menerapkan keterlibatannya terhadap anak memegang peranan penting dalam menanamkan dan membina kemampuan berbahasa.

(7)

Orang tua adalah guru pertama bagi anak. Apabila anak telah masuk sekolah, orang tua adalah mitra kerja yang utama bagi guru. Orang tua juga mempunyai berbagai peran yaitu orang tua sebagai pelajar, relawan, pembuat keputusan, dan sebagai anggota tim kerja sama antara guru dan orang tua. Peran- peran tersebut memungkinkan orang tua membantu meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka (Patmonodewo, 2003).

Lingkungan tempat anak hidup selama tahun pembentukan awal hidupnya mempunyai pengaruh kuat pada kemampuan mereka. Pengaruh orang tua pada awal perkembangan anak tetap akan tampak nyata walaupun waktu yang dihabiskan lebih banyak dengan anggota kelompok teman sebayanya, di lingkungan tempat tinggal dan sekolah. Empat alasan yang menjadikan pendidikan awal sangat penting yaitu pertama, hasil belajar dan pengalaman merupakan peran dominan dalam perkembangan seiring bertambahnya usia anak, mereka dapat diarahkan kearah penyesuaian yang lebih baik. Pada dasarnya tugas ini harus ditangani oleh keluarga, walaupun kelompok sosial yang lebih besar juga dapat memberi pengaruh budaya dimana anak-anak dapat memenuhi kemampuannya (Hurlock, 1993).

Alasan kedua, pendidikan awal cepat berkembang menjadi pola kebiasaan, hal ini akan mempunyai pengaruh sepanjang hidup dalam penyesuaian pribadi dan sosial anak. Alasan ketiga, bertentangan dengan keyakinan popular, anak-anak tidak melepaskan ciri bawaan yang tidak disukai dengan bertambahnya usia mereka. Sebaliknya sebagaimana ditekankan sebelumnya, pola sikap dan perilaku yang dibentuk pada awal kehidupan cenderung bertahan walaupun hal itu bersifat

(8)

buruk bahkan jika itu merupakan sesuatu yang menguntungkan atau merugikan penyesuaian anak (Hurlock, 1993).

Alasan keempat, karena ada sesuatu perubahan yang diinginkan dalam apa yang diajarkan pada anak, semakin cepat perubahan itu dibuat, semakin mudah bagi anak-anak untuk berubah sehingga anak lebih mudah bekerja sama dalam mengadakan perubahan itu (Hurlock, 1993).

Menurut Ann Kesis (dalam Beth, 1997) bahasa menggunakan banyak sekali aktivitas motor dan otak, sehingga intervensi guna meningkatkan keterampilan berbahasa merupakan hal yang sangat kritis dan akan memperluas kemampuan mental. Betty Tood (dalam Beth, 1997) yang meneliti lingkungan berbahasa di rumah menemukan perbedaan yang signifikan dalam lingkungan berbahasa yang berbeda yaitu antara anak yang dibesarkan di lingkungan kumuh, kelas menengah dan keluarga profesional.

Orang tua yang berasal dari keluarga kumuh sangat jarang mengajak anaknya untuk berbicara dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas menengah dan keluarga profesional. Pada usia lima tahun, anak yang berasal dari keluarga kumuh, baru menguasai sedikit perbendaharaan kata, umumnya hal ini karena orang tua mereka hanya berbicara kepada mereka bila hendak mengajarkan displin dan bukan dalam pengertian berkomunikasi dengan mereka. Penelitian- penelitian tersebut menitikberatkan pada kualitas interaksi antara orang tua dan anak yang sangat signifikan perannya, tercermin dari bahasa yang digunakan anak, secara sengaja atau tidak sengaja meningkatkan keterampilan dan kemampuan berbahasa anak (Beth, 1997).

(9)

Kemampuan berbahasa anak juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor, salah satu yang paling penting diantaranya adalah kebutuhan anak untuk berbahasa sebagai penyeimbang bagi kebutuhan lain yang tidak terpenuhi dalam kehidupan anak. Misalnya, anak yang tidak memperoleh kasih sayang, pada waktu mereka bersama dengan orang dewasa lebih banyak menuntut perhatian daripada anak yang memperoleh kasih sayang yang cukup dari orang tua. Keluarga yang menggunakan pendekatan otoriter terhadap anak memiliki keyakinan tradisional bahwa “anak seharusnya dilihat bukan didengar”. Hal ini menyebabkan anak kurang belajar berbahasa daripada anak berada dalam keluarga yang menggunakan disiplin permisif atau demokratis. Keluarga yang permisif memperbolehkan anak bicara pada waktu dan sebanyak yang mereka inginkan (Hurlock, 1993).

Keluarga yang demokratis mendorong anak untuk mengungkapkan pendapat mereka dan berperan serta dalam percakapan keluarga sebagai bagian dari filsafat keluarga yang demokratis. Anak dari keluarga besar umumnya kurang belajar berbahasa daripada anak yang berasal dari keluarga kecil, sebagian karena dalam keluarga besar diterapkan pendekatan yang otoriter dan adanya tekanan jumlah pembicaraan setiap anggota keluarga untuk menghindarkan kebisingan. Anak pertama umumnya didorong untuk berbicara lebih banyak dan lebih banyak memperoleh bantuan orang tua dalam belajar berbahasa ketimbang saudara mereka yang lahir kemudian (Hurlock, 1993).

Berdasarkan hasil survei pra penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada Taman Kanak-Kanak Namira di Pasar I Tanjung Rejo dan hasil wawancara

(10)

dengan kepala sekolah salah satu taman kanak-kanak di kota Medan diperoleh data jika terdapat masalah dalam kemampuan berbahasa anak, hal ini akan terlihat sejak anak tersebut berada di Taman Bermain (play group). Persentase anak yang mengalami masalah dengan kemampuan berbahasa sekitar sepuluh persen dari jumlah populasi tiap kelasnya. Taman kanak-kanak ini satu kelasnya rata-rata terdiri dari 15 orang siswa, berarti sekitar dua orang anak mengalami masalah dengan kemampuan berbahasa untuk setiap kelasnya, mulai dari masalah ringan seperti masalah dalam pengaturan dan perbendaharaan kata hingga masalah kemampuan berbahasa yang cukup berat seperti sedikitnya frekuensi berbahasa pada anak pra sekolah tersebut.

Para orang tua banyak yang cenderung menyerahkan sepenuhnya pengawasan, yang seharusnya dilakukan oleh orang tua pada pengasuh dan menyerahkan proses pendidikan sepenuhnya pada pendidik di sekolah, tetapi sebaliknya, jika anak tersebut mengalami sesuatu hal ataupun ada masalah dengan proses perkembangan anak, orang tua akan menyalahkan para pendidik di sekolah. Oleh karena itu orang tua menjadi kurang paham stimulus apa yang seharusnya diberikan pada anak agar anak dapat tumbuh kembang dengan optimal. Terutama dalam masalah bahasa, anak dalam usia pra sekolah sangat tergantung dengan stimulus yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya, terutama untuk lingkungan keluarga sebagai lingkungan terdekat dengan anak. Data ini didapat melalui hasil wawancara dengan kepala sekolah Taman Kanak-Kanak Namira di Pasar I Tanjung Rejo dan observasi yang dilakukan oleh peneliti pada

(11)

hari Kamis tanggal 15 Februari 2007 jam 07.50 ketika anak-anak akan masuk sekolah.

Hasil wawancara peneliti dengan kepala sekolah Taman Kanak-Kanak Namira di Pasar I Tanjung Rejo juga menunjukkan bila anak yang mengalami masalah dalam kemampuan berbahasa ditangani sejak dini maka masalah tersebut akan semakin berkurang, terutama jika anak tersebut sehat secara fisik dan mengalami gangguan perkembangan bahasa hanya karena kurangnya stimulus yang diperoleh dari lingkungan keluarga. Hal ini juga dihubungkan dengan peran serta pendidik untuk mengkomunikasikan masalah kemampuan berbahasa dengan para orang tua, salah satu caranya dengan membuat buku komunikasi dan mengundang orang tua dari anak yang mengalami masalah maupun yang tidak mengalami masalah untuk datang ke sekolah menghadiri pertemuan orangtua dengan pendidik sebulan sekali dan kemudian menangani masalah anak secara bersama-sama.

Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2004), melalui teori sistem ekologinya menjelaskan bahwa perkembangan anak yang dihubungkan pada interaksi anak dengan lingkungannya secara terus-menerus saling mempengaruhi satu sama lain secara transaksional. Lingkungan anak di rumah adalah lingkungan yang pertama, dengan meningkatnya usia anak akan mengenal teman sebaya di luar rumah atau dari lingkungan tetangga. Selanjutnya anak akan masuk lingkungan sekolah, dimana mereka akan mengenal pula teman sebaya, orang dewasa lain dan tugas- tugas di sekolah.

(12)

Bronfenbrenner (dalam Santrock, 2004) juga menegaskan lingkungan anak pra sekolah terdiri dari lima lapisan yaitu kronosistem, makrosistem, ekosistem, mesosistem, dan mikrosistem dimana masing-masing mengandung ekologi yang berorientasi pada enam hal, pertama, lingkungan fisik, terdiri dari objek, materi dan ruang. Lingkungan fisik yang berbeda akan mempengaruhi anak. Sebagai contoh anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan objek yang serba mewah, alat mainan yang bervariasi serta ruang gerak yang luas, akan lebih memungkinkan berkembang secara optimal bila dibandingkan dengan mereka yang serba kekurangan dan tinggal di rumah yang sempit.

Kedua, lingkungan yang bersifat aktivitas, terdiri dari kegiatan bermain, kebiasaan sehari-hari, dan upacara yang bersifat keagamaan. Sebagai contoh anak yang aktivitas sehari-hari diisi dengan kegiatan yang bermakna misalnya bermain bersama dengan ibu, hasilnya lebih berkualitas dibandingkan bila anak bermain sendiri. Ketiga, berbagai orang yang ada disekitar anak dapat dibedakan dalam usia, jenis kelamin, pekerjaan, status kesehatan dan tingkat pendidikannya.

Lingkungan anak akan lebih baik bila orang-orang disekitarnya berpendidikan dibandingkan bila lingkungannya terdiri dari orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan formal (Santrock, 2004).

Keempat, sistem nilai yaitu sikap dan norma. Ekologi anak lebih baik apabila anak diasuh dalam lingkungan yang menanamkan disiplin yang konsisten, daripada bila anak tinggal di lingkungan dengan aturan yang tidak menentu.

Kelima, komunikasi antar anak dan orang disekelilingnya akan menentukan perkembangan sosial dan emosi anak. Keenam, hubungan yang hangat dan anak

(13)

merasa kebutuhannya terpenuhi oleh lingkungannya, akan menghasilkan perkembangan kepribadian yang lebih mantap dibandingkan apabila hubungannya lebih banyak mendatangkan kecemasan (Santrock, 2004).

Newfeld (1997) menyatakan bahwa orang tua berperan sangat penting dalam perkembangan bahasa yaitu dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk berinteraksi dengan segala materi tulisan. Begitu pula kesuksesan dalam membaca dan menulis di sekolah, diawali dengan pembelajaran di rumah.

Murray (1997) berpendapat bahwa kenyataan menunjukkan dejarat intensitas orang tua berbicara dengan anak-anaknya semasa pra sekolah merupakan determinan yang sangat kuat terhadap prestasi akademik yang akan datang. Namun pada kenyataannya banyak para orang tua yang mengetahui perannya dalam mempengaruhi pertumbuhan kognitif anak, tetapi masih banyak yang belum menyadari betapa pentingnya peran orang tua dalam mempersiapkan kesiapan anak untuk berbahasa.

Slabbert (1997) menegaskan bahwa skor perbendaharaan kata, pengetahuan akan literacy dan pengalaman dengan bacaan, berkolerasi dengan kemampuan menulis pada anak-anak yang secara aktif diajari oleh orang tuanya.

Hal ini menunjukkan bahwa orang tua yang berperan aktif menemani bahkan mengajarkan perbendaharaan kata, menemani anak membaca berbagai sumber bacaan yang sesuai dengan usia perkembangan anak, akan turut serta pula mengembangkan kemampuan menulis anak tersebut.

Lingkungan, dorongan dan rutinitas pemberian kebiasaan membaca dan menulis, meningkatkan perkembangan kemampuan berbahasa anak secara

(14)

signifikan. Demikian pula membaca dan berbagi pengalaman tentang buku seorang anak sebagai kegiatan sehari-hari dan rutin mereka (Alexander, 1997).

Melalui uraian diatas mengenai kemampuan berbahasa anak, khususnya mengenai perkembangan kemampuan berbahasa seorang anak, peneliti ingin mengetahui bagaimana perkembangan kemampuan berbahasa anak sesuai dengan tahap perkembangan bahasanya, khususnya pada anak pra sekolah. Maka permasalahan yang akan diteliti adalah gambaran kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah di kota Medan.

I. B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya maka peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah, artinya bagaimanakah kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah di kota Medan? Hal-hal apa saja yang menjadi pengaruh tumbuh kembangnya kemampuan berbahasa seorang anak, terutama anak pra sekolah ? Inilah yang menjadi fokus peneliti untuk melakukan penelitian deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah di kota Medan.

I. C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah di kota Medan.

(15)

I. D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat mengenai gambaran kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat pengembangan ilmu psikologi, khususnya dibidang psikologi pendidikan terutama mengenai kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi mengenai gambaran perkembangan kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah di kota Medan.

Sehingga kemudian akan diketahui sejauh mana kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah di kota Medan, hal apa saja yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa tersebut, dan apakah kemampuan berbahasa anak pra sekolah di kota Medan sudah sesuai dengan tahap perkembangan bahasanya.

Serta selanjutnya dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai saran bagi para orang tua dan pengajar untuk memberikan stimulus berbahasa yang tepat pada anak agar dapat berkembang dengan optimal.

(16)

I. E. Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini akan disusun berdasarkan sistematika penulisan berikut ini:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan yaitu penjelasan mengenai fenomena yang terjadi dalam penelitian ini yaitu bagaimana perkembangan kemampuan berbahasa anak. Bab ini juga berisi tentang pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang terdiri dari teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah, dan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kemampuan berbahasa pada anak pra sekolah .

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, metode penelitian yang digunakan termasuk subjek dan lokasi penelitian. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai teknik pengambilan sampel dan teknik pengumpulan data yang digunakan.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, dan juga membahas data-data penelitian ditinjau dari teori yang relevan.

(17)

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, diskusi hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pasien relatif sedikit dengan penyakit jantung rematik di antaranya infeksi profilaksis endokarditis tetap dianjurkan, seperti yang dengan prostetik katup prostetik atau

Sedangkan yang berpengaruh secara sendiri-sendiri (parsial) adalah variabel kepercayaan terhadap merek dan kepuasan terhadap loyalitas pelanggan, untuk variabel

DENGAN DEFISIT PERAWATAN DIRI (Gangguan Pola Berkemih) Et Causa POST OP PROSTATECTOMI DI RUANG DAHLIA..

“ Boerhavia diffusa (Punarnava) Root Extract as green Corrosion Inhibitor for Mild Steel in Hydrochloric Acid Solution: Theoritical and Electrochemical Studies.”

Peserta yang dinyatakan Memenuhi Persyaratan Teknis, dilanjutkan dengan melakukan evaluasi dokumen penawaran Harga yang dilakukan terhadap I (Satu) peierta/penyedia

Berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk, riwayat merokok, riwayat PPOK, serta pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit paru

Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 tipe kesalahan yang dilakukan mahasiswa dalam menyelesaikan soal persamaan garis lurus yaitu (1) Kesalahan

Perbandingan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga, Daun, Batang dan Akar Echinacea Purpurea Terhadap Staphylococcus aureus dapat terselesaikan.. Penyusunan skripsi