• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi dari pengindraan yaitu indra pengliatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa. Sebagian besar pengetahuan didapat dari indra pengliatan dan pendengaran. Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam perubahan perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2011). Perilaku yang akan diambil erat kaitanya dengan pengetahuan, karena pengetahuan merupakan alasan dan landasan untuk menentukan suatu pilihan(Layuk et al., 2017).

Penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang didasari dengan pengetahuan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari dengan pengetahuan. Penelitian Rogers (Notoatmodjo, 2011) mengemukakan beberapa tahapan sebelum seseorang tersebut berperilaku, yaitu :

1. Awareness: kesadaran yang dimiliki seseorang untuk menangkap stimulus yang dihasilkan oleh obyek.

2. Interest: rasa tertarik seseorang terhadap stimulus, pada tahap ini sikap seseorang mulai muncul.

3. Evaluation: sikap seseorang dengan pertimbangan terhadap baik atau tidaknya suatu stimulus tersebut untuk dirinya.

4. Trial: tahapan subyek sudah mulai mencoba stimulus yang diterima.

5. Adoption: suatu tahapan dimana subyek sudah berperilaku baru terhadap stimulus sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap.Akan tetapi di penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa tidak semua tahapan di lewati dalam proses perubahan perilaku.

(2)

2.1.2 Tingkatan Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket untuk menyanyakan isi materi yang akan diukur dari subyek penelitian. Menurut Notoatmodjo, 2011 pengetahuan yang merupakan domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

1) Tahu: diartikan sebagai pengingat dari materi yang telah didapatkan sebelumnya atau mengingat kembali. Oleh karena itu tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling dasar. Dikatakan tahu bila seseorang tersebut bisa menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.

2) Memahami: adalah kemampuan seseorang dalam menjelaskan dan menginterpretasi obyek/ materi yang diketahui secara benar. Dikatakan seseorang itu paham yaitu bila bisa menjelaskan, menyebutkan, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.

3) Aplikasi: adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang telah dipelajari untuk situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini bisa menggunakan hukum, rumus, metode, prinsip dalam pemecahan masalah pada situasi tertentu.

4) Analisis: adalah kemampuan untuk menjabarkan materi dari suatu obyek dalam komponen yang masih ada dalam struktur organisasi tersebut. Dikatakan seseorang memiliki kemampuan analisis bila orang tersebut bisa menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5) Sintesis: adalah suatu kemampuan seseorang untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan dengan kata lain yaitu dapat menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Dikatakan bila seseorang mempunyai kemampuan tersebut bila seseorang tersebut bisa menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori yang sudah ada.

(3)

6) Evaluasi: adalah kemampuan seseorang untuk memberikan penilaian atau justifikasi terhadap suatu materi. Penilaian tersebut bisa berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri ataukriteria yang sudah ada.

2.1.3 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut jurnal penelitian sureskiarti, zulkifli 2019, pengetahuan dipengaruhi beberapa hal yaitu:

1. Usia: pengambilan keputusan atau Tindakan yang dilakukan seseorang di pengaruhi oleh pengalaman yang diperoleh dari semakin bertambahnya umur seseorang tersebut.

2. Pendidikan terahir: menurut Notoadmodjo, 2010 salah satu usaha dalam meningkatkan kemampuan dan kepribadian yang bisa diperoleh baik dari luar maupun luar sekolah. Pengetahuan yang dimiliki seseorang berkaitan dengan Pendidikan yang dimiliki.

Menurut penelitian Bachrun, 2017 dalam jurnalnya membahas faktor yang mempengaruhi pengetahuan, diantaranya yaitu:

1. umur: dalam jurnal ini dijelaskan bahwa tingkat umur dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, emosi dan keyakinan yang kuat. Semakin banyaknya pengalaman mempermudah seseorang tersebut dalam menerima informasi.

2. Tingkat Pendidikan: pengetahuan memiliki kaitan erat dengan pendidikan., karena pengetahuan dan wawasan dapat diperoleh dari Pendidikan.

3. Lingkungan: perkembangan dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan disekitarnya.

4. Sosial budaya: sikap dalam menerima informasi juga dapat dipengaruhi oleh sosial budaya pada masyarakat.

(4)

2.1.4 Pengetahuan Perawat tentang Sensus Harian Mutu

Sensus harian mutu merupakan pendataan yang dilakukan setiap hari tentang jumlah pasien yang masuk dan keluar Rumah Sakit. Menejemen Rumah sakit menggunakan data sensus untuk berbagai keperluan seperti perencanaan, penganggaran, dan kepegawaian. Kegiatan ini dilakukan oleh setiap perawat maupun staff administrasi rumah sakit untuk dilakukan rekapitulasi data pasien dalam satu

bulan yang dirawat dirumah sakit secara keseluruhan maupun masing-masing unit perawatan untuk menunjang perencanaan, pengawasan, dan evaluasi. Sensus Harian mutu menggunakan formulir tertentu yang mana dibuat oleh masing-masing Rumah Sakit sehingga setiap perawat wajib mengetahui cara pengisian data sensus harian tersebut(Kemenkes, 2018).

Pengetahuan tentang program kualitas rumah sakit di Indonesia dapat memberikan banyak efek menguntungkan bagi pasien dan penyedia layanan.

Peningkatan kualitas telah membuat persepsi tentang layanan rumah sakit lebih baik dalam pandangan pasien. Dimana hal tersebut dapat mengakibatkan peningkatan penggunaan layanan rumah sakit sehingga pendapatan yang diterima oleh rumah sakit meningkat (Erfan, 2018).

Pengetahuan perawat tentang sensus harian mutu dilakukan sesuai dengan pelayanan yang dilakukan dalam 24 jam melalui pelatihan sehingga menyamakan presepsi setiap perawat tentang pengisian sensus harian mutu dengan benar. Setiap perawat memiliki tanggungjawab yang sama dalam pengisian sensus harian mutu disetiap ruangan (Kemenkes, 2018). Pengetahuan perawat tentang sensus harian dapat diketahui dari kemampuan perawat dalam mengisi, cara pengisian yang tepat dan benar, dan tanggungjawab perawat dalam melaksanakan pengisian (Amelia, 2015).

(5)

2.2 Indikator Mutu

2.2.1 Definisi Indikator Mutu

Dalam beberapa sumber dan jurnal penelitian mengemukakan beberapa hal definisi dai indikator mutu, diantaranya yaitu:

1. Mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan secara efisien dan efektif sesuai dengan standar profesi yang dilaksanakan secara menyeluruh terhadap kebutuhan pasien (Nursalam, 2016). Mutu pelayanan berdasarkan pedoman penyusunan standar pelayanan minimum di Rumah Sakit mempunyai arti yaitu suatu tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan kepuasan pasien dengan tinkat kepusasan penduduk (Supriyantoro et al., 2012).

Menurut Sutoto, 2009 dalam jurnal (Untung et al., 2017) mengemukakan bahwa mutu pelayanan adalah suatu rangkaian dari kegiatan pelayanan kesehatan berdasarkan standar dan prosedur. Mutu pelayanan berhubungan dengan kepuasan pasien, angka kematian ibu dan bayi dan tingkat BOR (Bed Occupancy Ratio). Sehingga inti dari pelayanan yaitu menjaga mutu pelayanan.

2. Mutu adalah suatu tingkat layanan kesehatan yang konsisten dengan disertai pengetahuan yang terus diperbarui sehingga memperoleh hasil yang diinginkan.

Indikator mutu ditetapkan untuk mengukur mutu rumah sakit (Nurdianana, dkk, 2017). Menurut pedoman penyusunan standar pelayanan minimum di Rumah Sakit, dimensi mutu adalah merupakan suatu pandangan untuk penilaian terhadap jenis dan mutu pelayanan dari akses, efektifitas, efisiensi, keselamatan dan keamanan dan kenyamanan, kesinambungan pelayanan kopetensi teknis dan hubungan antar manusia berdasarkan standar WHO(Supriyantoro et al., 2012).

(6)

3. Nursalam, 2016 menjelaskan indikator adalah suatu cara untuk mengukur penampilan dari suatu kegiatan dan menilai suatu perubahan dengan menggunakan instrument. Indikator utama kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit ada 6, yaitu: keselamatan pasien, pengelolaan nyeri dan kenyamanan, tingkat kepuasan pasien, perawatan diri, kecemasan pasien, perilaku pasien (Nursalam, 2016). Sedangkan indikator mutu yang digunakan di ruang keperawatan menurut Setiadi, 2016 terbagi menjadi indikator umum dan indikator khusus, keduanya dapat dipakai untuk tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit.

a. Indikator Umum

Setiadi, 2016 dalam bukunya menjelaskan beberapa macam inikator umum, yaitu:

1. BOR ( Bed Occupancy Ratio)

Menurut Huffman (1994) adalah the ratio of patient service day to inpatient bed count days in a period under consideration. Sedangkan menurut Depkes RI

(2005) BOR merupakan prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Perhitungan BOR bisa ditentukan dari kebijakan internal Rumah Sakit yaitu mingguan, bulanan, triwulan, semester bahkan tahunan. Menurut standar internasional nilai normal BOR 80 – 90%, sedangkan nilai normal BOR menurut Depkes RI (2005) yaitu 60 – 85%.

(7)

2. ALOS (Average length of Stay)

Menurut Huffman (1994) adalah the average hospitalization stay of inpatient discharged during the period under consideration. Sedangkan menurut Depkes

RI (2005) ALOS merupakan rata-rata lama rawat seorang pasien. Nilai normal ALOS menurut Depkes RI (2005) yaitu 6-9 hari. Indikator ini selain untuk menggambarkan tingkat efisiensi juga dapat menggambarkan sebuah mutu pelayanan.

3. TOI (Turn Over Interval)

Menurut Depkes RI (2005) TOI adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari setelah diisi sampai terisi berikutnya. Nilai normal TOI yaitu 1 – 3 hari.

4. BTO (Bed Turn Over)

Huffman (1994) mengartikan BTO merupakan the net effect of changed in occupancy rate and length of stay. Sedangkan menurut Depkes RI (2005) BTO adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur terpakai dalam satu satuan waktu tertentu.

Nilai normal BTO dalam setahun satu tempat tidur rata-rata dipakai 40 – 50 kali.

(8)

5. NDR (Net Death Rate)

Menurut Depkes RI (2005) NDR merupakan angka kematian 48 jam setelah dirawat per 1000 penderita yang keluar.

6. GDR (Gross Death Rate)

Menurut Depkes RI (2005) GDR adalah angka kematian umum untuk tiap 1000 penderita yang keluar dari Rumah Sakit.

b. Indikator Mutu Khusus

1. Kejadian Nosokomial

Merupakan jumlah pasien infeksi yang didapat selama perawatan di Rumah sakit.

2. Kejadian Cedera

Angka cedera merupakan jumlah pasien yang mengalami luka selama perawatan akibat jatuh, fiksasi dan lainya. Idelanya tidak ada pasien yang mengalami cedera.

3. Kondisi Pasien

Kondisi pasien ini bisa di audit melalui dokumentasi keperawatan, yaitu survey masalah didapat dari status rekam medis pasien baru yang dirawat pada bulan tertentu. Selain survey masalah pasien, survey kepuasan pasien, keluarga, perawat dantenaga kesehatan lain juga perlu dilakukan.

(9)

2.2.2 Pengukuran Mutu Pelayanan

Dilihat dari penjelasan mutu pelayanan yang telah dijelaskan, pengukuran mutu pelayanan dapat diukur dengan tiga variable, yaitu:

1. Input adalah segala sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan, seperti: SDM (sumber daya manusia), dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi dan informasi (Nursalam, 2016).

2. Jurnal penelitian tentang mutu juga mengemukakan bahwa proses sangat berpengaruh pada mutu pelayanan di rumah sakit, sehingga faktor sarana, tenaga yang tersedia, obat dan alat kesehatan termasuk sumber daya manusia sangatlah dibutuhkan untuk peningkatan pelayanan mutu (Mutmainah & Nurman, 2019).

Jurnal penelitian (Quadros et al., 2016) membahas tentang indicator pelayanan kesehatan juga digunakan di negara Brazil untuk memantau pelayanan yang mereka tawarkan. Indikator ini tergantung pada proses seperti: perencanaan sumber daya manusia. Untuk mengembangkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu tinggi maka pelayanan mereka menyediakan perawatan penuh dan manusiawi yaitu dengan menghubungkan antara jumlah perawat dengan pengguna jasa atau pasien. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa jumlah staf berdampak pada kualitas dalam memberikan perawatan dan membantu meningkatkan kepuasan pasien. Nursalam, 2016 mengemukakan Proses adalah suatu interaksi antara pemberi pelayanan dan penerima pelayanan.

Setiap tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan nilai yang dianut oleh pasien.

Semua itu dilakukan dan dikorektif untuk meminimalkan risiko keluhan atau ketidakpuasan pasien. Pengembangan akreditasi dilakukan disini untuk meningkatkan mutu rumah sakit sesuai dengan indikator pemenuhan standar pelayanan yang telah ditetapkan kemenkes. Keilmuan selalu diperbarui untuk

(10)

menjamin bahwa tindakan yang dilakukan sudah didukung oleh bukti ilmiah.

Interaksi ini memperhatikan asas etika terhadap pasien yaitu:

a. Berbuat hal yang baik (beneficence).

b. Tidak menimbulkan kerugian (nonmalficence).

c. Menghormati manusia (respect of person).

d. Berlaku adil dalam memberikan pelayanan(Nursalam, 2016)

3. Output adalah hasil dari pelayanan keperawatan dan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan perubahan konsumen yaitu berupa kepuasan(Nursalam, 2016). Indicator yang merupakan output yaitu BOR, LOS, TOI dan audit keperawatan.

2.2.3 Tingkat Konsep Kualitas Layanan

Menurut buku Nursalam, 2016, menjelaskan tingkat konsep kualitas layanan sebagai berikut:

1. Mutu tinggi (bermutu): bila pelayanan yang diberikan melebihi pelayanan yang diharapkanpelanggan.

2. Mutu sedang (memuaskan) bila pelayanan yang diberikan sama dengan pelayanan yang diterima pelanggan.

3. Mutu rendah (tidak bermutu): bila pelayanan yang diberikan lebih rendah dari harapan pelanggan.

Penelitian Djeinne, Ora, & Joy mengemukaan Ada beberapa unsur yang penting didalam kualitas yang diharapkan pasien yaitu pasien berharap untuk menjadi prioritas utama, maka dari itu untuk menjamin suatu kepuasan tersebut perlu adanya pelayanan dengan kualitas tinggi sesuai dengan keinginan pasien. Untuk mengetahui kualitas layanan kepuasan pasien ada 5 dimensi, yaitu: Reliability (keandalan), Tangibles

(11)

(menunjukkan bukti fisik), Responsiveness (daya tanggap), Assurance (menumbuhkan adanya jaminan) dan Emphaty.(Djeinne et al., 2018).

2.2.4 Upaya Peningkatan Mutu

Nursalam, 2016 ada beberapa cara yang dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu:

1. Mengembangkan akreditasi dalam peningkatan mutu rumah sakit sesuai indikator yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI.

2. ISO 9001: 2000 yaitu suatu standar internasional untuk sistem manajemen yang berkualitas sesuai kebutuhan pelanggan dan rumah sakit.

3. Memperbarui keilmuan untuk menjaminbahwa tindakan yang dilakukan baik medis atau keperawatan sudah didukung dengan bukti ilmiah.

4. Good corporate governance yang mengatur aspek institusional dan aspek bisnis dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara transparansi dan akuntabilitas.

5. Clinical governance yang merupakan bagian dari corporate governance yang merupakan kerangka kerja dari suatu organisasi yang bertujuan untuk bertanggung jawab dalam peningkatan mutu secara berkesinambungan.

6. Membangun aliansi strategis dengan rumah sakit yang lain baik di dalam maupun luar negeri.

7. Melakukan evaluasi dalam hal pembiayaan, sehingga tarif layanan bisa bersaing secara global.

8. Orientasi pelayanan: sering terjadi perbedaan pandangan dari masyarakat yang masih menilai rumah sakit merupakan institusi yang mengutamakan fungsi sosial.

Sedangkan pandangan investor rumah sakit merupakan institusi yang bergerak di bidang bisnis jasa, sehingga orientasi mencari laba merupakan suatu yang absah.

(12)

9. Orientasi bisnis dapat berdampak besar kearah positif bila bisa mengendalikan potensial negative, seperti tindakan medis yang berlebihan atau tidak bermanfaat bagi pasien. Sehingga diperlukan suatu mekanisme pembinaan etis untuk mengimbangi antara fungsi social dan fungsi bisnis.

Jurnal Mutmainah & Nurman, 2019 menjelaskan bahwa meningkatkan komunikasi yang baik juga merupakan upaya rumah sakit dalam peningkatan mutu.

Hal ini dikarenakan komunikasi merupakan suatu proses pemindahan informasi dari sekelompok orang yang satu ke kelompok orang yang lain. Komunikasi merupakan salah satu faktor kontributor dalam insiden keselamatan pasien. Komunikasi disini dibagi menjadi 2 yaitu: komunikasi verbal dan komunikasi tertulis, baik komunikasi antar perawat, komunikasi perawat dengan dokter, perawata dengan pasien, perawat dengan profesi lain (Mutmainah & Nurman, 2019).

Menurut (Nurdahniar, 2016) selain meningkatkan mutu pelayanan teknis medis, peningkatan pelayanan yang mudah dan murah serta diperlukan dalam peningkatkan mutu. Pelayanan yang mudah dan murah yang dimaksud disini yaitu pelayanan yang dilakukan dengan ramah, sopan santun, gesit, terampil dan perduli dengan keluhan pasien. Sehingga pelayanan yang bermutu tersebut berefek terhadap keinginan pasien untuk kembali kepada institusi yang memberikan pelayanan kesehatan dengan efektif.

Program manajemen resiko, tinjauan pemanfaatan, transfer ilmu pengetahuan, pemuasan pelanggan, pegawai, sponsor, professional, berorientasi pada outcome dan perbaikan layanan kesehaan menyeluruh pada proses pemberian pelayanan merupakan program mutu pada era sekarang. Berbeda dengan program mutu rumah sakit dahulu yang memilikikegiatan tindakan menghukum, main tunjuk dan tindakan mencari kesalahan (Erfan, 2018).

(13)

2.2.5 Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan

Nursalam, 2016 dalam bukunya menjelaskan tentang jenis indicator mutu pelayanan keperawatan, yaitu:

1. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) a. Angka keterlambatan pelayanan pertama gawat darurat (> 5 menit)

b. angka kegagalan pemasangan infus (> 2x) c. Angka kesalahan transfer pasien.

d. Angka kesalahan pengambilan darah.

e. Angka kesalahan pemberian obat.

2. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Instalasi Rawat Inap a. Angka kejadian phlebitis.

b. Angka kejadian decubitus.

c. Angka kejadian pasien jatuh.

d. Angka kesalahan pemberian obat.

e. Tingkat kepuasan pasien terhadap peayan keperawatan.

f. Angka kesalahan pengambilan darah.

3. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Intensive Care Unit a. Angka kegagalan pengambilan sampling BGA (> 3x).

b. Angka kejadian phlebitis.

c. Angka kejadian decubitus.

d. Angka kejadian pasien jatuh.

e. Angka kesalahan pemberian obat.

f. Angka kejadian cedera akibat restrain.

g. Angka kejadian terekstubasi.

(14)

4. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Kamar Operasi a. Insiden kesalahan identifikasi pasien.

b. Insiden tertinggalnya kain kassa.

c. Angka kejadian kesalahan penjadwalan operasi.

d. Insiden tertinggalnya instrument.

e. Angka kesalahan pemberian obat.

f. Angka kejadian pasien jatuh.

g. Respon time penyiapan ruangan operasi emergensi (< 60 menit) 5. Jenis Indikator Mutu Pelayanan Keperawatan di Instalasi Rawat Jalan

a. Angka kesalahan penjadwalan rencana kunjungan.

b. Angka kesalahan penjadwalan tindakan.

c. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan perawat.

2.2.6 Standar Pelayanan Minimum

Rumah sakit merupakan suatu sarana kesehatan yang mempunyai peran memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat. Maka sebab itu perlunya suatu Rumah sakit menyusun standar pelayanan minimum. Standar pelayanan minimum ini disusun bertujuan agar tersedianya panduan bagi Rumah Sakit untuk melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pertanggungjawaban atas pelayanan yang diberikan (Supriyantoro et al., 2012). Penelitian (Untung et al., 2017) mengemukakan bahwa Standar Pelayanan Minimum (SPM) adalah tolak ukur rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

LAN, 2010 dalam jurnal Nurdahniar (2016) mendefinisikan bahwa standar pelayanan merupakan bentuk konkret dari akuntabilitas. Artinya standar pelayanan disini yaitu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mudah di penuhi dan

(15)

rasional. Untuk mencapai hal tersebut maka di perlukan standarisasi dari pelayanan yang akan diberikan. Standar tersebut yaitu ukuran minimal atau standar pelayanan minimal, sehingga penyelenggara pelayanan dalam memberikan pelayanan harus memenuhi unsur-unsur standar yang telah ditentukan.

2.2.6.1 Pengelola Standar Pelayanan Minimum

Standar Pelayanan Minimum (SPM) Rumah Sakit dibuat oleh Komite atau Tim atau organisasi lainnya yang kompeten untuk mengelola kegiatan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) yang diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan dimana kegiatan pengelolaan SPM dilakukan secara berkesinambungan. Tim PMKP mengolah data dari setiap unit kerja perawat sesuai dengan mekanisme kordinasi antar komite medis, komite keperawatan, dan kepala unit kerja. Program dan kegiatan ini wajib disetujui oleh pemilik RS maupun

representasi pemilik Rumah Sakit. Pengelolaan data mutu perawat dilakukan oleh tim PMKP dalam bentuk laporan pertanggungjawaban yang mana data tersebut terintergrasi dari setiap unit kerja yang mana diharapkan dapat membantu dalam pengumpulan dan analisis data. Staff dan setiap perawat harus dapat melakukan pencatatan data untuk mempermudah tim PMKP(Komisi Akreditasi Rumah Sakit Indonesia, 2019).

Pemilik Rumah sakit dibantu dengan Tim PMKP menyusun SPM dengan mempertimbangkan:

1. Keberadaan sistem informasi, pelaporan, dan evaluasi pencapaian SPM yang akan dipantau dan dievaluasi lebih lanjut oleh pemerintah sebagai salah satu penilaian akreditasi Rumah sakit

2. Standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai rumah sakit

(16)

3. Keterkaitan SPM Rumah Sakit dengan SPM bidang kesehatan

4. Kemampuan pengembangan dan pengalaman empiris tentang cara penyediaan layanan rumah sakit yang telah terbukti menghasilkan mutu pelayanan yang ingin dicapai (Kemenkes, 2012).

2.2.6.2 Program Nasional Pemerintah tentang Standar Pelayanan Minimum Rumah Sakit

Pemerintah membuat kebijakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia melalui program nasional yang menjadi prioritas dalam indikator standar pelayanan minimum di Rumah Sakit, diantaranya:

1. Penurunan angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan angka kelahiran 2. Penurunan angka kesakitan HIV/ AIDS

3. Penurunan angka kesakitan Tuberkulosis / TBC 4. Pengendalian resistensi antimikroba

5. Pelayanan geriatric

(Komisi Akreditasi Rumah Sakit Indonesia, 2019).

2.2.6.3 Jenis Pelayanan, Indikator dan Standar

Menurut buku pedoman standar pelayanan minimal, jenis pelayanan mempunyai indicator dengan standar sebagai berikut:

1. Pelayanan Gawat Darurat a. Input:

1) Kemampuan menangani life saving dengan standar 100%.

2) Pemberi pelayanan kegawatdaruratan bersertifikat yang masih berlaku dengan standar 100%.

3) Ketersediaan tim penanggulangan bencana dengan standar 1 tim.

(17)

b. Proses:

1) Jam buka pelayanan gawat darurat dengan standar 24 jam.

2) Waktu tanggap pelayanan dokter di gawat darurat dengan stndar kurang dari 5 menit dilayani setelah pasien datang.

3) Tidak adanya keharusan membayar uang muka dengan standar 100%.

c. Output:

Kematian pasien di IGD (kurang dari 8 jam) dengan standart kurang dari 2 perseribu.

d. Outcome:

Kepuasan pasien dengan standar lebih dari 70%.

2. Pelayanan Rawat Jalan a. Input:

1) Ketersediaan pelayanan dengan standar minimal sesuai dengan jenis dan klasifikasi RS.

2) Dokter pemberi pelayanan di poliklinik spesialis dengan standar 100%

dokter spesialis b. Proses:

1) Jam buka pelayanan dengan ketentuan dengan standar 08.00 sampai dengan 13.00 setiap hari kerja kecuali jumat: 08.00 sampai dengan 11.00.

2) Waktu tunggu rawat jalan dengan standar kurang dari 60 menit.

3) Penegakan diagnosis TB melalui pemeriksaan mikroskopis dengan standar 100%.

4) Pasien rawat jalan TB yang ditangani dengan strategi DOTS dengan standar 100%.

5) Ketersediaan pelayanan VCT (HIV) dengan standar tersedia dengan tenaga terlatih.

(18)

c. Output:

Peresepan obat sesuai dengan formularium dengan standar 100%.Pencataan dan pelaporan TB di Rumah Sakit dengan standar lebih dari 60%.

d. Outcome

Kepuasan pasien dengan standar lebih dari 90%.

3. Pelayanan rawat inap a. Input

1) Ketersediaan pelayanan dengan standar sesuai dengan jenis dan kelas Rumah Sakit.

2) Pemberi pelayanan di rawat inap dengan standar sesuai dengan pola ketenagaan, jenis dan kelas Rumah sakit.

3) Tempat tidur dengan pengaman dengan standar100%.

4) Kamar mandi dengan pengaman pegangan tangan dengan standar 100%.

b. Proses:

1) Dokter penanggung jawab pasien rawat inap dengan standar 100%.

2) Jam visite dokter spesialis dengan standar 08.00 sampai dengan 14.00 3) Kejadian infeksi pasca operasi dengan standar kurang dari 1,5%

4) Kejadian infeksi nosocomial dengan standar kurang dari 9%.

5) Tidak ada kejadian pasien jatuh yang berakibat cacat atau kematian dengan standar 100%.

6) Pasien rawat inap tuberculosis yang ditangani dengan strategi DOTS dengan standar 100%.

7) Pencatatan dan pelaporan TB di Rumah Sakit dengan standar lebih dari 60%.

(19)

c. Output

1) Kejadian pulang sebelum dinyatakan sembuh dengan standar kurang dari 5%.

2) Kematian pasien lebih dari 48 jam dengan standar kurang dari 0,24%.

d. Outcome:

Kepuasan pasien dengan standar lebih dari 90%.

4. Pelayanan bedah sentral a. Input:

1) Ketersediaan tim bedah dengan standar sesuai dengan kelas Rumah Sakit.

2) Ketersediaan fasilitas dan peralatan operasi dengan standar sesuai dengan kelas Rumah Sakit.

3) Kemampuan melakukan tindakan operatif dengan standar sesuai dengan kelas Rumah Sakit.

b. Proses:

1) Waktu tunggu operasi elektif dengan standar kurang dari 2 hari.

2) Tidak adanya kejadian operasi salah sisi dengan standar 100%.

3) Tidak adanya kejadian operasi salah orang dengan standar 100%.

4) Tidak adanya kejadian salah tindakan pada operasi dengan standar 100%.

5) Tidak adanya kejadian teringgalnya benda asing atau lain pada tubuh pasien setelah operasi dengan standar 100%.

6) Komplikasi anastesi karena overdosis, reaksi anastesi, salah penempatan ET dengan standar kurang dari 6%.

c. Output:

Kejadian kematian di meja operasi dengan standar kurang dari 1%.

d. Outcome:

Kepuasan pelanggan dengan standar lebih dari 80%.

(20)

5. Persalinan dan Perinatologi a. Input:

1) Pemberi pelayana persalinan normal dengan standar dokter Sp.OG/

dokter umum/ bidan.

2) Pemebri pelayanan persalinan dengan penyulit dengan standar tim ponek terlatih.

3) Pemberi pelayanan persalinan dengan tindakan operatif dengan standar dokter Sp.OG, dokter Sp.A, dokter Sp.An.

4) Kemampuan menangani BBLR (1500 – 2500) dengan standar 100%.

5) Kemampuan menangani bayi baru lahir asfiksia dengan standar 100%.

b. Proses

1) Pertolongan persalinan melalui seksio caesaria non rujukan dengan standar kurang dari 20%.

2) Pelayanan kontrasepsi mantap dilakukan oleh Sp.OG atau Sp.B atau Sp.U atau dokter umum terlatih dengan standar 100%.

3) Konseling peserta KB mantap oleh bidan terlatih dengan standar 100%.

c. Output:

Kematian ibu karena persalinan dengan standar bila ada perdarahan kurang dari 1%, bila dengan pre eklamsi kurang dari 30%, bila dengan sepsis kurang dari 0,2%.

d. Outcome:

Kepuasan pasien dengan standar lebih dari 80%.

(21)

6. Pelayanan Intensive a. Input:

1) Pemberi pelayanan dengan standar sesuai kelas Rumah Sakit dan standar ICU.

2) Ketersediaan fasilitasdan peralatan ruang ICU dengan standar sesuai kelas Rumah Sakit dan standar ICU.

3) Ketersediaan tempat tidur dengan monitoring dan ventilator dengan standar sesuai kelas Rumah Sakit dan standar ICU.

b. Proses:

1) Kepatuhan terhadap hand hygiene dengan standar 100%.

2) Kejadian infeksi nosocomial dengan standar kurang dari 21%.

c. Output:

Pasien yang kembali ke perawatan intensif dengan kasus yang sama kurang 72 jam dengan standar kurang dari 3%.

d. Outcome:

Kepuasan pelanggan dengan standar lebih dari 70%.

Menurut Kemenkes (2012), Setiap unit kerja memiliki jenis SPM yang berbeda. Berikut ini adalah contoh format dari SPM di Rumah Sakit pada unit Rawat Inap:

(22)

Tabel 2.1 SPM Rawat Inap

Standar Pelayanan Minimum Rawat Inap

Uraian Standar Pencapai

an Awal

Rencara Pencapaian

Tahun ke

Penanggu ng Jawab

Input Ketersediaan Layanan Sesuai jenis

& kelas RS

Pemberian Pelayanan di

Ranap Sesuai pola

SDM, jenis

& kelas RS

Tempat tidur dengan Pengaman

100%

Kamar Mandi dengan

Pengaman pegangan tangan 100%

Proses DPJP Ranap 100%

Jam visite Dokter spesialis 08.00 s/d

14.00

Kejadian Infeksi pasca

operasi ≤1,5%

Kejadian Infeksi Nosokomial ≤9%

Tidak ada pasien jatuh 100%

Pasien TBC dilakukan stategi DOTS

100%

Pencatatan dan pelaporan

TB di RS ≥60%

Output Kejadian PAPS ≤5%

Kematian pasien ≥48 jam ≤0,24%

Outcome Kepuasan Pasien ≥90%

Kemenkes (2012)

2.2.7 Penyebab Penurunan Mutu Pelayanan Rumah Sakit

Dalam beberapa jurnal penelitian mengemukakan beberapa hal penyebab penurunan mutu pelayanan rumah sakit, diantaranya yaitu:

1) Tidak diterapkanya dan tidak memperdulikan keselamatan pasien (Mutmainah &

Nurman, 2019).

2) Membiarkan konsumen menunggu tanpa alasan yang jelas sehingga menimbulkan persepsi negative (Mutmainah & Nurman, 2019).

(23)

3) Ketidakpuasan konsumen seperti: keterlambatan pelayanan dokter dan perawat, dokter sulit ditemui, lamanya proses masuk rawat, keterbatasan obat, ketersediaan sarana prasarana, ketertiban dan kebersihan rumah sakit. Kepuasan pasien merupakan salah satu indicator mutu pelayanan kesehatan, sehingga pengukuran tingkat kepuasan pasien merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari pengukuran mutu pelayanan kesehatan (Murtiana et al., 2016).

4) Sikap perawat dan dokter yang tidak ramah, waktu konsultasi yang kurang (Djeinne et al., 2018).

5) Adanya ketimpangan antara indicator pedoaman standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan minimal rumah sakit dengan kenyataan yang ada, seperti:

sarana dan prasarana rumah sakit tidak sesuai standar, ketersediaan SDM dokter spesialis dasar tidak sesuai dengan standar yang ada, BOR tidak sesuai standar yaitu kurang dari 60 – 85%, angka kematian bayi yang masih tinggi, beberapa dokter spesialis yang visite tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan pelayanan.

Selain ditemukanya data diatas adapun faktor – faktor yang mempengaruhi dilaksanakanya implementasi diatas salah satunya yaitu: terjadinya hubungan yang tidak harmonis pada pihak struktural dan fungsional sehingga pihak fungsional enngan melaporkan permasalahan yang terjadi saat pelayanan (Untung et al., 2017).

Gambar

Tabel 2.1   SPM Rawat Inap

Referensi

Dokumen terkait

Penugasan yang dimaksud adalah anak diminta untuk memilih alat yang akan digunakan dalam penelitian yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh peneliti5. Unjuk kerja adalah

Mengingat pentingnya fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terhadap Mengingat pentingnya fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi dan karena anak merupakan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan tersebut dapat diketahui bahwa hipotesis noll (Ho) yang berbunyi “tidak ada hubungan antara beban kerja dengan waktu

Artinya, proses komunikasi yang terjadi dalam organisasi tersebut jika terlaksana dengan baik maka BASARNAS Kupang akan semakin kokoh dan kinerja pegawai akan meningkat.

Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Berdasarkan firman

Reviu adalah kegiatan penelaahan atas penyelenggaraan tugas pokok dan fungi-fungsi Rumah Sakit, dilakukan oleh Pemeriksa SPI yang kompeten untuk memberikan keyakinan terbatas

400.000 jiwa ÷ 70 jiwa/ha (kepadatan penduduk Kota Makassar pada 2003)≒ 5.700 ha 5.700 ha ÷ 120~130 % (perbaikan efisiensi tata guna lahan)≒ about 4.500 ha Dengan

Hal ini sebagai akibat dari rendahnya populasi vektor yang menghinggapi tanaman pepaya, disamping itu vektor kutudaun yang berhasil masuk ke pertanaman pepaya adalah