• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN A

(2)

FORM KONSULTASI SKRIPSI / TUGAS AKHIR

Nim Mahasiswa : 00000020204

Nama Mahasiswa : Elisabeth Diandra Sandi Program Studi : Jurnalistik

Nama Dosen Pembimbing

: Sita Winiawati Dewi, S.I.Kom., MAPS

NO TANGGAL BIMBINGAN

CATATAN BIMBINGAN TANDA

TANGAN PEMBIMBI

NG

1. 4 Februari 2021 1. Menjelaskan isi proposal podcast

TAKIS.

2. Konsultasi mengenai tema dan tone

podcast.

2. 10 Februari 2021 1. Konsultasi mengenai calon narasumber.

2. Konsultasi pembuatan dan pengajuan proposal ke media.

3. 17 Februari 2021 1. Follow up narasumber.

2. Follow up pengiriman proposal ke media.

3. Konsultasi mengenai evaluasi pembuatan proposal individu.

4. 3 Maret 2021 1. Update kerja sama dengan media.

2. Konsultasi dan update narasumber

podcast.

3. Update progress pra-produksi

(media sosial dan pemilihan

platform wawancara jarak jauh).

(3)

5. 9 Maret 2021 1. Konsultasi daftar pertanyaan untuk narasumber.

2. Update mengenai pertemuan dengan IDN Times.

6. 1 April 2021 Konsultasi naskah audio

storytelling dengan penambahan

narasi untuk episode pertama program podcast TAKIS.

7. 6 – 8 April 2021 Konsultasi alur pembicaraan gelar wicara episode pertama program

podcast TAKIS.

8. 20 – 21 April 2021

1. Konsultasi Spotify episode

description

2. Konsultasi draf pertama episode 1 TAKIS.

9. 4 Mei 2021 1. Konsultasi mengenai sub bab evaluasi pada Bab IV.

2. Konsultasi mengenai analitik program podcast TAKIS di Spotify IDN Times.

10. 26 – 27 Mei 2021 Konsultasi mengenai pembuatan seluruh bab dalam naskah

akademik skripsi berbasis karya.

Cat:

Minimal bimbingan Skripsi/TA adalah 8 kali, Form wajib dilampirkan di laporan Skripsi

Tanda Tangan Pembimbing

(Sita Winiawati Dewi, S.I.Kom, MAPS)

(4)

LAMPIRAN B

(5)

Timeline Realisasi Pembuatan Episode Pertama Program Podcast TAKIS

(6)

LAMPIRAN C

(7)

NASKAH EPISODE 1

“TITIK AWAL KEMBALI KE DIRI SENDIRI DI TENGAH PANDEMI”

PROGRAM PODCAST TAKIS BERSAMA IDN TIMES

Penulis dan Narator (Podcaster): Elisabeth Diandra Sandi TOTAL DURASI: 1 jam 8 menit 55 detik

Segmen Sound Durasi Naskah

Pengantar Jingle lengkap Sound Locked Doorknob Jingle Jingle Singkat

4’ 55” Jingle lengkap NARATOR:

Apakah kamu stres waktu mengerjakan skripsi?

Sound Locked Doorknob Jingle

SEKAR:

Oh oke, namaku Sekar Djojosaputro, aku sekarang 25 tahun. Jadi aku udah lulus dari London School of Public Relation Jakarta dari 2017, jadi udah lumayan lama sih. Kalau aku sih, kebetulan ya Puji Tuhan-nya sih enggak stres sih. Karena kebetulan skripsi itu buat aku, something yang kayak ya mirip aja mirip aja sih kayak tugas, tapi durasinya lebih panjang terus kita punya waktu lebih banyak untuk explore dan ya kita bertanggung jawab untuk si skripsi itu sendiri gitu. Kalau aku waktu itu kebetulan sambil kerja, jadinya agak kepecah sih cuman enggak sampai stres karena kebantu dengan yak satu desire untuk pengen cepet-cepet selesai dan kemudian dapat bantuan juga karena dospem nya baik.

Sound Locked Doorknob Jingle

(8)

HARRIS:

Nama saya Harris, umur saya 30 tahun dan saya lulusan atau alumni dari Universitas Trisakti. Pada awalnya saat mengerjakan skripsi, ada rasa cemas ataupun stres karena pada awalnya bingung. Tidak tahu bagaimana cara membuat skripsi yang baik dan kebetulan saya mendapatkan skripsi bagian penelitian. Saya tidak tahu bagaimana membuat penelitian yang baik dan ada rasa cemas juga karena takut tidak tepat waktu. Untungnya ada dosen pembimbing yang mengajarkan bagaimana membuat penelitian dan membuat skripsi yang baik sehingga bisa berjalan dengan baik sampai selesai.

Sound Locked Doorknob Jingle

PRISCILA:

Hai namaku Priscila Felicia Gunawan, umurku 30 tahun dan sudah lulus dari Universitas Tarumanagara. Aku enjoy pas bikin skripsi malah, kenapa? Kebetulan aku dapat dosen pembimbing yang baik. Beliau sangat mendukung aku dalam mengerjakan skripsi dan ya enggak neko-neko. Karena kan banyak dosen pembimbing yang salah dikit aja harus benerin satu bab. Kebetulan dosen pembimbing ku itu enggak. Selain itu, judul skripsi yang aku mau juga di-approve sama dia. Jadi semua bisa berjalan sesuai dengan apa yang aku udah siapin sebelumnya. Dalam pencarian jurnal pun kampus sudah menyediakan fasilitasnya, yaitu perpustakaan. Lumayan lengkap jurnal-jurnalnya jadi aku ya sangat terbantu.

Selain faktor itu, lingkungan sekitarku pun sangat berpengaruh besar ya. Aku punya teman-teman yang sangat mendukung dan terus memberikan aku semangat supaya bisa menyelesaikan skripsinya tepat waktu dan bisa lulus bareng-bareng.

Sound Locked Doorknob Jingle DARREN:

(9)

Halo, nama gue Darren Osmod, gue lulusan Atmajaya, umur gue 22 tahun. Gue dalam mengerjakan skripsi, gue merasakan stres karena gue mengerjainnya dalam keadaan waktu yang mepet. Sebenarnya yang paling krusial, titik critical-nya adalah di saat gue mengolah data. Pertama, karena skripsi gue itu tentang industri perbankan yang sebenarnya itu jurusan gue, tapi karena data-datanya susah untuk dicari karena perbankan ya. Jadi gue harus tanya-tanya sama pihak-pihak yang memiliki data-data khusus dan itu susah banget carinya. Terlebih lagi, gue ngerjainnya mepet. Jadi gue harus cepet-cepet. Nah, di saat ngolah data juga karena berbagai data yang gue dapat itu macam-macam juga jadi berantakan dan gue harus jadiin semua satu format yang di mana itu benar-benar stressful karena datanya enggak cuman satu, tapi ribuan data. Lalu dari situ harus gue analisis.

Untuk itu, kalau kalian semua pada ngerjain skripsi, salah banget sih kalau kalian ngerjainnya mepet karena ya hasilnya adalah kalian hanya menyusahkan diri kalian sendiri.

Jingle Singkat Pembuka BGM 1: Find

Your Way Beat - Nana Kwabena

Sound Locked Doorknob Jingle

BGM 2:

Sunny Days - Anno Domini Beats

4’ 4” BGM 1

NARATOR:

Halo, sobat milenial! Selamat datang di podcast TAKIS, Atasi Krisis, bersama IDN Times. Podcast ini akan membahas mengenai krisis seperempat abad atau quarter life crisis. Nah, pada episode kali ini akan dibawakan oleh saya, Elis Sandi, dan bakal menceritakan peristiwa ketika mengalami krisis seperempat abad untuk lebih mengenal diri sendiri.

Sebelum itu, sobat milenial wajib tahu nih kalau kesehatan mental merupakan hal penting yang harus kita jaga. Mungkin saja cerita dalam episode ini termasuk sensitif dan dapat memicu hal yang tidak diinginkan oleh sebagian orang. Makanya, kalau kamu sedang berada dalam kondisi mental yang enggak baik-baik aja,

(10)

Jingle Singkat sangat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, klinik kesehatan jiwa, maupun lembaga swadaya masyarakat seperti Jangan Bunuh Diri lewat nomor 021 0696 9293 atau ceritakan masalahmu lewat jangan bunuh diri at yahoo dot com.

Sound Locked Doorknob Jingle BGM 2

Ya namanya juga mahasiswa ya, pasti salah satu kewajibannya adalah kerjain skripsi supaya bisa lulus kan? Selain penting untuk melatih kemampuan dalam membuat karya ilmiah sesuai dengan ilmu yang kita pelajari masing-masing, skripsi juga ternyata bisa memicu stres pada mahasiswa.

Sampai pernah ada loh penelitian yang mencari tahu tingkat stres mahasiswa saat mengerjakan skripsi. Penelitian tahun 2017 ini dibuat oleh salah satu mahasiswa Universitas Airlangga yang bernama Rosdiana Putri Arsaningtias. Dia menemukan kalau 57 dari 221 respondennya mengalami stres berat saat mengerjakan skripsi.

Sementara itu, 50 mahasiswa lainnya mengalami stres yang sangat berat dan 51 mahasiswa berada di tingkat stres normal.

Kenapa gitu ya penting banget kita bahas masalah stres saat mengerjakan skripsi?

Ya memang perlu diakui kalau setiap orang itu punya pengalaman yang berbeda- beda saat berhadapan dengan skripsi. Namun, ini jadi penting karena stres bisa memicu ke depresi hingga bunuh diri. Kalau misalkan kalian coba nih cari-cari di Google tentang kasus bunuh diri karena diduga ada masalah dengan skripsi, ya itu setiap tahunnya pasti ada-ada aja gitu peristiwanya. Enggak perlu deh kita sebutin satu-satu namanya atau dari universitas mana. Media daring juga udah banyak yang melaporkan kejadian itu.

(11)

Apalagi sekarang masyarakat di dunia dapat masalah tambahan dari luar diri kita sendiri, yaitu siapa lagi kalau bukan Si Korona atau pandemi virus Covid-19. Jadi susah kalau mau ketemu dosen, teman-teman, atau sekadar mau ngelakuin penelitian di kampus. Belum lagi, di usia 20-an rentan juga untuk mengalami krisis seperempat abad. Jadi berkali-kali lipat deh penyebab krisisnya.

Maka itu, salah satu perempuan berusia 23 tahun yang baru saja lulus tahun lalu dari perkuliahan S1 atau sarjana, yaitu Yolanda Vania, ingin menceritakan kisahnya selama membuat skripsi saat tiba-tiba dunia pertama kali dilanda oleh Covid-19.

Karena baginya, skripsi merupakan titik awal krisis seperempat abad di hidupnya.

YOLANDA: Halo, namaku Yolanda Vania dan ini ceritaku.

Jingle Singkat

1 BGM 3: Frozen in

Love - Aakash Gandhi

Jingle Singkat

7’ 51” BGM 3 YOLANDA:

Jadi pertama kali aku ngerasa quarter life crisis itu dari tahun lalu, bener-bener persis banget kayaknya sekitar bulan Maret ya. Aku ngerasa quarter life crisis ku karena pekerjaan skripsi karena aku ngerasa pekerjaan skripsi ini kok berat banget dan enggak sesuai sama plan diri aku. Karena aku ngerasa, aku termasuk orang yang punya planning hidup lah gitu dari dulu, dari SMA aku tuh kayak yang di masa teman-teman aku masih bingung mau kuliah ke mana, aku tuh dari kelas dua SMA udah tahu, aku mau kuliah apa, nanti mau kerja jadi apa gitu kasarnya. Nah, cuman ini nih satu, saat aku masuk ke mata kuliah skripsi itu, kok aku merasa semua hal itu enggak sesuai sama planning aku. Kayak sampai harus ganti judul berkali-kali, ganti metode berk ali-kali.

(12)

Aku di situ jadi ngerasa enggak punya kapabilitas untuk menyelesaikan skripsi itu.

Aku jadi cenderung untuk menyalahkan diri sendiri, aku jadi cenderung untuk selalu mempertanyakan, “Aku tuh di sini bener enggak sih. Kok bisa-bisanya aku tujuh semester kuliah, tapi ngerjain skripsinya enggak bisa. Kayak, apakah aku seenggak layak itu untuk udah ada di skripsi gitu?” Waktu itu aku mikirnya kayak gitu. Sampai kayak seketika apa yang udah dipelajarin tujuh semester kemarin kayak tiba-tiba terlupakan. Bukan terlupakan gimana, cuman kayak kok kayak enggak pernah belajar kayak gini loh selama kuliah. Kenapa tiba-tiba di skripsi gue harus kayak gini gini gini gitu.

NARATOR:

Mendengar cerita Yolanda, mungkin sobat millennial bertanya-tanya, sebenarnya apa aja sih yang bisa memicu stres saat mengerjakan skripsi? Macam-macam sih penyebabnya. Kalau bisa dibagi, Kresna Dwi Aryawan dalam kajiannya membagi pemicu stres saat skripsi menjadi dua, yaitu dari dalam dan luar diri. Beberapa faktor penyebab yang dari dalam diri adalah motivasi dan kesulitan mencari maupun memahami literatur. Kalau dukungan keluarga dan karakter dosen pembimbing, itu termasuk penyebab berubahnya kondisi psikis mahasiswa yang berasal dari luar diri. Salah satu contoh pemicu stres dari luar diri ya karena pandemi Covid-19, serupa seperti yang Yolanda rasakan.

YOLANDA:

Menurut aku, keadaan pandemi ini benar-benar memperkeruh keadaan untuk diri aku sendiri. Aku ngerasa kayak selama ini tuh aku bisa dapat semangat saat kuliah, bisa dapat kayak dorongan, itu tuh kayak dari teman-teman aku, lingkungan sekitar aku gitu, tapi seketika karena pandemi ini tuh kayak semuanya tuh hilang perlahan gitu loh. Yang kayak tiba-tiba harus cabut dari kosan, terus jadi kayak jauh sama teman-teman, yang di mana kita udah enggak bisa ngandelin teman-teman karena kan mereka juga punya kesusahan masing-masing. Mungkin mereka juga merasakan apa yang aku rasakan. Masa mereka harus selalu ada buat aku. Harus

(13)

selalu ngedukung aku gitu, sedangkan akunya aja lagi terpuruk, yang akunya enggak bisa bantu semangatin mereka juga gitu.

NARATOR:

Perubahan bisa terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupan kita. Manusia juga bukan bunglon yang bisa beradaptasi dengan mudah. Makanya, perubahan adalah perkara yang enggak mudah bagi sebagian orang, apalagi kalau kita omongin si Corona yang datang enggak diantar dan belum pulang-pulang sampe sekarang.

Ya wajar kalau bukan cuman kesehatan fisik yang terganggu, melainkan juga sampai ke kesehatan jiwa. Buktinya, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia mendapatkan data kalau ada 978 dari 1522 orang yang mengalami cemas dan depresi karena adanya pandemi Covid-19. Dan Yolanda merupakan salah satu orang yang stres dan cemas karena skripsi sehingga ia banyak menghabiskan waktu untuk berpikir atau overthinking.

YOLANDA:

Jadi kayak mulai berpikirnya malah bercabang gitu loh. Mulai overthinking, itu sih bener. Terus udah gitu, dari situ aku malah berpikir ke hal lain, yaitu ke tentang pekerjaan, tentang karier, tentang keluarga, tentang pertemanan, dan semuanya malah jadi aku pikirin gitu loh karena satu titik puncak saat aku stres skripsi itu gitu loh dan sampai sekarang aku jadi kayak malah ngerasa, “Kok aku orangnya overthinking banget ya” sampai sekarang gitu. Padahal dulu kayaknya pas kuliah aku enggak se-overthinking itu gitu. Jadi ya mungkin kira-kira awal mula dari aku quarter life crisis.

Dari skripsi itu aku juga mikir, setelah skripsi ini tuh hidup berjalan enggak akan kelar-kelar nih gitu. Kalau dulu kita mikir gitu kan kayak misalkan SMA, belajarlah, gapapalah nilainya jelek, masih ada nanti kuliah buat memperbaiki diri gitu loh.

Kasarnya kayak lihat aja nanti gue buktiin nih di perkuliahan gitu kan. Nah udah tuh, di kuliah juga gitu dong nanti. Gapapa deh kuliah misalkan kurang ini itu. Nanti

(14)

dibuktiin aja dikerjaan gitu. Nah sekarang tuh kayak udah enggak ada lagi gitu loh waktu untuk kayak gitu. Enggak ada waktu main-main lagi, enggak ada waktu kayak buat “nanti deh gue buktiin, nanti deh gue buktiinnya gitu”. Enggak bisa gitu.

Kayak sekarang tuh, waktu benar-benar berjalan cepat banget dan enggak akan pernah kembali dan gimana ya, enggak akan pernah bisa bikin kamu tuh ngulang hidup kayak gini tuh dua kali lagi gitu. Gitu. Jadi di situlah hal yang bikin aku benar- benar cemas, benar-benar takut gitu loh kalau tahun lalu, dan overthinking.

NARATOR:

Hampir setiap malam Yolanda memikirkan berbagai macam hal, mulai dari skripsi hingga permasalahan di masa depan. Saat mau tidur pun, ia masih sering memikirkan banyak hal sampai pola tidurnya menjadi tidak teratur.

YOLANDA:

Benar-benar tiap malam tuh kayak aku tuh selalu mikirin itu gitu. Bisa kayak tidur, tapi tuh tidur, tapi kayak enggak tidur. Itu tuh kayak otak aku tuh mikir gitu dan dari situ juga, aku ngerasa gitu loh kalau misalkan aku tidur subuh, bangun siang, menurut aku tuh hidup aku lebih cepat gitu. Padahal di situ aku tuh kayak cuman menunda menyelesaikan permasalahan yang aku punya. Karena nyatanya saat aku tidur subuh dan bangun siang, bukannya aku menyelesaikan masalah itu, bukannya aku apa ya, membuat suatu solusi gitu dari permasalahan itu, tapi aku cuman menghindari permasalahan itu, benar-benar terus nyerang aku setiap hari kan.

Ditambah lagi nambahin sakit fisik gitu ke aku karena pola hidup yang enggak benar, ditambah stres dan banyak pikiran, aku malah jadi kayak punya maag gitu loh. Malah kayak dulu tuh enggak pernah namanya punya maag gitu. Sampai dulu tuh bingung, “kok orang bisa sih punya maag”, emang makannya enggak teratur?

Emang gimana dan sekarang gitu aku yang ngerasain sendiri karena pola hidup aku dan pola makan aku yang enggak benar banget gitu saat itu gitu.

(15)

Jingle Singkat

2 BGM 4:

Sea of Memory - Aakash Gandhi Jingle Singkat

10’ 43” BGM 4 NARATOR:

Pengerjaan skripsi di tengah pandemi Covid-19 membuat Yolanda berada di masa terkunci. Karena merasa cemas, ia lebih nyaman apabila melakukan pemisahan diri atau memberikan jeda dalam kehidupannya. Periode pemisahan diri ini biasanya masuk ke fase kedua ketika seseorang mengalami krisis seperempat abad. Yolanda pun menjadi nyaman bila mengerjakan skripsi tanpa gangguan dari orangtua dan teman.

YOLANDA:

Di saat skripsi itu aku lebih, kayak apa ya namanya, pengennya tuh sendiri, ngerjain skripsi sendiri. Pokoknya enggak boleh ada yang ganggu gitu loh. Orang rumah pun jadi kayak tahu gitu kalau misalkan aku udah ngerjain skripsi sendiri kan kadang ngerjain skripsi sambil nangis-nangis gitu ya. Nah kayak orang rumah udah tahu gitu lah pasti kayak enggak boleh ada yang ganggu aku. Jadi ya mereka lebih apa ya kayak ya udah deh, take your time gitu lah istilahnya gitu kan.

Ya kayak pemisahan diri gitu sih kira-kira seminggu sekali pasti ada gitu loh saat di puncak stres karena kan kayak revisinya kan tiap minggu sekali, seminggu sekali.

Jadi kayak at least setiap satu minggu sekali itu pasti kayak aku ada waktu untuk pemisahan diri gitu sih. Karena aku memang butuh waktu untuk sendiri, pertama.

Terus kedua, pasti kayak revisian itu tuh selalu yang bikin aku makin stres, makin stres, semakin stres tiap minggunya gitu.

NARATOR:

(16)

Semenjak mulai mengerjakan skripsi, Yolanda merasa dirinya berubah menjadi orang yang lebih sensitif sampai mudah menangis. Lebih tepatnya, sifat melankolis yang dulu ia miliki, kini muncul kembali. Karena waktu Yolanda kuliah selama tujuh semester, ia merasa sifat melankolisnya itu mulai berkurang secara perlahan.

Memang sih sebelum masuk kuliah, Yolanda pernah mengikuti tes untuk mengetahui seberapa melankolis kah dia. Persentase pun menunjukkan, sifat melankolis yang Yolanda miliki mencapai 90 persen dan ternyata skripsi membuatnya kembali menjadi dirinya yang sensitif, mudah tersinggung, dan gampang menangis.

YOLANDA:

Pada saat masa skripsi aku itu gitu, tiba-tiba ke-melankolis-an aku itu tuh kayak tiba-tiba balik lagi kayak dulu gitu dan kayak bertahan sampai sekarang gitu. Jadi mungkin reaksi fisiknya, aku jadi lebih sensitif akan segala hal dan ya jadi lebih gampang nangis gitu loh untuk sekarang.

Misalkan kayak lihat video sedih atau apa gitu, benar-benar kayak bisa langsung meneteskan air mata saat itu juga gitu. Padahal dulu mungkin ya biasa aja gitu buat aku video itu, tapi kalau sekarang bisa jadi kayak langsung nangis atau gimana.

Terus kayak ngeliat hal yang tersentuh dikit, mungkin buat orang lain itu biasa aja, tapi buat aku itu bisa jadi hal yang kayak sedih banget gitu karena mungkin ya itu, hatinya ngerasa lebih sensitif ya akhir-akhir ini.

NARATOR:

Menangis menjadi reaksi fisik yang paling sering terjadi saat Yolanda berada di masa krisis seperempat abad. Dari seluruh rangkaian pengerjaan skripsi, ia merasa sangat terpuruk saat mengerjakan metode penelitian hingga sering kali meneteskan air mata.

(17)

YOLANDA:

Hal yang paling, bisa dibilang paling down, benar paling terpuruk banget saat aku ngerjain skripsi itu adalah saat aku ngerjain bagian metode penelitian gitu. Karena aku ngerasa bahwa aku ganti metode sampai empat kali gitu loh. Aku ngerasa kayak kok dosennya enggak terima ya metode ini, metode ini. Nah disitu aku mulai mikir, kok aku aja enggak ngerti sama penelitian aku sendiri. Kayak selama ini aku tuh kuliah tuh gimana sih gitu. Nah dari situ aku tuh benar-benar down banget.

Ngerasa kayak sampai aku harus nanya teman sana sini gitu loh buat kayak bantuin aku untuk cari pilihan metode yang lebih tepat gitu loh. Nah di minggu itu tuh aku tuh bener-bener semingguan itu, sekitar 7 harian lah seingat aku, benar- benar tiap hari tuh kerjaannya tuh nangis tau enggak.

Jadi kayak ngetik nangis, baca apa nangis, terus ngingat apa tuh nangis gitu.

Pokoknya jadi kayak enggak bisa berpikir jernih itulah di seminggu itu. Dan, apa, puji Tuhannya banyak teman-teman yang bantuin juga jadinya pada akhirnya aku bisa dapetin metode penelitian yang terbaik gitu kan. Nah tapi pas minggu itu, aku tuh banyak beban pikiran juga. Ya itu yang kayak aku enggak mau sampai extend nih karena kan aku punya goals. Aku mau 4 tahun harus lulus gitu kuliah aku tanpa extend-extend sama sekali gitu loh. Terus aku kayak ngerasa kayak kalau teman- teman deket aku aja bisa lulus tepat waktu. kenapa aku enggak gitu kan.

Nah di situ tuh kayak ada beban pikiran tambahan gitu loh. Selain skripsinya dan udah gitu aku juga beban lagi adalah, aku tuh enggak mau kayak bayar lagi gitu loh. Kayak hanya untuk sebatas ngelanjutin kerjain skripsi gitu. Kayak menurut aku itu mubazir aja, mendingan uangnya bisa aku alokasikan untuk hal lain gitu kan.

NARATOR:

Saat mengambil jeda untuk diri sendiri, Yolanda pun membatasi interaksi dengan teman-temannya dan memilih untuk jarang membuka media sosial, terutama Instagram.

(18)

YOLANDA:

Waktu itu pernah sempet, sempet saat-saat yang aku males banget balesin chat temen-temen. Mau temen-temen sedekat apapun tuh kayak males banget gitu kayak, ya udah deh gue lagi enggak mau bercengkrama dengan orang lain gitu. Ya udah gue mau dengan diri gue sendiri aja gitu kayak nonton, main game, atau enggak ya sekedar apa ya, bengong gitu-gitu lah pokoknya. Yang emang bisa mengubah diri aku dan bisa membawa diri aku lebih positif lagi gitu.

Terus selanjutnya mungkin aku juga kayak jadi jarang banget buka Instagram sih akhir-akhir ini karena ya mungkin udah dibilang sekitar 6 bulan kah, aku lupa sih tepatnya berapa lama cuman aku kayak udah jadi kayak jarang banget buka Instagram gitu. Kayak kadang bisa buka Instagram itu sehari sekali. Terus uda h gitu kalaupun buka Instagram, kadang lebih mainnya di second account sih. Kayak kalau di first account, aku udah jarang banget buka-bukain story temen-temen aku.

Kenapa? Karena aku ngerasa bahwa saat aku bukain story orang-orang tuh aku malah jadi memiliki rasa membandingkan diri lebih lagi gitu. Kan ya Instastory orang itu memang digunakan untuk memamerkan apa yang mereka punya gitu.

Memamerkan misalkan mereka makan ke mana, jalan ke mana, mereka kerja ke mana, mereka apa yang mereka lakuin gitu kan.

Nah dari situ aku ngerasa bahwa saat aku ngeliatin Instagram orang-orang, aku malah jadi lebih membandingkan diri terus gitu loh. Sedangkan kalau di second account kan tuh kan aku kayak lebih seringnya follow artis-artis kan. Jadi menurut aku itu kayak lebih hiburan gitu loh buat aku dibanding aku ngeliatin keseharian temen-temen aku di first account gitu. Kayak udah mulai pada upload-nya kan sekarang nih di apa ya, ya generasi aku lah bisa dibilang gitu, di Instagram Story teman-teman aku tuh kerjaannya tuh cuman nge-upload-nya kalau enggak kerjaan, tunangan, terus nyelesaiin skripsi, terus sidang ini sidang itu, nikahan atau udah punya anak kayak gitu gitu kan pokoknya. Jadi kayak malah membandingkan diri

(19)

lebih lagi gitu istilahnya. Jadi ya itu salah satu choice yang menurut aku cukup bisa menenangkan pikiran aku sih sampai sekarang gitu.

NARATOR:

Saat ini, keberadaan media sosial memang bisa diistilahkan sebagai dua mata pisau yang berbeda. Media sosial dapat mempermudah komunikasi di masa pandemi, tetapi juga bisa membuat seseorang minder karena melihat kehidupan orang lain. Nah, sering kali nih terjadi pada remaja dan dewasa muda untuk membandingkan diri dengan orang lain. Hal tersebut biasanya disebut sebagai perbandingan sosial atau social comparison. Sebenarnya perbandingan sosial ini ada faedahnya, kok! Kalau menurut psikolog Leon Festinger, manusia membandingkan diri supaya bisa mengembangkan pemahaman tentang siapa dirinya. Gampangnya, untuk evaluasi diri, tapi ya namanya juga pikiran manusia, pasti kompleks dan berbeda-beda. Ada yang malah merasa iri hati, minder, hingga depresi karena melakukan perbandingan diri dengan orang lain. Apalagi media sosial sangat mudah diakses dalam hitungan detik. Yolanda sendiri merasa kalau media sosial itu terkadang menjadi tempat yang jahat karena berulang kali dapat mengganggu kesehatan mentalnya selama krisis seperempat abad.

YOLANDA:

Karena menurut aku media sosial itu satu sarang yang dia jahat banget untuk nyerang mental seseorang, mungkin bisa dibilang kayak gitu. Karena kan sebenarnya belum tentu apa yang orang sabar di media sosial itu benar-benar 100 persen kehidupan mereka, bener-bener 100 persen diri mereka gitu loh. Pasti orang itu menyebarkan sesuatu di media sosial itu yang baik-baik aja yang kasarnya sempurna gitu dari diri dia. Enggak mungkin kan dia menyebarkan hal- hal negatif atau malah kayak aib dia gitu. Jadi kadang aku ngerasa kalau aku buka media sosial, itu tuh ngerasa kayak, kok aku masih ketinggalan banyak ya. Kok orang tuh udah bisa gitu mencapai bahkan mendapatkan pekerjaan, entah itu bisnis, entah itu apapun dari kehidupan mereka yang bahkan dicita-citakan sama

(20)

aku juga gitu. Padahal kan kita punya kesempatan yang sama, punya waktu yang sama. Misalkan aku sama dia, sama-sama hidup udah 22 tahun gitu di dunia ini.

Kita punya waktu yang sama kok, tapi kenapa aku belum bisa ya sampai ke situ gitu.

Aku kadang jahatnya tuh berpikirnya seperti itu, tapi kan nyatanya setiap orang memang punya waktunya masing-masing, punya kesempatannya masing-masing.

Mungkin waktunya sama, tapi perjuangan yang aku lakukan dengan yang dia lakukan tuh beda. Mungkin dia selama ini lebih berjuang, lebih berdarah-darah, dan dia lebih pantas gitu untuk mendapatkan posisi tersebut atau hal tersebut gitu. Tapi kadang kan ya kita kan melihatnya cuman yang baik-baiknya aja. Jadi ya kadang, ya jahatnya dari media sosial ya itu sih. Bikin kita jadi kadang merasa lebih rendah dari orang lain, mungkin kita ngerasa, kok kita gini-gini aja gitu. Padahal nyatanya enggak. Padahal nyatanya mungkin kalau kita sebarkan di media sosial tentang kita juga, orang menganggapnya gitu mungkin untuk kita gitu.

Kehidupan kita akan lebih baik jika dipandang orang lain gitu. Jadi apa ya, kita juga harus bisa memandang kehidupan kita seperti orang lain memandang kehidupan kita atau kita memandang kehidupan orang lain gitu. Karena kan ya kata pepatah juga ada kayak, “rumput tetangga akan selalu lebih hijau” gitu. Jadi sampai kapanpun kita mengejar, itu pasti akan ada selalu yang lebih baik gitu dari diri kita.

Jingle Singkat

3 BGM 5:

Dreamland - Aakash Gandhi

11’ 5” BGM 5 NARATOR:

Kehadiran media sosial dan proses pembuatan skripsi yang menurut Yolanda bermasalah, membuat perempuan yang kini menetap di Bandung memiliki pikiran

(21)

Sound Paper Scraps Cut

Sound drawing on paper using pencil

Sound paper folding

Sound Cans into Cabinet

Jingle Singkat

yang cenderung negatif dan berlebihan dengan aspek kehidupan lainnya. Namun pada April tahun 2020, Yolanda mulai menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya karena ia merasa tidak semampu dan sekuat biasanya. Semangat dari orang lain pun tidak memberikan dampak yang signifikan untuk menyalakan api semangat Yolanda lagi.

YOLANDA:

Sekali waktu di tanggal 24 April, aku lagi natap layar laptop, terus lagi mikirin skripsi aku, dan aku berpikir juga, kayaknya aku butuh semangat dan energi baru deh.

Akhirnya aku tuh ambil kertas kosong gitu dan menuliskan semangat untuk diri aku sendiri di kertas itu.

Sound Paper Scraps Cut and Sound drawing on paper using pencil

Karena aku menyadari, mau bagaimanapun orang lain menyemangati aku, tapi kalau akunya enggak ada semangat dari dalam diri aku, itu akan menjadi hal yang percuma. Semangat dari orang lain jadinya cuman kayak angin lewat doang buat aku saat itu. Lalu aku nulis di kertas itu dengan membayangkan apa yang ingin aku baca di tanggal 15 Juni mendatang.

Oh ya, 15 Juni itu adalah tanggal akhir pengumpulan skripsi aku dan aku juga membayangkan situasinya. Jadi aku tulislah kayak, gimana? Udah selesai kan skripsinya? Selamat dunia perkuliahan kamu sebentar lagi akan selesai.

Yolanda 24 April yakin banget kalo Yolanda 15 Juni pasti sudah gembira dan bersorak sorai. Jangan lupa untuk berterima kasih sama Tuhan ya. Terus aku juga sampai nulisin kayak, semangat untuk sidang gitu. Aku tulis, semangat ya sidangnya. Tujuh minggu yang kemarin aja kamu bisa melewatinya, apalagi 1 hari sidang, pasti Tuhan lindungi. Jadi di dalam surat itu aku bener-bener bikin

(22)

semangat aja untuk diri aku sendiri. Selagi aku tulis, aku baca, aku mengimani, dan aku masukin dalam hati dan pikiran aku.

Dari situ aku benar-benar mengimani banget apa isi surat itu dan aku jadi lebih percaya sama diri aku sendiri. Terus surat itu aku lipat-lipat dan aku tulis, dari Yolanda 24 April untuk Yolanda 15 Juni, dibukanya tanggal 15 Juni ya.

Sound paper folding and sound drawing on paper using pencil

Dan aku masukin ke dalam celengan kosong dan simpan celengan itu di atas meja tempat aku mengerjakan skripsi.

Sound Cans into Cabinet

Jadi di saat aku lagi down, aku selalu lihat celengan itu dan ingat bahwa ada surat yang berisi janji dan juga kebahagiaan yang menunggu aku di 15 Juni nanti.

Dan sampailah tuh di 15 Juni. Puji Tuhan banget aku bisa mengumpulkan skripsi tepat waktu walaupun dengan perjuangan yang bener-bener wow banget ya. Dan saat aku membuka lagi surat itu,

Sound paper folding

aku tuh bener-bener merasa bangga sama diri aku sendiri dan sangat bersyukur banget bisa lewatin 7 minggu yang menurut aku cukup berat banget. Tapi di satu sisi, saat baca surat itu juga, aku jadi kayak ngerasa lucu. Sampai aku tuh berpikir, apakah dulu gue se-desprate ini kah sampai nulis surat-surat kayak gini. Dan aku jadi merasa bahwa surat itu merupakan titik balik dari rasa lemah aku saat itu. Terus

(23)

aku juga merasa, dengan surat itu aku jadi punya semangat baru karena aku sudah menuliskan janji di surat itu untuk diri aku sendiri.

Dari kejadian surat itu, aku benar-benar belajar bahwa aku harus selalu percaya sama diri aku sendiri karena gimana orang lain mau percaya sama aku kalau misalkan diri aku sendiri aja enggak percaya. Dan aku selalu yakin, setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Sampai sekarang setiap ada masalah, aku tuh selalu membayangkan gimana dulu aku baca surat itu 15 Juni lalu. Karena aku yakin, cepat atau lambat, aku pasti bisa bahagia dan menertawakan permasalahan-permasalahan yang sedang aku alami. Jadi sampai sekarang kalau ada masalah, aku selalu ngomong sama diri sendiri, tenang ada saatnya kamu menertawakan permasalahan ini suatu saat nanti, tinggal tunggu waktu yang tepat aja ya.

NARATOR:

Meskipun Yolanda sudah selesai mengerjakan skripsi dan berhasil lulus pada waktu, tetapi masalah yang ia hadapi selanjutnya adalah kebingungan untuk mengetahui apa tujuan hidupnya. Pikiran Yolanda masih berputar-putar untuk mencari jawaban apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

YOLANDA:

Aku mungkin ngerasa kira-kira sekitar bulan apa ya, Oktober-November kali ya tahun lalu, aku lupa tepatnya. Itu aku ngerasa bahwa, kayaknya enggak bisa deh kayak gini terus. Kapan kelarnya kalau misalkan cuman muter-muter di permasalahan itu doang gitu, tanpa mau mencari jalan keluar. Kasarnya ya harus berusaha lah gitu kalau mau mencapai tujuan hidup ke depannya gitu. Walaupun sebenarnya memang jadi kayak bikin takut berharap sih karena takut kayak enggak kesampaian atau gimana gitu. Cuman mau nggak mau kan harus menjalani kehidupan lebih lagi dong ke depannya gitu.

(24)

Terus dari situ mungkin salah satu cara yang aku lakukan adalah aku lebih mendekatkan diri sama Tuhan gitu. Karena menurut aku yang punya jawaban atas setiap permasalahan hidup aku tuh cuman Tuhan gitu. Karena apapun yang kamu lakukan, kalau misalkan memang Tuhan kamu tidak berkehendak atas apa yang akan terjadi di hidup kamu, itu enggak akan terjadi gitu kan. Nah jadi salah satu cara terbaik yang aku lakukan adalah aku makin mendekatkan diri sama Tuhan aku. Di situ aku ngerasa, ya mungkin kayak lebih rasa pelan-pelan makin ramai, makin damai. Cuman emang enggak bisa dipungkiri juga bahwa enggak se-instan itu gitu loh caranya. Aku juga masih harus berdamai sama diri aku sendiri, mungkin sampai sekarang juga kadang masih ada gitu, masih muncul rasa kecemasan atau tanda tanya atau mungkin kayak overthinking-overthinking gitu kan. Tapi dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, aku ngerasa bahwa cukup berkurang banyak sih rasa cemas dan rasa overthinking aku. Walaupun memang masih ada gitu.

NARATOR:

Meskipun belum tahu dengan pasti mengenai tujuan hidupnya, tetapi saat ini Yolanda sudah belajar untuk memahami dan memaafkan diri. Proses pengerjaan skripsi pun bisa ia pandang menjadi titik awal bagi dirinya untuk sadar bahwa penting untuk mencari dan melangkah bersama diri sendiri walaupun ia belum bisa mencintai diri sepenuhnya.

YOLANDA:

Aku ngerasa, aku belum melalui tahap self-love ya. Aku di sini masih tahap untuk kayak memahami diri dan memaafkan diri. mungkin dan memaklumkan diri aku gitu. Belum sampai tahap yang bener-bener aku, kan kalau self love tuh biasa kayak yang bener-bener nggak insecure, bener-bener pede banget sama diri sendiri. Mungkin kalau aku belum sampai di tahap itu, tapi aku lagi berkomitmen untuk mau gitu sampai tahap itu karena di sini aku masih di tahap untuk kayak

(25)

pahamin dulu deh diri aku gitu. Maunya apa, terus sebenarnya diri ini maunya dibawa kemana kayak gitu, lebih kayak gitu sih.

Dari masalah pandemi yang kayak aku ngerasa bahwa enggak ada lagi yang bisa diandelin gitu. Aku cuman bisa ngandelin diri aku sama ngandelin Tuhan aku gitu.

Dari situ aku ngerasa bahwa saat aku enggak punya ekspektasi sama manusia, kehidupan aku tuh kayaknya berjalan lebih apa ya, lebih mudah gitu ya kayaknya.

Karena aku tidak memberatkan ekspektasi aku di manusia-manusia lain gitu. Jadi kayak ya udah kalau kasarnya kayak mau ada boleh, enggak juga ya udah gitu.

Jadi mungkin itu sih salah satu hal yang aku lakukan untuk membalikkan jati diri aku dan dan apa namanya, untuk nenangin hidup akulah gitu biar kayak mengurangi kecemasan.

Dan terakhir, aku bener-bener lebih berusaha untuk mengontrol pikiran aku sih karena mungkin aku tadi udah sempet sampaikan juga bahwa kadang tuh pikiran kita gitu loh yang malah jahat sama diri kita sendiri. Kadang omongan orang lain itu enggak sejahat pikiran kita sendiri gitu loh dan karena kita sendiri yang berpikir, kita sendiri yang kayak mendem gitu dalam, hati pikiran-pikiran kotor itu, malah jadi bikin stres. Dan yang kedua ya mungkin bisa jadi omongan orang lain gitu kan. Jadi aku sih untuk sekarang ini lebih kayak mengendalikan pikiran aku sendiri dan lebih memfilter apa yang orang lain ngomongin tentang aku atau orang lain omongin ke aku gitu kan.

NARATOR:

Memang sih, mengalami krisis seperempat abad tidaklah mudah, apalagi di masa pandemi Covid-19. Setiap orang juga sering kali berada di kondisi yang berbeda- beda saat mengalami krisis ini. Tutorial untuk menjadi dewasa juga belum tercantum dalam kurikulum sekolah manapun karena memang titik temu krisis setiap orang berbeda-beda.

(26)

Setelah mengeksplorasi diri dan berusaha membangun kehidupannya, Yolanda memandang positif kejadian-kejadian dirinya saat mengalami krisis seperempat abad. Baginya, krisis ini menjadi momen pengingat untuk lebih fokus pada diri sendiri agar lebih siap melangkah dalam kehidupannya ke depan.

YOLANDA:

Aku ngerasa bahwa saat kita quarter life crisis itu mengajarkan aku, ternyata ada yang enggak beres nih sama dalam diri aku gitu. Sama halnya dengan kalau kita sakit fisik juga kan. Pasti harus kita obatin. Nah itu, si quarter life crisis itu aku ngerasa juga, ini kayaknya ada hal yang enggak beres dan pastinya harus aku obatin deh. Nah dengan kayak gitu, aku jadi lebih ngerti diri aku sendiri dan aku rasa memang quarter life crisis ini bener-bener satu momen pengingat sih untuk aku tetap fokus goals aku, tetap fokus ke diri aku, dan fokus terhadap apa yang ada di diri aku saat ini bukan membandingkan diri dengan orang lain.

Udah jadi mulai sekarang sih menurut aku, melangkahlah ke depan, ke cerita-cerita baru gitu, apa yang udah di belakang yaudah biarin lupain aja, mau itu baik maupun itu buruk. Jadikan kenangan manis aja gitu, jadikan pembelajaran juga gitu, enggak usah jadikan penyesalan atau malah jadi sebuah batu sandungan untuk kita melangkah ke depannya, seperti itu.

Pelan-pelan aja sih. Enggak semua orang bisa langsung ada di tahap seperti ini, enggak semua orang bisa langsung mencintai dirinya sendiri, aku pun belum gitu, tapi seenggaknya memaafkan menerima dulu deh apa yang terjadi dalam kehidupan kamu saat ini gitu. Dan mungkin bisa juga ini salah satu menjadi cara adalah mulai kayak semacam bodo amat sama lingkungan kali ya. Jadi bukan bodo amat gimana, tetaplah peka sebagai manusia, sebagai makhluk sosial, tetapi enggak usah terlalu memedulikan apa yang terjadi di lingkungan kamu sebegitunya

(27)

gitu loh. Fokus saja dengan apa yang akan terjadi dalam diri kamu karena tiap orang punya waktunya yang beda-beda kan dan cuman kamu yang bisa ngertiin kapan waktu kamu dan kamu juga bisa bangga dengan diri kamu sendiri nantinya saat waktu-waktu itu tuh mulai terjawab gitu loh perlahan-lahan.

Enggak usah terlalu kayak celamitan ngelihat kanan-kiri, kanan-kiri gitu. Jadi gitu sih dan ya udah, enggak usah berekspektasi dan menyalahkan diri sendiri, tetap terima apa yang sudah ada saat ini dan jalani apa menurut kamu baik.

Jingle singkat

4 Jingle Singkat 27’ 54”

(seharusnya 24’)

NARATOR:

Sobat millennial, emang bener ya, ada aja gitu cobaan di hidup. Kalau dari cerita Kak Yolanda tadi, dia pasti merasa overthinking karena mengalami krisis seperempat abad saat ada masalah ketika mengerjakan skripsi, lalu ada pandemi Covid-19, sampai timbul rasa membandingkan diri dengan orang lain lewat media sosial. Ya, kita paham sih kalau enggak semua orang mengalami masalah yang sama.

Makanya, enggak lengkap rasanya kalau Elis, host kalian nih, belum ngomong sama yang sudah hadir di sini nih, Mas Putra Wiramuda selaku psikolog. Sebagai latar belakang, Mas Putra ini sudah menyelesaikan master psikologinya atau pendidikan S2 di Universitas Gajah Mada. Ia juga salah satu penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau yang lebih kalian kenal sebagai L-P-D- P, bener enggak, Mas?

PUTRA:

Ya, kurang lebih begitu.

(28)

NARATOR:

Nah, sip kalau gitu! Berhubung Mas Putra juga praktisi mindfulness, jadi mari cus kita coba kulit-kulik salah satu metode hidup, yaitu mindfulness yang membuat kita harus hidup secara sadar di sini dan saat ini. Jadi untuk memulai semuanya, aku penasaran nih, Mas, sebenarnya mindfulness itu apa sih? Dan apa gitu manfaatnya kalau kita mengerti mindfulness selama berada di krisis seperempat abad?

PUTRA:

Oke, sebenarnya definisi sederhananya mindfulness itu present moment awareness sih, kesadaran di setiap momen, kesadaran di sini dan saat ini gitu ya.

Itu definisi mudahnya gitu ya. Jadi kalau mau dikaitkan dengan quarter life crisis gitu ya, ya kita aware, kita sadar, oke saya sekarang sedang quarter life crisis. Kita tidak menolaknya gitu ya, tidak berusaha sok kuat dan sok tidak mengalami quarter life crisis, tidak. Dan kita juga tidak larut dan tenggelam dengan

“wah saya sedang mengalami krisis seperempat hidup nih. Jadi saya enggak bisa ngapa-ngapain nih, saya tidak berdaya, saya jatuh ke dalam lubang depresi, enggak. Mindfulness ngajarin kita seimbang di tengah-tengah. Kita sadar, kita aware, kita amati setiap kejadian yang terjadi, pengalaman yang terjadi dalam kehidupan kita gitu ya, tapi kita enggak larut juga. Nah, pentingnya mindfulness gitu ya, kenapa kita perlu berlatih mindfulness, terutama di tahapan quarter life crisis gitu ya. Saya sih menyarankan baiknya sebelum quarter life crisis ya. Kalau sudah ada di fase krisis itu, orang mau diajarin sesuatu udah susah gitu kan karena biasanya sudah emosional gitu, sudah yah sudah tak berdaya. Tapi kalau dia sudah berlatih sedari dini gitu ya. Misalnya oh ini masa-masa sulit nih, kayaknya saya perlu membekali diri dengan skill mindfulness nih, itu lebih baik.

Nah, dengan berlatih mindfulness gitu ya, yang pertama yang jelas kita bisa jadi lebih paham sama diri kita gitu. Tentu saja dengan di setiap latihannya gitu ya yang kita lakukan adalah kita mengarahkan kesadaran ke dalam diri kita gitu ya. Kita merefleksikan diri kita. Apa sih yang sebenarnya muncul di perasaan aku, apa sih

(29)

sebenarnya yang muncul di pikiranku belakangan ini, apa sih sebenarnya overthinking yang ku hadapi belakangan ini. Kita menyadari dan kita mengamati aja dengan tenang, dengan jernih, dengan teduh gitu kan. Kalau selama ini mungkin kita melihatnya dengan penuh emosional dan overthinking gitu ya.

Mindfulness itu kita melihatnya dengan penuh ketenangan gitu ya, dengan penuh equanimity.

Nah, akhirnya ketika muncul pertanyaan-pertanyaan itu ya, bisa jadi mungkin enggak langsung pop! gitu ya, muncul jawaban gitu ya. Wah ternyata pikiran saya seperti ini karena A, karena B, mungkin enggak gitu, tapi minimal gitu ya, kita jadi lebih tenang aja dalam bersikap. Jadi enggak panik, jadi enggak depressed gitu ya, jadi enggak stres, jadi enggak overthinking, jadi enggak cemas. Nah, kalau kita udah lebih tenang dalam bersikap gitu ya, sebenarnya tinggal menunggu waktu, nanti pelan-pelan jawaban-jawaban atas pertanyaan itu tadi ya, pertanyaan eksistensial itu tadi ya, soal who am I, itu nanti akan tersingkap dengan sendirinya gitu ya. Walaupun mungkin tiap orang beda-beda ya tiap prosesnya gitu.

Nah, yang kedua adalah kita juga lebih terintegrasi sebenarnya gitu kan. Antara pikiran dan perasaan kita gitu ya. Kenapa terintegrasi gitu ya karena ketika kita mindful kan kita sebenarnya aware kan dengan apa yang ada di pikiran dan perasaan gitu ya. Dengan demikian, ketika menghadapi masalah-masalah krisis di usia-usia tertentu itu tadi gitu ya, kita bisa lebih bijak sebenarnya. Jadi wah ini saya lagi galau misalnya, contoh itu tadi. Saya lagi galau menghadapi skripsi nih. Setiap saya mau bimbingan nih, saya selalu overthinking gitu, saya selalu bad mood, gitu ya misalnya. Saya selalu sensi gitu misalnya. Nah, ya sudah gitu ya berarti setiap mau menghadapi dosen penguji gitu ya atau dosen bimbingan skripsi gitu ya, orang-orang yang berlatih mindful cenderung akan mempersiapkan diri bahwa oke, ini saya akan menghadapi dosen pembimbing gitu ya. Mungkin sekarang lagi sensitif, merasa sedang sensitif, ya saya bisa lebih bersikap, bisa menjaga sikap saya kepada orang-orang gitu.

(30)

Atau mungkin saya membatasi hubungan ketemuan saya dengan banyak orang- orang yang tidak terlalu penting dulu gitu atau orang-orang yang mengganggu lah, mungkin bahasa sekarang toxic gitu ya. Walaupun saya tidak setuju dengan istilah itu. Saya mungkin lebih mendekatkan diri ke orang-orang yang membuat saya nyaman, membuat saya lebih baik. Terus kemudian dia juga jadi lebih oke gitu ya karena mood saya agak berantakan, mau ketemu dosen, mungkin jam tidur saya, saya atur nih, waktu makan saya perbaiki nih supaya mood saya baik. Itu yang kedua.

Yang ketiga tentu saja kita bisa lebih self compassion, kita bisa lebih menerima dan mengasihi diri kita, mencintai diri kita. Seringkali banyak orang ketika menghadapi quarter life crisis gitu ya, seperti contoh yang Elis cerita tadi gitu kan. Dia terus overthinking gitu ya, dia terus sebel sama dirinya gitu ya. Dia terus bingung, apakah saya salah jurusan, dan lain sebagainya. Nah, dengan berlatih mindfulness, kita dilatih untuk tetap sabar dan sayang sama diri kita, ketika kita melewati masa-masa sulit. Salah satunya itu tadi gitu ya, quarter life crisis. Kalau istilah sekarang mungkin self-love, kita jadi lebih care sama diri kita.

Kita aware kalau sebenarnya semua orang di dunia ini pasti mengalami yang namanya quarter life crisis gitu kan. Nah karena semua orang mengalami, berarti gitu ya, saya bukanlah satu-satunya orang yang paling paling menderita di dunia ini. Yang perlu saya lakukan adalah saya sabar aja melewati proses, saya akan tumbuh menjadi lebih baik.

Dan dengan kesadaran itu juga, kalau memang kita butuh bantuan gitu ya. Kita jadi lebih aware juga untuk minta bantuan ke orang yang tepat gitu ya. Ke profesional misalnya, mental health psikolog, psikiater, atau misalnya menghubungi teman, tapi teman yang dapat dipercaya misalnya. Atau mungkin kita juga lebih bisa

(31)

pandai mengatur waktu untuk me time gitu ya. Oke ini masa-masa krisis gitu ya, saya tidak perlu membebani diri saya dengan banyak tugas, ikut semua organisasi, ikut semua kegiatan, eksis di sana sini gitu ya yang malah melelahkan gitu ya. Tapi oke saya sekarang perlu nge-rem sedikit gitu ya. Mungkin sekarang saya perbanyak istirahat dulu aja di rumah gitu ya. Atau kalau misalnya mau ikut kegiatan pengembangan diri yang ringan-ringan aja gitu ya. Yang sesuai hobi saya gitu kan dan lain sebagainya. Nah, pentingnya untuk mindfulness, kita memiliki skill-skill itulah minimal. Kalau mau dijabarin manfaatnya dengan kaitanya dengan quarter life, wah bisa jadi banyak banget. Kurang lebih kayak gitu.

NARATOR: Wah, super lengkap banget nih penjelasan dari Mas Putra. tadi sempat dengar nih dari penjelasan Mas Putra, sebenarnya mindfulness itu membuat kita jadi lebih fokus aja gitu ya ke monotasking? Monotasking kan kebalikannya dari multitasking berarti, yaitu ya fokus gitu sama sekarang yang lagi kita lakuin supaya jadi enggak cemas atau bisa overthinking. Soalnya tadi kalau mendengar cerita Kak Yolanda sebelum ini, dia kan juga sampai pusing pikir ke mana-mana atau sampai overthinking, bahkan sampai merasa pikiran dia terlalu jahat gitu. Apakah pemahaman ini udah cukup benar, Mas kalau mindfulness itu memang lebih ke monotasking gitu.

PUTRA:

Yak, ya, simple-nya gini deh, salah satu yang bisa kita pelajari, yang kita maknai di mindfulness adalah, ya sudah gitu loh. Kita menghidupi dan kita fokus ke satu hal yang sekarang sedang kita hadapi gitu ya. Misalnya sekarang yang sedang kita hadapi skripsi. Skripsi aja tuh sudah sangat membebani nih misalnya gitu kan. Ya sudah pelan-pelan gitu ya dengan latihan yang rutin, fokusnya kita arahin hanya mengerjakan skripsi gitu kan. Berbagi beban lain nih gitu ya misalnya.

Beban setelah lulus mau jadi apa gitu misalnya atau mau nikah sama siapa gitu misalnya. Sudah itu nanti ada masanya sendiri gitu, itu nanti ada waktunya sendiri

(32)

untuk memikirkan itu. Nah, satu persatu dulu gitu kan. Nah, kalau misalnya sudah mulai mengerjakan skripsi nih ya, misalnya seminggu sudah lima hari kerjain skripsi, se-sekali pengen refreshing. sehari. dua hari, ya it’s okay gapapa.

Refreshing lah sehari dua hari. Tapi selama refreshing-nya sehari, dua hari itu, kita lakukan dengan mindful juga gitu. Kita benar-benar menikmati fase refreshing-nya.

Jangan selama kita mengerjakan skripsi pikirannya ada di refreshing, waktu kita refreshing pikirannya ada di mengerjakan skripsi gitu. Nah, itu tidak mindful, itu salah satu yang bikin orang overthinking juga gitu. Memang ngomongnya mudah iya, makanya perlu dilatih nah. Saya enggak bilang kan mindfulness itu adalah magic pill gitu yang bisa dalam waktu sekejap gitu misalnya menyembuhkan segala macam kondisi, enggak. Tapi yakinlah kalau kita latihnya dengan penuh kesabaran, konsisten gitu, pelan-pelan nanti akan ada hasilnya gitu, akan ada buahnya itu gitu.

Jadi ya kalau emang sekarang lagi skripsi, ya gapapa gitu ya, dipeluk aja berbagai kesulitannya, berbagai penderitaannya, berbagai ketidaknyamanannya gitu. Justru waktu kita sedang menderita dengan skripsi, kita jadi aware kan ternyata. Wah, ternyata nih, kelemahan saya adalah apa misalnya kelemahannya adalah oh saya ternyata kalau konsisten hanya mengerjakan satu hal selama beberapa bulan itu bikin stres. Kita dapat insight itu aja itu udah hal yang luar biasa gitu kan. Sering kali kan orang susah itu kalau sedang emosional, sedang overthinking dapat insight itu gitu. Atau hal lain gitu ya misalnya. Itu contoh mudahnya.

Jangan-jangan ini bukan ini saya gitu kan, passion saya gitu ya. Nah bisa jadi itu insight baru juga kan. Hal-hal umum baru gitu ya, pengetahuan baru juga gitu kan.

Nah, coba dipelajari gitu kan, apakah memang benar itu ya, pelan-pelan dipikirkan dengan tenang, dengan bijak, atau kah memang itu pelarian karena saya, I don’t know mungkin ya, kelelahan mengerjakan gitu. Karena kalau memang itu bukan

(33)

tujuan saya gitu kan, I believe sih ada banyak, ini ya, ada banyak judul di seluruh dunia ini gitu ya, judul skripsi gitu ya.

Let’s say kayak Elis ini mengerjakan tugas seperti ini juga, saya yakin pasti ada ketertarikan tertentu kan dengan quarter life crisis dan mindfulness, makanya akhirnya mengambil topik ini.

NARATOR:

Iya sih, Mas. Iya bener banget, bener-bener!

PUTRA:

Nah, kalau dari saya pribadi sih, saya menyarankan for everything, for jurusan, for skripsi, for misalnya nanti lanjut S2 gitu ya, for tesis, ya ambillah sesuatu yang kamu cintai, yang kamu suka. Kenapa? Ya karena selama beberapa bulan ke depan, kamu akan terus-menerus bercinta dengan topik itu gitu kan.

Jadi mindset-nya kamu tidak bertarung dengan topiknya gitu ya, berantem gitu ya, siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih jago, menghabiskan energi, enggak. Tapi mindset-nya adalah befriending, bersahabat, bahkan mungkin bercinta gitu ya. Jadi selalu excited untuk wah, nanti malem saya mau ngerjain itu ah, seru banget nih bisa belajar topik baru nih, bisa ketemu sama narasumber siapa misalnya, dan lain sebagainya. Jadinya kan asik gitu. Nah, tapi balik lagi, tidak semua orang bisa punya insight seperti itu dengan mudah gitu dan memang butuh proses bisa dapat insight seperti itu gitu sih.

NARATOR:

Wah! Jadi tertarik banget nih sama mindset tadi kalau kita itu harus bersahabat atau bahkan bercinta sama sesuatu yang kita kerjakan. Apalagi kalau skripsi itu biasanya satu semester kita kan kerjain hal yang sama ya.

(34)

PUTRA:

Indeed, betul sekali.

NARATOR:

Nah, kalau kita udah tahu apa itu mindfulness dan manfaatnya, sekarang pertanyaan yang mungkin lewat di kepala itu adalah gimana sih cara menerapkannya, gitu kan? Cocok banget nih sebenarnya sama Mas Putra.

Sebelumnya juga sempat ngobrol-ngobrol gitu kalau Mas Putra punya panduan untuk latihan dasar mindfulness. Makanya, buat sobat milenial yang ingin belajar, Mas Putra udah ada rekaman untuk berlatih mindful breath, yaitu menyadari nafas.

Semuanya ada di link bio Instagram-nya Mas Putra yang berarti gratis ya, Mas?

PUTRA:

Iya, gratis, silakan didengarkan dan dilatih. Hehe.

NARATOR:

Beneran deh ini bukan promosi gitu ya atau dibayar gitu, enggak, tapi yauntuk kasih tahu aja kalau sekarang itu memang akses belajar dan latihan tuh jadi lebih mudah dan ada yang gratis. Ramah lah buat dompet-dompet sobat milenial.

PUTRA:

Itu salah satu contohnya, latihan lain banyak, latihan lain macam-macam gitu ya, teman-teman bisa mindfull sambil melakukan aktivitas apapun sebenarnya, lewat single tasking ya, bahkan teman-teman mindfulness sambil nyuci piring saja bisa gitu. Mindfulness sambil apa misalnya mendengarkan podcast nah mungkin. Bisa tuh mindfulness sambil mendengarkan podcast. Jadi waktu dengerin podcast yasudah, saya hanya benar-benar mendengarkan dan memaknai informasi yang saya dapatkan dari podcast itu gitu ya. Saya enggak sambil dengarin podcast,

(35)

sambil ngecek Instagram, sambil ngecek Facebook, sambil update story, sambil segala macam, ya itu enggak mindfull gitu. Sambil itu bisa gitu ya, sambil aktivitas selain apa misalnya hobinya Elis apa misalnya?

NARATOR:

Ehmm kalau aku sih hobinya ini, Mas. Nonton YouTube deh, Mas, nonton YouTube.

PUTRA:

Nonton YouTube, oke. YouTube apa nih misalnya?

NARATOR:

Hmm apa ya. Oh ini deh, ini deh, tadi waktu itu aku nonton live-nya Dewa Kipas tuh, Pak Dadang lawan Grand Master Irene.

PUTRA:

Oke jadi ini ya nonton Pak Dadang sama GM Irene ya, boleh boleh gitu ya, nonton itu gitu ya, sambil kita perhatikan, Oh ternyata ada ilmunya gitu ya sampai itu tadi kan Grand Master Susanto Megaran, eh siapa sih namanya, benar ya Susanto Megaranto ya, siapa sih.

NARATOR:

Itu yang putra ranking 1, Mas PUTRA:

Yang Grand Master ranking 1 itu kan ya dia hafal banget tuh kan C5, G berapa, H berapa gitu kan. Nah, itu waktu itu karena saya tonton juga kan karena saya tertarik kayak nah sama mindful juga. Kayak wih begitu dia sebutin H5 itu, saya mengikuti tuh, saya titeni tuh H H itu berarti, oh ternyata H itu yang ini, angkanya itu ini gitu

(36)

kan. Nah, menariknya adalah dengan mindful kita jadi bisa tahu detil-detilnya gitu ya. Terus dia pakai istilah gajah-gajah gitu ya, kalau saya biasanya istilahnya peluncur gitu ya, ternyata dia pakai istilah gajah. Terus ada istilah lain tuh, apa london lah, apa lah gitu, akhirnya saya setelah nonton full, saya penasaran, saya searching di Google juga tuh. Teknik-tekniknya, ada teknik a, teknik b, teknik c gitu- gitu kan. Nah, itu menarik ternyata iya ya dari nonton YouTube aja saya bisa melakukan mindful, ada banyak makna yang bisa saya pelajari dan ada banyak wawasan yang bisa saya pelajari. Se-simple itu aja kan sebenarnya mindfulness itu, tapi kalau memang teman-teman mau latihan yang serius, latihan basic-nya masih masih harus tetap dilakuin.

NARATOR:

Hmm siap siap siap. Berarti mindful breath harus tetap dilatih supaya kita bisa makin jago gitu ya untuk selalu berkesadaran dalam menjalani hidup. Tapi nih Mas ya, ada laporan tahun lalu dari Statista yang mencatat kalau anak muda usia 25 sampai 34 tahun di Indonesia itu paling banyak menggunakan media sosial.

Sedangkan yang ada di posisi keduanya itu anak muda di usia 18 sampai 24 tahun.

Dengan seringnya pakai media sosial ini, muncul lagi permasalahan. Kita ambil contoh dari cerita Yolanda. Saat ada di masa krisis seperempat abad, dia sempat menarik diri dari media sosial karena merasa dirinya terlalu membandingkan kehidupannya dengan orang lain. Akhirnya malah iri dan jadi salah satu alasan Yolanda sekarang berpegang pada diri sendiri. Kalau dari sudut pandang psikologi, fenomena ini apa namanya dan bagaimana kita dapat menyikapinya?

PUTRA:

Banyak istilahnya ya, self-comparison ya, perbandingan diri gitu ya. Nah, pertama gini yang harus disadari gitu ya. Yang orang akan upload di Instagram gitu atau di media sosial ya, itu mungkin hanya 5 detik dalam kehidupannya yang terbaik gitu ya.

(37)

Let’s say gini ya, selama saya S2 gitu kan. Selama saya studi lanjut gitu kan, saya studi lanjut puji syukur dapat beasiswa juga gitu kan. Nah, waktu itu banyak yang, begitu saya hm, waktu itu saya cukup aktif meng-upload, apa yang bisa saya lakukan selama studi gitu ya. Nah, terus kemudian sampai saya mulainya tertampar ketika ada yang bilang, wah kan kamu hidupnya enak gitu. Semuanya dibiayai negara gitu ya, tinggal sekolah, dan lain sebagainya, belajar enak bisa jalan-jalan ke sana kemari. Saya mulai tertampar bilang, loh kan yang saya upload itu hanya mungkin 5 detik dari kehidupan saya yang menarik dong. Kan tidak mungkin dong berjam-jam yang saya habiskan membaca buku di perpustakaan gitu ya, sambil kantong matanya gede banget karena kurang tidur waktu ngerjain tesis itu saya upload di media sosial kan tidak mungkin dong, gitu ya. Kesulitannya kita waktu kita keluar dari apa, ujian tesis gitu misalnya ya, sambil nangis-nangis itu kan enggak mungkin di-upload gitu kan atau misalnya udah janjian sama dosen penguji, tapi terus ternyata di php-in sampai harus mangkrak berapa bulan gitu kan.

Kan enggak mungkin dong gitu kan. Kalau saya sih, saya enggak enggak akan mau meng-upload itu di media sosial gitu kan.

Nah, tapi dari pengalaman tersebut itu mengajarkan saya juga, oh ternyata hal se- simple itu yang menurut saya itu baik-baik saja gitu ya. Itu kan saya tidak mengganggu orang lain, saya tidak ada niatan untuk menyakiti hati orang lain. Nah, tapi ternyata orang lain tersakiti dengan itu. Jujur kalau saya pribadi, saya jadi lebih bijak gitu ya. Kalau upload, ya sudah gitu, enggak usah yang terlalu wow-wow.

Bahkan sisi kelemahan dan kemanusiaan saya pun, saya tunjukkan juga kadang- kadang di Instagram gitu, di story, yang lucu-lucu juga saya tunjukkin juga. Ya enggak apa-apa itu manusiawi gitu.

Nah sama, yang dilihat oleh Yolanda mungkin ya itu hanya, mungkin 0,5 sampai 1 persen yang paling bagus di dalam kehidupan yang sudah difilter, sudah dipercantik, yang sudah ditambahin ornamen sana sini. 97 atau mungkin berapa persen lainnya lah ya yang dia mengalami kesusahan dan kesulitan, kan dia tidak

(38)

pernah upload gitu kan. Pun sama gitu ya, Yolanda dalam kehidupannya enggak mungkin mengalami derita gitu kan. Pasti ada kebahagiaannya juga, pasti ada kesenangan juga. Dan yakinlah, itulah yang di-upload di media sosialnya.

Itulah kenapa, enggak ada habisnya kalau mau social comparison ya, membandingkan diri secara sosial. Tapi kalau emang kita rasa diri kita enggak kuat gitu ya, melihat media sosial dan melihat orang lain yang jauh lebih sukses, kita enggak tahu benar-benar sukses atau itu hanya segala macam gitu kayak yasudah enggak apa-apa juga dimatiin, itu juga enggak salah. Jadi enggak ada yang benar dan salah, itu pilihan hidup aja.

NARATOR:

Hmm soalnya kayak punya atau aktif di media sosial itu sebenarnya enggak harus ya?

PUTRA:

Yak, pun beberapa teman saya, sahabat saya yang juga praktisi mindfulness gitu ya. Dia bahkan rutin gitu, setiap berapa bulan sekali, ya dia akan menonaktifkan Instagram-nya selama beberapa minggu. Nanti kalau dia sudah baik-baik saja, diaktifin lagi. Jadi it’s okay gapapa. Saya pun juga gitu gitu ya. Saya kadang dua minggu sekali itu pasti ada dua hari yang saya, tidak sampai saya nonaktifkan, tapi kalau pun ada notif, enggak akan saya buka juga. Enggak akan saya urusin dulu gitu, apalagi kalau itu di akhir pekan dan itu gapapa gitu.

Nah, saya jadi muncul pertanyaan menarik nih ya. Jangan-jangan mungkin generasi milenial sekarang justru menganggap aneh orang-orang yang tidak menggunakan media sosial atau menutup diri dari media sosial. Kalau menurut saya itu hal yang wajar. Bisa jadi sekarang udah mulai bergeser tuh, kriteria normal adalah orang harus menggunakan media sosial.

(39)

Ada enggak yang misalnya habis menonaktifkan Instagram-nya gitu ya dan Twitter- nya gitu ya, terus tiba-tiba besok koma di rumah sakit?

NARATOR:

Ya enggak sampai koma di rumah sakit juga sih, Mas ahahaa PUTRA:

Hahahaa, terus misalnya oh ini Twitter-nya saya nonaktifin ya. Wah terus besoknya diabetesnya kambuh atau muncul kanker di tubuhnya gitu ya, kan enggak ada kan.

Jadi ya itu sebenarnya, enggak ada pun, enggak apa-apa gitu ya. Ya itu hanya membantu kita. Menjadi masalah ketika yang seharusnya membantu kita malah bikin kita kecanduan.

NARATOR:

Berarti benar-benar harus diwaspadai ya pakai media sosial. Jangan sampai yang membantu kita malah kasih dampak negatif karena ya enggak pakai media sosial juga gapapa gitu. Oke kita masuk ke pertanyaan selanjutnya nih, Mas. Ada terpintas pertanyaan di benak nih. Perjalanan menemukan diri ini kan enggak mudah, pasti ada masalahnya dan mungkin membawa dampak negatif ke kesehatan mental maupun fisik beberapa orang. Makanya kalau ditanya nih, Mas, sampai kapan sih perjalanan mengenal diri kita sendiri akan berakhir?

PUTRA:

Kayaknya kamu udah tau jawabannya deh. Sampai mati kan. Yak, selalu ada yang baru gitu ya. Setelah quarter life crisis gitu ya, kita akan menghadapi middle life crisis. Setelah middle life crisis gitu ya, kita akan menghadapi fase baru lagi gitu, masa menjelang pensiun ada lagi istilahnya, apa crisis gitu ya. Nah, setelah apa crisis, kita menghadapi lagi gitu ya masa-masa near dying experience, sekarat, itu

(40)

crisis juga. Ya selalu ada yang crisis baru dan di setiap crisis baru itu, yakinlah pasti ada pembelajaran yang bisa kita pelajari. Bahkan di ujung, iya di ujung, yup betul.

Bahkan di ujung usia kita, ketika kita mau meninggal nanti gitu ya. Seolah-olah apa manfaatnya, kita mau belajar apa lagi, belajar dong. Belajar melepaskan yang selama ini kita pegang erat-erat di dunia. Belajar mewariskan apa yang bisa kita wariskan ke yang masih hidup, itu juga belajar dan belajar, belajar untuk mengajarkan orang lain supaya ikhlas melepaskan kita juga.

NARATOR:

Okeh, saya juga baru tahu banget nih kalau ada istilah-istilah krisis lain yang akan menanti kita di masa depan. Jadi perlu digaris bawahi nih mungkin sobat milenial, kalau kita akan terus terus terus dan terus menerus mencari jati diri sepanjang hidup. Nah sekarang kita masuk ke pertanyaan terakhir. Mas Putra, sebenarnya ada enggak sih pesan dari Mas Putra sebagai psikolog dan praktisi mindfulness untuk teman-teman yang masih mencari jati diri di krisis seperempat abad ini?

Apalagi untuk mereka yang merasa terlambat gitu sebenarnya, kayak seharusnya pas remaja nih gue harus lakuin, gue harus menemukan jati diri, tapi kenapa baru sekarang gitu. Gimana, Mas?

PUTRA:

Pertama gini, quarter life crisis itu dihadapi semua orang. Saya harus bilang gitu ya, semua orang tanpa terkecuali. Saya pun mengalaminya. Nah dan it’s okay, enggak apa-apa gitu karena semua orang mengalaminya. Itu justru yang kita butuhkan supaya kita bisa growth, supaya kita bisa bertumbuh gitu ya. Supaya kita bisa berpikir kritis dan menanyakan hal-hal yang kritis.

Gimana caranya kita bertumbuh dan menemukan jawaban kalau kita tidak ada pertanyaan kritis? Ada pertanyaan kritis itu bisa dipicu dengan quarter life. Jadi ya

(41)

udah, take your time aja gitu ya. Pelan-pelan gitu, step by step gitu ya. Kalau kita bilang, wah saya belum sempat mengalami pengalaman a, b, c, dan d gitu ya. Nah, orang-orang yang mengalami pengalaman a, b, c, dan d gitu ya, dia mungkin akan bilang, wah kok saya enggak pernah mengalami e, f, g, h yang mungkin e, f, g, h itu kita sudah pernah mengalami gitu. Nah, jadi setiap orang punya pengalaman hidupnya masing-masing, keunikannya masing-masing. Kalaupun kita merasa, oh kok saya belum sempat dapat pengalaman a, b, c, dan d gitu ya. Yah kalau kita memang masih mau untuk mencoba pengalaman itu, ya cobalah gitu kan. Umur di bawah 30 tahun itu kalau menurut saya sih masih bisa banget lah kalau mau nyoba banyak hal-hal yang positif tapi ya gitu ya.

Take your time aja gitu, pelan-pelan, nikmati setiap prosesnya gitu kan daripada kita keburu-buru pengen melewatinya gitu kan. Yakinlah, nanti di usia 40, mungkin kita ketawa, wah gila ya dulu gue quarter life crisis sebegitu menderitanya gitu kan.

Ternyata ini saya mau masuk ke umur 50, middle life crisis, lebih gila lagi ternyata tantangannya gitu ya. Saya harus membiayai anak-anak saya untuk sekolah misalnya. Saya yang dulu bisa main sana sini gitu ya, sekarang mungkin bermain sejam dua jam udah encok misalnya gitu ya. Dulu saya bisa makan sepuasnya gitu ya, sekarang makan daging kambing dua tusuk aja buat darah tinggi naik misalnya gitu ya. Itu udah tantangan baru lagi kan gitu. Makanya nikmati aja setiap tantangan.

Karena setelah lewat tantangan satu, pasti ada tantangan baru lagi. Sedih, galau, cemas, stres, menderita it’s okay gapapa, itu kenikmatan. Itu naik turunnya kehidupan, itu indahnya dunia. Kalau kita hidupnya enak-enak aja, nyaman- nyaman aja gitu ya, lama-lama bosen juga gitu ya, lama-lama kita krisis juga. Wah kok aku hidupnya gini-gini aja ya, hidup aku enak-enak aja ya, stres juga nanti, bingung juga. Jadi serba susah gitu ya. Jadi ya sudah dinikmatin aja.

(42)

Buat yang sedang ngerjain skripsi, dinikmatin aja ngerjain skripsinya gitu. Pada akhirnya selesai kok. Skripsi yang baik itu bukan skripsi yang dapat A. Skripsi yang baik itu adalah skripsi yang selesai. Karena iya dong, kalian mau dapat A, wah saya mau target saya A, perfeksionis gitu ya karena perfeksionis jadinya malah enggak dikerja-kerjain gitu, prokrastinasi, percuma gitu ya. Gapapa, enggak usah sempurna-sempurna gitu ya yang penting skripsinya selesai gitu ya. Nanti di dunia kerja juga enggak akan ada kok gitu ya. Di dunia kerja, setelah kalian kerja beberapa tahun gitu ya, terus mau naik jabatan, ditanyain, wah ini penting banget nih untuk kenaikan jabatan, “apa judul skripsimu dulu?”. Tidak akan gitu loh. Waktu pertama kali masuk mungkin iya, tapi kalau sudah ini mah, pokoknya dinikmati aja.

Itu sih gitu.

NARATOR:

Ih pandangan baru nih, kalau skripsi itu mah dikerjain aja ya, dinikmatin. Soalnya skripsi yang baik itu adalah skripsi yang selesai, mantap! Terima kasih banyak Mas Putra sudah hadir dan mencerahkan sobat millenials di program TAKIS.

Penutup BGM 1: Find Your Way Beat - Nana Kwabena Jingle Utama

2’ 23” BGM 1

NARATOR:

Sobat milenial, memang ada banyak cara untuk menemukan diri sendiri, salah satunya seperti Yolanda yang mengalami krisis seperempat abad saat mengerjakan skripsi. Ternyata kisah kecemasan Yolanda di tengah pandemi Covid-19 dapat memberikan pelajaran bahwa jangan lupa untuk terus fokus pada tujuan sendiri dan tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Soalnya, setiap orang punya jalannya masing-masing. Dalam proses menjalani quarter life crisis, Yolanda dan Mas Putra selaku psikolog juga mengingatkan kita untuk ya pelan-pelan dan nikmati saja. Kemudian, semoga wawasan mengenai mindfulness juga membuat sobat milenial bisa lebih tenang dalam mengelola emosi untuk menghadapi krisis seperempat abad. Bagi sobat milenial yang tertarik belajar

(43)

mindfulness, bisa mulai mencoba untuk melakukan latihan dasar mindful breath secara gratis dari Instagram Mas Putra, yaitu at putra wiramuda.

Kalau kalian ingin juga membagi cerita kecemasan saat krisis seperempat abad di TAKIS seperti Yolanda, hubungi kami lewat direct message Instagram at podcast dot TAKIS. Selain kamu bisa berbagi cerita, kamu juga bisa membaca konten- konten mengenai krisis seperempat abad yang tentunya mengedukasi. Terima kasih telah mendengarkan episode pertama TAKIS. Tunggu kehadiran episode TAKIS lainnya pada hari Sabtu di akun Spotify IDN Times! Jangan lupa follow dan juga terus baca IDN Times!

Jingle Utama

(44)

LAMPIRAN D

(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)

Gambar

Tabel R ancangan Konten Feeds Instagram @podcast.takis

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini sampel bakso diambil tanpa kuah, adapun penyebab kontaminasi bakteri Salmonella pada bakso dilihat dari kriteria tempat pengambilan samapel

Menilai kesesuaian pelaksanaan proses evaluasi dokumen untuk mengimplementasikan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran sampai dengan tersusunnya laporan hasil evaluasi, yang

Seluruh Dosen Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian-Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan ilmu dari awal hingga penulis menyelesaikan

Kelemahan sejati dari bucket dan weir adalah karena sifat pemasangannya, menyebabkan ada daerah yang menyempit di bawah bucket-nya, sehingga jika fluida sumur banyak mengandung

Maka, penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis kertas saring manakah yang baik digunakan sebagai bahan pembuatan kertas indikator pH dari ekstrak daun bayam

Berdasarkan batasan pengertian dari silah istilah diatas maka yang dimaksud degan upaya peningkatan ekonomi masyarakat melalui kelompok ternak sapi Sido Mulyo desa

Alasan-alasan tersebut dapat memberikan jawaban bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya tindakan tidak aman diantaranya (1) manajemen dalam hal peraturan dan

Infeksi subklinis timbul karena titer antibodi yang dihasilkan unggas setelah vaksinasi tidak protektif/rendah maupun akibat ketidaksesuaian antigen vaksin dengan