• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Strata Pendidikan Bidan dengan Pengetahuan Tentang Manajemen Aktif Kala III dari Hasil Pelatihan APN 515

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Strata Pendidikan Bidan dengan Pengetahuan Tentang Manajemen Aktif Kala III dari Hasil Pelatihan APN 515"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN

DENGAN PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN

AKTIF KALA III DARI HASIL PELATIHAN APN

Diajukan Oleh :

ABDUL HAKIM

NIM : S 5804001

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I OBSTETRI GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kasus-kasus perdarahan di Indonesia cukup tinggi. Diperkirakan terdapat 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya, paling sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan sampai meninggal (WHO, 1998). Begitu juga di Kabupaten Sukoharjo kematian akibat perdarahan post partum paling tinggi dibanding preeklampsia dan infeksi (profil DINKESSOS Kab Sukoharjo). Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul selama kala III. Pemerintah mengadakan pelatihan APN yang salah satunya di Kabupaten Sukoharjo. Pelatihan tersebut diikuti oleh bidan DI dan DIII. Bidan DIII berasal dari SMA akan memperoleh kesempatan pendidikan lebih banyak dari DI yang bersal dari SMP. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik kualitas pemahamanya ( Tirta Raharja, 2005). Bidan DIII akan lebih baik pemahamanya dibandingkan dengan Bidan DI dalam mengikuti pelatihan APN yang dilakukan dalam rentang waktu yang sama yaitu 2 minggu, padahal bidan DI lebih banyak jumlahnya yang ikut APN dari pada DIII kemungkinan hal inilah yang berakibat tidak berhasilnya program pemerintah untuk menangani permasalahan.

(3)

Perbandingan angka kematian ibu di Indonesia dan negara Asia Tenggara dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Manuaba, 1998).

Tabel 1. Perbandingan angka kematian ibu di beberapa negara Asia Tenggara tahun 1998.

Negara Kematian ibu/100.000 kelahiran hidup

Singapura 5

Malaysia 69

Thailand 100

Myanmar 120

Philipina 142

Indonesia 390

Waspodo, dkk (1999) mengemukakan ada tiga penyebab utama kematian ibu di Indonesia yakni : perdarahan 40 persen, infeksi 30 persen, dan eklampsia

20 persen. Prendivile, dkk (2000) mengatakan bahwa penyebab kematian ibu dari kasus obstetrik di Afrika Barat adalah perdarahan (3,05 per 100 kelahiran hidup), sedangkan lainnya penyebabnya adalah ruptur uteri, hipertensi dalam kehamilan, eklampsia dan sepsis. Kasus perdarahan umumnya terjadi karena

atonia uteri, retensio plasenta, kasus ini sebenarnya dapat dicegah dan dihindari sedini mungkin.

Sampai saat ini ada berbagai upaya untuk mencegah perdarahan

(4)

setiap bidan yang melakukan pertolongan persalinan khususnya penerapan managemen aktif kala III. Upaya lain yaitu dilakukan pelatihan APN yang didalamnya terdapat pengetahuan tentang manajement aktif kala III.

(5)

pemerintah berupa APN kurang berhasil karena kualitas pemahaman bidan DIII lebih baik dari pada bidan DI.

1.2Perumusan Masalah

“Apakah strata pendidikan bidan berpengaruh terhadap pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dari hasil pelayanan APN di kabupaten Sukoharjo?”

1.3Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pemahaman tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN dan mengetahui hubungan strata pendidikan bidan dengan pengetahuan tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN. 1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk mengetahui peran tingkat pendidikan terhadap pengetahuan manajemen aktif kala III dari hasil pelatihan APN oleh bidan dalam pertolongan persalinan.

1.5Keaslian Penelitian

Menurut penelurusan kepustakaan bahwa penelitian yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut :

Penelitian Sumali, AM (2004) di Kabupaten Pemalang Jawa Tengah tentang hubungan tingkat pengetahuan bidan desa dengan cakupan penanganan persalinan. Hasil penelitian tersebut tingkat pengetahuan bidan mempunyai hubungan bermakna dengan cakupan penanganan persalinan.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Landasan Teori

2.2.1 Manajemen Aktif Kala III

Untuk membantu proses kelahiran plasenta memerlukan tindakan manajemen aktif kala III, hal ini akan mencegah kejadian perdarahan postpartum. Mengingat kematian ibu bersalin yang terjadi sebagian besar adalah perdarahan postpartum, utamanya disebabkan karena atonia uteri dan retensio plasenta, maka upaya yang dianjurkan bagi penolong persalinan adalah dengan menerapkan manajemen aktif kala III.

Manajemen aktif kala III, yaitu dengan penggunaan oksitosin profilaksis, penjepitan tali pusat segera dan melahirkan plasenta dengan

traksi terkontrol, telah dipergunakan secara luas dengan tujuan untuk pencegahan perdarahan postpartum dan retensi plasenta (McDonald, dkk, 1993). Uterotonika profilaksis menurunkan resiko perdarahan postpartum

sekitar 60 persen dan menurunkan kebutuhan uterotonika tambahan sekitar 70 persen dihubungkan dengan efek samping obat seperti nausea

dan nyeri kepala. (Khan dkk, 1995).

Telah diterangkan bahwa pendekatan yang dipilih harus berdasarkan keuntungan dan kerugian yang sesuai dengan masing-masing daerah. Manajemen pasif dapat dikerjakan pada ibu hamil dengan resiko rendah yang melahirkan di rumah sakit atau yang melahirkan di rumah bidan/klinik serta mudah dirujuk ke rumah sakit dalam waktu singkat bila ada kedaruratan. Hal ini biasanya berlaku di negara industrialis. Di negara berkembang bagaimanapun ada beberapa faktor resiko yang perlu dipertimbangkan :

(7)

2. Tingginya insidensi anemia dalam kehamilan pada sebagian besar negara berkembang mendorong upaya-upaya untuk mencegah kehilangan darah yang tidak diinginkan.

3. Almari pendingin untuk obat-obatan dan pelayanan tranfusi darah yang tidak adekuat (McDonald dkk, 1993).

Manajemen aktif kala III tidak hanya pemberian oksitosin saja tetapi komponen yang lain harus dilaksanakan. Komponen manajemen aktif kala III terdiri dari :

a. Pemberian Oksitosin

Uterotonika diberikan untuk menghasilkan kontraksi uterus yang adekuat. Ada dua jenis uterotonika yang dapat dipakai, yaitu oksitosin

dan ergometrin, tetapi yang dianjurkan adalah oksitosin 10 IU

intramuskuler. Penelitian yang dilakukan Prendiville (2000), oksitosin 10 IU intramuskuler yang digunakan pada manajemen aktif kala III lebih efektif dapat mencegah perdarahan postpartum jika dibandingkan dengan manajemen fisiologi. Perdarahan yang terjadi pada paska persalinan pada persalinan yang dilakukan manajemen aktif kala III relatif menurun (Prendeville, 2000).

Ketepatan dosis, waktu pemberian dan penyimpanan oksitosin

menentukan pengaruh rangsangan kontraksi pada uterus. Pemberian

oksitosin yang tepat adalah dosisnya 10 IU intramuskuler, waktunya segera setelah bayi lahir. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa potensi obat oksitosin menurun karena tidak disimpan dengan cara yang benar ( Mario dkk, 2003 ).

b. Penegangan Tali Pusat Terkendali atau Controled Cord Traction

Penegangan tali pusat terkendali adalah tindakan yang dilakukan untuk membantu proses kelahiran plasenta. Hasil penelitian, bahwa penegangan tali pusat terkendali tidak mencegah perdarahan

(8)

Langkah-langkah tindakan penegangan tali pusat terkendali, adalah sebagai berikut: a) satu tangan penolong diletakkan pada korpus uteri

tepat di atas simpisis pubis. Selama ada kontraksi tangan penolong mendorong korpus uteri dengan gerakan dorso cranial ke arah belakang dan ke arah kepala ibu, b) tangan yang satu memegang tali pusat dekat dengan pembukaan vagina dan melakukan penarikan tali pusat terus menerus dalam tegangan yang sama dengan tekanan ke

uterus selama ada konstraksi. Langkah-langkah ini diulangi setiap ada kontraksi sampai plasenta lahir.

c. MassaseFundus Uteri Setelah Plasenta Lahir

Setelah plasenta lahir, maka kala III berakhir, tetapi tugas penolong persalinan belum selesai, karena masih ada resiko perdarahan. Penyebab terbesar kejadian perdarahan postpartum adalah atonia uteri. Untuk mengurangi kemungkinan atonia uteri dilakukan masase fundus uteri secara aktif untuk menunjang kontraksi uterus yang baik.

2.2.2 Bidan

Bidan (DI) adalah seseorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan bidan yang diakui oleh pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku (IBI, 1999). Menurut Zapata dan Godue (1997), bidan adalah seorang wanita yang telah mendapatkan pendidikan kesehatan, untuk memberikan perawatan pada wanita, perawatan kehamilan dan persalinan yang beresiko rendah. Bidan (DIII) adalah pelaksana asuhan kebidanan berdasarkan atas instruksi dokter (Depkes RI 2002).

(9)

belum menunjukkan penurunan yang berarti. Upaya pemerintah yang ditempuh salah satunya meningkatkan pendidikan bidan lebih tinggi yaitu DIII Kebidanan.

Sampai proposal ini disusun (2009) lama kerja bidan antara 3 tahun sampai 30 tahun. Menurut Muchlas (1998) pengalaman bidan dalam bidang tertentu belum menjamin bahwa mereka lebih produktif dan bijaksana dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan mereka yang belum lama bekerja. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Robbin (1996), masa kerja tidak berhubungan dengan pengetahuan kinerja, semakin senior seorang pekerja belum berarti akan lebih baik pengetahuan kinerjanya dibandingkan dengan pekerja yang senioritasnya lebih rendah. Selain lama kerja, status kepegawaian ternyata tidak mempengaruhi

pengetahuan dan kinerja bidan, baik pegawai negeri sipil atau pegawai tidak tetap. Hal ini sesuai dengan temuan Syah dan Prawitasari (1998), bahwa kinerja dan pengetahuan bidan yang berstatus PNS tidak jauh berbeda dengan bidan dengan status pegawai tidak tetap.

Lulusan program pendidikan bidan saat ini relatif masih muda umurnya dan waktu pendidikannya sangat singkat. Disisi lain mereka dihadapkan dengan luasnya cakupan kemampuan yang harus dimiliki dan kekurangsesuaian antara masalah di lapangan dengan materi pendidikan yang mereka peroleh di bangku pendidikan. Banyak kendala yang dihadapi bidan di desa dan dianggap program ini belum berhasil menurunkan AKI, sehingga bidan memerlukan pendidikan yang berkelanjutan (continuing education) (Mukti, 1998).

Temuan Suhadi dan Hakimi (2000), bidan yang telah mengikuti pendidikan ternyata penanganan kasus rujukannya meningkat dari 19 kasus (6,2%) menjadi 34 kasus (7,2%). Kajian lain ditemukan oleh Muchlas (1997) yang mengatakan bahwa produk dan jasa yang dihasilkan sangat tergantung pada karyawan yang diberdayakan, dilatih dan diakui kerjanya.

(10)

mereka yang berkompeten. Hal ini sesuai dengan pendapat Syah dan Prawitasari (1998), bahwa semakin efektif pimpinan atau pengawas melakukan supervisi terhadap bidan akan meningkatkan pengetahuan yang berpengaruh terhadap kinerja bidan.

2.2.3 Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan strata intelektual atau tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan ia lebih terlatih untuk mengolah, memahami, mengevaluasi, mengingat, yang kemudian menjadi pengetahuan yang dimilikinya (Tirtaraharja., 2005).

Pendidikan menurut sifatnya dibedakan menjadi (Ahmadi A., Uhbiyati N, 1991) :

1) Pendidikan informal, adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar maupun tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-hari, maupun dalam pekerjaan.

2) Pendidikan formal adalah pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah.

Dapat dikatakan bahwa semua manusia dalam aspek kehidupannya agar tidak dikatakan ketinggalan dari yang lainnya mereka memerlukan suatu pendidikan. Dengan pendidikan ini diharapkan nantinya memiliki pengetahuan yang lebih rasional dalam aspek kehidupan. Semua manusia yang telah memperoleh pendidikan tentunya mempunyai tingkatan pendidikan yang mereka peroleh juga berbeda-beda.

(11)

mudah menerima informasi tentang suatu hal dan menganalisanya, dan menerapkan makna dan segi-segi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari (Mardiatmadja, 1996). Frekuensi informasi yang sering diterima dan berkesinambungan akan mempengaruhi daya ingat dan akan menimbulkan sikap terhadap informasi tersebut (Ahmadi, 1991).

Menurut Azwar (1995) lembaga pendidikan mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena lembaga pendidikan meletakkan dasar pengertian dan konsep moral. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan yang diperoleh dari pendidikan dan ajaran-ajarannya.

Menurut pemahaman perubahan perilaku, pendidikan dapat menjadi faktor internal sebagai penentu perubahan perilaku sehat. Pendidikan dapat juga menjadi faktor eksternal yang memudahkan seseorang melakukan perilaku sehat. Lingkungan pendidikan seperti teman, guru dan orang lain dapat menjadi pendorong peningkatan perilaku (dalam Simon Morton, 1995).

Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan formal dapat mempengaruhi sikap seseorang. Tingkat pendidikan formal memungkinkan seseorang lebih tinggi tingkat pengetahuannya.

2.2.4 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek atau informasi tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Untuk memperoleh pengetahuan dbutuhkan proses kognitif yang merupakan hal penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

(12)

verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (knowledge) (Notoatmodjo, 2003).

Petanyaan dapat dipergunakan untuk mengukur pengetahuan dan dapat dikelompokan jadi 2 jenis yaitu :

1. Pertanyaan subyektif misalnya jenis pertanyaan essay

2. Pertanyaan obyektif, misalnya pertanyaan pilihan berganda, benar-salah dan pertanyaan menjodohkan.

Dari kedua jenis pertanyaan tersebut, pertanyaan obyektif terutama pilihan berganda lebih disukai untuk dijadikan sebagai alat pengukuran karena lebih mudah disesuaikan dengan pengetahuan yang akan diukur serta lebih cepat dinilai

Pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang diperhatikan, dipahami dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai bentuk termasuk pendidikan formal maupun informal, percakapan harian, membaca, mendengar radio, menonton televisi, dan dari pengalaman hidup (Simon-Morton, 1995).

Pengetahuan dapat diukur melalui beberapa metode yaitu : wawancara, observasi dan uji tertulis (Elwes dan Simnet, 1995).

2.2.5 Pelatihan

Banyak kendala yang akan menghalangi keberhasilan suatu pelatihan, sebagaimana kita ketahui pelatihan yang diberikan pada para Bidan dapat dikategorikan sebagai pelatihan di bidang kesehatan, tidaklah berbeda dengan pelatihan – pelatihan di bidang yang lain yang penuh dengan unsur pendidikan, informasi dan penularan pengetahuan/ketrampilan yang semuanya diperlukan waktu dan sistem yang baik dan harus dapat dilakukan berulang-ulang untuk menumbuhkan motifasi pada diri sendiri (Widyawati S, 2003)

(13)

Untuk melaksanakan komunikasi pribadi yang efektif baik pemberi maupun penerima informasi harus memiliki ciri : keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan. Sedangkan penilaian akan keberhasilannya adalah terjadinya sikap perilaku dari penerima informasi (Wiryanto, 2006). Maka selain dari pada itu dalam unsur pendidikan mengandung pokok – pokok penting yang mengait proses pembelajaran, proses sosial, memanusiakan manusia dan berusaha mengubah atau mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yang positif.

(14)

2.2Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Bidan mempunyai tugas dan tanggung jawab kepada ibu bersalin dalam mencegah perdarahan postpartum dengan mengacu pada standar pelayanan yang telah ditetapkan. Manajemen aktif kala III sesuai standar pelayanan yaitu pemberian oksitosin 10 IU, penegangan tali pusat terkendali dan masase fundusuteri setelah plasenta lahir akan dapat mencegah ibu hamil bersalin dari perdarahan postpartum.

Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyebab kematian ibu, apabila tidak ditangani dengan manajemen aktif kala III yang benar akan berdampak meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu bersalin. Pengetahuan manajemen aktif kala III dalam pertolongan persalinan oleh bidan dipengaruhi oleh faktor pendidikan.

2.3Hipotesis

Tingkat pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dari hasil pelatihan APN pada bidan dengan srata pendidikan DIII lebih baik dari pada bidan dengan strata pendidikan DI.

D I (SMP + 3Th)

D III (SMA + 3Th)

Pola Pikir

Daya Nalar

Daya Ingat

APN

Pengetahuaan bidan tentang manajemen aktif kala III

(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik, dengan rancangan penelitian cross sectional, yaitu penelitian epidemiologi yang mempelajari hubungan antara varibel bebas dengan variabel terikat dengan melakukan pengukuran sesaat dan bersamaan.

3.2Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di wilayah kabupaten Sukoharjo.

3.3Subyek Penelitian A. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua bidan yang telah ikut APN di Kabupaten Sukoharjo baik yang sudah D3 maupun yang belum D3. B. Sampel Penelitian

Dalam pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan secara total sampling yaitu sejumlah 162 bidan desa yang menolong persalinan di 12 kecamatan wilayah kabupaten Sukoharjo. Dengan pertimbangan bidan-bidan tersebut telah ikut APN.

3.4Kriteria Subjek A. Inklusi

- Bidan tersebut telah mengikuti APN

- Berdomisili di wilayah Kabupaten Sukoharjo B. Eksklusi

(16)

3.5Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah : Variabel bebas meliputi : Strata pendidikan bidan

Variabel terikat : Pengetahuan tentang manajemen aktif kala III oleh bidan setelah pelatihan APN.

3.6Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif menggunakan kuesioner yang pernah dilakukan dalam penelitian milik AM Sumali, jadi tidak perlu lagi dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Menurut Ernest dan Young (1993), kuesioner adalah kelompok atau urutan pertanyaan yang dibuat untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber informasi atau responden yang ditanyakan oleh pewawancara.

3.7Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan langsung dari bidan di wilayah Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2008.

3.8Definisi Operasional

Tabel 3. 1. Definisi Operasional

No Variabel Definis Operasional Skala

(17)

III setelah pelatihan APN

Strata pengetahuan bidan tentang manajemen aktif kala III dikategorikan :

 Baik  Score diatas Means  Kurang baik  Score

dibawah Means

3.9Analisis Data

(18)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil Penelitian

Subjek penelitian ini adalah bidan yang berdomisili di kabupaten Sukoharjo. Responden di bagi menjadi 2 kategori yaitu bidan yang telah memiliki ijasah DIII kebidanan dan yang belum memiliki ijasah DIII kebidanan (DI). Serta ke dua kategori responden tersebut telah mengikuti pelatihan APN untuk disamakan standar pelayanan kebidanan khususnya manajemen aktif kala III. Kategori ini dibuat dengan dasar pertimbangan bahwa bidan dikatakan sesuai standard profesi dengan syarat pendidikan profesi minimal DIII kebidanan. Bidan yang belum memiliki ijasah D III (DI) dan telah ikut APN sejumlah 102 orang atau 63%. Sedangkan bidan yang telah memiliki ijasah DIII dan ikut APN sejumlah 60 orang atau 37%. Jumlah keseluruhan bidan yang ikut APN 162 bidan (54%), sedangkan yang belum ikut APN 138 bidan ( 46%). Jumlah bidan yang belum D III sejumlah 186 bidan ( 62%) sedangkan yang sudah D III sejumlah 114 bidan (38%). Jumlah bidan D III yang belum ikut APN sejumlah 54 bidan (18 %). Jumlah bidan yang belum DIII dan belum ikut APN sejumlah 84 bidan (28%). Hal tersebut diatas dibandingkan dengan keseluruhan jumlah bidan yang ada di Kabupaten Sukoharjo sebanyak 300 bidan.

Tabel 4. 1. Sebaran bidan di Kabupaten Sukoharjo

BIDAN

Ikut APN

Belum

Ikut APN BIDAN Jumlah % Jumlah % Jumlah % D I 102 34 84 28 186 62 D III 60 20 54 18 114 38

(19)

Berdasarkan hasil analisis untuk mengetahui hubungan antara variabel pendidikan dan variabel pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dengan menggunakan uji statistik Chi-square secara terinci hasil analisis ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. 2. Hasil Penelitian

Melihat tabel tersebut diatas dari keseluruhan bidan yang ikut APN dan mendapat nilai baik = 63 bidan (39%), yang dapat nilai kurang= 99 bidan ( 61%). Jumlah bidan DIII yang telah mengikuti APN dan mendapat nilai baik adalah 43 bidan (71,6%) dan yang mendapat nilai kurang baik adalah 17 bidan (28,4%), sedangkan bidan D I yang telah mengikuti APN dan mendapat nilai baik sejumlah 20 orang (19,6%). Sedangkan yang mendapat nilai kurang baik sejumlah 82 orang (80,4%). Hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan bidan ada hubungan bermakna dengan pengetahuan bidan dalam hal manajemen aktif kala III ( p=0,000 dan RR=10,37 ). Bidan yang pendidikannya belum D I cenderung kurang baik dalam pengetahuan tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN sebesar 10,37 X dibandingkan dengan bidan yang telah berpendidikan D III, dimana 95 % CI : 4,926 – 21,833.

Variabel

Pengetahuan Manajement Aktif Kala III Baik Kurang Baik

X2 95% CI P RR

N % N %

Pendidikan

43,08 4,926 s.d

21,833 0,000 10,37

 D3 Kebidanan 43 71,6 17 28,4

(20)

4.2Pembahasan

Dari latar belakang penelitian ini bahwa upaya dari DINKESSOS kabupaten Sukoharjo untuk melaksanakan APN yang didalamnya terdapat manajement aktif kala III tidak memperoleh hasil yang bermakna. Hal ini dikarenakan apanya perbedaan strata pada bidan yang mengikuti APN sehingga akan mempengaruhi pemahaman tentang pengetahuan manajament aktif kala III.

Dari hasil pelatihan seluruh bidan yang ikut APN sejumlah 162 orang yang memahami dengan baik yaitu 63 bidan (39%) yang kurang baik adalah 99 bidan (61%). Bidan D III lebih banyak yang mendapat nilai diatas mean (71,6%) dibanding dengan yang dibawah mean (28,4%). Sedangkan bidan DI lebih banyak yang mendapat nilai dibawah mean (80,4%) dibandingkan dengan yang mendapat nilai diatas mean (19,6%).

Dengan melihat hasil penelitian tersebut diatas berarti strata bidan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pengetahuan tentang manajemen aktif kala III. Bidan yang pendidikannya belum D III cenderung mempunyai pengetahuan tentang manajemen kala III yang kurang baik dibandingkan dengan bidan yang pendidikannya lebih D III setelah mendapatkan pelatihan APN.

Pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang diperhatikan, dipahami dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai bentuk termasuk pendidikan formal maupun informal, percakapan harian, membaca, mendengar radio, menonton televisi, dan dari pengalaman hidup (Simon-Morton, 1995).

Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan baik secara lisan atau tulisan, maka dapat dikatakan ia mengetahui bidang itu. Sekumpulan jawaban verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (knowledge) (Notoatmodjo, 2003).

(21)

pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan ia lebih terlatih untuk mengolah, memahami, mengevaluasi, mengingat, yang kemudian menjadi pengetahuan yang dimilikinya (Tirtaraharja., 2005).

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat perkembangan dan kemampuan dalam mengetahui atau memahami pengetahuan ( Simon-Morton 1995 ). Berdasarkan hasil penelitian ini upaya – upaya untuk meningkatkan pengetahuan bidan perlu mempertimbangkan faktor pendidikan.

Pendidikan mengandung pokok-pokok penting yang mengait proses pembelajaran, proses sosial memanuasiakan manusia dan berusaha mengubah atau mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yang positif ( Sukanto S, 1992 ). Faktor pendidikan adalah merupakan faktor yang terpenting untuk memahami informasi, seorang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional dari pada mereka yang berpendidikan kurang. Selain itu mereka juga akan lebih terbuka dan dapat juga lebih menyesuaikan diri terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan hal-hal atau informasi yang baru ( Istiarti, 2000 ). Perbedaan tingkat pendidikan akan menyebabkan perbedaan pengetahuan. Pendidikan adalah merupakan satu kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri ( Mardiatmaja, 1996 ). Menurut Basov dan Sulen terdapat korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dan status/ pengetahuan kesehatan. Makin meningkat pendidikanya maka pengetahuan / status kesehatan seseorang juga meningkat, sebaliknya tingkat kesehatan seseorang adalah investasi yang cukup tinggi untuk meningkatkan pendidikan. Menurut Hindun memaparkan persepsi yang sama dalam penelitianya bahwa pendidikan mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap pengetahuan setelah mendapatkan pelatihan.

(22)

sistem yang baik dan harus dapat dilakukan berulang-ulang untuk menumbuhkan motivasi pada diri sendiri ( Widiawati S, 2003). Komunikasi pada pelatihan kesehatan dapat dimasukkan dalam bentuk komunikasi pribadi ( Interpersonal Communication) yaitu komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang. Untuk melaksanakan komunikasi yang efektif baik pemberi maupun penerima informasi harus memiliki ciri sebagai mana berikut: Keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan sedangkan penilaian akan keberhasilanya adalah terjadinya perubahan sikap prilaku dari penerima informasi ( Wiryanto, 2006 ).

Sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan pelatihan adalah kinerja pelatih, tempat dan suasana di tempat dilakukannya pertukaran informasi. Tersediannya tempat yang aman dengan alat-alat medis yang cukup, alat peraga audio visual yang cukup, ruangan yang bersih dan pelatih yang ramah adalah modal utama dalam penyelenggaraan pelatihan agar selalu dapat memahami pelatihan/pengetahuan yang diberikan pelatih. Penyelenggaraan pelatihan yang penuh dengan informasi harus disampaikan oleh pelatih dengan lugas dan dapat dimengerti/diterima oleh para Bidan. Oleh karenanya penyampai harus dengan sabar dan tekun. Para pelatih harus melakukan tugasnya secara efektif dan efisien sehingga transfer ilmu dapat lancar dan mudah (Lubis H, 2008).

Menurut Mardi Atmaja (1996), semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan daya nalar dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka akan lebih terlatih pola pikir dan daya nalarnya sehingga akan lebih mudah menerima informasi tentang suatu hal dan menganalisanya. Frekuensi informasi yang sering diterima dan berkesinambungan akan mempengaruhi daya ingat.

(23)

Di kabupaten Sukoharjo bidan yang pendidikannya belum D III sejumlah 186 bidan (62%). Hal ini lebih banyak di banding dengan bidan yang sudah D III sejumlah 114 orang (38%). Hal ini berarti bidan yang belum berpendidikan diwajibkan mengikuti pendidikan lanjutan agar dapat mencapai kompetensi maupun standar profesi. Setelah itu mereka diwajibkan untuk ikut pelatihan APN.

(24)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1KESIMPULAN

Dari uraian hasil penelitian yang telah disajikan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan, bahwa :

Bidan yang memahami dengan baik manajement aktif kala III setelah mendapat pelatihan APN adalah 63 bidan (39%). Dari keseluran biodan DIII yang ikut APN 71,6% yang mendapat nilai baik, sedangkan DI sebanyak 19,6%. Hal ini menggambarkan adanya hubungan antara strata pendidikan bidan dengan pemahaman pengetahuan manajement aktif kala III.

5.2SARAN

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti memberikan saran sebagai berikut :

1. Bidan yang mengikuti APN dianjurkan yang telah lulus D III agar pengetahuan yang didapat lebih baik dan tidak terjadi kesalahan persepsi. 2. Menilai materi dan waktu pelatihan dan meninjau kembali tugas-tugas

(25)

DAFTAR PUSTAKA

AbouZahr, C., (1998). Antepartum And Postpartum Haemorrhage. In Murray, C., J., L., and Lopez, A., D., eds. Health Dimensions Of Sex And Reproduction. Boston : Harvard University Press. Page 17-21

Ahmadi A, 1991. Sosiologi Pendidikan, Edisi ke-2, Jakarta,Rineka cipta, hal : 162-9

Akins, S. (1994). Postpartum Haemorrhage : 90s Approach To An Age-Old Problem. Journal Nurse-Midwifery 39 (2), Supplement : 123S-134S, March/April 1994. page 102-106

Arikunto, S. (1998). Metodologi Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta. Hal 31-33 Azwar, S. (1995). Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya. Edisi 2, Liberty

Yogyakarta. Hal 22 -27

Basov J, Suren P, 2002. Heterogenous Human Capital in Life, Cycle Invesment, Healthand Education, Australia Univesity of Melbourne, page 124-5 Departemen Kesehatan R.I, (2002), Kurikulum Pendidikan D-III Kebidanan

Tahun 2002, Bakti Husada, Jakarta hal 27

Djaja, S., Suwandono, A. (2001). “The Determinat of maternal morbidity in Indonesian”, Regional Health Forum, hal 1-10.

Ernest & Young. (1993). The Manager’s Self Assesmant Kit. Pustaka Binawan Presisindo, Jakarta. Page 18 - 22

Ewies, L, dan Simnet, Ina, (1994), Promosi Kesehatan, Terjemahan Ova Emilia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Hal 45 – 49

Hindun, 2008, Upaya Meningkatkan Kinerja Bidan di Desa Dalam Pelayanan Antenatal Bedasarkan Prespektif Karakteistik Bidan dan Ibu Hamil di Kabupaten Bangkalan, Surabaya, Airlangga Uniiversity Library.

Istianti, 2000. Menanti Buah Hati Dalam Kaitan Antara Kemiskinan dan Kesehatan . Yogyakarta, Media Presindo, hal 79-83

Ikatan Bidan Indonesia (IBI). (1999). Standard Profesi Kebidanan. Yayasan Buah Delima, Jakarta. Hal 9 -12

(26)

Khan. GQ., John, IS., Chan, T., Wani, S., Hughes, AO., Stirat, GM (1995). “ Abu Dhabi Third Stage Of Labour,” Eur J Obtet Gynecol Repro Bio; 58: 147-51.

Lubis H, 2008, Total Motivation , Yogyakarta, POR-YOU , hal 16 - 33

Manuaba, A. B. (1998). Ilmu Kebidanan dan KB Untuk Pendidikan Kebidanan. EGC, Jakarta. Hal 22 - 24

Mardiatmaja P., 1996. Tantangan Dunia Pendidikan, Jakarta, Kanisius, Hal: 21-5 Mario, R., Festin at. Al. (2003): WHO International Survey on Variations in

Practice of the Management of the Thirtd Stage of Labour” Bulletin WHO, 2003, 81(4). Page 62 -65

Mayor Polak, 1979. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit Balai Buku “Ichtiar”, hal: 71-5

McDonald, SJ., Prendivelli, WJ., Blair, E. (1993). “Randomised Controlled Trial of Oxytocin Alone Vs Oxytocin and Ergometrine in Active Management of Third Stage of Labour,” BMJ; 307 :1167-71.

Muchlas, M. (1997). Perilaku Organisasi II. Program Pascasarjana. Magister Rumah Sakit, UGM, Yogyakarta. Hal : 29 - 33

Mukti, A. G (1998). Menjaga Mutu Pelayanan Bidan Desa. Penerapan Metode Belajar Berdasar Masalah. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal 47 - 50

Notoadmojo S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta, hal : 46-55

Prendiville, WJ., Elboume, D., Mcdonal, S. (2000). Active Versus Expectant Management in The Third Stage of Labour. (Chochrane Review). In The Chochrane Library, 1, Oxford : Update Software. Page 124 - 128

Robbins. (1996). Perilaku Organisasi. PT Prenhallindo. Jakarta. Hal 64 - 66 Sarwono, S. (1997). Sosiologi Kesehatan. Gadjah Mada University Press. Hal 22

-24

Simon-Morton, B., Green, W. H., H. (1995). Introduction to Health Education and Health Promotion. Waveland Press, Inc, USA. Page 134 - 137

(27)

Sugiono. (1999). Statistik Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung. Hal 47 -49

Suhadi, A., Hakimi, M. (2000). “ Evaluasi Penetalaksanaan Pelatihan Ketrampilan Kegawatdaruratan Obsteri dan Neonatal bagi bidan desa di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah”, Medika No. 3 tahun XXVI.

Sutrisno, Andriani, L. (1999). “Karakteristik Kematian Maternal di Kabupaten, Timor, Tengah”, Utara. Cermin Dunia Kedokteran, No: 125, 36-40.

Sumali, A. M. (2004). “Hubungan Strata Pengetahuan Bidan Desa Dengan Cakupan Penanganan Persalinan di Kabupaten Pemalang”, Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal 72 - 75

Syah, M., Prawitasari, J.E. (1998). “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan Antenatal di Kabupaten Pati”, Jurnal Menejemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 01/1998. Hal. 77-85.

Syah, M., Yohana, M. J. (1998). “Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan ANC di Kabupaten Pati”, Jurnal Menejemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 01/none 02/1998. Hal 13 -16 Soekanto S, 1992. Sosiolagi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawaliu, Hal 40-68 Tirtaraharja U., 2005. Pengantar pendidikan , Jakarta, Rineka Cipta, hal : 88 -9. Wiryanto, 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakata, Grasindo, hal 32-43

Widayati S, 2003. Hubungan berapa Karakteistik Bidan, Kelengkapan Srana dan Kualitas Pelayanan Antenatal dengan Cakupan K4 di Kabupaten Bandung tahun 2002, Skripsi Biostatistik dan kependudukan UGM.

Waspodo, D., Joewono, H. T, Suwardi. (1999). “Perbandingan Aktif Pertolongan Kala III Antara Oksitosin IM Dengan Mesoprostol Perrectal”, Majalah Obstetrik Ginaekologi. Vol. 8. No. 2, hal 15-20.

Wood, J., Rogers, J. (1997). The Stage of Labour. in : Alexander J, Levy V, Roth C (eds) Midwifery Practice : Core Topic 2, London Macullian. Page 21 -25

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3. 1.  Definisi Operasional
Tabel 4. 1.  Sebaran bidan di Kabupaten Sukoharjo
Tabel 4. 2.   Hasil Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian membuktikan bahwa disiplin secara parsial memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap kinerja dosen tetap pada STIE PGRI Sukabumi, hal ini

14 Analis Penanaman Modal S1 Ekonomi manajemen / Hukum / Administrasi Negara III/a 5 2 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXIX-B4, 2012 XXII ISPRS Congress, 25 August – 01 September 2012,

Negara-Negara Pihak pada Konvensi ini mengakui hak yang sama dari semua penyandang disabilitas untuk dapat hidup di dalam masyarakat, dengan pilihan -pilihan yang setara

The presented method consists of a fully-automated self-calibration process that allows for the estimation of corrections to the system calibration parameters (e.g.,

[r]

Jika Anda baru pertamakali membuat blog di Blogger, maka Anda harus memilih profl akun Google yang akan digunakan.. Anda bisa menggunakan akun

Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian rasio amelioran yang berbeda menghasilkan jumlah anakan maksimum dan anakan produktif berbeda tidak nyata baik dengan pemberian