• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009130 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009130 Full text"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pada era persaingan global sekarang ini, masalah ketenagakerjaan di

Indonesia salah satunya ditentukan oleh keberadaan remaja atau generasi muda

yang berperan sebagai penerus cita-cita bangsa. Remaja yang dibutuhkan adalah

remaja yang berkualitas salah satunya memiliki kemandirian. Karena dengan

demikian banyak hal positif yang bisa diperoleh oleh para remaja tersebut, yaitu

tumbuhnya rasa percaya diri, tidak tergantung pada orang lain, tidak mudah

dipengaruhi, dan bertambahnya kemampuan berfikir secara objektif (Mu’tadin, 2002). Pada masa remaja, individu sudah mulai ingin melepaskan diri dari ikatan

orangtua, mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan untuk berdiri

sendiri, terbentuknya remaja yang mandiri dapat dicapai melalui banyaknya

proses belajar yang dijalani, serta didukung dengan bimbingan dan didikan orang

tua yang diperoleh selama proses perkembangan. Sebab keluarga sebagai unit

terkecil merupakan entitas pertama dan utama dimana anak tersebut tumbuh,

dibesarkan, dibimbing dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan harapan

sosial (social expectacy) dimana keluarga tersebut tinggal. Hingga nantinya sang

anak atau remaja siap menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan mampu

mengemban amanat besar sebagai penerus estafet perjuangan Bangsa (Aspin,

2007).

Selama masa remaja, tuntunan terhadap kemandirian ini sangat besar

dan jika tidak direspon secara cepat dapat saja menimbulkan dampak yang tidak

(2)

misalnya anak menjadi anak yang bergantung pada orangtua atau mengalami

dependensi. Banyak dijumpai dalam rubrik konsultasi pada majalah-majalah

remaja yang dipenuhi oleh kebingungan dan keluh kesah yang dialami remaja

karena banyak aspek kehidupan mereka yang masih diatur oleh orangtua. Salah

satunya contohnya adalah dalam hal pemilihan jurusan atau fakultas ketika masuk

sekolah atau perguruan tinggi. Dalam hal ini masih banyak ditemui orangtua yang

sangat menginginkan untuk memasukkan anaknya ke sekolah atau jurusan yang

mereka kehendaki meskipun anaknya sama sekali tidak berminat. Akibatnya

remaja tersebut tidak memiliki motivasi belajar, kehilangan gairah belajar

(Musdalifah, 2007). Melihat kenyataan tersebut, orangtua disini tidak seharusnya

menentukan kehidupan anak melainkan memberi arah, memantau, mengawasi dan

membimbing untuk pembentukan kemandirian remaja. Orangtua memberikan

kesempatan pada anak mereka agar dapat mengembangkan kemampuan yang

dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa

yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggung-jawabkan segala

perbuatannya. Dengan demikian anak akan dapat mengalami perubahan dari

keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orangtua (Steinberg, 1993).

Kajian terhadap isu perkembangan kemandirian pada remaja akan

sangat menarik karena fenomena perkembangan kemandirian di masyarakat,

terutama kultur masyarakat timur seperti Indonesia, sering disalahtafsirkan.

Misalnya, perilaku kemandirian terkadang ditafsirkan sebagai pemberontakan

(rebellion) karena pada kenyataannya remaja yang memulai mengembangkan

(3)

dengan aturan keluarga. Akibatnya orangtua kurang toleran terhadap proses

perolehan kemandirian yang dilakukan remaja. Tetapi dalam situasi lain orangtua

ternyata menginginkan remaja memiliki kemandirian, bahkan mereka berharap

saat dewasa nanti tidak lagi bergantung kepada orangtua (Steinberg, 1995).

Kemandirian sebagai salah satu aspek kepribadian sangat penting untuk

dimiliki, khususnya oleh remaja. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Masrun

(1986), bahwa kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia dalam

menentukan sikap dan perbuatannya terhadap lingkungan. Dengan kata lain

kemandirian bisa mendorong individu untuk berprestasi, berkreasi sehingga

menjadi manusia yang produktif dan mampu membawa diri ke arah kemajuan.

Namun, bila kemandirian tersebut tidak dapat terwujud seperti yang diharapkan

maka bukan hanya kerugian bagi individu itu sendiri melainkan sudah merupakan

kerugian bagi bangsa.

Noom, Dekovic dan Meeus, (2001) menyatakan bahwa kemandirian

adalah sebuah konsep dengan latar belakang teoritis sangat beragam. Beberapa

teori dalam perspektif psikologis yang berbeda menggambarkan proses pemisahan

bertahap dari pengaruh orangtua. Kemandirian pada remaja melibatkan tiga aspek

yaitu kemandirian sikap yaitu, kemampuan untuk berpikir sebelum bertindak.

Kemandirian emosional yaitu, yakin dan percaya diri dalam menentukan tujuan

tanpa pengaruh orang tua dan teman sebaya. Kemandirian fungsional yaitu,

mampu mengembangkan strategi pribadi untuk mencapai tujuan. Hal ini berkaitan

(4)

Kemandirian remaja akan terlihat ketika remaja mulai berusaha untuk

melepaskan diri dari pengaruh orang tuanya, melepaskan diri dalam arti

mengurangi ketergantungannya terhadap orang tua dan orang-orang di sekitarnya.

Perilaku mandiri merupakan kekuatan internal individu yang diperoleh melalui

proses individualisasi, yaitu proses realisasi kemandirian dan proses menuju ke

kesempurnaan. Hal ini di dukung oleh pendapat Steinberg (1993) yang

menyatakan bahwa dalam beberapa hal masa puber mendorong remaja untuk

keluar dari ketergantungannya pada keluarga sepenuhnya.

Banyak faktor yang baik secara langsung ataupun tidak secara langsung

ikut andil dalam perkembangan kemandirian individu. Menurut Allen, Hauser,

Bell, dan O’Connor (dalam Kulbok, 2004) terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kemandirian yaitu: jenis kelamin, usia, struktur keluarga, budaya,

lingkungan, keinginan individu untuk bebas.

Penelitian yang dilakukan Benson dan Johnson (2009), menunjukkan

bahwa keluarga memberikan peranan penting dalam transisi anak-anak menuju

dewasa. Penelitian ini memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang sisi

subjektif dari transisi dewasa dengan menyediakan wawasan tentang bagaimana

konteks keluarga remaja mempengaruhi kepribadian remaja di masa depan. Sama

dengan halnya teori identitas (Stryker & Serpe, 1994; Erikson, 1968),

berhubungan dengan usia identitas yang dikembangkan dalam konteks sosial,

dimana keluarga adalah salah satu aspek yang paling mendasarbagi remaja dalam

(5)

menunjukkan bahwa salah satunya adalah struktur keluarga yang mempengaruhi

pembentukan kemandirian.

Berdasarkan kelengkapan anggota keluarga ada dua bentuk struktur

keluarga menurut Gerungan (2004) yaitu : orangtua lengkap (keluarga utuh),

dimana peran ayah dan ibu dalam keluarga menunjukkan bahwa kehadiran ayah

dan ibu bukan hanya normal, tapi juga esensial. Keluarga yang mempunyai

orangtua lengkap akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Orangtua

tunggal (keluarga single parent), dimana keluarga yang orang tuanya cerai sangat

mempengaruhi perkembangan remaja, terutama dari segi emosi atau kejiwaannya.

Bagi remaja, perceraian orang tua dapat menimbulkan masalah dengan munculnya

rasa kurang aman, rendah diri, dan perasaan-perasaan serta pikiran-pikiran negatif

lainnya, sedangkan kematian salah satu orangtua dapat mempengaruhi emosi

remaja dan menimbulkan konflik mental, sebab sebagai individu yang sedang

berkembang mereka memerlukan suasana aman. Perasaan aman merupakan

kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk dapat hidup tenang (Gunarsa, 1995).

Fenomena orang tua tunggal telah banyak ditemui di berbagai negara.

Data Census Bureau tahun 2007 menunjukan terdapat 14 juta keluarga single

parent di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri pada tahun 2002 terdapat 13,4%

single parent dari jumlah total rumah tangga. Hal ini patut menjadi sorotan

karena angka-angka tersebut cenderung bertambah setiap tahunnya (Fajhrianthi,

2012).

Hasil observasi dan wawancara yang telah dilaksanakan oleh penulis

(6)

digolongkan atas 2 remaja dari keluarga single parent dan 3 remaja dari keluarga

utuh (memiliki ayah dan ibu kandung), dimana remaja dari keluarga single parent,

lebih memilih untuk tidak menjadi lebih menonjol dibandingkan para

teman-temannya dalam bidang apapun meskipun sebenarnya mereka mampu, remaja dari

keluarga single parent lebih memilih menjadi bagian dari anggota kelompok,

lebih berhati-hati dalam melakukan sebuah tindakan karena terdapat rasa takut

dalam menanggung resiko dari perbuatannya. Sedangkan remaja dari keluarga

utuh lebih cenderung melakukan tindakan seperti yang mereka inginkan, selalu

memaksimalkan kesempatan yang diberikan agar dapat terlihat lebih menonjol

dibandingkan teman-temannya, sebagian besar ingin menjadi yang pertama dan

menjadi pemimpin disetiap kelompok agar dapat mengutarakan gagasan ataupun

ide yang mereka miliki, mereka berhati-hati dalam melakukan sebuah tindakan,

namun mereka tahu resiko apa yang akan mereka tanggung nanti dari

perbuatannya, sehingga mereka lebih memilih melakukan semua tindakan dengan

semaksimal mungkin agar resiko yang didapat meskipun buruk, dapat dihadapi

dengan lebih mudah.

Penelitian sebelumnya dilakukan Astuti (2002), meneliti tentang

perbedaan kemandirian siswa yang berasal dari keluarga lengkap dengan siswa

yang berasal dari keluarga tidak lengkap (single parent). Dari hasil penelitian

tersebut diketahui bahwa terdapat perbedaan antara kemandirian siswa yang

berasal dari keluarga lengkap dengan siswa yang berasal dari keluarga tidak

lengkap (single parent), dimana siswa yang berasal dari keluarga lengkap

(7)

keluarga tidak lengkap (single parent). Perbedaan yang terjadi pada kemandirian

siswa tersebut disebabkan karena salah satu fungsi dari keluarga tidak ada, baik

ayah ataupun ibu dimana keduanya sangat menentukan dalam proses

pembentukan anak.

DeGenova (2008) juga mengatakan bahwa single parent biasanya lebih

merasa tertekan daripada orangtua utuh dalam perannya sebagai orangtua. Peran

orangtua ini nantinya dapat berpengaruh pada bagaimana orangtua mengasuh

anaknya. Orangtua single parent yang tidak mempunyai pasangan untuk tempat

berbagi dalam mendidik dan membesarkan anak akan berpengaruh dalam

perkembangan psikologis anak. Misalnya anak dari orangtua single parent kurang

mendapat perhatian karena orangtua terlalu sibuk bekerja. Orangtua single parent

tersebut menjadi tidak ada kesempatan untuk mempelajari dan memahami tugas

perkembangan anaknya. Kurangnya pemahaman orangtua untuk menguasai tugas

perkembangan tersebut dapat berdampak pada kemandirian anak. Ketika orangtua

kurang mengenali anaknya dan menyesuaikan sesuai dengan perkembangan

sesuai umur anak maka orangtua tersebut pun akan kesulitan dalam menentukan

apa yang terbaik bagi anaknya (Musdalifah, 2007).

Berbeda halnya dengan Gringlas dan Weinraub (dalam DeGenova,

2008) yang mengemukakan bahwa anak single parent tidak akan berbeda dengan

anak yang mempunyai orangtua utuh ketika tingkat stresnya yang mereka alami

tidak berbeda. Misalnya ketika menghadapi suatu permasalahan, jika orang tua

yang single parent maupun yang utuh mempunyai penyelesaian yang baik dalam

(8)

maupun yang memiliki orangtua utuh akan dapat menyelesaikan masalah yang

mereka hadapi sehingga tidak akan mengganggu terhadap perkembangan anak.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa struktur keluarga

akan memberi pengaruh terhadap perkembangan mandiri individu (dalam hal ini

adalah remaja). Anak yang diasuh oleh orangtua tunggal akan kehilangan figur

ayah ataupun figur ibu yang dibutuhkan untuk masa perkembangan anak

khususnya masa remaja. Jika figur salah satu hilang, tokoh tempat anak belajar

bertingkah laku menjadi berkurang (Retnowati, 2008). Karena pada masa remaja,

adalah masa dimana anak membentuk karakternya. Rasa dilindungi, aman, dan

mendapatkan kasih sayang yang sepenuhnya dari orangtua sangat mempengaruhi

anak dalam perkembangannya. Orangtua dapat mendorong anak untuk mandiri

dengan mengajar dan membimbing mereka melakukan rutinitas kecil sehari-hari.

Dengan demikian mereka merasa diberi kepercayaan segingga menumbuhkan rasa

percaya diri dan mengurangi ketergantungannya Kemandirian yang dihasilkan

dari kehadiran dan bimbingan orangtua utuh, akan menghasilkan kemandirian

yang utuh pula. Ketidakhadiran orangtua dalam membimbing anaknya, dapat

membuat anak menjadi anak yang tidak mandiri yang selalu bimbang dalam

mengambil keputusan dan tidak dapat menentukan apa yang diinginkan dengan

bertanggung jawab. Untuk dapat mandiri, anak membutuhkan kesempatan,

(9)

Definisi Kemandirian

Kemandirian adalah sebuah konsep dengan latar belakang teoritis

sangat beragam. Beberapa teori dalam perspektif psikologis yang berbeda

menggambarkan proses pemisahan bertahap dari pengaruh orangtua (Noom,

Dekovic & Meeus, 2001).

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Steinberg (dalam Newman,

2006) dimana kemandirian itu adalah kemampuan untuk mengatur perilaku

sendiri untuk memilih dan memutuskan keputusan sendiri serta mampu

melakukannya tanpa terlalu tergantung pada orangtua. Memberikan kemandirian

pada remaja bukan berarti orangtua menolak, mengabaikan atau memisahan fisik

dari anak mereka, melainkan lebih pada kebebasan psikologis dimana orangtua

dan remaja menerima perbedaan masing-masing namun remaja dan orangtua tetap

merasakan cinta kasih sayang, saling pengertian dan tetap menjalin hubungan dan

komunikasi yang baik.

Rice dan Dolgin (2008) menyatakan bahwa kemandirian itu adalah

sebagai independence atau freedom. Salah satu tujuan setiap remaja adalah ingin

diterima seperti orang dewasa yang mandiri. Remaja tetap menjadi seorang yang

individu dan juga tetap yang berhubungan dengan orangtua pada waktu yang

sama (Grotevant & Cooper dalam Rice, 2008). Remaja tetap menjalin hubungan

dengan orangtuanya. Anak mengembangkan dirinya tetapi tetap berkomunikasi

dengan orangtuanya sehingga orangtua mengerti apa yang dirasakan anaknya dan

(10)

Rice & Dolgin, 2008). Sebagai contoh, mereka mengembangkan minat baru, nilai

dan tujuan yang berbeda dari orangtua, tetapi remaja tersebut tetap bagian dari

keluarga.

Menurut LaFreniere (2000), kemandirian pada remaja adalah

kemampuan meningkatkan self reliance, inisiatif, bertahan pada tekanan

kelompok dan bertanggung jawab pada keputusan dan tindakan yang diambil.

Menurut Nashori (1999) kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia untuk

menentukan sikap dan perbuatan terhadap lingkungannya. Kemandirian

mendorong orang untuk berkreasi dan berprestasi karena kemandirian

mengantarkan seseorang menjadi makhluk yang produktif dan efisien serta

membawa dirinya kearah kemajuan. Hetherington (dalam Afiatin, 1993)

mengatakan bahwa kemandirian ditunjukkan dengan adanya kemampuan untuk

mengambil inisiatif, kemampuan menyelesaikan masalah, penuh ketekunan,

memperoleh kepuasan dari usahanya serta berkeinginan mengerjakan sesuatu

tanpa bantuan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan kemandirian

berdasarkan teori Noom, Dekovic dan Meeus (2001) yang memiliki arti bahwa

kemandirian yaitu sebuah konsep dengan latar belakang teoritis sangat beragam.

Beberapa teori dalam perspektif psikologis yang berbeda menggambarkan proses

(11)

Aspek-aspek Kemandirian

Noom, Dekovic dan Meeus (2001) telah berhasil mengajukan dalam

penelitiannya terdapat tiga buah aspek yang membentuk kemandirian remaja yaitu

kemandirian sikap, kemandirian emosional, dan kemandirian fungsional. Berikut

adalah penjelasan dari ketiga aspek tersebut :

a. Kemandirian sikap

Didefinisikan sebagai kemampuan untuk menentukan beberapa

pilihan, untuk membuat keputusan dan menentukan tujuan. Dimensi ini

melibatkan persepsi remaja mengenai apa yang akan dilakukan dalam

hidupnya. Kemandirian sikap tercapai apabila seorang remaja telah mampu

menentukan tujuan dalam hidupnya. Dimensi ini berkaitan dengan konsep

Dworkin (1988 dalam Noom, Dekovic & Meeus, 2001) yaitu refleksi dari

pilihan-pilihan dan keinginan. Intinya adalah kemampuan untuk berpikir

sebelum bertindak.

b. Kemandirian emosional

Didefinisikan sebagai rasa percaya diri dalam menentukan pilihan

dan tujuan sendiri. Dimensi ini melibatkan persepsi kemandirian emosi dari

orang tua dan teman sebaya. Keduanya memberikan pengaruh yang sangat

besar pada diri remaja. Oleh karena itu, remaja harus memiliki kepercayaan

diri untuk mencapai tujuannya dan juga menghargai tujuan orang lain. Pada

masa ini, remaja akan lebih mandiri secara emosional dari orang tua jika

(12)

mencapai kemandirian emosional ketika mereka merasa yakin dan percaya diri

dalam menentukan tujuan tanpa pengaruh orang tua dan teman sebaya.

c. Kemandirian fungsional

Didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengembangkan strategi

untuk mencapai tujuan. Dimensi ini melibatkan persepsi akan kompetensi dan

persepsi akan kontrol. Persepsi akan kompetensi berarti mampu menggunakan

strategi-strategi untuk mencapai tujuan. Persepsi akan kontrol berarti mampu

memilih strategi yang spesifik dan efektif untuk mencapai tujuan. Selain itu,

aspek penting yang juga dapat memotivasi tingkah laku remaja adalah persepsi

akan tanggung jawab. Remaja dikatakan telah mencapai kemandirian

fungsional ketika mereka mampu mengembangkan strategi pribadi untuk

mencapai tujuan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan untuk melakukan

kegiatan tertentu.

Faktor-Faktor Yang Dapat Memengaruhi Kemandirian

Menurut (Allen, Hauser, Bell, & O’Connor, 1994) terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kemandirian yaitu :

a. Jenis Kelamin

Anak laki-laki lebih berperan aktif dalam membentuk kemandirian

dan dituntut untuk lebih mandiri, sedangkan anak perempuan mempunyai

ketergantungan yang lebih stabil karena memang dimungkinkan untuk

(13)

b. Usia

Pada setiap tahap perkembangan mempengaruhi kemandirian

seseorang. Beberapa sifat yang ada pada remaja awal menunjukkan masih ada

pengaruh dari masa kanak-kanaknya, misalnya emosional, belum mandiri,

belum memiliki pendirian sendiri. Sedangkan pada remaja akhir sudah

diharapkan lebih menunjukkan kedewasaan seperti menerima keadaan fisiknya,

bertanggung jawab.

c. Struktur keluarga

Keluarga sekarang sangat bervariasi, tidak hanya keluarga

tradisional seperti dulu lagi. Perubahan dalam perkawinan ini membawa

dampak pada perkembangan kemandirian anak. Banyak keluarga yang

sekarang menjadi single parent dan hal ini mempunyai dampak pada

perkembangan kemandirian anak.

d. Budaya

Setiap daerah, setiap negara mempunyai adat istiadat dan cara

tertentu dalam mendidik anak. Pada budaya barat, anak sangat dituntut lebih

cepat mandiri. Anak pada budaya barat banyak yang kerja part time dan

banyak yang sudah mulai tinggal sendiri tidak bersama orangtua lagi.

e. Lingkungan

Manusia sebagai makhluk sosial memang tidak akan pernah dapat

dipisahkan dengan manusia lain dan juga lingkungan tempat tinggal individu

(14)

f. Keinginan individu untuk bebas

Setiap individu berbeda, ada individu yang memang ingin

melakukan sesuatu dengan bebas dan tanpa harus dikekang oleh orang lain.

Perbedaan setiap individu ini juga mempengaruhi keinginan setiap orang untuk

mandiri.

Struktur keluarga

Struktur keluarga adalah susunan keluarga yang terdiri dari orangtua

(ayah dan ibu) serta anak yang menjadi anggota keluarga (Frank & Chingman,

2001; David & Lucile, 2004). Struktur keluarga sebagai lingkaran sistem keluarga

yang terdapat subsistem yang terdiri ayah, ibu, dan subsistem yang terdiri dari

anak-anak (David Field, 1992).

Variasi struktur keluarga seperti di atas menentukan bagaimana

orangtua berpartisipasi melalui keberadaannya terutama di rumah tetapi juga di

sekolah. Selain itu juga peranannya sebagai model bagi anak, bukankah jika

keluarga dengan orangtua lengkap terdapat model dari ayah tetapi juga sekaligus

dari ibu yang diharapkan saling melengkapi dalam berpartisipasi, sehingga sangat

menentukan atas terbentuknya kepribadian anak yang di dalamnya juga terdapat

kemandirian bagi pribadi anak. Peranan ayah seperti pencari nafkah, pelindung

dan pemberi rasa aman, kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok

sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya dan peranan ibu

mengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan

(15)

anggota masyarakat dari lingkungannya, serta bisa berperan sebagai pencari

nafkah tambahan dalam keluarga.

Menurut Gerungan (2004), struktur atau susunan keluarga dijelaskan

sebagai kelengkapan anggota keluarga:

a. Orangtua lengkap (Keluarga utuh)

Peran ayah dan ibu dalam keluarga menunjukkan bahwa kehadiran

ayah dan ibu bukan hanya normal, tapi juga esensial. Keluarga yang

mempunyai orangtua lengkap akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Fungsi dasar keluarga adalah memberikan ras aman, rasa memiliki, dan rasa

kasih sayang antara anggota keluarga.

Horton (dalam Manurung, 1995) menjelaskan keluarga dapat

diartikan sebagai suatu kelompok pertalian nasip keluarga yang dapat dijadikan

tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup

lainnya. Manurung (1995) mengungkapkan keluarga merupakan suatu tempat

untuk membimbing anak-anak dan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik

kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis. Lebih lanjut Ahmadi (1999)

menambahkan keluarga sebagai suatu kesatuan sosial yang terkecil yang terdiri

atas suami dan istri dan jika ada anak didahului oleh perkawinan.

Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dengan individu-individu

yang terdapat di dalamnya sebagai anggota-anggota keluarga merupakan

bagian dari suatu sistem artinya, antara satu individu dengan individu yang lain

(16)

melengkapi (Yatim, 1996). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi

perkembangan sosial anak adalah faktor keutuhan keluarga. Keutuhan dalam

hal ini adalah keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa keluarga terdiri

atas ayah, ibu, anak-anak (Gerungan, 2004).

Pada keluarga dengan orang tua lengkap yaitu ayah dan ibu, seorang

anak akan tumbuh dan mengidentifikasikan banyak hal dari kedua orang

tuanya. Selain itu, orang tua adalah figur yang bertanggung jawab dalam proses

pembentukan kepribadian remaja, sehingga diharapkan akan selalu

memberikan arah, memantau, mengawasi dan membimbing perkembangan

remaja ke arah yang memadai (Yatim, 1996).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan keluarga utuh adalah

keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa keluarga terdiri atas ayah, ibu,

dan anak-anak.

a. Orangtua tunggal (Keluarga single parent)

Keluarga yang orang tuanya cerai sangat mempengaruhi

perkembangan remaja, terutama dari segi emosi atau kejiwaannya. Bagi

remaja, perceraian orang tua dapat menimbulkan masalah dengan

munculnya rasa kurang aman, rendah diri, dan perasaan-perasaan serta

pikiran-pikiran negatif lainnya.

Kematian salah satu orangtua dapat mempengaruhi emosi remaja

dan menimbulkan konflik mental, sebab sebagai individu yang sedang

(17)

kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk dapat hidup tenang (Gunarsa,

1995).

DeGenova (2008) mengatakan single parent family adalah

keluarga yang terdiri atas satu orangtua baik menikah maupun tidak

menikah dengan memiliki anak. Menurut Sager dkk (dalam Setiawati, 2007)

single parent adalah orangtua yang memelihara dan membesarkan anaknya

tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya.

Manurung (1995) menyebutkan keluarga yang pecah yaitu

keluarga yang tidak lengkap strukturnya karena:

a) Orang tua bercerai

b) Kematian salah satu orang tua atau kedua-duanya

c) Ketidakhadiran dalam tenggang waktu yang lama secara terus-menerus

dari salah satu atau kedua orang tua

Di dalam suatu keluarga yang tidak utuh, hanya terdapat satu

orang tua dalam menjalankan kehidupan yang dikenal dengan sebutan

keluarga dengan single parent. Hoffman (dalam Murdaningrum, 2006)

menjelaskan bahwa single parent adalah orang tua yang merangkap ayah

sekaligus merangkap ibu atau sebaliknya di dalam membesarkan dan

mendidik anak-anaknya serta mengatur kehidupan keluarga karena

perubahan dalam struktur keluarga akibat perceraian, ditinggal pasangan

(18)

Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata

bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1980).

Masa remaja adalah masa transisi dalam periode masa kanak-kanak ke

periode masa dewasa, yang mana periode ini dianggap sebagai masa yang sangat

penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian

individu. Menurut Monks, Knoers dan Haditono (2002), bahwa perkembangan

dalam masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia

12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja

pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.

Dalam penelitian ini subjek yang di pilih adalah remaja tengah yang

berkisar 15-18 tahun, karena pada usia ini anak sekolah di tingkat SMA. Mereka

sedang mempersiapkan diri menuju proses pendewasaan diri. Setelah melewati

masa pendidikan dasar dan menengahnya mereka akan melangkah menuju dunia

Perguruan Tinggi atau meniti karier, atau justru menikah. Banyak sekali pilihan

bagi mereka. Dan pada masa ini mereka diharapkan dapat membuat sendiri

pilihan yang sesuai baginya tanpa terlalu tergantung pada orangtuanya. Pada masa

ini orangtua hanya perlu mengarahkan dan membimbing anak untuk

mempersiapkan diri dalam meniti perjalanan menuju masa depan, berani membuat

keputusan sendiri dan memperoleh kebebasan perilaku sesuai dengan

(19)

Perbedaan kemandirian antara remaja yang memiliki keluarga utuh dan keluarga single parent

Dilihat dari struktur kelengkapan keluarga, ada keluarga yang utuh dan

yang tidak utuh. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa struktur

keluarga akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kemandirian remaja.

DeGenova (2008) mengatakan bahwa single parent biasanya lebih

merasa tertekan daripada orangtua utuh dalam perannya sebagai orangtua. Peran

orangtua ini nantinya dapat berpengaruh pada bagaimana orangtua mengasuh

anaknya. Orangtua single parent yang tidak mempunyai pasangan untuk tempat

berbagi dalam mendidik dan membesarkan anak akan berpengaruh dalam

perkembangan psikologis anak. Ada orangtua single parent yang mengasuh

anaknya terlalu over protective mengakibatkan anak akan menjadi kurang mandiri

karena segala kebutuhan anak sudah ditentukan oleh orangtua sendiri. Akan tetapi

ada juga anak dari orangtua single parent kurang mendapat perhatian karena

terlalu sibuk. Orangtua single parent tersebut menjadi tidak ada kesempatan untuk

mempelajari dan memahami tugas perkembangan anaknya (Musdalifah, 2007).

Penelitian yang dilakukan Astuti (2002), penelitian tersebut diketahui

bahwa terdapat perbedaan antara keluarga lengkap dengan keluarga tidak lengkap

(single parent). Peran dalam mendidik keluarga tersebut berdampak pada

perkembangan siswa dalam kemandirian, dimana siswa yang berasal dari keluarga

lengkap memiliki kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal

dari keluarga tidak lengkap (single parent). Perbedaan yang terjadi pada

(20)

tidak ada, baik ayah ataupun ibu dimana keduanya sangat menentukan dalam

proses pembentukan kemandirian anak.

Namun berbeda halnya dengan Gringlas dan Weinraub dalam

DeGenova (2008) yang mengemukakan bahwa anak single parent tidak akan

berbeda dengan anak yang mempunyai orangtua utuh ketika tingkat stresnya yang

mereka alami tidak berbeda. Misalnya ketika menghadapi suatu permasalahan,

jika orang tua yang single parent maupun yang utuh mempunyai penyelesaian

yang baik dalam menghadapi masalah tersebut, maka anak yang memiliki

orangtua single parent maupun yang memiliki orangtua utuh akan dapat

menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sehingga tidak akan mengganggu

terhadap perkembangan anak.

Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan hipotesis bahwa

ada perbedaan kemandirian antara remaja yang signifikan antara remaja yang

memiliki keluarga utuh dengan remaja yang memiliki keluarga single parent.

Kemandirian remaja yang memiliki keluarga utuh lebih tinggi daripada

kemandirian remaja yang memiliki keluarga single parent.

METODE PENELITIAN

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja berumur 15-18 tahun

berjumlah 80 orang yang berada di Salatiga diantaranya 40 remaja yang memiliki

(21)

Prosedur pengumpulan data

Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan pengumpulan data

dimulai pada tanggal 11 Juni 2014 sampai 28 Juni 2014. Peneliti menyiapkan 30

item dalam skala psikologi yang akan digunakan dalam penelitian. Teknik dalam

pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yaitu unit sampel

yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang diterapkan

berdasarkan tujuan penelitian.

Pengukuran

Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan Skala Kemandirian dari

Noom, Dekovic dan Meeus (2001). Skala Kemandirian terdiri dari tiga dimensi

yaitu kemandirian sikap, kemandirian emosional, dan kemandirian fungsional.

Skala ini tersusun dari 30 aitem yang telah dimodifikasi oleh penulis sesuai

dengan keperluan yang ada dalam penelitian, yang terbagi menjadi 2 jenis, yaitu

14 item favourable dan 16 item unfavourable. Skoring pada skala ini mengacu

pada alternatif jawaban model skala Likert, dengan 5 kategori jawaban yang

disediakan yaitu, Sangat Tidak Sesuai (STS), Tidak Sesuai (TS), N (Netral/Tidak

dapat menentukan dengan pasti), Sesuai (S), dan Sangat Sesuai (SS). Untuk

skoring bergerak dari 0 – 4 untuk pertanyaan yang favourable. Sedangkan 4 – 0 untuk pertanyaan unfavourable. Semakin tinggi skor yang didapat menunjukkan

semakin tinggi kemandirian yang ada pada diri subjek dan sebaliknya semakin

(22)

Berdasarkan seleksi aitem dan uji reliabilitas pada Skala Kemandirian

dengan menggunakan metode try out terpakai. Item dikatakan baik apabila

memiliki koefisien korelasi lebih besar dari 0,30 (Azwar, 2012). Dalam seleksi

item didapatkan 27 yang dianggap baik dan 3 aitem yang dinyatakan gugur. Skala

ini memiliki reliabilitas sebesar 0,872 dengan indeks daya diskriminan aitem

bergerak antara 0,300 sampai dengan 0,700.

HASIL PENELITIAN

Analisis Deskriptif Kemandirian

Berdasarkan skor skala kemandirian dengan jumlah aitem = 27 aitem,

maka skor tertinggi yang mungkin diperoleh adalah 27 × 4 = 108 dan terendah 27

[image:22.595.100.511.218.647.2]

× 0 = 0. Dengan menggunakan 5 kategori, diperoleh internal = 21, 6.

Tabel 1. Kategori skor kemandirian remaja yang memiliki keluarga utuh

No Interval Kategori

Frekuensi remaja

yang memiliki keluarga

utuh

% Mean Std.

Deviasi

1 86,4 ≤ x < 108 Sangat

Tinggi 1 2,5

63,47 13,47 2 64,8 ≤ x < 86,4 Tinggi 21 52,5

3 43,2 ≤ x < 64,8 Sedang 15 37,5 4 21,6 ≤ x < 43,2 Rendah 2 5 5 0 ≤ x < 21,6 Sangat

(23)
[image:23.595.101.513.137.608.2]

Tabel 2. Kategori skor kemandirian remaja yang memiliki keluarga single parent

No Interval Kategori

Frekuensi remaja

yang memiliki keluarga

single parent

% Mean Std.

Deviasi

1 86,4 ≤ x < 108 Sangat

Tinggi 2 5

61,15 11,86 2 64,8 ≤ x < 86,4 Tinggi 9 22,5

3 43,2 ≤ x < 64,8 Sedang 28 70 4 21,6 ≤ x < 43,2 Rendah 1 2,5 5 0 ≤ x < 21,6 Sangat

Rendah 0 0

Data tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 1 (2,5%) remaja yang

memiliki keluarga utuh tergolong dalam kategori kemandirian sangat rendah, 2

(5%) remaja yang memiliki keluarga utuh berada pada kategori kemandirian

rendah, 15 (37,5%) remaja yang memiliki keluarga utuh berada pada kategori

kemandirian sedang, 21 (52,5%) remaja yang memiliki keluarga utuh berada pada

kategori kemandirian tinggi dan 1 (2,5%) remaja yang memiliki keluarga utuh

berada pada kategori kemandirian sangat tinggi.

Sedangkan 1 (2,5%) remaja yang memiliki keluarga single parent

tergolong dalam kategori kemandirian rendah, 28 (70%) remaja yang memiliki

keluarga single parent tergolong pada kategori kemandirian sedang, 9 (22,5%)

remaja yang memiliki keluarga single parent berada pada kategori kemandirian

tinggi dan 2 (5%) remaja yang memiliki keluarga single parent berada pada

kategori kemandirian sangat tinggi. Kategori kemandirian sangat rendah memiliki

presentase 0% (tidak ada remaja yang memiliki keluarga single parent yang

(24)

Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test pada

program SPSS 16.0. Data dikatakan normal bila memiliki nilai signifikasi lebih

dari 0,05 (p > 0,05). Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa :

a. Variabel kemandirian pada remaja yang memiliki keluarga utuh memiliki

koefisien Kolmogorov-Smirnov Test sebesar 0,152 dengan probabilitas (p)

atau signifikansi sebesar 0,313. Dengan demikian variabel kemandirian

remaja yang memiliki keluarga utuh tersebut memiliki distribusi data yang

normal yaitu p > 0,05.

b. Variabel kemandirian pada remaja yang memiliki keluarga single parent

memiliki koefisien Kolmogorov-Smirnov Test sebesar 0,130 dengan

probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,508. Dengan demikian variabel

kemandirian remaja yang memiliki keluarga single parent tersebut memiliki

distribusi data yang normal yaitu p > 0,05.

2. Uji homogenitas

Levene test dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows

menunjukan bahwa nilai koefisien Levene Test sebesar 0,036 dengan

signifikansi sebesar 0,850 (p > 0,05). Oleh karena nilai signifikansi diatas dari

(25)

Uji-t

Perhitungan analisis ini dilakukan dengan SPSS 16.0 for windows. Hasil

[image:25.595.100.509.208.607.2]

perhitungan Independent Sample Test dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3. Independent Samples Test

Berdasarkan hasil perhitungan Independent Sample Test diperoleh nilai

t-test sebesar 0,819 dengan signifikansi 0,415 atau p > 0,05 yang berarti tidak

adanya perbedaan kemandirian antara remaja yang memiliki keluarga utuh dan

keluarga single parent.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan

kemandirian antara remaja yang memiliki keluarga utuh dan keluarga single Levene' s Test for Equalit y of Varianc

es t-test for Equality of Means

F Sig

. t df Sig. (2-taile d) Mean Differ ence Std. Error Differ ence 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Kemandirian Remaja Equal variances assumed .10 4 .74 7

.819 78 .415 2.325 00 2.838 73 -3.326 47 7.976 47 Equal variances not assumed

.819 76.7 74 .415

(26)

parent diperoleh nilai t hitung adalah sebesar 0,819 (p > 0,05), maka dengan

demikian hipotesis penelitian ditolak, yang artinya tidak ada perbedaan tingkat

kemandirian antara remaja yang memiliki keluarga utuh dan keluarga single

parent. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tingkat kemandirian

pada remaja yang memiliki keluarga utuh dan keluarga single parent adalah tidak

berbeda secara signifikan.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Gringlas dan Weinraub

dalam DeGenova (2008) yang mengemukakan bahwa kemandirian anak single

parent tidak akan berbeda dengan anak yang mempunyai orangtua utuh. Ketika

tingkat stresnya yang dialami orangtua utuh dan orangtua single parent tidak

berbeda. Misalnya ketika menghadapi suatu permasalahan, jika orang tua yang

single parent maupun yang utuh mempunyai penyelesaian yang baik dalam

menghadapi masalah tersebut, maka anak yang memiliki orangtua single parent

maupun yang memiliki orangtua utuh akan dapat menyelesaikan masalah yang

mereka hadapi sehingga tidak akan mengganggu terhadap perkembangan

kemandirian remaja.

Menjadi orangtua single parent bukan hal yang mudah menjalankan dua

peran tersebut sekaligus dalam membentuk anak yang berkualitas. Oleh sebab itu

dibutuhkan manajemen keluarga khusus dan matang agar anak yang dibesarkan

pada kondisi keluarga single parent pun sama berkualitasnya dengan anak yang

dibesarkan pada keluarga utuh (Alvita, 2008). Pola asuh yang diberikan orang

tua single parent kepada anak bergantung pada sejauh mana pemahaman orang

(27)

cenderung membentuk sikap kemandirian kepada anak (Suryasoemirat, 2007),

yang memungkinkan kemandirian anak single parent tidak kalah dari kemandirian

dari anak dari keluarga utuh.

Remaja yang memiliki keluarga single parent memiliki kemandirian

yang sama halnya dengan remaja yang memiliki keluarga yang utuh. Bahwa

ketika keluarga memang memberikan peranan yang penting bagi remaja namun

bukan penentu bagi remaja untuk mandiri. Kemandirian pada remaja tersebut bisa

dipengaruhi dari beberapa aspek selain struktur keluarga seperti pengaruh oleh

dukungan lingkungan sekitarnya ataupun lingkungan di sekolah, karena pada

masa remaja adalah masa dimana anak lebih dekat dengan dengan teman-teman

sebayanya dan ingin melepaskan dirinya untuk tidak bergantung pada

orangtuanya. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa kemandirian dapat

dipengaruhi oleh lingkungannya seperti di sekolah (Allen, Hauser, Bell, &

O’Connor, 1994).

Tidak terdapatnya perbedaan kemandirian remaja antara dua remaja

yang memiliki struktur keluarga yang berbeda yaitu utuh dan tidaknya keluarga

mungkin juga disebabkan oleh usia mereka, subjek dalam penelitian ini adalah

remaja tengah yang berumur 15-18 tahun. Pada tahap ini, remaja sangat

membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya

sendiri dengan cara menyukai teman-teman yang mempunyai sifat sama dengan

dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih

ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri,

(28)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Tidak ada perbedaan kemandirian antara remaja yang memiliki keluarga utuh

dan keluarga single parent.

2. Sebagian besar (52,5%) remaja dari keluarga utuh mempunyai kemandirian

pada kategori tinggi dan sebagian besar (70%) remaja dari keluarga single

parent mempunyai kemandirian pada kategori sedang.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diketahui, maka penulis

mengajukan saran ke beberapa pihak yaitu :

1. Pada Remaja

Diharapkan remaja dari keluarga single parent maupun dari keluarga

utuh, lebih menyadari bahwa kemandirian itu penting untuk masa depannya,

karena banyak hal positif yang bisa diperoleh, meskipun pada masa remaja

lebih cenderung dekat dengan teman-temannya namun komunikasi dan

interaksi dengan orangtua juga harus tetap terjalin dengan baik.

2. Pada Orangtua

Diharapkan orangtua lebih membimbing anak belajar mandiri

dengan memberikan kebebasan psikologis dimana orangtua dan remaja

(29)

orangtua dan remaja tetap merasakan kasih sayang, saling pengertian dan tetap

berhubungan/berkomunikasi dengan baik

3. Saran bagi peneliti selanjutnya

Melihat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka

peneliti selanjutnya disarankan untuk:

a. Diharapkan bagi peneliti selanjutnya, untuk lebih memperhatikan faktor lain

yang dapat mempengaruhi kemandirian tersebut seperti usia, pola asuh

orangtua, lingkungan, dan sebagainya. Sehingga peneliti tersebut dapat lebih

mengontrol faktor tersebut.

b. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat memperbesar jumlah subjek

penelitian dimana jumlah subjek penelitian dapat mempengaruhi hasil

penelitian. Semakin banyak jumlah subjek penelitian, maka hasil penelitian

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Afiatin, T. (1993). Persepsi pria dan wanita terhadap kemandirian. Jurnal Psikologi, 1, 7-13.

Ahmadi, H. A. (1999). Psikologi sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Allen, J. P., Hauser, S. T., Bell, K., & O’Connor, T. G. (1994). Longitudinal assessment of autonomy and relatedness in adolescent-family interactions as predictors of adolescent ego-development and self-esteem. Child Development, 65, 179–194.

Alvita, N.O. (2008). Wanita sebagai single parent dalam membentuk anak yang berkualitas. http://okvina.word press.com/html

Aspin. (2007). Hubungan gaya pengasuhan orang tua authoritarian dengan kemandirian emosional remaja (studi remaja madya dalam perspektif psikologi perkembangan pada siswa SMA Negeri 1 punggaluku kabupaten konawe selatan sulawesi tenggara (Tesis). Bandung: Program Pasca Sarjana, Universitas Padjajaran.Retrieved from http://www.damandiri.or.id/file/aspinunpadbab1.pdf

Astuti, I. P. (2002). Perbedaan kemandirian antara siswa yang berasal dari keluarga lengkap dengan siswa yang berasal dari keluarga yang tidak lengkap (Skripsi tidak diterbitkan). Malang: Program S-1 UIN Malang

Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi, 2nd ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Benson, J. E, & Johnson, M. K. (2009). Adolescent family context and adult identity formation. Institutes Health of National. 30. 1265–1286

DeGenova. (2008). Intimate relationships, marriages & families. McGraw-Hill: United State.

Fajrianthi, F. A. F. (2012). Konflik pekerjaan-keluarga dan coping pada single mothers. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Jurnal Psikologi Industri Organisasi, 1. 95.

Frank, T. W. & Ching – Man, L. (2001, November 22-23). Community parentship for family empowerment: the Hongkong model. A Paper presented at the 51th National parenting Coference University of Melbourne.

Gerungan, W. A. (2004). Psikologi sosial. Bandung: PT Rafika Aditama.

(31)

Hurlock, E. B. (1980). Developmental psychology: A life span approach, 5th ed. Boston: McGraw Hill.

Kartono, K. (1995). Psikologi anak (Psikologi perkembangan). Bandung: Mandar Maju.

Kulbok, Pamela. (2004). Autonomy and Adolescence: A Concept Analysis. Public Health Nursing. 21. 144-152

LaFreniere, P. J. (2000). Emotional development (A biosocial perspective). USA: Wadsworth.

Lie, A. & Prasasti, S. (2004). 101 cara membina kemandirian dan tanggung jawab

Manurung, M. R. (1995). Manajemen keluarga. Bandung: Indonesia Publishing House.

Masrun, Martono, Haryanto, F. P., Hardjito, P., Sofiati, M., Bawani, A., Aritonang, I., & Soetjipto, H. P. (1986). Studi mengenai kemandirian pada penduduk di tiga suku bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Yogyakarta: Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Monks, F.J., Knoers, A. M. P., Haditono, S.R. (2001). Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Mu’tadin, Z. (2002). Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis pada Remaja. http://www.e-psikologi.com.5/1/05

Murdaningrum, F. (2006). Strategi coping pada single parent mother. Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata.

Musdalifah. (2007). Perkembangan sosial remaja dalam kemandirian (Studi kasus hambatan psikologis dependensi terhadap orangtua). Jurnal Psikologi, 4, 47.

Nashori, F. (1999). Hubungan antara religiusitas dengan kemandirian pada siswa SMU. Jurnal Psikologi, 8, 31-38.

Noom, M. J., Deković, M.,& Meeus, W. (2001). “Conceptual analysis and measurement of adolescent autonomy”. Journal of Youth and Adolescents, 30, 557-595.

(32)

Rice, F. P., & Dolgin, K. G. (n. d.). (2008). The adolescent development, relationship, and culture. 12th ed. USA: Pearson Education Inc.

Setiawati, I., Zulkaida, A. (2007). Sibling rivalry pada anak sulung yang diasuh oleh single father. Auditorium Kampus Gunadarma, 2.

Steinberg, L. (1993). Adolescence-third rdition. New York: McGraw-Hill, Inc. 80

Stryker, S, & Serpe, R.T. (1994). Identity salience and psychological centrality: Equivalent, overlapping, or complementary concepts?. Social Psychology Quarterly. 57. 16–35.

Suryasoemirat, A. (2007). Wanita single parent yang berhasil. Jakarta: EDSA Mahkota.

Gambar

Tabel 1. Kategori skor kemandirian remaja yang memiliki keluarga utuh
Tabel 2. Kategori skor kemandirian remaja yang memiliki keluarga single parent
Tabel 3. Independent Samples Test

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dibutuhkan suatu sistem pertahanan didalam server itu sendiri yang bisa menganalisa langsung apakah setiap paket yang masuk tersebut adalah yang diharapkan

Sebagai bahan bakar, sifat termal arang termpurung kelapa adalah penting dan bergantung pada struktur dan komposisinya yang juga dipengaruhi oleh parameter proses pembentukannya

Akan tetapi, sebagaimana diperlihatkan oleh Deleuze, Guattari, Lyotard, Foucault, dan Baudrillard, fondasi dari dunia penampakan itu telah beralih pada hasrat dan kehendak

Danise dan Robert (2009:107), mengemukakan bahwa strategi investasi yang berdasarkan kepemilikan modal dari dalam perusahaan (modal sendiri) memiliki hubungan

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLI-B1, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague, Czech

Bermula pada ketidakberhasilan Taman Nasional untuk mengembangkan potensi pariwisata yang ada di Pulau Kapota, Dinas Pariwisata mulai mendekati Pak Suhairi, yang

1) Sebagian besar lansia di Panti Sosial Tresna Werda Unit Budi Luhur Yogyakarta tidak depresi yaitu 24 responden (53,3%). 2) Sebagian besar aktivitas religi di Panti Sosial

Hal yang diutamakan terutama masalah: peran guru PAI dalam menumbuhkembangkan Konsep Cerdas, Energik, Religius, Ilmiah Amaliah (CERIA) pada Peserta Didik.. Subiyantoro,