xv ABSTRAK
ANALISIS KETEPATAN PEMILIHAN METODE PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN SEBAGAI SALAH SATU CARA
UNTUK MENGURANGI BEBAN PAJAK PENGHASILAN Studi Kasus di PT. Prima Dwi Utama
Yovita Ratnasari Massora NIM : 092114075 Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2013
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode penyusutan yang lebih tepat digunakan oleh perusahaan sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban Pajak Penghasilan perusahaan.
Penelitian ini dilakukan di PT. Prima Dwi Utama, Kendari, Sulawesi Tenggara. Data diperoleh dengan melakukan wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan penghitungan biaya penyusutan harta berwujud bukan bangunan dengan menggunakan metode garis lurus dan metode saldo menurun.
xvi ABSTRACT
AN ANALYSIS ON THE APPROPRIATENESS OF DEPRECIATION METHOD SELECTION OF NON BUILDING-TANGIBLE FIXED ASSET
AS THE WAY TO REDUCE INCOME TAX EXPENSES
A Case Study at PT. Prima Dwi Utama
Yovita Ratnasari Massora NIM : 092114075 Sanata Dharma University
Yogyakarta 2013
The purpose of this study is to find out depreciation method that is most appropriate as a method to reduce company’s income tax expense.
This study was undertaken at PT. Prima Dwi Utama, Kendari, South East Sulawesi. Data was obtained through interview and documentation. The data analysis technique employed was descriptive analysis technique, a technique to describe the calculation of depreciation cost of non building-tangible fixed asset using straight line method and declining balance method.
ANALISIS KETEPATAN PEMILIHAN METODE PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN SEBAGAI SALAH SATU CARA
UNTUK MENGURANGI BEBAN PAJAK PENGHASILAN Studi Kasus di PT. Prima Dwi Utama
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Akuntansi
Oleh :
Yovita Ratnasari Massora
NIM : 092114075
PROGRAM STUDI AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
ANALISIS KETEPATAN PEMILIHAN METODE PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN SEBAGAI SALAH SATU CARA
UNTUK MENGURANGI BEBAN PAJAK PENGHASILAN Studi Kasus di PT. Prima Dwi Utama
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Akuntansi
Oleh :
Yovita Ratnasari Massora
NIM : 092114075
PROGRAM STUDI AKUNTANSI JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya” (Mat 21:22) “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37) “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya”
(Pengkhotbah 3:11a)
“Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!” (Yeremia 17:7)
“Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor 12:9) “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13)
“ Hidup yang bernilai adalah dalam setiap kesempatan yang ada, kita bisa mendedikasikan diri untuk selalu melakukan yang terbaik
bagi diri sendiri dan orang lain” (Andrie Wongso)
“Berdoa dan berusahalah melakukan yang terbaik, serta syukuri dan manfaatkan waktu yang Tuhan anugerahkan kepada kita dengan sebaik-baiknya, lalu pasrahkan semuanya kepada Tuhan, biarkan Tuhan hadir dalam setiap kelemahan kita, sebab Dia akan
menunjukkan kasih-Nya dan kuasa-Nya kepada kita, tetap percaya akan janji-Nya, Ia akan membuat segala sesuatu indah
pada waktunya, karena Tuhan itu baik”
Skripsi ini kupersembahkan untuk : Tuhan Yesus Kristus
Bunda Maria
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi
Universitas Sanata Dharma.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, S.J. selaku Rektor Universitas Sanata
Dharma yang telah memberikan kesempatan untuk belajar dan
mengembangkan kepribadian kepada penulis.
2. Dra. YFM. Gien Agustinawansari, M.M., Akt. selaku Dosen Pembimbing
yang telah berkenan memberikan bimbingan, arahan, dan nasihat kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma yang telah
mendidik dan memberikan ilmu kepada penulis.
4. Seluruh staf sekretariat Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma yang
telah melayani semua kebutuhan akademis selama penulis di bangku
viii
5. Bapak Andi Salahuddin Akhmad, Bapak Abdul Biden, Bapak Hendro
Kusuma Jaya, dan seluruh karyawan PT. Prima Dwi Utama Kendari, Sulawesi
Tenggara yang telah memberikan izin penelitian dan telah membantu penulis
memperoleh data lisan maupun tulisan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Ishak, Bapak Syarif, Bapak Yuslan, dan seluruh karyawan Kantor
Akuntan Publik (KAP) Drs. H. Muhammad Fadjar Kendari, Sulawesi
Tenggara yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis
mengadakan penelitian.
7. Om Vany sekeluarga yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama
penulis mengadakan penelitian.
8. Seluruh pengajar Brevet A dan B Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang telah
memberikan masukan dan arahan kepada penulis dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
9. Bapak Abdul Hadi yang telah memberikan masukan dan arahan kepada
penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
10. Bapakku Bastian Massora, Ibuku Adolfina Banne, kedua Adikku James
Suwandi Massora dan Melky Massora, serta seluruh Keluargaku yang selalu
memberikan doa, kasih sayang, dan semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
11. Sahabat-sahabat terbaikku: Niken Utami, Maria Mellyana Nur Octa
Kumalasari, Theresia Veny Tabi, Agata Rosa Pebriani, Susana Nugrahani, dan
Yunita Astikawati atas doa, persahabatan, canda tawa, semangat, dan masukan
ix
12. Teman-teman Paduan Suara Fakultas Ekonomi (PSFE) dan Cana Community
Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk dapat mengembangkan diri.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Yogyakarta, 30 September 2013
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERSEMBAHAN iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS v
HALAMAN PUBLIKASI KARYA TULIS vi
HALAMAN KATA PENGANTAR vii
HALAMAN DAFTAR ISI x
HALAMAN DAFTAR TABEL xii
HALAMAN DAFTAR GAMBAR xiv
ABSTRAK xv
ABSTRACT xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
E. Sistematika Penulisan 5
BAB II LANDASAN TEORI 7
A. Pajak Penghasilan 7
1. Pengertian Pajak Penghasilan 7
2. Subyek Pajak Penghasilan 9
3. Obyek Pajak Penghasilan 9
4. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Bersifat Final 15
5. Cara Menghitung Pajak Penghasilan 18
6. Biaya yang Boleh Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto (Deductible Expenses) 19 7. Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari
Penghasilan Bruto (Non-Deductible Expenses) 24
8. Tarif Pajak Penghasilan 32
xi
B. Penyusutan Harta Berwujud 33
1. Pengertian Penyusutan Harta Berwujud 33
2. Kebijakan Penyusutan Harta Berwujud Menurut
Ketentuan Perpajakan 34
3. Metode Penyusutan Harta Berwujud Menurut
Ketentuan Perpajakan 41
C. Rekonsiliasi Fiskal 42
D. Konsep Nilai Waktu Uang 43
E. ReviewPenelitian Terdahulu 47
BAB III METODE PENELITIAN 53
A. Jenis Penelitian 53
B. Tempat dan Waktu Penelitian 53
C. Subyek dan Obyek Penelitian 54
D. Data yang Diperlukan 54
E. Teknik Pengumpulan Data 54
F. Teknik Analisis Data 55
BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 70
A. Sejarah PT. Prima Dwi Utama 70
B. Lokasi PT. Prima Dwi Utama 71
C. Personalia 72
D. Struktur Organisasi 74
E. Unit Usaha 78
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 80
A. Deskripsi Data 80
B. Analisis Data 97
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 135
BAB VI PENUTUP 139
A. Kesimpulan 139
B. Keterbatasan Penelitian 140
C. Saran 141
DAFTAR PUSTAKA 143
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jenis-jenis Penghasilan yang Dikenakan Pajak Bersifat Final 17
Tabel 2. Tarif Penyusutan Harta Berwujud 35
Tabel 3. Contoh Tabel Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan 55
Tabel 4. Contoh Tabel Daftar Penghitungan Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan dengan Menggunakan Metode
Garis Lurus 56
Tabel 5. Contoh Tabel Daftar Penghitungan Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan dengan Menggunakan Metode
Saldo Menurun 58
Tabel 6. Contoh Tabel Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan
Bangunan yang Dihitung Menggunakan Metode Garis Lurus 61
Tabel 7. Contoh Tabel Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan yang Dihitung Menggunakan Metode Saldo
Menurun 61
Tabel 8. Contoh Tabel Penghitungan Pajak Penghasilan Terutang 64
Tabel 9. Contoh Tabel Penghitungan Nilai Sekarang Pajak
Penghasilan Terutang 67
Tabel 10. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan yang dimiliki PT.
Prima Dwi Utama tahun 2009 berdasarkan Usaha Penjualan 81
Tabel 11. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan yang dimiliki PT. Prima Dwi Utama tahun 2009 berdasarkan Usaha Jasa
Konstruksi 82
Tabel 12. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan yang dimiliki PT.
Prima Dwi Utama tahun 2010 berdasarkan Usaha Penjualan 83
Tabel 13. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan yang dimiliki PT. Prima Dwi Utama tahun 2010 berdasarkan Usaha Jasa
Konstruksi 84
Tabel 14. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan yang dimiliki PT.
Prima Dwi Utama tahun 2011 berdasarkan Usaha Penjualan 84
Tabel 15. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan yang dimiliki PT. Prima Dwi Utama tahun 2011 berdasarkan Usaha Jasa
xiii
Tabel 16. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan yang dimiliki PT. Prima Dwi Utama tahun 2012 berdasarkan Usaha Jasa
Konstruksi 86
Tabel 17. Laporan Laba Rugi tahun 2009 88
Tabel 18. Laporan Laba Rugi tahun 2010 90
Tabel 19. Laporan Laba Rugi tahun 2011 93
Tabel 20. Laporan Laba Rugi tahun 2012 95
Tabel 21. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan Kelompok I 99
Tabel 22. Daftar Harta Berwujud Bukan Bangunan Kelompok II 99
Tabel 23. Daftar Penghitungan Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan Kelompok I dengan Menggunakan
Metode Garis Lurus 102
Tabel 24. Daftar Penghitungan Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan Kelompok II dengan Menggunakan
Metode Garis Lurus 103
Tabel 25. Daftar Penghitungan Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan Kelompok I dengan Menggunakan
Metode Saldo Menurun 106
Tabel 26. Daftar Penghitungan Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan Kelompok II dengan Menggunakan
Metode Saldo Menurun 108
Tabel 27. Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan yang
Dihitung Menggunakan Metode Garis Lurus 112
Tabel 28. Biaya Penyusutan Harta Berwujud Bukan Bangunan yang
Dihitung Menggunakan Metode Saldo Menurun 113
Tabel 29. Penghitungan Pajak Penghasilan Terutang 126
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xv ABSTRAK
ANALISIS KETEPATAN PEMILIHAN METODE PENYUSUTAN HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN SEBAGAI SALAH SATU CARA
UNTUK MENGURANGI BEBAN PAJAK PENGHASILAN Studi Kasus di PT. Prima Dwi Utama
Yovita Ratnasari Massora NIM : 092114075 Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2013
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode penyusutan yang lebih tepat digunakan oleh perusahaan sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban Pajak Penghasilan perusahaan.
Penelitian ini dilakukan di PT. Prima Dwi Utama, Kendari, Sulawesi Tenggara. Data diperoleh dengan melakukan wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan penghitungan biaya penyusutan harta berwujud bukan bangunan dengan menggunakan metode garis lurus dan metode saldo menurun.
xvi ABSTRACT
AN ANALYSIS ON THE APPROPRIATENESS OF DEPRECIATION METHOD SELECTION OF NON BUILDING-TANGIBLE FIXED ASSET
AS THE WAY TO REDUCE INCOME TAX EXPENSES
A Case Study at PT. Prima Dwi Utama
Yovita Ratnasari Massora NIM : 092114075 Sanata Dharma University
Yogyakarta 2013
The purpose of this study is to find out depreciation method that is most appropriate as a method to reduce company’s income tax expense.
This study was undertaken at PT. Prima Dwi Utama, Kendari, South East Sulawesi. Data was obtained through interview and documentation. The data analysis technique employed was descriptive analysis technique, a technique to describe the calculation of depreciation cost of non building-tangible fixed asset using straight line method and declining balance method.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sektor pajak merupakan salah satu sektor yang memegang peranan sangat
penting dalam meningkatkan perekonomian negara. Jumlah penerimaan yang
diperoleh negara dari sektor ini dapat digunakan untuk membiayai berbagai
keperluan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional yang
membutuhkan dana cukup besar. Penerimaan yang diperoleh negara dari
sektor ini juga digunakan untuk pembiayaan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Setiap warga negara dapat menikmati fasilitas atau
pelayanan dari pemerintah yang dananya berasal dari pajak. Peranan
penerimaan pajak bagi suatu negara sangat penting dalam menunjang
pelaksanaan roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan, serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pajak menjadi suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh masyarakat
kepada pemerintah. Badan usaha atau perusahaan merupakan salah satu
subyek pajak yang memiliki kewajiban membayar pajak kepada pemerintah.
Perusahaan sebagai Wajib Pajak badan sebaiknya dapat membantu pemerintah
dalam pembangunan melalui ketaatan membayar pajak. Tanggung jawab atas
kewajiban pembayaran pajak merupakan suatu perwujudan dari kewajiban
Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama ikut berpartisipasi aktif
dalam pendanaan negara dan pembangunan nasional.
Salah satu jenis pajak yang dipungut pemerintah adalah Pajak Penghasilan.
Besar Pajak Penghasilan ditentukan oleh besarnya laba atau rugi perusahaan,
padahal laba rugi penting bagi perusahaan. Adanya pemikiran bahwa Pajak
Penghasilan merupakan suatu beban yang dapat mengurangi laba yang
diperoleh perusahaan, membuat banyak perusahaan terkadang kurang
memiliki kesadaran untuk membayar pajak. Namun, perusahaan sebaiknya
tidak menjadikan Pajak Penghasilan sebagai beban dalam menjalankan
usahanya. Ada salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi beban
Pajak Penghasilan perusahaan, yaitu dengan mengatur besarnya biaya
penyusutan dari harta berwujud yang digunakan dalam kegiatan operasional
perusahaan.
Pengaturan besarnya biaya penyusutan dari harta berwujud perusahaan
dapat dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban Pajak
Penghasilan perusahaan, karena biaya penyusutan merupakan salah satu biaya
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan menurut ketentuan
perpajakan, sehingga biaya penyusutan menjadi salah satu biaya yang dapat
menurunkan Penghasilan Kena Pajak perusahaan. Jika Penghasilan Kena
Pajak perusahaan rendah, maka beban Pajak Penghasilan perusahaan juga
rendah. Biaya penyusutan menjadi salah satu biaya yang penting untuk
dipertimbangkan sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban Pajak
Penghasilan perusahaan dibandingkan dengan biaya-biaya lainnya menurut
ketentuan perpajakan, karena adanya biaya penyusutan sebenarnya berpijak
operasional perusahaan akan memberikan manfaat potensial bagi perusahaan
untuk mendapatkan penghasilan di masa yang akan datang, sehingga biaya
penyusutan merupakan salah satu biaya yang mempengaruhi laporan
keuangan yang sifatnya menurunkan Penghasilan Kena Pajak perusahaan.
Besar biaya penyusutan ditentukan oleh metode penyusutan yang
digunakan oleh perusahaan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan, ada dua metode penyusutan yang dapat
digunakan oleh perusahaan, yaitu metode penyusutan garis lurus dan metode
penyusutan saldo menurun. Perusahaan harus tepat dalam memilih metode
penyusutan yang akan digunakan. Metode penyusutan garis lurus dan metode
penyusutan saldo menurun akan menghasilkan biaya penyusutan yang
berbeda. Perbedaan ini akan menunjukkan metode penyusutan yang lebih
tepat digunakan oleh perusahaan dalam mengatur besar kecilnya laba
perusahaan, sehingga dapat mengurangi beban Pajak Penghasilan yang
ditanggung perusahaan. Metode manapun yang dipilih harus dapat digunakan
oleh perusahaan secara konsisten agar metode tersebut dapat menyediakan
perbandingan hasil operasi perusahaan dari periode ke periode.
Penelitian mengenai metode penyusutan yang lebih tepat digunakan oleh
perusahaan sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban Pajak Penghasilan
perusahaan ini akan dilakukan di PT. Prima Dwi Utama. PT. Prima Dwi
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah metode penyusutan manakah yang lebih tepat digunakan
oleh PT. Prima Dwi Utama sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban
Pajak Penghasilan PT. Prima Dwi Utama ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode penyusutan mana
yang lebih tepat digunakan oleh PT. Prima Dwi Utama sebagai salah satu cara
untuk mengurangi beban Pajak Penghasilan PT. Prima Dwi Utama.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak yang terkait, antara lain :
1. Bagi PT. Prima Dwi Utama
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi PT.
Prima Dwi Utama dalam pemilihan metode penyusutan untuk menghitung
besarnya biaya penyusutan harta berwujud bukan bangunan sebagai salah
satu cara untuk mengurangi beban Pajak Penghasilan PT. Prima Dwi
Utama.
2. Bagi Pihak Lain
Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai referensi dan acuan untuk
pengembangan dan kajian penelitian selanjutnya yang lebih mendalam,
bukan bangunan sebagai salah satu cara untuk mengurangi beban Pajak
Penghasilan perusahaan.
3. Bagi Penulis
Penelitian ini memberikan kesempatan bagi penulis untuk menerapkan
teori-teori yang diperoleh selama perkuliahan terhadap praktik yang nyata
terjadi, sebelum penulis memasuki dunia kerja yang sebenarnya dan dapat
menambah pengetahuan penulis dalam bidang perpajakan.
E. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini berisi uraian tentang teori-teori yang digunakan
sebagai dasar untuk mengolah data yang berasal dari PT.
Prima Dwi Utama.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini berisi uraian tentang jenis penelitian, tempat dan
waktu penelitian, subyek dan obyek penelitian, data yang
Bab IV : Gambaran Umum Perusahaan
Bab ini berisi uraian tentang sejarah PT. Prima Dwi Utama,
lokasi PT. Prima Dwi Utama, personalia, struktur organisasi,
dan unit usaha.
Bab V : Analisis Data dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang deskripsi dan analisis data-data yang
diperoleh dari PT. Prima Dwi Utama, serta hasil penelitian dan
pembahasannya.
Bab VI : Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian, dan keterbatasan dalam melakukan penelitian, serta
7 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pajak Penghasilan
1. Pengertian Pajak Penghasilan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Selain pengertian tersebut, ada beberapa pengertian
lain dari pajak menurut beberapa ahli, diantaranya yaitu menurut Prof. Dr.
Rochmat Soemitro, S.H. dalam buku Perpajakan yang ditulis oleh
Mardiasmo (2009: 1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani dalam buku Perpajakan Indonesia
yang ditulis oleh Waluyo (2008: 2), pajak adalah iuran kepada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali,
yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membayar
pengeluaran - pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang
Perpajakan: Teori dan Kasus yang ditulis oleh Resmi (2011: 1), pajak
adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas
negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut
peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak
ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara
kesejahteraan umum.
Berdasarkan buku Perpajakan yang ditulis oleh Mardiasmo (2009:
133), penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan
bentuk apa pun.
Berdasarkan pengertian pajak dan pengertian penghasilan yang telah
dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Pajak
Penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada
masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara sebagai suatu
kewajiban yang harus dilaksanakannya.
Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008,
Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap subyek
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
penghasilan. Subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan
disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai
pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban
pajak subyektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
2. Subyek Pajak Penghasilan
Sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi subyek Pajak
Penghasilan adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di
Indonesia ataupun di luar Indonesia dan warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak yaitu ahli waris, badan
yaitu sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, dan bentuk
usaha tetap yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia.
3. Obyek Pajak Penghasilan
Sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi obyek Pajak
Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun.
Penghasilan yang termasuk sebagai obyek pajak, yaitu penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang. Pengertian imbalan dalam bentuk
lainnya adalah imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya
merupakan penghasilan.
Obyek pajak lainnya adalah hadiah dari undian atau pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan. Pengertian hadiah dari undian atau pekerjaan
atau kegiatan, maksudnya hadiah undian tabungan, hadiah dari
pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Pengertian hadiah dari
penghargaan, maksudnya imbalan yang diberikan sehubungan dengan
kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan
penemuan benda-benda purbakala. Laba usaha juga merupakan obyek
pajak.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta juga
termasuk obyek pajak, yang terdiri atas lima jenis. Pertama, keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. Maksudnya, yaitu dalam
hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan
diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan. Kedua, keuntungan
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya. Maksudnya,
yaitu dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan
pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk
penghitungan keuntungan tersebut adalah harga pasar.
Ketiga, keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan
nama dan dalam bentuk apa pun. Apabila suatu badan dilikuidasi,
keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual
berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan
obyek pajak. Begitu juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa
buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Keempat, keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan,
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan. Maksudnya, yaitu keuntungan berupa selisih
harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi
pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat.
Kelima, keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan. Maksudnya, yaitu dalam hal
Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh
hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh
merupakan obyek pajak.
Obyek pajak lainnya adalah penerimaan kembali pembayaran pajak
yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak. Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan obyek
pajak. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang adalah obyek pajak. Pengertian bunga termasuk pula
premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi
dijual di atas nilai nominalnya, sedangkan diskonto terjadi apabila surat
obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi adalah obyek pajak. Dividen merupakan bagian laba yang
diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian
sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Obyek pajak
lainnya adalah royalti atau imbalan atas penggunaan hak. Royalti adalah
suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
merupakan obyek pajak. Pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima
atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa
kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. Penerimaan atau perolehan
pembayaran berkala juga merupakan obyek pajak. Penerimaan berupa
pembayaran berkala, misalnya tunjangan seumur hidup yang dibayar
secara berulang-ulang dalam waktu tertentu. Obyek pajak lainnya adalah
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pembebasan utang
oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan
Keuntungan selisih kurs mata uang asing merupakan obyek pajak.
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva merupakan obyek pajak.
Premi asuransi juga merupakan obyek pajak, termasuk premi reasuransi.
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
adalah obyek pajak. Obyek pajak lainnya adalah tambahan kekayaan neto
yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Tambahan
kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan, baik
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan obyek pajak serta yang belum
dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto
melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang
bukan obyek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan
penghasilan.
Penghasilan dari usaha berbasis syariah merupakan obyek pajak.
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda
dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut
tetap merupakan obyek pajak menurut Undang-Undang. Imbalan bunga
ketentuan umum dan tata cara perpajakan merupakan obyek pajak, begitu
juga dengan surplus Bank Indonesia.
4. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Bersifat Final
Berdasarkan buku Perpajakan: Teori dan Kasus yang ditulis oleh Resmi
(2011: 139), Pajak Penghasilan bersifat final merupakan Pajak
Penghasilan yang pengenaannya sudah final (berakhir) sehingga tidak
dapat dikreditkan (dikurangkan) dari total Pajak Penghasilan terutang pada
akhir tahun pajak. Menurut buku Perpajakan Indonesia yang ditulis oleh
Diana dan Setiawati (2010: 367), penghasilan yang dikenakan Pajak
Penghasilan final harus dikeluarkan dari penghitungan Pajak Penghasilan
terutang (koreksi negatif).
Menurut buku Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet A dan B Terpadu
yang ditulis oleh Ikatan Akuntan Indonesia (2013: 250), karakteristik
penghasilan yang menjadi obyek Pajak Penghasilan final adalah
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan final tidak perlu
digabungkan dengan penghasilan terutang lain (yang non final) dalam
penghitungan Pajak Penghasilan pada Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan,
jumlah Pajak Penghasilan final yang telah dibayar sendiri atau dipotong
pihak lain sehubungan penghasilan tersebut tidak dapat dikreditkan (non
prepaid taxes), dan biaya-biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan Pajak
Penghasilannya bersifat final tidak dapat diperhitungkan sebagai
Sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, penghasilan yang dapat dikenai
pajak bersifat final, antara lain penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi. Obligasi yang dimaksud dalam hal ini adalah surat utang
berjangka waktu lebih dari dua belas bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Noteyang berjangka waktu lebih dari dua belas bulan. Surat utang negara yang dimaksud dalam hal ini meliputi obligasi negara dan
surat perbendaharaan negara.
Penghasilan lainnya yang dapat dikenai pajak bersifat final, yaitu
penghasilan berupa hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada
perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
dan penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan. Ada pula penghasilan tertentu lainnya yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan buku
Perpajakan: Teori dan Kasus yang ditulis oleh Resmi (2011: 139),
penghasilan tertentu lainnya yang dimaksud adalah penghasilan dari
pengungkapan ketidakbenaran, penghentian penyidikan tindak pidana, dan
Penghasilan-penghasilan yang dapat dikenakan pajak bersifat final
merupakan obyek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, antara
lain perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan
tabungan masyarakat, kesederhanaan dalam pemungutan pajak,
berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak, pemerataan dalam pengenaan pajaknya, dan
memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, maka atas
penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri
dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak
atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Berikut ini jenis-jenis penghasilan yang dikenakan
pajak bersifat final beserta dasar hukum dan dasar pengenaannya.
Tabel 1. Jenis-jenis Penghasilan yang Dikenakan Pajak Bersifat Final
Dasar Hukum Jenis Penghasilan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
PP 131/2000 Bunga Deposito,
Tabungan, dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Jumlah Bruto
PP 14/1997 Penjualan Saham di Bursa Jumlah Bruto PP 04/1995 Penjualan Saham Milik
Perusahaan Modal Ventura
Jumlah Bruto
PP 132/2000 Hadiah Undian Jumlah Bruto PP 71/2008 Pengalihan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan
PP 5/2002 Persewaan Tanah dan atau Bangunan
Tabel 1. Jenis-jenis Penghasilan yang Dikenakan Pajak Bersifat Final (lanjutan)
Dasar Hukum Jenis Penghasilan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
PP 51/2008 jo PP 40/2009
Jasa Konstruksi Nilai Kontrak
PP 15/2009 Bunga Simpanan Koperasi Jumlah Bunga
PP 16/2009 Bunga Obligasi Jumlah Bunga dan atau Diskonto
PP 19/2009 Dividen yang diterima Orang Pribadi (OP)
Jumlah Dividen
PP 138/2000 jo 79/PMK.03/2008
Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap
Selisih Lebih Revaluasi
Sumber: Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet A dan B Terpadu, 2013
5. Cara Menghitung Pajak Penghasilan
Berdasarkan buku Perpajakan yang ditulis oleh Mardiasmo (2009:
144), Pajak Penghasilan setahun dihitung dengan cara mengalikan
Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak yang diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap sebesar 28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut
menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun
pajak 2010.
Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan. Beban-beban yang dapat
yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu
tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
6. Biaya yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Deductible Expenses)
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; bunga, sewa, dan
royalti; biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya
promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; biaya administrasi; dan pajak kecuali Pajak
Penghasilan.
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha adalah biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun
pengeluaran. Pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai
hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan obyek pajak untuk dapat dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan
pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi
pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang.
Pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu boleh
dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya
selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai
biaya. Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya
yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada
hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan
untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Besarnya biaya
promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang
penghasilan bruto diatur atau berdasarkan Peraturan Menteri keuangan.
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun merupakan biaya
yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Pengeluaran-pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka,
misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus,
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan juga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto. Maksudnya, yaitu iuran kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan
sebagai biaya. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan merupakan biaya
yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian karena
penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak
dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian selisih kurs mata uang asing merupakan biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian karena fluktuasi kurs mata
uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia. Biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia juga merupakan biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya penelitian dan pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk
menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan
Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan adalah biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya yang dikeluarkan untuk
keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan
kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
dengan memperhatikan kewajaran. Beasiswa yang dapat dibebankan
sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa,
dan pihak lain.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih merupakan biaya yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dengan syarat yang pertama,
yaitu Wajib Pajak telah membebankannya sebagai biaya dalam laporan
laba rugi komersial. Syarat yang kedua, yaitu Wajib Pajak harus
menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Syarat yang ketiga, yaitu Wajib Pajak telah menyerahkan
perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah
yang menangani piutang negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau
khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu, dan syarat ketiga ini tidak berlaku
untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam
laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan
yang maksimal atau terakhir. Maksud dari penerbitan tidak hanya berarti
penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi
dan sejenisnya. Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai
biaya, diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Biaya lainnya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan, yaitu sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah,
sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, biaya
pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah, sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan sumbangan dalam rangka
pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, apabila penghasilan bruto setelah
dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan neto atau laba fiskal mulai tahun pajak berikutnya
berturut-turut sampai dengan lima tahun, yang dimulai sejak tahun berikutnya
sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
7. Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Non-Deductible Expenses)
Berdasarkan ketentuan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, yaitu
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha
koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
badan yang membagikannya, karena pembagian laba tersebut merupakan
bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota merupakan biaya yang tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya-biaya yang dikeluarkan atau
sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan,
biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan
pribadi para pemegang saham atau keluarganya adalah biaya-biaya yang
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Biaya lainnya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto,
yaitu pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan
piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; cadangan untuk
usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; cadangan penjaminan untuk
Lembaga Penjamin Simpanan; cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan; cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha
kehutanan; dan cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat
pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan
sebagai biaya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
219/PMK.011/2012. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
219/PMK.011/2012, pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang
boleh dikurangkan sebagai biaya ada enam. Pertama, cadangan piutang tak
sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha
bank, meliputi bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional, bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional, dan bank perkreditan rakyat yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Cadangan
piutang tak tertagih untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit, yaitu
badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang
menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang meliputi koperasi simpan
pinjam, PT. Permodalan Nasional Madani (Persero), Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan infrastruktur yang
melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek
infrastruktur, dan PT. Perusahaan Pengelola Aset.
Cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi,
yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan
menyediakan barang modal untuk digunakan oleh penyewa guna usaha
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran
dengan hak opsi (Finance Lease). Cadangan piutang tak tertagih untuk
perusahaan pembiayaan konsumen, yaitu cadangan piutang tak tertagih
untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka
pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
Kedua, cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi cadangan premi
tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan
asuransi kerugian, serta cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa.
Ketiga, cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu
cadangan penjaminan untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan
nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem
perbankan sesuai dengan kewenangannya. Keempat, cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan
yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu
sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan
berdaya guna sesuai peruntukannya.
Kelima, cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan,
yaitu cadangan biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang
diwajibkan melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah
dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
diselenggarakan secara terpadu. Keenam, cadangan biaya penutupan dan
pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan
limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri.
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan
merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan
pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan
asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan obyek pajak.
Peraturan tentang premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayarkan
oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan, diatur
dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.41/2003.
Menurut SE-03/PJ.41/2003, yang dimaksud dengan pemberi kerja adalah
Wajib Pajak orang pribadi sebagai pemberi kerja yang membayar atau
menanggung premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa untuk pegawainya. Bagi Wajib
Pajak orang pribadi sebagai pemberi kerja yang melakukan pembayaran
premi asuransi untuk pegawainya tersebut, boleh membebankannya
bagi pegawai yang bersangkutan, premi asuransi tersebut merupakan
penghasilan yang merupakan obyek pajak.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan merupakan biaya yang tidak
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Maksudnya, yaitu penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan
merupakan obyek pajak. Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini
penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan
pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan juga merupakan
biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Kemungkinan
dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang
juga pemegang saham dalam hubungan pekerjaan. Berdasarkan ketentuan
ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai biaya, karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan,
penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai
dengan kelaziman usaha.
Biaya lainnya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto,
yaitu harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan,
kecuali sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, sumbangan dalam
rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, sumbangan fasilitas
pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan
sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah, serta zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pajak Penghasilan juga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Maksud dari Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak
Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya merupakan biaya
yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya untuk
pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan. Oleh karena itu, biaya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham merupakan
biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Anggota
firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada
imbalan sebagai gaji. Dengan demikian, gaji yang diterima oleh anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto badan tersebut, begitu juga dengan sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
Berdasarkan ketentuan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus,
melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi. Pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan,
pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui
penyusutan. Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari
satu tahun, diamortisasi dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun
selama masa manfaat atau dalam bagian-bagian yang menurun setiap
tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
8. Tarif Pajak Penghasilan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan pada pasal 17 ayat (1) huruf b, besarnya tarif Pajak
Penghasilan yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%
(dua puluh delapan persen) dan berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat (2a)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tarif
tersebut akan diturunkan menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang
mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. Berdasarkan ketentuan pasal 17
ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, untuk keperluan penerapan tarif pajak yang diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam
Menurut ketentuan pasal 31 E ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Wajib Pajak badan dalam negeri
dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50%
(lima puluh persen) dari tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah). Menurut ketentuan pasal 31 E ayat (2) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, besarnya bagian peredaran bruto
tersebut dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
B. Penyusutan Harta Berwujud
1. Pengertian Penyusutan Harta Berwujud
Berdasarkan buku Teori Akuntansi yang ditulis oleh Suwardjono
(2011: 437-440), depresiasi atau penyusutan merupakan suatu proses
alokasi kos secara sistematik dan rasional dan jumlah rupiahnya diukur
atas dasar bagian kos potensi jasa yang dianggap telah dimanfaatkan
dalam menciptakan pendapatan. Penyusutan juga dipandang sebagai
penurunan potensi jasa selama perioda operasi akibat keausan fisik,
konsumsi manfaat, atau keusangan teknologis.
Menurut buku Dasar-Dasar Akuntansi yang ditulis oleh Jusup (2011:
195), penyusutan adalah proses pengalokasian beban perolehan harta
tersebut. Berdasarkan buku Perpajakan yang ditulis oleh Mardiasmo
(2009: 152), penyusutan merupakan konsep alokasi harga perolehan harta
tetap berwujud.
Harta tetap berwujud dibagi menjadi dua golongan, yaitu harta
berwujud yang bukan berupa bangunan dan harta berwujud yang berupa
bangunan. Menurut buku Perpajakan Indonesia yang ditulis oleh Waluyo
(2008: 159), aset yang dapat disusutkan adalah aset yang diharapkan untuk
digunakan selama lebih dari satu periode akuntansi, memiliki suatu masa
manfaat yang terbatas, dan ditahan oleh suatu perusahaan untuk digunakan
dalam produksi atau memasok barang dan jasa untuk disewakan, atau
untuk tujuan administrasi.
2. Kebijakan Penyusutan Harta Berwujud Menurut Ketentuan Perpajakan
Berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan, kebijakan penyusutan harta berwujud, yaitu
penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus
hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang
dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud selain bangunan, dapat
juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat,
yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa
buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus,
dengan syarat dilakukan secara taat asas. Penyusutan dimulai pada bulan
dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses
pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta
tersebut, sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara
pro-rata. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut
digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau
pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva, maka dasar
penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali
aktiva tersebut. Masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud untuk
menghitung penyusutan, ditetapkan sebagai berikut:
Tabel 2. Tarif Penyusutan Harta Berwujud
Kelompok Harta
Penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam
bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Apabila
terjadi pengalihan atau penarikan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, pengalihan
atau penarikan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya, pengalihan atau
penarikan harta dalam bentuk likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, pengalihan atau penarikan harta berupa
hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan pengalihan atau penarikan
harta atas sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan, atau
penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta
tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau
penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai