• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF PENUTUR BAHASA BETAWI DI WILAYAH TANGERANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRATEGI KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF PENUTUR BAHASA BETAWI DI WILAYAH TANGERANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh:

Syifa Awliya NIM: 11140130000054

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021

(2)
(3)

Skripsi berjudul “STRATEGI KESANTUNAN TINDAK TUTUR DIREKTIF PENUTUR BAHASA BETAWI DI WILAYAH TANGERANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH” disusun oleh Syifa Awliya.

Nomor Induk Mahasiswa 11140130000054, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 30 Juni 2021 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta, 30 Juni 2021 Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi) Tanggal Tanda Tangan

Dr. Makyun Subuki, M.Hum. 09/08/2021 NIP: 19800305 200901 1 015

Sekretaris (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Novi Diah Haryanti, M.Hum. 09/08/2021 NIP: 19841126 201503 2007

Penguji 1

Dona Aji Karunia, MA. 05/08/2021

NIP: 198404092011011015

Penguji 2

Dr. Nuryani, M.A. 06/08/2021

NIP: 19820628 200912 2003

Mengetahui,

Dewan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Dr.Sururin, M,Ag.

NIP: 197103191998032001

(4)
(5)

Syifa Awliya. NIM: 11140130000054. Skripsi. Strategi Kesantunan Tindak Tutur Direktif Penutur bahasa Betawi di Wilayah Tangerang dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Dr. Makyun Subuki, M.Hum. 2021.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan strategi kesantunan Brown dan Levinson di dalam tindak tutur direktif penutur bahasa Betawi di wilayah Tangerang dan mendeskripsikan bagaimana implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik rekam dalam pengumpulan data. Ketika menganalisis data, peneliti memilah-milah tuturan yang mengandung makna direktif lalu menggolongkan strategi kesantunan yang digunakan.

Hasil temuan terdapat beberapa strategi kesantunan tindak tutur direktif yang digunakan penutur bahasa Betawi di wilayah Tangerang, yakni mereka lebih sering menggunakan strategi kesantunan langsung tanpa basa-basi ketika melakukan tuturan perintah. Strategi kesantunan langsung tanpa basa-basi juga digunakan ketika melakukan tuturan krtikikan dan larangan. Strategi kesantunan positif lebih sering digunakan ketika melakukan tuturan ajakan. Strategi kesantunan positif juga ditemukan dalam tuturan perintah dan nasihat dalam konteks informal. Sedangkan dalam konteks formal tuturan nasihat lebih sering menggunakan strategi kesantunan negatif. Tuturan perintah juga ditemukan dalam strategi kesantunan negatif dan strategi kesantunan tidak langsung. Implikasi mengenai strategi kesantunan dapat diterapkan dalam pembelajaran diskusi berdasarkan pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas X semester I sesuai dengan strandar kompetensi yaitu menyampaikan laporan hasil penelitian dalam diskusi atau seminar dengan kompetensi dasar mengomentari tanggapan orang lain terhadap presentasi hasil penelitian. Siswa mengemukakan tanggapan yang mendukung hasil penelitian, menanggapi kritikan terhadap hasil penelitian, menyampaikan alasan mendukung penolakan dan mengomentari tanggapan orang lain terhadap presentasi hasil penelitian dengan bahasa yang santun.

Kata kunci: Strategi Kesantunan, Tindak Tutur Direktif, Masyarakat Betawi.

(6)

Syifa Awliya. NIM: 11140130000054. Thesis. Politeness Strategies for Speech Acts of Betawi Language Speakers in the Tangerang Area and Its Implications for Indonesian Language Learning in Senior High Schools. Department of Indonesian Language and Literature Education. Faculty of Tarbiyah and Teacher Training.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Dr. Makyun Subuki, M. Hum. 2021.

The purpose of this study is to describe the use of Brown and Levinson's politeness strategies in the directive speech acts of Betawi speakers in the Tangerang area and to describe the implications for learning Indonesian at school. The method used in this study is a qualitative descriptive method using recording techniques in data collection. When analyzing the data, the researcher sorts out utterances that contain directive meanings and then classify the politeness strategies used.

The findings show that there are several directive speech act politeness strategies used by Betawi language speakers in the Tangerang area, namely they more often use direct, no-nonsense politeness strategies when making commands.

Direct politeness strategies without further ado are also used when making criticism and prohibitions. Positive politeness strategies are more often used when making invitations. Positive politeness strategies are also found in the speech of commands and advice in an informal context. Whereas in the formal context of speech advice more often uses negative politeness strategies. Command speech is also found in negative politeness strategies and indirect politeness strategies. The implications of politeness strategies can be applied in discussion learning based on the Class X Class I Learning Implementation Plan (RPP) in accordance with competency standards, namely submitting research results reports in discussions or seminars with basic competencies to comment on other people's responses to the presentation of research results. Students provide responses that support the research results, respond to criticism of the research results, provide reasons for supporting rejection and comment on other people's responses to the presentation of research results in polite language.

Keywords: Politeness Strategy, Directive Speech Action, Betawi Society.

(7)

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, karena dengan karunia dan anugerah-Nya skripsi dengan judul “Strategi Kesantunan Tindak Tutur Direktif Penutur Bahasa Betawi di Wilayah Tangerang dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA” dapat diselesaikan. Shalawat serta salam pun penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa segala ilmu pengetahuan, akidah, dan akhlak untuk umat manusia sebagai pedoman untuk kehidupannya.

Banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi selama ini. tetapi berkad doa, usaha, dan perjuangan serta dorongan dari berbagai pihak, akhirnya segala hambatan dan rintangan tersebut dapat diatasi.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua tercinta, Ayah (Abd. Syukur) dan Umi (Masnun) yang tiada henti memanjatkan doa untuk putrinya dan senantiasa memberikan motivasi serta segala dukungan sehingga skripsi ini dapat selesai;

2. Dr. Sururin, M. Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing yang sudah dengan sabar, ikhlas, perhatian, dan penegrtian dalam membimbing mahasiswanya;

4. Novi Diah Haryanti, M. Hum., selaku sekretaris jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

5. Dr. Nuryani, M.A., selaku dosen penasehat akademik yang telah memberikan ilmu dan pengarahannya sampai selesainya perkuliahan ini;

6. Seluruh dosen di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih banyak atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama proses pembelajaran di UIN dan penyusunan skripsi ini.

7. Kepada kakak-kakak dan adik, yang senantiasa mencintai, memberikan kasih sayang serta doa sehingga penulis terus termotivasi menyelesaikan skripsi;

Shofatunnida, Fahruddin, dan Sabila Alfiyah.

(8)

8. Sahabat-sahabat yang telah menyemangati secara morel maupun materiel; Faizah Dwi Rahmah, Ulfa Hazimah Zahra, Wanda Eka Putri, Adelis, Riyha, Ayu, dan Harlis Saputra.

9. Seluruh keluarga besar mahasiswa PBSI, khususnya teman-teman sebimbingan Tyas, Srinita, Yustrita, Qori, Rahmalia, Misbah yang selalu menyemangati selama penyusunan skripsi.

10. Semua pihak yang telah membantu memberikan kontribusi terhadap penyelesaian skripsi ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu, tetapi tidak mengurangi rasa hormat penulis. Semoga seluruh kontribusinya dicatat sebagai amal sholeh oleh Allah SWT, Aamiin;

11. Dan terakhir, terima kasih saya berikan kepada Anda yang membaca tulisan saya.

Tanpa Anda, tulisan saya hanyalah kumpulan kertas yang dicetak. Terima kasih banyak, semoga bermanfaat. Aamiin.

Semoga semua bantuan. Bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah. penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi masukan yang positif dalam rangka meningkatkan mutu pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di negeri ini.

Jakarta, 12 Juni 2021 Penulis,

Syifa Awliya

(9)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Pembatasan Masalah ... 3

D. Rumusan Masalah ... 3

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II LANDASAN TEORI A. Kesantunan 1. Pengertian Kesantunan... 5

2. Kesantunan Positif dan Kesantunan Negatif... 8

3. Prinsip-Prinsip Kesantunan ... 9

4. Skala Kesantunan Brown dan Levinson ... 11

5. Skala Kesantunan Robin Lakoff ... 11

B. Tindak Tutur 1. Pengertian Tindak Tutur ... 12

2. Klasifikasi Tindak Tutur ... 14

3. Interaksi Jenis-jenis Tindak Tutur ... 15

C. Konteks ... 16

D. Masyarakat Betawi dan Bahasa Betawi ... 16

E. Penelitian yang Relevan ... 20

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 22

B. Data Penelitian ... 22

C. Subjek Penelitian ... 23

D. Instrumen Penelitian ... 24

(10)

E. Teknik Pengumpulan Data ... 24 F. Teknik Analisis Data... 25 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ... 26 B. Pembahasan dan Hasil Penelitian ... 26 C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah ... 48 BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 49 B. Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI

(11)

A. Latar Belakang

Seseorang pada umumnya tidak pandai memilih tuturan yang baik atau bahkan tidak memahami makna dan jenis tuturan yang seharusnya mereka gunakan, baik di lingkungan instansi maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya faktor pengetahuan, faktor lingkungan, faktor pergaulan, faktor keadaan daerah, dan faktor intern orang tersebut. Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kemampuan sosiolinguistik termasuk pemahaman mengenai tindak tutur sangat diperlukan dalam berkomunikasi karena manusia akan sering dihadapkan dengan kebutuhan untuk memahami dan menggunakan berbagai jenis tindak tutur, di mana masing-masing jenis tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai macam strategi.

Salah satu syarat komunikasi atau interaksi adalah kontak sosial, yaitu hubungan antara satu orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat, konflik sosial pihak satu dengan pihak lain. Kontak sosial dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu interaksi positif dan interaksi negatif.1 Interaksi positif akan timbul apabila dalam interaksi tersebut tercipta suasana harmonis, namun apabila suasana yang tercipta adalah sebaliknya maka interaksi tersebut menimbulkan interaksi negatif. Dalam interaksi sering terjadi pedebatan atau perselisihan antara penutur dengan mitra tutur.

Hal itu dikarenankan kedua pihak memiliki keinginan untuk diakui oleh yang lainnya, dalam pragmatik dikenal dengan istilah „muka‟ atau citra diri.

Perselisihan antara penutur dengan mitra tutur dalam berkomunikasi dapat dihindari apabila kedua pihak mengerti tentang kesantunan berbahasa. Geoffrey Leech mengatakan bahwa kesantunan adalah tuturan yang tidak menyakiti perasaan orang lain. Pendapat lain diungkapkan oleh Brown dan Levinson, mereka mengatakan bahwa kesantunan berbahasa berarti mengenai harga diri atau disebut juga nosi muka.

1 Sudariyanto, Interaksi Sosial, (Semarang: ALPRIN, 2019), hlm. 23

(12)

Menurutnya muka seseorang terbagi menjadi dua, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif adalah keinginan seseorang untuk diakui dalam kelompok sedangkan muka negatif adalah kebebasan bertindak tanpa ada paksaan.

Oleh karena itu, ketika berkomunikasi penutur juga harus memperhatikan tuturan yang baik agar tidak menyinggung lawan tutur atau dalam pragmatik hal itu disebut sebagai tindakan mengancam muka. Brown dan Levinson mengatakan bahwa strategi untuk menghindari tindakan mengancam muka ada lima, yaitu strategi langsung tanpa basa-basi, kesantunan positif, kesantunan negatif, tidak langsung, dan tidak mengancam muka.2

Seperti yang sudah disebutkan bahwa lingkungan dan pergaulan dapat mempengaruhi tuturan seseorang. Seseorang yang hidup di lingkungan yang biasa menggunakan kesantunan negatif maka akan terbiasa menggunakan kesantunan negatif dalam sehari-hari. Sebaliknya, seseorang yang hidup di lingkungan yang terbiasa menggunakan kesantunan positif maka juga akan menggunakan kesantunan positif dalam sehari-hari. Mereka yang terbiasa menggunakan kesantunan positif biasanya akan menggunakan gurauan untuk memerintah mitra tuturnya daripada menggunakan tuturan perintah langsung. Sedangkan mereka yang terbiasa menggunakan kesantunan negatif biasanya tidak mengatakan dengan jelas kepada siapa tuturan perintah itu diajukan.

Betawi adalah salah satu suku yang dikenal dengan cara berbicara yang jujur apa adanya juga berbicara dengan suara lantang ke sesamanya. Gaya bicara yang apa adanya ini menunjukkan sikap orang Betawi yang jujur. Dalam lingkungan mereka hal tersebut akan dianggap wajar. Namun akan berbeda apabila mereka melakukan hal itu kepada yang bukan penutur bahasa Betawi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah strategi kesantunan tindak tutur direktif penutur bahasa Betawi apabila berinteraksi kepada mitra tutur yang bukan penutur bahasa Betawi.

2 Aminuddin, Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki

(13)

Penelitian ini dilakukan di daerah Kota Tangerang yang merupakan bagian dari Betawi pinggiran. Selain Tangerang, Nothofer dan Collins juga mengatakan bahwa Ciputat, Gandaria, Pondok Cabe, dan Bekasi juga termasuk ke dalam penutur Betawi pinggiran.3

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut.

1. Tindak tutur direkif adalah tindak tutur yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi mitra tutur.

2. Kesantunan dalam bertutur sangat diperlukan untuk menyampaikan maksud kepada mitra tutur.

3. Lingkungan mempengaruhi strategi kesantunan yang digunakan penutur untuk menyampaikan maksud kepada mitra tutur.

4. Terdapat tindak tutur direktif dalam interaksi antara penutur bahasa Betawi dengan yang bukan penutur bahasa Betawi.

5. Terdapat strategi kesantunan dalam interaksi antara penutur bahasa Betawi dengan yang bukan penutur bahasa Betawi.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam sebuah penulisan karya ilmiah menjadi hal yang sangat penting agar penulisan menjadi lebih terarah dan tidak menyimpang dari masalah yang telah ditetapkan. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disusun di atas maka penulisan lebih terfokus pada bagaimana strategi kesantunan tindak tutur direktif penutur bahasa Betawi di wilayah Kota Tangerang ketika berinteraksi dengan penutur bahasa lain.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

3 Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta: Katalog dalam Terbitan, 2012), hlm. 13-17

(14)

1. Bagaimana strategi kesantunan tindak tutur direktif yang digunakan penutur bahasa Betawi dalam menyampaikan maksud kepada mitra tutur yang merupakan penutur bahasa lain?

2. Bagaimana implikasi strategi kesantunan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian harus sejalan dengan rumusan masalah yang dikemukakan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi kesantunan tindak tutur direktif yang digunakan penutur bahasa Betawi dalam menyampaikan maksud kepada mitra tutur yang merupakan penutur bahasa lain, serta untuk mengetahui implikasi strategi kesantunan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk menambah penelitian dalam bidang pragmatik, khususnya tentang strategi kesantunan pada tindak tutur direktif bahasa daerah.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi guna memahami strategi kesantunan tindak tutur direktif pada penutur bahasa Betawi ketika berinteraksi dengan penutur bahasa lain.

(15)

A. Kesantunan

1. Pengertian Kesantunan

Dalam kajian kesantunan linguistik, konsep yang paling relevan adalah

“muka.” Muka, dalam pragmatik, berarti adalah citra diri publik. Kesantunan merupakan kesadaran dan pertimbangan akan muka seseorang. Jika Anda mengatakan sesuatu yang menunjukkan ancaman bagi citra diri orang lain, maka itu disebut face-threatening act. Dan jika Anda mengatakan sesuatu yang mengurangi kemungkinan ancaman terhadap muka orang lain, maka ini disebut face-saving act.4 Brown dan Levinson juga mengatakan bahwa kesantunan dalam bahasa berpusat pada muka.

“Brown and Levinson argue that politeness in language is centered around the nation of face - "the public self-image that every member wants to claim for himself" - and the efforts made by interlocutors to "maintain each other's face."5

Seorang penutur akan menggunakan beberapa pertimbangan dalam menentukan strategi kesantunan mana yang akan digunakan, seperti 1) keinginan untuk mengungkapkan isi FTA, 2) keinginan untuk bertindak efisein, dan 3) keinginan untuk mempertahankan muka mitra tutur.6

Selain itu, kadar dan jenis kesantunan yang berlaku pada tindak tutur tertentu ditentukan oleh bobot jenis kesantunan yang diperhitungkan oleh seorang penutur berdasarkan tiga variabel, yaitu (1) jarak sosial, akan mempengaruhi tingkat keakraban dan solidaritas antara penutur dan mitra tutur; (2) perbedaan power yang dipersepsi penutur dan mitra tutur, akan memberikan efek pada tingkat penentuan keinginan penutur terhadap mitra tutur; dan (3) peringkat ancaman tindak tutur pada konteks budaya tertentu, yaitu seberapa besar

4 George Yule, Kajian Bahasa edisi kelima, Terj. Astry Fajria, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm.

198.Ibid, hlm. 199

5 Charles F.Meyi, Introducing English Linguistics, (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), hlm. 62.

6 Agung Pramujiono, “Representasi Kesantunan Brown dan Levinson dalam Wacana Dialog di Televisi” dalam Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia, (Bandung: Upi Press, 2011), hlm. 236

(16)

„ancaman‟ atau seberapa besar „bahaya‟ yang dipersepsikan ada dalam suatu konteks kebudayaan tertentu.7

Menurut Brown dan Levinson ada empat strategi yang bisa digunakan untuk menghindari tindak mengancam muka ketika bertutur.

1. Strategi tanpa tedeng aling-aling/togmol (bold on-record strategies), digunakan untuk tindakan yang tidak terlalu mengcanam muka mitra tutur.

Lebih banyak strategi ini digunakan di antara dua teman akrab, atau apabila penutur dalam posisi lebih berkuasa ketimbang lawan tuturnya. Misalnya,

“Ambilkan tas di meja!”8

2. Kesantunan positif (positive politeness). Strategi kesantunan positif ini digunakan untuk tindakan bertutur yang tidak terlalu mengancam muka mitra tutur, tetapi penutur tidak tega untuk menyatakannya dalam bentuk perintah. 9 Berkaitan dengan strategi kesantunan positif, Brown dan Levinson menjabarkan 15 strategi yang dapat digunakan oleh seorang penutur. Strategi-strategi tersebut adalah sebagai berikut. (1) Memperhatikan minat, keinginan, ketakutan, barang-barang lawan tutur. (2) Melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap lawan bicara. (3) Meningkatkan rasa tertarik terhadap lawan tutur. (4) menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok. (5) Mencari dan mengusahakan persetujaun dengan lawan tutur.

(6) Menghindari pertentangan dengan lawan tutur. (7) Menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur. (8) Membuat lelucon.

(9) Membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tutur. (10) Membuat penawaran dan janji. (11) Menunjukkan rasa optimisme. (12) Berusaha melibatkan lawan tutur dan penutur dalam suatu kegiata tertentu.

(13) Memberikan dan meminta alasan. (14) Menawarkan suatu tindakan timbal balik. (15) Memberikan rasa simpati kepada lawan tutur.10

3. Kesantunan negatif (negative politeness), digunakan apabila penutur menyadari adanya sebuah derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya. Hal ini bisa terjadi misalnya pada tindak bahasa dengan orang

7 Ibid, hlm. 236

8 Ibid, hlm. 236

9 Ibid, hlm. 236

10 FX Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 43-46

(17)

yang belum dikenal, di antara atasan dan bawahan, dan orang muda dengan yang lebih tua.11 Berbeda dengan strategi kesantunan positif yang terdiri atas lima belas strategi, Brown dan Levinson menjabarkan strategi kesantunan negatif sebagi berikut. (1) Ungkapkan secara tidak langsung sesuai konvensi. (2) Gunakan bentuk pertanyaan dengan partikel tertentu. (3) Lakukan secara hati-hati dan jangan terlalu optimistik. (4) Kurangi kekuatan atau daya ancaman terhadap muka lawan tutur. (5) Beri penghoratan. (6) Gunakan permohonan maaf. (7) Jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur. (8) Nyatakan tindakan menganvam wajah sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku.12

4. Strategi tak langsung (off-record strategies), digunakan terutama apabila ada ancaman yang lebih serius terhadap muka mitra tutur.13

Baryadi mengartikan kesantunan sebagai “salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang lain”. Dalam bahasa Jawa penghormatan dan kesantunan saling berkaitan, penutur perlu menggunakan bentuk hormat atau honorifik agar terlihat berlaku santun. Kesantunan secara pragmatis mengacu kepada strategi penutur agar tindakan yang dilakukan tidak menyebabkan adanya perasaan tersinggung atau muka yang terancam.14

Kesantunan berarti menggambarkan bagaimana cara penutur mengatakan sesuatu dan bagaimana mitra tutur merespons ujaran tersebut. Kesantunan sangat penting dalam kajian pragmatik. Dalam berkomunikasi, penutur dan mitra tutur harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti topik, dan fungsi atau tujuan pembicaraan.

Janet Holmes mengatakan bahwa ungakapan yang menyatakan kesantunan atau tidak dapat dilihat dari berbagai sisi, yakni dari segi linguistik yang berarti melihat dari penggunaan kosakata dan tata bahasanya, dari segi sosiolinguistik, dan segi pragmatik. Bentuk bahasa suatu ungkapan yang baik dan benar sesuai

11 Agung Pramujiono, Op.Cit, hlm. 236

12 FX Nadar, Op.Cit, hlm. 47-49

13 Agung Pramujiono, Op.Cit, hlm. 236

14 Asim Gunawan, Pragmatik Teori dan Kajian Nusantara, (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2007), hlm. 260- 261

(18)

dengam aturan linguistik dapat dianggap tidak sopan apabila konteksnya tidak tepat. Oleh karena itu, agar dapat berbahasa sopan maka pembicara harus mempertimbangkan beberapa faktor sosial, seperti partisipan atau peserta komunikasi, setting atau faktor waktu dan tempat terjadinya komunikasi, topik pembicaraan, dan faktor fungsi bahasa).15

Banyak ahli pragmatik dan analisis wacana yang telah membahas masalah kesantunan dalam berbahasa. Salah satunya adalah Grundy yang menjelaskan bahwa kesantunan adalah ekspresi kebahasaan yang menyatakan hubungan sosial dan bersifat universal.16

2. Kesantunan Positif dan Kesantunan Negatif

Alan Cruse menjelaskan bahwa kesantunan berarti meminimalkan efek negatif (kesantunan negatif) dan memaksimalkan efek postif (kesantunan postif) dari apa yang dikatakan penutur kepada mitra tutur.

“Insofar as linguistic behaviour is concerned, politeness is a matter of minimising the negative effectsof what one says on the feelings of others and maximising the positive effects (known as „negative politeness‟ and

„positive politeness‟ respectively). Like the cooperative principle, the politeness principle is expanded by means of a set of maxims (see the entries for Tact and Generosity Maxims, Approbation and Modesty Maxims, Agreement Maxim, Sympathy Maxim).”17

Jean Stillwell Peccei menjelaskan bahwa kesantunan positif mengarahkan untuk menjaga citra diri seseorang sebagai anggota kelompok yang diterima dan diakui. Sedangkan kesantunan negatif mengarahkan kepada citra diri seseorang yang bebas.

“Positive politeness orients to preserving aperson‟s self-image as an accepted, valued and like member of a social group. Negative politeness

15 Diemroh Ihsan, Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011), hlm. 116

16 Ibid, hlm. 116

17 Alan Cruse, A Glossaryof Semantics and Pragmatics, (Edinburgh: Edinburg University Press, 2006), hlm.

131-132

(19)

orients to a person‟s self-image as an free individual who should not be imposed upon.”18

Brown dan Levinson mengatakan bahwa untuk masuk dalam hubungan sosial seseorang harus menghormati harapan satu sama lain tentang citra diri, serta menghindari tindakan yang bisa mengancam muka (FTA).

“Brown and Levinson analysed politeness, and said that in order to enter into social relationships, we have to acknowledge and show an awareness of the face,the public self-image, the sense of self, of the people that we address. They said that it is a universal characteristic across culture that speakers should respect each other expectations regarding self-image, take account of their feelings, and avoid face threatening acts (FTAs). When FTAs are unavoidable, speakers can redress the threat with negative politeness, the need to be independent, have freedom of action, and not be imposed on by others. Or they can redress the FTA with positive politeness, that attends the positive face, the need to be accepted and liked by others, treated as a member of te group, and to know one‟s wants are shared by others.”19

Muka negatif adalah kebutuhan seseorang untuk bebas dan terlepas dari beban. Sedangkan muka positif adalah kemampuan seseorang untuk melakukan hubungan, untuk memiliki, untuk menjadi anggota dari kelompok. Jadi, face- saving act yang menekankan muka negatif seseorang akan menunjukkan perhatian tentang beban. Face-saving act yang menekankan muka positif seseorang akan menunjukkan solidaritas dan menarik perhatian demi tercapainnya tujuan.20

3. Prinsip-Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan yang disampaikan oleh Leech memiliki enam maksim yang harus diperhatikan oleh penutur dan mitra tutur. Berikut adalah penjelasan keenam maksim tersebut.

18 Jean Stilwell Peccei, Pragmatics, (New York: Routledge, 1999), hlm. 66

19 Joan Cutting, Pragmatics and Discourse, (New York: Routledge, 2002), hlm. 45

20 George Yule, Kajian Bahasa edisi kelima, Terj. Astry Fajria, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm.199

(20)

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Maksim kebijaksanaan berarti bahwa dalam bertutur yang santun setiap yang terlibat dalam pertuturan harus selalu berusaha untuk meminimalkan kerugian kepada orang lain dan memaksimalkan keuntungan kepada orang lain.

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan berarti tuturan harus dibuat sederhana dan simpel sehingga tuturan itu dapat dikatakan tuturan yang santun. Penutur juga harus bersikap rendah hati.

c. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)

Maksim penerimaan berarti bahwa dalam aktivitas bertutur, penutur harus berusaha memaksimalkan kerugian untuk diri sendiri dan meminimalkan keuntungan untuk dirinya.

d. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

Maksim kerendahan hati menegaskan bahwa agar dapat dikatakan santun, penutur harus bersedia meminimalkan pujian terhadap dirinya dan bersedia memaksimalkan perendahan pada dirinya.

e. Maksim Kesetujuan (Agreement Maxim)

Leech menegaskan bahwa demi tercapainya maksim kesetujuan, penutur harus bersedia meminimalkan ketidaksetujuan antara dirinya dengan mitra tutur dan bersedia memaksimalkan kesetujuan antara dirinya dengan mitra tutur.

f. Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

Leech menyatakan bahwa dalam maksim kesimpatian berarti penutur bersedia meminimalkan antipati antara dirinya dengan mitra tutur dan memaksimalkan simpati antara dirinya dengan mitra tutur.

Selanjutnya Leech menjelaskan bahwa dari maksim-maksim tersebut terdapat maksim yang berskala dua kutub (bipolar scale maxim) dan maksim yang bersifat satu kutub (unipolar scale maxim). Maksim yang memiliki skala dua kutub, beberapa maksim ternyata berpusat pada orang lain dan beberapa lagi berpusat pada diri sendiri.21

21 Kunjana Rahardi, Yuliana Setyaningsih, dkk, Pragmatik Fenomena Ketidaksantunan Berbahasa, (Jakarta:

Erlangga), hlm. 58-63

(21)

4. Skala Kesantunan Brown dan Levinson

a. Skala peringat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer), ditentukan oleh perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Contohnya, orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan degan kebanyakan orang, seperti misalnya petani, pedagang, kuli perusahaan, buruh bangunan, dan pembantu rumah tangga.

b. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh, di jalan raya seorang polisi lalu lintas dianggap memiliki peringkat kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan seorang dokter rumah sakit yang pada saat itu kebetulan melanggar peruturan lalu lintas. Sebaliknya, polisi yang sama akan jauh di bawah seorang dokter rumah sakit dalam hal peringkat kekuasaannya apabila sedang berada di ruang periksa rumah sakit.

c. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Contohnya dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masryarakat tutur itu. namun demikian, hal yang sama akan dianggap sangat wajar dalam situasi yang berbeda. Pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan perumahan, orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan. 22

5. Skala Kesantunan Robin Lakoff

a. Skala formalitas, maksudnya adalah bahwa tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan berkesan angkuh.Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya antara yang satu dengan yang lainnya.

22 Kunjana Rahardi, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 68-69

(22)

b. Skala ketidaktegasan atau skala pilihan, maksudnya adalah bahwa ketika bertutur maka pilihan-pilihan dalam betutur harus diberikan kepada penutur dan mitra tutur. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.

c. Peringkat kesekawanan atau kesamaan berarti setiap orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antar pihak satu dengan pihak lainnya agar dapat bersifat santun. Penutur harus dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat, dengan begitu rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.23

B. Tindak Tutur

1. Pengertian Tindak Tutur

Teori tindak tutur atau speech act pertama kali di disampaikan oleh seorang filsuf berkebangsaan Inggris bernama John L. Austin pada tahun 1955 di Universitas Harvard. Austin mengatakan bahwa ketika seseorang mengatakan sesuatu maka ia juga melakukan sesuatu.24

Austinlah yang pertama mengungkapkan bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui perbedaan ujaran konstatif dan ujaran performatif. Ujaran konstatif mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa- peristiwa dan keadaan-keadaan di dunia. Ujaran konstatif dapat dikatakan benar atau salah. Sedangkan ujaran performatif pengujaran kalimat merupakan, atau merupakan bagian dari, melakukan tindakan, yang sekali lagi biasanya tidak dideskripsikan sebagai, atau „hanya‟ sebagai, tindak untuk melakukan sesuatu.25

Menurut Austin agar dapat terlaksana ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam tuturan-tuturan performatif. Syarat-syarat yang diperlukan dan harus dipenuhi agar suatu tindakan dapat berlaku disebut dengan felicity conditions, yaitu:

1. The persons and circumstances must be ppropriate, artinya pelaku dan situasi harus sesuai.

23 Ibid, hlm. 70

24 FX Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 11

25 Louise Cummings, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 8.

(23)

2. The act must be executed completely and correctly by all participants, artinya tindakan harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku.

3. The participants must have the appropriate intentions, artinya pelaku harus mempunyai maksud yang sesuai.26

Pandangan John Austin tersebut telah memberikan pengaruh besar di bidang filsafat maupun linguistik. Pada masa-masa selanjutnya, pandangan- pandangan ini telah diadopsi dan dikembangan secara aktif oleh para ahli bahasa lainnya.

Searle mengembangkan hipotesa bahwa pada hakekatnya semua tuturan mengandung arti tindakan, bukan hanya tuturan yang mempunyai kata kerja performatif. Searle juga menjelaskan bahwa dalam komunikasi unsur yang paling kecil adalah tindak tutur seperti menyatakan, membuat pertanyaan, memberi perintah, menguraikan, menjelaskan, minta maaf, berterima kasih, mengucapkan selamat, dan lain-lain.27

Hudson menjelaskan bahwa tindak tutur adalah ujaran yang dibuat sebagai bagian dari interaksi sosial. Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur merupakan bagian dari situasi tutur. Setiap peristiwa tutur terbatas pada kegiatan atau aspek-aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penutur.28 Tindak tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu. Apa makna yang dikomunikasikan tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur tersebut tapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif, termasuk aspek-aspek situasional komunikasi.29

Analisis tindak tutur adalah mengkaji akibat ucapan berdasarkan sikap pembicara dan pendengar dengan menggunakan tiga perbedaan. Pertama, mengetahui fakta asli yang menjalankan tindakan komunikatif atau tindakan

26 FX Nadar, Op.Cit, hlm. 11-12

27 Ibid, hlm. 11-12

28 Ida Bagus Putrayasa, Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 85.

29 Ibid, hlm. 87

(24)

pengungkapan. Kedua, melihat pada tindakan yang muncul sebagai hasil dari pembicara yang melakukan ucapan seperti bertaruh atau berjanji. Ketiga, melihat akibat khusus dari ucapan pembicara pada pendengar, yang mungkin merasa kagum, terbujuk, terancam, dll.30

2. Klasifikasi Tindak Tutur

Searle mengemukakan secara pragmatis terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu atau The act of saying something. Tindak ilokusi adalah tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu disebut juga sebagai The act of doing something. Sedangkan tindak tutur perlokusi atau The act of affection someone adalah tindak tutur yang pengutaraanya bertujuan untuk mempengaruhi lawan tutur.31

Selain secara pragmatis, tindak tutur juga dibagi berdasarkan fungsi, maksud, serta maknanya. Berikut adalah tindak tutur berdasarkan fungsinya menurut Searle:

1. Asertif (Assertives): bertujuan untuk menyampaikan sesuatu berkaitan dengan kebenaran pernyataan yang diungkap, seperti menyatakan menerima atau menolak, mengusulkan, membual, mengeluh, mengajukan pendapat, melaporkan.

2. Direktif (Directives): bertujuan agar lawan tutur melakukan sesuatu untuk menghasilkan suatu efek terhadap tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat.

3. Komisif (Commissives): bertujuan untuk meyampaikan sesuatu yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkna.

4. Ekspresif (Expressive): untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terimakasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.

30 David Crytal, Ensiklopedia Bahasa, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2015), hlm.

110

31 Ida Bagus Putrayasa, Op.Cit, hlm. 87-88

(25)

5. Deklarasi (Declaration): fungsi iloksui ini adalah untuk mengungkapkan pernyataan yang keberhasilan pelaksanaannya tampak pada adanya kesesuaian dengan realitas tindakan, misalnya, mengundurkan diri, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman.32

Berdasarkan asumsi “Berbicara menggunakan suatu bahasa adalah mewujudkan perilaku dalam aturan yang tertentu” maka tindak tutur ilokusi terbagi menjadi lima jenis, yaitu:

1. Tindak tutur representatif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk menetapkan atau menjelaskan sesuatu apa adanya.

2. Tindak tutur komisif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pembicaraan melakukan sesuatu. Komisif terdiri atas 2 tipe, yaitu promises (menjanjikan) dan offers (menawarkan).

3. Tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, perintah, meminta.

4. Tindak tutur ekspresif, tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap.

5. Tindak tutur deklaratif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan sesuatu yang dinyatakan, antara lain dengan setuju, tidak setuju, benar-benar salah, dan sebagainya.33

3. Interaksi Jenis-jenis Tindak Tutur

Pada umumnya penutur tidak menyadari bahwa tuturan yang mereka ujarkan adalah hasil dari berbagai interaksi antara teknik dan strategi bertutur.

Menurut Wijana, apabila di antara teknik dan strategi bertutur itu diinteraksikan maka diperoleh jenis-jenis tindak tutur sebagai berikut:

1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech) adalah tuturan untuk menyatakan sesuatu yang bermakna lugas dan sesuai dengan fungsi tipe kalimatnya. Artinya, tuturan ini diutarakan dengan modus tuturan dan makna tuturan yang sama dengan maksud pengutaraannya.

Contoh: (9.a) Anak-anak boleh bermain di halaman.

32 Ibid, hlm. 89

33 Ibid, hlm. 90-92

(26)

Tuturan (9.a) jika diteliti berdasarkan interaksi makna tuturannya dan strategi bertuturnya dapat dikatakan sebagai tuturan yang langsung literal apabila mengandung maksud „anak-anak memang boleh bermain di halaman karena sedang istirahat dan cuacanya cerah‟.

2. Tindak tutur langsung tidak literal, difungsikan sesuai dengan tipe kalimatnya tetapi kata-kata yang digunakan tidak menunjukkan makna yang sama dengan maksud yang dituju oleh penuturnya. Misalnya, maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah atau maksud memberitahukan sesuatu dengan kalimat berita, tetapi di balik itu terkandung maksud yang lain dan biasanya untuk maksud menyindir.

C. Konteks

Leech mengatakan bahwa konteks merupakan suatu pengetahuan latar belakang (lingkungan, situasi, sosial) yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur sehingga mampu menghasilkan makna tuturan.34 Mey juga mengartikan konteks sebagai situasi lingkungan yang membuat peserta pertuturan dapat berinteraksi dan membuat ujaran mereka dapat dipahami.35

Halliday mengemukakan ada tiga ciri konteks situasi: pertama, medan (field) yang mengacu pada aktivitas sosial dan pokok permasalahan; kedua, pelibat (tenor) yaitu peran sosial yang diadopsi pelibat dalam aktivitas sosial‟ ketiga, sarana (mode) peran bahasa yang dinamai dengan salurannya dan mode retotikanya yaitu apa yang akan dicapai teks berkenaan dengan pokok pengertian di antaranya adalah membujuk, menjelaskan, dan mendidik.36

D. Masyarakat Betawi dan Bahasa Betawi

Secara geografis bahasa Betawi berada di wilayah berbahasa Sunda, di Pulau Jawa bagian Barat. Bahasa Betawi memiliki sifat-sifat atau cirinya sendiri dibanding bahasa-bahasa Melayu lainnya. Hal itu berkaitan dengan sejarah terbentuknya

34 Nuri Nurhaidah, Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia, (Yogyakarta: Smart Writing, 2014), hlm.

54

35 F.X Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 3

36 Op.Cit Nuri Nurhaidah, hlm. 54

(27)

masyarakat penutur bahasa Betawi yang terdiri atas penduduk dari berbagai suku dan bangsa yang masing-masing memberikan warna terhadap bahasa itu.

Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta memiliki sejarah panjang dalam pembentukannya. Sejarah masyarakat Betawi di mulai dari Sunda Kelapa.

Sunda kelapa yang pada saat itu merupakan sebuah pelabuhan menjadi gerbang utama dalam hubungan dagang dan politik. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta setelah jatuh ke tangan Islam.37

Sejarah masyarakat Betawi dan kota Jakarta menjadi semakin jelas sejak muncul orang Belanda yang tergabung dalam persekutuan dagang yang disebut VOC. Pada tahun 1610 VOC berhasil merebut kota Jayakarta dari Pangeran Jayakarta, dan selanjutnya menjadikan Jayakarta sebagai pusat kekuasaannya dan mengganti namanya menjadi Batavia. Setelah kekalahan itu banyak warga kota Jayakarta yang melarikan diri ke pinggiran kota atau ke Banten dan tempat-tempat lain di sekitarnya.

Batavia hanya boleh ditinggali oleh orang-orang Belanda, pegawai, dan budak- budaknya.38

Penduduk kelompok pertama yang ditarik ke Batavia adalah mereka yang berasal dari Indonesia sebelah timur. Suku bangsa lainnya yang juga dibiarkan tinggal di dalam kota adalah orang-orang Banda, Buton, Flores, Sumbawa, dan Melayu.

Kelompok Cina sebelum VOC mengusai Jakarta sudah menjadi penghuni Jakarta, berdampingan dengan pedagang India, Pakistan, dan Arab. Orang Cina itu kemudian oleh VOC dibiarkan untuk tinggal di Jakarta karena dianggap rajin, pekerja keras, dan taat kepada VOC. Karena sikap VOC itu banyak orang Cina yang datang ke Jakarta dan membuat perdagangan di Jakarta menjadi hidup.39

Orang-orang Cina tersebut tinggal di sepanjang kali Ciliwung dan Kali Besar Barat. Berdasarkan catatan resmi VOC pada abad ke 18 jumlah penduduk Betawi terbanyak adalah penduduk Betawi kelompok Cina yaitu dengan 32.508 jiwa.

Pengaruh mereka dalam masyarakat Betawi terlihat pada bahasa maupun kesenian.

37 Muhadjir, Bahasa Betawi (Sejarah dan Perkembangannya), (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), hlm.35

38 Ibid, hlm. 42-44

39 Ibid, hlm. 44-46

(28)

Kata ganti lu „kau‟ dan gue „saya‟ serta nama panggilan kekeluargaan seperti engkong

„kakek‟ dan encing „nenek‟ merupakan ciri khas bahasa Melayu Betawi yang berasal dari mereka.40

Dari segi kependudukan masyarakat asli Jakarta terbentuk dari berbagai macam suku yang datang dari luar Jakarta yang bersama-sama melepas identitas asalnya lalu membentuk kelompok etnis baru, yaitu kaum betawi. Luas wilayah Betawi sekaramg ditandai oleh wilayah pemekaian bahasa, yang selain di DKI Jakarta juga terdapat di Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Karawang. Lengkapnya wilayah persebaran bahasa Melayu Betawi adalah sebagai berikut:

1. Di seluruh wilayah administratif DKI Jakarta 2. Di luar wilayah DKI Jakarta, terdapat di:

a. Tangerang, yakni: Mauk, Sepatan, Teluk Naga, Batu Ceper, Ciledug, Cipondoh, Pondok Aren, Ciputat, dan Serpong.

b. Bogor, yakni: Gunung Sindur, Parung Sawangan, Bojong Gede, Semplak, Cibinong, Pancoran Emas Sukma Jaya, Beji, dan Cimanggis.

c. Bekasi, yakni: Pondok Gede, Jati Asih, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Utara, Bekasi Timur, Bentar Gedang, Setu, Tambun, Cikarang, Sukatani, Tambelang, Pabayuran, Cabang Bungin, Muara Gembong, Taruna Jaya, dan Babelan.41

Menurut Nothofer dan Collins bahasa Betawi adalah salah satu dialek areal dari bahasa Melayu yang berasal dari bahasa Melayu purba di Kalimantan Barat. Bahasa Betawi tentunya memiliki perbedaan dengan dialek areal Melayu lainnya, seperti dialek Melayu Banjar, dialek Melayu Riau, atau dengan dialek Melayu Manado.

Bahasa Betawi memilik empat logat, yaitu:

1. Dituturkan oleh penduduk Betawi di daerah Petamburan dan Tanah Abang.

Mereka melafalkan bunyi [a] atau [ah] pada akhir kata menjadi [ə]. Contoh, kata apa dan darah menjadi [apə] dan [darə].

2. Dituturkan oleh penduduk Betawi di daerah Jatinegara, Kemayoran, dan Kebon Sirih. Mereka melafalkan bunya [a] atau [ah] pada akhir kata menjadi [ѐ] seperti pada kata <monyet> dan <ember>.

40 Ibid, hlm. 46

41 Ibid, hlm. 55-56

(29)

3. Dituturkan oleh penduduk Betawi di daerah Karet dan Kuningan. Mereka melafalkan bunyi [a] pada akhir kata menjadi [ѐ] dan bunyi [ah] pada akhir kata menjadi [a].

4. Dituturkan oleh penduduk Betawi di derah pinggiran yang sangat luas dari Tangerang, Ciputat, Gandaria, Pondok Cabe, dan Bekasi. Mereka mengenal bunyi [ѐ]. Kata apa, berapa, rumah dan darah dilafalkan menjadi [apah], [berapah].

[rumah], dan [darah].42

Magdalena Alfian dan Andi Saputra menegaskan bahwa keterbukaan masyarakat Betawi terhadap berbagai bentuk pengaruh luar sangat kuat. Dalam bahasa Betawi masuk unsur-unsur dialek Sunda, Jawa, Cina, Arab dan sebagainya. Bahasa etnik Betawi juga menunjukkan adanya kelugasan karena mereka berbicara apa adanya tanpa bermaksud menyakiti lawan bicaranya. Struktur kebahasan Betawi menunjukkan nilai egaliter, yaitu tidak mengenal strata dalam berbahasa sebagaimana bahasa Jawa dan Sunda.43

Bahasa betawi memiliki variasi geografis dan variasi sosial. Variasi geografis dibagi menjadi dua, yaitu bahasa betawi tengahan dan bahasa betawi pinggiran atau bahasa Melayu Ora. Namun, ada daerah-daerah yang memiliki kedua variasi tersebut, wilayah itu disebut sebagai wilayah peralihan.44

Variasi sosial ditentukan oleh adanya kelompok-kelompok sosial seperti usia, atau pendidikan, atau bisa juga lama tinggal di Jakarta. Stephen Wallace, seorang sarjana Amerika mengatakan bahawa variasi bahasa yang dituturkan oleh kelompok muda terpelajar yang tidak secara konsisten menggunakan vokal akhir ѐ pada kata yang dalam bahasa Indonesia berakhir dengan vokal a atau ah berbeda dengan kelompok berusia tua penduduk asli yang secara konsisten meggunakan vokal akhir ѐ pada kata yang dalam bahasa Indonesia menggunakan vokal akhir a atau ah. Variasi

42 Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta: Katalog dalam Terbitan, 2012), hlm. 13-17

43 Suswandari, “Pemahaman Sejarah, Budaya dan Kearifan Lokal Etnik Betawi pada Guru Sekolah Dasar di Wilayah DKI Jakarta”, dalam Prosiding Kolokium Doktor dan Seminar Penelitian Hibah Tahun 2016, hlm.48

44 Muhadjir, Op.Cit, hlm.99

(30)

kelompok orang tua disebut bahasa betawi konvensional, sedangkan kelompok muda disebut betawi modern.45

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Diar Luthfi Khairina dengan judul Sikap Bahasa pada Bahasa Betawi Sebagai Bahasa Ibu di Wilayah Merunda: Langkah Awal Pencegehan Kepunahan Bahasa Betawi memberikan fakta bahwa bahasa Betawi yang kental tidak selalu digunakan dalam kegiatan sehari-hari. Meskipun secara sadar mereka percaya dan yakin bahwa bahasa Betawi penting karena merupakan salah satu kebudayaan yang harus dilestarikan namun mereka tidak lagi menggunakan bahasa Betawi kepada keturunan mereka.46

E. Penelitian yang Relevan

Hasil pengamatan penulis, terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Beberapa penelitian tersebut antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Nurul Inayah, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul

“Strategi Kesantunan Tindak Tutur Direktif dalam Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA” pada tahun 2017. Penelitian tersebut mendeskripsikan tentang strategi kesantunan tindak tutur direktif yang terdapat pada novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah objek yang sama yaitu strategi kesantunan tindak tutur direktif.

Perbedaan penelitan yang dilakukan oleh Nurul dengan yang dilakukan oleh penulis adalah terdapat pada subjek yang diteliti, Nurul melakukan penelitian mengenai strategi kesantunan tindak tutur direktif pada novel, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah mengenai strategi kesantunan tindak tutur direktif penutur bahasa betawi ketika mereka melakukan dialog dengan penutur bahasa lain.

Selanjutnya ada artikel yang ditulis dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 17, No. 2, Agustus 2016: 135-148, oleh Puji Lestari dan Harun Joko Prayitno, dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta

45 Ibid, hlm.100

46 Khairina Diar, Sikap Bahasa pada Bahasa Betawi Sebagai Bahasa Ibu di Wilayah Merunda: Langkah Awal Pencegahan Kepunahan Bahasa Betawi, diunduh pada 31 Desember 2019.

(31)

dengan judul “Strategi dan Skala Kesantunan Tindak Direktif Mahasiswa Riau di Lingkungan Masyarakat Berlatar Belakang Budaya Jawa” pada tahun 2016. Penelitian tersebut mendeskripsikan tentang bagaimana strategi dan skala kesantunan tindak tutur direktif mahasiswa yang berasal dari Riau ketika berada di lingkungan masyarakat Jawa. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah keduanya meneliti bagaimana strategi kesantunan tindak tutur direktif seseorang ketika berdialog dengan penutur daerah lain. Sedangkan perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian tersebut terdapat pada masyarakat yang menjadi subjek penelitian, penulis memilih penutur yang berasal dari Betawi sedangkan Puji dan Harun memilih penutur dari Riau untuk diteliti.

Kemudian ada artikel dari Jurnal Gramatikal, V1.i1, 31 Oktober 2016: 110-122, oleh Ninit Alfanika, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumatera Barat dengan judul “Bahasa Betawi dan Gaya Bahasa Repetisi dalam Ceramah Ustad Yusuf Mansyur Program Wisata Hati di ANTV”. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah keduanya sama meneliti tentang bahasa betawi. Perbedaan kedua penelitian tersebut adalah, Ninit meneliti tentang gaya bahasa repetisi yang dilakukan oleh Ustad Yusuf Mansyur dalam ceramahnya, sedangkan penulis meneliti strategi kesantunan tindak tutur direktif yang digunakan penutur bahasa betawi ketika mereka memiliki dialog dengan yang bukan penutur bahasa betawi.

(32)

A. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan metode yang diguanakan adalah deskripsi analisis. Penelitian ini akan mendeskripsikan keadaan atau fenomena yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena sesuai dengan ciri-ciri penelitian kualitatif yang disebutkan oleh Bogdan dan Biklen, yaitu:

1. Beralatar alamiah, maksudnya adalah bahwa peneliti harus melibatkan diri pada lingkungan yang menjadi objek penelitian.

2. Manusia sebagai alat instrumen

3. Metode kualiatif, yaitu melalui pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen.

4. Deskripsi, yaitu data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.47

Kirk dan Miller menjelaskan bahwa perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif adalah penelitain kuantitatif melibatkan pada perhitungan atau angka atau kuantitas sedangkan penelitian kualitatif tidak mengadakan perhitungan.48 Bogdan dan Taylor mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitain yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati.49

B. Data Penelitian

Data adalah segala informasi mengenai semua hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Data penelitian kualitatif berarti fakta atau informasi yang diperoleh dari aktor (subjek penelitian, informasi, dan pelaku) aktivitas, dan tempat yang menjadi subjek penelitian.50

47 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), hlm.8-11

48Ibid, hlm. 3

49 Ibid, hlm. 4

50 Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Erlangga, 2009), hlm. 61

(33)

Data penelitian ini adalah dialog yang mengandung strategi kesantunan tindak tutur direktif pada interaksi penutur bahasa Betawi di wilayah Kota Tangerang dengan penutur bahasa lain.

C. Subjek Penelitian

Peneliti membagi sumber data menjadi tiga berdasarkan variasi sosial usia, yaitu anak-anak, remaja, dan dewasa. Berdasarkan pembagian umur manusia yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009 maka mereka yang dianggap anak-anak adalah yang berusia 6-11 tahun, remaja berusia 12-25 tahun, dewasa berusia 26-45 tahun, lansia berusia 36-65 tahun, dan manula berusia 65- atas.51 Pengumpulan data berlangsung selama tiga bulan, yaitu bulan Oktober hingga Desember 2019 menggunakan teknik perekaman. Peneliti secara diam- diam merekam objek penelitian.

Data usia anak-anak didapat dari interaksi antara anak betawi dengan anak luar Betawi yang terjadi di Kecamatan Benda, Kelurahan Jurumudi Baru, Tangerang. Data usia remaja didapat dari pembicaraan antar mahasiswa di Kelurahan Cikokol, Tangerang. Data usia dewasa didapat dari pembicaraan antarguru SD di Kecamatan Neglasari, Tangerang, pembicaraan antar buruh di Kecamatan Neglasari, Tangerang, dan pembicaraan antar warga di Kecamatan Benda, Kelurahan Belendung, Tangerang. Berikut adalah tebel informasi mengenai subjek penelitian:

No. Nama Usia Asal Lama Tinggal di

Daerah Betawi Jenis Data

1. Azka 11 tahun Betawi - Anak-anak

2. Umar 9 tahun Betawi - Anak-anak

3. Danish 11 tahun Minang Sejak lahir Anak-anak

4. Fauzan 9 tahun Jawa Sejak lahir Anak-anak

5. Habib 11 tahun Jawa Sejak usia 5 tahun Anak-anak

6. Harlis 24 tahun Betawi - Remaja

7. Rudi 25 tahun Betawi - Remaja

8. Pian 24 tahun Jawa Sejak lahir Remaja

9. Ole 24 tahun Jawa Sejak lahir Remaja

10. Chandra 25 tahun Tionghoa Sejak lahir Remaja

11. Ibu Masnun 45 tahun Betawi - Dewasa

51 Muchammad Al Amin dan Dwi Julianti, “Klasifikasi Kelompok Umur Manusia Berdasarkan Analisis Dimensi Fraktal Box Counting dari Citra Wajah dengan Diteksi Tepi Canny”, Mathunesa Jurnal Ilmu Matematika, Vol.2 No.6, 2017, hlm.34

(34)

12. Ibu Ella 42 tahun Betawi - Dewasa

13. Jupri 40 tahun Betawi - Dewasa

14. Ibu Kiyah 43 tahun Betawi - Dewasa

15. Ibu Rihana 39 tahun Betawi - Dewasa

D. Instrumen Penelitian

Dalam pengumpulan dan pengolahan data, Moleong mengatakan bahwa peneliti bertindak sebagai instrumen utama. Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti secara aktif mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui perekaman dan pengamatan. Peneliti juga bertindak sebagai pengolah dan penginterpretasi data. Untuk membantu peneliti sebagai instrumen utama maka digunakan alat perekam untuk menampung data penelitian yang akan dianalisis.

Pedoman perekaman melalui ponsel di lapangan digunakan sebagai instrumen pendukung pengumpulan data.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan observasi atau pengamatan terhadap para penutur bahasa betawi ketika berdialog dengan lawan tutur yang bukan penutur bahasa betawi dalam kehidupan sehari-hari.

Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit.52 Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan alat perekam suara sebagi alat bantu.

Tahapan yang dilakukan peneliti dalam pengumpulan data sebagai berikut.

1. Peneliti menentukan objek penelitian berupa dialog penutur bahasa betawi dengan lawan tutur yang bukan penutur bahasa betawi.

2. Peneliti menentukan fokus penelitian yang akan dilakukan. Pada tahap ini peneliti memilih untuk memfokuskan pada tindak tutur direktif yang terdapat dalam dialog penutur bahasa betawi ketika berdialog dengan yang bukan penutur bahasa betawi.

3. Peneliti melakukan pengamatan kepada para penutur bahasa betawi

4. Setelah mengumpulkan data-data dari hasil teknik rekam peneliti melakukan transkrip data ke dalam bentuk tulisan kemudian peneliti membandingkan antara

52 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif edisi kedua, (Jakarta: Penerbit Media Group, 2007), hlm. 118

(35)

hasil dengan teori yang didapat dari berbagai sumber lalu data dijelaskan dalam deskripsi hasil penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Bogdan menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan, dan bahan- bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.53

Berikut tahapan-tahapan yang dilakukan peneliti dalam menganalisis data:

1. Tahap persiapan

Pada tahapan ini, peneliti mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan ketika melakukan observasi ke masyarakat. Peneliti memahami tindak tutur direktif dan strategi kesantunan Brown dan Levinson.

2. Tahap pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan, peneliti melakukan observasi terhadap objek penelitian yaitu penutur bahasa betawi dan menemukan data-data berupa tindak tutur direktif pada dialog penutur bahasa betawi ketika berinteraksi dengan penutur yang bukan bahasa betawi dan mentukan strategi kesantunan menurut Brown dan Levinson.

3. Tahap penyelesaian

Pada tahap ini, peneliti memeriksa kembali analisis yang sudah didapat dan memperbaikinya apabila terdapat kesalahan pada penulisan. Setelah itu peneliti memberi kesimpulan dari semua hasil penelitian yang dilakukan.

53 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2014), hlm. 334

(36)

Berdasarkan rumusan masalah yang terdapat di bab pendahuluan maka di bawah ini peneliti akan menjelaskan hasil penelitian dan pembahasan mengenai strategi kesantunan tindak tutur direktif penutur bahasa Betawi di wilayah Tangerang. Hasil penelitian akan dideskripsikan dalam bentuk penjabaran dalam pembahasan dilakukan berdasarkan hasil penelitian tersebut.

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yaitu bagaimana strategi kesantunan tindak tutur direktif yang dilakukan oleh penutur bahasa Betawi untuk menyampaikan maksud kepada mitra tutur yang merupakan penutur bahasa lain? Maka akan dilakukan pembahasan terhadap hasil penelitian yang ditemukan.

Analisis bentuk strategi kesantunan dan tindak tutur direktif dalam komunikasi penutur bahasa Betawi dengan penutur bahasa lain di wilayah Tangerang dilakukan dengan cara memilah-milah tuturan yang mengandung makna direktif lalu menggolongkan strategi kesantunan yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 22 data.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yakni, bagaimana strategi kesantunan tindak tutur direktif yang dilakukan oleh penutur bahasa Betawi untuk menyampaikan maksud kepada mitra tutur yang merupakan penutur bahasa lain? Maka akan dilakukan pembahasan terhadap hasil temuan.

1. Strategi kesantunan tindak tutur direktif dalam interaksi penutur bahasa Betawi dengan yang bukan penutur bahasa Betawi di Kota Tangerang.

Pada penelitian ini penulis menemukan sejumlah tuturan direktif data sampel dalam interaksi antara penutur bahasa Betawi dengan penutur daerah lain.

Berdasarkan analisis, data sampel tersebut merupakan tuturan direktif yang memiliki kecenderungan strategi kesantunan Brown dan Levinson. Strategi kesantunan tersebut, yaitu strategi kesantunan tanpa basa-basi (bald on record

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, keberadaan stratifikasi sosial di dalam masyarakat berlatar belakang budaya Jawa sangat memengaruhi penutur dalam menggunakan tingkatan bahasa Jawa untuk

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Siti Komsiyah meneliti ekspresi maksim-maksim kesantunan dalam Film Di

Hal ini dilakukan mengingat penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan strategi tindak tutur direktif guru (selanjutnya disingkat STTDG) dalam pembelajaran dan respons

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Era Octafiona meneliti tentang gaya bahasa pada kumpulan puisi, serta

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Erika Pratiwi meneliti tentang gaya bahasa pada berita serta rancangan terhadap

Hal ini dilakukan mengingat penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan strategi tindak tutur direktif guru (selanjutnya disingkat STTDG) dalam pembelajaran dan respons