• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk menambah penelitian dalam bidang pragmatik, khususnya tentang strategi kesantunan pada tindak tutur direktif bahasa daerah.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi guna memahami strategi kesantunan tindak tutur direktif pada penutur bahasa Betawi ketika berinteraksi dengan penutur bahasa lain.

A. Kesantunan

1. Pengertian Kesantunan

Dalam kajian kesantunan linguistik, konsep yang paling relevan adalah

“muka.” Muka, dalam pragmatik, berarti adalah citra diri publik. Kesantunan merupakan kesadaran dan pertimbangan akan muka seseorang. Jika Anda mengatakan sesuatu yang menunjukkan ancaman bagi citra diri orang lain, maka itu disebut face-threatening act. Dan jika Anda mengatakan sesuatu yang mengurangi kemungkinan ancaman terhadap muka orang lain, maka ini disebut face-saving act.4 Brown dan Levinson juga mengatakan bahwa kesantunan dalam bahasa berpusat pada muka.

“Brown and Levinson argue that politeness in language is centered around the nation of face - "the public self-image that every member wants to claim for himself" - and the efforts made by interlocutors to "maintain each other's face."5

Seorang penutur akan menggunakan beberapa pertimbangan dalam menentukan strategi kesantunan mana yang akan digunakan, seperti 1) keinginan untuk mengungkapkan isi FTA, 2) keinginan untuk bertindak efisein, dan 3) keinginan untuk mempertahankan muka mitra tutur.6

Selain itu, kadar dan jenis kesantunan yang berlaku pada tindak tutur tertentu ditentukan oleh bobot jenis kesantunan yang diperhitungkan oleh seorang penutur berdasarkan tiga variabel, yaitu (1) jarak sosial, akan mempengaruhi tingkat keakraban dan solidaritas antara penutur dan mitra tutur; (2) perbedaan power yang dipersepsi penutur dan mitra tutur, akan memberikan efek pada tingkat penentuan keinginan penutur terhadap mitra tutur; dan (3) peringkat ancaman tindak tutur pada konteks budaya tertentu, yaitu seberapa besar

4 George Yule, Kajian Bahasa edisi kelima, Terj. Astry Fajria, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm.

198.Ibid, hlm. 199

5 Charles F.Meyi, Introducing English Linguistics, (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), hlm. 62.

6 Agung Pramujiono, “Representasi Kesantunan Brown dan Levinson dalam Wacana Dialog di Televisi” dalam Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia, (Bandung: Upi Press, 2011), hlm. 236

„ancaman‟ atau seberapa besar „bahaya‟ yang dipersepsikan ada dalam suatu konteks kebudayaan tertentu.7

Menurut Brown dan Levinson ada empat strategi yang bisa digunakan untuk menghindari tindak mengancam muka ketika bertutur.

1. Strategi tanpa tedeng aling-aling/togmol (bold on-record strategies), digunakan untuk tindakan yang tidak terlalu mengcanam muka mitra tutur.

Lebih banyak strategi ini digunakan di antara dua teman akrab, atau apabila penutur dalam posisi lebih berkuasa ketimbang lawan tuturnya. Misalnya,

“Ambilkan tas di meja!”8

2. Kesantunan positif (positive politeness). Strategi kesantunan positif ini digunakan untuk tindakan bertutur yang tidak terlalu mengancam muka mitra tutur, tetapi penutur tidak tega untuk menyatakannya dalam bentuk perintah. 9 Berkaitan dengan strategi kesantunan positif, Brown dan Levinson menjabarkan 15 strategi yang dapat digunakan oleh seorang penutur. Strategi-strategi tersebut adalah sebagai berikut. (1) Memperhatikan minat, keinginan, ketakutan, barang-barang lawan tutur. (2) Melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap lawan bicara. (3) Meningkatkan rasa tertarik terhadap lawan tutur. (4) menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok. (5) Mencari dan mengusahakan persetujaun dengan lawan tutur.

(6) Menghindari pertentangan dengan lawan tutur. (7) Menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur. (8) Membuat lelucon.

(9) Membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tutur. (10) Membuat penawaran dan janji. (11) Menunjukkan rasa optimisme. (12) Berusaha melibatkan lawan tutur dan penutur dalam suatu kegiata tertentu.

(13) Memberikan dan meminta alasan. (14) Menawarkan suatu tindakan timbal balik. (15) Memberikan rasa simpati kepada lawan tutur.10

3. Kesantunan negatif (negative politeness), digunakan apabila penutur menyadari adanya sebuah derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya. Hal ini bisa terjadi misalnya pada tindak bahasa dengan orang

7 Ibid, hlm. 236

8 Ibid, hlm. 236

9 Ibid, hlm. 236

10 FX Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 43-46

yang belum dikenal, di antara atasan dan bawahan, dan orang muda dengan yang lebih tua.11 Berbeda dengan strategi kesantunan positif yang terdiri atas lima belas strategi, Brown dan Levinson menjabarkan strategi kesantunan negatif sebagi berikut. (1) Ungkapkan secara tidak langsung sesuai konvensi. (2) Gunakan bentuk pertanyaan dengan partikel tertentu. (3) Lakukan secara hati-hati dan jangan terlalu optimistik. (4) Kurangi kekuatan atau daya ancaman terhadap muka lawan tutur. (5) Beri penghoratan. (6) Gunakan permohonan maaf. (7) Jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur. (8) Nyatakan tindakan menganvam wajah sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku.12

4. Strategi tak langsung (off-record strategies), digunakan terutama apabila ada ancaman yang lebih serius terhadap muka mitra tutur.13

Baryadi mengartikan kesantunan sebagai “salah satu wujud penghormatan seseorang kepada orang lain”. Dalam bahasa Jawa penghormatan dan kesantunan saling berkaitan, penutur perlu menggunakan bentuk hormat atau honorifik agar terlihat berlaku santun. Kesantunan secara pragmatis mengacu kepada strategi penutur agar tindakan yang dilakukan tidak menyebabkan adanya perasaan tersinggung atau muka yang terancam.14

Kesantunan berarti menggambarkan bagaimana cara penutur mengatakan sesuatu dan bagaimana mitra tutur merespons ujaran tersebut. Kesantunan sangat penting dalam kajian pragmatik. Dalam berkomunikasi, penutur dan mitra tutur harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti topik, dan fungsi atau tujuan pembicaraan.

Janet Holmes mengatakan bahwa ungakapan yang menyatakan kesantunan atau tidak dapat dilihat dari berbagai sisi, yakni dari segi linguistik yang berarti melihat dari penggunaan kosakata dan tata bahasanya, dari segi sosiolinguistik, dan segi pragmatik. Bentuk bahasa suatu ungkapan yang baik dan benar sesuai

11 Agung Pramujiono, Op.Cit, hlm. 236

12 FX Nadar, Op.Cit, hlm. 47-49

13 Agung Pramujiono, Op.Cit, hlm. 236

14 Asim Gunawan, Pragmatik Teori dan Kajian Nusantara, (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2007), hlm. 260-261

dengam aturan linguistik dapat dianggap tidak sopan apabila konteksnya tidak tepat. Oleh karena itu, agar dapat berbahasa sopan maka pembicara harus mempertimbangkan beberapa faktor sosial, seperti partisipan atau peserta komunikasi, setting atau faktor waktu dan tempat terjadinya komunikasi, topik pembicaraan, dan faktor fungsi bahasa).15

Banyak ahli pragmatik dan analisis wacana yang telah membahas masalah kesantunan dalam berbahasa. Salah satunya adalah Grundy yang menjelaskan bahwa kesantunan adalah ekspresi kebahasaan yang menyatakan hubungan sosial dan bersifat universal.16

2. Kesantunan Positif dan Kesantunan Negatif

Alan Cruse menjelaskan bahwa kesantunan berarti meminimalkan efek negatif (kesantunan negatif) dan memaksimalkan efek postif (kesantunan postif) dari apa yang dikatakan penutur kepada mitra tutur.

“Insofar as linguistic behaviour is concerned, politeness is a matter of minimising the negative effectsof what one says on the feelings of others and maximising the positive effects (known as „negative politeness‟ and

„positive politeness‟ respectively). Like the cooperative principle, the politeness principle is expanded by means of a set of maxims (see the entries for Tact and Generosity Maxims, Approbation and Modesty Maxims, Agreement Maxim, Sympathy Maxim).”17

Jean Stillwell Peccei menjelaskan bahwa kesantunan positif mengarahkan untuk menjaga citra diri seseorang sebagai anggota kelompok yang diterima dan diakui. Sedangkan kesantunan negatif mengarahkan kepada citra diri seseorang yang bebas.

“Positive politeness orients to preserving aperson‟s self-image as an accepted, valued and like member of a social group. Negative politeness

15 Diemroh Ihsan, Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011), hlm. 116

16 Ibid, hlm. 116

17 Alan Cruse, A Glossaryof Semantics and Pragmatics, (Edinburgh: Edinburg University Press, 2006), hlm.

131-132

orients to a person‟s self-image as an free individual who should not be imposed upon.”18

Brown dan Levinson mengatakan bahwa untuk masuk dalam hubungan sosial seseorang harus menghormati harapan satu sama lain tentang citra diri, serta menghindari tindakan yang bisa mengancam muka (FTA).

“Brown and Levinson analysed politeness, and said that in order to enter into social relationships, we have to acknowledge and show an awareness of the face,the public self-image, the sense of self, of the people that we address. They said that it is a universal characteristic across culture that speakers should respect each other expectations regarding self-image, take account of their feelings, and avoid face threatening acts (FTAs). When FTAs are unavoidable, speakers can redress the threat with negative politeness, the need to be independent, have freedom of action, and not be imposed on by others. Or they can redress the FTA with positive politeness, that attends the positive face, the need to be accepted and liked by others, treated as a member of te group, and to know one‟s wants are shared by others.”19

Muka negatif adalah kebutuhan seseorang untuk bebas dan terlepas dari beban. Sedangkan muka positif adalah kemampuan seseorang untuk melakukan hubungan, untuk memiliki, untuk menjadi anggota dari kelompok. Jadi, face-saving act yang menekankan muka negatif seseorang akan menunjukkan perhatian tentang beban. Face-saving act yang menekankan muka positif seseorang akan menunjukkan solidaritas dan menarik perhatian demi tercapainnya tujuan.20

3. Prinsip-Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan yang disampaikan oleh Leech memiliki enam maksim yang harus diperhatikan oleh penutur dan mitra tutur. Berikut adalah penjelasan keenam maksim tersebut.

18 Jean Stilwell Peccei, Pragmatics, (New York: Routledge, 1999), hlm. 66

19 Joan Cutting, Pragmatics and Discourse, (New York: Routledge, 2002), hlm. 45

20 George Yule, Kajian Bahasa edisi kelima, Terj. Astry Fajria, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm.199

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Maksim kebijaksanaan berarti bahwa dalam bertutur yang santun setiap yang terlibat dalam pertuturan harus selalu berusaha untuk meminimalkan kerugian kepada orang lain dan memaksimalkan keuntungan kepada orang lain.

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan berarti tuturan harus dibuat sederhana dan simpel sehingga tuturan itu dapat dikatakan tuturan yang santun. Penutur juga harus bersikap rendah hati.

c. Maksim Penerimaan (Approbation Maxim)

Maksim penerimaan berarti bahwa dalam aktivitas bertutur, penutur harus berusaha memaksimalkan kerugian untuk diri sendiri dan meminimalkan keuntungan untuk dirinya.

d. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

Maksim kerendahan hati menegaskan bahwa agar dapat dikatakan santun, penutur harus bersedia meminimalkan pujian terhadap dirinya dan bersedia memaksimalkan perendahan pada dirinya.

e. Maksim Kesetujuan (Agreement Maxim)

Leech menegaskan bahwa demi tercapainya maksim kesetujuan, penutur harus bersedia meminimalkan ketidaksetujuan antara dirinya dengan mitra tutur dan bersedia memaksimalkan kesetujuan antara dirinya dengan mitra tutur.

f. Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

Leech menyatakan bahwa dalam maksim kesimpatian berarti penutur bersedia meminimalkan antipati antara dirinya dengan mitra tutur dan memaksimalkan simpati antara dirinya dengan mitra tutur.

Selanjutnya Leech menjelaskan bahwa dari maksim-maksim tersebut terdapat maksim yang berskala dua kutub (bipolar scale maxim) dan maksim yang bersifat satu kutub (unipolar scale maxim). Maksim yang memiliki skala dua kutub, beberapa maksim ternyata berpusat pada orang lain dan beberapa lagi berpusat pada diri sendiri.21

21 Kunjana Rahardi, Yuliana Setyaningsih, dkk, Pragmatik Fenomena Ketidaksantunan Berbahasa, (Jakarta:

Erlangga), hlm. 58-63

4. Skala Kesantunan Brown dan Levinson

a. Skala peringat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur (social distance between speaker and hearer), ditentukan oleh perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Contohnya, orang yang memiliki jabatan tertentu di dalam masyarakat cenderung memiliki peringkat kesantunan lebih tinggi dibandingkan degan kebanyakan orang, seperti misalnya petani, pedagang, kuli perusahaan, buruh bangunan, dan pembantu rumah tangga.

b. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. Sebagai contoh, di jalan raya seorang polisi lalu lintas dianggap memiliki peringkat kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan seorang dokter rumah sakit yang pada saat itu kebetulan melanggar peruturan lalu lintas. Sebaliknya, polisi yang sama akan jauh di bawah seorang dokter rumah sakit dalam hal peringkat kekuasaannya apabila sedang berada di ruang periksa rumah sakit.

c. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur lainnya. Contohnya dalam situasi yang sangat khusus, bertamu di rumah seorang wanita dengan melewati batas waktu bertamu yang wajar akan dikatakan sebagai tidak tahu sopan santun dan bahkan melanggar norma kesantunan yang berlaku pada masryarakat tutur itu. namun demikian, hal yang sama akan dianggap sangat wajar dalam situasi yang berbeda. Pada saat di suatu kota terjadi kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung dan perumahan, orang berada di rumah orang lain atau rumah tetangganya bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan. 22

5. Skala Kesantunan Robin Lakoff

a. Skala formalitas, maksudnya adalah bahwa tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan berkesan angkuh.Di dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak yang sewajarnya dan senatural-naturalnya antara yang satu dengan yang lainnya.

22 Kunjana Rahardi, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 68-69

b. Skala ketidaktegasan atau skala pilihan, maksudnya adalah bahwa ketika bertutur maka pilihan-pilihan dalam betutur harus diberikan kepada penutur dan mitra tutur. Orang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.

c. Peringkat kesekawanan atau kesamaan berarti setiap orang harus bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antar pihak satu dengan pihak lainnya agar dapat bersifat santun. Penutur harus dapat menganggap mitra tutur sebagai sahabat, dengan begitu rasa kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai.23

B. Tindak Tutur

1. Pengertian Tindak Tutur

Teori tindak tutur atau speech act pertama kali di disampaikan oleh seorang filsuf berkebangsaan Inggris bernama John L. Austin pada tahun 1955 di Universitas Harvard. Austin mengatakan bahwa ketika seseorang mengatakan sesuatu maka ia juga melakukan sesuatu.24

Austinlah yang pertama mengungkapkan bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui perbedaan ujaran konstatif dan ujaran performatif. Ujaran konstatif mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan di dunia. Ujaran konstatif dapat dikatakan benar atau salah. Sedangkan ujaran performatif pengujaran kalimat merupakan, atau merupakan bagian dari, melakukan tindakan, yang sekali lagi biasanya tidak dideskripsikan sebagai, atau „hanya‟ sebagai, tindak untuk melakukan sesuatu.25

Menurut Austin agar dapat terlaksana ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam tuturan-tuturan performatif. Syarat-syarat yang diperlukan dan harus dipenuhi agar suatu tindakan dapat berlaku disebut dengan felicity conditions, yaitu:

1. The persons and circumstances must be ppropriate, artinya pelaku dan situasi harus sesuai.

23 Ibid, hlm. 70

24 FX Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 11

25 Louise Cummings, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 8.

2. The act must be executed completely and correctly by all participants, artinya tindakan harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku.

3. The participants must have the appropriate intentions, artinya pelaku harus mempunyai maksud yang sesuai.26

Pandangan John Austin tersebut telah memberikan pengaruh besar di bidang filsafat maupun linguistik. Pada masa-masa selanjutnya, pandangan-pandangan ini telah diadopsi dan dikembangan secara aktif oleh para ahli bahasa lainnya.

Searle mengembangkan hipotesa bahwa pada hakekatnya semua tuturan mengandung arti tindakan, bukan hanya tuturan yang mempunyai kata kerja performatif. Searle juga menjelaskan bahwa dalam komunikasi unsur yang paling kecil adalah tindak tutur seperti menyatakan, membuat pertanyaan, memberi perintah, menguraikan, menjelaskan, minta maaf, berterima kasih, mengucapkan selamat, dan lain-lain.27

Hudson menjelaskan bahwa tindak tutur adalah ujaran yang dibuat sebagai bagian dari interaksi sosial. Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur dan peristiwa tutur merupakan bagian dari situasi tutur. Setiap peristiwa tutur terbatas pada kegiatan atau aspek-aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penutur.28 Tindak tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu. Apa makna yang dikomunikasikan tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur tersebut tapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif, termasuk aspek-aspek situasional komunikasi.29

Analisis tindak tutur adalah mengkaji akibat ucapan berdasarkan sikap pembicara dan pendengar dengan menggunakan tiga perbedaan. Pertama, mengetahui fakta asli yang menjalankan tindakan komunikatif atau tindakan

26 FX Nadar, Op.Cit, hlm. 11-12

27 Ibid, hlm. 11-12

28 Ida Bagus Putrayasa, Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 85.

29 Ibid, hlm. 87

pengungkapan. Kedua, melihat pada tindakan yang muncul sebagai hasil dari pembicara yang melakukan ucapan seperti bertaruh atau berjanji. Ketiga, melihat akibat khusus dari ucapan pembicara pada pendengar, yang mungkin merasa kagum, terbujuk, terancam, dll.30

2. Klasifikasi Tindak Tutur

Searle mengemukakan secara pragmatis terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu atau The act of saying something. Tindak ilokusi adalah tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu disebut juga sebagai The act of doing something. Sedangkan tindak tutur perlokusi atau The act of affection someone adalah tindak tutur yang pengutaraanya bertujuan untuk mempengaruhi lawan tutur.31

Selain secara pragmatis, tindak tutur juga dibagi berdasarkan fungsi, maksud, serta maknanya. Berikut adalah tindak tutur berdasarkan fungsinya menurut Searle:

1. Asertif (Assertives): bertujuan untuk menyampaikan sesuatu berkaitan dengan kebenaran pernyataan yang diungkap, seperti menyatakan menerima atau menolak, mengusulkan, membual, mengeluh, mengajukan pendapat, melaporkan.

2. Direktif (Directives): bertujuan agar lawan tutur melakukan sesuatu untuk menghasilkan suatu efek terhadap tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat.

3. Komisif (Commissives): bertujuan untuk meyampaikan sesuatu yang terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkna.

4. Ekspresif (Expressive): untuk mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya, mengucapkan terimakasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.

30 David Crytal, Ensiklopedia Bahasa, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia, 2015), hlm.

110

31 Ida Bagus Putrayasa, Op.Cit, hlm. 87-88

5. Deklarasi (Declaration): fungsi iloksui ini adalah untuk mengungkapkan pernyataan yang keberhasilan pelaksanaannya tampak pada adanya kesesuaian dengan realitas tindakan, misalnya, mengundurkan diri, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman.32

Berdasarkan asumsi “Berbicara menggunakan suatu bahasa adalah mewujudkan perilaku dalam aturan yang tertentu” maka tindak tutur ilokusi terbagi menjadi lima jenis, yaitu:

1. Tindak tutur representatif yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk menetapkan atau menjelaskan sesuatu apa adanya.

2. Tindak tutur komisif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pembicaraan melakukan sesuatu. Komisif terdiri atas 2 tipe, yaitu promises (menjanjikan) dan offers (menawarkan).

3. Tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang mendorong pendengar melakukan sesuatu, misalnya menyuruh, perintah, meminta.

4. Tindak tutur ekspresif, tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap.

5. Tindak tutur deklaratif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan sesuatu yang dinyatakan, antara lain dengan setuju, tidak setuju, benar-benar salah, dan sebagainya.33

3. Interaksi Jenis-jenis Tindak Tutur

Pada umumnya penutur tidak menyadari bahwa tuturan yang mereka ujarkan adalah hasil dari berbagai interaksi antara teknik dan strategi bertutur.

Menurut Wijana, apabila di antara teknik dan strategi bertutur itu diinteraksikan maka diperoleh jenis-jenis tindak tutur sebagai berikut:

1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech) adalah tuturan untuk menyatakan sesuatu yang bermakna lugas dan sesuai dengan fungsi tipe kalimatnya. Artinya, tuturan ini diutarakan dengan modus tuturan dan makna tuturan yang sama dengan maksud pengutaraannya.

Contoh: (9.a) Anak-anak boleh bermain di halaman.

32 Ibid, hlm. 89

33 Ibid, hlm. 90-92

Tuturan (9.a) jika diteliti berdasarkan interaksi makna tuturannya dan strategi bertuturnya dapat dikatakan sebagai tuturan yang langsung literal apabila mengandung maksud „anak-anak memang boleh bermain di halaman karena sedang istirahat dan cuacanya cerah‟.

2. Tindak tutur langsung tidak literal, difungsikan sesuai dengan tipe kalimatnya tetapi kata-kata yang digunakan tidak menunjukkan makna yang sama dengan maksud yang dituju oleh penuturnya. Misalnya, maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah atau maksud memberitahukan sesuatu dengan kalimat berita, tetapi di balik itu terkandung maksud yang lain dan biasanya untuk maksud menyindir.

C. Konteks

Leech mengatakan bahwa konteks merupakan suatu pengetahuan latar belakang (lingkungan, situasi, sosial) yang dimiliki oleh penutur dan mitra tutur sehingga mampu menghasilkan makna tuturan.34 Mey juga mengartikan konteks sebagai situasi lingkungan yang membuat peserta pertuturan dapat berinteraksi dan membuat ujaran mereka dapat dipahami.35

Halliday mengemukakan ada tiga ciri konteks situasi: pertama, medan (field) yang mengacu pada aktivitas sosial dan pokok permasalahan; kedua, pelibat (tenor) yaitu peran sosial yang diadopsi pelibat dalam aktivitas sosial‟ ketiga, sarana (mode) peran bahasa yang dinamai dengan salurannya dan mode retotikanya yaitu apa yang akan dicapai teks berkenaan dengan pokok pengertian di antaranya adalah membujuk, menjelaskan, dan mendidik.36

D. Masyarakat Betawi dan Bahasa Betawi

Secara geografis bahasa Betawi berada di wilayah berbahasa Sunda, di Pulau Jawa bagian Barat. Bahasa Betawi memiliki sifat-sifat atau cirinya sendiri dibanding bahasa-bahasa Melayu lainnya. Hal itu berkaitan dengan sejarah terbentuknya

34 Nuri Nurhaidah, Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia, (Yogyakarta: Smart Writing, 2014), hlm.

54

35 F.X Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 3

36 Op.Cit Nuri Nurhaidah, hlm. 54

masyarakat penutur bahasa Betawi yang terdiri atas penduduk dari berbagai suku dan bangsa yang masing-masing memberikan warna terhadap bahasa itu.

Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta memiliki sejarah panjang

Daerah yang sekarang dikenal dengan nama Jakarta memiliki sejarah panjang

Dokumen terkait