• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

5 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Struktur Histologi Paru a. Paru

Organ paru sebagai alat penafasan utama yang mengisi rongga dada memiliki bentuk kerucut dengan apex (puncak) diatas dan menonjol sedikit lebih tinggi dari klavikula didalam dasar leher (Pearce, 2004). Paru berfungsi sebagai pelengkap kebutuhan oksigen dan ekskresi karbondioksida dalam darah (Kumar et al., 2013). Sistem paru dibagi menjadi bagian konduksi yang terdiri dari farink, larink, trakea, bronki, bronkioli, bronkioli terminalis sedangkan bagian respirasi terdiri atas bronkiolus respiratorus, duktus alveolaris, sacus alveolaris dan alveoli (Eroschenko, 2001). Paru kanan memiliki ukuran lebih besar dibandingkan paru kiri dikarenakan paru kanan memiliki 3 lobu yaitu lobu atas, lobus tengah dan lobus bawah; sedangkan paru kiri hanya memiliki 2 lobus yaitu lobus atas dan lobus bawah saja (Jardins, 2008).

b. Bronkus Intrapulmonar

Bronkus intrapulmonar memiliki penampakan bulat, dan posteriornya tidak rata, terdiri dari tulang hialin yang diselimuti jaringan fibrosa yang banyak mengandung serat elastin, tulang hialin tersebut memiliki struktur tidak beraturan dan sebagian mengelilingi lumen (Lesson et al., 1995). Epitel bronkus intrapulmonar bertingkat semu silindris bersilia dengan sel goblet yang menghasilkan lendir (Eroschenko, 2003).

c. Bronkiolus

Bronkiolus adalah jalan napas intralobularis dengan diameter 1 mm atau kurang yang terbentuk setelah sepuluh generasi percabangan, tidak mempunyai tulang rawan dan sebagian besar jaringan ikat padatnya terdiri dari otot polos (Mescher, 2016) dan tidak dikelilingi jaringan ikat (Jardins, 2008). Kekakuan bronkiolus yang rendah disebabkan oleh tekanan intra alveolar dan intrapleural

(2)

commit to user

dikarenakan perubahan ukuran paru sehingga mempunyai peran dalam terjadinya penyakit saluran pernafasan (Jardins, 2008).

d. Bronkiolus Respiratorus

Bronkiolus respiratorus merupakan percabangan dari bronkiolus terminalis dan mengandung alveolus mirip kantong dengan jumlah yang banyak dan rapat sebagai tempat terjadinya pertukaran gas dan mewakili bagian pertama dari sistem respirasi (Mescher, 2016). Bronkiolus respiratorus dicirikan dengan alveoli di dindingnya (Jardins, 2008).

e. Duktus Alveolaris

Duktus alveolaris merupakan saluran ujung yang bercabang dari bronkiolus respiratorus yang dilapisi oleh alveoli yang ditunjang oleh berkas otot polos dan anyaman serat - serat elastin dan kolagen yang mengelilinginya (Mescher, 2016). Duktus alveolaris berbentuk kerucut, dilapisi sel epitel gepeng dari jaringan fibrelastis (Lesson et al., 1995).

f. Alveolar

Gambar 2.1 Hubungan Percabangan Bronkiolus dan Kepadatan Jaringan Kapiler dan Serat Elastin Mengelilingi Setiap Alveolus (Mescher, 2016)

(3)

commit to user

Alveolus merupakan penonjolan keluar seperti kantong yang berdiameter 200 µm dari bronkiolus respiratorus, duktus alveolaris dan sakus alveolaris (Mescher, 2016). Jumlah alveolus kurang lebih 300 juta buah dan memiliki luas penampang alveolus sebesar 100 kali lebih luas apabila dibandingkan dengan luas permukaan tubuh (Syamsuri, 2000). Sebagian besar pertukaran gas O2 dan CO2 terjadi di membran kapiler alveolar yang mencakup 85-95% alveoli (Jardins, 2008).

Epitel alveolar terdiri dari 2 jenis sel utama yaitu sel tipe I (pneumocyte squamous) dan sel tipe II (granular pneumocyte). Sel tipe I terdiri dari substansi dasar sitoplasma dengan sel - sel tipis yang membentuk sekitar 95% permukaan alveolar dan memiliki ketebalan 0,1 sampai 0,5 µm dan merupakan bagian utam pertukaran gas di alveolar. Sel tipe II membentuk 5% total permukaan alveolar, berbebntuk kubus, memiliki mikrovili, diyakini merupakan penghasil surfaktan paru yang menjadi pembatas antara udara dan air di alveoli dan berfungsi sebagai pengurang tegangan permukaan cairan yang melapisi alveoli (Jardins, 2008).

Pori - pori Kohn merupakan lubang kecil di dinding septa interalveolar yang memungkinkan gas bergerak di antara alveoli. Pori - pori Kohn terbentuk dari deskuamasi sel epitel terkait penyakit, degenerasi jaringan dan sel yang diakibatkan pertambahan usia dan pergerakan makrofag yang dapat menyebabkan lubang pada dinding alveolar (Jardins, 2008). Fibroblas merupakan jenis sel utama dalam interstitium paru yang sangat penting untuk perkembangan dan pembentukan struktur alveoli (Bialas, 2016).

2. Sistem Pertahanan Paru

Dalam keadaan normal antioksidan endogen masih dapat memproteksi sistem pertahanan paru di dalam tubuh. Oksidan (radikal bebas) eksogen seperti asap rokok yang mengakibatkan seseorang menajdi perokok pasif menyebabkan defisiensi antioksidan endogen sehingga menimbulkan peningkatan ROS di dalam saluran pernafasan (Marianti, 2009). Paru - paru memiliki proteinase inhibitor (α1- Antitripsin, α2-Makroglobulin, α1-Antikemotripsin, inter α-tripsin inhibitor dan

(4)

commit to user

secretory leucocyte protease inhibitor) yang memeberikan efek protektif paru terhadap proteinase sebagai hasil dari fagositosis pada saat proses perlawanan terhadap benda asing yang masuk ke dalam paru dan apabila radikal bebas berupa benda asing kimiawi maupun biologis tersebut masuk kedalam alveolus dapat menyebabkan inflamasi yang mengaktifkan makrofag dan mensekresi sitokin proinflamasi (TNF-α, IL-1, IL-2, IL-8 dan LTB4) (Simmons, 1991).

Inhalasi zat toksik dapat merusak dan menyebabkan kematian sel pelapis alveolus I dan II sehingga seiring dengan peningkatan stres oksidatif yang ditimbulkan dapat merangsang sel punca untuk membelah dan menghasilkan sel progenitor alveolar baru yang diperkirakan sebesar 1% per hari secara kontinyu (Mescher, 2016).

3. Asap Rokok Kretek

Sebagian besar produk tembakau yang dibakar kemudian dihisap asapnya termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu dan bentuk lainnya dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan lain sebagainya yang asapnya mengandung nikotin, tar dan bahan tambahan rokok lainnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Oksidan yang termasuk dalam asap rokok dapat secara langsung merusak sel dan jaringan, menonaktifkan mekanisme pertahanan, menimbulkan inflamasi sehingga stres oksidatif meningkat (Fischer et al., 2015). Asap rokok terdiri lebih dari 5000 bahan kimia yang beracun dan karsinogenik (Talhout et al., 2011). Asap rokok atau Environtmental Tobacco Smoke (ETS) terdiri dari asap utama (mainstream smoke) dan asap sampingan (sidestream smoke) selain itu sidestream smoke mengandung komponen gas dan komponen partikel yang dihasilkan dari hasil pembakaran rokok (Rubenstein et al., 2004).

Sidestream smoke mengandung berbagai jenis bahan kimia dengan jumlah lebih dari 4000 jenis bahan kimia yang terbagi menjadi 2 jenis senyawa kimia yaitu komponen gas yang terdiri dari nitrosamin, nitrospirolidin, formaldehid, HCl, akrolein, asetaldehid, NO, amonium(NH4), vinil klorida, priridin, ureten, karbon

(5)

commit to user

monoksida dan komponen padatan berupa benzopirin, dibensakridin, fluoranten, dibensokrasol, piron, polinuklear, naftalen, nitrosamin yang tidak mudah hilang, nikel, arsen, nikotin, fenol, kresol dan tar (Sitepoe, 2000). Asap rokok menyebabkan perubahan akut dan kronis pada sistem kekebalan tubuh (Sandberg et al., 2011).

Setiap asap rokok yang dihirup memiliki kandungan sebanyak 1017 molekul ROS dan 400 kandungan senyawa kimia termasuk oksidan, senyawa kimia farmakologis aktif seperti nikotin yang bersifat mutagen dan karsinogen serta komponen antigen bersifat sitotoksik (Hansel & Barnes, 2004). Fenol dan semiquinon termasuk ke dalam partikel fraksi, superoksida, epoksida, peroksida, NO, nitrogen dioksida, peroksinitrit (ONOO-) dan peroksinitrat termasuk dalam fase gas asap rokok (Fischer et al., 2015).

4. Hubungan Asap Rokok Dengan Mekanisme Pertahanan Paru

Cedera pada organ paru akibat aktifitas radikal bebas yang meningkat menyebabkan penurunan fungsi paru (Waseem et al., 2012). Mekanisme pertahanan pertama terhadap zat asing (oksidan) adalah antioksidan enzimatis yang sudah ada didalam tubuh seperti SOD, GPx, CAT, beberapa enzim lain seperti G6PD, xantine oxidase; dan LMWA seperti gluthatione, asam urat, α-tokoferol, asam askorbat, karotenoid dan bahan yang lainnya (Biri et al., 2006;Kohen & Nyska, 2002) dan digambarkan pada Gambar 2.1.

(6)

commit to user

Gambar 2.2 Klasifikasi Mekanisme Pertahanan Antioksidan Seluler (Kohen & Nyska, 2002)

Radikal anion superoksida sebagai hasil proses pengurangan molekul oksigen yang dimediasi oleh NAD(P)H dan enzim xantine-oksidase mengalami peningkatan karena adanya paparan asap rokok sehingga NAD(P)H yang terletak di membran neutrofil akan teraktivasi lebih banyak. Radikal anion superoksida direduksi oleh SOD menjadi hidrogen peroxide dan kemudian diambil oleh enzim GPx yang membutuhkan GSH sebagai penyumbang elektron menjadi GSSH yang direduksi kembali menjadi GSH oleh GRED dengan menggunakan donor elektron NAD(P)H dan menkatalase hidrogen peroxide menjadi H2O dan O2. Elemen transisi seperti Fe2+ dan Cu+ dapat memecah hidrogen peroxide menjadi radikal hidroksil yang sangat reaktif (reaksi Fenton).

Gugus hidroksil yang sangat reaktif mengabstraksikan elektron dari PUFA (LH) untuk menghasilkan radikal lipid berinti karbon (LŸ). Radikal lipid

(7)

commit to user

kemudian berikatan dengan oksigen molekular sehingga menghasilkan radikal lipid peroksil (Valko et al., 2007). Jalur reaksi pembentukan ROS ditunjukkan Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Jalur Reaksi Pembentukan ROS (Valko et al., 2007)

Tahapan peroksidasi lipid terjadi dalam 3 tahap. Tahap pertama peroksidasi lipid adalah tahap inisiasi yang melibatkan masuknya oksigen reaktif yang mengabstraksikan atom hidrogen dari gugus metilen dari lipid yang mengarah pada produksi radikal asam lemak (ROO-) sehingga membentuk hidrokarbon. Tahap kedua peroksidasi lipid adalah tahap propagasi yang memungkinkan reaksi oksidasi lipid berlanjut apabila tidak diimbangi dengan jumlah antioksidan. Tahap ketiga

(8)

commit to user

merupakan tahap penghentian rantai oksidasi lipid setelah interaksi satu radikal asam lemak (ROO-) (Kohen dan Nyska, 2002) dengan penambahan antioksidan non enzimatis apabila antioksidan enzimatis tidak dapat menyeimbangkan dengan jumlah oksidan yang masuk ke dalam tubuh.

Oksidan dari asap rokok serta faktor penyebab iritasi lainnya dapat mengaktifkan sel epitel dan makrofag pada saluran pernafasan yang melepaskan TNF-α, faktor kemotaksis neutrofil (Interleukin-8 dan Leukotrien B4) dan ROS sehingga menimbulkan jejas. Makrofag dan neutrofil yang menjadi aktif akan menghasilkan protease dan anion superoksida (O2Ÿ). ROS menyebabkan penurunan pertahanan anti-protease dengan menginaktivasi secretory leukoprotease inhibitor (SLPI) dan α1-antitrypsin (AT- α1) dan terjadi peningkatan mediasi proteolisis.

ROS juga menyebabkan NF- κB teraktifasi yang dapat meningkatkan sekresi IL-8 dan TNF-α paru (Hansel & Barnes, 2004). Fase gas dari asap rokok yang mengandung radikal superoksida, radikal hidroksil, hidrogen peroksida dan benzo(α)pyrene yang merupakan karsinogen ampuh asap rokok juga dapat mengaktifkan NF- κB (Shishodia et al., 2003). Oksidasi asam lemak tak jenuh teresterifikasi mengubah aktivitas biologis gliserofosfolipid yang penting untuk integritas membran sel sehingga melibatkan pensinyalan TLR yang menyebabkan cedera pada organ paru yang mengarah pada aktivasi NF- κB (Bialas et al., 2016).

Degradasi proteolitik dapat memodifikasi rantai asam amino menjadi bentuk agregat protein dan terbukanya ikatan peptida, sebagian residu asam amino akan dikonversi menjadi residu karbonil dan berkurangnya kelompok sulfihidril pada protein plasma (Macnee dan Rahman, 1999). sehingga protein plasma terdegradasi dan menyebabkan kerusakan sel. Anion superoksida (O2Ÿ) yang terbentuk merupakan awal perkembangan terjadinya kerusakan akibat stres oksidatif. SOD merupakan antioksidan enzimatis yang terdapat di dalam paru - paru dan mengubah anion superoksida menjadi hidrogen peroksida yang mudah dihancurkan, sehingga apabila ketersedian SOD tidak mencukupi maka anion superoksida akan berhubungan dengan nitric oxide (NO-) sehingga menjadi peroxynitrit (ONOO-) yang berubah menjadi radikal hidroksil (OH-) yang dapat

(9)

commit to user

mengakibatkan kerusakan sel bersama - sama dengan MMPs dan neutrofil elastase menyebabkan sekresi mukus yang berlebihan, fibrosis, pemecahan protein pada jaringan paru (Foronjy et al., 2006).

Penelitian tentang pengaruh asap rokok pada hewan coba tikus dengan eksposur berat dapat menyebabkan perubahan struktur utama paru, namun paparan asap rokok pasif secara terus menerus juga dapat menyebabkan struktur kerusakan paru seperti edema paru peningkatan neutrofil pada pemeriksaan BAL, IL-6 paru dan plasma CXCL9 suatu kemoatraktan sel T (Gotts et al., 2017). Radikal bebas dalam konsentrasi tinggi seperti nitrit oksida (NO), anion superoksida dan ROS dapat merusak konstituen organ di dalam tubuh namun dalam konsentrasi sedang dapat memainkan peranan penting sebagai mediator dan regulator dalam proses pensinyalan didalam tubuh (Dröge, 2002). Sebuah penelitian dengan menggunakan murine mendapatkan hasil bahwa pemaparan asap rokok selama 4 minggu menyebabkan infiltrasi inflamasi pulmonal, peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru, peningkatan kadar kemokin paru, sitokin, 4-hydroxynonenal (biomarker stres oksidatif), dan peradangan paru (Liu et al., 2014). Produksi ROS telah ditemukan terkait dengan oksidasi protein, lemak, DNA yang dapat menyebabkan cedera paru secara langsung dan dapat menginduksi respon seluler melalui spesies reaktif metabolik sekunder (Waseem et al., 2012). Radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan jaringan dengan salah satu buktinya berupa kerusakan yang timbul pada membran alveolus berupa sel - sel endotelium yang secara normal berada di sekeliling alveolus menghilang dan hal tersebut menggambarkan terjadinya apoptosis dan menyebabkan korelasi antar alveolus yang tidak rapat, kerusakan jaringan ikat, degradasi elastin dan kolagen, pembesaran lumen menunjukkan terjadinya emfisema yang merujuk pada salah satu gejala penyakit COPD (Marianti, 2009). Asap rokok menginduksi oksidasi asam nukleat ROS terikat didalam fibroblas alveolar yang memungkinkan memainkan peran penting dalam patogenesis emfisema (Bialas et al., 2016).

(10)

commit to user

5. Malondialdehyde

Peroksidasi lipid adalah rusaknya asam lemak tak jenuh rantai panjang (PUFA) yang disebabkan oleh proses oksidatif dan membentuk senyawa MDA sehingga MDA dijadikan sebagai salah satu indikator aktivitas radikal bebas didalam tubuh (Haliwell dan Gutteridge 1999). Merokok dan asap rokok dapat menyebabkan konsentrasi acetaldehyde (AA) dan MDA paru mengalami peningkatan (McCaskill et al., 2011). Kadar MDA paru tikus mengalami peningkatan seiring dengan penurunan kadar SOD paru yang signifikan pada tikus yang diinduksi edema paru akut selama 1 hari, 2 hari dan 3 hari (Gao et al., 2016).

Peroksidasi lipid di inisiasi oleh senyawa kimia yang dapat mengekstrak hidrogen dari Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA) yang pada umumnya terletak di membran sel. Asam arakidonat merupakan PUFA yang mempunyai metilen ikatan ganda yang berguna sebagai sumber atom hidrogen untuk radikal bebas dan dapat menginduksi trombosit untuk memproduksi MDA dalam jumlah yang berlebihan (Singh et al., 2014). Penentuan kadar MDA dengan melalui pengambilan plasma darah, urin maupun homogenat jaringan organ tubuh digunakan untuk memperkirakan terjadinya stres oksidatif yang mengarah pada kondisi patologis (Tsikas, 2017).

6. Superoxide Dismutase

Superoksida merupakan metabolit yang sangat penting dan bermanfaat dalam pensinyalan proses pembelahan sel dan juga dapat berperan sebagai terminator peroksidasi lipid apabila memiliki jumlah yang sangat berlebihan dan tidak dimbangi dengan jumlah kadar SOD (McCord dan Edeas, 2005). SOD merupakan salah satu enzim antioksidan yang memiliki aktivitas fisiologis tertentu dan merupakan zat yang tersedia didalam tubuh serta penting untuk menghilangkan atau memblokir efek radikal bebas yang merusak sel dan jaringan sehingga apabila kadar SOD menurun dapat menyebabkan kerusakan didalam tubuh (Gao et al., 2016). Organ paru, saluran nafas bronkial yang mengalami peradangan kronis, kerusakan sel epitel yang disebabkan oleh asap rokok dapat menyebabkan fungsi sintetik SOD menurun (Jing et al., 2015), sehingga kadar MDA meningkat dan

(11)

commit to user

menghasilkan dekompensasi tubuh yang meningkat (Chunhua et al., 2017). SOD berfungsi sebagai pemblokir efek radikal bebas dan enzim yang mengkatalis superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen (Miwa et al., 2008; Kumar et al., 2012; Auclair et al., 2013).

Sel - sel didalam tubuh memiliki sejumlah besar antioksidan untuk mencegah atau memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh oksidan dan radikal bebas serta mengatur jalur pemberian sinyal redoks sensitif dan protokol umum yang seringkali dipergunakan untuk mengetahui kadar enzim antioksidan di dalam tubuh seperti SOD dan GPx (Weydert & Cullen, 2010). Organ paru yang diinduksi oleh radikal bebas dan kompensasi stres, kapasitas antioksidan didalam sel atau organisme mengalami peningkatan sehingga peningkatan kadar SOD dapat diamati (Parsons, 1994).

Klasifikasi SOD menurut enzim kofaktor logam yang dibutuhkan adalah besi (Fe-SOD) berfungsi dalam kloroplas, Mangan (Mn-SOD) berfungsi dalam mitokondria dan peroksisom, Nikel (Ni-SOD) terakumulasi dalam sitosol dan Coper atau Zinc (Cu/Zn-SOD) ditemukan paling banyak di kloroplas, sitosol, ekstraseluler dan seringkali berhubungan dengan toleransi stres (Bafana et al., 2011; Kumar et al., 2012; Youn et al., 1996; Abreu & Cabelli, 2010). SOD rekombinan jahe merah menunjukkan stabilitas pH 5 sampai dengan 10 yang mirip dengan Cu/Zn-SOD, stabilitas termal antara 10-60oC, lebih tinggi daripada tumbuhan lainnya namun lebih rendah apabila dibandingkan dengan Cu/Zn-SOD Kurkuma (Nishiyama et al., 2017).

7. Jahe Merah (Zingiber officinale Linn var. Rubrum) a. Taksonomi

Jahe merah (Zingiber officinale Linn var. Rubrum) termasuk kedalam famili Zingiberaceae. Secara taksonomi jahe merah diklasifikasikan sebagai berikut (Hapsoh et al., 2008).

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

(12)

commit to user

Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Zingiber

Species : Zingiber officinale Rosc.

Gambar 2.4 Rimpang Jahe Merah (Hapsoh et al., 2008) b. Morfologi

Data pada sampai dengan tahun 2001 menyatakan bahwa Indonesia memiliki 10 ribu hektar tanah yang digunakan untuk menanam jahe (Ravindran

& Babu, 2005). Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia dan volume permintaan produk jahe terus mengalami peningkatan dan berkorelasi positif dengan industri makanan dan minuman yang berbahan dasar jahe yang semakin berkembang(Sugiarti et al., 2011).

Tanaman jahe merah memiliki daun yang berselang seling teratur, berbentuk lancet dan berwarna hijau muda hingga hijau tua dengan panjang daun 25 cm dan lebar antara 27-31 cm. Akar yang keluar dari rimpang jahe merah berbentuk bulat dengan diameter 2,9-5,71 cm dan memiliki panjang hingga 40 cm (Hapsoh et al., 2008). Jahe merah (Zingiber officinale Linn var.

Rubrum) memiliki berat rimpang kurang lebih 0,5 sampai dengan 0,7 kg per rumpun, berstruktur merah, berukuran kecil berlapis - lapis dan daging rimpangnya berwarna merah jingga hingga merah, memiliki serat kasar,

(13)

commit to user

beraroma dan berasa pedas, ukuran lebih kecil dibandingkan jahe kecil.

Diameter rimpang jahe merah ± 4,2 cm, tinggi ± 5,2 - 10,4 cm, panjang ± 12,4 cm (Setiawan, 2015).

c. Kandungan Jahe Merah (Zingiber officinale Linn var. Rubrum)

Kandungan kimia rimpang jahe merah berupa minyak atsiri, oleoresin (shogaol dan gingerol), fenol (gingerol dan zingeron), enzim proteolitik, vitamin B6, vitamin C, kalsium, magnesium, kalium, fosfor, asam linoleat dan gingerol (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Tingkat kepedasan jahe tergantung pada jumlah gingerol terutama 6-gingerol yang merupakan serangkaian venol homolog (Ali et al., 2008). Komponen mikro lain yang termasuk dalam senyawa fenol selain gingerol dan shogaol yang telah diidentifikasi dan memiliki manfaat bagi kesehatan adalah 3-dihydroshogaols, paradols, dihydroparadols, asetil turunan dari gingerol, gingerdiols, mono dan di asetil turunan gingerdiols, 1-dehydrogingerdiones, diarylheptanoids, dan metil eter turunan dari senyawa fenol lainnya (Jolad et al., 2004). Jahe mengandung bahan aktif lain seperti terpenes dan oleoresin yang sering disebut sebagai minyak jahe (Zick et al., 2008). Komponen utama dari terpenes adalah hidrokarbon seskuiterpen dan senyawa fenolik seperti shogaol dan gingerol (Hasan et al., 2012) sedangkan senyawa lipofilik ekstrak jahe menghasilkan konversi jahe seperti shogaol, zingerol dan paradol (Govindarajan, 1982) ditunjukkan pada Gambar 2.5.

(14)

commit to user

Gambar 2.5 Struktur Kimia Komponen Aktif Jahe (Govindarajan, 1982) Kandungan 6-shogaol mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu ekstraksi dan waktu ekstraksi karena konversi 6-gingerol menjadi 6-shogaol oleh perengkahan thermal sehingga aktivitas antioksidan mengalami peningkatan tergantung pada peningkatan jumlah 6-shogaol (Ko et al., 2019). Rimpang jahe memiliki komponen lain yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Jahe per 100 gram

Komponen Jumlah

Jahe

Kalori 51 mg

Protein 1,5 g

Lemak 1,0 g

Karbohidrat 10,1 g

Kalsium 21 mg

Fosfor 39 mg

Besi 4,3 mg

Vitamin A 30 SI

Thiamin 0,02 mg

Niasin 0,8 mg

Vitamin C 4 mg

Serat 7,53 g

Kalium 57 mg

Total Abu 3,7 g

Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000)

(15)

commit to user

d. Potensi Jahe Merah Sebagai Antioksidan

Dosis aman (LD50) penggunaan jahe merahdengan kandungan 6- gingerol dan 6-shogaol yaitu sejumlah 0,25 - 0,68 g/kg BB (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016). Pengeringan ekstrak jahe merah dengan menggunakan vacum dryer dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal bebas tertinggi (DPPH) 52,9% dan Ferric Reducing Antioxidant Potentials (FRAP) yaitu 566.5 µM of Fe (II)/g DM dibandingkan dengan menggunakan freeze dryer yaitu DPPH 48,3% dan FRAP 527,1 µM of Fe (II)/g DM (Ghasamzadeh et al., 2016). Penelitian yang telah dilakukan oleh Ghasemzadeh et al (2018), membuktikan bahwa penerapan suhu tinggi dalam proses pengeringan ekstrak jahe merah dapat merubah sifat gingerol menjadi shogaol sehingga mempengaruhi sifat antioksidan dan anti mikroba yang meningkat.

Kesimpulannya, rimpang jahe merah yang mengandung senyawa shogaol aktivitas antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa gingerol.

Senyawa antioksidan kecuali karotenoid dan ICC secara signifikan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi pada rimpang jahe dibandingkan dengan daun jahe (Min et al., 2017), oleh karena itu rimpang jahe banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan potensi perlindungan kesehatan. Gingerol adalah senyawa tajam utama yang terdapat didalam rimpang jahedan terkenal dengan fungsinya sebagai antioksidan, antikanker, anti inflamasi, anti bakteri dan lain sebagainya, selain itu analog gingerol pada suhu termal dapat berubah menjadi shogaol yang memberikan rasa pedas yang khas pada jahe (Semwal et al., 2015). Senyawa 6-shogaol didalam kandungan jahe menunjukkan sifat antioksidan dan anti inflamasi yang paling kuat jika dikaitkan dengan keberadaan α,β-unsaturated ketone moeity, selain itu 10-gingerol merupakan senyawa gingerol paling kuat yang terkandung didalam jahe sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan jahe kering dalam sistem pengobatan tradisional (Dugasani et al., 2010). Hasil penelitian Kim et al (2007) membuktikan 6-gingerol memiliki senyawa antioksidan yang kuat baik pada penelitian in vivo maupun in vitro dan juga memiliki senyawa anti inflamasi

(16)

commit to user

dan anti apoptosis yang kuat sehingga jahe merah dapat digunakan untuk mencegah ROS yang berasal dari asap rokok, sinar ultraviolet B dan ekspresi COX-2.

Senyawa fenol yang terkandung di dalam jahe memiliki peran sebagai antioksidan (Tsai et al., 2005). Kandungan flavonoid, tanin, alkaloid dan terpenoid yang ada di dalam ekstrak etanol jahe merah berkontribusi sebagai inhibitor AchE dengan mencegah peroksidasi lipid. Rutin, kaempferol dan quercetin sebagai flavonoid yang mengekspresikan inhibitor xanthine oksidase dan epicatechin, cathecinin sebagai antioksidan yang terkandung didalam jahe merah (Suciyati dan Adnyana, 2017). Konsumsi flavonoid sebagai bagian dari senyawa polifenol adalah sebesar 210mg/ hari pada orang dewasa di negara barat (Knab et al., 2013). Ekstrak etanol jahe merah dalam konsentrasi rendah memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dibandingkan dengan antioksidan sintetis seperti vitamin C dan BHT dehingga dengan demikian ekstrak etanol jahe merah dapat digunakan sebagai antioksidan alami kuat yang dapat dimanfaatkan untuk persiapan makanan fungsional (Mukherjee et al., 2014).

Senyawa aktif jahe memiliki beberapa aktivitas biologi yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Aktivitas Biologi Senyawa Aktif Jahe Senyawa Aktif Jahe Aktivitas Biologi Gingerol dan senyawa

aktif gingerol

Aktivitas antioksidan, aktivitas antitumor dengan induksi apoptosis, modulasi genetik dan aktivitas biologi lainnya, aktivitas anti inflamasi dan anti analgesik, aktivitas anti mikroba, aktivitas pelindung hepato.

Paradol Antioksidan dan aktivitas anti kanker, aktivitas antimikroba Shogaol Aktivitas antioksidan dan anti inflamasi

6-shogaol Aktivitas anti kanker, aktivitas anti proliferasi, anti invasi Zingerone Aktivitas antioksidan, anti inflamasi, anti bakteri

Zerumbone Aktivitas anti tumor, anti mikroba 1-Dehydro-(10)

gingerdione

Regulasi gen inflamasi

Terpenoid Menginduksi apoptosis dengan aktivasi p53 Flavonoid Aktivitas antioksidan

Sumber : Rahmani et al (2014)

(17)

commit to user

Kegiatan SOD pada sebuah penelitian di dalam sel hepar menunjukkan penurunan dibandingkan dengan sel hepar kontrol secara signifikan (p<0,05) karena ekstrak jahe dapat mengambil alih peran antioksidan SOD dalam menghilangkan radikal bebas dan akumulasi hidrogen peroksida dalam garis sel hepar (Hanif et al., 2005). Ekstrak air jahe merah memiliki kemampuan dalam menghambat peroksidasi lipid pada sel otak tikus yang diinduksi Fe2+ tinggi untuk menyebabkan peroksidasi lipid pada otak tikus yang dibuktikan dengan kemampuan jahe merah yang lebih efektif dibandingkan jahe putih dalam mengais OH dan mengurangi daya timbulnya peroksidasi lipid (Oboh et al., 2012). Zingerone yang terkandung pada rimpang jahe dapat mencegah terjadinya stres oksidatif dengan cara membantu meningkatkan aktifitas antioksidan enzimatis seperti GSH, SOD, GPx, CAT untuk menurunkan kerusakan peroksidatif pada tikus model diabetes (Ahmad et al., 2018).

8. Interaksi Antioksidan Jahe Merah dan Asap Rokok

Aktifitas stres oksidatif mengaktifkan induksi enzim heme-oxygenase 1 mengkonversi heme dan hemin menjadi biliverdin dengan formasi karbon monoksida (Choi & Alam, 1996). Heme-oxygenase 1 diekspresikan secara luas di dalam sistem respirasi dan produksi karbon monoksida meningkat pada penderita PPOK (Montuschi et al., 2000). GPx dan SOD merupakan antioksidan penting didalam paru yang disekresikan oleh sel epitel dan makrofag untuk merespon asap rokok dan stres oksidatif (Avissar et al., 1996). Jahe (1% b/b) secara signifikan dapat menurunkan peroksidasi lipid dan mempertahankan aktifitas enzim antioksidan seperti SOD, GPx, CAT pada tikus dan reaksi jahe menunjukkan hasil yang relatif sama efektifitasnya dengan asam askorbat (100mg/kg BB) sebagai antioksidan (Ahmed et al., 2000).

Kebutuhan nutrisi berupa antioksidan yang banyak didapat seperti pada buah, sayur, bawang, teh hijau dan kunyit tergantung pada seberapa banyak seseorang terpapar jenis ROS endogenous dan eksogenous yang menghasilkan ROS kumulatif (Kelly, 2003). Ahmed et al (2000) dalam hasil penelitiannya

(18)

commit to user

membuktikan bahwa komponen kurkumin dan zingerone yang terkandung didalam jahe memberikan efek antioksidan dengan melawan stres oksidatif, menurunkan peroksidasi lipid, meningkatkan GSH, dan mempertahankan kadar normal antioksidan enzimatik. Polifenol yang terdapat didalam jahe merah yaitu kurkumin dilaporkan dapat menghambat aktifitas NF- κB, bersama dengan pelepasan IL-8, ekspresi cyclooxygenase-2 dan rekrutmen neutrofil di organ paru (Biswas et al., 2005). Penelitian yang lain menyatakan bahawa kurkumin pada jahe merah dapat mencegah aktivasi NF-κB melalui penghambatan IκBα kinase pada sel epitel paru manusia (Shisodia et al., 2003).

9. Tikus Putih

Tikus putih merupakan hewan yang seringkali digunakan sebagai obyek penelitian karena terdapat kurang lebih 98% gen yang dimiliki tikus memiliki kecocokan dengan gen manusia sehingga sistem pada tubuh tikus dapat digunakan sebagai bahan penelitian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2016).

a. Taksonomi

Secara taksonomi tikus putih diklasifikasikan sebagai berikut (Hedrich, 2006;

Sharp and Villano, 2012) Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Sub ordo : Myomorpha Famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

(19)

commit to user

Gambar 2.6 Tikus Wistar (Rattus norvegicus)(Al-Hajj et al, 2016) b. Kebutuhan Gizi dan Pemberian Sonde

Konsumsi tikus perharinya ditentukan oleh umur, berat badan dan jenis kelamin, rata-rata konsumsi pakan tikus perhari sekitar 8-25 g/hari saat masa pertumbuhan, 25-30 gram/hari saat dewasa, 25-35 gram/hari saat hamil dan 35- 65 gram/hari saat menyusui (Curfs et al, 2011). Konsumsi cairan yang direkomendasikan untuk tikus adalah sekitar 10-12 ml/100 gram BB perhari (Sengupta, 2013). Kebutuhan energi tikus dalam sehari ditentukan berdasarkan BMR (Basal Metabolic Rate) dan dapat dipenuhi dari zat makro meliputi karbohidrat, protein dan lemak. Jumlah kebutuhan energi tikus dewasa berkisar antara 110-160 kJ/hari (Curfs et al., 2011) dengan persentase pemberian protein sekitar 18-25%, lemak 5-15% dan serat 5% (Suckow et al., 2006).

Tujuan sonde pada hewan coba adalah untuk memasukkan subtansi cairan dengan dosis dan waktu penyerapan yang akurat, cairan yang masuk kedalam lambung akan cepat diabsorb oleh usus halus. Waktu sonde yang paling tepat adalah pagi hari saat hewan coba belum makan dan minum (Krinke et al, 2000). Volume cairan sonde pada tikus berdasarkan berat badan ditunjukkan pada Tabel 3.

(20)

commit to user

Tabel 3. Volume Cairan Maksimal dan Diameter Ujung Jarum Pemberian Sonde pada Tikus Berdasarkan Berat Badan

Berat Badan

(gram) Diameter Ujung Jarum Sonde/Canule

(mm)

Volume Cairan (mL)

30 1,0 1,0

50 1,0 2,0

100 1,5 3,0

200 2,0 4,0

300 2,0 5,0

Sumber: Krinke et al (2000); University of Colorado Denver (2011) c. Pemeliharaan Tikus

Perawatan tikus di laboratorium merupakan hal yang perlu diperhatikan terutama kandang dan asupan makan minumnya. Kandang tikus yang ideal harus memperhatikan aspek sosial, gerak dan fisiologis. Kandang yang digunakan harus kuat dan tahan dari gigitan, bahan yang biasanya digunakan adalah plastik dengan tinggi 22-24 cm untuk tikus dengan berat 250- 300 gram agar tikus mudah bergerak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2016), atap kandang berupa anyaman besi berukuran 1 cm sehingga memudahkan sirkulasi udara.

Beberapa pengaturan lingkungan kandang tikus yang digunakan untuk penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaturan Lingkungan Mikro Kandang untuk Tikus di Laboratorium

Hewan coba

Suhu Ruangan Yang Dianjurkan *

Ventilasi udara **

Pencahayaan

**

Kebisingan (durasi pendek)**

Kelembaban

*

ºC ºF

Mencit 20-26 68-79 8-20 jam <350 lux <85 dB 30-70%

Tikus 20-26 68-79 10-20 jam

<350 lux <85 dB 30-70%

Guinea pigs

20-26 68-79 4-20 jam <350 lux <85 dB 30-70%

Sumber: National Research Council Of The National Academies (2011);

Jaasma (2014).

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan dosis β -carotene dapat memberikan efek yang berbeda terhadap penurunan stres oksidatif. Hal ini sesuai dengan penelitian Azza, membuktikan bahwa dengan

Structured Number Head terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa pada materi trigonometri di MAN 2 Model Medan T.A 2018-2019; 3) Terdapat pengaruh

Peningkatan kerusakan ini menunjukkan bahwa formalin yang digunakan pada dosis subletal selama 12 minggu dapat mempengaruhi gambaran histopatologi duodenum

Dari segi masa kerja, dapat diketahui bahwa karyawan dengan masa kerja antara 5-10 tahun cenderung memiliki tingkat produktivitas kerja yang tertinggi jika

Pembenahan sarana prasarana laboratorium sangat penting dilakukan agar dapat meningkatkan mutu diagnosa pasien yang hendak melakukan perawatan di puskesmas, mengingat

Berbagai kegiatan dalam pengelolaan dan pengembangan DAS yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air, yang pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan

[r]

Dalam tahap analisis ini peneliti berusaha untuk memecahkan permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah, dengan cara menghubungkan data-data yang diperoleh