• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "3. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

3. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

3.1. Proses Produksi Pembuatan Tiang.

Dalam pembuatan tiang (Mulcindo Pole), menggunakan bahan baku dasar baja dengan ketebalan yang biasa digunakan 2,7 mm dengan lebar plat 4’. Dengan bahan baku tersebut dapat dihasilkan berbagai macam jenis produk tiang antara lain :

ƒ Lampu Jalan Umum – Street Light Pole

ƒ Tiang Antenna GSM – Antenna Pole

ƒ Tiang Lampu Sorot Stadium, Airport – Lighting Pole

ƒ Tiang PLN – Electricity Pole

ƒ Lampu Taman – Garden Pole

ƒ Lampu Merah Persimpangan – Traffic Light Pole

ƒ Tiang Papan Petunjuk Jalan – Overhead Sign Pole

Meskipun banyak jenis produk yang dapat dihasilkan, tetapi permintaan yang paling banyak adalah untuk jenis tiang lampu penerangan jalan umum (Street Light Pole), dimana dalam jenis ini dibedakan lagi menjadi 2 macam, yaitu :

ƒ Tipe Parabola (Single / Double).

Tipe ini memiliki radius kelengkungan pada bagian ornamennya. Radius yang dapat dibuat antara lain R 700, R 900, R 1400, dan R 1800.

ƒ Tipe Tunggal (Single / Double).

Tipe ini ini tidak memiliki radius kelengkungan seperti parabola, tetapi berbentuk lurus, dengan membentuk sudut ± 7 – 10º.

Untuk lebih jelasnya mengenai proses pembuatan tiang lampu, dapat dijelaskan dalam peta proses operasi pada gambar 3.1.

(2)

Universitas Kristen Petra

12

O-1

O-2

O-3 I-1

P. Pemotongan (Shearing)

P. Pelurusan (Leveling)

P. Sliterring

O-4

Sisa potongan plat

O-5 I-2

P. Pressing

O-6

P. Pelurusan (Leveling)

P. Pengelasan

O-7 P. Pelurusan (Straightening)

O-8

O-9

O-10 I-3

P. Pemotongan (Shearing)

P. Pelurusan (Leveling)

P. Sliterring

O- 11

Sisa potongan plat

O-12 I-4

P. Pressing

O- 13

P. Pelurusan (Leveling)

P. Pengelasan

O- 14

P. Pelurusan (Straightening)

O- 16 O-

15

P. Tekuk Ornamen Parabola

P. Pembuatan Ornamen

Tunggal

O-20 I - 6

P. Assembly + Setting Orn. Parabole Orn. Tunggal

O-

17 P. Pemotongan

O-

18 P. Pelubangan O-

19 P.

Pemotongan

Tapak

Tiang Utama

O- 21

P.

Pembuatan Lubang Tangan O-

22 P. Galvanis

O- 23

P.

Straighte ning Ornamen

Plat hitam tebal < 4 mm Plat hitam tebal 16 - 19 mm Plat hitam tebal 6 - 8 mm

Kawat las Kawat las

Mata bor

I - 5

Gas Gas

Plat hitam tebal < 4 mm

Zinc Ingot Kawat las (34,05)

(13,10)

(29,80)

(9,81)

(544,53) (342,48)

(272,75) (234,40)

(2566.26) (1621,75)

(403,46)

(266,85)

(1620,94)

(200,23)

(5147,1)

(399,09)

Jumlah Operasi : 23 Jumlah Inspeksi : 6

Gambar 3.1. Peta Proses Operasi Pembuatan Tiang Lampu

(3)

Keterangan :

O-1 : Proses Pemotongan plat (Shearing).

O-2 : Proses Pelurusan plat (Levelling).

O-3 : Proses Slitter (Slittering).

I-1 : Proses inspeksi terhadap hasil slitter.

O-4 : Proses Pelurusan plat (Levelling).

O-5 : Proses Tekuk

I-2 : Proses inspeksi terhadap hasil tekuk.

O-6 : Proses Pengelasan

O-7 : Proses Pelurusan (Straightening).

O-8 : Proses Pemotongan plat

O-9 : Proses Pelurusan plat (Levelling).

O-10 : Proses Slitter (Slittering).

I-3 : Proses inspeksi terhadap hasil slitter.

O-11 : Proses Pelurusan (Levelling).

O-12 : Proses Tekuk O-13 : Proses Pengelasan

O-14 : Proses Pelurusan (Straightening).

O-15 : Proses Bending Ornamen Parabola O-16 : Proses Pembuatan Ornamen Tunggal O-17 : Proses Pemotongan Tapak

O-18 : Proses Pelubangan

I-5 : Proses inspeksi terhadap tapak O-19 : Proses pemotongan rip plate

(4)

Universitas Kristen Petra

14 O-20 : Proses Assembly dan setting

I-6 : Proses inspeksi terhadap hasil setting O-21 : Proses Pembuatan lubang tangan O-22 : Proses Galvanis.

O-23 : Proses Finishning dan pelurusan (Straightening) ulang.

Peta operasi diatas adalah merupakan peta operasi yang standar digunakan dalam produksi tiang untuk saat ini, artinya peta operasi ini telah mengalami berbagai macam penambahan proses guna memperbaiki kesalahan- kesalahan yang telah terjadi. Adapun perubahan atau penambahan yang terjadi dalam peta proses operasi di atas antara lain ialah :

ƒ Pada produksi terdahulu lembar plat yang telah mengalami proses slitering akan langsung ditekuk menjadi 8 bagian (tiang segi 8), kemudian dicoba dengan menambahkan suatu proses pelurusan sebelum plat yang sudah disliter akan mengalami proses tekuk. Hal ini dapat mengurangi tingkat terpilinnya suatu tiang.

ƒ Hal lain yang dapat mempengaruhi bentuk suatu tiang adalah faktor tapak, pada pengalaman terdahulu tapak dipasang setelah tiang utama jadi, yang kemudian ornamen dipasang. Akibat dari hal ini, posisi ornamen akan mengikuti posisi dari tapak, yang akan mengakibatkan tiang tersebut tidak presisi antara ornamen dengan tapak, kemudian prosedur tersebut dirubah tapak dipasang terakhir sesudah tiang utama dengan ornamen sudah terpasang dengan baik. Tapak akan menyesuaikan dengan ornamen.

Penjelasan lebih lengkap mengenai proses produksi tiang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Proses Pemotongan (Shearing).

Pada proses ini apabila plat dengan ketebalan < 4 mm, maka untuk memotong plat digunakan mesin potong (shearing). Jika ketebalan plat tersebut > 4 mm, maka memotong plat dengan menggunakan gas cutting, yaitu proses memotong plat dengan menggunakan api.

(5)

2. Proses Pelurusan (Levelling).

Proses ini bertujuan untuk meratakan permukaan plat yang bergelombang.

3. Proses Sliter (Slittering).

Proses ini sama dengan memotong (shearing), yang berbeda adalah jika proses shearing memotong logam secara mekanik dari sheet atau plate dan biasanya hasil potongannya tegak lurus, maka proses slittering merupakan proses pemotongan yang digunakan memotong sheet atau plate tadi menjadi beberapa sheet atau plate yang lebih kecil lagi, dalam hal ini berbentuk trapesium. Hal ini dikarenakan tiang yang akan diproduksi berbentuk kerucut.

4. Proses Tekuk (Pressing).

Proses ini yang membentuk tiang menjadi segi 6, segi 8, maupun bulat.

Untuk segi 6 benda kerja mengalami proses tekuk sebanyak 5 kali (n-1).

Untuk segi 8 dan bulat sama-sama mengalami proses tekuk sebanyak 7 kali, namun yang membedakan adalah bentuk matras yang dipakai. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 3.3 dibawah ini.

Segi 6 Segi 8 Bulat

Jumlah tekukan 5 7 7

Bentuk matras

Sudut 120º 135º -

Tabel 3.1 Tabel Perbedaan Tiang Segi 6, Segi 8, dan Bulat.

5. Proses Pengelasan (Welding).

Proses ini masih dilakukan secara manual, setiap tiang mengalami dua kali pengelasan, yang pertama dilas pada beberapa titik baru selanjutnya tiang dilas seluruhnya.

6. Proses Pelurusan (Straightening).

Yang membedakan proses ini dengan proses leveling adalah istilahnya

(6)

Universitas Kristen Petra

16

menggunakan cara rolling, maka untuk slittering adalah pelurusan pada tiang dan menggunakan mesin punching.

7. Proses Bending.

Proses ini juga disebut proses pembengkokan dan dilakukan dengan tujuan membentuk ornament parabola dengan radius tertentu. Radius yang dapat dibuat 700, 900, 1400, dan 1800.

8. Proses Assembly dan setting.

Pada proses ini tiang utama, ornamen, tapak, sekaligus rip plate akan dirakit menjadi satu bagian baru sekaligus di-setting. Dalam proses ini tapak di-setting mengikuti ornamen bukan ornamen mengikuti tapak.

9. Proses Pembuatan lubang tangan.

Proses pembuatan lubang tangan ini berfungsi sebagai tempat untuk saklar lampu (MCB).

10. Proses Galvanis.

Tiang yang telah mengalami proses assembly dan setting akan di- galvanis dengan cara hot dip (pencelupan) ke dalam cairan zinc ingot yang memiliki temperatur 450º

Berdasarkan peta operasi tersebut, maka dilakukan penelitian di divisi tiang meliputi :

a). Perencanaan produksi dalam mengurangi tingkat waste yang terjadi.

b). Pengamatan dan analisa terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya kecacatan.

c). Perhitungan waktu baku untuk tiap proses.

3.2. Perencanaan Produksi dalam mengurangi tingkat waste

3.2.1 Waste yang terjadi dalam proses sliter.

Dalam memproduksi tiang Mulcindo (Mulcindo Pole), dibutuhkan suatu perencanaan produksi, baik berupa gambar maupun bentuk model ukuran plat yang akan dipakai beserta ukuran-ukurannya. Model potongan plat yang akan digunakan sebagai tiang berbentuk trapesium yang memiliki lebar atas dan lebar

(7)

bawah yang berbeda. Lebar atas dan lebar bawah tersebut nantinya berpengaruh pada diameter lubang dari tiang. Diameter disini yang dimaksud adalah jarak kunci (jarak terdekat antar sisi tiang), untuk lebih jelasnya lihat gambar 3.3.

A Jarak kunci Jarak titik (sud

ut terjauh) D

Gambar 3.2. Diameter Jarak

Hubungan antara lebar suatu plat dengan diameter dapat dijelaskan dengan rumus sebagai berikut :

O

t Tan x A

L 2

221

16 2 Ù

Ú É Ø Ê

È  (3.1)

A t

L 3,313 

dimana : L = Lebar bahan dibuka A = Jarak kunci

t = Tebal plat

Karena adanya ukuran jarak kunci minimum (Amin) sebesar 66 mm maka untuk patokan lebar paling kecil (Lmin) digunakan lebar :

209 min

) 3 66 ( 313 , 3

min 

L L

Lmin dijadikan 208 mm karena 208 habis dibagi 8.

Hubungan antara jarak kunci (A) dengan jarak titik terjauh (D) dapat dirumuskan sebagai berikut :

(8)

Universitas Kristen Petra

18

O

D A

2 221 cos

(3.2)

Jadi dengan diketahui ukuran lebar atas dan lebar bawah serta ukuran jarak kuncinya baru dapat dilakukan proses slitter. Jika tiang terbagi dalam beberapa segmen, karena sistem sambungan antar segmen tersebut menggunakan cara di-sok, maka perlu adanya overlap sebesar 300 mm, agar sambungan segmen tersebut ter-sok dengan kuat.

Jika sudah diketahui lebar atas, lebar bawah, jarak kunci, dan tinggi tiang yang dibutuhkan maka diperlukan langkah-langkah selanjutnya dibawah ini : 1. Mencari di dalam daftar stok, apakah ada plat yang sesuai, yang dapat

digunakan.

2. Jika tidak ada maka memotong plat baru dari coil yang sesuai dengan ukuran panjang plat yang dibutuhkan.

3. Plat yang dipotong memiliki ukuran lebar 4’ (± 1200 mm). Dengan lebar plat yang 1200 mm tersebut, harus dapat dimaksimalkan pada proses sliter.

Adapun kendala serta analisa dalam proses sliter antara lain :

a). Potongan plat yang berbentuk trapesium harus diusahakan simetris. Jadi tidak hanya ukuran lebar atas dan lebar bawah saja yang penting, tetapi juga kesimetrisan dari plat tersebut juga perlu diperhatikan. Untuk lebih jelas beda antara plat yang simetris dengan plat yang tidak simetris lihat gambar 3.3.

(9)

a

b Potongan simetris

a

b

Potongan tidak simetris

Gambar 3.3. Perbedaan potongan simetris dan tidak simetris

b). Akibat dari potongan yang harus simetris tersebut, ukuran lebar plat tidak dapat dimaksimalkan dalam pemotongannya. Tidak maksimalnya dalam hal jumlah waste yang cukup besar. Waste berarti sisa buangan plat yang tidak terpakai dalam proses sliter, dan bisa jadi jumlah plat yang digunakan akan lebih banyak lagi.

c). Jika menggunakan plat dengan lebar yang lebih besar dari 4’ (± 1200 mm), kendala lainnya yang muncul adalah dari mesin sliter itu sendiri. Mesin sliter yang dimiliki hanya memiliki ukuran lebar 1600 mm. Jadi ada keterbatasan dari mesin sliter.

d). Mesin sliter hanya memiliki satu mata pisau ditengah-tengahnya (800 mm dari pinggir), sehingga cara untuk melakukan proses sliter plat harus diusahakan tidak lebih dari 800 mm. Untuk lebih jelasnya lihat gambar 3.4.

(10)

Universitas Kristen Petra

20 1600 mm 800 mm

Arah gerakan

1200 mm

Arah Potongan Pisau

a

1200 - a

Gambar 3.4. Potongan pada mesin sliter

Jadi untuk potongan sebesar a mm maka untuk sisa potongan sebesar (1200 – a) mm < 800 mm, karena jika lebih dari 800 mm plat akan membentur dinding mesin sliter. Demikian juga sebaliknya jika a > 800 mm maka akan membentur pula pada dinding mesin.

Waste yang diukur biasanya dalam satuan Kg. Tingkat waste yang terjadi dapat dihitung berdasarkan rumus :

% 100 y x

z Waste y

(3.3)

dimana : y = Berat plat awal

z = Berat plat yang digunakan Berat plat dapat dicari berdasarkan rumus :

(11)

) / ( 7850 ) 2 (

) ) (

( Lebaratas Lebarbawah mm xPanjang mm x Kg m3 x

mm Tebal

Berat Ù

Ú É Ø

Ê

È 

(3.4)

dimana : 7850 Kg / m3 = Berat jenis baja.

Akibat dari kendala-kendala yang muncul dari proses sliter diatas sehingga menyebabkan keterbatasan dalam proses sliter yang akhirnya berdampak pada waste yang besar serta hasil potongan yang tidak simetris.

3.2.2. Waste yang terjadi akibat human error.

Waste tidak hanya timbul dari proses saja akan tetapi juga sering terjadi akibat faktor manusia. Macam-macam waste yang pernah terjadi akibat dari faktor manusia antara lain :

1. Pada proses potong (shearing), operator tidak membaca jelas surat perintah kerja akibatnya jumlah potongan lembar plat yang diminta terlalu banyak dari yang dibutuhkan.

2. Pada proses sliter, salah perhitungan dalam memotong plat sehingga mengakibatkan jumlah yang didapat dari proses sliter tidak sesuai.

3. Pada proses tekuk, operator salah “tembak” dalam artian operator tidak benar menepatkan garis yang seharusnya dengan pisau.

3.2.3. Analisa

Untuk mengurangi tingkat waste yang terjadi, dimaksimalkan penggunaan sisa plat tersebut untuk keperluan yang lain, dengan cara :

1. Dalam satu lembar plat harus digunakan semaksimal mungkin, jika mungkin dalam satu lembar plat penggunaan bahan yang sama namun dapat dibuat untuk komponen yang berbeda..

2. Sisa plat yang tidak dapat dibuat sebagai tiang lagi (tidak memenuhi standar ukuran minimum yang dibutuhkan) dapat dibuat sebagai komponen pelengkap dari tiang antara lain dapat digunakan untuk rip plate, tutup lubang tangan.

(12)

Universitas Kristen Petra

22

3. Waste yang terjadi akibat faktor manusia dapat dikurangi dengan cara memberikan training secara terus menerus, mengingat divisi tiang baru berdiri. Pada proses tekuk telah diberikan alat bantu penerangan guna membantu operator melihat garis dengan jelas sebelum ditepatkan dengan pisau, untuk mencegah terjadinya salah “tembak”.

Selama ini policy perusahaan adalah perhitungan faktor waste yang ditimbulkan, bagaimana cara agar waste yang ditimbulkan kecil, namun efek dari pertimbangan waste yang kecil tersebut, bentuk potongan tiang tersebut menjadi tidak simetris yang dapat menyebabkan bentuk tiang menjadi tidak bagus.

Keterbatasan mesin juga menjadi kendala dalam timbulnya waste yang besar.

Jika perusahaan memilih policy yang berorientasikan kualitas, dalam hal ini lebih condong ke bentuk potongan plat yang simetris, efek yang ditimbulkan adalah waste yang ditimbulkan lebih besar lagi.

3.3. Pengamatan dan analisa terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya kecacatan.

3.3.1. Pengamatan dan analisa terhadap bahan baku.

3.3.1.1. Spesifikasi bahan baku.

Pada proses pembuatan tiang ini bahan baku yang digunakan adalah baja dengan ketebalan 2,7 mm dan memiliki spesifikasi JIS G 3131 SPHC. Adapun keterangan spesifikasi tersebut adalah :

Classification & Symbol

Classification Symbol Remark

Class 1 SPHC For general use with thickness of 1,0 mm and over to 13 mm incl.

Class 2 SPHD For drawing use with thickness of 1,2 mm and over to 6 mm incl.

Class 3 SPHE For deep drawing use with thickness of 1,2 mm and over to 6 mm incl.

(13)

(sambungan)

Chemical Composition

Chemical Composition % Classification Symbol P S

Class 1 SPHC 0,050 max 0,05 max Class 2 SPHD 0,040 max 0,040 max Class 3 SPHE 0,030 max 0,035 max

Class 1 is manufactured of carbon steel of C content of 0,15 % or below and Mn content of 0,60 % or below.

Class 2,3 is manufactured of carbon steel of C content of 0,10 % or below and Mn content of 0,50 % or below.

Tolerance Of Thickness

Thickness Width ( 1000 to 1250 Excl.)

2,50 to 3,15 excl. ± 0,25 mm

(14)

Universitas Kristen Petra

24 (sambungan)

Tension test Bend test

Classification Symbol Tensile strength Elongation % Test Bend Inside Radius Test Kgf / mm2 2,5 mm to 3,2 mm Piece Angle Under 3,2 mm Piece (N/mm2) excl. in thickness in thickness

Class 1 SPHC 28 min 29 min 180° Close overlap

(275) min No.5 No.3

Class 2 SPHD 28 min 35 min along 180° Close overlap along

(275) min rolling rolling

Class 3 SPHE 28 min 37 min direction 180° Close overlap direction

(275) min

Tabel 3.2. Tabel Klasifikasi JIS G 3131 SP

(15)

3.3.1.2. Analisa.

Dengan melihat spesifikasi bahan baku JIS G 3131 SPHC pada tabel diatas, dapat dianalisa sebagai berikut :

1. Bahan baku JIS G 3131 SPHC termasuk dalam kelas 1, yang biasanya digunakan untuk keperluan umum, karena tidak ada pengecualian khusus tentang penggunaannya maka bahan baku ini dapat digunakan untuk tiang.

2. Jenis SPHC ini mengandung karbon 0,15 %, sehingga termasuk dalam Low Carbon Steel. Baja yang termasuk dalam jenis ini mempunyai formability dan weldability yang baik, arti baja jenis ini termasuk baja yang mudah dibentuk, serta mudah dilas.

3. Jenis SPHC ini termasuk baja yang mudah dibentuk, hal ini juga ditunjang dengan komposisi P (phosporus) yang maksimum hanya 0,050 %, sehingga membuat baja jenis ini tidak terlalu keras. Kekerasan suatu plat ditentukan oleh faktor komposisi P dalam baja tersebut. Semakin tinggi komposisi P dalam suatu plat maka semakin keras pula plat tersebut.

Jadi secara garis besar, baja dengan spesifikasi JIS G 3131 SPHC ini sudah bisa digunakan sebagai bahan baku untuk tiang.

3.3.2. Pengamatan dan analisa terhadap mesin.

Pengamatan hanya terbatas pada mesin slitering dan mesin press saja.

3.3.2.1. Pengamatan terhadap mesin sliter.

Mesin sliter ini digunakan untuk memotong plat menjadi bentuk trapesium. Mesin ini maksimum hanya mampu memotong sampai dengan ketebalan 6 mm, panjang benda sliter 14000 mm, serta lebar bahan maksimum sampai dengan 1600 mm. Mesin ini hanya mempunyai satu pisau yang terletak di tengah dan bersifat tetap, sehingga untuk memotong plat menjadi bentuk trapesium, maka plat tersebut diletakkan miring. Plat dijepit hanya satu saja, yaitu pada bagian tengah.

Hasil dari proses sliter ini kebanyakan melengkung pada saat keluar dari

(16)

Universitas Kristen Petra

26

Toleransi yang diberikan terhadap hasil sliter ± 1 – 3 mm. Jika ukuran lebar atas tersebut melebihi toleransi, dampaknya akan kelihatan pada proses setting tiang antar segmen. Dimana akan berakibat pada tiang sewaktu di setting akan sulit masuk sedalam 300 mm.

Selain itu jika ukuran lebar plat terlalu besar > 300 mm, maka kebanyakan plat yang melengkung pada waktu keluar dari mesin sliter tersebut tidak akan dilakukan proses leveling, yaitu proses pelurusan plat sebelum plat tersebut di tekuk pada mesin press.

3.3.2.2. Analisa mesin sliter.

Penjepit yang hanya satu di tengah, memungkinkan plat bergeser ketika di-sliter, menyebabkan deformasi tidak merata akibat adanya pergeseran tersebut.

Semakin panjang suatu plat yang akan di-sliter maka akan menimbulkan poison ratio, dimana besarnya regangan ke arah longitudinal (sumbu y) dan besarnya regangan ke arah tangensial (sumbu x) tidak sama, sehingga plat yang mengalami proses slitering ini keluarnya pasti bergelombang. Bahan pisau termasuk dalam baja perkakas, sehingga dalam hal ini bahan dasar untuk pisau sliter sudah tepat, karena bahan tersebut memang digunakan untuk memotong.

Proses leveling dibutuhkan untuk meluruskan plat yeng bergelombang tersebut, untuk sebab itu diperlukan suatu alat untuk meluruskan plat yang bergelombang tersebut. Alat yang dimiliki perusahaan saat ini kurang memadai untuk digunakan sebagai alat pelurus, sehingga seringkali tidak dilakukan dan langsung dilakukan proses pressing. Proses pelurusan tersebut berfungsi untuk menghilangkan efek deformasi yang terjadi akibat adanya tarikan yang disebabkan oleh mesin sliter.

3.3.2.3. Pengamatan terhadap mesin press.

Mesin press ini termasuk mesin CNC dan menggunakan dua piston sebagai alat penekannya. Proses press atau tekuk dilakukan setelah plat mengalami proses sliter. Plat akan ditekuk sebanyak tujuh kali tekukan, sehingga

(17)

akan membentuk segi delapan. Pada mesin press ini memiliki kendala yaitu sudut yang dibentuk seringkali tidak sama antara bagian atas dengan bagian bawah, sehingga setiap kali proses press dilakukan, hal yang pertama kali dilakukan adalah mengecek dan mensetting ulang mesin untuk mencari sudut yang tepat yaitu sebesar 135°.

Selain itu posisi piston jika dilihat pada layar menunjukan posisi turunnya tidak sama antara piston satu dengan piston yang lainnya. Hal ini menyebabkan plat ada kemungkinan tidak ditekuk secara bersamaan, akibatnya deformasi yang terjadi tidak bersamaan dan dapat memungkinkan efek plat tersebut melengkung pada salah satu sisinya.

Faktor besarnya tekanan yang diberikan juga perlu diperhatikan, sebab selama ini kekuatan tekan yang diberikan selalu konstan (Sigma konstan), jadi tidak diketahui apakah sigma yang diberikan tersebut terlalu besar atau tidak, tidak ada standar yang baku.

3.3.2.4. Analisa mesin press.

Faktor mesin dengan dua piston dapat menyebabkan turunnya piston tidak sama. Mesin dengan menggunakan dua piston memiliki beberapa kekurangan, antara lain :

1. Mesin dengan dua piston haruslah bergerak secara bersamaan (harmonis), mesin press yang ada saat ini memiliki kecenderungan pergerakan 2 piston tersebut tidak harmonis atau tidak bersamaan. Hal ini dapat menyebabkan turunnya pisau pada saat plat di-press tidak bersamaan.

2. Tekanan oli yang diberikan pada masing-masing piston haruslah sama, karena jika tidak sama maka tekanan yang diberikan oleh masing-masing piston tersebut dapat menyebabkan deformasi akibat proses pressing tersebut pada plat tidak merata.

Hal ini dapat mengakibatkan sudut yang dibentuk tidak sama antara bagian atas dan bagian bawah, serta deformasi yang terjadi tidak merata akibat turunnya piston yang tidak bersamaan.

(18)

Universitas Kristen Petra

28

Kendala yang lain adalah keterbatasan ukuran matras. Matras yang dimiliki memang berbagai macam ukuran, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran.

3.4. Perhitungan waktu baku untuk tiap proses.

3.4.1. Waktu baku untuk tiang 8 M Single Parabola.

3.4.1.1. Proses Shearing (Potong).

a). Untuk Tiang.

Waktu (detik)

27,35 28,46 25,68 28,27 27,72 29,01 28,62 29,03 25,08 36,63 30,43 29,86 38,04 26,36 32,35 25,17 24,30 30,66 27,57 34,56 29,77 28,73 24,23 30,75 29,66 32,76 33,09 30,69 36,70 31,36

Uji Kenormalan Data

Approximate P-Value > 0.15 D+: 0.125 D-: 0.072 D : 0.125 Kolmogorov-Smirnov Normality Test N: 30

StDev: 3.58705 Average: 29.763

35 30

25 .999

.99 .95 .80 .50 .20 .05 .01 .001

Probability

Shearing Normal Probability Plot

(19)

H0 : Data berdistribusi normal.

H1 : Data tidak berdistribusi normal.

α = 5 %

P value < α maka tolak H0.

Karena P value 0,15 > α 0,05, maka gagal tolak H0, sehingga data berdistribusi normal.

Uji Keseragaman Data

30 20

10 0

40

30

20

S am ple Num ber

Sample Mean

X-bar Chart for Shearing

X=29.76 3.0SL=39.59

-3.0SL=19.94

Uji Kecukupan Data

29774 , 1,48815 24

7,3355 763

, 29 05 , 0

045 , 2 58705 ,

* 3

2 2

ÙÚ É Ø

Ê Ù È Ú É Ø

Ê È

– N –

Data yang diambil sudah cukup, karena dari uji kecukupan data hanya memerlukan 25 data saja.

b). Untuk Ornamen

Waktu (detik)

25,92 23,47 28,43 28,11 28,88 25,18

(20)

Universitas Kristen Petra

30

26,19 22,46 24,49 29,13 24,14 28,48 23,55 26,23 27,24 25,70 27,88

Uji Kenormalan Data

Approximate P-Value > 0.15 D+: 0.091 D-: 0.122 D : 0.122 Kolmogorov-Smirnov Normality Test N: 19

StDev: 2.12067 Average: 26.0463

29 27

25 23

.999 .99 .95 .80 .50 .20 .05 .01 .001

Probability

Shearing

Normal Probability Plot

H0 : Data berdistribusi normal.

H1 : Data tidak berdistribusi normal.

α = 5 %

P value < α maka tolak H0.

Karena P value 0,15 > α 0,05, maka gagal tolak H0, sehingga data berdistribusi normal.

Uji Keseragaman Data

(21)

20 10

0 30

25

20

S am ple Num ber

Sample Mean

X-bar Chart for Shearing

X=26.05 3.0SL=31.58

-3.0SL=20.52

Uji Kecukupan Data

08929 , 1,30231 11

4,33677 0463

, 26 05 , 0

045 , 2 12067 ,

* 2

2 2

ÙÚ É Ø

Ê Ù È Ú É Ø

Ê È

– N –

Data yang diambil sudah cukup, karena dari uji kecukupan data hanya memerlukan 12 data saja.

Untuk perhitungan uji statistik pada proses lainnya dapat dilihat pada lampiran 11.

3.4.1.2. Perhitungan Waktu baku untuk tiang 8 M Single Parabole.

Perhitungan waktu baku untuk tiang 8 M Single Parabole dapat dilihat pada lampiran 12.

3.4.1.3. Analisa

Dari perhitungan waktu baku diatas, dapat diketahui bahwa untuk memproduksi satu unit tiang lampu segi 8, tinggi 8 M Single Parabola, dari bahan baku sampai selesai di galvanis membutuhkan waktu sebesar 13.706,6 detik = 3 Jam 48 menit 27 detik.

Pada proses pembuatan tiang lampu ini yang memakan waktu terlama adalah galvanis sebesar 5147,1 detik, jadi selang waktu tiang berikut selesai di produksi adalah 5147,1 detik. Akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan patokan, karena adanya antrian barang yang terjadi di bagian galvanis yang mengakibatkan adanya waktu delay sebelum tiang di galvanis. Jadi untuk memudahkan

(22)

Universitas Kristen Petra

32

tiang lampu hanya sampai proses pembuatan lubang tangan saja. Untuk itu waktu terlama dalam proses pembuatan tiang bukan lagi proses galvanis, melainkan proses pengelasan tiang yang terdiri dari 2 bagian yaitu memakan waktu sebesar (2566,26 x 2)+1621,75 = 6754,27 detik = 112,57 menit, sehingga selang waktu tiang yang berikut selesai dibuat memakan waktu 1,87 jam.

Untuk itu dalam menghitung waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu unit tiang sebagai berikut :

ƒ Dalam satu lembar plat untuk tiang pada proses sliter akan disliter menjadi 3 bagian, dimana dari 3 bagian tersebut didapatkan hasil 11/2 tiang, sedangkan dalam satu lembar plat untuk ornamen akan didapatkan hasil 4 buah ornamen.

ƒ Maka untuk menghitung satu unit tiang berdasarkan perhitungan sebagai berikut :

ƒ 1 lembar untuk tiang = 3 bagian = 11/2 tiang

ƒ 1 lembar untuk ornamen = 4 ornamen, sehingga dibutuhkan persamaan untuk menyamakan jumlah tiang dan ornament, dan akhirnya didapat :

ƒ 8 lembar untuk tiang = 24 bagian = 12 tiang.

ƒ 3 lembar untuk ornamen = 12 ornamen.

Tiang Lembar Ornamen Lembar Total Waktu

(detik)

Proses Shearing 34,05 8 29,8 3 361,8

Proses Levelling 13,1 8 9,81 3 134,23

Proses Slitering 544,53 8 342,48 3 5383,68 Proses Pressing 272,75 24 234,4 12 9358,8 Proses Pengelasan 2566,26 24 1621,75 12 81051,24 Proses Straightening 403,46 24 -- -- 9683,04

Proses Bending -- -- 266,85 12 3202,2

P. Assembly +

Setting -- -- 1620,94 12 19451,3

P. Lubang Tangan 200,23 12 -- -- 2402,76

Total 131029,05

ƒ Total waktu untuk membuat 12 tiang adalah 131.029,03 detik. Jadi untuk membuat satu unit tiang membutuhkan waktu :

Satu tiang = 10919,085

12 03 , 029 .

131 detik = 3,03 jam.

Untuk perhitungan kapasitas produksi didapat dari proses yang memakan waktu terlama, dalam hal ini adalah proses pengelasan sebesar 2566,26 detik untuk satu bagian tiang, dan 1621,75 detik untuk ornamen. Jadi kapasitas produksi per hari :

(23)

Kapasitas / hari = 4,26 75

, 1621 )

2 26 , 2566 (

28800

x  = 4 batang / hari.

3.4.2. Waktu baku untuk tiang 9 M Single Parabola.

3.4.2.1. Proses Shearing.

a). Untuk Tiang.

Waktu (detik)

43,33 45,75 41,50 48,80 42,95 36,38 51,88 41,51 46,11 45,16 43,59 32,80 45,28 53,11 46,20 44,94 46,61 46,35 46,83 59,15 49,46 31,95 35,52 57,27 57,33 41,22 36,81 48,13 39,74 37,31

Uji Kenormalan Data.

Approximate P-Value > 0.15 D+: 0.115 D-: 0.077 D : 0.115 Kolmogorov-Smirnov Normality Test N: 30

StDev: 6.83397 Average: 44.7657

60 50

40 .999

.99 .95 .80 .50 .20 .05 .01 .001

Probability

shearing

Normal Probability Plot

H0 : Data berdistribusi normal.

H1 : Data tidak berdistribusi normal.

α = 5 %

(24)

Universitas Kristen Petra

34 P value < α maka tolak H0.

Karena P value 0,15 > α 0,05, maka gagal tolak H0, sehingga data berdistribusi normal.

Uji Keseragaman Data

30 20

10 0

70

60

50

40

30

20

Sample Number

Sample Mean

X-bar Chart for shearing

X=44.77 3.0SL=64.07

-3.0SL=25.46

Uji Kecukupan Data

98552 , 23828 38

, 2

97546 , 13 7657

, 44 05 , 0

045 , 2 83397 ,

* 6

2 2

ÙÚ É Ø

Ê Ù È Ú É Ø

Ê È

x N x

Data yang diambil sudah cukup, karena dari uji kecukupan data hanya memerlukan 39 data saja.

b). Untuk Ornamen.

Waktu (detik)

27,41 24,98 29,66 28,74 30,14 27,67 28,40 26,72 29,14 25,68 26,78 28,18 28,13 27,68

(25)

28,10 31,32 29,23 24,40 29,15

Uji Kenormalan Data

Approximate P-Value > 0.15 D+: 0.077 D-: 0.115 D : 0.115 Kolmogorov-Smirnov Normality Test

N: 19 StDev: 1.73839 Average: 27.9742

31.5 30.5 29.5 28.5 27.5 26.5 25.5 24.5 .999

.99 .95 .80 .50 .20 .05 .01 .001

Probability

Shearing orn

Normal Probability Plot

H0 : Data berdistribusi normal.

H1 : Data tidak berdistribusi normal.

α = 5 %

P value < α maka tolak H0.

Karena P value 0,15 > α 0,05, maka gagal tolak H0, sehingga data berdistribusi normal.

Uji Keseragaman Data.

(26)

Universitas Kristen Petra

36

20 10

0 34 32 30 28 26 24 22

Sample Number

Sample Mean

X-bar Chart for Shearing

Mean=27.97 UCL=33.10

LCL=22.85

Uji Kecukupan Data

46643 , 398 6 , 1

555 , 3 9742

, 27 05 , 0

045 , 2 73839 ,

* 1

2 2

ÙÚ É Ø Ê Ù È Ú É Ø

Ê È

x N x

Data yang diambil sudah cukup, karena dari uji kecukupan data hanya memerlukan 7 data saja.

Untuk perhitungan uji statistik pada proses lainnya dapat dilihat pada lampiran 13.

3.4.2.2. Perhitungan Waktu baku untuk tiang 9 M Single Parabole.

Perhitungan waktu baku untuk tiang 9 M Single Parabole dapat dilihat pada lampiran 14.

3.4.2.3. Analisa

Pada proses pembuatan tiang lampu ini yang memakan waktu terlama adalah galvanis sebesar 5147,1 detik, jadi selang waktu tiang berikut selesai di produksi adalah 5147,1 detik. Akan tetapi hal ini tidak dapat dijadikan patokan, karena adanya antrian barang yang terjadi di bagian galvanis yang mengakibatkan adanya waktu delay sebelum tiang di galvanis. Jadi untuk memudahkan

(27)

perhitungan kapasitas produksi, waktu baku yang dibutuhkan untuk membuat satu tiang lampu hanya sampai proses pembuatan lubang tangan saja. Untuk itu waktu terlama dalam proses pembuatan tiang bukan lagi proses galvanis, melainkan proses pengelasan tiang yang terdiri dari 2 bagian, yaitu memakan waktu sebesar (2648,15 x 2)+1622,58 = 6918,88 detik = 115,31 menit, sehingga selang waktu tiang yang berikut selesai dibuat memakan waktu 1,92 jam.

Untuk itu dalam menghitung waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu unit tiang sebagai berikut :

ƒ Dalam satu lembar plat untuk tiang pada proses sliter akan disliter menjadi 3 bagian, dimana dari 3 bagian tersebut didapatkan hasil 11/2 tiang, sedangkan dalam satu lembar plat untuk ornamen akan didapatkan hasil 4 buah ornamen.

ƒ Maka untuk menghitung satu unit tiang berdasarkan perhitungan sebagai berikut :

ƒ 1 lembar untuk tiang = 3 bagian = 11/2 tiang

ƒ 1 lembar untuk ornamen = 4 ornamen, sehingga dibutuhkan persamaan untuk menyamakan jumlah tiang dan ornament, dan akhirnya didapat :

ƒ 8 lembar untuk tiang = 24 bagian = 12 tiang.

ƒ 3 lembar untuk ornamen = 12 ornamen.

Tiang Lembar Ornamen Lembar Total Waktu

(detik)

Proses Shearing 51,2 8 31,99 3 505,57

Proses Levelling 16,84 8 9 3 161,72

Proses Slitering 551,43 8 340,59 3 5433,21 Proses Pressing 272,75 24 233,73 12 9350,76 Proses Pengelasan 2648,15 24 1622,58 12 83026,56 Proses Straightening 403,65 24 -- -- 9687,6

Proses Bending -- -- 267,43 12 3209,16

P. Assembly +

Setting -- -- 1619,28 12 19431,36

P. Lubang Tangan 198,85 12 -- -- 2386,2

Total 133192,14

ƒ Total waktu untuk membuat 12 tiang adalah 133192,14 detik. Jadi untuk membuat satu unit tiang membutuhkan waktu :

Satu tiang = 133.192,14 11.099,34

detik = 3,08 jam.

(28)

Universitas Kristen Petra

38

Untuk perhitungan kapasitas produksi didapat dari proses yang memakan waktu terlama, dalam hal ini adalah proses pengelasan. Proses pengelasan ini terdiri dari proses pengelasan tiang sebanyak 2 kali, karena tiang utama terdiri atas 2 bagian, dan pengelasan ornamen sebanyak 1 kali. Jadi kapasitas produksi per hari :

Kapasitas / hari = 4,16

58 , 1622 )

2 15 , 2648 (

28800

x  = 4 batang / hari.

3.5. Analisa perbandingan berdasarkan waktu baku dengan aktual.

Berdasarkan perbandingan waktu baku di atas antara tiang segi 8, Single Parabole tinggi 8 M dengan tinggi 9 M, ternyata kapasitas produksinya juga tetap sama yaitu maksimal 8 batang per hari, jika pekerjaan tersebut kontinu. Namun kapasitas tersebut hanya berlaku sampai dengan tiang sebelum digalvanis, karena pada bagian galvanis harus menunggu antrian dengan barang-barang yang lain.

Seringkali tiang baru akan mengalami proses pencelupan galvanis pada malam hari, karena galvanis bekerja dalam 2 shift selama 24 jam.

Waktu baku yang dibutuhkan untuk memproduksi tiang 8 M, dengan tiang 9 M tidak jauh berbeda, untuk memproduksi 8 M membutuhkan waktu 3,03 jam, sedangkan untuk memproduksi 9 M membutuhkan waktu 3,08 jam. Jadi dapat disimpulkan bahwa tinggi tiang memang ada pengaruhnya terhadap waktu produksi. Yang membedakan adalah panjang kebutuhan plat yang digunakan sehingga hal tersebut mempengaruhi lama waktu proses produksi secara keseluruhan. Untuk kapasitas produksi tiang 8 M dengan tiang 9 M kurang lebih sama, yaitu 4 tiang / hari. Kendala lain yang terjadi dalam waktu pengelasan yang lama, sehingga menyebabkan bottle neck, yang mengakibatkan barang menumpuk pada bagian pengelasan adalah sampai saat ini pengelasan menggunakan cara manual.

Untuk selanjutnya perhitungan kapasitas berdasarkan waktu baku akan dibandingkan waktu aktualnya dimana suatu order diselesaikan :

ƒ Untuk tiang 8 M, jumlah order 75 batang, lama pengerjaan 17 hari kerja ditambah 4 jam kerja sehingga total penyelesaian order tersebut memakan waktu 17,5 hari kerja. Kapasitas menurut perhitungan waktu baku didapat waktu untuk menyelesaikan tiang tersebut adalah 4,26 batang / hari. Maka untuk menyelesaikan 75 batang membutuhkan waktu sebesar :

605 , 26 17 , 4

t 75 hari kerja.

(29)

Jadi jika dilihat dari perhitungan diatas, perhitungan kapasitas berdasarkan waktu baku dengan aktualnya sama sehingga dapat dikatakan memang benar kapasitas perusahaan saat ini hanya mampu menghasilkan 4 tiang setiap harinya.

ƒ Untuk tiang 9 M, dengan jumlah order yang sama 75 batang, waktu aktual yang dibutuhkan untuk membuat order tersebut memakan waktu 18 hari kerja ditambah 4 jam kerja sehingga total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan order tersebut memakan waktu 18,5 hari kerja. Kapasitas menurut perhitungan waktu baku didapat waktu untuk menyelesaikan tiang tersebut adalah 4,16 batang / hari. Maka untuk menyelesaikan 75 batang membutuhkan waktu sebesar :

028 , 16 18 , 4

t 75 hari kerja.

Jadi jika dilihat dari perhitungan diatas, perhitungan kapasitas berdasarkan waktu baku dengan aktualnya sama sehingga dapat dikatakan memang benar kapasitas perusahaan saat ini hanya mampu menghasilkan 4 tiang setiap harinya.

Dari perbandingan diatas dapat diketahui bahwa kapasitas produksi untuk tiang Single Parabole 8 M dan 9 M memiliki kapasitas yang sama yaitu 4 tiang / hari. Sebagai perbandingan apakah kapasitas tersebut juga berlaku untuk order yang lainnya, dibawah ini dapat dipergunakan sebagai pembanding :

ƒ Untuk Tiang 8 M Single Parabole dengan R = 1800 jumlah pemesanan 8 unit.

Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan order tersebut adalah 9 hari kerja, maka perhitungan kapasitas / harinya :

Kapasitas / hari = 9

8 = 0,889 tiang / hari

ƒ Untuk Tiang 9 M Single Parabole R = 900 jumlah pemesanan 90 unit. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan order tersebut adalah 168 jam kerja = 21 hari kerja, maka kapasitas / harinya :

Kapasitas / hari = 21

90 = 4,28 tiang /hari

Analisa :

(30)

Universitas Kristen Petra

40

Dari perhitungan diatas diketahui bahwa untuk tiang 8 M, kapasitas / hari yang dihasilkan tidak mencapai 4 tiang / hari. Hal tersebut disebabkan karena:

1. Order tersebut dibuat sebelum penulis melakukan perhitungan waktu untuk tiang 8 M.

2. Tiang 8 M dengan R = 1800 adalah untuk pertama kalinya perusahaan memproduksi, jadi diperlukan waktu bagi perusahaan untuk mempelajari dan menyesuaikan sesuai order.

3. Jumlah order yang sedikit menyebabkan waktu pengerjaan membutuhkan waktu lebih dari satu hari, dengan alasan sebagai berikut :

a. Dalam proses shearing, memotong bahan baku sering kali tidak dapat dilakukan dengan segera, sebab adanya waktu menunggu akibat mesin shearing sedang digunakan untuk pekerjaan lain.

b. Keterbatasan tenaga kerja yang ada akibat banyaknya order lain yang masuk.

c. Waktu tunggu pada bagian galvanis.

d. Ketiadaannya bahan pelengkap tiang, seperti angker yang harus memesan dari pihak luar.

Untuk tiang 9 M, kapasitas / hari yang dihasilkan sama dengan kapasitas berdasarkan perhitungan waktu baku.

3.6.Poin-poin Quality Control pada masing-masing proses.

1. QC pada Proses Pemotongan.

ƒ Plat yang akan digunakan memiliki ketebalan : a). < 3 mm : menggunakan mesin shearing.

b). > 3 mm : menggunakan gas cutting.

ƒ Mengukur panjang plat yang dibutuhkan dengan memberikan toleransi panjang plat (± 5 s/d 10 mm).

ƒ Mengukur panjang plat setelah mengalami proses pemotongan.

2. QC pada Proses Leveling.

ƒ Proses ini umumnya diberlakukan untuk plat yang memiliki ketebalan

< 3 mm, karena plat yang tebalnya < 3 mm berasal dari coil (tergulung) sehingga kemungkinan plat bergelombang.

(31)

ƒ Hasil daripada proses leveling ini, plat harus datar tidak bergelombang.

3. QC pada Proses Sliterring.

ƒ Plat sebelum di-“sliter” harus diukur terlebih dahulu lebar atas dan lebar bawah yang dibutuhkan juga dengan toleransi lebar atas dan bawah (± 1 s/d 3 mm).

ƒ Setelah mengalami proses slittering, plat yang sudah berbentuk trapesium harus diukur apakah lebar atas dan lebar bawah sudah sesuai dengan yang dikehendaki.

4. QC pada Proses Leveling (Proses Pelurusan).

ƒ Proses leveling ini sama dengan proses leveling sebelumnya, yang berbeda hanya benda kerjanya. Jika yang lalu proses pelurusan plat setelah dipotong dari coil, pada proses leveling kali ini plat yang sudah di-slitter yang diluruskan.

5. QC pada Proses Tekuk.

ƒ Setting pada mesin CNC.

Pada mesin CNC yang perlu diperhatikan adalah data-data sebagai berikut :

a). Tebal plat yang akan ditekuk.

b). Sigma bending (Kekuatan tekan yang akan dikenakan kepada plat), satuannya Kg/mm2. Dengan ini dapat diketahui kekuatan tekan total yang diberikan kepada benda kerja secara keseluruhan (Bending Force).

c). Pisau dan ukuran matras / die yang digunakan juga harus diperhatikan.

ƒ Pisau no. 1 (18 x 200 x 300 mm).

ƒ Pisau ini mampu menahan tekanan maximum sampai dengan 100 ton untuk setiap meter dari benda kerja. Pisau ini digunakan untuk menekan plat dengan ketebalan ≥ 4 mm.

ƒ Pisau no. 2 (15-8 x 270 x 300 mm).

ƒ Pisau ini mampu menahan tekanan maximum sampai

(32)

Universitas Kristen Petra

42

digunakan untuk menekan plat dengan ketebalan dibawah 4 mm (hal tersebut masih tergantung panjang benda yang akan ditekuk).

ƒ Matras / die juga memegang peranan penting, ada berbagai macam ukuran matras / die yang digunakan :

ƒ Die 32.

Die ini merupakan matras dengan ukuran terkecil diantara ukuran matras lainnya, yang digunakan bila plat memiliki tebal ≤ 3 mm.

ƒ Die 56.

Die ini digunakan bila ketebalan plat yang akan ditekuk memiliki ketebalan 4 s/d 6 mm.

ƒ Die 68

Die ini digunakan bila ketebalan plat 5 s/d 6 mm.

Ukuran die ini dapat digunakan untuk menekuk plat dengan ketebalan 8 mm, namun yang berbeda adalah di ukuran radiusnya (R).

ƒ Die 92

Die sebenarnya digunakan untuk menekuk plat dengan ketebalan 8 mm, yang berbeda dengan die 68 tadi adalah diukuran radiusnya (R), Radius yang dihasilkan die 92 akan lebih besar daripada radius yang dihasilkan oleh die 68.

ƒ Die 104.

Die ini digunakan untuk plat dengan ketebalan 10 mm.

ƒ Die 128.

Die ini merupakan matras yang terlebar dari mesin. Die ini juga untuk menekuk plat dengan ketebalan 10 mm. Die ini juga sama dengan die 104, yang membedakan juga dalam hal radius yang dihasilkan oleh masing-masing die. Radius

(33)

(R) yang dihasilkan die 128 lebih besar daripada radius (R) yang dihasilkan oleh die 104.

ƒ Besarnya radius (Ri) yang dihasilkan oleh masing-masing die dapat dilihat pada lampiran 10. Besarnya radius ini hanya dipengaruhi dengan faktor sudut yang akan dibentuk, serta ukuran die yang digunakan. Semakin besar sudut dan semakin besar ukuran die yang digunakan maka semakin besar pula radiusnya. Pertambahan sudut sebesar 1° maka radius bertambah 0,01 mm, demikian juga sebaliknya.

d). Sudut (Angle) yang dikehendaki.

Untuk membentuk menjadi segi 8, sudut yang dikehendaki adalah 135°, sedangkan untuk tekuk plat lain seperti siku, UNP, Channal C, sudut yang dibentuk haruslah 90°.

e). Panjang bahan / plat yang akan ditekuk.

f). Bending Force juga harus diperhatikan, kekuatan bending force juga harus diperhiungkan dengan kekuatan pisaunya. Jika kelebihan beban dapa mengakibatkan patah, demikian juga hasilnya jika penggunaan pisau yang tidak tepat.

ƒ Pada benda kerja.

a). Pada plat yang sudah di-slitter, perlu diperhatikan sekali lagi mengenai lebar atas dan lebar bawah, apakah sudah sesuai dengan yang dikehendaki sebelum plat ditekuk.

b). Pembuatan mall yang sesuai dengan ukuran lebar atas dan lebar bawah plat, yang kemudian dibagi menjadi 8 atau 6 bagian yang sama rata (tergantung segi 8 atau segi 6 yang akan dibuat). Mall merupakan faktor penting dalam proses tekuk ini, jika ukuran mall salah / tidak sesuai maka tiang yang dihasilkan tidak akan presisi.

6. QC pada Proses Pengelasan.

ƒ Pengelasan sampai saat ini masih dilakukan dengan cara manual, plat yang telah ditekuk menjadi tiang, dirapatkan sehingga sisi satu

(34)

Universitas Kristen Petra

44

dengan yang lainnya bertemu, baru kemudian di-las titik di beberapa tempat.

ƒ Pengelasan titik telah dilakukan maka untuk selanjutnya tiang di- las secara keseluruhan.

ƒ Hasil dari pengelasan juga harus diperhatikan, sebaiknya dipilih operator yang memang memiliki keahlian khusus dalam pengelasan.

7. QC pada Proses Pembuatan Ornamen.

ƒ Untuk pembuatan ornament ini sama dengan 6 langkah pembuatan tiang diatas, hanya saja untuk ornament ada beberapa proses tambahan.

a). Ornamen Parabole (Single / Double).

Untuk ornament ini diperlukan proses tambahan lagi, yaitu proses bending. Proses bending ini adalah untuk membuat tiang ornament menjadi bengkok ¼ lingkaran, dengan radius

tertentu. Pada proses bending ini juga perlu diperhatikan :

ƒ Radius yang akan dibuat.

ƒ Tiang ornament yang ‘ pesok’ akibat dibending.

b). Ornamen Tunggal (Single / Double).

Untuk ornament ini tiang tidak mengalami proses bending, tetapi juga harus diperhatikan proses-proses diatas dalam pembuatan tiang ornament.

8. QC pada Proses Straightening (Proses Pelurusan)

ƒ Proses pelurusan ini biasanya hanya dilakukan untuk tiang utama saja, karena tiang utama sebagai penyangga sangat vital peranannya. Untuk itu dilakukan proses straightening agar tiang yang bengkok dapat menjadi lurus.

9. QC pada Proses Setting.

ƒ Pada proses setting ini terjadi pemasangan antara tiang utama, ornament, serta tapak.

ƒ Jika ornament double baik itu parabole maupun tunggal, haruslah di-setting terlebih dulu, dengan tujuan agar pemasangan tiang

(35)

utama dengan ornament lebih mudah dilakukan. Penggabungan dua ornament menjadi double parabole ataupun tunggal, harus tepat, sejajar baik tinggi maupun ke-presisian ornament.

ƒ Pemasangan ornament dengan tiang utama adalah langkah selanjutnya, tiang utama setidaknya harus masuk ± 25 s/d 30 cm ke dalam ornament, dengan harapan tiang tersebut akan kuat diterpa angin, sekalipun tiang tersebut diletakkan di daerah yang berangin kencang.

ƒ Pemasangan tapak mengikuti pola daripada setting penggabungan ornament dengan tiang utama. Tapak juga mengalami proses inspeksi, yaitu apakah spesifikasi tapak sudah sesuai, baik itu diameter lubang angker, maupun jarak antar lubang.

ƒ Pembuatan lubang tangan, sebagai tempat saklar lampu, baik ketinggian lubang tangan tersebut dari tapak, maupun besarnya ukuran lubang tangan tersebut.

10. QC pada Proses Galvanis.

ƒ Tiang setelah melalui proses galvanis, harus diperiksa apakah tiang tersebut sudah seluruhnya terlapisi oleh galvanis.

ƒ Penghalusan pada tiang akibat adanya sisa galvanis yang kasar, pada sisi-sisi tiang.

11. QC pada Proses Straightening dan Setting Ulang.

ƒ Proses straightening ulang ini diperuntukkan bagi tiang yang setelah galvanis mengalami bengkok yang disebabkan akibat suhu yang terlalu tinggi ± 450° C.

ƒ Tiang sudah di-straightening ulang, akan di-setting kembali jika dibutuhkan pen-setting-an ulang.

12. QC pada Proses Finishing.

ƒ Proses inspeksi terakhir yang akan dilakukan, meliputi :

a). Pemeriksaan pelapisan galvanis secara menyeluruh baik ornament, tiang utama, maupun tapak. Bila ada pelapisan yang kurang maka akan ditambahkan secara manual dengan cara

(36)

Universitas Kristen Petra

46

b). Pemeriksaan tapak, meliputi diameter lubang angker serta jarak lubang. Khusus untuk diameter lubang, harus dipastikan tidak ada sisa galvanis yang masih menempel.

c). Pemeriksaan lubang untuk baut tempat lubang tangan tutup tiang, sudah ter-“ulir” dengan baik, dan tidak tersumbat sisa galvanis.

d). Penyerahan tiang beserta kelengkapannya kepada pihak gudang.

3.7. Analisa Keseluruhan.

Waste terjadi pada waktu proses sliterring, waste yang besar timbul akibat hal-hal dibawah ini :

1. Potongan trapesium yang harus simetris mengakibatkan jumlah penggunaan bahan baku yang tidak maksimal, akibatnya jumlah sisa potongan plat tersebut besar.

2. Perencanaan model potongan yang tidak sesuai dengan lebar bahan yang ada dapat mengakibatkan ketidak efisienan penggunaan bahan.

3. Faktor human error juga sering terjadi, seperti contoh operator salah mengukur lebar atas dan bawah dalam memotong bahan baku.

4. Faktor mesin juga menjadi pengaruh dalam tingkat waste yang terjadi.

Penjepit mesin sliter yang hanya satu dapat menyebabkan plat “lari” pada waktu disliter, jika “lari”nya plat masih dalam batas toleransi ± 1- 3 mm, plat masih dapat digunakan, tetapi jika lebih dari itu maka plat tidak dapat digunakan sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan sehingga harus mengganti baru.

Waste selain terjadi pada proses sliterring, juga terjadi pada proses shearing, namun faktor yang memicu terjadinya hal ini adalah dari faktor manusianya, kesalahan dalam jumlah memotong plat juga menyebabkan waste akibat kebanyakan plat yang dipotong. Pada proses pressing juga pernah terjadi, kali ini juga human error yang berpengaruh, operator yang “salah tembak” pada tempat yang tidak seharusnya, jika tidak parah kerusakannya masih dapat diperbaiki, namun jika tidak dapat diperbaiki maka plat tersebut diganti dan hal tersebut dikategorikan sebagai waste.

(37)

Tingkat kecacatan produk yang terjadi pada tiang, dapat disebabkan karena pemilihan bahan baku yang tidak sesuai, baja terdiri dari berbagai macam jenis dengan komposisi yang berbeda-beda. Bahan baku yang digunakan tiang saat ini sudah tepat yaitu baja dengan spesifikasi JIS G 3131 SPHC, dimana baja dalam kategori ini digunakan untuk keperluan umum, dan baja jenis ini termasuk Low Carbon Steel, karena memiliki kadar karbon 0,15 %, dan baja jenis ini mempunyai formability dan weldability yang baik, yang artinya baja jenis ini mudah dibentuk dan mudah dilas. Baja jenis ini juga memiliki kandungan P (phosporus) yang rendah maksimum hanya 0,050 %, sehingga baja ini tidak terlalu keras. Jadi untuk bahan baku yang digunakan sudah sesuai.

Pada mesin sliter kendala penjepit yang hanya ada satu ditengah dapat menyebabkan plat mudah bergeser sehingga plat tersebut akan “lari” pada waktu disliter. Adanya tarikan dan geseran mengakibatkan deformasi pada plat yang di- sliter menjadi bergelombang, sehingga plat harus diratakan lagi beberapa kali sampai efek deformasi itu hilang. Namun karena kendala mesin leveling yang ada letaknya jauh menyebabkan sering kali plat tidak diratakan, langsung akan mengalami proses pressing, hal tersebut dapat mempengaruhi tiang menjadi terpilin. Semakin panjang suatu plat maka akan semakin besar efek terpilinnya karena disebabkan adanya faktor poison ratio, dimana besarnya regangan ke arah longitudinal (sumbu y) dan besarnya regangan ke arah tangensial (sumbu x) tidak sama, sehingga plat yang mengalami proses slitering ini keluarnya pasti bergelombang. Untuk mengurangi terpilinnya suatu tiang maka tiang dibagi menjadi beberapa bagian. Hanya saja untuk membuat tiang menjadi beberapa bagian, waktu yang dibutuhkan lebih lama dan biaya produksi juga lebih besar.

Proses produksi tiang ini termasuk dalam proses pengerjaan dingin, maka dibutuhkan suatu peralatan dengan gaya dan tenaga yang bekerja cukup besar, sehingga untuk itulah divisi tiang memiliki mesin press dengan kekuatan tekan sampai dengan 320 ton. Pada mesin press juga terdapat kendala, mesin ini menggunakan alat penekannya dengan dua piston. Mesin yang menggunakan dua piston memiliki banyak kerugian, antara lain :

1. Mesin dengan dua piston harus bekerja secara bersamaan (harmonis), namun

(38)

Universitas Kristen Petra

48

piston, sehingga untuk memulai suatu pekerjaan, setting awal untuk kedua piston harus dilakukan guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan.

2. Tekanan oli yang diberikan pada masing-masing piston haruslah sama, karena jika tidak sama maka tekanan yang diberikan oleh masing-masing piston tersebut dapat menyebabkan deformasi pada plat tidak merata.

Dalam analisa waste diatas disebutkan bahwa pada proses pressing, kesalahan “tembak” akan sulit diperbaiki, karena dengan alasan dalam proses pengerjaan dingin kerugian yang lainnya adalah proses ini mempunyai ductility yang rendah. Ductility merupakan kemampuan bentuk dari bahan baku untuk berdeformasi secara plastis tanpa terjadi patah ketika dikenai suatu gaya. Semakin tinggi ductility, semakin mudah bahan tersebut dibentuk dengan gaya yang kecil.

Namun dalam proses pengerjaan dingin ini mempunyai ductility yang rendah, sehingga bahan baku sulit dibentuk, jadi ketika terjadi salah “tembak” maka akan sulit mengembalikannya seperti semula. Tegangan sisa dapat muncul dalam pengerjaan dingin, yang menyebabkan plat menjadi bergelombang maupun bengkong. Untuk menghilangkan tegangan sisa seperti yang terjadi pada proses sliterring, dibutuhkan suatu proses leveling jika itu masih berupa plat, serta proses straightening jika sudah berbentuk tiang.

Dalam perhitungan waktu baku, berdasarkan jumlah pesanan yang pernah ada, kebanyakan konsumen memilih tiang dengan ukuran 8 s/d 9 meter.

Waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu tiang lengkap sebelum di galvanis membutuhkan waktu yang relatif hampir sama yaitu sekitar 3 jam. Namun proses terlama yang dapat menyebabkan bottle neck adalah pada proses pengelasan tiang.

Hal ini dapat dimaklumi karena pengelasan dilakukan dengan cara manual, sehingga ada faktor-faktor manusia yang ada didalamnya. Untuk mengurangi bottle neck pada proses pengelasan, divisi tiang telah menambah peralatan berupa mesin las, hal ini dilakukan untuk mempercepat waktu pengelasan dan mengurangi bottle neck.

Berdasarkan waktu baku yang telah diketahui, kapasitas produksi sebanyak 2300 batang / bulan, tidak akan mungkin terpenuhi, sebab kapasitas per hari yang mampu dibuat adalah 4 batang / hari, sehingga dalam satu bulan hanya dapat memproduksi 120 batang, selain itu melihat kondisi saat ini target kapasitas

(39)

produksi tersebut juga sulit terpenuhi, karena banyak faktor yang berpengaruh selain dari mesin itu sendiri, juga faktor manusianya.

Gambar

Gambar 3.1. Peta Proses Operasi Pembuatan Tiang Lampu
Tabel 3.1 Tabel Perbedaan Tiang Segi 6, Segi 8, dan Bulat.
Gambar 3.3. Perbedaan potongan simetris dan tidak simetris
Gambar 3.4. Potongan pada mesin sliter
+2

Referensi

Dokumen terkait

Artikel ini menegaskan bahwa sertifikat kelayakan (dalam hal ini maksudnya adalah kelayakan pesawat udara) dan sertifikat kompetensi dan lisensi dari pilot yang dikeluarkan

Jadi kembali kepada pokok pembahasan, berdasarkan pasa; 98 ayan (1) KUHAP, maka kepada pihak yang menjadi korban suatu tindak pidana, diberikan kemungkinan untuk dalam waktu yang

Tingkat kematangan gonad I baik ikan jantan maupun betina mendominasi, tidak terdapatnya ikan yang matang gonad diduga ikan berada di perairan yang lebih dalam. Nilai IKG

Hal ini dimaksudkan adalah untuk menghindari terjadi permasalahan hukum di kemudian hari (timbul sengketa). Apabila pembeli telah mengetahui bahwa tanah tersebut

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Hotel Plaza Tanjungpinang, terdapat beberapa unsur pengendalian internal terkait dengan prosedur atau sistem

Objektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan dan yang ketiga adalah Hangat (warmth) yang merupakan kehangatan dan sikap

Hasil uji organoleptik terhadap emping jagung goreng (Tabel 3), menunjukkan bahwa penilaian warna emping jagung varietas Bisi-16 dengan proses cara I, warna

Sebelum pelaksanaan PPL, mahasiswa memperoleh pembekalan yang dilaksanakan dikampus UNY. Pelmbekalan PPL ini termasuk persiapan mahasiswa sebelum diterjunkan di