• Tidak ada hasil yang ditemukan

epitemologi fenomenologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "epitemologi fenomenologi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Fuad Hasan dalam buku beliau Pengantar Filsafat barat di kemukakan bahwa :

“Sejak era Renaissance hingga memasuki abad ke 20 M. alam pikiran di eropa barat ditandai oleh kemunculannya berbagai aliran filsafat yang tidak mudah dipertemukan. Pertemuan tersebut menghasilkan pertentangan, sehingga filsafat justru mengaburkan adanya landasan yang pasti sebagai titik pijak untuk mengembangkan pemikiran sebagai proses penalaran yang sistematis dan konsisten”.

Dalam era renaissance tersebut merupakan masa jayanya rasionalisme. Pada masa itu pula

di Prancis masanya kebebasan berkembang dengan bermunculannya golongan yang tersebut

kaum philosophes. Pada tempat yang sama (Prancis) muncul tokoh penting yang tidak sepaham

dengan rasionalisme, ia adalah Hendri Bergson (1859-1941); bahwa rasionalisme selalu berlaku

tidak cukup untuk memahami semua gejala dalam kenyataan; tidak kalah pentingnya ialah

peran intuisi. Sebagai daya manusia untuk memahami dan menafsirkan kenyataan.

Epistemologi berarti berbicara tentang “bagaimana cara kita memperoleh ilmu

pengetahuan?”. Dalam memperoleh pengetahuan inilah akan ada sarana dipergunakan seperti

akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi antara akal dan pengalaman institusi, sehingga

dikenal adanya model-model epistemologik rasionalisme, empisisme, kritisisme atau

rasionalisme kritis, positivisme dan phenomenologik dengan berbagai variasinya.

Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah

diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat.

Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi

kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia

kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Dominasi paradigma

positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu

alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu

pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam,

karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat

(2)

Problematik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peranan subjek

dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar

dan dukungan metodologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek

kedalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan

fenomenologi

B. Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam makalah ini kami akan membahas salah satu cara yang ditempuh akal manusia

untuk mencapai kebenaran ilmu, yaitu epistemologi phenomenologi. C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk memenuhi tugas yang di berikan oleh dosen pengasuh mata kuliah Filsafat Ilmu

2. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan bersama dalam pembahasan masalah

filsafat terutama filsafat epistemologi phenomologi

D. Metode Penulisan

Metode yang penulis pakai dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Metode kepustakaan yakni menggunakan sarana kepustakaan untuk menggali bahan

yang berkenaan dengan judul makalah yang ada

2. Impiris yakni dengan membandingkan beberapa pendapat yang ada dan kemudian

disimpulkan menurut analisis penulis

(3)

BAB II PEMBAHASAN

EPISTIMOLOGI FENOMENOLOGI

A. Istilah dan Pengertian Epistemologi Fenomenologi

Pembahasan yang kafah mengenai filsafat akan mudah dipahami jika diawali dari

pembahas istilah dan pengertian, maka berikut disajikan istilah dan pengertian dari topik

pembahasan tentang filsafat fenomenologi, hal tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut :

1. Istilah Fenomenologi

Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia

memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia).

Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek

pengalaman inderawi (fenomen).

Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama

Metafisika (1786) yang di kutip Sutrisno, et al. untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik

gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan

representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.

2. Pengertian Phenomenologi

Phenomenologi berasal dari kata fenomenon dan logos. Fenomenon secara asal kata

berarti fantasi, fentom, jostor, foto yang sama artinya sinar, cahaya. Dari asal kata itu dibentuk

sesuatu kata kerja yang antara lain berarti nampak, terllihat karena cahaya, bersinar.

Dari itu fenomenon berarti sesuatu yang nampak, yang terlihat karena bercahaya dalam

bahasa kita “gejala” logos dari bahasa Yunani berarti ucapan, pembicaraan, pikiran, akal budi,

kata, arti, studi tentang, pertimbangan tentang ilmu pengetahuan, tentang dasar pemikiran,

tentang suatu hal.

Kemudian diungkapkan pula bahwa pengertian fenomenologik adalah :

(4)

yang menampakkkan diri dalam diri sendiri” suatu fenomenon itu tidak perlu harus dapat dipahami dengan indera, sebab fenomenon dapat juga dilihat atau ditilik secara rohani tanpa mlewati indera.

Dan sejak Edmund Husserl (1859-1938) sebagai tokoh phenomenologi, arti fenomenologi

telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir, fenomenologi bukan sekedar

pengalaman langsung yang tidak mengimplisitkan penafsiran dan klasifikasi.

Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu

mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati

menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi

ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat

bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan

mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari

pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari

perkembangan pikiran manusia

Dari beberapa pengertian di atas tentang fenomenologi, maka dapat dipahami bahwa

fenomenologi berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon atau apa saja yang nampak. Sebuah

pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada

kesadaran kita.

B. Tokoh dan Pokok-Pokok Pikirannya

1. Edmund Husserl (1859-1938)

Husserl lahir di Prosswitz (Moravia), ia seorang Yahudi filosof Jerman pendiri fenomenologi.

Di uneversitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika dan filsafat, mula-mula di Leipzig,

kemudian juga di Berlin dan Wina. Disana ia tertarik pada filsafat Franz Brentano.

Jika kita ingin mengerti arti fenomenologi sebagai suatu sikap filsafat, kita harus

mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud oleh pendirinya Edmund Husserl. Menurutnya

fenomenologi itu merupakan metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode ia membentangkan

langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomeno yang murni, kita

harus mulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada

(5)

Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan

essensial tentang apa yang ada. Dalam langkah-langkah penyelidikannya, ia menemukan

obyek-obyek (yang tak terbatas banyaknya) yang membentuk dunia yang kita alami. Benda itu

dapat dilukiskan menurut kesadaran dimana ia temukan. Dengan begitu fenomenologi

dijelaskan sebagai kembali kepada benda, sebagai lawan dari ilusi atau sasaran pikiran, justru

karena benda adalah obyek kesadaran yang langsung dalam bentuk yang murni.

Filsafat Husserl memang mengalami perkembangan yang agak lama. Pada mulanya ia

berfilsafat tentang ilmu pasti, tetapi kemudian sampai jugalah ia pada renungan tentang filsafat

umumnya serta dasar-dasarnya sekali. Seperti dulu descartes ia berpendapat bahwa adanya

bermacam-macam aliran dalam filsafat yang satu sama lain bertentangan itu, karena orang tidak

mulai dengan metode dan dasar permulaan yang dipertanggungjawabkan. Maka dari itu

haruslah dicari satu metode yang memungkinkan kita berpikir, tanpa mendasarkan pikiran itu

kepada suatu pendapat lebih dulu.biasanya orang berpikir setelah mempunyai suatu teori atau

pemikiran sendiri. Itu tidak benar, demikian Hesserl, orang harus memulai dengan

mengamat-amati hal sendiri tanpa dasar suatupun: (Zun den Sachen Selbest). Ia memerlukan analisa

kesadaran. Maka analisa ini menunjukkan kepada kita, bahwa kesadaran itu selalu terarah

kepada obyek. Oleh karena yang diselidiki itu susunan kesadaran itu sendiri, maka haruslah

nampak obyek dalam kesadaran (gejala fenomenon), maka gejala itu diselidiki pula. Sungguh

tidaknya obyek tidaklah masuk dalam penyelidikan. Yang harus dicari sekarang ialah

sungguh-sungguh merupakan intisarinya. Adapun yang diluar intisari itu tidak dihiraukan. Tetapi

bukanlah cara abstraksi seperti ajaran Tomisme melainkan inti itu tercapai instisi : inti itu

terpandang oleh budi, demikian terdapat inti susunan kesadaran, akan tetapi hal ini lain dari

kesadaran empiri : inti itu terpandang oleh budi.

Pengaruh Husserl amat besar, pula dalam aliran-aliran lain. Ada yang mempergunakan

meode ini untuk segala ilmu atau cabang filsafat, misalnya S. Strasser dalam antrofologi. E de

Bruyne dalam etika serta Langeveld dalam pedagogiknya.

Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi yang dimulai oleh Edmund Husserl

(6)

disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam

mengembangkan fenomenologi.

Kemudian Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif

serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan

pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat,

menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan)

atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan

watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari

ilmu-ilmu empiris.

Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi

membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena

yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen

sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus

bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada

“kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari

pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut

Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan

demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den

Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam

bentuk yang murni.

Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan

reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap

pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant

menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran,

sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat.

Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam

kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.

(7)

kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori

pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut

fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas.

Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau esensi (eidos) dari apa yang

disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi

dengan prasangka (presupposition). Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi

berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara

ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang

objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi

bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol.

Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural,

sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.

Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang

rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik

yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian

kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi

atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan

dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai

instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat,

perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan

penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan

deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang

diteliti.

Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada

kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui

kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik,

kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh

(8)

etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme,

ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.

Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan

realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang

mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga

seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat

fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos

semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha

inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl

mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode

epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda

keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda

kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang

nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil

dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.

Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus

ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau

eksistensial objek kesadaran.

Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu:

1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan

pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.

2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap

keputusan atau sikap diam dan menunda.

3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang

transcendental dalam kesadaran murni.

4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang

realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat

fenomena dari realitas yang dia amati.

(9)

Disamping Husserl adalah filosof fenomenologi, yaitu Max Scheler (1874-1928). Bagi

Scheler, metode fenomenologi sama dengan satu cara tertentu untuk memandang realitas.

Fenomenologi lebih merupakan sikap bahan suatu prosedur khusus yang diikuti oleh pemikiran

(diskusi, Induksi, Observasi dll). Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung

dengan realitas berdasarkan instuisi (pengalaman fenomenologi).

Menurut Scheler ada tiga jenis fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman

fenomenologis, yaitu :

(1) fakta natural, (2) fakta ilmiah, dan (3) fakta fenomenologis. Fakta natural berasal dari pengalaman inderawi dan menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa. Fakta ilmiah mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak. Fakta fenomenologis merupakan isi “intuitif” yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung, tidak terikat kepada ada tidaknya realisasi di luar.

3. Maurice Merlean-ponty (1908-1961)

Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai

kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan

begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu : Pertama hanya meneliti atau mengulangi

penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya

memperhatikan segi-segi luar dari penglaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali.

Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui

dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh

kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman

perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena

itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data

rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan

alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real

C. Dasar-dasar Filsafat Epistemologi Fenomenologi

Peletakan dasar-dasar filafat epistemonologi dapat di lakukan dengan beberapa

pendekatan seperti yang di uraikan berikut:

1. Pendekatan filsafatnya berpusat pada analisis terhadap gejala yang menampakkan diri pada

(10)

2. Orang harus berpikir, dengan memulai dengan mengamati hal sendiri, tanpa dasar apapun.

Memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman-pengalamannya sendiri tentang realita dan menjauhkan diri dari meneliti dan mengulangi (teori orang lain).

3. Fenomenologi kebenaran dibuktikan berdasarkan ditemukannya yang essensial.

4. Fenomenologi menerima kebenaran di luar empirik indrawi. Oleh sebab itu mereka menerima

kebenaran sensual, kebenaran logik, ethik dan transedental.

5. Fenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji korespondensinya dengan yang

dipercayainya.

6. Fenomenologi lebih merupakan sikap bukan suatu prosedur khusus yang diikuti pemikirannya

(diskusi, induksi, observsi dll). Dalam hubungan ini hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi.

Dari pendekatan-pendekatan tersebut maka jelaslah bahwa phenomenologik berusaha

mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak

berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya

D. Kelebihan dan kekurangan Filsafat Phenomenologik

Kelebihan filsafat phenomenoligik diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Phenomenologik sebagai suatu metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa

adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan

2. Phenomenologik mengungkapkan ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang

objektif

3. Phenomenologik memandang objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek

lainnya

Dengan demikian phenomenologik menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan

partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang di amati, hal ini lah

yang menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan dewasa ini

terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama

Dari berbagai kelebihan tersebut, phenomenologik sebenarnya juga tidak luput dari

berbagai kelemahan, seperti :

1. Tujuan phenomenologik untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada

pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd

2. Pengetahuan yang didapat tidak bebas nilai (value-free), tapi bermuatan nilai (value-bound)

Dari kelebihan dan kekurangan tersebut maka kebenaran yang dihasilkan cenderung

subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu pula serta dalam

waktu tertentu. Dengan ungkapan lain pengetahuan dan kebenaran yang dihasilkan tidak dapat

(11)

BAB III P E N U T U P A. Simpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa :

1. Phenomenologik merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha

memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya

2. Epistemologi phenomenologi yang diperkanalkan oleh Husserl dengan kajian berpusat pada

analisis terhadap gejala yang nampak dalam kesadaran manusia. Untuk melahirkan suatu teori

tersebut maka seseorang jangan berpedoman pada teori orang lain (bukan menguji teori yang

ada) tapi mengamati tanpa dasar apapun.

3. Dalam pemikiran phenomenologi seseorang yang mengamati terkait langsung dengan

perhatiannya, dan juga terkait pada konsep-konsep yang telah dimilikinya sendiri (sangat

relatif). Kebenaran logik, ethik dan transendental (kebenaran di luar empirik inderawi) diterima

oleh fenomenologi. Metode ini banyak mempengaruhi segala cabang ilmu filsafat.

B. Saran-saran

Adapun beberapa hal yang dapat kami sarankan yaitu :

1. Hendaknya setiap kita selalu menanamkan pemahaman yang realistis terhadap aliran-aliran

yang ada dalam filsafat sebagai wahana pengaya pengetahuan tentang filsafat llmu

2. Kekurangan dari penyusunan dan penulisan ini hendaknya menjadi pemacu bagi rekan

mahasiswa yang lain untuk lebih membuka ide, wawasan dan menggali lebih dalam akan

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi yang berasal dari dalam diri sangat perlu untuk.. diusahakan karena motivasi ini murni timbul dalam diri siswa

Angela terus terang: Untuk menjalankan kemiskinan rohani yang sejati perlu membebaskan hati dari semua kelekatan dan keinginan akan harta yang fana dan duniawi termasuk diri

Dengan bukti yang dapat dilihat dari pakaian yang mereka gunakan tidak seragam dan terikat oleh keharusan tertentu, namun lebih pada keaslian diri mereka sendiri tanpa

Selain itu, saat ini kebanyakan orang juga tidak menyadari sepenuhnya tentang kemunculan penyakit-penyakit rohani di dalam diri mereka sendiri sehingga yang

Sebab itu perlu dicari alternatif baru cara mengangkut benih ikan dengan wadah tanpa harus menggunakan oksigen, namun dapat menjamin kelangsungan hidup benih (

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa usaha yang paling baik adalah usaha sendiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain dan setiap jual beli yang dilakukan dengan

Ajaran para sufi hanya dapat dipahami, selain melalui penyelidikan berdasarkan pengetahuan kognitif, juga harus dengan melibatkan diri dalam praktik kehidupan sufi itu sendiri, yang

Pandangan ini menunjukkan bahwa kejujuran dalam melaporkan pajak seharusnya menjadi pesan moral yang harus dipahami oleh setiap individu, karena perilaku tersebut dapat dianggap sebagai