Oleh Della Mita Andini
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2023
(Tesis)
KONVERSI NANOSELULOSA DARI KULIT PISANG KEPOK (Musa paradisiaca L.) MENJADI GULA ALKOHOL MENGGUNAKAN NANOKOMPOSIT LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO
Oleh
Della Mita Andini
Telah dilakukan penelitian mengenai konversi nanoselulosa menjadi gula alkohol menggunakan nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO dengan perbandingan berat 0,1:1; 0,3:1; 0,5:1. Nanokomposit disintesis dengan metode sol-gel menggunakan pektin sebagai agen pengemulsi, metode freeze drying , metode sonikasi dan kemudian dikarakterisasi dengan FTIR, XRD, SEM-EDX, dan DRS UV-Vis.
Hasil analisis XRD menunjukkan terbentuknya 2 fase kristal utama dari struktur perovskit ABO3, yaitu LaCrO3 dan LaTiO3 serta diperoleh ukuran kristal
berdasarkan metode Scherrer berkisar 26,95-46,21 nm. Hasil analisis SEM-EDX menunjukkan bahwa nanokomposit memiliki morfologi dengan beragam bentuk serta nilai energi band-gap ketiga nanokomposit berada di kisaran 1,45–1,58 eV.
Nanoselulosa kulit pisang kepok dipreparasi melalui tahapan delignifikasi, bleaching, dan sonikasi dengan asam nitrat serta diperoleh ukuran kristal yaitu 27,55 nm dan indeks kristalinitas 24,13%. Konversi nanoselulosa menggunakan nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO dilakukan dibawah radiasi sinar UV dengan variasi waktu 60, 120, 180, 240, dan 360 menit. Hasil konversi
menunjukkan bahwa persentase nanoselulosa terkonversi tertinggi yaitu 57,78%
dengan nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,5:1) dan konsentrasi glukosa tertinggi sebesar163,056 ppm dengan menggunakan nanokomposit
LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1).
Kata Kunci: nanokomposit, nanoselulosa, perovskit, gula alkohol, LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO.
CONVERSION OF NANOCELLULOSE FROM KEPOK BANANA PEELS (Musa paradisiaca L.)
INTO SUGAR ALCOHOL USING NANOCOMPOSITE LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO
By
Della Mita Andini
In this research, the conversation of nanocellulose into sugar alcohol had been studied using the LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO nanocomposite by the variation of weight ratio, as follows: 0.1:1.0; 0.3:1.0; and 0.5:1.0. These nanocomposites were synthesized by the following methods: sol gel using pectin as an emulsifying agent, freeze dry, sonication and characterized by FTIR, XRD, SEM-EDX, and UV-Vis DRS. Based on the XRD analysis result, two main crystalline forms from ABO3 perovskites had been obtained, namely LaCrO3 and LaTiO3, with size ranging from 26.95 to 46.21 nm based on the Scherrer method. The result of SEM-EDX implied that these nanocomposites had various morphologies and their band-gap energy ranging from 1.45 to 1.58 eV. Nanocellulose from Kepok banana peel was prepared by the following phases: delignification, bleaching, and
sonication using HNO3. As a result, the size of nanocellulose crystal was 27.55 nm and its crystallinity index was 24.13 %. The conversion of nanocellulose using LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO nanocomposites were carried out under UV-irradiation by variation of time, as follows: 60, 120, 180, 240, and 360 minutes. As a result, the highest percentage of converted nanocellulose was 57.78% with the
LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO nanocomposite (0.5:1.0) in 300 minutes process, while the highest concentration of glucose was 163.056 ppm using the
LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO nanocomposite (0.1:1.0) in 240 minutes process.
Keywords: nanocomposite, nanocellulose, perovskite, sugar alcohol, LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO
Oleh Della Mita Andini
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar MAGISTER SAINS
Pada
Program Pascasarjana Magister Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2023
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 17 Nopember 1995. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Gunardi dan Ibu Purwaningsih.
Penulis tercatat pertama kali bersekolah di TK Negeri Bina Terampil Serang pada tahun 2000-2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan tingkat dasar di SDN 02 Tanjung Gading, Bandar Lampung pada tahun 2001 - 2007.
Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 01Ciruas pada tahun 2007-2010, dan penulis melanjutkan pendidikan
menengah atas di SMAN 01 Ciruas pada tahun 2010-2013.
Pada tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Sl Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tertulis dan mendapatkan gelar Sarjana pada tahun 2017. Pada tahun 2020, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Program Pascasarjana Magister Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada bidang ilmu Kimia Fisik.
RIWAYAT HIDUP
MOTTO
(Q.S. Al-imran: 159)
“Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”
(Q.S. Al-insyirah : 6)
“Kamu boleh menangis tapi tidak untuk menyerah”
(Anonim)
“Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”
(Anonim)
“fa idzaa ’azamta fatawakkal’alallah”
Jika kamu sudah berazzam/bertekad bulat, maka bertawakallah pada Allah
PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala karunia-Nya yang telah menganugerahkan iman dan islam, sholawat beriring salam teruntuk sang murabbi terbaik pengubah peradaban umat manusia nabi Muhammad SAW.
Dengan mengharap keberkahan dari Allah SWT, ku persembahkan karya ini sebagai tanda cinta, kasih sayang dan baktiku kepada:
Ibundaku tercinta (Ibu Purwaningsih) dan ayahanda tercinta (Bapak Gunardi) Yang telah mendidik dan membesarkanku dengan penuh kesabaran dan limpahan kasih
sayang serta selalu mendoakan, menguatkan, mendukung segala langkahku, menuju kesuksesan.
Adik-adikku dan sahabat-sahabatku Yang menjadi motivasi dan penyemangat ku
Rasa formatku kepada
Bapak Prof. Dr. Rudy T.M. Situmeang, M. Sc.
Dosen yang telah membantuku dalam belajar untuk mendapatkan ilmu serta memberikan motivasi agar aku menjadi insan yang lebih baik
serta
Almamaterku tercinta
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil'alamiin. Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala
petunjuk-Nya yang telah menganugerahkan iman, sehat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Konversi
Nanoselulosa dari Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca L.) Menjadi Gula Alkohol Menggunakan Nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO”. Sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Magister Sains pada program studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
Teriring doa nan tulus jazaakumullah khaiiran katsir wa jazaakumullah ahsanul jazaa, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua dan juga keluarga yang selalu memberikan doa, motivasi, dan juga kasih sayang kepada penulis, sehingga menjadi penyemangat bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini, semoga Allah membalas cintanya dengan jannah-Nya, aamiin yarabbal 'alamin.
2. Bapak Prof. Dr. Rudy T.M. Situmeang, M.Sc. selaku pembimbing I yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, keikhlasan memberikan arahan,
memotivasi, dan membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
Semoga Allah membalas kebaikan beliau dengan kebaikan yang tak temilai.
3. Dr. Ilim, M.S. selaku pembimbing II yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, keikhlasan sehingga tesis penulis dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
4. Bapak Prof. Ir. Yandri A.S, M.S., Ibu Rinawati, Ph.D., dan Bapak Prof.
Suharso, Ph.D. selaku pembahas dalam penelitian penulis atas semua nasihat, kritik, saran, dan motivasi yang sangat membangun pada penulisan tesis ini.
Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
6. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T. selaku selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
7. Bapak dan Ibu dosen jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung atas seluruh ilmu yang diberikan selama penulis menjalani perkuliahan. Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan yang tidak ternilai kepada Bapak dan Ibu.
8. Rekan-rekan dan adik-adikku tim Grafena Oksida di Laboratorium Kimia
Anorganik/Fisik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung serta teman-teman Magister Kimia 2020 Mba Cindy, Restu, Ezra, Fendi, Nafila, Kak Arya, Hanif, Mentari, Rosyidatul, Nadya, Aisyah, dan Rinda untuk dukungan dan
kebersamaannya selama ini. Sukses untuk kalian semua.
9. Ezra Rheinsky Tiarsa dan Kartika Agus Kusuma terimakasih untuk segala motivasi, dukungan, bantuan, pertemanan, dan kebersamaan selama ini.
10. M. Sanubara Priamorta, atas kebersamaan, dukungan, motivasi, serta waktu yang telah diluangkan untuk membantu penulis sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
11. Seluruh pihak yang belum tersebut, yang sudah membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penyusunan tesis ini dan juga masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak dan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu sains.
Bandar Lampung, 13 Januari 2023 Penulis
Della Mita Andini
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan Penelitian ... 4
1.3. Manfaat Penelitian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Nanokatalis ... 6
2.2. Titanium ... 7
2.3. Senyawa Perovskit ... 8
2.4. Metode Preparasi Katalis ... 9
2.4.1. Metode Sol Gel ... 10
2.4.2. Pengeringan Beku (Freeze-Dry)... 11
2.4.3. Impregnasi ... 12
2.4.4. Kalsinasi ... 13
2.5. Tongkol Jagung ... 13
2.6. Grafit ... 15
2.7. Metode Sintesis Natural Grafit ... 16
2.8. Grafena Oksida ... 17
2.9. Sintsesis Grafena Oksida ... 18
2.10. Karakterisasi Nanokatalis ... 20
2.10.1. Fourier Transform Infra Red (FTIR) ... 20
2.10.2. X-ray Difraction (XRD)... 21
2.10.3. Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray (SEM- EDX) ... 22
2.10.4. Analisis energi celah pita ... 24
2.11. Kulit Pisang ... 24
2.12. Selulosa ... 25
2.13. Gula Alkohol ... 28
2.13.1. Manitol ... 28
2.13.2. Xylitol ... 29
2.13.3. Sorbitol ... 30
2.14. Reaksi Fotokatalitik ... 30
2.15. Analisis Konversi Nanoselulosa ... 31
2.15.1. Metode DNS ... 31
2.15.2. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) ... 32
III. METODE PENELITIAN ... 33
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 33
3.2. Alat dan Bahan ... 33
3.3. Prosedur Penelitian ... 34
3.3.1. Preparasi Nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO... 35
3.3.2. Karakterisasi nanokomposit LaCr0, 99Ti0,01O3/NHGO ... 38
3.3.3. Preparasi Nanoselulosa ... 40
3.3.4. Karakterisasi nanoselulosa ... 41
3.3.5. Uji Aktivitas Nanokomposit LaCr0, 99Ti0,01O3/NHGO ... 41
3.3.6. Analisis Hasil Konversi ... 41
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
4.1. Preparasi Nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO ... 44
4.1.1. Preparasi Grafit ... 44
4.1.2. Preparasi Grafena Oksida ... 45
4.1.3. Preparasi Nano Hollow Grafena Oksida... 48
4.1.4. Preparasi LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO... 48
4.2. Karakterisasi Nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO... 51
4.2.1. Fourier Transform Infra-Red (FTIR) ... 51
4.2.2. X-Ray Diffraction (XRD)... 54
4.2.3. Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray (SEM- EDX) ... 60
4.2.4. Diffuse Reflectance Spectroscopy UV-Vis (DRS UV-Vis) ... 62
4.3. Preparasi Nanoselulosa Kulit Pisang Kepok ... 65
4.4. Uji Aktivitas Katalis ... 68
4.4.1. Konversi Nanoselulosa ... 68
4.4.2. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Hasil Konversi ... 70
4.4.3. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) ... 73
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
5.1. Kesimpulan ... 77
5.2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
LAMPIRAN ... 89
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Komposisi elemen tongkol jagung (% massa). ... 14
2. Puncak-puncak representatif nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO. ... 58
3. Puncak-puncak representatif standar JCPDF. ... 59
4. Ukuran kristal nanokomposit berdasarkan persamaan Scherrer. ... 59
5. Kandungan persentase unsur nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1) berdasarkan EDX ... 61
... 99
11. Data perhitungan konsentrasi glukosa dengan metode DNS ... 100
6. Nilai energi band-gap nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO. ... 64
7. Persentase nanoselulosa terkonversi. ... 69
8. Konsentrasi glukosa pada sampel hasil konversi. ... 71
9. Data 2θ dan nilai FWHM nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO ... 90 10. Data perhitungan persentase nanoselulosa terkonversi.
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur umum perovskit ABO3 (Liu et al., 2019)... 8
2. Skema metode sol gel (Parashar et al., 2020). ... 10
3. Tongkol jagung. ... 14
4. Struktur lapisan grafit (Sengupta et al., 2011). ... 15
5. Struktur a) grafena dan b) grafena oksida (McCoy et al., 2019). ... 18
6. Mekanisme oksidasi grafit menjadi grafena oksida (Yu et al., 2020). ... 19
7. Difraktogram natural grafit dari tongkol jagung (Mohanraj et al., 2019). ... 21
8. Difraktogram grafena oksida dan nano hollow grafena oksida (Li et al., 2013). ... 22
9. Struktur kimia selulosa (Salimi et al., 2019). ... 25
10. Skema konversi katalitik selulosa menjadi gula alkohol ... 26
11. Skema preparasi nanoselulosa (Chen et al.,2011). ... 27
12. Struktur manitol. ... 29
13. Struktur xylitol. ... 29
14. Struktur sorbitol. ... 30
15. Skema penelitian. ... 34
16. Arang tongkol jagung. ... 44
17. Mekanisme reaksi oksidasi natural grafit menjadi GO ... 46
18. Spektrum IR a) grafit, b) GO dan c) NHGO. ... 52
19. Spektrum FTIR nanokomposit (a)LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1), (b)LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,3:1), (c)LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,5:1), (d)LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1) setelah reaksi fotokatalitik selama 240 menit. ... 53
20. Pola difraksi a) grafit, b) GO dan c) NHGO. ... 56
21. Difraktogram XRD nanokomposit (a)LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1), (b) LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,3:1),(c) LaCr0,99Ti0,01O3 /NHGO (0,5:1). ... 57
22. Mikrograf SEM nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1) a) perbesaran 10.000 b) perbesaran 20.000 ... 60
23. Spektrum EDX nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1)... 61
24. Plot Tauc untuk menentukan nilai energi celah pita LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1). ... 63
25. Plot Tauc untuk menentukan nilai energi celah pita LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,3:1). ... 63
26. Plot Tauc untuk menentukan nilai energi celah pita LaCr0,99Ti0,01O3 /NHGO (0,5:1). ... 64
27. Difraktogram nanoselulosa. ... 67
28. Spektrum FTIR nanoselulosa. ... 68
29. Grafik hubungan waktu terhadap konsentrasi glukosa. ... 71
30. Kromatogram HPLC hasil konversi variasi waktu 240 menit. ... 73
31. Konversi katalitik selulosa. ... 75
32. Konversi selulosa menjadi sorbitol (Shrotri et al., 2018). ... 76
33. Difraktogram grafit berdasarkan data PCPDF 75-2078. ... 92
34. Difraktogram LaCrO3 berdasarkan data PCPDF 24-1016. ... 92
35. Difraktogram LaTiO3 berdasarkan data PCPDF 34-0596. ... 93
36. Difraktogram TiO2 berdasarkan data PCPDF 21-1272. ... 93
37. Spektrum EDX nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1)... 94
38. Kurva regresi linear perhitungan energi band-gap LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,1:1) ... 95
39. Kurva regresi linear perhitungan energi band-gap LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,3:1) ... 95
40. Kurva regresi linear perhitungan energi band-gap LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO (0,5:1) ... 96
41. Difraktogram nanoselulosa kulit pisang kepok. ... 97
42. Kurva standar glukosa. ... 100
43. Kromatogram HPLC standar gula alkohol dan glukosa ... 102
44. Kromatogram HPLC larutan hasil konversi ... 103
45. Kurva standar sorbitol. ... 104
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Provinsi Lampung terkenal dengan oleh-oleh keripik pisang dan berbagai jenis olahan pisang lainnya. Keripik pisang biasanya dibuat dari pisang kepok (Musa paradisiaca L). Tingginya potensi produksi buah pisang tidak sebanding dengan potensi bobot kulit pisang yang dihasilkan. Bobot kulit pisang bisa mencapai 40 % dari buahnya, dengan demikian kulit pisang menghasilkan limbah dengan volume yang besar. Kulit pisang yang merupakan sisa produk industri keripik pisang ini masih memiliki banyak kandungan yang bermanfaat, salah satunya kandungan selulosa. Kandungan selulosa yang terdapat pada satu buah kulit pisang kepok mencapai 30-38 % (Bediako et al., 2019).
Yuliarni (2020) telah berhasil mengisolasi selulosa dari kulit pisang kepok dalam bentuk molekul nano dengan rendemen sebesar 65,11 %. Selanjutnya hasil analisis XRD menunjukkan nanoselulosa yang diperoleh adalah selulosa tipe I dengan derajat kristalinitas sebesar 46,58 % dan fase amorf 53,42 %.
Hasil ini belum optimum karena derajat kistalinitas dari nanoselulosa tersebut masih cukup tinggi, sedangkan reaksi katalisis akan lebih mudah terjadi pada bagian nanoselulosa yang memiliki struktur amorf karena ikatan kimia intramolekulnya akan lebih mudah diganggu.
Asam kuat dan enzim berperan untuk menurunkan kristalinitas selulosa sebanyak mungkin dan dikonversi ke fase selulosa amorf (Yu et al., 2008).
Pengaruh hidrolisis asam terhadap struktur kristalin selulosa telah dilakukan
oleh Rozmarin et al. (1977), di mana peningkatan konsentrasi asam
berpengaruh terhadap penurunan indeks kristalinitas secara cepat. Elisabeth (2018) telah mengisolasi nanoselulosa dengan menggunakan HNO3 50 % menghasilkan selulosa tipe I dengan derajat kristalinitas sebesar 40,63 %.
Gula alkohol tergolong ke dalam kelompok poliol dimana gugus karbonil (aldehid dan keton) pada gula direduksi menjadi gugus hidroksil primer atau sekunder. Gula alkohol memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan gula tetapi memiliki kandungan kalori yang rendah, tidak menyebabkan karies gigi (nonkariogenik), dan memiliki indeks glikemik serta respon insulin rendah (Park et al., 2016 dan Cichowska et al., 2019). Karena keunggulannya itulah pengembangan produksi gula alkohol sebagai
pengganti sukrosa maupun pemanis buatan lainnya menjadi sangat potensial untuk dilakukan. Gula alkohol dapat diproduksi dari hidrolisis selulosa menjadi glukosa dilanjutkan dengan hidrogenasi glukosa menjadi gula alkohol. Hal ini dikarenakan hidrolisis dari selulosa dapat menghasilkan komponen glukosa lebih dari 5.000 unit sehingga dapat dikonversi menjadi gula-gula alkohol (Dhepe and Fukuoka, 2008).
Proses konversi selulosa menjadi senyawa gula alkohol menggunakan katalis heterogen dengan radiasi sinar UV pada suhu ruang telah banyak
dikembangkan karena sifatnya yang sederhana, efisien, murah, dan menghasilkan limbah yang lebih sedikit. Zhang et al. (2016) melakukan konversi selulosa menjadi glukosa dan karbon dioksida yang disertai dengan produksi hidrogen menggunakan radiasi UV pada fotokatalis TiO2 dengan waktu kontak 6 jam pada suhu 20-40 °C. Glukosa yang dihasilkan
terdekomposisi menjadi H2 sebanyak 80-90 % dan CO2 sebanyak 70-80 %.
Penelitian lain menunjukkan konversi nanoselulosa menjadi gula alkohol menggunakan nanokatalis LaCrO3 yang diiradiasi sinar UV menghasilkan sebanyak 620 ppm glukosa, 260 ppm xylitol, 150 ppm manitol, dan 210 ppm sorbitol dengan waktu kontak 45 menit (Situmeang et al., 2019).
Penggunaan katalis heterogen berupa campuran logam yang diembankan pada suatu padatan pengemban (support) dapat membantu agar katalis dapat bakerja lebih reaktif dan selektif dibandingkan hanya logam yang bekerja sendiri. Impregnasi merupakan metode yang paling mudah dan paling umum digunakan untuk preparasi katalis heterogen. Tujuan dari metode ini adalah untuk mengisi pori-pori penyangga dengan larutan logam aktif melalui adsorpsi logam. Setelah diimpregnasi, langkah selanjutnya adalah
pengeringan dan pemanasan pada suhu tinggi (kalsinasi), sehingga terjadi dekomposisi prekursor menjadi spesi aktif. Sebagai contoh, impregnasi digunakan untuk membuat komposit TiO2-grafena yang diteliti untuk berbagai aplikasi, termasuk degradasi polutan organik, produksi H2 melalui pemisahan air, pengurangan CO2 untuk produksi bahan bakar surya, dan sebagainya (Lee and Han., 2012; Kim et al., 2012; Zhang et al., 2011).
Grafena oksida (GO) merupakan turunan dari grafena dengan berbagai gugus fungsional yang terikat pada permukaannya. Kehadiran gugus fungsional ini sangat berpengaruh terhadap sifat dan karakteristik GO, salah satunya yaitu memiliki tingkat kelarutan tinggi di dalam air. Proses sintesis GO dilakukan dengan mengoksidasi grafit. Beberapa metode yang dapat digunakan yaitu metode Brodie, Staudenmaier, Hummers-Offeman, dan Tour (Wang et al., 2013). Metode yang paling sering digunakan adalah metode Hummers- Offeman karena dikenal efisien dan menguntungkan.
Grafena oksida banyak digunakan dalam preparasi nanokomposit sebagai katalis. Kumaran et al. ( 2020) berhasil melakukan degradasi zat warna reaktif orange ME2RL menggunakan radiasi UV dan waktu kontak 24 menit dengan fotokatalis nanokomposit GO-TiO2. Katalis tersebut digunakan secara berulang dengan 5 kali pengulangan dan diperoleh efesiensinya berturut - turut yakni 99,6, 99,2, 98,8, 98,3 dan 98 %. Namun, sebagian besar penelitian ini berfokus pada pemuatan nanopartikel semikonduktor ke lembaran grafena oksida, desain rasional komposit fotokatalitik berbasis
grafena oksida dengan morfologi baru harus ditekankan, karena aktivitas fotokatalitik sangat bergantung pada morfologi dan struktur fotokatalis.
Nanomaterials struktur berongga (nano hollow) telah menarik minat khusus dalam beberapa tahun terakhir, karena sifat fisik dan kimia yang unik.
Secara khusus, luas permukaan yang tinggi dan permeabilitas yang baik dari nano hollow dapat meningkatkan situs aktif katalis. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Li et al. (2013) telah melaporkan preparasi bola nano hollow grafena oksida (NHGOSs) melalui teknik emulsi air-dalam-minyak (W/O).
NHGO banyak diminati karena dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang seperti nanoelektrik, sensor, nanokomposit, baterai, superkapasitor,
semikonduktor, dan elektroda transparan (Li and Bubeck, 2013).
Berdasarkan informasi tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan preparasi nanokatalis dengan memadukan lanthanum, krom, dan titanium untuk
memperoleh LaCr0,99Ti0,01O3 yang kemudian diembankan pada nano hollow grafena oksida (NHGO) sehingga dihasilkan nanokomposit
LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO. Struktur berongga pada grafena oksida yang diembankan pada nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO akan meningkatkan daya adsorpsi katalis dalam proses konversi nanoselulosa menjadi gula alkohol.
1.2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh grafena oksida dengan ukuran nano dan struktur hollow.
2. Memperoleh nanoselulosa dengan tingkat kristalinitas lebih rendah dari 40 %.
3. Memperoleh nanokatalis LaCr0,99Ti0,01O3 yang terdistribusi pada nano hollow grafena oksida (NHGO).
4. Memperoleh gula alkohol dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari penelitian sebelumnya sebagai hasil konversi nanoselulosa.
1.3. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan nilai ekonomis kulit pisang kepok yang banyak mengandung selulosa untuk diolah menjadi gula alkohol.
2. Memberikan informasi mengenai kemampuan nanokomposit
LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO pada proses konversi nanoselulosa kulit pisang.
3. Memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang fotokatalisis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Nanokatalis
Katalis secara umum didefinisikan sebagai zat yang dapat mempercepat suatu reaksi kimia tertentu. Katalis dapat menyediakan situs aktif yang befungsi untuk mempertemukan reaktan dan menyumbangkan energi sehingga molekul pereaktan mampu melewati energi aktivasi secara lebih mudah.
Suatu reaksi terkatalisis merupakan siklus peristiwa dimana katalis
berpartisipasi dalam reaksi dan kembali ke bentuk semula pada akhir siklus.
Aktivitas katalis biasanya dinyatakan dalam jumlah produk yang dihasilkan dari (jumlah) reaktan yang digunakan dalam waktu reaksi tertentu.
Aktivitas katalis sangat bergantung pada sifat kimia katalis, luas permukaan dan distribusi pori katalis. Secara umum, katalis dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Penggunaan katalis heterogen lebih disukai dibandingkan katalis homogen. Keunggulan
menggunakan katalis heterogen antara lain memiliki efisiensi yang tinggi, tidak korosif, dapat dipisahkan dari campuran reaksi, dan dapat digunakan secara berulang (Frenzer and Maier, 2006).
Katalis berbasis logam menjadi topik penelitian terkini, salah satunya penggunaan katalis logam untuk mensintesis gula alkohol melalui reaksi hidrolitik dan hidrogenasi selulosa (Kobayashi et al., 2011). Selain itu katalis yang berukuran nano (nanokatalis) juga banyak dikembangkan karena
keunggulannya dalam mengkatalisis suatu reaksi dengan lebih cepat daripada katalis berukuran mikro. Dua hal yang menyebabkan nanokatalis lebih efektif dibandingkan katalis dengan ukuran besar yaitu: (i) ukurannya yang sangat kecil (kurang dari 100 nm) menghasilkan perbandingan luas
permukaan per volume yang sangat besar. Ini membuat nanokatalis bersifat lebih reaktif. Reaktivitas material ditentukan oleh atom-atom di permukaan, karena hanya atom-atom tersebut yang bersentuhan langsung dengan material lain; (ii) ketika suatu material dibuat dalam ukuran nano, maka material tersebut akan memiliki sifat yang tidak dimiliki oleh ukuran makronya. Hal inilah yang mengakibatkan nanokatalis bersifat fleksibel dan efektif
(Chaturvedi et al., 2012).
2.2. Titanium
Titanium merupakan salah satu unsur logam transisi golongan IV B,
berbentuk padat yang berwarna putih keperakan. Titanium murni dapat larut dalam larutan asam pekat, misalnya pada larutan asam sulfat, tetapi tidak larut dalam air. Logam titanium sangat rapuh pada suhu rendah, tetapi dapat ditempa dan dibentuk ketika sedikit dipanaskan.
Material yang banyak mengandung titanium dan paling melimpah jumlahnya juga paling banyak dimanfaatkan oleh manusia adalah rutil dan anatase. Rutil (TiO2) dapat berfungsi sebagai fotokatalis karena mempunyai struktur
semikonduktor yaitu struktur elektronik yang dikarakterisasi oleh adanya pita valensi (valence band; vb) terisi dan pita konduksi (conduction band; cb) yang kosong. Kedua pita tersebut dipisahkan oleh energi celah pita (band gab energy; Eg) (Hoffman et al., 1995; Fujishima et al., 1999). Namun, TiO2
tipe anatas memiliki aktivitas fotokatalisis terbaik dibandingkan dengan struktur kristal rutil dan brookit.
TiO2 merupakan semikonduktor yang memiliki celah pita yang luas, energi celah pita rutil adalah 3,00 ev sedangkan energi celah pita anatas adalah 3,23 ev. TiO2 tipe anatas biasa digunakan dalam fotokatalis karena dapat menunjukkan aktivitas fotokatalik yang tinggi. Keterbatasan semikonduktor sebagai fotokatalis dapat diatasi dengan memodifikasi permukaan
semikonduktor dengan penambahan logam misalnya dengan penambahan perak ke permukaan TiO2 dapat meningkatkan aktivitas fotokatalis.
2.3. Senyawa Perovskit
Dalam dua dekade terakhir, oksida logam yang membentuk struktur perovskit dengan rumus umum ABO3 telah menjadi perhatian yang menarik. Hal ini dikarenakan senyawa tersebut mempunyai aplikasi komersil yang potensial sebagai katalis untuk dekomposisi NOx, sel elektroda bahan bakar, dan sensor deteksi gas. Senyawa ABO3 memiliki struktur yang sangat sederhana,
dimana struktur idealnya membentuk kubus dengan kation besar (A) dikelilingi oleh dua anion dan kation yang lebih kecil (B) dikelilingi oleh enam anion. Contoh struktur umum perovskit dapat dilihat pada Gambar 1.
Perovskit dapat diberikan dengan rumus umum A1A2B1B2O3 dimana A1
adalah yang terpilih diantara Lantanida (umumnya La, namun kadang-kadang Ce, Pr atau Nd) dan A2 adalah diantara logam alkali tanah (Ca, Ba, Sr) posisi B1 dan B2 ditempati oleh logam transisi (Co, Mn, Fe, Cr, Cu, V) atau logam mulia. A2 dan B2 berhubungan dengan subtitusi sebagian dari ion A1 dan B1.
Gambar 1. Struktur umum perovskit ABO3 (Liu et al., 2019).
Pada kenyataannya, struktur kubik perovskit jarang ditemukan karena mineral perovskit mengalami sedikit distorsi. Distorsi ini diakibatkan karena
elektron, lattice, dan spin saling mempengaruhi sehingga simetrinya berkurang berubah menjadi tetragonal, ortorombik, atau trigonal yang mempengaruhi sifat magnetik dan listriknya. Oksida jenis perovskit telah banyak dipelajari karena memiliki sifat-sifat yang menarik, yaitu sifat
magnetik dan dielektrik (Das et al., 2017), semikonduktor ionik (Perera et al., 2016), katalitik, dan feroelektrik (Moure and Peña, 2015). Karena sifat-sifat ini, perovskit dapat diterapkan secara luas untuk aplikasi industri. Selain itu, perovskit juga dapat disintesis dari larutan pada suhu yang relatif rendah.
Dalam proses fotokatalisis, struktur perovskit cocok digunakan sebagai katalis karena kemampuannya menyerap cahaya (Petrovic et al., 2015).
Metode preparasi perovskit dapat dilakukan dengan metode etilen glikol dengan prekursor garam oksalat, atau dengan metode karbonil dengan prekursor garam asetat, dan metode sitrat dengan prekursor garam nitrat (Irusta et al.,1998). Katalis oksida tipe perovskit dapat memberikan aktivitas katalitik yang baik untuk oksidasi CO dan reduksi NO (Deremince et al., 1995).
2.4.Metode Preparasi Katalis
Karakteristik katalis sangat dipengaruhi oleh setiap proses preparasi katalis yang dilakukan. Pemilihan metode preparasi katalis yang tepat dan sesuai akan memberikan karakteristik katalis yang diinginkan seperti mempunyai aktivitas, selektivitas dan stabilitas yang tinggi. Tujuan utama dari metode preparasi katalis adalah mendapatkan struktur definit, stabil, mempunyai luas permukaan yang tinggi dan situs aktif yang lebih terbuka. Beberapa tahapan metode preparasi katalis adalah sebagai berikut:
2.4.1. Metode Sol Gel
Metode sol gel dipilih karena memiliki banyak keunggulan seperti dispersi yang tinggi dari spesi aktif yang tersebar secara homogen pada permukaan katalis, tekstur porinya memberikan kemudahan difusi dari reaktan untuk masuk ke dalam situs aktif (Lecloux and Pirard, 1998), luas permukaan yang cukup tinggi, serta kemudahan memasukkan satu atau dua logam aktif sekaligus dalam prekursor katalis (Lambert and Gonzalez, 1998).
Skema pembuatan katalis menggunakan metode sol gel dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema metode sol gel (Parashar et al., 2020).
Preparasi katalis heterogen dengan proses sol-gel melibatkan tahapan pembentukan sol dan kemudian menjadi gel. Sol gel adalah suatu suspensi koloid dari partikel yang digelkan ke bentuk padatan. Sol adalah suspensi cair dari partikel padat dengan ukuran 1 nanometer – 1 mikron, dapat diperoleh dari hidrolisis dan kondensasi parsial prekursor seperti sebuah garam anorganik atau logam. Kondensasi lebih lanjut dari partikel sol menjadi jaringan tiga dimensi yang berbentuk gel, yang merupakan material fasa ganda dengan enkapsulat padat dan pelarut.
2.4.2. Pengeringan Beku (Freeze-Dry)
Pada proses sintesis katalis, molekul-molekul pelarut juga ikut terperangkap dalam pori-pori katalis. Oleh karena itu, pelarut harus dihilangkan dari zat padatnya sampai nilai kadar airnya rendah dengan cara pengeringan. Umumnya pengeringan dapat dilakukan dengan pemanasan pada temperatur 120 oC, namun pemanasan dapat
menyebabkan tidak meratanya warna katalis dan rusaknya situs aktif katalis sehingga aktivitas katalis tidak optimal. Peningkatan temperatur yang lebih tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan terhadap
pembentukan kisi kristal katalis dan luas permukaannya.
Pengeringan menggunakan alat freeze dryer lebih baik dibandingkan dengan oven karena kadar airnya lebih rendah sampai 1 % (Searles et al., 2001). Pengeringan menggunakan alat freeze dryer lebih aman terhadap resiko terjadinya degradasi senyawa dalam sampel. Hal ini mungkin dikarenakan penggunaan temperatur yang relatif rendah saat pengeringan dan lamanya proses pengeringan membuat sampel lebih stabil
dibandingkan dengan metode pengeringan yang lain.
Keunggulan pengeringan beku, dibandingkan metoda lainnya, antara lain adalah:
a. Dapat mempertahankan stabilitas produk (warna, dan unsur organoleptik lain).
b. Dapat mempertahankan stabilitas struktur bahan (perubahan bentuk setelah pengeringan sangat kecil).
c. Dapat meningkatkan daya rehidrasi (hasil pengeringan sangat berongga dan lipofil sehingga daya rehidrasi sangat tinggi dan dapat kembali ke sifat fisiologis, organoleptik dan bentuk fisik yang hampir sama dengan sebelum pengeringan).
Untuk proses pengeringan menggunakan freeze dryer, sampel yang akan dikeringkan terlebih dahulu dibekukan agar air yang terperangkap diubah menjadi kristal-kristal es. Selanjutnya pengeringan dilakukan
menggunakan tekanan rendah agar kandungan air yang sudah menjadi kristal-kristal es akan langsung tervakum dan terbuang menjadi uap (sublimasi).
2.4.3. Impregnasi
Impregnasi merupakan metode preparasi katalis dengan cara adsorpsi larutan garam prekursor ke dalam penyangga. Metode ini dapat dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu:
2.4.3.1.Impregnasi Kering
Apabila volume larutan senyawa awal logam katalis yang digunakan tidak melebihi volume pori penyanga. Pada metode ini larutan senyawa awal logam katalis disemprotkan pada penyangga secara terus-menerus disertai dengan pengadukan. Penetrasi senyawa awal logam katalis yang lebih dalam lagi ke bagian dalam pori dapat dicapai dengan mengeluarkan air yang terperangkap dalam pori, sehingga diperoleh distribusi logam prekursor yang lebih seragam dan merata.
2.4.3.2.Impregnasi Basah
Impregnasi basah dilakukan apabila larutan senyawa awal logam katalis yang digunakan melebihi volume pori penyangga. Campuran dibiarkan beberapa saat sambil terus diaduk, hingga semua pelarutnya habis dan kering. Teknik ini umumnya dipakai bila prekursor berinteraksi dengan penyangga tetapi hanya sebatas interaksi fisik saja (Ismunandar, 2006).
2.4.4. Kalsinasi
Proses kalsinasi adalah sebuah pemanasan pada zat padat di bawah titik lelehnya untuk menghasilkan keadaaan dekompoosisi termal yang
dilakukan secara bertahap dengan laju dan derajat kenaikan yang konstan.
Kalsinasi dibutuhkan pada zat padat seperti katalis untuk dapat mengubah ukuran kristal menjadi lebih kecil. Hal-hal yang terjadi pada proses kalsinasi yang digunakan dalam preparasi katalis yaitu sebagai berikut:
a. Dekomposisi komponen prekursor pada pembentukan spesi oksida.
Proses pertama terjadi pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) yang berlangsung pada suhu diantara 100 oC dan 300 oC.
b. Pelepasan gas CO2 berlangsung pada suhu sekitar 600 oC, akan terjadi pengurangan berat secara berarti dan terjadi reaksi antara oksida yang terbentuk dengan penyangga.
c. Sintering komponen prekursor. Pada proses ini struktur kristal sudah terbentuk namun ikatan di antara partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas (Pinna, 1998).
2.5.Tongkol Jagung
Tongkol jagung berasal dari hasil pertanian jagung dan disebut sebagai limbah lignoselulosik. Hal ini disebabkan oleh komposisi senyawa utama tongkol jagung yang terdiri dari selulosa (48,1 %), hemiselulosa (37,2 %), dan lignin (14,7 %) (Hao et al. 2013). Selulosa dan hemiselulosa merupakan senyawa organik yang terdiri dari atom karbon, hidrogen, dan oksigen.
Formula senyawa selulosa adalah (C6H10O5)n. Sementara, lignin merupakan salah satu jenis polimer alam yang mengandung karbon ~50 % lebih besar (per-unit massa) dibandingkan selulosa dengan formula (C31H34O11)n (Benner et al. 1987). Untuk mendapatkan unsur-unsur yang terkandung dalam
selulosa, hemiselulosa, dan lignin, maka ketiga senyawa tersebut harus terdegradasi terlebih dahulu. Suhu degradasi selulosa dan hemiselulosa
masing-masing berada pada suhu 280-350 oC dan 200-250 oC. Sementara, lignin pada suhu 300-400 oC (Hartanto dan Ratnawati 2018). Gambar limbah tongkol jagung dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tongkol jagung.
Hingga saat ini pemanfaatan tongkol jagung masih sangat terbatas dan memiliki nilai jual yang rendah. Jumlah tongkol jagung yang semakin meningkat dan tidak diimbangi dengan pemanfaatan yang optimum akan mengakibatkan permasalahan bagi lingkungan. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi tongkol jagung di Indonesia dengan menggunakannya sebagai pupuk, bahan baku karbon aktif, dan biohidrogen (Tsai et al., 2001). Secara garis besar, data komposisi elemen tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi elemen tongkol jagung (% massa).
Unsur Komposisi unsur (%)
Karbon (C) 46,8
Nitrogen (N) 0,9
Hidrogen (H) 6,0
Oksigen (O) 46,3
(Tsai et al., 2001)
Dari data pada Tabel 1, diketahui karbon merupakan salah satu unsur kimia yang paling banyak terkandung di dalam tongkol jagung. Material karbon merupakan bahan utama yang dibutuhkan untuk sintesis natural grafit.
Sehingga, limbah tongkol jagung berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku sintesis natural grafit.
2.6.Grafit
Grafit merupakan salah satu alotrop karbon dengan struktur kristalin yang sangat teratur. Atom karbon pada grafit saling terikat kuat secara kovalen dengan jenis hibridisasi atom karbon sp dan membentuk cincin heksagonal planar (Ko et al., 2020). Grafit tersusun atas lembaran-lembaran grafena dengan jarak antar lembarannya adalah 0,335 nm. Pada setiap lembaran, terdapat elektron dari orbital p atom karbon yang mengalami delokalisasi ke seluruh bagian lembaran. Hal ini memicu timbulnya gaya Van der Waals yang mengikat antar lembaran agar tetap terhubung (Sengupta et al., 2011).
Struktur lapisan grafit dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur lapisan grafit (Sengupta et al., 2011).
Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa grafit memiliki gugus karakteristik utama yaitu gugus alkena (C=C). Secara garis besar, grafit diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu grafit sintetik dan natural grafit. Grafit sintetik diperoleh dengan proses pemanasan karbon pada suhu tinggi yang menjadikan struktur karbon terkonversi menjadi struktur grafitik. Sementara, natural grafit dapat ditemukan secara alamiah di lingkungan atau disintesis dari bahan alami.
Ukuran partikel kristal pada natural grafit beragam tergantung pada jenis sumbernya. Umumnya, ukuran yang dimiliki natural grafit adalah micro- crystalline dan macro-crystalline (Wissler, 2006).
Kristalinitas dan kemurnian yang dimiliki oleh natural grafit lebih rendah dibandingkan grafit sintetik. Hal ini menjadikan sifat konduktivitasnya berada dalam tingkat sedang, sehingga jenis grafit ini tidak dapat digunakan pada bidang elekrokimia. Namun, natural grafit berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi material grafena oksida (GO), yang mana material ini sangat banyak diminati karena memiliki banyak kegunaan (Gao, 2012;
Wissler, 2006).
2.7.Metode Sintesis Natural Grafit
Terdapat beberapa metode konvensional untuk mengubah struktur karbon yang sebelumnya tidak teratur (amorf) menjadi grafitik karbon (memiliki struktur yang teratur) yaitu CVD (Chemical Vapor Deposition), direct graphitization, dan catalytic graphitization (Hoekstra et al., 2015).
Berdasarkan penelitian terdahulu, grafit disintesis dari limbah plastik (w-PET) dengan bantuan katalis Boron (Catalytic graphitization) lalu hasilnya
dibandingkan dengan hasil sintesis metode lain tanpa menggunakan katalis.
Hasil yang diperoleh menunjukkan dengan adanya katalis, limbah plastik berhasil terkonversi menjadi grafit dan memiliki tingkat kristalinitas yang tinggi (Ko et al., 2020). Oleh karena itu, pada penelitian ini dipilih metode catalytic graphitization untuk sintesis natural grafit.
Beberapa kelebihan dari metode catalytic graphitization yaitu proses sintesis dapat berlangsung secara mudah, biaya yang dibutuhkan rendah (ekonomis), dan dapat berlangsung pada suhu moderate atau relatif rendah.
Catalytic graphitization merupakan metode yang menggunakan katalis (logam transisi) untuk meningkatkan kristalinitas karbon hingga membentuk material grafit dengan melibatkan reaksi kimia antara karbon dan logam transisi
(sebagai katalis grafitisasi) (Oya and Marsh, 1982). Pada penelitian ini, logam transisi yang digunakan adalah Fe (Iron), berasal dari FeCl3.6H2O. Selain itu, prekursor karbon yang digunakan berasal dari hasil karbonisasi limbah
tongkol jagung. Reaksi dekomposisi FeCl3.6H2O menjadi Fe dapat dilihat pada persamaan 1- 5 (Xu et al., 2020).
FeCl3 + 2H2O FeOCl·H2O + 2HCl(g) FeOOH + 3HCl(g)…………(1) FeOOH Fe2O3 + H2O………..………....(2) Fe2O3 + C 4Fe3O4 + CO2………...……...(3) 2 Fe2O3+ 3C 4Fe + 3CO2……….………..………...(4) Fe3O4 + 2C 3Fe + 2CO2………..….……….(5)
2.8.Grafena Oksida
Grafena oksida (GO) atau asam grafitik merupakan senyawa campuran karbon, hidrogen, dan oksigen yang diperoleh melalui proses oksidasi yang kuat dari grafit. Grafena oksida merupakan turunan grafena yang memiliki karakteristik serupa dengan grafena, dengan struktur yang mirip pula.
Perbedaannya adalah grafena memiliki struktur planar, sedangkan grafena oksida memiliki lengkungan karena adanya gugus oksigen dalam bentuk karboksil dan karbonil. Perbedaan struktur grafena dan grafena oksida ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur a) grafena dan b) grafena oksida (McCoy et al., 2019).
Alotropi karbon ini ditemukan secara eksperimental tahun 2004 pada lapisan terluar dari karbon (Novoselov et al., 2004). Lapisan grafena oksida memiliki ketebalan sekitar 1,1 ± 0,2 nm (Schniepp et al., 2006). Karena ketipisannya ini, grafena oksida dijadikan salah satu contoh material berdimensi dua.
Grafena oksida biasanya disintesis dari grafit bukan dari karbon aktif dengan metode dasar seperti metode Brodie, Staudenmaier, Hummers-Offeman, dan Tour (Wang et al., 2013). Metode Staudenmaier dan Brodie menggunakan kalium klorat dan asam nitrat sebagai oksidatornya, sedangkan metode
Hummer-Offeman menggunakan kalium permanganat dan asam sulfat sebagai oksidatornya.
2.9.Sintsesis Grafena Oksida
Grafena oksida diperoleh dari reaksi grafit dengan oksidator kuat seperti HCl atau H2SO4. Grafena oksida memiliki kelarutan tinggi dalam air dan dihasilkan melalui proses ultrasonikasi. Proses ultrasonikasi menyebabkan terganggunya ikatan sp pada struktur grafit (Basu and Bhattacharrya, 2012). Sebagian lembaran grafit oksida memiliki atom karbon dengan ikatan tetrahedral sp3 yang berpindah posisi sedikit di atas atau di bawah bidang grafena, sedangkan pada kondisi ideal grafena hanya memiliki atom
a) b)
karbon dengan ikatan trigonal sp2. Hal ini disebabkan karena penyusunan ulang struktur dan keberadaan ikatan kovalen pada gugus fungsional.
Hummers and Offeman (1958) melakukan modifikasi metode sintesis dengan mereaksikan grafit dan HCl dengan NaNO3 dan KMnO4. KMnO4 merupakan oksidator kuat dan akan membentuk senyawa Mn2O7 dengan sifat lebih reaktif. Proses oksidasi pada grafit dimulai saat grafit bereaksi dengan oksidator pada temperatur dingin. Selama proses oksidasi akan terbentuk gugus fenol pada daerah tepi grafena oksida karena reaksi dengan KMnO4 dan H2SO4. Pada sisi lain gugus fenol akan berubah menjadi gugus eter karena kondensasi akibat proses oksidasi secara terus-menerus. Gugus fenol pada tepi yang lain akan teroksidasi dan berubah menjadi gugus keton. Gugus keton yang terbentuk akan berubah menjadi gugus karboksil dan karbonil.
Tahapan sintesis grafit oksida selanjutnya adalah proses ultrasonikasi menghasilkan grafena oksida. Mekanisme oksidasi grafit menjadi grafena oksida dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Mekanisme oksidasi grafit menjadi grafena oksida (Yu et al., 2020).
2.10. Karakterisasi Nanokatalis
Karakterisasi katalis ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai katalis yang dibuat yaitu sifat kimia dan sifat fisika. Pada karakterisasi kimia untuk mengetahui jumlah kandungan logam dalam katalis, ikatan kimia dan kristalinitas. Sedangkan karakterisasi fisika untuk mengetahui luas
permukaan, diameter pori, volume pori, kekerasan dan distribusi logam pada katalis.
2.10.1. Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Fourier Transform Infra Red (FTIR) spektroskopi adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan spektrum inframerah sampel. Spektroskopi IR bekerja pada bilangan gelombang 4.000-400 cm-1. Prinsip FTIR didasarkan pada interaksi energi dan materi. Radiasi sinar infra merah yang telah didispersikan oleh grating menembus sampel, kemudian direkam oleh detektor dan dicetak pada kertas rekorder. Gugus
fungsional dari sampel yang mengadsorpsi radiasi akan muncul sebagai puncak-puncak dalam daerah panjang gelombang tertentu.
Untuk nanokomposit LaCr0,99Ti0,01O3/NHGO yang dapat dideteksi pada spektrum FTIR adalah pita serapan pada bilangan gelombang ~1400 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur dari Ti-O-C (Huang et al., 2012).
Pita serapan di daerah 960-734 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi Ti-O (Kongsong et al., 2014). Vibrasi ulur dari Cr-O dan O-Cr-O berada pada bilangan gelombang 470-430 cm-1 (Coskun et al., 2019). Vibrasi bending La-O-La dan La-O-Cr pada bilangan gelombang sekitar ~772 cm-1 dan vibrasi stretching La-O-La pada bilangan gelombang sekitar ~620 cm-1 (Situmeang et al., 2019).
2.10.2. X-ray Difraction (XRD)
Dalam karakteristik katalis, pola difraksi terutama digunakan untuk mengidentifikasi fase kristalografi yang hadir dalam katalis. Teknik ini memberikan informasi tentang struktur, fase, orientasi kristal yang disukai (tekstur), dan parameter struktural lainnya, seperti ukuran butir rata-rata, kristalinitas, regangan, dan cacat kristal (Bunaciu et al., 2015). Gambar difraktogram untuk natural grafit dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Difraktogram natural grafit dari tongkol jagung (Mohanraj et al., 2019).
Pada gambar diatas ditunjukkan dengan jelas ada dua puncak lebar pada 21,8° dan 43,7° yang menandakan terbentuknya grafit mikrokristalin dengan struktur heksagonal. Gambar difraktogram untuk grafena oksida dan nano hollow grafena oksida dapat dilihat pada Gambar 8.
2𝜃 (degree)
Intensity (a.u)
Gambar 8. Difraktogram grafena oksida dan nano hollow grafena oksida (Li et al., 2013).
Perubahan struktural dari grafit alam menjadi nano grafena oksida diselidiki dengan pengukuran XRD, dan polanya ditunjukkan pada Gambar 8. Pola XRD dari grafit alam menunjukkan puncak karakteristik (002) dari grafit pada 26,52°. Setelah oksidasi, puncak (002) grafit menghilang dan puncak tambahan pada 11,56° diamati, yang sesuai dengan puncak difraksi (001) lembaran nano grafena oksida. Pola difraksi NHGO menunjukkan bahwa intensitas puncak difraksi (001) dari GO melemah dan puncak difraksi (002) sebagian terlihat kembali. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan GO mengalami penataan ulang selama proses emulsi (Li et al., 2013).
2.10.3. Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX)
Karakterisasi SEM-EDX digunakan untuk mengetahui morfologi dan komposisi permukaan katalis. Scanning electron microscope (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menghasilkan gambar sampel
2𝜃 (degree)
Intensity (a.u)
dengan cara memindai permukaan dengan berkas elektron energi tinggi.
Gambar yang dihasilkan akan menunjukkan topografi permukaan sampel.
Sementara untuk mengetahui komposisi permukaan katalis, SEM
diintegrasikan dengan EDX. Analisis SEM-EDX dapat dilakukan secara kualitatif dan semi kuantitatif untuk unsur-unsur mulai dari litium (Li) hingga uranium (U).
Analisis SEM-EDX diawali dengan memanfaatkan interaksi antara sumber elektron dengan sampel, sehingga menghasilkan emisi elektron atau foton.
Sampel akan ditembakkan dengan sinar elektron yang berenergi tinggi, kemudian terjadi interaksi antara elektron dengan sampel. Interaksi elektron dengan sampel akan direkam oleh detektor dengan menampilkan informasi berupa bentuk morfologi permukaan sampel sesuai perbesaran yang diinginkan pada layar pengamatan. Mikrograf yang dihasilkan dari analisis SEM memberikan beberapa informasi yang berkaitan dengan morfologi permukaan sampel, yakni ukuran butir, distribusi butir, dan porositas permukaan. Dengan menggunakan metode analisa SEM pengamatan akan menampilkan bentuk tiga dimensi pada butiran, selain itu kelebihan lainnya dari pengamatan SEM adalah menampilkan resolusi yang lebih besar dengan rentang pembesaran antara 10x hingga 20.000x (Chandra, 2019).
Selanjutnya proses analisis EDX dilakukan dengan menembakan sinar elektron pada posisi yang ingin diketahui komposisinya. Interaksi antar elektron dapat menyebabkan emisi dari sinar-X yang menampilkan puncak-puncak/grafik unsur-unsur yang terkandung pada sampel.
Kemudian perangkat lunak akan secara otomatis mengidentifikasi unsur- unsur tersebut dan dapat menganalisa secara kuantitatif berupa persentase kandungan masing-masing unsur dari sampel.
2.10.4. Analisis energi celah pita
Energi celah pita adalah perbedaan energi antara pita valensi bagian atas dengan pita konduksi bagian bawah. Elektron dapat berpindah dari satu pita ke pita yang lain. Saat elektron berpindah dari pita konduksi ke pita valensi maka akan membebaskan sejumlah energi. Sebaliknya, saat elektron berpindah dari pita valensi ke pita konduksi, dibutuhkan jumlah energi minimum yang disebut energi celah pita.
Pengukuran energi celah pita penting dalam industri semikonduktor dan nanomaterial. Energi celah pita dapat digunakan untuk memprediksi kekuatan dan stabilitas kompleks logam transisi, serta warna yang
dihasilkannya dalam larutan. Energi celah pita untuk isolator lebih besar dari 4 eV dan untuk semikonduktor lebih rendah dari 3 eV. Sifat energi celah pita semikonduktor dapat dikontrol dengan menggunakan paduan semikonduktor yang berbeda. Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk
menentukan energi celah pita, salah satunya adalah dengan diffuse reflectance spectroscopy (DRS). DRS adalah metode yang cocok, tidak merusak bahan, dan sederhana. DRS penting dalam analisis material nanokristalin dan gel yang berpori (Nowak et al., 2009).
2.11. Kulit Pisang
Kulit pisang kepok tersusun atas polimer seperti lignin, selulosa,
hemiselulosa, dan pektin (Klemm et al., 2006). Kandungan selulosa pada kulit pisang yang mencapai 30-38 % (Bediako et al., 2019) dapat
dimanfaatkan sehingga memiliki nilai ekonomis tinggi. Kandungan selulosa dari kulit pisang digunakan untuk adsorpsi zat warna procion (Hariani et al., 2016), dan senyawa fenol dalam kulit pisang memiliki sifat anti-oksidan dan anti mikrobia yang bermanfaat bagi kesehatan (Vu et al., 2018). Selain itu, kulit pisang juga dapat digunakan sebagai sumber selulosa untuk produksi
gula alkohol melalui metode fotokatalisis (Orozco et al., 2014). Selulosa dari kulit pisang kepok menghasilkan 210 ppm sorbitol, 260 ppm xylitol, dan 150 ppm manitol dengan waktu penyinaran sinar UV 45 menit (Situmeang et al., 2019).
2.12. Selulosa
Selulosa adalah senyawa organik yang memiliki rumus (C6H10O5)n, sebuah polisakarida yang tersusun atas ratusan hingga ribuan ß-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan ß-1,4-glikosidik. Selulosa memiliki struktur semi- kristalin yang tersusun atas daerah kristalin yang sangat teratur dan daerah amorf yang tak beraturan. Pada daerah kristalin, distabilkan oleh jaringan kompleks ikatan hidrogen intra- dan inter-molekuler. Struktur kimia selulosa ditunjukkan dalam Gambar 9.
Gambar 9. Struktur kimia selulosa (Salimi et al., 2019).
Selulosa dengan ukuran nano atau nanoselulosa merupakan material baru, memiliki ukuran diameter dalam nanometer (2–20 nm) (Helbert et al., 1996) yang mengalami perubahan, berupa peningkatan kristalinitas, luas
permukaan, peningkatan dispersi dan biodegradasi. Selain itu perubahan dari selulosa tersebut akan memudahkan dalam proses konversi nanoselulosa
menjadi gula alkohol. Gula alkohol dapat diproduksi dari penguraian selulosa menjadi glukosa dilanjutkan dengan hidrogenasi glukosa menjadi gula alkohol, seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Skema konversi katalitik selulosa menjadi gula alkohol (Fukuoka and Dhepe, 2006).
Konversi selulosa tergantung pada berbagai faktor seperti indeks kristalinitas (CrI), derajat polimerisasi (DP) dan fraksi reduksi gugus ujung (F) terkait dengan substrat (Zhang and Lynd, 2004). Namun CrI adalah faktor utama, karena jika selulosa memiliki struktur kristal yang sempurna sangat sulit untuk katalis berinteraksi dengan situs dalam dari kristal. Akibat kekakuan pada struktur inilah yang membuat selulosa kristalin sulit untuk didegradasi.
Hal ini menunjukan bahwa bentuk amorf selulosa lebih rentan terhadap hidrolisis daripada bentuk kristalinnya (Dhepe and Fukuoka, 2008).
Proses preparasi nanoselulosa digambarkan pada Gambar 11 terdiri dari dua tahap yaitu perlakuan awal menggunakan bahan kimia dan ultrasonikasi.
Gambar 11. Skema preparasi nanoselulosa (Chen et al.,2011).
Pemurnian serat untuk menghasilkan selulosa pada tahap perlakuan awal dengan bahan kimia dilakukan menggunakan metode yang umum, seperti pemisahan dari hemiselulosa, residu pati, dan pektin menggunakan basa, seperti KOH atau NaOH serta penghilangan lignin dan penghilangan warna (bleaching) dengan natrium klorit pada suasana asam, dan dilanjutkan dengan pencucian menggunakan akuades sampai didapatkan selulosa dengan pH netral. Kemudian dilanjutkan dengan proses hidrolisis menggunakan asam kuat yang bertujuan untuk mempermudah proses penguraian bagian amorf dan mengurangi ikatan serat selulosa (Costa et al., 2015). Keaktifan asam pekat untuk menghidrolisis selulosa berbeda-beda. Asam oksalat memiliki keaktifan yang tinggi. Asam nitrat, asam sulfat, dan asam klorida merupakan golongan asam yang aktif, sedangkan asam organik merupakan asam yang tidak aktif. Asam sulfat pekat (75 %) akan menyebabkan selulosa
membentuk gelatin, asam nitrat pekat akan menyebabkan selulosa membentuk ester, sedangkan asam fosfat pada temperatur rendah hanya menyebabkan sedikit pengaruh pada selulosa (Solechudin dan Wibisono, 2002).
Selanjutnya pada tahap ultrasonikasi, energi ultrasonik dilewatkan pada cincin selulosa melalui getaran pada air. Energi yang dihasilkan dari proses sonokimia ini berkisar 10-100 kJ/mol atau setara dengan energi ikatan
hidrogen. Proses ultrasonikasi memberikan perubahan pada ukuran dan tingkat kristalinitas selulosa sehingga menjadi berukuran nano dan tingkat kristalinitasnya menurun (Khawas and Deka, 2016).
2.13. Gula Alkohol
Gula alkohol adalah karbohirat nonsiklik terhidrogenasi yang dapat diperoleh ketika aldehid atau keton dalam gula direduksi menjadi gugus hidroksil.
Karakteristik gula alkohol diantaranya adalah memiliki kisaran tingkat kemanisan yang luas, memberikan efek dingin karena nilai panas
pelarutannya negatif, non-kariogenik karena tidak meningkatkan keasaman atau menurunkan pH mulut setelah penelanan makanan, dan tingkat kalori lebih rendah dibandingkan sukrosa. Beberapa jenis gula alkohol yang sering digunakan adalah manitol, xylitol dan sorbitol yaitu monosakarida turunan mannosa, xylosa, dan glukosa (Rice et al., 2019; Zhang et al., 2020).
2.13.1. Manitol
manitol sebesar 1,6 kkal/g, titik didih 295 oC (3,5 torr) dan titik leleh 165 – 169 oC (7,6 torr). Manitol tidak bersifat sebagai pereduksi sebab tidak memiliki gugus aldehid bebas. Secara alami manitol terdapat pada nanas, asparagus, ubi jalar, wortel dan alga coklat. Gula ini sering digunakan sebagai pemanis dalam makanan diabetes karena kurang diserap dalam usus (Awuchi, 2017). Struktur manitol ditunjukkan pada Gambar 12.
Manitol adalah gula alkohol yang memiliki enam karbon dengan rumus kimia C6H14O6, berat molekulnya 182,17 g/mol dan memiliki kelarutan lebih kecil dibandingkan dengan sorbitol yaitu 22 g manitol di dalam 100 mL air (25 ºC). Manitol memiliki tingkat kemanisan 0,5 sampai dengan 0,7 kali tingkat kemanisan sukrosa. Sedangkan nilai kalori yang dimiliki
O
H OH
OH OH
OH OH
Gambar 12. Struktur manitol.
2.13.2. Xylitol
O OH H
OH
OH OH
Gambar 13. Struktur xylitol.
Xylitol adalah gula alkohol yang memiliki rumus kimia C5H12O5 dengan berat molekul 152,15 g/mol dan kelarutan xylitol 169 g dalam 100 mL air (20 ºC), serta memiliki pH 5-7 di dalam air. Xylitol memiliki tingkat kemanisan yang sama dengan sukrosa, poliol dengan tingkat kemanisan paling tinggi. Karena karakteristiknya, xylitol digunakan sebagai pemanis dalam perusahaan permen nonkariogenik (permen karet, kembang gula, coklat), dalam preparasi di bidang farmasi (tablet, tablet hisap
tenggorokan, tablet multivitamin, sirup obat batuk), dan dalam kosmetik (pasta gigi dan cairan pencuci mulut). Karena xylitol menghambat
pertumbuhan dan aktivitas fermentasi yeast, xylitol tidak cocok digunakan sebagai pemanis untuk produk yang menggunakan yeast sebagai ragi.
Xylitol dapat diproduksi dari xylosa yang dapat diperoleh dari biomasa lignoselulosa (Park et al., 2016). Struktur xylitol ditunjukkan dalam Gambar 13.
2.13.3. Sorbitol
Sorbitol adalah gula alkohol alami dengan rumus molekul (C6H14O6) tidak berbau, nonkarsinogenik, bubuk kristalin berwarna putih, dengan berat molekul 182,17 g/mol, tingkat kemanisannya sekitar 60 % dari sukrosa, dan kelarutannya 2350 g/L. Sorbitol banyak digunakan sebagai pengganti gula karena bahan dasarnya mudah diperoleh dan murah. Selain itu karena sifatnya yang tidak reaktif dan tidak hidroskopis, sorbitol digunakan untuk eksipien pada produksi tablet kunyah dan granulasi serbuk. Sorbitol dapat diproduksi dari glukosa atau sukrosa dengan cara hidrogenasi katalitik menggunakan gas hidrogen dan katalis Ni pada suhu dan tekanan tinggi (Kusserow et al., 2003). Sorbitol juga dapat diproduksi dengan cara reduksi dekstrosa pada kondisi alkali (Barbieri et al., 2014). Struktur sorbitol dapat dilihat pada Gambar 14.
O
H OH
OH OH
OH OH
Gambar 14. Struktur sorbitol.
2.14. Reaksi Fotokatalitik
Reaksi fotokatalitik adalah reaksi yang berlangsung karena pengaruh cahaya dan katalis secara bersama-sama. Katalis ini mempercepat fotoreaksi melalui interaksinya dengan subtrat baik dalam keadaan dasar maupun keadaan tereksitasinya, atau fotoproduk utamanya, yang bergantung pada mekanisme fotoreaksi tersebut. Secara umum, fotokatalitik terbagi menjadi dua jenis, yaitu fotokatalik homogen dan fotokatalitk heterogen. Fotokatalitik homogen
adalah reaksi fotokatalitik dengan bantuan oksidator seperti ozon dan hidrogen peroksida, sedangkan fotokatalitik heterogen merupakan teknologi yang didasarkan pada irradiasi sinar UV pada semikonduktor.
Semikonduktor adalah bahan yang memiliki konduktivitas listrik diantara konduktor dan isolator. Pada semikonduktor, terdapat pita energi yang memperbolehkan keberadaan elektron, yaitu pita valensi berenergi rendah yang terisi penuh oleh elektron dan pita konduksi yang berenergi tinggi yang kosong. Celah energi yang memisahkan dikedua pita tersebut biasanya disebut dengan band gap (Eg). Salah satu karakteristik penting
semikonduktor adalah memiliki celah energi yang relatif kecil yaitu berkisar antara 0,2-2,5 eV. Energi celah pita yang kecil ini memungkinkan suatu elektron memasuki level energi yang lebih tinggi. Perpindahan elektron ini dapat terjadi karena pengaruh suhu dan penyinaran (Malvino, 1989).
2.15. Analisis Konversi Nanoselulosa
2.15.1. Metode DNS
Penentuan gula pereduksi umumnya dilakukan dengan metode 3,5-asam dinitrosalisilat (DNS). Metode ini mendeteksi adanya gugus karbonil bebas dari gula pereduksi. DNS adalah senyawa aromatik yang bereaksi dengan gula pereduksi dan molekul pereduksi lainnya. DNS sebagai zat pengoksidasi akan mengalami reduksi pada gugus nitro menjadi gugus amina menghasilkan senyawa asam 2-hidroksi-3-amino-5-nitrosalisilat seperti ditunjukkan pada persamaan 6 (Miller, 1959), sedangkan glukosa akan teroksidasi menjadi asam glukonat (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Konsentrasi gula pereduksi ditentukan dengan spektroforometri pada panjang gelombang 540 nm (Keharom et.al., 2016).
……….(6)
2.15.2. High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
HPLC merupakan suatu teknik pemisahan untuk mengidentifikasi dan menentukan komponen dari suatu campuran. Pemisahannya didasarkan pada pola pergerakan antara fase gerak dan fasa diam (kolom). Kolom HPLC memperbolehkan partikel dengan ukuran yang sangat kecil dengan luas permukaan yang lebih besar sehingga interaksi akan semakin besar. Hal ini akan menyebabkan keseimbangan antar fase menjadi lebih baik dan efisien.
Prinsip HPLC yaitu pemisahan terjadi di dalam kolom dengan adanya interaksi antara analit dengan fase diam. Analit yang interaksinya kurang kuat dengan fase diam akan keluar terlebih dahulu dari kolom. Kemudian setiap komponen yang keluar dari kolom akan direkam berupa kromatogram.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2022 – Juli 2022, bertempat di Laboratorium Kimia Anorganik-Fisik Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung. Proses freeze-dry, kalsinasi, dan analisis SEM-EDX dilakukan di UPT Laboratorium Terpadu dan Sentra Inovasi Teknologi (LTSIT) Universitas Lampung. Analisis XRD dilakukan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Analisis energi celah pita dengan DRS dilakukan di Laboratorium UI-Chem, Universitas Indonesia. Uji konversi selulosa dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik/Fisik FMIPA Unila, dan kadar gula alkohol dianalisis dengan HPLC di PT. SIG, Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: satu set alat refluks, neraca analitik (Ainsworth AA-160 Denver Instrument Company™), centrifuge (17250-10-Centrifuge Cole Parmer™), botol semprot, spatula, kaca arloji, piprt tetes, pH meter (MetroHM™ 827), tabung sentrifugasi (15 mL), alumunium foil, hot plate stirrer (CB162 Stuart™) dan stir bar, tabung reaksi, rak tabung reaksi, oven (Innotech), kertas saring Whattman No. 42, alat freeze dryer, furnace, desikator, lampu UV, reaktor katalitik, termometer, botol dan selang infuse, corong gelas, labu Erlenmeyer (250 mL), gelas kimia (100 mL), gelas ukur (10 mL - 500 mL), labu ukur (25 mL - 1000 mL), mortar dan alu, spektrofotometer FTIR, difraktometer sinar-X (XRD), SEM- EDX, HPLC, spektrofotometer DRS, serta ultrasonik (D68H).