• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan kadar serum ferritin dengan kadar HbA1c pada DM tipe 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan kadar serum ferritin dengan kadar HbA1c pada DM tipe 2"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1. Definisi dan klasifikasi

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

yang ditandai dengan hiperglikemia akibat defek pada sekresi insulin oleh

sel beta pankreas, resistensi insulin di hati dan di jaringan perifer, atau

keduanya. 1,2,3,15,16,17,18 Hiperglikemia kronik pada diabetes berkaitan

dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa

organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.

Tabel 2.1. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus.

3,15

Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus

6

i. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, biasanya menyebabkan defisiensi

insulin absolut)

a. Diperantarai mekanisme imunologis

b. Idiopatik

ii. Diabetes tipe 2 (mulai dari predominan resistensi insulin dengan

defisiensi insulin relatif atau predominan defek pada sekresi insulin

dengan resistensi insulin.

iii. Diabetes tipe lain

a. Defek genetik dari fungsi sel beta yang ditandai dari adanya

mutasi:

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit pada kelenjar eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi oleh obat-obatan ataupun bahan kimia

f. Infeksi

(2)

obat

h. Sindroma genetik lain yang terkadang berkaitan dengan

diabetes

iv. Diabetes gestasional

Sumber : Powers AC. Diabetes mellitus. Dalam : Longo DL, Kasper DL,

Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Ed. Harrison’s principles

of internal medicine. The McGraw-Hill Companies, United States. 2012 ;

344, p 2968-3003.

2.1.2. Epidemiologi1, 15

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya

kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe2 di

berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah

penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang.

WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4

juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada

dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun

2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan

angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan

jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Laporan

dari hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada

dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe2 antara 0,8%

di Tanah Toraja, sampai 6,1%. yang didapatkan di Manado. Hasil

(3)

prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh,pada penelitian di Jakarta

(daerah urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi

5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun 2001.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,

diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak

133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban

dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003

terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5

juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan

penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta

penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi

DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12

juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh

Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah

urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi

terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi

Maluku Utara dan Kalimanatan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan

prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di

(4)

2.1.3. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan

darah plasma vena. 19 Sampel darah vena dan kapiler memberikan hasil

kadar gula darah yang sama pada keadaan puasa namun pada keadaan

tidak puasa, hasil pemeriksaan gula darah kapiler memberikan hasil yang

lebih tinggi dibandingkan darah vena.20 Pemeriksaan gula darah harus

segera dilakukan beberapa menit setelah sampel diambil. Jika tidak bisa

dilakukan sedemikian, maka diperlukan inhibitor glikolitik, yaitu NaF dan

ditempatkan dalam air es. Pemisahan plasma harus segera dilakukan

dalam 30 menit.20

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.

Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik

DM seperti di bawah ini:1

• Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

• Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,

mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae

(5)

Tabel 2.2 Kriteria Diagnosis DM19

Pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi

tidak ada asupan kalori minimal 8 jam

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma > 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi

Glukosa Oral (TTOG) dengan beban 75 gram dalam 250 cc air.

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl dengan keluhan klasik

Atau

Pemeriksaan HbA1c > 6.5%

Catatan: Harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil

pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti : anemia,

hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir,

kondisi-kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal

maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.

19

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau

kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi :

toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu

(GDPT). 19

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : hasil pemeriksaan

glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan

(6)

• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Hasil pemeriksaan glukosa

plasma 2 jam setelah TTGO antara 140 – 199 mg/dl dan glukosa

plasma < 100 mg/dl

• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7 – 6,4 %.19

Tabel 2.3. Kadar Tes Laboratorium Darah Untuk Diagnosis Diabetes dan

Prediabetes

HbA1c (%) Glukosa Darah

Puasa (mg/dl)

Glukosa Plasma

2 Jam setelah

TTGO ( mg/dl)

Diabetes >6.5 > 126 mg/dl > 200 mg/dl

Prediabetes 5,6 – 6,4 100 – 125 140 – 199

(7)

Secara umum, alur diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa

dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Langkah-langkah diagnostik DM dan

gangguan toleransi glukosa.

Sumber: konsensus pengendalian dan pencegahan diabetes mellitus

tipe2 di Indonesia (PERKENI, 2011.) 1

2.1.4. Patofisiologi DM

Pada DM tipe 2, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh

dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin)

dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin),

disertai faktor lingkungan.19, 20,21

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan

pada dinamika sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan. Defisiensi

(8)

keseimbangan glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia

akut paska puasa, yakni peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30

menit) setelah diberi beban glukosa. 19, 20,21

Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progresif dan

cenderung melibatkan gangguan metabolime lemak ataupun protein.

Peningkatan kadar glukosa darah oleh utilisasi yang tidak berlangsung

sempurna pada gilirannya secara klinis sering memunculkan abormalitas

lipid darah. Untuk mendapatkan kadar glukosa normal dalam darah, maka

sel beta akan semakin terangsang untuk meningkatkan eksresi insulin. 19,

20,21

Pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan. Pada tahap

dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan toleransi

glukosa terganggu atau prediabetic state. 19, 20,21

Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan

atau konversi toleransi glukosa terganggu menjadi DM tipe 2. Pada saat

tersebut faktor resistensi insulin mulai dominan sebagai penyebab

hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Kerusakan yang

terjadi terutama mikrovaskular, sedangkan kerusakan makrovaskular telah

muncul semenjak prediabetes. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin

dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun

post prandial. 19, 20,21

Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini

(9)

dan sel beta, organ lain seperti jaringan lemak, gastrointestinal, sel alpha

pankreas, ginjal, dan otak, kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan

terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. 19, 20,21

De Fronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya

otot, liver dan sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam

patogenesis penderita DM tipe 2 tetapi terdapat organ lain yang berperan

yang disebutnya sebagai the omonius octet (gambar 2.2).22

Gambar 2.2. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam

(10)

2.1.5. Penatalaksanaan dan evaluasi DM

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan jangka pendek:

menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,

dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang:

mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya

morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan

profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan

mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.1, 3,15

Monitoring pengobatan DM adalah dengan melakukan beberapa

pemeriksaan, diantaranya :21, 9

2.1.5.1 Pemeriksaan glukosa darah

Tujuan : mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai dan

mengetahui penyesuaian dosis obat bila sasaran belum tercapai.

2.1.5.2 Pemeriksaan HbA1c

2.1.5.2.1 Struktur

Hemoglobin (Hb) terdiri dari dua pasang rantai globin yang

masinng-masing mengikat heme. Total hemoglobin terdiri dari 97% HbA

dan HbA1c merupakan bentuk yang irreversible saat glukosa berikatan

dengan hemoglobin.23 Hemoglobin glikosilat atau HbA1 terdiri dari 3 fraksi

(11)

terpenting dan terbanyak yaitu 4-5% dari hemoglobin total.24 HbA1c inilah

yang merupakan ikatan antara glukosa dengan hemoglobin sedangkan

fraksi yang lain merupakan ikatan antara hemoglobin dengan heksosa

yang lain.25

Gambar 2.3. Glycated Hemoglobin26

Pada 60 tahunan yang lalu, Allen mendapatkan bahwa HbA terdiri

tiga komponen minor : HbA1a, HbA1b dan HbA1C atau A1c. Jumlah 1c

mengambarkan Hb yang terdeteksi dengan kromatografi. A1c merupakan

produk glikasi dari hemgloglobin rantai beta pada residu terminal valin.23,27

Pengikatan ini terjadi dalam 2 tahap. Pada tahap pertama terjadi ikatan

kovalen aldimin berupa basa Schiff yang bersifat labil. Tahap kedua terjadi

penyusunan kembali secara Amadori menjadi bentuk ketamin yang

stabil.25,28

Dari percobaan diketahui bahwa bentuk labil sudah naik dalam

jangka waktu 2 jam setelah pemberian 100 gram glukosa per oral. Apabila

kadar glukosa kembali ke rentang normal maka ikatan labil ini akan terurai

kembali. Bentuk stabil akan meningkat bila kadar glukosa melampaui

(12)

diperhitungkan bahwa kira-kira 28% dari HbA1c yang stabil mencerminkan

keadaan kadar glukosa darah selama 2 minggu terakhir, kira-kira 50% dan

86% mencerminkan keadaan 1 dan 2 bulan yang baru lewat.25

2.1.5.2.2. Sejarah HbA1c

HbA1c pertama kali dipisahkan oleh Huisman dan Meyring pada

tahun 1958 dan diidentifikasi sebagai glikoprotein oleh Bockhin dan gallop

pada tahun 1968. Namun HbA1c dikenali sebagai hemoglobin yang tidak

biasa pada pasien diabetes ilmuwan Irak “Samuel Rahbar” pada tahun

1969 yang menetapkan kejadian diabetes berhubungan dengan kenaikan

kadar HbA1c.23

2.1.5.2.3. Kegunaan HbA1c

Kegunaan HbA1c sebagai kontrol kadar gula darah pada pasien

diabetes pertama kali diajukan oleh Cerami dan Koening pada tahun

1976. Setelah beberapa kali kajian klinis pada tahun 1980-an, HbA1c

menjadi indeks yang lebih baik pada percobaan pengendalian diabetes.

Perubahan penting terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an, dimana

disarankannya dua metode untuk kontrol gula darah, yaitu :

self-monitoring of blood glucose (SMBG) dan pemeriksaan HbA1c. SMBG berperan dalam kontrol gula darah dalam jangka pendek sedangkan

HbA1c untuk jangka panjang.23Setelah pengolahan dan penelitian oleh

(13)

Prospective Diabetes Study), HbA1c menjadi bagian untuk monitoring

kontrol glikemik pada DM.24 ADA merekomendasikan kadar HbA1c < 7%

menjadi target pengendalian kadar gula darah.24 Mengenai penggunaan

uji ini secara rutin berbagai pedoman yang dikeluarkan oleh WHO, ADA,

EASD (European Association For The Study of Diabetes), dan IDF (

International Diabetes Federation) menganjurkan untuk memeriksanya

setiap 3 bulan dan sekurangnya 2x dalam setahun pada pemantauan

penderita diabetes mellitus.24,25

Kadar HbA1c mempunyai korelasi yang baik dengan kadar glukosa

darah rata-rata baik puasa, harian maupun puncaknya selama 12 minggu

yang telah lewat; tidak ada perbedaan antara yang tergantung insulin dan

yang tidak tergantung insulin, juga tidak dipengaruhi perbedaan jenis

kelamin. Berdasarkan penelitian A1c-AG interim, dibuktikan bahwa kadar

HbA1c berkorelasi kuat dengan kadar glukosa rerata sehingga

memungkinkan pasien diabetes mengetahui rerata kadar glukosa

darahnya selama 3 bulan sebelumnya.25

Banyak studi epidemiologis dan klinis yang berskala luas dengan

banyak pasien dan mengikutsertakan banyak pusat penelitian telah

membuktikan manfaat menggunakan pengukuran kadar HbA1c dalam

penatalaksanaan pasien diabetes mellitus. Penelitian Diabetes and

Complications Trial (DCCT) dan Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications (EDIC) pada penderita diabetes tipe 1 dan juga

(14)

(UKPDS) pada penderita diabetes mellitus tipe 2, yang membuktikan

bahwa pengukuran kadar HbA1C disertai dengan pemantauan kadar

glukosa darah mandiri oleh pasien, mununjukkan turunnya kadari HbA1c

juga menurunkan penyulit baik makrovaskular maupun mikrovaskular

secara bermakna. Tiap peningkatan kadar HbA1c 1% , akan

meningkatkan resiko infark miokard sebanyak 14% dan kematian sebesar

28%.25

2.1.5.2.4. Keunggulan dan Keterbatasan Pemeriksaan HbA1c

Keunggulan dari HbA1c adalah lebih menyenangkan bagi pasien

karena tidak perlu puasa, kestabilan pra-analitik yang lebih tinggi dan

kurangnya fluktuasi. Sedangkan keterbatasan HbA1c untuk penapisan

adalah bias metode, keadaan medis tertentu seperti anemia,

hemoglobinopati, hipertrigliserida, konsumsi vitamin E dan C, dan

sebagainya.25,29 Berikut adalah tabel mengenai faktor-faktor yang

(15)

Tabel 2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi HbA1c28

2.1.5.2.5. Pre Analitik Pemeriksaan HbA1c

Sampel darah dapat diambil melalui vena pungsi atau melalui

kapiler (fingerprick capillary sampling). Tabung darah yang digunakan

harus berisi antikoagulan sebagaimana manufaktur dari metode

pemeriksan Hba1c. Kestabilan sampel tergantung dari metode yang

dipakai. Secara umum, whole blood dapat stabil sampai 7 hari pada suhu 2-8°C. Untuk penyimpanan yang lebih lama, sampel disimpan pada suhu

(16)

2.1.5.2.5. Analitik Pemeriksaan HbA1c

Sampai saat ini analisis HbA1c masih belum seragam sehingga

menyulitkan penafsiran terutama bila pasien diperiksa di laboratorium

yang berbeda dengan metode analisa yang berbeda. Pengukuran kadar

hemoglobin glikat mulai diperkenalkan pada tahun 1970-an. Semula

dinamakan henoglobin glikosilat tetapi kemudian diperbaiki menjadi

hemoglobin glikat. Saat itu yang diukur kebanyakan adalah HbA1 total.

Kelemahannya adalah ikut terukurnya HbA1c bentuk labil sehingga

dipengaruhi oleh makan dan karenanya disyaratkan pengambilan sampel

darah dalam keadaan puasa. Kemudian bahwa penambahan larutan

dapar borat dapat memecah kembali bentuk labil tersebut sehingga yang

diukur hanya bentuk stabil yang bermakna untuk mengetahui status

glikemik pasien. Karena itu setelah sekitar tahun 1986 semuat kit sudah

menggunakan dapar borat dan dapat mengukur HbA1c bentuk stabil serta

tidak perlu puasa pada pengambilan sampel darah. 29

Berdasarkan suatu penelitian di Amerika Serikat tahun 1994 oleh

Weykamp CW dkk pada 108 laboratorium, terdapat 21 metode yang

dikelompokkan dalam 5 kelompok metode pemeriksaan HbGlikat (GHb),

yaitu metode Affinity chromatographic (Pierce test, Modified Pierce Test, Isolab Test, Helena Test, Abbot Vision Test, Abbot Imx1 Test, Abbot Imx, Glib Test), Metode High-performance Liquid Chromatography (HPLC) (Bio-Rad Diamat Test, Bio-Rad Modular Test, Bio Rad Coloumn,

(17)

Atmospheric pressure ion-exchange chromatography with disposable

coloumns (Bio-Rad HbA1c test as disposable ion-exchange coloumns),

metode elektroforesis (Beckman Test, Corning Test, Sebia Test) dan

metode imunokimiawi (Bayer DCA 2000 tes, Boehringer Hemoglobin

A1’Tina-quant test, DAKO Novoclone Test)

Tabel 2.5. Metode Pemeriksaan HbA1c. 29

Metode pemeriksaan Prinsip Keterbatasan Keuntungan

Ion-exchange

Ikatan boronat Glukosa berikatan dengan

asam

m-aminophenilboronic

Pengukuran bukan

hanya pada N-terminal

valin pada rantai β, tapi juga pada rantai β di sisi

yang lain dan pada rantai

α yang terglikasi

hanya sedikit

dipengaruhi oleh

hemoglobinopati

Immunoasssay Antibodi berikatan ke

gluksa dan dantara 4 dan

10 N-terminal asam

2.1.5.2.7. Standardisasi dan Harmonisasi

Mengenai pentingnya kalibrasi telah ditunjukkan oleh Weykamp

CW dkk. Pada tahun 1994 telah dilakukan suatu penelitian terhadap

pengukuran kadar hemoglobin glikat (Gb) oleh 108 laboratorium, yang

menggunakan 21 metode berbeda berdasarkan 5 prinsip berbeda.

Sebagai juri diambil 9 laboratorium yang memeriksa HbA1c menggunakan

(18)

Kalibrasi 3 tingkat kadar telah memperbaiki variasi intralaboratorium

dengan rerata dari 6,6% menjadi 3,5%. Untuk sampel dengan kadar

hemoglobin glikat rendah (5,5%) dan tinggi (14,1%) maka kalibrasi telah

menurunkan variasi antar laboratorium masing-masing (dari 10% menjadi

4% dan 6% menjadi 3%), variasi antarmode (dari 18% menjadi 4% dan

dari 16% menjadi 3%), dan variasi antar laboratorium keseluruhan (dari

25% menjadi 7% dan dari 15% menjadi 4%). Tanpa kalibrasi terdapat

71% dari laboratorium peserta yang tidak mencapai CV antar laboratorium

yang diinginkan yaitu 3,5. Dengan kalibrasi angka tersebut turun menjadi

39%. Disimpulkan bahwa kalibrasi akan menurunkan variasi hemoglobin

glikat tanpa memandang metode pengukuran yang dipergunakan.25

Ketidak seragaman metode pengukuran HbA1c tersebut

menyulitkan penafsiran terutama bila pasien diperiksa di laboratorium

yang berbeda dengan metode analisis yang berbeda dan di Eropa oleh

International Federation of Clinical Chemistry & Laboratory Medicine

(IFCC LM). Pada tahun 1995, IFCC membentuk kelompok kerja (Working

Group : IFCC WG-HbA1c) untuk mencapai standardisasi internasional

pengukuran HbA1c. Setelah bekarja selama beberapa tahun IFCC telah

mengembangkan suatu metode baru untuk mengukur kadar HbA1c

dengan lebih tepat dengan menggunakan suatu fragmen sinteti (

(19)

Suatu studi retrospeksti pola glukosa darah kapiler tujuh titik yang

diperoleh pada studi DCCT mendapatkan hubungan linear antara HbA1c

dan glukosa darah rerata (Mean Bloof Glucose =MBG). Dari studi oleh

Rohlfing dkk didapatkan hubungan : MBG = 1.84 x IFCC-HbA1c.

Perbandingan dari sampel darah kumpulan telah menunjukkan hubungan

linear antara hasil HbA1c diukur dengan metode rujukan IFCC dan skema

standardisasi yang dilakukan Amerika Serikat, Jepang, dan Swedia.

Sebagai contoh persamaan regresi yang dihitung untuk NGSP

mendapatkan NGSP-HbA1c = 0,915 (IFCC-Hba1c) x 2.15%, yang

memberikan kaitan numerik antara kedua metode. Namun perlu dicatat

bahwa hasil HbA1c yang didapat dengan cara IFCC lebih rendah

bermakna 1,3%-1,9% (sepanjang rentang HbA1c yang umum) daripada

hasil dengan cara NGSP. Hal ini menimbulkan perdebatan yang perlu

diselesaikan. 25

Pada tahun 2005, telah dikeluarkan Rekomendasi bersama

Kelompok Kerja American Diabetes Association (ADA), European

Association for Study of Diabetes (EASD), IDF agar mengadopsi IFCC

reference method sebagai standard global baru untuk kalibrasi pemeriksaan HbA1c oleh pabrik. Dari hasil penelitian selanjutnya maka

dikeluarkan pula beberapa rekomendasi yang akan mengubah

pemeriksaan dan pelaporan pemeriksaan kadar HbA1c di masa yang

tidak lama lagi. Sebagai contoh kadar HbA1c 5.0% akan setara dengan

(20)

2.1.5.2.6 Interpretasi Pemeriksaan HbA1c

Labotorium harus bekerja sama dengan klinisi dan memberikan

informasi yang tepat. Klinis juga harus mengerti metode yang digunakan,

termasuk juga nilai interfal yang digunakan. Misalnya jika metode

pemeriksaan dipengaruhi oleh hemoglobinopati atau uremia maka klinis

harus hati-hati dalam mengambil kesimpulannya.29

2.2 Ferritin

Ferritin adalah protein yang terdiri dari 24 apoferritin monomer

dengan berat molekul 450 kDa. Ferritin mengandung sekitar sekitar 23%

besi. Setiap satu kompleks ferritin bisa menyimpan kira-kira 3000-4500 ion

Fe3+. Pada manusia, terdapat dua bentuk subunit ferritin, yaitu subunit

ringan dan berat; kebanyakan molekul ferritin di jaringan merupakan

bentuk yang heterogen campuran dari kedua subunit tersebut. Sedangkan

ferritin di sirkulasi kebanyakan dalam bentuk subunit yang ringan dan tidak

membawa besi. Pada orang normal, 50-81% ferritin di sirkulasi berikatan

dengan glukosa (glycosylated ferritin). Glycosylated ferritin memiliki waktu

paruh hidup yang lebih panjang (sekitar 50 jam) dibanding

non-glycosylated ferritin.30

Ferritin adalah protein penyimpanan utama besi dalam jaringan dan

terlibat dalam penyerapannya, akumulasi dan pelepasannya dalam sel.

Besi disimpan dalam bentuk ferritin sehingga melindungi sel dari efek

(21)

Hal ini ditemukan di hampir semua sel, meskipun sebagian besar zat besi

disimpan dalam hepatosit hati, makrofag disumsum tulang dan limpa,

sehingga memberikan pasokan besi untuk sintesis hemoglobin dan hem

protein. 30,31

Hanya sedikit feritin yang didapati dalam plasma tetapi

konsentrasinya berbanding lurus dengan jumlah zat besi tubuh.

Hubungan ini membuat pengukuran serum atau plasma assay untuk feritin

menjadi uji non-invasif yang ideal. Ketika kadar besi rendah, sintesis

feritin di tingkat translasi ditekan, dan sebaliknya. Namun, ini hanya

berlaku jika hubungan langsung antara plasma feritin dan pool

penyimpanan besi tidak terganggu oleh rilis feritin dari sel-sel parenkim

misalnya hati, atau dengan perubahan dalam sintesis ferritin plasma atau

metabolismenya. Sekitar dua pertiga dari penyimpanan besi dalam tubuh

manusia terkandung dalam ferritin. Sisanya dalam bentuk terlarut yaitu

dalam bentuk hemosiderin, yang paling mungkin menggambarkan feritin

terdenaturasi. 30,31

Ferritin dapat diukur dalam serum, atau plasma menggunakan

heparin lithium atau tabung EDTA. Diperlukan sentrifugasi dan pemisahan

dalam waktu 24 jam dari sampel dan ferritin akan stabil selama 7 hari

pada 2-8 ° C. Disarankan bahwa sampel disentrifugasi untuk

menghilangkan endapan dan fibrin sebelum melakukan pengujian

(22)

Kegunaan pemeriksaan serum ferritin adalah untuk mendiagnosa

defisiensi besi, mendiagnosa differensial anemia termasuk anemia

defisiensi besi, memonitor respon terapi besi, memonitor terapi mobilisasi

besi, dan melihat kelebihan besi, termasuk kondisi genetik Hereditary

Haemochromatosis (HH). 30,31 Keterbatasan pemeriksaan ferritin antara

lain :

• Ada peningkatan yang tidak proporsional dalam plasma [ ferritin ]

dalam kaitannya dengan penyimpanan besi dalam kondisi tertentu

: peradangan ( akut dan kronis ), kerusakan jaringan yang

signifikan, penyakit hati misalnya kerusakan sel hati ( yang

membuat nilai tinggi dan sulit dalam menginterpretasi jika terjadi

hemokromatosis), penyakit hati alkoholik ( sebagai bagian dari

respon fase akut atau karena pelepasan feritin dari hepatosit yang

rusak ), keganasan misalnya leukemia akut, penyakit Hodgkin,

karsinoma paru-paru, usus besar, hati dan prostat, dan terapi

dengan suplemen zat besi.

• Konsentrasi Feritin harus diinterpretasikan dengan diagnosa klinis

yang jelas dan temuan patologis yang jelas

• Antibodi Heterophilic dalam serum manusia dapat bereaksi dengan

reagen imunoglobulin, mengganggu immunoassay. Pasien yang

secara rutin terpapar dengan hewan atau produk serum hewan

dapat rentan terhadap gangguan ini dan nilai-nilai anomali dapat

(23)

2.2.1. Metode analisa ferritin

Pengukuran ferritin dapat dilakukan dengan menggunakan

immunoassay misalnya ELISA, immunochemiluminescence dan

immunoturbidimetric-assay. 30,31

Tes immunoradiometric sekarang jarang digunakan, karena kesehatan dan risiko keamanan yang terkait dengan penggunaan zat

radioaktif berlabel. Kebanyakan immunoassays menggunakan antibodi

baik limpa atau feritin hati. Karena struktur variabelnya, antibodi yang

berbeda untuk feritin tidak mungkin bereaksi sama dengan semua bentuk,

sehingga hasil yang diperoleh dengan satu metode produsen mungkin

tidak langsung saling dibandingkan. 30,31 Beberapa metode dari produsen

tertentu: 30,31

a. Abbott Architect® assay adalah dua langkah chemiluminescent

mikropartikel immunoassay.

b. ADVIA Centaur® ferritin assay adalah chemiluminometric, dua situs

sandwich immunoassay. Dua antibodi yang digunakan, yaitu :

antibodi berlabel dengan acridinium ester dari anti-ferritin kambing

dan anatibodi anti-feritin dari tikus, yang digabungkan secara

kovalen dengan partikel paramagnetik.

c. Tinta-quant® assay feritin didasarkan pada prinsip aglutinasi

dengan peningkatan reaksi dengan latex. Antibodi anti-feritin terikat

(24)

kompleks antigen-antibodi. Aglutinasi kemudian diukur secara

turbidimetrik.

d. Roche ECLIA® electrochemiluminescence immunoassay

menggunakan dua antibodi monoklonal tikus, 4,184 dan

M-3.170, untuk membentuk kompleks sandwich dalam uji tersebut.

2.3 Besi dan Metabolisme Glukosa

Pengetahuan mengenai pengaruh besi terhadap metabolisme

glukosa belakangan ini semakin jelas dikenali. Pada berbagai populasi,

ditemukan bahwa kadar cadangan besi tubuh memiliki korelasi positif

terhadap munculnya intoleransi glukosa, diabetes melitus tipe 2, serta

diabetes gestasional. Pada populasi masyarakat usia dewasa di Amerika,

laki-laki yang baru saja terdiagnosa diabetes memiliki korelasi dengan

peningkatan konsentrasi ferritin dengn nilai odds ratio (OR) 4,94 (95%

Confidence Interval [CI] 3,05-8,01) sementara waniita memiliki OR 3,61 (2,01-6,48). Gambaran ini semakin nyata dengan adanya data yang

menunjukkan adanya peningkatan prevalensi peningkatan cadangan besi

pada populasi masyarakat usia tua yang sehat (28% laki-laki dan 12,2%

wanita ).13

Kebiasaan rutin mendonorkan darah, diketahui dapat menurunkan

cadagan besi serta terbukti dapat menurunkan hiperinsulinemia

(25)

tipe 2. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa tindakan flebotomi

dapat menyebabkan penurunan nilai glukosa, kolesterol, trigliserida,

apoprotein B, perbaikan terhadap sekresi sel beta serta perbaikan

terhadap kerja insulin di perifer pada pasien-pasien DM tipe 2. Diduga

terdapat dampak yang signifikan akibat kelebihan cadangan besi di tubuh

terhadap efek sistemik diabetes, hal ini berdasarkan beberapa laporan

dimana besi tampaknya berpengaruh terhadap proses munculnya

nefropati diabetik, serta difungsi pembuluh darah. Dalam studi tersebut,

didapatkan adanya respon yang positif dari arteri koroner terhadap uji

stress dingin pada pasien diabetes setelah pemberian desferoksamin

intravena serta terdapat perbaikan fungsi endotel pada pasien penderita

penyakit jantung koroner. Seluruh studi tersebut semakin menguatkan

dugaan bahwa besi memiliki peran yang lebih besar dalam proses

patofisiologi berbagai kelainan sistemik pada manusia. Kelebihan besi

pada jaringan dapat berakibat muncul ataupun memberatnya injuri akibat

pembentukan radikal bebas serta lesi-lesi akibat proses inflamasi yang

(26)

2.4. Kaitan Cadangan Besi dengan Sensitivitas dan Sekresi Insulin serta DM Tipe 2

2.4.1. Besi dan sensitivitas insulin

Cadangan besi tubuh (ferritin serum) diduga berperan dalam

terjadinya sindroma resistensi insulin. Bahkan, dari beberapa studi,

didapatkan adanya korelasi positif antara jumlah ferritin dengan

konsentrasi lemak tubuh dan beberapa hal terkait obesitas.16 Selain itu,

terdapat pula studi yang dilakukan pada populasi umum yang relatif

terlihat sehat, dimana nilai ferritin serum berkorelasi dengan kadar glukosa

baseline dan kadar glukosa paska tes toleransi glukoa oral (TTOG). Pada pasien diabetes gestasional, nilai ferritin dan IMT (Indeks massa tubuh)

secara independen memiliki nilai prediksi terhadap kadar glukosa 2 jam

paska TTOG. Nilai ferritin juga memiliki korelasi terhadap tekanan darah

diastolik, asam urat (yang juga merupakan salah satu komponen pada

resistensi insulin), dan korelasi negatif terhadap kolesterol HDL.

Dmochowski dkk. melaporkan bahwa konsentrasi ferritin serum memiliki

korelasi negatif dengan sensitivitas insulin pada pasien hemosiderosis. 13

2.4.2. Konsentrasi besi dan fungsi sel beta

Studi yang pernah dilakukan secara in vitro memperlihatkan bahwa jumlah H-ferritin mRNA lebih tinggi 4-8x lipat pada sel-sel islet tikus yang

diberikan glukosa 20 mmol/l dibandingkan dengan sel-sel islet tikus yang

(27)

Alasan yang paling mungkin terhadap perbedaan ini adalah bahwa

ferritin memberikan suatu aktivitas antioksidan sedangkan sebagian sel

beta diketahui sensitif terhadap radikal oksigen. Tingginya jumlah ferritin

ini menjelaskan mengapa besi secara khusus banyak terlihat di sel beta.

Peningkatan massa sel beta ditemukan pada sejumlah kecil subjek

nondiabetik dan diabetes ringan dalam keadaan kelebihan besi.13,32

2.4.3. Besi dan DM tipe 2

Terdapat lima data ilmiah tambahan yang mendukung hipotesis

tentang peranan besi dalam perjalanan DM tipe 2.

a) Adanya peningkatan prevalensi kejadian hemokromasitosis pada

pasien DM tipe 2 yang dilihat secara acak. Phelps dkk. dan Conte

dkk. melaporkan bahwa diabetes dapat meningkatkan resiko

hemochromatosis yang diturunkan secara herediter sebesar 2,4%

di negara Australia dan 1,34% di negara Italia. Keadaan ini

diketahui akibat mutasi dari gen C282Y, dan mutasi ini dalam

beberapa studi disebutkan sering terjadi pada pasien-pasien

diabetes. Namun beberapa penelitian yang lain membantah hal ini,

dimana prevalensi mutasi gen C282Y ditemukan tidak berbeda

signifikan antara kelompok diabetes dan non-diabetes. Studi

lainnya memperlihatkan adanya keterlibatan mutasi gen H63D,

dimana hal ini berkaitan juga kondisi kelebihan besi, dan angka

(28)

non-diabetes di Spanyol. Hemokromatosis sendiri ternyata memberikan

sumbangsih sebesar 1% dalam perkembangan DM tipe 1 onset

lambat.13, 34

b) Kebiasaan mendonor darah secara rutin dapat menurunkan kadar

cadangan besi, dan hal ini terlihat berperan sebagai faktor protektif

terhadap progresivitas diabetes. Temuan ini cukup penting

mengingat tingginya prevalensi peningkatan kadar cadangan besi

tubuh pada populasi masyarakat di negara barat. Dalam sebuah

percobaan eksperimental yang dilakukan pada tikus, terjadi

penurunan insidensi diabetes dari 78 menjadi 22% dalam 120 hari

dengan membuang darah secara serial.13,35

c) Terdapat bukti berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan

secara acak dimana kadar cadangan besi ternyata berkaitan

dengan kerja insulin pada pasien DM tipe 2. Dalam studi ini,

didapatkan bahwa sensitivitas insulin dan nilai HbA1c ditemukan

lebih baik pada pasien yang di flebotomi secara serial.13,32

d) Dikenalnya suatu sindroma baru yang memiliki ciri khas berlebihnya

kadar besi di hepar dengan peningkatan serum ferritin namun

dengan nilai saturasi transferin yang normal dan hal ini tidak terkait

dengan adanya antigen HLA-A3 (suatu marker yang sering

ditemukan pada hemokromatosis herediter). Kondisi ini dikenal

dengan nama insuline resistance-associated hepatic iron overload

(29)

kelainan metabolisme besi (hiperferritinemia dengan saturasi

transferin yang normal), steatohepatitis, serta sindroma resistensi

insulin (obesitas, hiperlipidemia, gangguan metabolisme glukosa,

serta hipertensi). Pada IR-HIO, kemungkinan untuk berlanjut

menjadi fibrosis hati adalah sebesar 60%. Angka ini lebih kecil

dibandingkan fibrosis hati yang disebabkan oleh hemokromatosis

yakni sebesar 33%. Kenyataan bahwa kerusakan jaringan lebih

besar diakibatkan oleh kondisi IR-HIO ini, dan penatalaksanaannya

pun lebih sederhana dan tidak mahal (misalnya flebotomi) oleh

karenanya kesadaran untuk menemukan kelainan ini dianjurkan

untuk lebih diperhatikan.13, 36

e) Gambaran resistensis insulin sering terlihat pada pasien yang

terinfeksi virus hepatitis C. Pada keadaan ini, indeks massa tubuh

(IMT), usia tua, cadangan besi, serta riwayat keluarga diabetes

serta beratnya fibrosis hati dapat memprediksi progresivitas

diabetes.13

2.5. Jalur Interaksi Metabolisme Glukosa dan Besi 2.5.1. Pengaruh insulin terhadap metabolisme besi

Insulin merupakan hormon anabolik yang dapat merangsang sel

untuk mengambil nutrisi, termasuk heksosa, asam amino, kation serta

anion. Sementara itu, absorbsi besi non-heme lewat jalur intestinal

(30)

kebutuhan. Pada keadaan cadangan besi tubuh normal, maka

penyerapan besi non-heme akan berkurang. Namun sebaliknya

penyerapan besi heme (bersumber dari daging merah) kemungkinan tidak

bergantung pada kondisi cadangan besi tubuh. Selanjutnya besi berikatan

dengan transferrin dan nantinya akan diangkut dari darah melalui reseptor

transferrin spesifik berikatan tinggi untuk selanjutnya disimpan dan

digunakan dalam pembentukan komponen esensial sel. Peran insulin

yang telah diketahui adalah menstimulasi secara cepat sel-sel lemak

untuk mengambil besi serta mengatur distribusi/perpindahan reseptor

transferrin dari membran intraseluler ke permukaan sel. Pada suatu

percobaan terhadap tikus, ditemukan bahwa insulin juga berperan dalam

meningkatkan sintesis ferritin.13,37

2.5.2 Pengaruh besi terhadap metabolisme glukosa

Besi juga ternyata mempengaruhi kerja insulin. Besi diketahui

dapat menghambat fungsi insulin dalam menekan produksi glukosa di

hati. Ekstraksi dan metabolisme insulin di hati berkurang dengan

meningkatnya kadar simpanan besi sehingga dapat menyebabkan

hiperinsulinemia. Selain itu, kelainan yang paling sering dan muncul

pertama kali pada kondisi kelebihan besi adalah resistensi insulin hati.

Terdapat pula beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kelebihan besi

dapat mempengaruhi otot rangka yang merupakan target utama dari kerja

(31)

2.5.3. Stres oksidatif mempengaruhi metabolisme besi dan glukosa

Stres oksidatif diketahui dapat menyebabkan resistensi insulin

(melalui hambatan proses masuknya insulin ke sel) serta peningkatan

sintesis ferritin. Besi diketahui sangat erat kaitannya dengan stres

oksidatif. Partisipasi besi melalui reaksi Fenton sehingga membentuk

radikal bebas yang sangat toksik seperti anion hidroksida dan superoksida

yang dapat menginduksi peroksidase lipid. Untuk menjadi sebuah agen

prooksidan, besi harus berubah menjadi bentuk bebasnya. Besi dapat

dirubah dari bentuk ferritin dengan cara mengurangi agen yang dapat

merubah Fe3+ menjadi Fe2+. Adanya proses glikasi dari transferin dapat

mengurangi kemampuannya untuk mengikat besi ferrous, sehingga

dengan meningkatnya kadar besi bebas, akan merangsang sintesis

ferritin. Selain itu terdapat pula holotransferin yang terglikasi, yang juga

dapat memfasilitasi terbentuknya radikal bebas .13

Hiperferitinemia terjadi pada 6,6% pasien diabetes melitus tipe 2.

Konsentrasi feritin serum biasanya meningkat pada pasien DM tipe 1 dan

DM tipe 2 yang tidak terkontrol, dan feritin telah terbukti dapat

memprediksi nilai HbA1c secara independen terhadap glukosa. Kedua hal

ini kemungkinan dapat merefleksikan adanya peningkatan stres oksidatif.

Perbaikan singkat dalam hal kontrol glikemik terbukti dapat menghasilkan

(32)

2.5.4. Pengaruh sitokin terhadap metabolisme besi dan glukosa

Seluruh sitokin-sitokin secara bersama-sama dapat menyebabkan

peningkatan reseptor transferin di permukaan sel, sehingga menyebabkan

adanya kecenderungan jaringan untuk menumpuk besi dan resistensi

insulin (gambar 2.4).5

Gambar 2.4. Gambaran skematik dari interaksi besi dengan resistensi

insulin dan stress oksidatif.13

Keterangan: Insulin mempengaruhi metabolisme besi. Insulin merangsang

sintesis ferritin serta memfasilitasi uptake besi oleh sel melalui translokasi reseptor transferin, dari kompartemen intraseluler ke permukaan sel.

Sebaliknya besi dapat mempengaruhi metabolisme glukosa. Besi

(33)

oksidatif sel sehingga menyebabkan penghambatan internalisasi dan kerja

insulin, sehingga menyebabkan hiperinsulinemia dan resistensi insulin.

Besi bebas juga memberikan umpan balik positif pada sintesa feritin,

stress oksidatif meningkatkan pelepasan besi dari feritin. Peningkatan

stress oksidatif dan resistensi insulin menyebabkan kerusakan endotel

dan jaringan. Glikasi protein, seperti yang terlihat pada diabetes,

selanjutnya memperparah kelainan ini dan terus merangsang pelepasan

besi dari transferin, sehingga meningkatkan stress oksidatif sel dan secara

langsung menyebabkan kerusakan endotel dan jaringan. NO, nitrit oksida;

TR, reseptor transferin; (+), stimulasi; (-), inhibisi; garis terputus-putus,

diduga jalur besi menuju membran sel. (Dikutip dari: Real JMF, Bermezo

AL, Ricart W. Cross talk between iron metabolism and diabetes. Diabetes

(34)

2. 6. Kerangka Konseptual

Diabetes Melitus Tipe 2

Sintesis ferritin

Hiperinsulinemia (Resistensi insulin)

Resistensi Insulin Besi Bebas

Transferin

Stres oksidatif

Disfungsi Sel beta

Perburukan Kontrol Glikemik

Gambar

Gambar 2.1. Langkah-langkah diagnostik DM dan
Gambar 2.2. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
Gambar 2.3. Glycated Hemoglobin26
Tabel 2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi HbA1c28
+3

Referensi

Dokumen terkait

Karya Tulis Akhir oleh Ariyandhi Rahman yang berjudul Hubungan Kadar HbA1c dengan Kejadian Katarak pada Pasien DM tipe 2 di RS.Haji Surabaya Periode Januari-Desember 2011..

Hasil : Dari hasil analisis Fisher Exact test didapatkan bahwa tingkat kepatuhan mengikuti kegiatan PROLANIS pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan kadar

Berdasarkan dari data hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan kadar HbA1c pada penyandang DM tipe

Beberapa peneliti mengaitkan capaian kontrol glikemik dengan kadar magnesium dalam serum dan menyimpulkan bahwa HbA1C yang buruk banyak terdapat pada pasien DM tipe 2 yang

Hasil penelitian yang dilakukan pada pasien DM tipe 2 melalui uji Pearson mendapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar HbA1c dengan nilai agregasi

Betty yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis patologi klinik di FK USU, ingin menjelaskan kepada Bapak-Ibu tentang penelitian yang akan saya lakukan “Hubungan Kadar

9 Hasil penelitian mengenai hubungan antara HbA1c dengan kadar HDL pada pasien diabetes melitus tipe 2 menunjukkan bahwa ada hubungan negatif dengan korelasi sedang antara

Hasil: Dari hasil analisis uji T tidak berpasangan didapatkan bahwa tingkat kepatuhan mengikuti kegiatan PROLANIS pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan kadar HbA1C