• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Kadar Albumin dan Prealbumin Setelah Suplementasi Ekstrak Ikan Gabus Metode Freeze Dryer Pada Pasien Sepsis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Kadar Albumin dan Prealbumin Setelah Suplementasi Ekstrak Ikan Gabus Metode Freeze Dryer Pada Pasien Sepsis"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Sepsis

2.1.1. Infeksi dan inflamasi

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang

masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan

kerusakan sekitar disebut dengan penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi

jejas sehingga timbullah reaksi inflamasi. Meskipun dasar proses inflamasi sama,

namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh.

Inflamasi akut dapat terbatas pada tempat jejas saja atau dapat meluas serta

menyebabkan tanda dan gejala sistemik (Guntur,2007).

Inflamasi adalah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas.

Pada dasarnya inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, saraf, cairan dan sel

tubuh ditempat jejas. Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini

terhadap agen penyebab jejas dan kejadian yang berhubungan dengan inflamasi

akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan pelepasan berbagai macam

mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi berbeda,

mediator yang dilepas sama. Manifestasi klinik yang berupa inflamasi sistemik

disebut systemic inflammation respons syndrome (Guntur,2007).

2.1.2. Definisi Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai suatu infeksi disertai dengan manifestasi

sistemik. Hipotensi yang disebabkan sepsis dengan nilai tekanan darah sistolik <

90 mmHg atau dengan tekanan darah arteri rerata (MAP) < 70 mmHg atau dengan

penurunan tekanan darah sistolik 40 mmHg atau lebih dari 2 standar deviasi

dibawah normal. Syok sepsis ialah sepsis dengan hipotensi meskipun telah

(2)

oleh sepsis adalah hipotensi yang disebabkan infeksi, peningkatan laktat, atau

oligouria (Dellinger RP et al,2012).

Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana

terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan

bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer M,2016)

2.1.3. Kriteria Sepsis

Berdasarkan studi dan konsesi mengenai definisi sepsis baru, yang

dilakukan oleh European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of

Critical Care Medicine’s pada tahun 2016. Ditetapkan kriteria sepsis yang terdapat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (dikutip dari Singer M,2016)

Lama Baru Sepsis berat Sepsis + Disfungsi organ

(3)

Syok Sepsis Sepsis

Sepsis merupakan penyebab kedua tertinggi kematian di Instalasi rawatan

intensif dan merupakan 10 penyebab tertinggi kematian di seluruh dunia secara

keseluruhan. Selama dua dekade, insidensi sepsis meningkat dari 83 per 100.000

populasi pada tahun 1979 menjadi 140 per 100.000 populasi pada tahun 2000,

menunjukkan peningkatan sebesar 9% setiap tahunnya. Kegagalan fungsi organ

menjadi efek akumulasi yang berdampak langsung pada kematian. Mortalitas

pasien sepsis tanpa disfungsi organ sebesar 15%, Pasien dengan kegagalan fungsi

organ sebesar 70%, dan syok septik sebesar 45-60%. Kejadian hipoalbuminemia

dengan sepsis 60-70%. Pasien sepsis dengan hipoalbuminemia dapat

meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas (Martin GS, Mannino MA, Eaton

S, Moss M,2003;Hommes TJ,Wiersinga, Poll TV,2012)

2.1.5 Patofisiologi Sepsis

Inflamasi adalah jawaban fisiologis terhadap organisme yang merusak

integritas sel, seperti yang terjadi pada infeksi dan trauma. Pada keadaan

Inflamasi, sel akan melepaskan sitokin dan beberapa mediator, yang mempunyai

kontribusi terhadap penghancuran bakteri dan perbaikan pada jaringan. Dapat

dibedakan antara sitokin pro inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6

(IL-6), tumor necrosis factor (TNF) dan sitokin anti inflamasi seperti

interleukin-10(IL-10) dan interleukin-4(IL-4). Regulasi mekanisme lokal akibat inflamasi

merupakan gambaran terhadap pentingnya menghilangkan sumber dari kerusakan

dan mempertahankan homeostasis. Humoral maupun mediator neuronal

mempunyai kontribusi terhadap regulasi dari inflamasi. Mediator antiinflamasi

(4)

proinflamasi seperti dimana lipoxin dan resolvin berkontribusi terhadap perbaikan

jaringan. Mediator humoral mencapai sel target pada beberapa organ dengan

berdifusi melalui pembuluh darah. Substansi yang dilepaskan oleh syaraf seperti

norepinefrin, asetilkolin mencapai target organ secara cepat (Ballina M, Tracey

Kj,2009).

Sepsis merupakan proses kompleks dan inflamasi sistemik merupakan

jawaban terhadap infeksi yang pada umumnya akibat bakteri. Pada tahap awal,

terjadi disregulasi dan ketidakseimbangan terhadap sitokin proinflamasi yang

mengakibatkan kerusakan jaringan, organ, bahkan kematian. Pelepasan sitokin

proinflamasi yang berlebihan memicu pelepasan vasoaktif amine dan chemokines

maupun aktivasi sistem komplemen, koagulasi, dan pelepasan reactive oxgen spesies (ROS). Mediator-Mediator inilah yang bertanggung jawab terhadap peningkatan permeabilitas vaskular, hipotensi, dan syok septik. Pada tahap lanjut,

dilepasnya mediator seperti High Protein Group Box 1 (HMGB1), yang memungkinkan reaksi inflamasi tersebut berlanjut (Ballina M, Tracey Kj,2009).

Secara umum telah diketahui bahwa sistem imunitas dapat dipengaruhi

oleh status neurologis dan begitu juga sebaliknya, status neurologis dapat

dipengaruhi oleh sistem imunitas. Seperti pada sitokin pro inflamasi seperti

interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor (TNF) yang lepas

diperifer pada sepsis dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar darah

otak dan mencetuskan inflamasi terhadap itu sendiri yang menyebabkan

perubahan perilaku akibat sepsis. Mediator pro inflamasi dari sirkulasi perifer dan

sistem saraf otonom memegang peranan penting terhadap patogenesis neuroimun

pada sepsis (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)

Hubungan dua arah antara susunan syaraf pusat dan sistem imunitas dalam

meningkatkan efektifitas kedua sistem tersebut dalam konteks perbedaan

inflamasi yang diakibatkan oleh sepsis dengan penyebab lain. dua jalur yang

menghubungkan antara sistem imunitas dengan susunan syaraf pusat adalah

sistem syaraf otonom dan aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA). Aktivasi kedua jalur tersebut mempunyai peranan penting terhadap terjadinya sepsis.

(5)

2.1.5.1 Sistem Syaraf Simpatis

Serabut eferen preganglionik yang meninggalkan susunan syaraf pusat

didalam syaraf spinal thorakal dan lumbal dinamakan sistem syaraf simpatis atau

sistem thorakolumbal. Sinaps serabut eferen preganglionik dengan serabut

postganglionik pada ganglia prevertebra. Serabut post ganglionik memiliki

inervasi ke organ melalui ganglia ini. Sistem syaraf simpatis menginervasi semua

organ limfoid dan transmitter epinefrin dan norepenefrin untuk memodulasi

sistem imun, Sitokin proinflamasi mampu mengaktifkan aksis HPA maupun

sistem syaraf simpatis. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)

Berbagai macam sel dari sistem imun innate mengekspresikan reseptor α atau β adrenergik. Biasanya, reseptor-α tidak dapat ditemukan pada permukaan leukosit di darah perifer namun dapat ditemukan pada kondisi patologis.

Norepinefrin berinteraksi dengan reseptor α yang akan mestimulasi makrofag

untuk melepaskan TNF-α dan seterusnya akan berkontribusi dalam

mempertahankan keadaan sepsis. Sebaliknya, interaksi dengan reseptor β

menurunkan pelepasan IL-1 dan TNF-α dan meningkatkan sekresi IL-10 dari

makrofag yang memiliki efek antiinflamasi. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer

S,2012)

2.1.5.2 Aksis Hypothalamo-pituitary-adrenal (HPA)

Pelepasan sitokin sebagai hasil dari infeksi dan jejas memicu afferen

vagal. Hubungan sinaps dari medula rostroventral dan lokus coeruleus maupun

nukleus hipotalamik mengaktifkan sistem syaraf simpatis dan aksis HPA. Sitokin

proinflamasi juga mengaktifkan sel perivaskular di sawar darah otak. Sel

perivaskular akan melepaskan ekisanoid yang memberikan efek pada hipothamus.

Sitokin yang berada disirkulasi juga dapat memberikan efek pada organ

sirkumventrikular seperti area postrema dimana tidak terdapat sawar darah otak

secara langsung. Sitokin pro inflamasi menyebakan ekspresi Corticotropin Releasing Hormones (CRH) atau Arginin Vasopresin (AVP) di hipotalamus serta Adrenocorticotropic Hormones (ACTH) pada kelenjar hipofisis adrenal. ACTH dapat meningkatkan pelepasan kortisol di korteks adrenal. Kortisol memiliki efek

anti inflamasi dalam mengurangi aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-κB) dan

(6)

prekursor peptida tidak hanya ACTH tetapi juga α-melanocyte stimulating hormones (α-MSH). α-MSH menurunkan NF-κB dan meningkatkan pelepasan IL -10 dan menghambat aktivitas pro inflamasi. Pada keadaan Syok septik sangat

relevan bahwa pelepasan α-MSH setelah stimulasi CRH terhambat berdampak kepada kematian. Reaksi antiinflamasi sistemik pentng terhadap respon imunitas

yang efektif pada pasien sepsis. Berbagai studi klinis menunjukkan sitokin

proinflamasi secara langsung mengaktifkan aksis HPA dan mengakibatkan

pelepasan kortisol. (Weismuller K,Weigand MA, Hoffer S,2012)

2.1.5.3 Kontrol Kolinergik Inflamasi

Beberapa tahun terakhir, jalur antiinflamasi kolinergik telah digambarkan

sebagai mekanisme kontrol inflamasi neuronal melalui syaraf eferen. Secara in

vitro, asetilkolin menghambat pelepasan sitokin pro inflamasi melalui makrofag.

Secara in vivo, stimulasi elektrik syaraf vagal menurunkan pelepasan HMGB1

dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. Selanjutnya, asetilkolin

menghambat pelepasan TNF-α dengan berikatan dengan reseptor α7-subunit

asetilkolin. Sebagai tambahan, splenektomi yang dilakukan pada percobaan sepsis

menurunkan pelepasan HMGB1 serta meningkatkan angka kelangsungan hidup.

Sistem imun mendapat informasi dari organ perifer dan berperilaku sebagai organ

sensori yang menyediakan informasi proses inflamasi untuk otak. Reseptor IL-1

pada syaraf aferen vagal terlibat pada proses ini (Weismuller K,Weigand MA,

Hoffer S,2012)

2.1.5.4 Aktifasi komplemen

Aktifasi komplemen akan menghasilkan suatu bentukan protein yang akan

melarutkan sel patogen. Lebih penting lagi, aktivasi kaskade oleh inflamasi akan

menghasilkan produk yang berperan penting dalam fungsi vasoaktif, aktivasi

protein koagulasi, platelet, sel mast dan secara tidak langsung memproduksi

bradikinin. Dengan demikian dapat terlihat bahwa ativasi dari salah satu inisiator

akan mengaktivasi inisiator yang lain. Efek yang dihasilkan adalah peningkatan

permeabilitas mikrovaskular, peningkatan aliran mikrovaskuler, penurunan

kecepatan aliran dan pembentukan edema di jaringan. (Weismuller K,Weigand

(7)

Patogenesis sepsis adalah kompleks, meskipun kemajuan ilmu kedokteran

semakin maju namun patogenesis sepsis masih tetap tidak dimengerti. Utamanya,

sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme dan respon tuan rumah

akibat dikeluarkan sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon

tuan rumah adalah berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi

organisme dari kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang

menimbulkan respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ

bahkan kematian, selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari

sepsis adalah respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi

dari anti-inflamasi, koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane et al., 2005).

2.1.6 Stres Metabolik Pada Sepsis

Pada pasien sepsis mempunyai karakter variasi yang lebar terhadap

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Variasi tersebut dapat memicu

peningkatan kebutuhan energi dengan akselarasi katabolisme protein dan

menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Pada orang yang sehat

normal, respon metabolik terhadap sepsis dapat meningkatkan kebutuhan kalori

dan protein. Hasilnya, substrat endogen digunakan sebagai sumber bahan bakar

dan sebagai prekursor terhadap sintesis protein. Respon ini melalui counter regulatory hormones (CRHs) seperti epinefrin, glukagon, kortisol dan hormon

pertumbuhan,yang meregulasi substrat endogen di berbagai organ dan jaringan.

Sebagai tambahan, tumor necrosis factor-α dan interleukin-1β mempunyai peranan penting terhadap respon sistemik yang menimbulkan hiperglikemia. Stres

yang memicu hiperglikemi ini mempunyai dampak buruk seperti peningkatan

infeksi dan memperlambat penyembuhan luka. Pada pasien nondiabetik,

hiperglikemia akan berlangsung selama 24 jam setelah trauma atau paska

pembedahan serta menggambar keadaan konsentrasi CRHs di plasma. Lebih

lanjut akan terjadi pengurangan massa tubuh (otot) dan lemak , dimana keadaan

ini dijuluki dengan otokanibalisme. Strategi nutrisi konvensional dengan

mencukupkan nutrisi sesuai dengan kebutuhan manusia sehat, namun

pengurangan massa otot dan jaringan lemak masih tampak terjadi (Elamin M,

(8)

Gambar 2.1 Variasi kondisi yang dapat menimbulkan CRHs di plasma meningkat.(Elamin M, Camporessi E, 2009).

Respon metabolik terhadap stres memiliki dampak yang besar terhadap

gangguan metabolisme karbohidrat. Peningkatan sekresi CRH menimbulkan

peningkatan produksi karbohidrat endogen sebagai akibat akselarasi hepatik

glukoneogenesis. Sumber substrat endogen untuk mendukung glukoneogenesis

hepatik berasal gliserol (lipolisis), alanin (proteolisis) dan laktat (glikolisis

anaerob). Peningkatan produksi karbohidrat ini dibarengi dengan resisten terhadap

insulin yang menyebabkan hiperglikemia. Kadar insulin dalam batas normal atau

diatas ambang normal, namun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia.

Hiperglikemia dapat juga terjadi akibat penurunan aktivitas sintesa glikogen

diotot. (Chiolero R, Revelly JP, Tappy L, 1997).

Asam lemak bebas merupakan salah satu sumber energi selain laktat dan

asam amino setelah mengalami sepsis. Trigliserida menyediakan 50-80% dari

energi yang dibutuhkan. Energi sangat dibutuhkan untuk proses glukoneogenesis

hepatik. Lipolisis adalah percepatan metabolisme lemak yang terjadi pada periode

awal akibat stimulasi CRH. Energi dilepaskan melalui proses oksidasi lemak yang

merupakan sumber energi sel hati. Hanya sebagian glukosa mengalami oksidasi

dan 80-90% energi yang dibutuhkan untuk proses glukoneogesis hepatik berasal

(9)

Gambar 2.2 Glukoneogenesis hepatik (Chiolero R, Revelly JP, Tappy L, 1997)

Respon metabolik tubuh terhadap stres terjadi melalui dua fase, yaitu fase

ebb dan fase flow (Preiser JC et al ,2014).

1. Fase Ebb

Fase ebb dimulai segera setelah terjadi stres, baik akibat trauma atau sepsis

dan berlangsung selama 12-24 jam. Namun, fase ini dapat berlangsung

lebih lama, tergantung pada keparahan trauma dan kecukupan resusitasi.

Fase ebb disamakan juga dengan periode syok yang memanjang dan tidak

teratasi, yang ditandai dengan hipoperfusi jaringan dan penurunan

aktivitas metabolik secara keseluruhan. Sebagai upaya kompensasi tubuh

terhadap keadaan ini, hormon katekolamin akan dikeluarkan, dimana

norepinefrin menjadi mediator utama pada fase ebb. Norepinefrin

dikeluarkan dari saraf perifer dan berikatan dengan reseptor beta 1 di

jantung dan reseptor beta 2 di perifer dan dasar vaskular splanknik. Efek

paling penting adalah pada sistem kardiovaskular, karena norepinefrin

merupakan stimulan kuat jantung, menyebabkan peningkatan

kontraktilitas dan denyut jantung dan vasokonstriksi. Hal ini merupakan

usaha dalam mengembalikan tekanan darah, meningkatkan perfoma

jantung dan maksimalisasi venous return. Hiperglikemia mungkin terjadi

(10)

merupakan efek sekunder dari katekolamin dan akibat stimulasi simpatik

langsung dari pemecahan glikogen. Hiperglikemia yang terjadi setelah

trauma merupakan masalah yang sangat penting untuk segera diatasi

karena dapat menempatkan pasien pada kondisi berisiko tinggi terhadap

berbagai komplikasi, masa penyembuhan yang lebih lama, peningkatan

waktu lama rawat, bahkan dapat menyebabkan kematian.

2. Fase Flow

Permulaan fase flow, yang meliputi fase anabolik dan katabolik, ditandai dengan curah jantung (CO) yang tinggi dengan restorasi oxygen delivery dan substrat metabolik. Durasi fase flow tergantung pada keparahan trauma

atau adanya infeksi dan perkembangan menjadi komplikasi. Secara khas,

puncak fase ini adalah sekitar 3-5 hari, dan akan turun pada 7-10 hari, dan

akan melebur ke dalam fase anabolik selama beberapa minggu. Selama

terjadi fase hipermetabolik, insulin akan meningkat, namun peningkatan

level katekolamin, glukagon, dan kortisol akan menetralkan hampir semua

efek metabolik dari insulin. Peningkatan mobilisasi asam amino dan free fatty acids dari simpanan otot perifer dan jaringan adiposa merupakan akibat dari ketidak seimbangan hormon-hormon tersebut. Beberapa

hormon akan mengeluarkan substrat yang digunakan untuk produksi

energi salah satunya secara langsung sebagai glukosa atau melalui liver

sebagai trigliserid. Substrat lainnya akan berkontribusi terhadap sintesis

protein di liver, dimana mediator humoral akan meningkatkan produksi

reaktan fase akut. Sintesis protein yang serupa juga terjadi pada sistem

imun guna menyembuhkan kerusakan jaringan. Fase hipermetabolik ini

melibatkan proses katabolik dan anabolik, hasilnya adalah kehilangan

protein secara signifikan, yang ditandai dengan keseimbangan nitrogen

negatif dan penurunan simpanan lemak. Hal ini akan menuju pada

modifikasi komposisi tubuh secara keseluruhan, ditandai dengan

kehilangan protein, karbohidrat, dan simpanan lemak, disertai dengan

(11)

12-14 jam

Fase Ebb

FaseFlow

ENERGY EXPENDITURE

Adaptasi

Waktu Hari ke 7

Gambar 2.3 Fase ebb dan fase flow (Preiser JC et al.,2014).

2.1.7 Keadaan hiperkatabolik pada sepsis

Salah satu tanda penting dari respon metabolik adalah keadaan

hiperkatabolik dimana terjadi balans nitrogen negatif. Hiperkatabolik adalah

percepatan proteolisis pada otot skelet, guna memenuhi substrat endogen yang

diperlukan pada proses glukoneogenesis hepatik. Balans nitrogen artinya

selisih antara nitogen yang dikonsumsi dengan nitrogen yang dikeluarkan.

Balans nitrogen negatif adalah suatu kondisi dimana hilangnya nitrogen lebih

besar daripada asupan nitrogen, begitu juga sebaliknya pada balans nitrogen

positif berarti kondisi yang optimal untuk pertumbuhan dimana asupan protein

lebih besar daripada nitrogen yang dikeluarkan (Heindorff H, Schulze S,

Mogensen T, 1992).

Mengurangi laju glukoneogenesis hepatik dengan somastatin tidak

menimbulkan efek pengurangan yang berarti pada pemecahan otot di perifer.

Studi menunjukkan bahwa percepatan pembentukan glukosa tidak

(12)

kehilangan nitrogen sebanding dengan tingkat stress dan akan kembali normal

jika pasien telah sehat kembali. Peningkatan pemecahan protein tidak hanya

dimodulasi oleh CRH, namun beberapa mediator seperti sitokin proinflamasi

seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan interferon mempunyai andil dalam memodulasi

aktivitas katabolik. Keseimbangan antara hormon katabolik dan hormon

anabolik seperti insulin dan insulin-like growth factors mencerminkan derajat proses katabolik itu sendiri. Beberapa jalur yang bertanggung jawab terhadap

proteolisis pada sel otot termasuk aktivasi lisosomal kalsium dan ubiquitin.

Selain itu, terjadi peningkatan enzim glutamin sintase yang menyebabkan

pengeluaran asam amino beserta glutamin dari sel otot. Hati juga

berkontribusi didalam katabolik melalui peningkatan kliren urea. (Heindorff

H, Schulze S, Mogensen T, 1992; Heindorff H, Billesbolle P, Pedersen SL,

Hansen R, Vistrup H, 1995)

Selama stres metabolik tersebut berlangsung, organ hati akan

meningkatkan sintesa protein fase akut seperti fibrinogen, komplemen,

imunoglobulin, dan CRP. Peningkatan protein sebagai respon kemampuan

tubuh dalam melawan infeksi. Secara simultan akan terjadi pengurangan

sintesa protein plasma seperti albumin, prealbumin, transferin dan retinol binding protein (Brown JA, Gore DC, Jahoor F,1994)

TRAUMA, SEPSIS, PEMBEDAHAN

Epinefrin Norepinefrin

HIPERKATABOLIK ANABOLIK ↓

SUBSTRAT

ENDOGEN ↓ TUBUH↓MASSA

Sitokin dan Mediator

inflamasi Adipokines Saluran Cerna

(13)

Derajat perubahan katabolik berhubungan dengan durasi dan jenis jejas

yang terjadi. Pada keadaan stres metabolik akibat trauma, proteolisis sistemik

terjadi akibat stimulasi oleh hormo glukokortikoid. Terjadi peningkatan katabolik

dan peningkatan nitrogen di urin mencapai 30 gram/hari. Berdasarkan perhitungan

ini, pasien yang mengalami trauma tanpa pemberian nutrisi akan kehilangan 15%

massa tubuhnya dalam kurun waktu 10 hari. Begitu juga pada stres metabolik

pada jenis jejas yang lain, pada keadaan sepsis akan terjadi hiperkatabolik dan

peningkatan nitrogen di urin mencapai 20-30 gram/hari. Pada luka bakar yang

luas akan terjadi peningkatan nitrogen 30-40 gram/hari dan paska pembedahan

<15 gram/hari (Jan BV, Lowry ST, 2004).

Pada keadaan sepsis, katabolik yang terjadi mencapai 260 gram setiap

hari. Itu artinya pemecahan sel otot yang terjadi lebih dari 1 kg setiap hari. Pada

kasus ini, pasien sepsis yang tidak mendapatkan nutrisi yang tepat akan lebih

mudah kehilangan sel otot, sulit untuk melakukan penyapihan pada mesin

ventilator dan berkaitan dengan masa pemulihan. Asam amino yang berasal dari

katabolik sel otot tidak dapat digunakan kembali untuk sintesa protein. Namun

digunakan menurut skala prioritasnya, dengan komponen sistem imunitas selular

dan anti peradangan sebagai prioritas tertinggi. Misalnya, penyerapan asam amino

oleh hati untuk membentuk protein fase akut, seperti glutamin yang berfungsi

sebagai sumber energi bagi sel sistem kekebalan yang membelah dengan cepat

dan sebagai donor protein untuk pembentukan purin. Pembentukan protein plasma

seperti albumin akan menurun. Peningkatan ketersediaan asam amino dan

peningkatan kadar kortisol juga akan merangsang glukoneogenesis. Cepatnya

pemecahan asam amino akan menyebabkan peningkatan pembetukan urea. Oleh

karena itu terjadi balans nitrogen negatif. Peningkatan laju katabolik seiring

dengan peningkatan uptake oksigen dan laju jantung pada fase flow (Sobotka L, Soeters PB,2004).

2.1.8 Disfungsi Saluran Cerna Pada Sepsis

Seperti yang telah diuraikan pada materi diatas bahwa sepsis

menyebabkan metabolisme meningkat atau sering disebut dengan keadaan

(14)

substrat protein dan energi secara cepat, disfungsi sistem imunitas, serta

penurunan fungsi organ. Perubahan ini berakibat pada berbagai organ seperti hati,

ginjal, jantung, paru-paru, dan saluran cerna (Rowlands BJ,Soong CV, Gardiner

KR, 1999).

Saluran cerna merupakan organ yang mempunyai fungsi pencernaan dan

penyerapan nutrien yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu, saluran cerna juga

mempunyai fungsi proteksi tubuh terhadap mikroorganisme patogen. Struktur

epitel mukosa saluran cerna yang normal mempertahankan dan mencegah migrasi

mikroorganisme maupun antigen bermolekul besar. Sekresi asam yang dihasilkan

oleh lambung, sekresi alkali dari usus halus, dan sekresi mukus dari saluran cerna

dapat membantu fungsi proteksi saluran cerna. Pada keadaan sepsis, terjadi

penurunan darah splanknik yang menyebabkan struktur saluran cerna berubah

menjadi atropi. Hal ini dapat mengurangi absorpsi nutrien dan memperburuk

keadaan sepsis akibat translokasi bakteri (Rowlands BJ,Soong CV, Gardiner KR,

1999).

Hal ini dibuktikan pada studi dengan melihat fungsi absorpsi saluran cerna

pada tikus yang distimulasi menjadi sepsis. Endotoksemia yang membuat

perubahan pada saluran cerna mengakibatkan peningkatan absorpsi kalium dan

penurunan absorpsi karbohidrat dan protein (Khalil et al.,2014)

Tabel 2.2 Komponen pertahanan mukosa saluran cerna (Rowlands BJ,Soong CV, Gardiner KR, 1999)

Sistem Immunologis Sistem non immunologis Lokal

(15)

 Laktoferin

 Sekresi Mukus dan garam empedu

2.2 Albumin

Albumin merupakan salah satu kelompok utama protein plasma yang

terdapat dalam konsentrasi massa paling tinggi. Albumin juga mempunyai berat

molekul paling rendah dibandingkan molekul-molekul protein lain dalam plasma.

Jadi, albumin merupakan kontributor terbesar untuk tekanan osmotik koloid

intravaskuler. Albumin disintesis di dalam hati dan terdiri atas suatu rantai tunggal

dari 610 asam amino. Beberapa tempat pengikatan ligandanya sangat spesifik dan

jenuh, sedang yang lain jauh lebih sedikit. Protein yang larut dalam air dan

mengendap pada pemanasan ini merupakan salah satu konstituen utama tubuh.

Karena albumin disintesis oleh hati, maka albumin dipakai sebagai parameter

pembantu dalam penilaian fungsi ginjal dan saluran cerna. Kadar normal albumin

dalam darah antara 3,5-4,5 g/dl, dengan jumlah total 300 g. Sintesis terjadi hanya

di sel hati dengan produksi sekitar 9-14 g/ hari pada orang sehat, tetapi jumlah

yang dihasilkan bervariasi signifikan pada berbagai tipe stress fisiologis. Waktu

paruh albumin sekitar 18 hari, dengan kecepatan degradasi 4-5 % per hari.

(Vincent J, 2014).

Albumin merupakan protein plasma yang paling tinggi jumlahnya sekitar

60% dan memiliki berbagai fungsi yang sangat penting bagi kesehatan yaitu

pembentukan jaringan sel baru, mempercepat pemulihan jaringan sel tubuh yang

rusak serta memelihara keseimbangan cairan di dalam pembuluh darah dengan

cairan di rongga interstitial dalam batas-batas normal, kadar albumin dalam darah

3,5-5 g/dl (Rusli et al., 2011).

Beberapa protein dalam plasma darah yang menunjukkan adanya

polimorfisme adalah prealbumin, albumin, dan transferin, ketiga protein tersebut

mudah ditemukan dalam jumlah besar. Albumin adalah protein utama yang

(16)

di dalam darah dan bertanggung jawab pada sekitar 80% dari tekanan osmotik

potensial dari plasma (Oktarianti, 2010).

300 gr

PRODUKSI DEGRADASI

INTERSTITIAL INTRAVASKULAR

(plasma)

Kulit / otot 50%

Liver 15%

Gastrointestinal 10%

Ginjal 10%

Lain-lain 15% Hati 100%

9-14 gr/hari 9-14 gr/hari

TOTAL

10L 3 L

40 gr/L 18 gr/L

120 gram 180 gram

Gambar 2.5 Ilustrasi skematis metabolisme albumin pada orang dewasa sehat (Vincent J, 2014).

2.2.1 Sintesis Albumin

Sintesis albumin hanya berlangsung di hati. Seorang manusia yang sehat

dengan berat sekitar 70 kg menghasilkan kurang lebih 14 g albumin sehari.

Artinya, sintesis albumin di hati terdiri dari sekitar 200 mg / kg berat badan / hari.

Albumin memiliki waktu paruh sekitar 18 hari, dengan degradasi 4% setiap

harinya. Setelah disintesis di dalam hati dari asam-asam amino yang berasal dari

katabolisme protein otot atau penyerapan usus, albumin disekresi ke dalam aliran

darah dan terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh. (Vincent J, 2014).

Albumin manusia awalnya disusun oleh gen albumin, yang diperlukan

(17)

menjadi proalbumin,yang merupakan bentuk intraseluler utama dari albumin.

Setelah disintesis, aparatus Golgi dari hepatosit manusia menghilangkan urutan 6

asam amino dari rantai peptida proalbumin, untuk menyelesaikan sintesis

albumin, yang kemudian disekresikan. Albumin tidak disimpan di hati tetapi

langsung disekresikan melalui sirkulasi portal segera setelah albumin dihasilkan.

Pada orang muda yang sehat, kecepatan sintesis albumin adalah 194±37

mg/kg/hari. Kecepatan ini beragam menurut kondisi nutrisi dan penyakit individu.

(Vincent J, 2014).

Albumin hanya dapat disintesa pada keadaan nutrisi, hormonal, dan

lingkungan osmotik yang sesuai. Tekanan osmotik koloid dari cairan interstitial

hepatosit adalah regulator sintesis albumin yang paling penting. Pada keadaan

nutrisi yang cukup, produksi dan sintesa albumin dapat meningkat 2-2.7 kali dari

normal. Selain itu sintesis albumin juga memerlukan mRNA untuk translasi,

pasokan asam amino yang adekuat, diaktivasi dengan mengikat pada tRNA,

ribosom sebagai tempat membentuk, energi dalam bentuk ATP dan GTP(Vincent

J, 2014).

Konsentrasi mRNA tersedia dalam ribosom merupakan faktor penting

dalam mengatur laju sintesis albumin. Trauma dan proses penyakit mempengaruhi

jumlah mRNA. Pengurangan konsentrasi mRNA yang diakibatkan pengurangan

transkripsi gen terlihat pada saat reaksi fase akut yang dimediasi oleh sitokin,

terutama interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor α (TNF-α). Asupan

makanan telah dibuktikan mempengaruhi laju sintesis albumin. Puasa mengurangi

produksi albumin, dan menghindari protein dari makanan menyebabkan

pengurangan sintesis yang lebih besar. Kekurangan protein dalam waktu lama

menyebabkan penurunan aktivitas dan konsentrasi mRNA. Ini bisa terjadi karena

meningkatnya pemecahan bukan karena melambatnya transkripsi gen (Brenner

DA,Buck M, Feitelberg SP, Chojkier M.1990).

Keadaan hormonal dapat mempengaruhi konsentrasi mRNA. Insulin

diperlukan untuk sintesis yang adekuat karena pada sebuah studi pada pasien

diabetes, laju kecepatan sintesis albumin yang menurun kembali meningkat

(18)

sintesis albumin dikombinasi dengan insulin atau asam-asam amino, tetapi juga

meningkatkan katabolisme albumin (Rusli et al., 2011).

2.2.2 Metabolisme Albumin

Konsentrasi albumin serum merupakan nilai selisih antara sintesis dengan

degradasi albumin yang terdistribusi antara kompartemen intravaskuler dan

ekstravaskuler. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa serum albumin dalam

keadaan normal akan melintasi dinding pembuluh darah dan terdistribusi ke ruang

ekstravaskuler di seluruh tubuh, terutama kulit. Pertukaran rata-rata jumlah

volume intra-dan ekstravaskuler (transkapiler) adalah sekitar 5% per jam dari

jumlah albumin intravaskuler. Sejauh distribusi albumin disekresikan, setelah 2

jam sebagian besar (sekitar 90%) masih berada dalam ruang intravaskular, dengan

waktu paruh 15-16 jam. Hampir 10% dari albumin hilang dari kompartemen ini

setiap hari (Vincent J, 2014).

Pada keadaan patologis seperti sepsis dan trauma atau paska pembedahan

mayor, level albumin dapat turun menjadi 1.0-1.5 gr/dL dalam kurun waktu 3-7

hari. Alasan ini dapat disebakan oleh penurunan sintesa albumin dihati,

peningkatan katabolisme, dan peningkatan laju transcapillary escape dimana terjadi kobocoran menuju rongga interstitial. Studi lain menyebutkan waktu paruh

albumin menjadi lebih pendek dibandingkan yang tidak sepsis (8.2±1.4 vs

12.5±1.7). Bahkan pada keadaan syok sepsis dan paska pembedahan jantung, laju

transcapillary escape dapat meningkat 300 % (Margarson MP, Soni N,1998;Gatta

A, Verardo A, Bolognesi M, 2012;Azab BN, Bhatt VR, Vronfolio S, 2013).

2.2.3 Distribusi Albumin

Distribusi albumin dapat dijelaskan dengan dua kompartemen : 40% (120

g) terletak di sistem pembuluh darah dan 60% (180 g) di ruang ekstravaskuler.

Albumin memasuki intravaskular dalam dua cara: (1) dari ruang ekstravaskuler,

melalui drainase limfatik, (2) dari hepatosit, melalui ruang sinusoid. Mekanisme

degradasi albumin belum dapat dijelaskan secara utuh. Sepertinya, mekanisme ini

adalah sebuah proses acak yang seimbang mempengaruhi neosintesis dan molekul

(19)

tubuh manusia memiliki pembuluh kapiler yang berkelanjutan, dan pada beberapa

organ lain terdapat rongga-ronga sinus yang terbuka dengan lebar (hati, sumsum

tulang) dan fenestrated capillaries (usus halus, pankreas, kelenjar adrenal). Menurut teori Starling, kecepatan lintasannya tergantung pada permabilitas

dinding dengan tekanan hidrostatik dan onkotik pada kedua dinding yang akan

dilewati. Mekanisme transport aktif juga berperan dalam lintasan ini (Vincent J,

2014).

Pergerakan albumin yang normal dari intravaskular menuju interstitial 10

kali dari jumlah albumin diproduksi atau 5% dari jumlah albumin berpindah

menuju interstisial. Oleh karena itu transcapillary rate memegang peranan penting terhadap perubahan akut pada konsentrasi serum albumin (Gatta A,

Verardo A, Bolognesi M, 2012)

2.2.4 Ekskresi Albumin

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa pemecahan albumin dapat

terjadi pada sebagian besar organ tubuh: kulit dan otot (40-60%), hati (<15%),

sumsum tulang dan endotelium. Degradasi albumin ini juga terjadi di ginjal

sekitar 10%, dan selebihnya melalui saluran pencernaan.Pada orang normal,

jumlah albumin yang terbuang melalui urin sangat minimal(Vincent J, 2014).

2.2.5 Fungsi Albumin

Albumin merupakan protein plasma yang memiliki beberapa fungsi penting

diantaranya: (Kratz F,2014; Vincent J, 2014)

a. Menjaga tekanan onkotik

Albumin plasma sebesar 75-80 % dan merupakan 50% dari seluruh protein

tubuh. Dalam fungsinya sebagai pemelihara tekanan onkotik, albumin

menahan cairan di plasma terutama pada kapiler arteri dengan

mempertahankan tekanan filtrasi. Sebaliknya pada kapiler vena yang

tekanan hidrostatiknya lebih rendah dari arteri. Apabila terjadi suatu hal,

albumin menurun maka tekanan onkotik akan menurun dan akan

(20)

albumin itu sendiri akan lebih banyak berdifusi ke luar sirkulasi, sehingga

menambah berat keadaan.

b. Sebagai transport

Albumin dapat mengikat berbagai macam substansi termasuk bilirubin,

asam lemak, logam, ion, hormon, dan obat-obatan. Salah satu konsekuensi

dari hipoalbumin adalah obat yang seharusnya berikatan dengan protein

akan berkurang, di lain pihak obat yang tidak berikatan akan meningkat,

hal ini akan meningkatkan kadar obat bebas di dalam darah

c. Keseimbangan asam basa

Albumin dapat bertindak sebagai buffer dengan adanya banyak residu yang bermuatan. Albumin bertanggung jawab terhadap hampir setengah

dari anion gap normal. Pengurangan konsentrasi protein menyebabkan alkalosis metabolik. Pengurangan serum albumin tiap 1 g/dL dapat

meningkatkan bikarbonat 3,4 mmol/liter, menghasilkan base excess 3,7 mmol/liter dan pengurangan anion gap 3 mmol/liter

d. Antioksidan

Albumin dapat mengikat oksigen radikal bebas leukosit

polymorphonuclear pada keadaan inflamasi. Hal ini mempunyai implikasi bahwa pasien-pasien dengan hipoalbumin terjadi pengurangan pengikat

oksigen radikal bebas.

e. Mempertahankan integritas mikrovaskular

Albumin memegang peranan dalam membatasi kebocoran kapiler dengan

mengubah distribusi glikoprotein di dinding pembuluh darah. Dari

pengamatan kultur endotel, albumin juga mempunyai fungsi protektif

langsung untuk mencegah terjadinya apoptosis sel endotel. Proteksi

tertinggi didapati pada konsentrasi fisiologis albumin sehingga dapat

mencegah masuknya kuman-kuman usus kedalam pembuluh darah,

sehingga tidak terjadi peritonitis bakterialis spontan.

f. Memiliki efek antikoagulan

Albumin mempunyai efek antikogulan dalam kapasitas kecil seperti

(21)

struktur dua molekulnya. Heparin mempunyai grup sulfat negatif yang

berikatan dengan grup bermuatan positif pada antitrombin II.

2.3. Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia merupakan masalah yang sering dihadapi pada orang

dengan kondisi medis akut atau kronik. Pada saat masuk rumah sakit sekitar

20% pasien sudah menderita. Kadar albumin darah yang rendah menjadi

prediktor penting berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas. Dikatakan

hipoalbuminemia jika kadar albumin plasma < 3.5 gr/dL. Pada penelitian

meta-analisis didapatkan setiap penurunan albumin darah sebesar 1,0 gr/dL,

angka mortalitas meningkat 137% dan morbiditas 89% . Hipoalbuminemia

dapat disebabkan oleh penurunan produksi albumin, sintesis yang tidak

efektif karena kerusakan sel hati, kekurangan intake protein, peningkatan

pengeluaran albumin karena penyakit lainnya, dan inflamasi akut maupun

kronis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar albumin (Suriyani, 2009).

1. Malnutrisi protein

Asam amino diperlukan dalam sintesis albumin, akibat dari defesiensi

asupan protein terjadi kerusakan pada retikulum endoplasma sel yang

berpengaruh pada sintesis albumin dalam sel hati.

2. Sintesis yang tidak efektif

Pada pasien dengan sirosis hepatis terjadi penurunan sintesis albumin

karena berkurangnya jumlah sel hati. Selain itu terjadi penurunan aliran

darah portal ke hati yang menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen

ke hati.

3. Kehilangan protein ekstravaskular

Kehilangan protein masif pada penderita sindrom nefrotik dapat terjadi

kebocoran protein 3,5 gram dalam 24 jam. Kehilangan albumin juga

dapat terjadi pasien dengan luka bakar yang luas.

4. Hemodilusi

pada pasien asites, terjadi peningkatan cairan tubuh mengakibatkan

penurunan kadar albumin walaupun sintesis albumin normal atau

(22)

5. Inflamasi akut dan kronis

Kadar albumin rendah karena inflamasi akut dan akan menjadi normal

dalam beberapa minggu setelah inflamasi hilang. Pada inflamasi terjadi

pelepasan sitokin (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada stress

fisiologis (infeksi, bedah, trauma) mengakibatkan penurunan kadar

albumin melalui mekanisme berikut:

a. Peningkatan permeabilitas vaskular (albumin berdifusi ke ruang

ekstravaskular).

b. Peningkatan degradasi albumin

c. Penurunan sintesis albumin (TNF-α yang berperan dalam

penurunan trankripsi gen albumin)

Sangat penting bagi klinisi untuk mengetahui bahwa banyak faktor yang

dapat mencetuskan hipoalbuminemia disamping masalah diet nutrisi. Dari

beberapa faktor diatas dapat kita kelompokkan menjadi beberapa kelompok

(Crook MA,2009)

1. Berkurangnya sintesis albumin

 Analbuminemia

Kondisi yang sangat jarang dimana terdapat defisiensi sintesis

albumin

 Fungsi hati terganggu

Penyakit sirosis dimana laju sintesa asam amino tidak adekuat

untuk mengganti asam amino yang di metabolisme.

 Malabsorpsi

Terganggunya fungsi absorpsi saluran cerna yang menyebabkan

gangguan penyerapan asam amino

2. Redistribusi albumin dari plasma menuju rongga interstitial  Peningkatan permeabilitas membran kapiler

Terjadi pada keadaan sepsis dan trauma dimana albumin pindah ke

rongga interstitial

3. Hipoalbuminemia dilusional

 Pemberian cairan albumin intravena

(23)

4. Kehilangan albumin dari tubuh  Sindroma nefrotik

Protein loosing enteropathy  Luka bakar yang luas

5. Peningkatan katabolisme protein yang sering terjadi pada sepsis dan

hipertiroid

Tabel 2.3 Klasifikasi Penyebab Hipoalbuminemia Berdasarkan Kriteria Mekanisme Patogenesis Utama

Mekanisme utama Penurunan Sintesis

Abnormalitas genetik (analbuminemia) Sirosis

Gagal hati akut

Hepatitis akut dan kronis

Defisiensi nutrisi (diet rendah protein) Diabetes

Asidosis metabolik kronis Peningkatan katabolisme

Sepsis dan Infeksi Kanker

Perubahan distribusi albumin Hemodilusi ( kehamilan ) Paska pembedahan mayor Trauma

Gagal jantung Infeksi dan Sepsis Hipotiroid

Luka bakar yang luas Penyakit kulit yang luas Diabetes

peningkatan protein plasma melalui ginjal Sindroma nefrotik

Luka bakar luas dan penyakit kulit yang luas Protein loosing enteropathy

(24)

2.4 Albumin pada keadaan sepsis

Respon albumin plasma sudah diketahui akan turun terhadap inflamasi.

Stres (trauma, infeksi, atau radiasi) selalu mempunyai hubungan dengan

hipoalbuminemia baik itu pada hewan dan manusia. Pengurangan konsentrasi

albumin plasma dapat merupakan konsekuensi dari berbagai faktor, termasuk

perubahan laju sintesis, meningkatnya laju katabolik dan redistribusi albumin dari

plasma ke kompartemen interstisial (Filho, 2010).

Infeksi menginduksi penurunan kadar mRNA albumin hati dan sintesa

albumin relatif terhadap sintesa total protein hati. Sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Ruot et al mengenai perbandingan sintesis albumin di hati dan

intravaskuler pada tikus menyatakan bahwa penurunan level mRNA albumin

sebagai respons infeksi setara dengan penurunan sintesis albumin intrahepatik.

Sebuah studi mengenai mRNA albumin hati tentang kegiatan translasi pada tikus

secara in vitro, menunjukkan bahwa ketika terjadi reaksi inflamasi setelah adanya

cedera jaringan, penurunan level serum albumin berhubungan dengan

berkurangnya konsentrasi dari mRNA albumin di hati. Respon yang terjadi pada

fase akut apabila terjadi trauma, inflamasi atau sepsis, akan terdapat peningkatan

laju transkripsi gen sebagai bentuk positif protein-protein fase-akut, seperti C-reactive protein, dan penurunan laju transkripsi albumin mRNA serta sintesis

albumin. IL-6 dan TNF-α keduanya berperan dalam mengurangi transkripsi gen.

Peradangan yang terjadi pada tikus menurunkan konsentrasi mRNA albumin dan

laju sintesis albumin. Nilai minimum tercapai setelah 36 jam dan kemudian akan

naik kembali. Respon inflamasi yang berkelanjutan pada sepsis dapat

menyebabkan penghambatan sintesis albumin yang berkepanjangan (Castell JV,

Buck M, Feitelberg SP, Chojker M,1990)

Pada keadaan sepsis, katabolisme albumin juga terganggu. Seiring dengan

penurunan konsentarsi serum albumin, laju pemecahan fraksi albumin (fractional

degradation rate) juga akan meningkat. Beberapa penelitian menunjukkan keadaan dimana terjadi peningkatan flux plasma antar kapiler didapati juga peningkatan laju pemecahan albumin. Endothel vaskuler juga diduga memiliki

(25)

bahwa jaringan yang terlibat aktif dalam katabolisme albumin adalah organ-organ

dengan kapiler yang bersifat fenestrated dan discontinuous. Penelitian lain juga menduga semakin banyak jaringan yang terpapar dengan keadaan peningkatan

permeabilitas kapiler, katabolisme juga meningkat. Akan tetapi, hal ini

bertentangan pada penelitian tentang extravasasi albumin pada myxoedema yang menjelaskan terjadinya peningkatan pool albumin di jaringan extravaskuler, maka

akan terdapat penurunan katabolisme albumin. Ini mengindikasikan jika albumin

terperangkap dalsm suatu jaringan, maka albumin yang ada di jaringan tersebut

terlindung dari proses degradasi (Castell JV, Buck M, Feitelberg SP, Chojker

M,1990).

Perubahan distribusi pada pasien kritis berhubungan dengan meningkatnya

kebocoran kapiler. Peningkatan kebocoran kapiler pada keadaan sepsis melibatkan

barrier endothel yang mengalami disfungsi yang mengakibatkan hilangnya protein dari kapiler, munculnya sel-sel inflamasi, perpindahan albumin dari

pembuluh darah ke interstisial kompartemen. Perburukan ini terjadi bahkan 13

kali lipat dibandingkan keadaan normal sehingga penurunan serum albumin

sangat besar. Meningkatnya pertukaran posisi antara albumin dan cairan ke ruang

interstitial mengakibatkan dilusi protein yang bersifat relatif di dalam kapiler,

terjadi penurunan tekanan cairan onkotik koloid, dengan demikian terjadilah

penurunan pertukaran cairan dari jaringan (Ruot B, Breille D, Rambourdin F,

Bayle G, 2000).

Mediator dari kebocoran kapiler ini telah ditemukan pada beberapa

literatur seperti:

• Endotoxin dari bakteri gram negatif.

• Sitokin TNF-α dan IL-6.

• Metabolit asam arakidonat, leukotrien dan prostaglandin.

• Komponen komplemen C3a dan C5a.

• Peptida vasoaktif lain: Bradykinin dan histamine.

(26)

2.5 Dukungan Nutrisi Pada Pasien Sepsis

Dampak dukungan nutrisi pada pasien kritis dengan sepsis telah mendapat

banyak perhatian selama beberapa tahun terakhir ini. Banyak hasil penelitian yang

menunjukkan hasil yang berlawanan. Seperti pada semua pasien kritis, dukungan

nutrisi enteral harus segera dimulai ketika resusitasi dan tekanan perfusi adekuat

telah tercapai. Ketika rute enteral menjadi kontraindikasi, nutrisi parenteral

menjadi pilihan. Hampir setiap penelitian menunjukkan hasil yang positif

terhadap hubungan dukungan nutrisi dengan pencegahan sepsis. Pemberian

nutrisi dengan komposisi yang telah ditetapkan pada 24 jam pertama dapat

menurunkan angka kejadian pneumonia. Suplemen arginin dan glutamin dapat

menurunkan angka kejadian infeksi (Cohen J,Opal S,Calandra T, 2012).

Tujuan utama terapi diet hipoalbuminemia adalah meningkatkan dan

mempertahankan status gizi dalam hal ini kadar serum albumin serta seminimal

mungkin penurunan kadar albumin untuk mencegah komplikasi. Kebutuhan

energi pada hipoalbuminemia diupayakan terpenuhi karena apabila asupan energi

kurang dari kebutuhan maka terjadi pembongkaran protein tubuh untuk diubah

menjadi sumber energi sehingga beresiko memperburuk kondisi hipoalbuminemia

( Hasan dkk, 2008).

2.5.1 Nutrisi pada pasien sepsis

Nutrisi dan infeksi mempunyai interaksi satu sama lain dalam satu

rangkaian sinergis yang nyata, memicu perubahan status nutrisi dan penigkatan

resiko terjadi infeksi rekuren. Episode infeksi menimbulkan keadaan

hipermetabolik dan balans nitrogen negatif yang dimodulasi oleh hormon, sitokin,

dan mediator proinflamasi serta diperburuk dengan berkurangnya asupan nutrisi.

Mobilisasi cadangan protein dan lemak pada keadaan sepsis diperantarai oleh

mediator. Pada manusia dewasa normal, kebutuhan energi dan protein dicukupkan

dengan adanya glukosa, asam amino, dan asam lemak (Kurpad AV, 2006)

Pada pasien sepsis, total energy expenditure (TEE) pada hari pertama kurang lebih 25 kkal/kg/ hari, tetapi pada hari kedua TEE akan meningkat secara

(27)

kebutuhan kalori, proporsi serta kuantitas zat nutrisi yang digunakan. Pemberian

glukosa sebagai sumber energi utama dapat mencapai 4 - 5 mg/kg/menit dan

memenuhi 50 - 60% dari kebutuhan kalori total atau 60 - 70% dari kalori non

protein. Pemberian glukosa yang berlebihan dapat mengakibatkan

hipertrigliseridemia, hiperglikemia, diuresis osmotik, dehidrasi, peningkatan

produksi CO2 yang dapat memperburuk insufisiensi pernafasan dan

ketergantungan terhadap ventilator, steatosis hepatis, dan kolestasis. Pemberian

lemak sebaiknya memenuhi 25 - 30% dari kebutuhan total kalori dan 30 - 40%

dari kalori non protein. Kelebihan lemak dapat mengakibatkan disfungsi neutrofil

dan limfosit, menghalangi sistem fagositik mononuklear, merangsang hipoksemia

yang dikarenakan oleh gangguan perfusi-ventilasi dan cedera membran

alveolokapiler, merangsang steatosis hepatik, dan meningkatkan sintesis PGE2.

Dalam keadaan katabolik, protein otot dan viseral dipergunakan sebagai energi di

dalam otot dan untuk glukoneogenesis hepatik (alanin dan glutamin). Kebutuhan

protein melebihi kebutuhan protein normal yaitu 1,2 g/kg/protein/hari .Kuantitas

protein sebaiknya memenuhi 15 - 20% dari kebutuhan kalori total dengan rasio

kalori non protein/ nitrogen adalah 80:1 sampai dengan 110:1 ( Iqbal M, Xavier

ML,2005).

SEPSIS STABILISASI HEMODINAMIK DAN RESUSITASI

CAIRAN

KONTROL HIPERKATABOLIK

DENGAN DUKUNGAN

NUTRISI

DUKUNGAN NUTRISI DAN REHABILITASI PADA PROSES ANABOLIK

(28)

Tujuan pemberian nutrisi adalah menjamin kecukupan energi dan

nitrogen, tapi menghindari masalah-masalah yang disebabkan overfeeding atau refeeding syndrome seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia, koma non-ketotik hiperosmolar dan

hiperlipidemia. Level yang terbaik untuk memulai pemberian nutrisi pada pasien

sakit kritis adalah 25 kkal/kgbb dari berat badan ideal per hari. Harus diperhatikan

bahwa pemberian nutrisi yang kurang atau lebih dari kebutuhan, akan merugikan

buat pasien. REE dapat bervariasi antara meningkat sampai 40% dan menurun

sampai 30%, tergantung dari kondisi pasien ( Leonard R, 2005).

Pemberian protein yang adekuat adalah penting untuk membantu proses

penyembuhan luka, sintesis protein, sel kekebalan aktif, dan paracrine messenger.

Disamping itu, serum glukosa dijaga antara 100-200 mg/dL. Hiperglikemi tak

terkontrol dapat menyebabkan koma hiperosmolar non ketotik dan resiko

terjadinya sepsis, yang mempunyai angka mortalitas sebesar 40%. Hipofosfatemia

merupakan satu dari kebanyakan komplikasi metabolik yang serius akibat

refeeding syndrome. Hipofosfatemia yang berat dihubungkan dengan komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk insufisiensi respirasi, abnormalitas jantung,

disfungsi SSP, disfungsi eritrosit, disfungsi leukosit dan kesulitan untuk

menghentikan penggunaan ventilator (Higgins PA et al.,2006).

Jenis nutrisi enteral yang digunakan instalasi gizi RSUP Haji Adam Malik

Medan adalah nutren optimum. Nutren optimum adalah makanan bergizi lengkap

dan seimbang yang mengandung mengandung formula seperti yang ada ditabel

dibawah ini untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Cara menggunakan susu ini

(29)

Tabel 2.4 Kandungan nutrisi pada susu formula nutren optimum setiap 237 ml.

Sumber: bagian gizi RSUP Haji Adam Malik Medan

2.5.2 Makro Dan Mikro Nutrien Dalam Nutrisi

2.5.2.1. Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi yang penting. Setiap gram

karbohidrat menghasilkan kurang lebih 4 kalori. Asupan karbohidrat di

dalam diet sebaiknya berkisar 50% - 60% dari kebutuhan kalori. Dalam

diet, karbohidrat tersedia dalam 2 bentuk: pertama karbohidrat yang dapat

dicerna, diabsorbsi dan digunakan oleh tubuh (monosakarida seperti

(30)

polisakarida seperti tepung, dekstrin, glikogen) dan yang kedua

karbohidrat yang tidak dapat dicerna seperti serat. Glukosa digunakan oleh

sebagian besar sel tubuh termasuk susunan saraf pusat, saraf tepi dan

sel-sel darah. Glukosa disimpan di hati dan otot skeletal sebagai glikogen.

Cadangan hati terbatas dan habis dalam 24-36 jam melakukan puasa. Saat

cadangan glikogen hati habis, glukosa diproduksi lewat glukoneogenesis

dari asam amino (terutama alanin), gliserol dan laktat. Oksidasi glukosa

berhubungan dengan produksi CO2 yang lebih tinggi, yang ditunjukkan

oleh RQ (respiratory quotient) glukosa lebih besar dari pada asam lemak

rantai panjang. Sebagian besar glukosa didaur ulang setelah mengalami

glikolisis anaerob menjadi laktat kemudian digunakan untuk

glukoneogenesis hati. Kelebihan glukosa pada pasien keadaan

hipermetabolik menyebabkan akumulasi glukosa di hati berupa glikogen

dan lemak. Meskipun turnover glukosa meningkat pada kondisi stres, metabolisme oksidatif tidak meningkat dalam proporsi yang sama. Oleh

karena itu kecepatan pemberian glukosa pada pasien dewasa maksimal 5

mg/kgBB/menit ( Iqbal M, Xavier ML,2005).

2.5.2.2.Lemak

Komponen lemak dapat diberikan dalam bentuk nutrisi enteral

ataupun parenteral sebagai emulsi lemak. Pemberian lemak dapat

mencapai 30%- 50% dari total kebutuhan. Satu gram lemak menghasilkan

9 kalori. Lemak memiliki fungsi antara lain sebagai sumber energi,

membantu absorbsi vitamin yang larut dalam lemak, menyediakan asam

lemak esensial, membantu dan melindungi organ-organ internal,

membantu regulasi suhu tubuh dan melumasi jaringan-jaringan tubuh.

Pemberian kalori dalam bentuk lemak akan memberikan keseimbangan

energi dan menurunkan insiden dan beratnya efek samping akibat

pemberian glukosa dalam jumlah besar. Penting juga bagi kita untuk

memperkirakan komposisi pemberian lemak yang berhubungan dengan

proporsi dari asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal

(31)

lemak esensial omega 6 dan omega 3 dan komponen antioksidan. Selama

hari-hari pertama pemberian emulsi lemak khususnya pada pasien yang

mengalami stres, dianjurkan pemberian infus selambat mungkin, yaitu

untuk pemberian emulsi Long Chain Triglyseride (LCT) kurang dari 0,1

gram/kgbb/jam dan emulsi campuran Medium Chain Triglyseride

(MCT)/Long Chain Triglyseride (LCT) kecepatan pemberiannya kurang

dari 0,15 gram/kgbb/jam. Kadar trigliserida plasma sebaiknya dimonitor

dan kecepatan infus selalu disesuaikan dengan hasil pengukuran ( Iqbal M,

Xavier ML,2005).

2.5.2.3. Protein

Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi

yang merupakan polimer dan monomer-monomer asam amino yang

dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein

mengandung karbon, Hidrogen, Oksigen, Nitrogen. Kebutuhan protein

bisa diperoleh dari 2 sumber bahan pangan yaitu protein hewani dan

protein nabati. Sumber terbaik protein hewani adalah daging dari mamalia,

unggas, dan ikan laut. Sumber terbaik dari protein nabati adalah dari

kacang-kacangan (Leonard R,2004)

a. Sifat Protein

Protein di alam ditemukan dalam bentuk koloid, kelarutan

protein di dalam air berbeda-beda, dari yang tidak larut (keratin)

sampai yang mempunyai kelarutan tinggi (albumin). Protein dapat

didenaturasi oleh panas, asam kuat, alkali, alkohol, aseton, urea,

garam dan logam berat. Denaturasi adalah proses yang mengubah

struktur molekul tanpa memutuskan ikatan kovalen. Denaturasi dapat

pula didefinisi sebagai perubahan yang besar dalam struktur alami

yang tidak melibatkan perubahan dalam urutan asam-amino.

Denaturasi biasanya diiringi dengan hilangnya aktivitas biologi dan

perubahan yang berarti pada beberapa sifat fisika dan fungsi. Jika

(32)

karena itu sifat sifat kimia, fisik dan biologi yang dimilikinya akan

berubah. (Leonard R,2004)

b. Peranan Protein

 Sebagai zat pembangun, protein berfungsi untuk memperbaiki

kerusakan jaringan (pemeliharaan jaringan) dan untuk

membangun jaringan baru (pertumbuhan dan pembentukan

protein).

 Protein dapat dikatabolisasi menjadi sumber energi atau

sebagai substrat penyusun jaringan karbohidrat dan lemak.  Protein diperlukan dalam tubuh untuk penyusun hormon dan

enzim.

 Sebagai alat pengangkut dan penyimpan. Banyak molekul dengan BM kecil serta beberapa ion dapat diangkut atau

dipindahkan oleh protein-protein tertentu. Misalnya

hemoglobin mengangkut oksigen dalam eritrosit, sedangkan

mioglobin mengangkut oksigen dalam otot.

 Penunjang mekanis. Kekuatan dan daya tahan robek kulit dan

tulang disebabkan adanya kolagen, suatu protein berbentuk

bulat panjang dan mudah membentuk serabut.

 Imunitas. Pertahanan tubuh biasanya dalam bentuk antibodi. Yaitu suatu protein khusus yang dapat mengenal dan

menempel atau mengikat benda-benda asing yang masuk ke

dalam tubuh seperti virus, bakteri, dan sel-sel asing lain.

c. Asam Amino

Protein tersusun dan sejumlah asam amino. Dari keseluruhan

asam amino yang terdapat di alam hanya 20 asam amino yang yang

biasa dijumpai pada protein. Asam amino yang membentuk protein

pada dasamya dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu asam

amino esensial (tidak dapat dibentuk oleh tubuh) dan asam amino non

esensial (dapat dibentuk oleh tubuh). Asam amino yang termasuk

(33)

triptophan, valin, leusin, isoleusin, dan histidin. Sedangkan asam

amino penting dari kelompok non-esensial adalah taurin, karnitin,

sistein, sistin, asam 1-glutamat, GABA (Gama Amino-Butyric Acid),

dan glutation. Glutation juga merupakan suatu antioksidan. Ada pula

yang disebut sebagai asam amino detoksifikasi yang bekerja mengikat

dan menetralkan ksenobiotik, yaitu arginin, glisin, taurin, glutamin,

dan ornitin. Beberapa asam amino lainnya bekerja pada pengendalian

sistem saraf pusat, misalnya asam L-glutamat dan GABA (Leonard

R,2004)

d. Asam Amino Rantai Cabang (Branched Chain Amino Acids / BCAA)

Asam amino rantai cabang atau BCAA adalah asam-asam amino

yang tidak mempunyai ikatan kuntinu dari rantai karbonnya sehingga

asam amino ini mempunyai rantai karbon yang tidak linear sehingga

membentuk rantai cabang. Yang termasuk dalam BCAA ini adalah:

Leucine (Leu), Isoluecin (Ile) dan Valin (Val). Dari penelitian Buse

pada tahun 1975 diketahui bahwa Leucine yang paling berpengaruh

dalam memodulasi status nutrisi. Hal ini didukung oleh penelitian oleh

Mori et all dan penelitian-penelitian lain yang dikhususkan pada

pasien-pasien sepsis oleh Bower dan pasien-pasien dengan penyakit

kritis oleh Gore dan Wolfe. Kebanyakan asam amino didegradasikan

secara efektif oleh hati, kecuali BCAA. Hati mengoksidasi bentuk

konversi BCAA dalam bentuk oxo-ketoacid. Oksidasi yang terbanyak

dari BCAA ini terjadi dalam otot dan jaringan adiposa (Leonard

R,2004)

e. Suplementasi BCAA pada pasien sepsis

Kemampuan leusin dan ketoisocaproic acid untuk memodulasi metabolisme protein pada keadaan sepsis. Dalam penelitian ini

didapati bahwa diperlukan konsentrasi leusin dua kali lipat untuk

menstimulasi sintesa protein pada pasien sepsis dibandingkan pada

(34)

multisenter, prospektif dan acak pada 69 pasien sepsis ICU yang tidak

dapat menerima nutrisi enteral. Penelitian dilakukan dengan pemberian

TPN isokalori dan didapati adanya perbaikan dalam hal mortalitas

pada pasien yang mendapatkan suplementasi BCAA (Leonard

R,2004).

Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk protein adalah 0,8 gram/kgBB/hari atau kurang lebih 10% dari total kebutuhan kalori.

Para ahli merekomendasikan pemberian 150 kkal untuk setiap gram

nitrogen (6,25 gram protein setara dengan 1 gram nitrogen).

Kebutuhan ini didasarkan pada kebutuhan minimal yang dibutuhkan

untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Dalam sehari

kebutuhan nitrogen untuk kebanyakan populasi pasien di IRI

direkomendasikan sebesar 0,15 - 0,2 gram/ kgbb/hari. Ini sebanding

dengan 1 - 1,25 gram protein/ kgbb/hari. Beratnya gradasi

hiperkatabolik yang dialami pasien seperti luka bakar luas, dapat

diberikan nitrogen sampai dengan 0,3 gram/kgbb/hari. studi lain

menyebutkan rata-rata kebutuhan protein pada dewasa muda sebesar

0,75 gram protein/kgbb/hari. Namun selama sakit kritis kebutuhan

protein meningkat menjadi 1,2 - 1,5 gram/kgbb/hari. Pada beberapa

penyakit tertentu, asupan protein harus dikontrol, misalnya kegagalan

hati akut dan pasien uremia, asupan protein dibatasi sebesar 0,5

gram/kgbb/hari.15 Kebutuhan protein pada pasien sakit kritis bisa

mencapai 1,5 - 2 gram protein/kgbb/hari, seperti pada keadaan

kehilangan protein dari fistula pencernaan, luka bakar, dan inflamasi

yang tidak terkontrol. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Elwyn

yang hanya menggunakan dekstrosa 5% nutrisi, menunjukkan bahwa

perbedaan kecepatan kehilangan nitrogen berhubungan dengan tingkat

keparahan penyakit. Disamping itu, keseimbangan nitrogen negatif

lebih tinggi kali pada pasien dengan luka bakar, dan 3 kali lipat pada

sepsis berat apabila dibandingkan dengan individu normal. Data ini

(35)

mencoba untuk mengembalikan keseimbangan nitrogen. (Kreymann et al,2006; Khalid I, Doshi P, Digiovine B,2010).

2.5.2.4 Mikronutrien

Pasien sakit kritis membutuhkan vitamin-vitamin A, E, K, B1

(tiamin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), vitamin C, asam pantotenat dan

asam folat yang lebih banyak dibandingkan kebutuhan normal

sehari-harinya. Khusus tiamin, asam folat dan vitamin K mudah terjadi

defisiensi pada TPN. Dialisis ginjal bisa menyebabkan kehilangan

vitamin-vitamin yang larut dalam air. Selain defisiensi besi yang

sering terjadi pada pasien sakit kritis dapat juga terjadi defisiensi

selenium, zinc, mangan dan copper (Leonard R,2004).

2.5.2.5 Nutrisi Tambahan

Nutrisi tambahan adalah beberapa komponen sebagai tambahan pada

larutan nutrisi untuk memodulasi respon metabolik dan sistim imun, walaupun

signifikansinya belum bisa disimpulkan. Komponen tersebut termasuk growth

hormone, glutamine,branched chain amino acids (asam amino rantai panjang),

novel lipids, omega-3 fatty acids, arginine, nucleotides. Namun perlu di waspadai

khususnya L-arginine yang sering disebut sebagai immune-enhancing diets, dapat

memperburuk sepsis, karena L-arginine akan meningkatkan NO yang dapat

meningkatkan reaksi inflamasi, vasodilatasi, gangguan motilitas usus dan

gangguan integritas mukosa, serta gangguan respirasi. Dapat disimpulkan bahwa

imunonutrisi dapat menurunkan komplikasi infeksi, tapi tidak berhubungan

dengan mortalitas secara umum (Heyland DK et al., 2001).

2.6. Metode Freeze Dryer

Freeze Driyer merupakan suatu alat pengeringan yang termasuk kedalam Conduction Dryer/ Indirect Dryer karena proses perpindahan terjadi secara tidak langsung yaitu antara bahan yang akan dikeringkan (bahan basah) dan media

pemanas terdapat dinding pembatas sehingga air dalam bahan basah / lembab

(36)

bahwa perpindahan panas terjadi secara hantaran (konduksi), sehingga disebut

juga Conduction Dryer/ Indirect Dryer ( Liapis et al., 1994).

Pengeringan beku adalah salah satu metode pengeringan yang mempunyai

keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan, khususnya untuk

produk-produk yang sensitif terhadap panas. Keunggulan pengeringan beku,

dibandingkan metoda lainnya, antara lain adalah:

a. Dapat mempertahankan stabilitas produk (menghindari perubahan aroma,

warna, dan unsur organoleptik lain).

b. Dapat mempertahankan stabilitas struktur bahan (pengkerutan dan

perubahan bentuk setelah pengeringan sangat kecil)

c. Dapat meningkatkan daya rehidrasi (hasil pengeringan sangat berongga

dan lyophile sehingga daya rehidrasi sangat tinggi dan dapat kembali ke sifat fisiologis, organoleptik dan bentuk fisik yang hampir sama dengan

sebelum pengeringan).

Keunggulan tersebut tentu saja dapat diperoleh jika prosedur dan proses

pengeringan beku yang diterapkan tepat dan sesuai dengan karakteristik bahan

yang dikeringkan. Kondisi operasional tertentu yang sesuai dengan suatu jenis

produk tidak menjamin akan sesuai dengan produk jenis lain. Pada prinsipnya

pengeringan beku terdiri atas dua urutan proses, yaitu pembekuan yang

dilanjutkan dengan pengeringan. Dalam hal ini, proses pengeringan berlangsung

pada saat bahan dalam keadaan beku, sehingga proses perubahan fase yang terjadi

adalah sublimasi. Sublimasi dapat terjadi jika suhu dan tekanan ruang sangat

rendah, yaitu dibawah titik tripel air. (Chang BS, Patro SY,2014).

Menurut Liapis et al mengatakan bahwa proses pengeringan beku terdiri atas tiga tahap yaitu:

a. Tahap pembekuan, pada tahap ini bahan pangan atau larutan didinginkan

hingga suhu dimana seluruh bahan baku menjadi beku.

b. Tahap pengeringan utama, disini air dan pelarut dalam keadaan beku

dikeluarkan secara sublimasi. Dalam hal ini tekanan ruangan harus kurang

atau mendekati tekanan uap kesetimbangan air di bahan beku. Karena

bahan pangan atau larutan bukan air murni tapi merupakan campuran

(37)

dan biasanya dibawah -10 °C atau lebih rendah, untuk tekanan kira-kira 2

mm Hg atau lebih kecil. Tahap pengeringan ini berakhir bila semua air

telah tersublim.

c. Tahap pengeringan sekunder, tahap ini mencakup pengeluaran air hasil

sublimasi atau air terikat yang ada dilapisan kering. Tahap pengeringan

sekunder dimulai segera setelah tahap pengeringan utama berakhir.

Ikan gabus diketahui mempunyai senyawa-senyawa penting bagi tubuh

manusia, di antaranya protein yang tinggi, lemak, air dan mineral, sehingga bisa

menjadi alternatif suplemen yang dapat meningkatkan status gizi. Ikan gabus

(Ophiocephalus striatus) sudah dikenal luas di masyarakat mampu mengobati luka

bakar, terinspirasi dari orang-orang Cina yang mengobati luka bakar dengan

mengkonsumsi ikan gabus. Keunggulan ikan gabus dibandingkan dengan produk

lainnya adalah pada kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahannya

untuk dicerna . Penelitian lain menyebutkan bahwa albumin ikan gabus secara

nyata dapat meningkatkan albumin serum dan penutupan luka pada tikus

percobaan. (Brotowijoyo, 1995; Siswono, 2003; Taslim NA, 2005)

Berbeda dengan preparat ektrak ikan gabus yang lain yang diproduksi

melalui proses pemanasan atau pasteurisasi. Prinsip produksi preparat ekstrak ikan

gabus yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan metode freezy dry. Sehingga preparat asam amino yang terkandung didalamnya stabil. Dibuat dengan

campuran ekstrak buah untuk memudahkan pasien yang tidak toleransi terhadap

kapsul dan anak-anak. Ekstrak ikan gabus metode freezy dryer ini berbentuk granul-granul yang sangat kecil (partikel nano) dengan ukuran diameter antara 1

nanometer sampai dengan 100 nanometer, yang mampu terserap dalam sistem

vaskular akibat adanya perbedaan tekanan antara pembuluh darah kapiler dan

mukosa. Proses pengolahan albumin dengan metode freezy dryer bertujuan untuk

meningkatkan stabilitas protein albumin, mempertahankan mutu serta

meningkatkan kemampuan penyerapan. Teknologi nano adalah penerapan ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam penciptaan material, struktur fungsional

maupun piranti dalam ukuran antara 1 dan 100 nanometer. Satu nanometer adalah

seper seribu mikrometer, atau seper sejuta milimeter atau seper semilyar meter.

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (dikutip dari Singer M,2016)
Gambar 2.1 Variasi kondisi yang dapat menimbulkan CRHs di plasma meningkat.(Elamin M, Camporessi E, 2009)
Gambar 2.2 Glukoneogenesis hepatik (Chiolero R, Revelly JP, Tappy L, 1997)
Gambar 2.3 Fase ebb dan fase flow (Preiser JC et al.,2014).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis ragam (Tabel 1.) menunjukkan bahwa perlakuan ransum pakan berbeda, yang meliputi gaplek dengan ekstrak ikan gabus (isolat albumin dan ekstrak kasar), dan yang

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas sampel memiliki defisit total asupan kalori dan protein, serta kadar serum albumin yang cukup, total asupan

Bertambahnya kadar albumin serum tikus setelah diberi ekstrak ikan gabus (ekstrak kasar dan isolat albumin), diduga adanya asam- asam amino penyusun albumin yang

Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh.. manusia, yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal

Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat perbedaan bermakna peningkatan kadar albumin (p=0,015) dan penurunan berat badan (p=0,036) kelompok perlakuan yang diberi

Bertambahnya kadar albumin serum tikus setelah diberi ekstrak ikan gabus (ekstrak kasar dan isolat albumin), diduga adanya asam-asam amino penyusun albumin yang terdapat

Bertambahnya kadar albumin serum tikus setelah diberi ekstrak ikan gabus (ekstrak kasar dan isolat albumin), diduga adanya asam- asam amino penyusun albumin yang

Hasil analisis ragam (Tabel 1.) menunjukkan bahwa perlakuan ransum pakan berbeda, yang meliputi gaplek dengan ekstrak ikan gabus (isolat albumin dan ekstrak kasar), dan yang