• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Pelayanan Publik dalam Pembuatan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah (Studi pada Kantor Pertanahan Nasional Kota Tebing Tinggi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kinerja Pelayanan Publik dalam Pembuatan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah (Studi pada Kantor Pertanahan Nasional Kota Tebing Tinggi)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penilaian kinerja suatu organisasi merupakan hal mendasar yang sangat penting untuk dilakukan. Penilaian kinerja dapat menjadi suatu tolak ukur dalam menentukan keberhasilan suatu organisasi dalam hal pencapaian tujuan organisasi. Penilaian kinerja dalam instansi publik sangat diperlukan guna mengetahui seberapa jauh pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, apakah sudah sesuai dengan harapan masyarakat selaku pengguna jasa pelayanan. Selain itu penilaian kerja dalam instansi publik juga dapat dijadikan sebagai tolak ukur apakah masyarakat sudah puas dengan kinerja pelayanan pemerintah. Dengan adanya informasi tentang penilaian kinerja tersebut dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki kinerja agar lebih sistematis dan tepat arah sehingga tujuan ataupun misi organisasi bisa tercapai dan pelayanan publik yang diberikan bisa lebih optimal. Dengan adanya kinerja birokrasi yang tinggi maka organisasi tersebut akan berjalan secara efektif, efisien dan responsif dalam memberikan pelayanan.

Berikut dikemukakan arti pentingnya penilaian kinerja menurut Agus Dwiyanto (2006:47) yakni: “penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Begitu juga dengan penilaian kerja dalam

organisasi pelayanan publik, penilaian kerja dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai sudah sejauh mana kinerja pelayanan publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan apakah pelayanan yang diberikan tersebut sudah sesuai dengan harapan dan memuaskan masyarakat sebagai pengguna jasa tersebut.

(2)

nepotisme (KKN) serta kemampuan aparatur yang minim merupakan deretan keluhan yang menggambarkan pelayanan publik yang kian memprihatinkan.

Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dijelaskan bahwa masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.

Salah satu pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi publik adalah pelayanan sertifikasi tanah. Tanah merupakan salah satu hak yang dimiliki manusia. Tanah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, misalnya tanah dapat dijadikan sebagai harta atau aset untuk masa depan. Fungsi pokok tanah dalam kehidupan manusia yaitu sebagai tempat untuk hidup dan melestarikan kehidupan mereka.

Tanah memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Karena memiliki arti yang penting maka pemanfaatan dan penggunaan tanah ditujukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa “Bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya maka diperlukannya pengaturan lebih lanjut seperti peraturan undang-undang atau peraturannya lainnya yang mampu mewujudkan kesejahteraan tersebut. Sehubungan dengan ini pemerintah telah membuat suatu undang-undang tentang Agraria yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang-Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA Nomor 5 tahun 1960 yang lahir pada tanggal 24 September 1960).

(3)

dimaksud memberi kewenangan untuk mempergunakan tanah, bumi dan air serta ruang angkasa yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain Hak-hak Atas Tanah juga ditentukan Hak-hak atas air dan ruang angkasa. Dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok– Pokok Agraria Pasal 16 ayat 1 menyebutkan hak – hak atas tanah ialah :

1. Hak tanah sebagai hak guna bangunan. 2. Hak pakai.

3. Hak sewa.

4. Hak membuka tanah

5. Hak memungut hasil hutan, dan sebagainya.

Untuk memperoleh hak-hak atas tanah tersebut maka tiap-tiap individu dapat mendaftarkan tanahnya terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran tanah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Indonesia Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 pasal 5 tentang pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yang dimaksud dengan sertifikat adalah Tanda bukti yang meliputi hak atas tanah, hak pengelolaan, hak tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan.

Pasal tersebut kemudian dikuatkan juga dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 pasal 31 ayat 2 tentang pendaftaran tanah dan kekuatan pembuktian sertifikat yaitu bahwa penerbitan sertifikat yang dimaksud agar pemegang hak tanah dapat dengan mudah membuktikan haknya, oleh karena itu sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Dengan adanya landasan hukum yang kuat apabila terjadi konflik pertanahan, pemilik sertifikat tanah tersebut bisa menuntut pihak lain yang berusaha merebut kepemilikan tanah yang sudah menjadi haknya.

(4)

mengakibatkan sebagian besar masyarakat menjadi malas untuk mengurus sertifikat tanah. Jika dilihat pada Masyarakat Kota Tebing Tinggi maka masyarakat cenderung malas dalam mengurus sertifikasi tanah. Masyarakat merasa hanya dengan memiliki saksi-saksi, akta jual beli, dan surat keputusan pemberian hak itu sudah menjadi bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa itu adalah tanah mereka. Terkecuali jika mereka akan melakukan pinjaman ke bank maka masyarakat mulai mengurus sertifikat tanahnya agar dapat dijadikan jaminan kepada pihak bank. Dan banyak masyarakat yang tidak mengurus sendiri sertifikat tanahnya karena masyarakat merasa jika mereka yang mengurus akan berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang lebih lama, sehingga masyarakat mengurus dengan menggunakan jasa Notaris agar sertifikat tanah mereka cepat selesai, padahal jika mengurus sendiri biayanya akan lebih murah karena tidak dikenakan biaya jasa Notaris.

Kota Tebing Tinggi adalah salah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Kota Medan. Secara geografis terletak pada posisi koordinat geografis 03 19’00’’ – 03 21’00’’ Lintang Utara dan 98 11’ – 98 21’ Bujur Timur. Dari luas lahan yang ada di Kota Tebing Tinggi dipergunakan oleh masyarakat dalam berbagai macam penggunaan tanah. Luas lahan sebagian besar dipergunakan sebagai lahan pertanian mencapai 50,93 % (persen), sedang luas lahan yang terkecil dipergunakan untuk Industri mencapai 0,59 % (persen) yang dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1.1

Luas Dan Porsentase Penggunaan Tanah

Diperinci Menurut Jenisnya di Kota Tebing Tinggi Tahun 2016

JENIS PENGGUNAAN LUAS (Ha) PERSENTASE

1. Pemukiman 13.821,21 35,96

2. Sarana Sosekbud 240,19 6,25

3. Pertanian (sawah,

kebun/tegalan) 1.959,10 50,97

4. Industri 22,85 0,59

5. Semak Belukar 135,60 3,53

6. Lain-lain (Termasuk

rawa-rawa) 104,85 2,74

JUMLAH 3.483,80 100,00

(5)

Dari jumlah bidang - bidang tanah yang ada dalam wilayah Kota Tebing Tinggi, status hak atas bidang-bidang tanah ada yang sudah bersertipikat dan ada yang belum bersertipikat. Bidang tanah yang sudah bersertipikat terdiri dari Sertipikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Sedangkan bidang-bidang tanah yang belum bersertipikat berstatus tanah negara yang dikuasai masyarat belum mempunyai sesuatu hak atas tanah . Jika dibandingkan dari luas dan jumlah bidang tanah tersebut, maka ditemui bidang-bidang tanah sudah bersertipikat lebih sedikit dari luas dan bidang-bidang tanah yang belum bersertipikat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.2

Status Tanah Dalam Persentase Luas Diperinci Menurut Status Tanah Di Kota Tebing Tinggi STATUS

TANAH BIDANG LUAS (Ha) PERSENTASE

Sudah

Bersetifikat 33.405 1.670,25 43,45

Belum

Bersertifikat 54.338 2.173,55 56,55

JUMLAH 87.743 3.843,80 100,00

Sumber data : Kantor Pertanahan Kota Tebing Tinggi Tahun 2016

Tabel 1.3

Banyaknya sertifikat yang dikeluarkan menurut jenis Hak Atas Tanah Di Kota Tebing Tinggi, 2011-2015

No. Jenis Hak Atas

Tanah 2011 2012 2013 2014 2015

1 Hak Milik 1.167 1.680 2.178 1.582 961

2 Hak Guna

Bangunan 9 3 191 134 93

3 Hak Guna

Usaha - - - - -

4 Hak Pakai - - - 10 6

(6)

Tabel 1.4

Banyaknya sertifikat tanah yang dikeluarkan menurut status kepemilikan tanah di Kota Tebing Tinggi , 2013-2015

No. Status Kepemilikan

2013 2014 2015

Rutin Proyek Rutin Proyek Rutin Proyek

1 Hak Milik 1.678 500 1.582 500 961 400

2 Hak Guna

Bangunan 191 - 134 - 93 -

3 Hak Pakai - - 10 - 6 -

4 Hak

Pengelolaan - - - -

5 Hak Guna

Usaha - - - -

6 Hipotik/ Hak

Tanggungan 117 - 972 - 648 -

Sumber : Kantor Pertanahan Kota Tebing Tinggi

Di Kota Tebing Tinggi, kegiatan pendaftaran tanah sudah dilaksanakan

sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang secara oprasional setelah diterbitkan Peraturan

Pemerintah Nomor 10 tahunn 1961 tentang pendaftaran tanah. Namun kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah belum sepenuhnya meliputi atas bidang-bidang tanah yang dikuasai oleh masyarakat. Hal ini dapat disebabkan, bahwa pengetahuan masyarakat tentang arti dan pungsi pendaftaran tanah masih terbatas sehingga dapat mengakibatkan kurangnya minat masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya. Disamping itu pendaftaran tanah dilaksnakan secara sederhana dan tergantung pada perekonomian Negara. Akibat keterbatasan tersebut, maka pelaksanaan pendaftaran tanah belum terlaksana secara menyeluruh atas bidang-bidang tanah (Lubis, 2008:5)

(7)

Sertifikat dobel ini dapat disalahgunakan oleh pemegang sertifikat, karena dengan adanya sertifikat dobel ini pemilik sertifikat tanah dapat mempergunakan sertifikat yang sama untuk hal- hal yang tentunya tidak sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku.

Berbagai permasalahan pertanahan yang muncul merupakan persoalan yang harus diselesaikan dan tentu saja sudah menjadi tanggung jawab Kantor Pertanahan Kota Tebing Tinggi selaku pemberi pelayanan sertifikasi tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang pertanahan di kota Tebing Tinggi. Selain menangani berbagai permasalahan tersebut, Kantor Pertanahan Kota Tebing Tinggi juga berkewajiban melaksanakan berbagai kegiatan pelayanan sertifikasi tanah yang salah satu di antaranya adalah peralihan hak atas tanah.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: Kinerja Pelayanan Publik dalam Pembuatan Sertifikat Hak Milik atas Tanah (Studi pada Kantor Pertanahan Nasional Kota Tebing Tinggi)

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian tentang latarbelakang masalah diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

“Bagaimana kinerja pelayanan publik dalam pembuatan sertifikat hak milik atas

tanah di Kantor Pertanahan Nasional Kota Tebing Tinggi ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kinerja pelayanan publik dalam pembuatan sertifikat hak milik atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tebing Tinggi.

(8)

3. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan manfaat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tebing Tinggi dalam rangka peningkatan kinerja terkait dengan pelayanan publik pembuatan sertifikat hak milik atas tanah.

4. Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara akademis, penelitian ini merupakan salah satu syarat penyelesaian program studi sarjana Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Secara ilmiah, penelitian ini bermaksud untuk menambah pengetahuan serta mengembangkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah.

3. Manfaat praktis, yaitu agar penelitian ini bermanfaat bagi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tebing Tinggi sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan kinerja terkait pelayanan sertifikasi tanah.

4. Secara teoritis dan akademis menambah wawasan ilmu tentang teori-teori administrasi negara atas permasalahan kinerja organisasi publik.

1.5 Kerangka Teori

Kerlinger mengatakan bahwa teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep (Singarimbun,1989:37). Sementara itu dalam bidang administrasi Hoy dan Miskel (Sugiyono,2008:43) mengemukakan:

(9)

Kerangka teori adalah bagian dari penlitian,tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variable pokok, sub variable atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto,1999:92).

Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berpikir, yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih (Nawawi, 1993:40).

1.5.1 Kinerja

1.5.1.1 Pengertian Kinerja

Kinerja berasal dari kata-kata job performance dan disebut juga actual performance atau prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang telah dicapai oleh seorang karyawan. Kinerja menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti “suatu yang dicapai” atau prestasi yang dicapai akan diperlihatkan sehingga kinerja dapat diartikan sebangai prestasi kinerja oleh individu perusahaan. Menurut Simamora (2003:45) kinerja adalah ukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai misinya. Menurut Simanjuntak (2005:11) yang mengemukakan kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu.

Menurut Moenir (2006:121) bahwa kinerja merupakan sebagai hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode

(10)

bersangkutan, harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan atau penyesuaian pelaksanan dan hasil pelaksanaan kegiatan kerja dalam organisasi, pencapaian tugas penting dan berguna untuk menunjukkan keberhasilan memasukan, serta mengeluarkan hasil dan manfaat.spesifik jelas sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan kesalahan dalam interpretasi penyelesaian kerja.

Benardin dan Russel (Keban, 2004:192) mengartikan kinerja sebagai ”....the record of outcomes produced on a specified job function or activity during

a specied time period...”. Dalam definisi ini, aspek yang ditekankan adalah

catatan tentang outcome atau hasil akhir yang diperoleh setelah suatu pekerjaan atau aktivitas dijalankan selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian, kinerja hanya mengacu pada serangkaian hasil yang diperoleh seorang pegawai selama periode tertentu dan tidak termasuk karakteristik pribadi pegawai yang dinilai.

The Scribner-Bantam English Dictionary (Sedarmayanti, 2003 : 147) kinerja (performance) berasal dari akar kata “to perform” yang mempunyai beberapa “entries” berikut :

a. To do carry out; execute. (Melakukan, menjalankan,melaksanakan). b. To discharge of fulfil; as a vow. (Memenuhi atau menjalankan kewajiban

suatu nazar).

c. To portray, as character in a play. (Menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan).

d. To render by the voice or musical instrument. (Menggambarkannya dengan suara atau alat musik).

e. To execute or complete an undertaking. (melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab).

f. To act a part in play. (Melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan). g. To perform music. (Memainkan pertunjukan music).

h. To do what is expected of a person or machine. (Melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin).

1.5.1.2 Aspek-Aspek Kinerja

Umar (Mangkunegara, 2005;46) membagi aspek-aspek kinerja menjadi: mutu

(11)

pengetahuan tentang pekerjaan, tanggung jawab, dan pemanfaatan waktu kerja.

Adapun standar pekerjaan menjadi dua aspek, yaitu aspek kuantitatif dan aspek

kualitatif.

• Aspek kuantitatif meliputi: proses kerja dan kondisi pekerjaan, waktu yang

dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan, jumlahkesalahan dalam

melaksanakan pekerjaan, dan jumlah serta jenispemberian pelayanan dalam

bekerja.

• Sedangkan aspek kualitatif meliputi: ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan,

tingkat kemampuan dalam bekerja, kemampuanmenganalisis data/ informasi,

kemampuan/ kegagalan menggunakanmesin/ peralatan, serta kemampuan

mengevaluasi.

1.5.1.3 Indikator Kinerja

Dalam Mahsun (2006 : 71) definisi indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Sementara menurut Lohman (Mahsun, 2006 : 71) indikator kinerja (performance indicators) adalah suatu variabel yang digunakan untuk mengekspresikan secara kuantitatif efektivitas dan efisiensi proses atau operasi dengan berpedoman pada target-target dan tujuan organisasi.

Ada berbagai macam indikator yang dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi publik. Menurut Mahsun (2006 : 77) jenis indikator kinerja pemerintah daerah meliputi :

a. Indikator masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar

pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini mengukur jumlah sumber daya seperti anggaran (dana), sumber daya manusia, peralatan, material dan masukan lain, yang dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumber daya manusia, suatu lembaga dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan. Tolok ukur ini dapat pula digunakan untuk perbandingan (benchmarking) dengan lembaga-lembaga relevan.

(12)

dominan dalam proses adalah tingkat efisiensi dan ekonomis pelaksanaan kegiatan tersebut. Efisiensi berarti besarnya hasil yang diperoleh dengan pemanfaatan sejumlah input. Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomis adalah bahwa suatu kegiatan dilaksanakan lebih murah dibandingkan dengan standar biaya atau waktu yang telah ditentukan untuk itu.

c. Indikator keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau non fisik. Indikator atau tolok ukur keluaran digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasikan dari suatu kegiatan. Dengan membandingkan keluaran, instansi dapat menganalisis apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Indikator keluaran dijadikan landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Oleh karena itu, indikator keluaran, harus sesuai dengan lingkup dan sifat kegiatan instansi. Misalnya untuk kegiatan yang bersifat penelitian, indikator kinerja berkaitan dengan keluaran paten dan publikasi ilmiah.

d. Indikator hasil (Outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran pada jangka menengah (efek langsung). Pengukuran indikator hasil seringkali rancu dengan indikator keluaran. Indikator outcome lebih utama dari sekedar output. Walaupun produk telah berhasil dicapai dengan baik, belum tentu outcome kegiatan tersebut telah

tercapai. Outcome menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil lebih tinggi yang mungkin mencakup kepentingan banyak pihak. Dengan indikator outcome, organisasi akan dapat mengetahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentuk output memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan yang besar bagi masyarakat banyak.

(13)

panjang. Indikator manfaat menunjukkan hal yang diharapkan dapat diselesaikan dan berfungsi dengan optimal (tepat lokasi dan waktu).

f. Indikator dampak (Impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif.

Ratminto dan Winarsih (2005: 174) menjelaskan bahwa indikator-indikator kinerja sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penelitian yang dilakukan dalam proses penemuan dan penggunaan indikator tersebut. Beberapa indikator tersebut antara lain:

1. McDonald dan Lawton (Winarsih, 2005:174) mengemukakan: output orientedmeasures throughput, efficiency, effectiveness.

a. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organsiasi.

2. Salim dan Woodward (Winarsih, 2005:174-175) mengemukakan: economy, efficiency, effectiveness, equity.

a. Economy atau ekonomis adalah penggunaan sumber daya yang sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan

tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik.

c. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi.

d. Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan.

3. Lenvinne (Winarsih, 2005:175) mengemukakan: responsiveness, responsibility, accountability.

(14)

b. Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan dengan tidak melanggar ketentuanketentuan yang telah ditetapkan.

c. Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat dan dimiliki oleh stake holders, seperti nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Selanjutnya menurut Dwiyanto (2006 : 50-51 ) ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik yaitu sebagai berikut :

a. Produktivitas.

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

b. Kualitas Layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung semakin menjadi penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayaan publik. Banyak pandangan

(15)

Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

c. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiiki kinerja yang jelek pula.

d. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit

maupun implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

e. Akuntabilitas

(16)

Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Kumorotomo (Hessel, 2006 : 52) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publik, antara lain adalah berikut ini.

1. Efisiensi.

Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimmbangan yang berasal dari rasionalitas ekonmomis. Apabila diterapkan secara objektif, kriteria seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan kriteria efisiensi yang sangat relevan.

2. Efektivitas.

Apakah tujuan dari didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen pembangunan.

3. Keadilan

Keadilan mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang

diselenggarakan oleh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang menyangkut pemerataan pembangunan, layanan pada kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.

4. Daya Tanggap

(17)

dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap ini

1.5.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Simanjutak (2005: 52) kinerja dipengaruhi oleh :

1. Kualitas dan kemampuan pegawai. Yaitu hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan/ pelatihan, etos kerja, motivasi kerja, sikap mental, dan kondisi

fisik pegawai.

2. Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan kerja (keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi) dan hal-hal

yang berhubungan dengan kesejahteraan pegawai (upah/ gaji, jaminan sosial,

keamanan kerja).

3. Supra sarana, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan pemerintah dan hubungan industrial manajemen.

Menurut Sedarmayanti (2007:56), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

antara lain :

• Sikap dan mental (motivasi kerja, disiplin kerja, dan etika kerja), • Pendidikan,

• Keterampilan,

• Manajemen kepemimpinan, • Tingkat penghasilan, • Gaji dan kesehatan, • Jaminan sosial, • Iklim kerja,

• Sarana dan prasarana, • Teknologi, dan

• Kesempatan berprestasi.

Menurut Mathis dan Jackson (Sedarmayanti, 2007:58) dalam pembahasan

mengenai permasalahan kinerja karyawan maka tidak terlepas dari berbagai macam

faktor yang menyertai diantaranya :

1. Faktor kemampuan (ability)

Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ)

(18)

diatas rata-rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan

terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari maka akan lebih mudah mencapai

kinerja diharapkan. Oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang

sesuai dengan keahliannya.

2. Faktor motivasi

Motivasi terbentuk sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi

(situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang

terarah untuk mencapai tujuan kerja.

Menurut Sedarmayanti (2007:70), instrumen pengukuran kinerja merupakan

alat yang dipakai dalam mengukur kinerja individu seorang pegawai yang meliputi,

yaitu :

1. Prestasi Kerja, hasil kerja pegawai dalam menjalankan tugas, baik secara kualitas maupun kuantitas kerja.

2. Keahlian, tingkat kemampuan teknis yang dimiliki oleh pegawai dalam

menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya. Keahlian ini bisa dalam

bentuk kerjasama, komunikasi, insentif, dan lain-lain.

3. Perilaku, sikap dan tingkah laku pegawai yang melekat pada dirinya dan dibawa dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Pengertian perilaku disini juga

mencakup kejujuran, tanggung jawab dan disiplin.

4. Kepemimpinan, merupakan aspek kemampuan manajerial dan seni dalam memberikan pengaruh kepada orang lain untuk mengkoordinasikan

pekerjaan secara tepat dan cepat, termasuk pengambilan keputusan, dan

penentuan prioritas.

Menurut Keban (2004 : 203) untuk melakukan kajian secara lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penilaian kinerja di Indonesia, maka perlu melihat beberapa faktor penting sebagai berikut :

1. Kejelasan tuntutan hukum atau peraturan perundangan untuk melakukan penilaian secara benar dan tepat. Dalam kenyataannya, orang menilai secara subyektif dan penuh dengan bias tetapi tidak ada suatu aturan hukum yang mengatur atau mengendaikan perbuatan tersebut.

(19)

digunakan dalam sistem penilaian kinerja sebenarnya diatur dalam manajemen sumber daya manusia tersebut. Dengan demikian manajemen sumber daya manusia juga merupakan kunci utama keberhasilan sistem penilaian kinerja.

3. Kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh manajemen suatu organisasi dengan tujuan penilaian kinerja. Apabila paradigma yang dianut masih berorientasi pada manajemen klasik, maka penilaian selalu bias kepada pengukuran tabiat atau karakter pihak yang dinilai, sehingga prestasi yang seharusnya menjadi fokus utama kurang diperhatikan.

4. Komitmen para pemimpin atau manajer organisasi publik terhadap pentingnya penilaian suatu kinerja. Bila mereka selalu memberikan komitmen yang tinggi terhadap efektivitas penilaian kinerja, maka para penilai yang ada dibawah otoritasnya akan selalu berusaha melakukakan penilaian secara tepat dan benar.

Ruky (Hessel, 2005: 180) mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi sebagai berikut:

1. Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi, semakin berkualitas teknologi yang digunakan, maka akan semakin tinggi tingkat kinerja organisasi tersebut;

2. Kualitas input atau material yang digunakan oleh organisasi;

3. Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penataan ruangan, dan kebersihan;

4. Budaya organisasi sebagai pola tingkah laku dan pola kerja yang ada dalam organisasi yang bersangkutan;

5. Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota organisasi agar bekerja sesuai dengan standar dan tujuan organsiasi;

(20)

1.5.2 Pelayanan

Konsep pelayanan yang diberikan oleh Ivancevich, Loronzi, Skinner dan Crosby (Winarsih, 2006 : 2) : “Pelayanan adalah Produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan.” Definisi yang lebih rinci juga dijelaskan oleh bronroos (Winarsih, 2006 : 2) sebagaimana yang dikutip dibawah ini :

“Pelayanan adalah suatu aktifitas atau serangkaian aktifitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan.”

Selanjutnya yang dimaksud pelayanan umum menurut Moenir (Hessel, 2005:208) pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung. Pelayanan yang diperlukan manusia pada dasarnya ada dua jenis, yaitu layanan fisik yang sifatnya pribadi sebagai manusia dan layanan administratif yang diberikan oleh orang lain selaku anggota organisasi baik itu organisasi masa atau negara.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sinambela,2006:4) dijelaskan pelayanan sebagai hal, cara atau hasil pekerjaan melayani. Pelayanan publik juga dapat diartikan pengabdian serta pelayanan kepada masyarakat berupa usaha yang dijalankan dan pelayanan itu diberikan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektivitas, ekonomis serta manajemen yang baik dalam pelayanan

kepada masyarakat dengan baik dan memuaskan (Lukman, 2006:82).

Menurut Kotler (Sinambela, 2006 : 4), pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Menurut Monir (Pasolong, 2007:128) pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung. Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas birokrat terhadap masyarakat (Sinambela, 2008 : 6)

1.5.2.1 Pelayanan Publik

(21)

mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan.

Sementara menurut Joko Widodo pelayanan publik yang harus dilakukan oleh birokrasi adalah suatu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public service) oleh birokrasi publik dimaksud untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state).

Definisi pelayanan sendiri menurut Keputusan Mentri Penerapan Aparatur Negara No.81/1993 adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.

1.5.2.2 Asas dan Tujuan Pelayanan Publik

Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 (pasal 4), yaitu:

1. Kepentingan umum

Artinya, pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan atau golongan.

2. Kepastian hukum

Artinya, jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.

3. Kesamaan hak

Artinya, pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.

4. Keseimbangan hak dan kewajiban

Artinya, pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.

5. Keprofesionalan

(22)

6. Partisipatif

Artinya, peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif

Artinya, setiap warga negara memperoleh pelayanan yang adil. 8. Keterbukaan

Artinya, setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.

9. Akuntabilitas

Artinya, proses penyelengaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

10.Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan

Artinya, pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.

11.Ketepatan waktu

Artinya, penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.

12.Kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan

Artinya, setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah dan

terjangkau.

Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasaan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari:

1. Transparansi

Yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

(23)

Yaitu pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

3. Kondisional

Yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

4. Partisipatif

Yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan hak

Yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain 6. Keseimbangan hak dan kewajiban

Yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.

1.5.2.3 Kriteria Pelayanan Publik

Menurut Zethaml & Farmer (Pasolong, 2007 : 133), ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan, yaitu:

1. Intangibility

Pelayanan pada dasarnya bersifat performance dan hasil pengalaman dan bukan objeknya.Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau dites sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas. Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites kualitasnya sebelum disampaikan pada pelanggan.

2. Heterogeinity

Pemakai jasa atau klien atau pelanggan memilk kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas berbeda. Demikian pula performance sering bervariasi dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu.

(24)

Produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya didalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa kedalam produksi disektor pabrik kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas terjadi selama interkasi antara klien/pelanggan dengan penyedia jasa.

Menurut Keputusan MenPAN Nomor 06/1995 tentang Pedoman Penganugerahan Piala Abdisatyabakti Bagi Unit Kerja/Kantor Pelayanan Percontohan, sebagaimana tertera pada lampirannya diatur mengenai kriteria pelayanan masyarakat yang baik, yaitu sebagai berikut:

1. Kesederhanaan

Kriteria ini mengandung arti bahwa prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.

2. Kejelasan dan Kepastian

Kriteria ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: a. Prosedur atau tatacara pelayanan.

b. Persyaratan pelayanan.

c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan.

d. Rincian biaya atau tarif pelayanan dan tatacara pembayarannya.

e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan. 3. Keamanan

Kriteria ini mengandung arti bahwa proses serta hasil pelayanan dapat memberi rasa aman, kenyamanan, dan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

4. Keterbukaan

Kriteria ini mengandung arti bahwa prosedur, tatacara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tarif, serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan pada masyarakat agar mudah diketahui.

(25)

Kriteria ini mengandung arti:

a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan.

b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan peryaratan dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintahan lain yang terkait.

6. Ekonomis

Kriteria ini mengandung arti bahwa biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan:

a. Nilai barang dan atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi diluar kewajaran.

b. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar. c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Keadilan Merata

Kriteria ini mengandung arti bahwa cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan

diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat. 8. Ketepatan Waktu

Kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu telah ditentukan.

1.5.2.4 Jenis-Jenis Pelayanan Publik

Bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis pelayanan, yaitu:

1. Pelayanan administratif

(26)

antara lain : Sertifikat tanah, IMB, pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akte kelahiran, akte kematian), dan lain sebagainya.

2. Pelayanan barang

Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi termasuk penyampaiannya kepada konsumen langsung (sebagai unit/individu) dalam suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunanya. Contoh pelayanan ini, antara lain: listrik, pelayanan air bersih, pelayanan telepon, dan lain sebagainya.

3. Pelayanan jasa

Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu sistem pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu. Contoh pelayanan ini, antara lain : Pelayanan angkutan darat/air/udara, pelayanan kesehatan, perbankan, pos, dan lain sebagainya.

Ketiga jenis pelayanan tersebut, orientasinya adalah pelanggan atau masyarakat (publik). Artinya, kinerja pelayanan publik instansi pemerintah harus

(27)

1.5.2.5 Standar Pelayanan Publik

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan penerima pelayanan.

Berdasarkan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003 tentang pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik, standar pelayanan dikembangkan menjadi 14 unsur yang “relevan”, “valid” dan “reliebel”, sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai berikut :

a. Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

b. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administrative yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.

c. Kejelasan tugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas dalam memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawab).

d. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan pelayanan.

e. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

f. Kecepatan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat.

g. Keahlian mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.

(28)

i. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan sesuai dengan waktu yang ditetapkan.

j. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang ditetapkan dengan biaya yang dibayarkan.

k. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap pembiayaan yang ditetapkan oleh unit pelayanan.

l. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang akibatnya dari pelaksanaan.

m. Sarana dan Prasarana, penyediaan saran dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggaraan pelayanan publik.

Sedangkan berdasarkan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 tahun 2014 tentang pedoman standar pelayanan, terdapat beberapa persamaan dalam keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003 tersebut diatas, dan pada Nomor 15 tahun 2014 ini terdapat beberapa tambahan sebagai berikut :

a. Identifikasi Persyaratan, yaitu persyaratan pelayanan merupakan suatu tuntutan yang harus dipenuhi, persyaratan pelayanan ini dapat berupa dokumen atau barang/hal lain, tergantung kebutuhan masing-masing jenis pelayanan.

b. Identifikasi Prosedur, yaitu tata cara pelayanan yang dibakukan bagi penerima pelayanan.

c. Identifikasi Waktu, yaitu jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan.

(29)

e. Identifikasi Produk Layanan, yaitu hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, proses identifikasi ini dilakukan untuk setiap jenis pelayanan.

f. Penanganan Pengelolaan Pengaduan, yaitu organisasi penyelenggara pelayanan wajib membuat mekanisme pengelolaan pengaduan. Bentuk-bentuk pengelolaan pengaduan yang banyak digunakan antara lain: penyediaan kotak saran/kotak pengaduan, sms, portal pengaduan dalam bentuk website, dan penyediaan petugas penerima pengaduan.

1.5.3 Sertifikat Tanah

I.5.3.1 Pengertian Sertifikat Tanah

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dijelaskan bahwa dalam mewujudkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah maka perlu dilakukan kegiatan pendaftaran oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur. Salah satu kegiatan pendaftaran tanah adalah pemberian tanda bukti hak. Tanda yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah adalah sertifikat.

Menurut PP No. 10 Tahun 1960 disebutkan bahwa sertifikat tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu bersama-sama dengan kertas sampul yang bentuknya ditentukan oleh Menteri Agraria. Sedangkan dalam PP No.24 Tahun 1997, sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana

(30)

tercantum dalam buku tanah sebagai pemegang hak atau kepada pihak yang diberikan kuasa oleh pemegang hak.

I.5.3.2 Fungsi Sertifikat Tanah

Menurut Adrian (Sutedi, 2012 :57), fungsi sertifikat tanah yaitu :

1. Sertifikat tanah sebagai alat pembuktian yang kuat sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah. Apabila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Semua keterangan yang tercantum dalam sertifikat itu mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

2. Sertifikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditor untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya. Dengan demikian, apabila pemegang hak atas tanah itu seorang pengusaha akan memudahkan baginya mengembangkan usahanya karena kebutuhan akan modal mudah diperoleh.

3. Bagi pemerintah, dengan adanya sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada kantor agraria. Ini tentu akan membantu dalam memperbaiki administrasi pertanahan di Indonesia.

I.5.3.3 Jenis–Jenis Sertifikat Tanah

Menurut Jimmy Joses (Adrian, 2012 : 5), hak atas tanah dapat diperoleh berdasarkan transaksi, perbuatan hukum atau ketentuan perundang-undangan. Perolehan hak tersebut dapat dibuktikan melalui sertifikat tanah. Berikut beberapa sertifikat hak atas tanah, yaitu :

1. Hak Milik (HM)

(31)

terpenuh yang dapat dipunyai orang-orang atas tanah dengan mengingat peraturan ketentuan dalam pasal 6. Dalam UUPA pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), diatur mengenai pembatasan-pembatasan terhadap kepemilikan atas tanah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa yang berhak atas hak milik adalah warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan memenuhi syarat-syarat dapat mempunyai hak milik. Sementara itu, orang-orang wajib melepaskan hak milik atas tanah menurut pasal 21 ayat (3) dan (4) UUPA, sebagai berikut :

a. Warga negara asing.

b. Warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya.

c. Seseorang yang memiliki dua status kewarganegaraan.

2. Hak Guna Usaha (HGU)

Hak guna usaha adalah tanah diserahkan kepemilikan kepada subjek atas tanah lain untuk jangka waktu tertentu dan jika jangka waktu tersebut telah tercapai, tanah tersebut harus diserahkan kembali kepada negara. Artinya kepemilikan hak guna usaha bersifat sementara.

Ketentuan hukum mengenai hak guna usaha diatur dalam pasal 28 UUPA yang menetapkan sebagai berikut :

a. Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UUPA, guna usaha pertanian, perikanan, atau peternakan.

b. Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektare dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektare atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan jaman.

c. Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan.

3. Hak Guna Bangunan (HGB)

(32)

4. Hak Pakai (HP)

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau sesuai dengan pasal 41 ayat (1) UUPA yang mendefenisikan hak pakai yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa ketentuan undang-undang ini.

I.5.3.4 Syarat-Syarat Untuk Mendapatkan Sertifikat Tanah

Dalam Perkaban No. 1 Tahun 2010, diatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk mendapatkan sertifikat tanah. Adapun persyaratannya, yaitu :

1. Mengisi dan menandatangani formulir permohonan (idenditas diri, luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon, pernyataan tidak sengketa dan tanah dikuasai secara fisik).

2. Surat kuasa apabila dikuasakan.

3. Fotocopy idenditas (KTP dan KK) pemohon atau kuasa apabila dikuasakan.

4. Bukti kepemilikan tanah.

5. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan.

6. Melampirkan SPP/PPh sesuai dengan ketentuan.

1.5.4 Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN)

1.5.4.1. Definisi Kantor Badan Pertanahan Nasional

(33)

Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah).

Karena Indonesia merupakan Negara Hukum, maka segala kebijakan yang menyangkut kehidupan publik diatur dengan berlandaskan hukum oleh para pembuat kebijakan. Jenis-jenis perundang-undangan di Negara Republik Indonesia (dengan penyesuaian penyebutan berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 adalah sebagai berikut.

1. Peraturan perundang-undangan di Tingkat Pusat

a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. b. Peraturan Pemerintah.

c. Peraturan Presiden. d. Peraturan Menteri.

e. Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen. f. Peraturan Direktur Jendral Departemen.

g. Peraturan Badan Hukum Negara.

2. Peraturan Perundang-undangan di Tingkat daerah a. Peraturan Derah Provinsi.

b. Peraturan/Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi. c. Peraturan Daerah Kabupaten Kota.

d. Peraturan/Keputusan Bupati/Walikota Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

1.5.4.2 Fungsi dan Agenda Kebijakan Kantor Badan Pertanahan Nasional

Fungsi Kantor Badan Pertanahan Nasional dalam menyelenggarakan tugas, Kantor Badan Pertanahan Nasional mempunyai fungsi sebagai berikut :

a. Penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka pelakasanaan tugas pertanahan.

b. Pelayanan, perijinan, dan rekomendasi di Bidang Pertanahan.

(34)

d. Pelaksanaan pengendalian pertanahan, pengelolaan tanah Negara, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

e. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum dibidang Pertanahan. f. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah.

Kantor Pertanahan yang sebagaimana dimaksud sebagai instansi vertikal dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) menurut Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia memiliki agenda kebijakan yaitu :

a. Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional. b. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran, serta sertifikasi

tanah secara menyeluruh diseluruh Indonesia.

c. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah (land tenureship).

1.5.5. Peralihan Jual Beli Hak Milik Atas Tanah

1.5.5.1. Pengertian Peralihan Hak Milik Atas Tanah

Peralihan Hak Milik atas Tanah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan Hak Atas Tanah merupakan suatu proses pemindahan hak atas tanah dari Pihak Pertama (Penjual) kepada Pihak Kedua (Pembeli), dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Peralihan hak baru terjadi setelah adanya penyerahan (levering) dari pihak penjual kepada pihak pembeli (Pasal 1459 KUHP Perdata). Terhadap hak kebendaan untuk barang tak bergerak penyerahannya dilakukan dengan balik nama dihadapan pegawai kadaster atau pegawai penyimpanan hipotik. Seseuai dengan sifat obligator tadi, maka penyerahan terjadi apabila harga yang diperjanjikan telah dibayar lunas oleh pembeli.

1.5.5.2. Pengertian Jual Beli

(35)

Sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata, bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan kepada pembeli dan membayar dengan harga yang telah diperjanjikan, pada pengertian jual beli menurut KUH Perdata tersebut diatas, tidak dipersoalkan objek yang diperjual belikan, namun dengan demikian dikarenakan jual beli itu adalah suatu perjanjian, maka berlakulah ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata didalamnya. Menurut ketentuan dari pasal ini, bahwa objek yang diperjanjikan harus ditentukan jenisnya untuk mana kemudian dicantumkan didalam perjanjian.

Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata, yang antara lain menyebut, bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak yang pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai objek yang diperjanjikan dan harganya, walaupun hak atas tanah belum diserahkan dan harganya belum dibayar atau telah dibayar sebahagian saja.

Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 1983 : 120), jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti, bahwa perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan pihak yang berwenang seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), atau jika tanah adat harus dilakukan dihadapan kepala adat yang berperan sebagai Pejabat yang menanggung keteraturan, dan sahnya perbuatan pemindahan hak itu. Dengan tunai maksudnya ialah, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran atas

tanah tersebut dilakukan secara kontan atau sebagian sesuai dengan perjanjian. Dengan telah terjadinya jual beli sedemikian itu, tidaklah berarti bahwa haknya sipenjual atas objek perjanjian beralih dengan sendirinya kepada sipembeli. Pengertian jual beli menurut Hukum Adat Indonesia, seperti diketahui bahwa ketentuan Hukum Adat sebagian besar adalah tidak tertulis, demikian jugalah terhadap pengertian jual beli ini.

1.5.5.3. Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

(36)

berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.01-HT.03.01 tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris dalam Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.

Notaris adalah pejabat umum maksudnya adalah seseorang yang diangkat, diberi wewenang dan kewajiban oleh Negara untuk melayani publik dalam hal tertentu. Notaris merupakan merupakan pejabat publik yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, guna memberi perlindungan dan jaminan hukum demi tercapainya kepastian hukum dalam masyarakat. Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik negara, yang khususnya dibidang hukum Perdata.

Sedangkan yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ialah, pejabat yang berfungsi membuat akta yang bermaksud memindahkan tanah, memberikan hak baru atau membebankan hak atas tanah. Menurut Effendi Perangin dalam Hukum Agraria Indonesia (1994 : 3), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.

(37)

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37/1998, tanggal 5 Maret 1998, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terdiri dari PPAT, PPAT sementara dan PPAT Khusus, dikemukakan bahwa :

a. PPAT adalah : pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, biasanya jabatan ini dirangkap juga oleh Notaris.

b. PPAT Sementara adalah : Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat Akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.

c. PPAT Khusus adalah : Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk

1.5.5.4. Pengertian Hak Milik Atas Tanah

Hak milik merupakan hak atas tanah yang terkuat, terpenuh, dan bersifat turun temurun serta merupakan induk dari hak-hak lain dengan jangka waktu yang tidak terbatas. Hak Milik bisa dialihkan, dijaminkan, dan diwariskan. Dalam penulisan ini Hak Milik yang maksud adalah berbentuk Sertipikat Hak Milik.

Menurut pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Turun temurun: maksudnya Hak Milik atas Tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka Hak Milinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik. Terkuat maksudnya: Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas

tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh: Hak Milik atas Tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk kepada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.

(38)

terhadap hak- hak orang lain.

Kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan adanya pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan Undang-Undang.

1.5.5.5. Pendaftaran dan Penerbitan Hak Milik Atas Tanah

Sertipikat hak atas tanah sebagai produk akhir dari pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh hukum, yakni Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah mengikat bagi para pejabat Badan Pertanahan Nasional untuk menerbitkan sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat atas pemilikan tanah.

Sejak berlakunya PP Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap/yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi). Akta Jual Beli yang ditandatangani para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan.

Demikian juga menurut PP Nomor 24 tahun 1997 (Pasal 3 ayat 1), menghendaki perjanjian jual beli tanah harus dibuat dalam bentuk akta autentik

yang dibuat dihadapan para pejabat yang bewenang, yakni PPAT.

(39)

tersebut diterima oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional, maka setelah selesai terbitlah sertipikat atas nama pembeli yang baru tadi. Dan sertipikat itu telah resmi menjadi hak milik pembeli sepenuhnya.

1.6 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1989:33). Melalui konsep peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan lainnya.

Adapun definisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kinerja

Kinerja adalah ukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai misinya. Prestasi yang dicapai akan diperlihatkan sehingga kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kinerja oleh individu atau kelompok. Kinerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan melihat bagaimana kinerja pelayanan publik oleh Kantor Pertanahan Nasional Kota Tebing Tinggi dalam pembuatan sertifikat hak milik atas tanah. Adapun beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik yaitu sebagai berikut Dwiyanto (2006 : 50-51 ) :

a. Produktivitas. b. Kualitas Layanan c. Responsivitas d. Responsibilitas e. Akuntabilitas

2. Pelayanan Publik

Pelayanan publik adalah setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah terhadap

sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam

suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasaan meskipun hasilnya

tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah pelayanan penerbitan sertifikat hak milik tanah di

(40)

3. Kriteria Pelayanan Publik

Berdasarkan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan

Reformasi Birokrasi Nomor 15 tahun 2014 tentang pedoman standar pelayanan, terdapat beberapa persamaan dalam keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003 tersebut diatas, dan pada Nomor 15 tahun 2014 ini terdapat beberapa tambahan sebagai berikut :

a. Identifikasi Persyaratan b. Identifikasi Prosedur c. Identifikasi Waktu

d. Identifikasi Biaya/Tarif e. Identifikasi Produk Layanan

f. Penanganan Pengelolaan Pengaduan

4. Sertifikat Tanah

Sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah dan hak atas

pengelolaan.

5. Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), yaitu menyusun rencana,

menyusun program, dan penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas

pertanahan, pelayanan perijinan, pelaksanaan survey, pengukuran, pemetaan

(41)

1.7 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep dan sistematika penulisan.

BAB II : METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini memuat tentang gambaran umum atau karakteristik lokasi penelitian yaitu Kantor Pertanahan Nasional Nasional Kota Tebing Tinggi.

BAB IV : PENYAJIAN DATA

Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis, serta memuat pembahasan atau interpretasi dari data-data yang disajikan pada

bab sebelumnya.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini membahas tentang analisa data yang telah diperoleh selama proses penelitian.

BAB VI : PENUTUP

Gambar

Tabel 1.3

Referensi

Dokumen terkait

Saat keluaran jaringan tidak sama dengan keluaran yang diharapkan maka keluaran akan menyebar mundur ( backward) pada lapisan tersembunyi diteruskan ke unit. pada

pertanyaan/penyelidikan untuk konsultasi publik dan rekomendasi atas persetujuan formal dari draf akhir. The Standardisation Committee decides by a positive vote of 70

Ketidaknyamanan pasien untuk menjadi proses hemodialisis sebanyak tiga kali seminggu dengan perawatan selama empat jam mendorong ahli medis untuk mengevaluasi cara yang berbeda

Atribut-atribut tersebut adalah kualitas grafis, tidak sering crash,tidak sering hang, tidak sering lag, kapasitas baterai, kualitas gambar yang ditangkap/diambil,

Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu mengkaji kualitas air Danau Toba dan pertumbuhan eceng gondok di Danau Toba Kabupaten Samosir; mengkaji pemanfaatan eceng

Tujuan Penelitian untuk mengetahui strategi pengembangan Bandara Internasional Soekarno Hatta dalam peningkatan pelayanan publik di bandara berdasarkan kombinasi dari

Judul Skripsi : Pengaruh Kebijakan Dividen, Kebijakan Hutang, Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan