• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wayang Potehi Tiongkok Di Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan Dan Teks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wayang Potehi Tiongkok Di Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan Dan Teks"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,

tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari

luar nusantara. Di Indonesia, selain ditemukan kebudayaan suku-suku pribumi,

dapat ditemukan juga kebudayaan dari suku Arab, Tionghoa, dan suku lainnya

(Hoed, 2011:198). Dengan keanekaragaman suku yang ada di Indonesia, maka

semakin banyak pula ragam kebudayaannya. Indonesia sendiri memiliki banyak

jenis kebudayaan baik dari segi adat istiadat, makanan, kesenian, pakaian, dan

lain-lain.

Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, dan

makhluk manusia merupakan pendukung kebudayaan. Sekalipun makhluk manusia

akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan untuk

keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak

hanya terjadi secara vertikal atau kepada anak cucu mereka, melainkan dapat pula

dilakukan secara horizontal, yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari

manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka

kebudayaannya, akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau dapat

dikomunikasikan dengan individu lainnya, karena ia mampu mengembangkan

gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa, serta

dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis

(2)

Salah satu contoh seni budaya di Indonesia yang masih melekat dan masih

digemari adalah wayang. Wayang dalam kebudayaan etnik natif di Indonesia

terdapat di dalam kebudayaan Jawa, Sunda, Bali, Melayu, dan lainnya. Wayang ini

juga memiliki berbagai varian seperti: wayang kulit (purwa), wayang wong,

wayang golek, wayang kritik, wayang krucil, wayang Melayu, dan lain-lainnya. Di

dalam pertunjukan wayang ini terdapat unsur cerita (berupa prolog, dialog, epilog,

baik yang dilakukan oleh dalang atau para pelakon). Adapula ensambel pengiring

dan penyanyi vokal, dan juga tata panggung, rias, cahaya, kostum, dan lain-lainnya.

Sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai hiburan yang

mengandung cerita baku baik untuk tontonan maupun tuntunan. Aneka jenis

wayang di Indonesia, tidak hanya berasal atau ciptaan dari masyarakat pribumi saja,

tetapi ada juga jenis wayang yang berasal dari kaum non pribumi.

Warga keturunan Tionghoa misalnya yang sudah banyak tersebar di

Nusantara. Masuknya mereka ke Indonesia dengan membawa budaya yang telah

melekat dalam diri ataupun hasil pewarisan. Bahasa Tionghoa juga salah satu dari

budaya tua dan kompleks di dunia. Budaya Tionghoa yang telah dikenal di

Indonesia mencakup kuliner, kesenian, musik, perayaan, bahasa, pakaian, dan

lain-lainnya. Seni menjadi salah satu pembentuk kebudayaan. Seni pertunjukan seperti

barongsai, liongsai, wayang potehi, kaligrafi Tiongkok, dan ukiran adalah kesenian

yang masih lestari hingga kini.

Secara historis, kesenian wayang potehi ini sudah berumur sekitar 3.000

tahun. Seni wayang ini pertama kali diciptakan oleh lima narapidana terhukum mati

pada zaman dinasti Jin, 265-420 Masehi pada masa pemerintahan Raja Tioe Ong.

(3)

memanfaatkan barang-barang yang ada di balik sel mereka. Ajakan ini direspon

baik oleh empat narapidana yang lain. Dari balik bui itulah mereka merancang satu

pertunjukan san menyiapkan segala perlengkapannya, termasuk “alat musik”

seadanya, yaitu, tangkai sapu bambu bekas (alat untuk mengatur aba-aba musik),

pecahan kaca, tutup panci bekas, baskom (sebagai gembreng/ alat musik pukul),

serta sapu tangan bekas/ perca dan sobekan kain (untuk baju tokoh wayangnya).

Akhirnya mereka menyelenggarakan pementasan kecil-kecilan yang ternyata

hal ini sampai ke telinga sang raja. Kemudian mereka ditantang untuk tampil di

hadapan raja dan akan mendapat imbalan terbebas dari hukuman bila sang raja

merasa senang. Mendengar kesempatan ini, mereka merasa harus memanfaatkan

kemampuan dan situasi tersebut dengan baik. Lantas, mereka memutuskan untuk

mengangkat lakon yang bertemakan Raja Tioe Ong itu sendiri, dengan cara

meriwayatkan kebaikan dan citra positif pada diri sang raja. Karena hal ini, maka

merekapun akhirnya terbebas dari hukuman (Ananda dan Anastasia, 2013:190).

Terbebasnya mereka dari hukuman dengan syarat bahwa mereka harus

menyebarkan pertunjukan boneka yang mereka ciptakan sebagai suatu kesenian

tradisional. Mulailah mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain

memainkan pertunjukan boneka. Cerita yang dimainkan selain tentang diri mereka,

juga mengambil cerita-cerita tentang kerajaan, sejarah dan dewa-dewa (Dinanike,

1997:20).

Wayang potehi merupakan salah satu jenis kesenian masyarakat Tionghoa

yang ada di Indonesia. Wayang khas Tionghoa ini berasal dari negeri Tirai Bambu

bagian selatan. Wayang potehi berasal dari kata poo (artinya kain), tay (artinya

(4)

terbuat dari kain. Wayang potehi lebih dikenal sebagai wayang boneka, yang cara

permainannya bukan dengan menggerakan tongkat kayu, namun melalui jari-jari

tangan dalang yang dimasukkan ke dalam wayang tersebut dan menggerakannya

sesuai dengan jalannya cerita.

Wayang potehi masuk ke Nusantara diperkirakan terjadi pada abad ke-20

yang dibawa oleh masyarakat Tionghoa. Wayang potehi yang masuk ke Indonesia

berasal dari Provinsi Fujian bagian Selatan. Pertunjukan wayang potehi ini sempat

berkembang dan berjaya sebelum lahirnya Orde Baru. Namun di masa Orde Baru

yang anti komunis, termasuk budaya Tionghoa yang dipandang sebagai ekspresi

komunisme, maka terjadi pelarangan atas berbagai bentuk ekspresi berkesenian.

Pada saat itu pertunjukan ini ditiadakan.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu pada masa reformasi, larangan

tersebut dicabut dan pertunjukan wayang potehi ini kembali berkembang dan

dipertontonkan di Nusantara. Pertunjukan wayang potehi bisa ditemui di berbagai

perayaan seperti ulang tahun Dewa, Tahun Baru Tiongkok, Cap Go Meh dan lain

sebagainya.

Wayang potehi pada awalnya tidak mengalami perubahan yang berarti,

hanya penyebutannya saja yang berubah dari budaixi menjadi wayang potehi.

Istilah potehi berasal dari dialek Hokkian. Orang jawa menyebut wayang potehi

dengan istilah wayang Piti. Hal ini karena mereka melihat bentuk boneka yang

digunakan dalam pertunjukan wayang potehi berukuran kecil (Dinanike, 1997:38).

Pada awalnya pertunjukan ini di gunakan sebagai fungsi sosial dan ritual karena

dimainkan di klenteng, tetapi seiring perkembangan zaman ada juga difungsikan

(5)

keterangan dari para informan, menggunakan bahasa Hokkian, karena hanya

dinikmati etnik Tionghoa. Membaurnya etnis Tionghoa dan pribumi yang membuat

etnis Tionghoa mulai memahami bahasa Indonesia disamping bahasa Hokkian

maka kemudian memakai bahasa Indonesia. Walaupun bukan kebudayaan asli

Indonesia, wayang potehi telah memberikan warna-warni dalam pelangi seni

Nusantara. Pertunjukan wayang potehi ini pun tidak hanya diminati dan

ditunggu-tunggu masyarakat Tionghoa saja tetapi antusias masyarakat pribumi juga sangat

tinggi.

Menurut informan masuknya wayang potehi di Sumatera Utara pertama kali

terdapat di Kota Tebing Tinggi yang dipertunjukan di Vihara Avalokistesvara.

Vihara Avalokitesvara ini mulai dibangun pada tahun 2002. Dari hasil penelitian

yang penulis dapatkan, pertunjukan wayang potehi khususnya di Sumatera Utara

sudah semakin jarang ditemukan. Hal ini dikarenakan para dalang wayang potehi di

Sumatera Utara sudah semakin renta dan sudah pensiun menjadi dalang.

Pertunjukan wayang potehi yang dipertunjukan di Sumatera Utara sudah semakin

sering bukan asli berasal dari grup yang ada di Sumatera Utara, melainkan datang

dari pulau Jawa. Di pulau Jawa sendiri pertunjukan wayang potehi ini masih sering

dipertunjukan di vihara-vihara, klenteng, bahkan sampai ke mall.

Penulis memilih daerah Tebing Tinggi karena masyarakat Tionghoa di Kota

Tebing Tinggi terhadap kebudayaan mereka masih sangat lekat dan mereka masih

memahami kebudayaan itu dengan baik, terutama di kalangan generasi tua.

Sehingga sejak saat itu hingga kini pertunjukan wayang potehi secara berturut-turut

setiap tahun pada saat perayaan Ulang Tahun Dewa dan pada saat perayaan hari

(6)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam

dan berniat untuk melakukan suatu penelitian yang memfokuskan pada analisis

pertunjukan wayang potehi di kota Tebing Tinggi. Dengan demikian penulis

membuat judul penelitian ini yaitu: Wayang Potehi Tiongkok di Kota Tebing

Tinggi Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan dan Struktur Teks.

1.2Rumusan Masalah

Adapun masalah yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana struktur dan konteks pertunjukan kesenian wayang potehi yang

ditampilkan di Kota Tebing Tinggi?

2. Bagaimana struktur teks yang digunakan selama pertunjukan wayang potehi

berlangsung?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana struktur konteks pertunjukan kesenian

wayang potehi di Kota Tebing Tinggi.

2. Untuk mendeskripsikan bagaimana struktur teks yang digunakan selama

(7)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini

adalah dapat menambah pengetahuan dan masukan untuk penelitian selanjutnya

dalam studi kebudayaan antarbudaya khususnya budaya Tionghoa. Penelitian ini

juga dapat dijadikan bahan perbandingan penelitian-penelitian yang akan datang.

Penulis juga berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memperkaya konsep

atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang

terkait dengan budaya etnik Tionghoa yang menjadi salah satu suku di Nusantara.

2.4.2Manfaat Praktis

Secara praktis, adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini

adalah menambah pengetahuan penulis, serta masyarakat Indonesia, tentang

bagaimana pertunjukan wayang potehi Tiongkok di Kota Tebing Tinggi serta

keberadaannya di Indonesia sehingga mampu menarik perhatian masyarakat luas

untuk lebih tertarik mengenal kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, baik

kebudayaan asli dari Indonesia maupun kebudayaan etnis Tionghoa. Selain itu juga,

penulis berharap penelitian dapat dijadikan rujukan untuk penelitian-penelitian

yang akan datang ataupun sebagai bahan pelajaran muatan lokal. Penelitian ini juga

diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menerapkan kembali (revitalisasi)

(8)

2.5Batasan Masalah

Masyarakat Tionghoa memiliki banyak kebudayaan seni yang sudah

berakulturasi dengan Indonesia, termasuk dalam jenis-jenis wayang Tionghoa yang

ada di Indonesia dan asing-masing memiliki sejarah serta cerita tersendiri di

dalamnya. Begitu juga dengan jenis dari bentuk wayang potehi yang

beranekaragam sesuai dengan tokoh-tokohnya. Oleh karena sudah adanya

percampuran, maka banyak pula perubahan-perubahan dalam melakukan

pertunjukan wayang potehi di Negara Tiongkok dan di Indonesia. Maka untuk

menghindari batasan yang terlalu luas, peneliti mencoba membatasi ruang lingkup

penelitian hanya pada kajian deskripsi seni pertunjukan wayang potehi di Kota

Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, serta struktur teks (prolog,

dialog, dan epilog) yang diucapkan oleh dalang, yang digunakan selama

pertunjukan wayang potehi berlangsung. Peneliti juga membatasi hanya

memaparkan bagaimana perubahan yang telah terjadi dalam menampilkan

Referensi

Dokumen terkait

Wayang Orang merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang tokoh- tokohnya diperankan oleh manusia.Wayang orang sebagai seni pertunjukan khasSasak menggunakan Serat

Untuk menggambarkan tokoh-tokoh kera, dalam pewayangan digunakan bentuk hidung yang dinamakan jenis hidung pesekan, seperti pada Gambar 12. Contoh wayang berhidung

Perancangan Promosi Pertunjukan Wayang Kampung Sebelah Pada Remaja Kota Solo tidak hanya terbatas pada tampilan yang harus sesuai dengan target audiens, tetapi

Masyarakat Tebing Tinggi juga banyak yang percaya bahwa barongsai merupakan pembawa kesuksesan dan kemakmuran, karena itu barongsai juga sering dipanggil melakukan

Perancangan Promosi Pertunjukan Wayang Kampung Sebelah Pada Remaja Kota Solo tidak hanya terbatas pada tampilan yang harus sesuai dengan target audiens, tetapi

Dari gambar 10 menunjukkan lokasi kerusakan pohon di Taman Hutan Kota Tebing Tinggi, lokasi kerusakan pohon yang ditemukan masing-masing adalah bagian bawah

Menariknya, berdasarkan data di lapangan, peneliti menemukan fakta bahwa dalang wayang potehi berasal dari etnis Jawa yang mempunyai latar belakang berbeda

Bentuk wayang tertua, yaitu wayang kulit dengan figur yang terbuat dari kulit kerbau, referensi paling awal untuk jenis wayang tersebut muncul dari tahun 800-an.. Karena itu, terdapat