• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengetahuan dan Sikap Tentang HIV AIDS dan Bahaya Narkoba pada Siswa Laki-laki MAN 1 Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengetahuan dan Sikap Tentang HIV AIDS dan Bahaya Narkoba pada Siswa Laki-laki MAN 1 Medan Tahun 2016"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Etiologi HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh virus yang disebut HIV. Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan

Limphadenopathy Associated Virus (LAV). Gallo (National Institute of Health, USA 1984) menemukan virus HTL-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan berbeda dengan HIV-1 secara genetik maupun antigenik. HIV-2 dianggap kurang patogen dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan virus itu disebut sebagai HIV saja (Daili, 2009).

2.1.2 Definisi HIVAIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab AIDS. Virus ini termasuk RNA virus genus Lentivirus golongan Retrovirus family

(2)

kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi berbagai macam mikroorganisme serta keganasan lain akibat menurunnya daya tahan/kekebalan tubuh penderita (Irianto, 2013).

2.1.3 Patogenesis HIV/AIDS

Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Sebagian besar penularan terjadi melalui hubungan seksual. Jika virus masuk ke dalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA virus diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh HIV, DNA pro-virus tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus (Daili, 2009).

HIV menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama sekali limposit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Selain limfosit T4, virus juga dapat menginfeksi sel monosit dan makrofag, sel langerhas pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk ke dalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Daili, 2009).

(3)

2.1.4 Cara Penularan HIV/AIDS

Penularan HIV yang diketahui dan diakui saat ini adalah melalui hubungan seksual (homo maupun heteroseksual), darah (termasuk penggunaan jarum suntik), dan transplasental/perinatal (dari ibu ke anak yang akan lahir). Ada lima unsur yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu: sumber infeksi, vehikulum/media perantara, hospes yang rentan, tempat keluar dan tempat masuk hospes baru (Irianto, 2013).

a. Transmisi Seksual

Hubungan seksual (penetrative sexual intercourse) baik vaginal maupun oral merupakan cara transmisi yang paling sering terutama pada pasangan seksual pasif yang menerima ejakulasi semen pengidap HIV. Diperkiran tiga per empat pengidap HIV di dunia mendapatkan infeksi dengan cara ini. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual dari pria-wanita, wanita-pria, dan pria-pria. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual (Nursalam dan Ninuk, 2011).

b. Transmisi Nonseksual

(4)

transplasental yaitu penularan dari ibu hamil dengan infeksi HIV kepada janinnya (Murtiastutik, 2008). Transmisi HIV non seksual dapat terjadi pula pada petugas kesehatan yang merawat penderita HIV/AIDS dan petugas laboratorium yang menangani spesimen cairan tubuh yang berasal dari penderita. Penularan terjadi karena tertusuk jarum suntik yang sebelumnya digunakan penderita atau kulit mukosa yang terkena cairan tubuh penderita (Irianto, 2013).

2.1.5 Gejala Klinis HIV/AIDS

Menurut Soedarto (2009), gejala klinis HIV adalah sebagai berikut: a. HIV Stadium I

Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya

limfadenopati Generalisata Persisten (LGP): yakni pembesaran kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap.

b. HIV Stadium II

Berat badan menurun <10%, ulkus atau jamur di mulut, herpes zoster dalam lima tahun terakhir, sinusitis rekuren.

c. HIV Stadium III

Berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari satu bulan, demam berkepanjangan lebih dari satu bulan.

d. HIV Stadium IV

(5)

Menurut Nursalam dan Ninuk (2011), gejala klinis pada stadium AIDS dibagi menjadi gejala mayor dan minor. Gejala mayor terdiri dari: penurunan berat badan >10% dalam tiga bulan, demam yang panjang atau lebih dari tiga bulan, diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus, dan TBC. Gejala minor terdiri dari: batuk kronis selama lebih dari satu bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida Albicans. Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap, munculnya herpes zoster, berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh.

2.1.6 Diagnosis HIV/AIDS

Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia (nyeri otot), demam dan berkeringat. Pasien mugkin mengalami beberapa gejala, tetapi tidak mengalami keseluruhan gejala tersebut di atas. Pada stadium awal, pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi virus HIV atau tidak (Nursalam dan Ninuk, 2011). Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:

(6)

ELISA, western blot, immunofluorescent assay (IFA), atau

radioimmunoprecipitation assay (RIPA). Untuk diagnosis HIV yang lazim dipakai:

b1. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)

Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa juga menunjukkan hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif, antara lain adalah penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa menyebabkan false positif (Nursalam dan Ninuk, 2011). Tes ini mempunyai sensitivitas tinggi yaitu sebesar 98,1%-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan

western blot (Daili, 2009). b2. Western Blot

(7)

Jika tes Western Blot tetap tidak bisa disimpulkan, maka tes Western Blot harus diulang lagi setelah enam bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif (Nursalam dan Ninuk, 2011).

Western Blot mempunyai spesifisitas tinggi yaitu 99,6%-100%. Pemerikasaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam (Daili, 2009).

2.1.7 Pencegahan HIV/AIDS a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan suatu penyakit sebelum hal itu terjadi. Promosi kesehatan, pendidikan kesehatan, dan perlindungan kesehatan adalah tiga aspek utama didalam pencegahan primer. (Timmreck, 2012). Pencegahan infeksi HIV yang terutama adalah dengan memiliki gaya hidup sehat, tidak menggunakan narkoba suntik dan tidak melakukan hubungan seksual diluar pernikahan (Irianto, 2013). Petugas kesehatan perlu menerapkan kewaspadaan universal dan menggunakan darah serta produk darah yang bebas dari HIV untuk pasien. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV (Nursalam dan Ninuk, 2011).

b. Pencegahan Sekunder

(8)

menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi oportunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV secara total (Irianto, 2013). Pemberian antiretroviral pada periode asimtomatik fase lebih awal dapat memperpanjang periode asimtomatik dan menghambat perkembangan penyakit kearah AIDS atau dengan kata lain memperpanjang hidup penderita (Daili, 2009).

c. Pencegahan Tersier

Sasaran pencegahan tersier adalah penderita penyakit tertentu dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit tersebut. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi mental/psikologis serta rehabilitasi sosial (Irianto, 2013). 2.2 Narkoba

2.2.1 Definisi Narkoba

(9)

2.2.2 Jenis-jenis Narkoba

Berdasarkan BNN (2010), pada dasarnya obat-obatan yang tergolong narkoba itu digunakan untuk kepentingan medis atau pengobatan. Adapun kegunaannya adalah untuk menghilangkan rasa sakit. Tetapi apabila pengguna narkoba diluar dari hal-hal medis dan tanpa mengikuti dosis yang seharusnya akan dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental dan sikap hidup masyarakat. Narkoba yang popular pada masyarakat terdiri dari tiga golongan yaitu: Narkotika, psikotropika dan bahan-bahan adiktif lainnya.

a. Narkotika

Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Jenis narkotika di bagi atas tiga golongan :

a.1 Narkotika Golongan I

Narkotika golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jenis narkotika yang paling sering disalahgunakan adalah ganja, heroin, kokain, dan opium (Lisa dan Sutrisna, 2013).

a.2 Narkotika Golongan II

(10)

penggunaan narkotika golongan II untuk terapi atau pengobatan sebagai pilihan terakhir jika tidak ada pilihan lain. Contoh dari narkotika golongan II ini adalah benzetidin, betametadol, metadon, petidin dan turunannya, dan lain-lain (Lisa dan Sutrisna, 2013).

a.3 Narkotika golongan III

Narkotika golongan III : adalah jenis narkotika yang memiliki daya adiktif atau potensi ketergantungan ringan dan dapat dipergunakan secara luas untuk terapi atau pengobatan dan penelitian. Adapun jenis narkoba yang termasuk dalam golongan III adalah kodein dan turunannya (Lisa dan Sutrisna, 2013).

b. Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku, digunakan untuk mengobati gangguan jiwa. Jenis psikotropika dibagi atas empat golongan, yaitu:

b.1 Golongan I

(11)

b.2 Golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan (contoh: amfetamin dan metilfenidat atau ritalin) (Lisa dan Sutrisna, 2013).

b.3 Golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan (contoh: pentobarbital dan flunitrazepam) (Lisa dan Sutrisna, 2013).

b.4 Golongan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh: diazepam, bromazepam, fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam) (Lisa dan Sutrisna, 2013).

c. Zat Adiktif Lainnya

(12)

c.1 Alkohol (ethanyl atau ethyl alcohol), hasil fermentasi/peragian karbohidrat dari bulir padi-padian, cassava, sari buah anggur, nira.

c.2 Inhalen, zat-zat yang disedot melalui hidung: Hidrokarbon alifatis (yang terdapat di lem, pelumas bensin, aerosol, semir sepatu), halogen hidrokarbon (yang terdapat dalam minyak pelumas, freon, pendingin AC, Lemari es), Nitrat alifatis (yang terdapat dalam pengharum ruangan), Keton, Ester, Glytol.

c.3 Rokok, Benda beracun yang memberi efek santai dan sugesti merasa lebih jantan. Di dalam rokok terdapat racun berbahaya seperti : Nikotin, Karbon monoksida, Karbondioksida, Asam biru, Arsenic, Zat ari belerang, dan berbagai amonial.

c.4 Obat penenang (obat tidur, pil koplo, Nipam, Valium, Lexotan, dan lain-lain)

2.2.3 Dampak Narkoba

Menurut efeknya pada sistem saraf pusat pemakai, narkoba, dan zat adiktif lainnya dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Depresan

(13)

b. Stimulan

Stimulan yaitu berbagai jenis zat yang dapat merangsang sistem saraf pusat dan meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) dan kesadaran. Obat ini dapat bekerja mengurangi rasa kantuk karena lelah, mengurangi nafsu makan, mempercepat detak jantung, tekanan darah dan pernafasan, mengerutkan urat nadi, serta membersarkan biji mata (BNN, 2010).

c. Halusinogen

Merupakan obat-obatan alamiah ataupun sintetik yang memiliki kemampuan untuk memproduksi zat yang dapat mengubah rangsangan indera yang jelas serta merubah perasaan dan pikiran sehingga menimbulkan kesan palsu atau halusinasi (BNN, 2010).

Obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam berupa dampak tidak langsung, dampak langsung bagi jasmani/tubuh manusia dan dampak langsung bagi kejiwaan/mental (Lisa dan Sutrisna, 2013). Menurut Sembiring dkk (2013) yang mengutip pendapat Soedjono, secara fisik para pecandu narkoba umumnya menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut: berat badan menurun secara drastis, mata menjadi cekung, wajah terlihat pucat, bibir berubah warna menjadi kehitaman, sulit buang air kecil, sembelit tanpa alasan jelas, ada bintik-bintik merah seperti bekas gigitan nyamuk atau bekas luka sayatan (Sembiring dkk, 2013).

(14)

bila dimarahi atau ditegur, emosional dan mudah marah, suka menyakiti diri sendiri (Sembiring dkk, 2013).

Secara perilaku para pecandu narkoba umumnya menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut: senang menyendiri di tempat yang sepi dan gelap, nafsu makan menurun, malas, tidak bertanggung jawab, takut air, mengeluarkan air mata dan keringat secara berlebihan, sering menguap, sering mengalami mimpi buruk, sering berbohong, suka mencuri uang atau benda berharga di lingkungannya (keluarga, sekolah, kantor), sering batuk pilek berkepanjangan tanpa sebab jelas. Biasanya pada penderita yang sedang sakau, sering pergi tanpa izin dan bertemu dengan orang-orang yang tak dikenal (Sembiring dkk, 2013).

Penyalahgunaan narkoba bisa mengakibatkan berbagai macam masalah pada kehidupan penggunanya. Setidaknya terdapat dua kerugian yang ditimbulkan secara langsung akibat penyalahgunaan, yaitu kerugian pada diri pemakainya dan kerugian pada lingkungan sosialnya. Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai (Sembiring dkk, 2013).

a. Kerugian pada diri pemakai

(15)

cenderung menyakiti diri dan perasaan tidak aman dan bahkan bunuh diri (Lisa dan Sutrisna, 2013).

b. Kerugian pada lingkungan sosial

Kerugian pada lingkungan sosial berpengaruh pada keluarga dan lingkungan. Pengaruh pada keluarga yaitu keluarga akan malu besar karena punya anggota keluarga yang memakai zat terlarang (Lisa dan Sutrisna, 2013).

2.2.4 Faktor – faktor Penyalahgunaan Narkoba

Berdasarkan hasil penelitian Sembiring dkk (2013), seorang remaja tidak begitu saja mendapatkan dan menyalahgunakan narkoba, tentunya ada faktor-faktor yang mempengaruhi remaja sehingga remaja tersebut berhadapan dengan narkoba. Hasil wawancara terhadap beberapa responden yang terdiri dari remaja dan anak-anak yang melakukan penyalahgunaan narkoba di kota Medan, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi dapat berasal dari internal maupun eksternal.

a. Faktor internal, yang terdiri dari: kontrol diri yang buruk, pengambilan keputusan yang tidak tepat, prinsip kesenangan semata, lemahnya pemahaman agama.

b. Faktor eksternal: b.1 Faktor keluarga

(16)

pemicu untuk menyalahgunakan uang tersebut untuk membeli narkoba (Lisa dan Sutrisna, 2013).

b.2 Faktor lingkungan yaitu: masyarakat sekitar dan pergaulan b.3 Faktor pendidikan

2.2.5 Pencegahan Narkoba a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah mencegah seseorang yang sebelumnya tidak memakai zat adiktif untuk tidak mencoba atau memakai teratur (Kemenkes RI, 2014).

b. Pencegahan Sekunder

(17)

b.1 Merupakan pendekatan yang fleksibel dan tidak konvensional, di luar lingkungan sosial dan formal kesehatan

b.2. Meningkatkan akses, motivasi, dan dukungan bagi pemakai zat adiktif b.3 Menggapai pemakai zat adiktif yang tidak dalam penanganan,

meningkatkan rujukan untuk penanganan, dan mereduksi perilaku pemakaian zat adiktif ilisit (UNODC, 2003: hal.9) (Kemenkes RI, 2014). c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah mereduksi bahaya yang timbul dari masalah-masalah penyalah guna narkoba dan adiksi, termasuk tindakan terapi dan rehabilitasi, sampai seminimal mungkin menggunakannya atau bahkan tidak menggunakan sama sekali (Kemenkes RI, 2014).

2.3 Hubungan HIV/AIDS dengan Narkoba

(18)

narkoba melalui jarum suntik. Pemakaian jarum suntik secara bergantian antar pengguna meningkatkan kerentanan penularan HIV (BKKBN, 2012).

Human Immunodeficiency Virus menular melalui cairan darah. Pada saat jarum suntik yang tidak steril dipakai, maka virus masih bertahan hidup pada jarum. Selanjutnya virus masuk ke dalam pembuluh darah pengguna baru jarum suntik bekas dan akhirnya berkembang biak di dalam tubuh pengguna baru. Pengguna napza suntik menghadapi dua risiko untuk terkena HIV/AIDS. Pertama, melalui jarum dan alat suntik yang tercemar yang digunakan secara bersama-sama. Kedua, melalui hubungan seksual terutama bagi mereka yang melakukannya dengan lebih dari satu pasangan (BKKBN, 2012).

Berdasarkan efeknya pada sistem saraf pusat pemakai narkotika, psikotrofika dan obat-obatan terlarang, secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu efek stimulan, efek depresan, dan efek halusinogen. Narkoba dengan efek stimulan dapat merangsang sistem saraf pusat dan meningkatkan kegairahan (segar dan bersemangat) yang memicu keinginan bagi pemakainya untuk melakukan seks bebas. Jenis narkoba yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja, shabu, pil koplo dan ekstasi. Narkotika dengan efek stimulan seperti ekstasi dan shabu, dikonsumsi di tempat hiburan bersama banyak kawan. Inilah yang mendorong pemakainya lebih intens berinteraksi secara fisik, dan menyebabkan seks bebas (BNN, 2014).

(19)

pemicu utama terjadinya penyalahgunaan narkoba. Seks bebas dan Narkoba berkaitan erat dalam permasalahan remaja. Berdasarkan data tentang seks bebas dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7% remaja kehilangan perawan saat masih duduk di bangku SMP, dan bahkan 21,2% di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi (Jaid, 2014). 2.4 Pengetahuan

Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2012).

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

a. Tahu (know)

(20)

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diaertikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

(21)

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2012) adalah sebagaiberikut:

a. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat.

b. Pengalaman

Sesuatu yang pernah dilakukan seseorang akan menambah pengetahuan tentang suatu yang bersifat informal.

c. Informasi

Seseorang yang mendapatkan informasi lebih banyak akan menambah pengetahuan menjadi lebih luas.

d. Budaya

Tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan.

2.5 Sikap

(22)

sikap akan cenderung secara terus menerus baik. Sikap merupakan kecenderungan merespon (secara postif atau negatif) orang, situai atau objek tertentu. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional. Beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat dikutipkan sebagai berikut:

“An individual’s social attitude is a syndrome of response consistency

with regard to social object”(Campbell, 1950).

“Attitude entails an existing predisposition to response to social objects

which in interaction with situational and other dispositional variable, guide and

direct the overt behavior of the individual”(Cardno, 1955).

(23)

a. Komponen pokok sikap

Dalam bagian lain Allport (1954) dalam Notoatmojo menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu:

a.1 Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek a.2 Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

a.3 Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

b. Berbagai tingkatan sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan sebagai beriut :

b.1 Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

b.2 Merespons (responding)

(24)

b.3 Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

b.4 Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

c. Ciri-ciri Sikap

Menurut Maulana (2009) yang mengutip pendapat para ahli (Gerungan, 1996; Ahmadi, A., 1999; Sarwono, S. W., 2000 dan Walgito, B., 2001), sikap memmiliki ciri-ciri sebagai berikut:

c1. Sikap tidak dibawa dari lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk melalui pengalaman, latihan sepanjang perkembangan individu.

c2. Sikap dapat berubah-ubah dalam situasi yang memenuhi syarat untuk itu sehingga dapat dipelajari.

c3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan denga objek sikap. c4. Sikap tidak dapat tertuju pada satu atau banyak objek.

c5. Sikap dapat berlangsung lama atau sebentar.

(25)

2.6 Kerangka Konsep

Pengetahuan HIV/AIDS

Pengetahuan Bahaya Narkoba Sikap Bahaya Narkoba Sikap HIV/AIDS

Pengetahuan HIV/AIDS Pengetahuan Bahaya Narkoba

Referensi

Dokumen terkait

 Akan dilihat menggunakan teori tingkah laku konsumen: pendekatan nilai guna (utiliti) kardinal dan pendekatan nilai guna ordinal... Teori Tingkah Laku Konsumen Dapat

Penginterpretasian peserta tes yang dinyatakan wajar dari metode SHL dan metode Donlon-Fisher dan besarnya indeks kehati-hatian (SHL) dengan indeks kewajaran (Donlon-Fisher)

ghalibah karena menyangkut dengan orang-orang yang terlibat dalam jual- beli tersebut yaitu penjual dan pembeli jangkrik. Dilihat dari segi keberadaannya masalah ini

Formula sediaan sabun cair dibuat dengan penambahan minyak atsiri jeruk purut dan kokamidopropil betain sebanyak 0, 1,3, 2, 2,7 dan 3,3 % yang secara berurutan disebut

Perbincangan mengenai pendidikan sentiasa berterusan. Bahkan menjadi bahan perdebatan. Begitu juga dalam ajaran Islam di mana kepentingan ilmu pengetahuan telah menjadikan

memerlukan akses memori untuk penyimpanan hasil, dan pada waktu yang sama FO (pengambilan operand) juga memerlukan akses memori untuk pengambilan operand untuk instruksi

Repositori umumnya merupakan tempat penyimpanan dan pemeliharaan ratusan data, aplikasi, atau program yang berbentuk format digital untuk didistibusikan secara

pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dari. lapangan sebagai