• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan admnistrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan dengan mempraktekkan prinsip-prinsip

good governance.

Good governance yang dimaksudkan adalah merupakan proses

penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods

and service. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama

untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna,bersih dan bertanggung jawab.1

Keterpurukan bangsa kita selama ini antara lain disebabkan oleh kurangnya komitmen terhadap akuntabilitas, terutama dari para penyelenggara negara dalam melaksanakan amanah rakyat. Dalam perspektif ini akuntabilitas merupakan perwujudan dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

1

(2)

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Dari itu dapat dilihat bahwa adanya suatu sistem pertanggungjawaban merupakan suatu hal yang mutlak harus dipenuhi oleh aparatur negara untuk mewujudkan dan menghasilkan pelayanan yang prima bagi masyarakat..

Indonesia secara eksplisit mulai mengimplementasikan konsep akuntabilitas melalui Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dengan dilatarbelakangi keinginan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang lebih berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab disamping untuk mengetahui kemampuan instansi pemerintahan dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Hal ini muncul berdasarkan pengalaman dan pengamatan sejarah birokrasi Indonesia yang selama ini belum menunjukkan kondisi prima sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Kondisi ini menjadi penyebab utama ketidakberhasilan kinerja birokrasi dalam upaya menuju good governance. Sejak munculnya iklim yang lebih demokratis dalam pemerintahan, kinerja instansi pemerintah semakin menjadi sorotan dan masyarakat mulai banyak menuntut nilai yang diperoleh atas pelayanan yang diberikan.

(3)

Pemerintah (LAKIP). Untuk melaksanakan pelaporan ini maka dipersyaratkan untuk mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja yang mencakup indikator, metode, mekanisme, dan tata cara pelaporan kinerja instansi pemerintah dengan dasar perencanaan stratejik. Akuntabilitas instansi pemerintah tersebut hendaknya mampu untuk menjelaskan dan menjawab mengenai aktivitas yang dijabarkan dan dijalaninya telah sesuai dengan visi, misi dan arah kebijakan. Demikian pula dalam tataran operasional mereka harus mampu melaporkan dan menjelaskan pelaksanaan program pembangunannya dengan menjabarkan tujuan, sasaran, strategi, aktivitas dan kinerjanya. Kinerja yang mereka tunjukkan haruslah dapat mewujudkan indikator keberhasilan maupun kemungkinan adanya kegagalan dengan segala penyebabnya.

(4)

secara spesifik, 2)beragamnya lansasan hukum penyusunan renstra, rendahnya pemahaman dan anggapan akan tidak pentingnya renstra, 3)kesulitan dalam penyusunan rencana kerja, 4)instansi pemerintah masih mengikuti trend dalam penentuan indikator kinerja, 5)keterbatasan waktu, anggaran data pendukung dan pemahaman aparat terhadap evaluasi kinerja, 6) masih sangat sedikit instansi yang secara terbuka dan jujur menyampaikan keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian targetnya.2

(5)

Dalam LAKIP ini, disampaikan oleh Sekdaprov Sumut, Nurdin Lubisdidapati belum adanya keterkaitan (sinerji) antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan Rencana Strategis (Renstra), Rencana Kerja (Renja) hingga penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Selain itu, Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov Sumut juga belum menunjukan indikator yang jelas dan terukur, bahkanternyata ditemukan adanya kegiatan SKPD yang tidak tercantum dalam Renstra dan Renja organisasi yang bersangkutan.5

Berdasarkan data statastik yang ada peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan volume sampah yang dihasilkan tiap harinya. pada tahun 2006, jumlah penduduk kota Medan sebanyak 2.068.400 jiwa dan jumlah volume sampah mencapai 4.382,00m³/ hari. Pada tahun 2007, jumlah penduduk mencapai 2.067.288 jiwa dan volume sampah sebesar 4.382,00m³/hari. Jumlah volume sampah ini meningkat drastis di tahun 2009 menjadi 5.616 m³/hari (1.404 ton/hari) dan mencapai 1700 ton perhari di tahun 2011.

Salah satu SKPD yang turut wajib memberikan laporan akuntabilitas kinerjanyaadalah Dinas Kebersihan Kota Medan yang bertanggung jawab atas penyelenggara urusan pelayanan umum di bidang kebersihan, termasuk pengelolaan sampah Kota Medan.

6

Bahkan jika diperhatikan lagi di setiap sudut Kota Medan masih sering ditemukan tumpukan sampah yang sangat mengganggu pemandangan dan pastinya mempengaruhi kesehaan

22 Juli 2012 pukul 13.25 WIB

(6)

masyarakat. Warga kota Medan sendiri pun turut memberikan penilaian akan pelayanan kebersihan dalam bentuk protes dan kekecewaan atas terpilihnya Medan untuk meraih penghargaan Piala Adipura tahun 2011. Penghargaan itu dinilai sebagai suatu teguran yang sangat memalukan.7 Oleh karena itu, sesungguhnya Dinas Kebersihan Kota Medan memiliki tanggung jawab yang berat untuk dapat mencapai visi yang diemban, yaitu mewujudkan pelayanan kebersihan yang prima. Hal ini sangat kontradiksi dengan hasil capaian Kinerja Instansi Dinas Kebersihan Kota Medan dalam LAKIP tahun 2009 dan 2010 yang menyandang predikat sangat baikyang salah satu program kerjanya adalah peningkatan sarana dan prasarana kebersihan.8

Adapun yang menjadi fokus Dinas Kebersihan Kota Medan dalam mengimplementasikanAkuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) secara khusus dalam penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Dalam hal ini penentuan fokus masalah didasarkan pada penemuan

Dari beberapa uraian di atas tampak bahwa dinas kebersihan sebagai instansi pemerintah wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam mencapai visi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan”

I.2 Fokus Masalah

7

http://sampah%20%20Piala%20Adipura%20Menghina%20Masyarakat%20Medan, %20 Benarkah %20%20-% 20Harian%20Analisa.htm diakses tanggal 17 Juni 2012

8

(7)

kondisi di lapangan yaitu pada Dinas Kebersihan Kota Medan dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh penulis. Saat bertanya tentang pelaksanaan AKIP maka kecenderunga pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan langsung mengarahkan jawaban mereka pada LAKIP. mencob untuk mendalami fenomena ini dan penulis mendapati bahwa pengerjaan LAKIP menjadi poin sentral dalam pelaksanaan AKIP ini.

I.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam fokus masalah yang disajikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas

Kebersihan Kota Medan?

I.4 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis melalui penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat penerapan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) pada Dinas Kebersihan Kota Medan

(8)

I.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Secara subjektif, untuk mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam

melatih kemampuan berpikir ilmiah dalam pembuatan karya ilmiah.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi Dinas Kebersihan Kota Medan dalam rangka peningkatan akuntabilitas kinerja instansi

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah, referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai kebijakan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)

I.6 Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori (tinjauan pustaka) sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Dalam penelitian ini dalam penelitian ini yang menjadi kerangka teori yaitu:

I.6.1 Kebijakan Publik

I.6.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

(9)

policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah atau administrasi pemerintahan. 9

Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan yang dapat digunakan, salah satunya merupakan definisi mengenai kebijakan publik yang diberikan oleh Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefiniskan sebagai “hubungan suatu unit pemerintahan dengan lingkungannya”. Batasan lain diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.

Istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau atau sejumlah aktor dalam jumlah kajian tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan-pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan yang bersifat ilmiah dan sistematis menyangkut analisis kebijakan publik.

10

Definisi kebijakan publik dari Thomas R. Dye ini mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan organisasi swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.11

9

William Dunn. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:Gajah Mada University Press. Hal 22-25

10

Budi Winarno. 2004. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo. Hal 16

11

(10)

Chandler dan Plano (1988) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaataan strategis terhdap sumberdaya – sumberdaya yang ada utuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.12

Sedangkan Anderson (1975) memberikan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang dimaksudkan untuk dilakukan; kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positifdalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Dari berbagai uraian

12

(11)

di atas dan sejalan dengan pendapat dari Charles O. Jones (1977) bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen :

1. Goals atau tujuan yang diinginkan

2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan

3. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan

4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan ,

membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program

5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau skunder). 13

Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan publik (public policy) seperti yang telah dikemukan di awal, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.

I.6.1.2 Tahapan Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh sebab itu terdapat tahapan-tahapan proses penyusunan kebijakan kebijakan publik. Menurut William Dunn, tahapan-tahapan kebijakan publik terdiri dari:

13

(12)

1. Tahap penyusunan agenda. Dalam tahapan ini para pejabat memilih dan mengangkat permasalahan publik yang dinilai paling penting dan dimasukkan ke dalam agenda kebijakan

2. Tahap formulasi kebijakan, masalah yang telah disusun dalam agenda kebijakan didefiniskan untuk kemudian dicari pemecahan yang terbaik

3. Tahap adopsi kebijakan yaitu dengan melakukan adopsi terhadap salah satu kebijakan yang dianggap baik dengan dukungan mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan

4. Tahap implementasi kebijakan. Program kebijakan yang telah ditentukan sebagai alternatif terbaik bagi pemecahan masalah dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah tingkat bawah yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia

5. Tahap penilaian kebijakan ini dilakukan untuk melihat sejauh mana sebuah kebijakan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagai dasar untuk melihat dampak kebijakannya yang telah diimplementasikan. 14

14

(13)

Dalam pandangan Ripley (1985), tahapan kebijakan publik digambarkan sebagai

Gambar 1.1. Tahapan Kebijakan Publik

Dengan demikian setiap kebijakan selalu melewati proses analisa dan pengujian sebelum akhirnya diputuskan untuk ditetapkan dan diimpelementasikan untuk memcahkan sebuah permasalahan publik.

(14)

I.6.2 Implementasi Kebijakan

I.6.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dancara untuk mencapai sasaran tersebut. Komponen yang ketiga yaitu cara, merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen yang pertama. Cara inilah yang disebut dengan implementasi. 16

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak dan tujuan yang diinginkan. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika program tersebut tidak pernah diimplementasikan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan dan program-program. 17

Sementara itu, Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu

16

Samudra Wibawa. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal: 15

17

(15)

tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan. Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasikan oleh keputusan-keputusan kebijakan. 18

18

Budi Winarno, op.cit., hal 101

Dengan demikian tahapan implementasi ini merupakan bentuk mewujudnyatakan setiap kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses ini berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan dampak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.

I.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan George Edwards III

Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi

publicadministration dan publik policy. Implementasi kebijakan adalah tahap

(16)

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards berusaha menjawab kedua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor atau variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber kebijakan, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku dan struktur organisasi.

(17)

Gambar 1.2. Model Implementasi Edward III

1. Komunikasi

Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards, prasyarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari komunikasi, yaitu:

Komunikasi

Struktur Organisasi

Sumberdaya

Disposisi

(18)

a. Transmisi.

Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi. 1) Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum. 2)Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.

b. Kejelasan.

(19)

Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards mengidentifikasikan enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan. c. Konsistensi.

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan berakibat pada ketidakefektivan implementasi kebijakan.

(20)

2. Sumber-sumber.

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat menjadi faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna pelaksakan pelayanan publik.

a. Staf.

(21)

mempunyai keterampilan-keterampilan pengelolaan. Seringkali mereka yang mempunyai latar belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka seringkali tidak mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini sangat minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka panjang. Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan administrator-administrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan kerja mereka yang rendah. Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja yang baik.

b. Informasi.

(22)

mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini mentaati undang-undang ataukah tidak. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan beberapa kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1) Beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2) Ketidakefisienan. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintah lain atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan.

c. Wewenang.

(23)

hal lain. Dengan demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan wewenang tersebut. Menurut Edwards kita dapat memahami mengapa hal ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom mengemukakan beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus; kewenangan, baik sukareka maupun paksaan, merupakan konsesi dari mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir, kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindlom, sebab-sebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.

d. Fasilitas-fasilitas

(24)

3. Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijkan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain. Hal ini berakibat pada semakin terbukanya interpretasi terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya kecenderungan – kecenderungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif, maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan. a. Dampak dari kecenderungan-kecenderungan

(25)

mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Jika orang diminta untuk melaksanakan perintah-perintah yang tidak mereka setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakkan terjadi, yakni antara kebijakan-kebijakan keputusan dan pencapaian kebijakan. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka para pelaksana kebijakan akan menggunakan keleluasaan dan kadang-kadang dengan cara-cara yang halus untuk menghambat implementasi.Para pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pelaksana-pelaksana yang paling umum dan penting dalam mengetahui pengaruh-pengaruh tertentu pada kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku mereka, bila dibandingkan dengan para hakim dan pelaksana kebijakan swasta/nonpemerintah. Badan-badan birokasi pemerintah mempunyai beberapa karakteristik yang mungkin tidak dipunyai oleh badan-badan lainnya, yaitu:

1) Badan-badan biroktasi pemerintah lebih bersifat homogen

(26)
(27)

dengan mendukung pandangan-pandangan yang ada, serta tekanan-tekanan dari para klien bercampur menjadi satu yang pada akhirnya mendorong pejabat-pejabat tinggi untuk tidak mempertahankan kepentingan publik.

a. Dampak dari kekuatan-kekuatan ini adalah seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Lebih dari itu para pelaksana akan cenderung melihat kepentingan organisasi mereka sebagai prioritas yang tinggi. Hal ini lah yang menjadi penyebab bagi munculnya perbedaan antara pembuat keputusan puncak dan mendorong ketidakefektivan implementasi kebijakan.

b. Pengangkatan birokrat.

(28)

yang menonjol pada suatu waktu. Sebenarnya, dalam mencari pejabat-pejabat tinggi ini hanya beberapa saja dari jumlah orang yang benar-benar memenuhi syarat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tersedia, tetapi karena kebutuhan politik maka presiden akan mengangkat lebih banyak pejabat. Pengangkatan pejabat tinggi lantas tidak lagi semata-mata kapasitasnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu, tetapi lebih mengarah pada pertimbangan –pertimbangan politik, seperti misalnya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Keuntungan-keuntungan politik yang didapat dari model seperti ini mungkin menyenangkan pendukung-pendukung politik, tetapi mereka tidak akan memberikan landasan bagi administrasi yang sehat. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan politik dalam pengangkatan pejabat tinggi akan menghambat implementasi kebijakan yang efektif.

c. Beberapa insentif.

(29)

faktor pendorong yang membuat para pelaksana melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi, organisasi atau kebijakan substanstif.

4. Struktur Birokrasi

(30)

kesempatan untuk melakukan tawar menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari pilihan yang mereka ambil. Dengan merujuk pada peran yang dijalankan birokrasi dalam proses implementasi seperti diungkapkan di atas, maka mengetahui struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan. Pada dasarnya para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya, namun dalam pelaksanaannya mereka masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni:

a. Prosedur kerja (Standart Operating Procedures = SOP)

(31)
(32)

program-program baru. Pemborosan akan terjadi bila cara-cara yang lazim ditujukan untuk suatu tujuan dipertahankan selama waktu tertentu dan diterapkan dalam keadaan yang sama sekali tidak perlu. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan. Disamping itu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi, semakin besar pula probabilitas SOP menghambat implementasi. Namun demikian, disamping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi dengan prosedur pelaksanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang luwes mungkin lebih dapat meyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini.

b. Fragmentasi

(33)

lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan koordinasi. Hambatan ini diperburuk oleh struktur pemerintah yang terpecah-pecah. Pada umumnya semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan untuk berhasil. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok yang merugikan bagi implementasi yang berhasil. 1) Tidak ada orang yang akan mengahiri implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu karena tanggung jawab suatu bidang kebijakan terpecah-pecah. Di samping itu karena badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terdampar antara retak-retak organisasi. 2) Pandangan-pandangan yang sempit dari badan-badan mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.19

Istilah akuntabilitas dewasa ini menjadi wacana dan pembahasan oleh masyarakat luas. Di Indonesia, kata ini sepertinya hal baru, padahal secara inheren

I.6.3 Akuntabilitas

19

(34)

akuntabilitas sudah melekat pada setiap orang dan atau organisasi yang menerima pendelegasian kewenangan.

Menurut LAN RI (2003), akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.20

1. Akuntabilitas dalah kewajiban sebagai konsekuensi logisdari adanya pemberian hak dan kewenangan

Dari materi di atas dapat ditarik empat materi kunci yaitu sebagai berikut:

2. Kewajiban tersebut berbentuk pertanggungjawaban terhadap kinerja dan tindakan

3. Kewajiban tersebut melekat pada seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif 4. Pertanggungjawaban ditujukan kepada pihak yang memiliki hak dan

berkewenangan untuk hal tersebut.

Pertama, karena merupakan kewajiban, akuntabilitas pada dasarnya

bersifat imperatif (keharusan). Artinya wajib dilaksanakan dan disertai sanksi bagi yang melanggarnya. Kedua, akuntabilitas berkaitan dengan kinerja dan tindakan. Kinerja merupakan keseluruhan hasil, manfaat, dan dampak dari suatu proses pengolahan masukan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan tindakan merupakan aktivitas aktif dari seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kinerja dan tindakan yang dilakukan

20

(35)

berkaitan dengan hak dan kewenangan yang diberikan kepada seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif. Ketiga, pelaksanaan kewajiban ditujukan kepada seseorang/badan hukum/ pimpinan kolektif yang karena jabatannya memperoleh hak dan kewenangan menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian akuntabilitas dapat bersifat perorangan, kelompok, atau organisasional. Keempat, akuntabilitas yang dilakukan oleh seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Pihak-pihak tersebut adalah pejabat yang berwenang dan atau pemegang saham.

Candler dan Plano mengartikan akuntabilitas sebagai “refers to the

instutition of check and balances in an administrative system”, (akuntabilitas

menunjuk pada institusi tentang “check and balance” dalam sistem administrasi). Dalam hal ini berarti menyelenggarakan penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang digunakan. 21

Selanjutnya Taliziduhu Ndraha (2000) membedakan akuntabilitas dan responsibilitas dalam kaitannya dengan makna pemerintahan yang bertanggung jawab menyatakan bahwa akuntabilitas meliputi perhitungan, laporan pelaksanaan tugas yang disampaikan kepada atasan atau penyampai tugas, oleh bawahan atau yang diberi kuasa dalam batas-batas kekuasaan (tugas) yang diterimanya, sedangkan responsibilitas sebagai cause yakni faktor yang menggerakkan seorang

Dengan kata lain akuntabilitas merupakan perwujudan rasionalisasi perencanaan yang ada terhadap kinerja yang dilaksanakan.

21

(36)

pejabat untuk melakukan suatu tindakan atau mengambil keputusan berdasarkan kehendak bebas.22

Jabbra dan Dwidevi mengemukakan ada lima perspektif akuntabilitas yaitu:

Sejalan seperti yang dikemukakan oleh Day dan Klein yang mengingatkan kita bahwa seseorang tidak dapat bertanggung gugat (akuntabilitas), kecuali seseorang itu mempunyai pertanggjawaban (responsibilitas) untuk melakukan segala sesuatu. Kemudian pertanggungjawaban dapat dilihat dalam 3 cara yaitu tanggung jawab sebagai kewenangan yang sah, tanggung jawab sebagai kewajiban moral, dan tanggung jawab sebagai kepekaan terhadap nilai-nilai dimana seorang pelayan publik ditugaskan untuk melaksanakan harapan-harapan orang lain dengan referenci nilai-nilai tertentu yang dibuat oleh para pelayanan publik dengan membawa fungsi mereka.

Dengan mengadopsi dari ketiga pendekatan tersebut akuntabilitas dapat didefinisikan sebagai metode-metode prosedur dan tekanan-tekanan yang ditentukan nilai apa yang akan direfleksikan ke dalam kebijakan administratif. Dan ketika mempelajari organisasi sektor publik maka akan memberikan perhatian kepada akuntabilitas sebagai metode untuk mencapai pemerintah dan administrasi yang peka atau dengan kata lain, nilai-nilai akuntabilitas menuntut untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan tugasnya. Prinsip akuntabilitas ini mensyaratkan adanya perhitungan cost and benefits dalam berbagai kebijakan dan tindakan aparatur. Secara khusus dalam ruang lingkup publik, cost and benefit ini diukur dari nilai kemanfaatan yang diterima oleh masyarakat dibandingkan dengan upaya yang dikerjakan oleh pemerintah.

22

Paimin Napitupulu. 2007. Pelayanan Publik dan Customer Satisfaction, Prinsip –prinsip Dasar agar Pelayanan Publik Lebih Berorientasi pada Kepuasan dan Kepentingan Masyarakat.

(37)

1. Akuntabilitas organisasional/ administratif yaitu pertanggungjawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit bawahannya dalam hubungan hierarki yang jelas dan bersifat internal. Contohnya Inpres No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

2. Akuntabilitas legal lebih merujuk pada domain publik yang dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif. Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan akuntabilitas politik dan undang-undang.

3. Akuntabilitas profesional berkaitan dengan pelaksanaan kinerja dan tindakan yang berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh organisasi profesi yang sejenis

4. Akuntabilitas moral berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di kalangan masyarakat dan banyak berbicara tentang baik buruknya suatu kinerja dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang/ badan hukum/ piminan kolektif berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku setempat.

I.6.4 Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP)

I.6.4.1 Latar Belakang dan Ruang Lingkup AKIP

(38)

penyelenggara (pemegang amanah) menjadi akuntabel kepada pihak yang telah memercayainya.

Dengan disemangati oleh amanat UU No. 28 Tahun 1999, pemerintah telah menerbitkan Inpres No.7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Inpres ini merupakan jawaban nyata atas pentingnya penyelenggaraan pemerintah yang berkinerja dan akuntabel. Pemerintah yang berkinerja yang tidak hanya diukur dari keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program kerjanya, akan tetapi yang lebih penting ialah bagaimana seluruh kebijakan, program dan kegiatan tersebut dapat dirasakan dan bermanfaat bagi masyarakat.Pengertian akuntabilitas kinerja dalam inpres ini adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang ditetapkan malalui alat pertanggungjawaban secara periodik.

(39)

Pengembangan Sistem AKIP (SAKIP) dan LAKIP bermula pada pencarian pola peningkatan kinerja instansi pemerintah. Inisiatif untuk mempelajari akuntabilitas instansi pemerintah mulai menggelinding di tahun 1996, diawali dengan studi literatur dan studi banding pada beberapa negara yang telah lebih dulu mengembangkan dan melaksanakan prinsip akuntabilitas dan penyelenggaraan pemerintahan. Kegiatan studi literatur dan studi banding tersebut didukung oleh BPKP dengan mengerahkan beberapa personil, diskusi-diskusi dan seminar-seminar yang mendukung inisiatif pengembangan sistem akuntablitas kinerja instansi pemerintah dan dilengkapi dengan antara lain:

1. Bahan-bahan mengenai praktek-praktek adminisrasi negara di Amerika Serikat, terutama pelaksanaan GPRA (Government Performance and Result Act, 1993) dan mewabahnya implementasi Reinventing Government berikut sejumlah pengambangannya di Amerika Serikat

2. Melaksanaan studi literatur di bidang pemerintahan, administrasi negara, perkembangan audit, tukar menukar informasi melalui surat menyurat dan internet

Untuk lebih merangsang pemikiran lebih lanjut mengenai pengembangan sistem akuntabilitas instansi pemerintah, hasil kegiatan studi literatur dan diskusi-diskusi serta tukat menukar informasi tersebut di atas dituangkan dalam berbagai bahan bacaan, buku dan karya terjemahan sebagai referensi dalam pengembangan sistem AKIP.

(40)

dalamakuntabilitas tersebut dikembangkan pula informasi kinerja yang evaluasinya dituangkan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) agar dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan instansi pemerintah dalam pencapaian visi, misi dan tujuannya.

Pemberlakuan AKIP ini juga tidak lepas dari nilai kemanfaatan yang diharapkan, antara lain:

1. Mempertajam penetapan prioritas program-program pembangunan nasional dan daerah

2. Meminimalisasi duplikasi pembiayaan kegiatan rutin dan pembangunan sekaligus dapat meningkatkan kinerja secara terukur dan berkelanjutan

3. Tersedianya mekanisme pancatatan pemanfaatan sumber daya nasional dalam pelaksanaan seluruh program dan kegiatan nasional dan daerah yang lebih akurat

4. Mempercepat dan meningkatkan keakurasian dalam penyusunan revisi, perhitungan APBN sesuai dengan amanat UU Keuangan Negara

5. Mencegah penggunaan dana APBN/ APBD untuk kegiatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik

6. Tersedianya sarana dan metode kerja baru dalam pengendalian sistem manajemen (built ini control system) yang lebih handal

(41)

I.6.4.2 Pedoman Penyusunan dan Pelaksanaan AKIP

Inpres No.7 Tahun 1999 menyertakan sebuah lampiran yaitu Pedoman Penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang terdiri dari dua pokok uraian yakni uraian umum dan uraian Pelaksanaan Penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. dengan pedoman ini instansi pemerintah akan dituntun sehingga mampu mengimplementasikan AKIP secara proporsional.

Sebagai tindak lanjut dari Inpres tersebut, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengeluarkan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 589/IX/6/99 tentang Pedoman Pelaporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Empat tahun kemudian pedoman tersebut diperbaiki dengan keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Berdasarkan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang ditetapkan oleh Kepala Lembaga Administrasi Negara, pelaksanaan AKIP harus berdasarkan antara lain pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang bersangkutan. 2. Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber

(42)

4. Berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang diperoleh.

5. Jujur, objektif, transparan, dan akurat.

6. Menyajikan keberhasilan/kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

Selain prinsip-prinsip tersebut di atas, agar pelaksanaan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah lebih efektif, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari organisasi yang mempunyai wewenang dan bertanggung jawab di bidang pengawasan dan penilaian terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.

Berkenaan dengan ruang lingkup SAKIP, dikemukakan bahwa SAKIP yang dilaksanakan oleh setiap instansi pemerintah sebagai bahan pertanggungjawabannya kepada presiden, adalah semua kegiatan instansi pemerintah yang memberi kontribusi bagi pencapaian visi dan misinya. Kegiatan yang menjadi perhatian utama mencakup:

1. Tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah 2. Program kerja yang menjadi isu nasional

(43)

Sjahruddin Rasul menyatakan bahwa siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pada dasarnya berlandaskan pada konsep manajemen berbasis kinerja. Adapun tahapan dalam siklus manajemen berbasis kinerja adalah sebagai berikut: 1. Penetapan perencanaan stratejik yang meliputi penetapan visi dan misi

organisasi dan strategic performance objectives.

2. Penetapan ukuran-ukuran kinerja atas perencanaan stratejik yang telah ditetapkan yang diikuti dengan pelaksanaan kegiatan organisasi.

3. Pengumpulan data kinerja (termasuk proses pengukuran kinerja), menganalisisnya, mereviu, dan melaporkan data tersebut.

(44)

Skema mengenai siklus Manajemen Berbasis Kinerja dapat dilihat pada gambar di bawah ini23:

Gambar 1.3. Siklus Manajemen Berbasis Kinerja

Hal ini sejalan dengan tahapan yang telah ditetapkan dalam Inpres No.7 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Sistem AKIP dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Mempersiapkan dan menyusun perencanaan strategis

2. Merumuskan visi, misi,faktor-faktor kunci keberhasilan, tujuan, sasaran dan strategi instansi pemerintah

23

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2007. DIKLAT PEMBENTUKAN AUDITOR AHLI AKUNTABILITAS INSTANSI PEMERINTAH (Edisi Kelima)

(45)

3. Merumuskan indikator kinerja instansi pemerintah dengan berpedoman pada kegiatan yang dominan, menjadi isu nasional dan vital bagi pemcapaian visi dan misi instansi pemerintah.

4. Memantau dan mengamati pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan seksama

5. Mengukur pencapaian kinerja dengan:

a. Perbandingan kinerja aktual dengan rencana atau target b. Perbandingan kinerja aktual dengan tahun-tahun sebelumnya

c. Perbandingan kinerja aktual dengan kinerja di negara-negara lain atau dengan standar internasional

d. Membandingkan capaian berjalan dengan tahun-tahun sebelumnya

e. Membandingkan kumulatif pencapaian kinerja dengan target selesainya rencana strategis

6. Melakukan evaluasi kinerja dengan : a. Menganalisis hasil pengukuran kinerja b. Menginterpretasikan data yang diperoleh

c. Membandingkan pencapaian program dengan visi dan misi intansi pemerintah.

(46)

dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi perbaikan kinerja instansi yang berkesinambungan. 24

Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial

I.7 Definisi Konsep

25

1. Kebijakan Publik yaitu serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Kebijakan Publik dalam penelitian ini yaitu Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah atau AKIP(Inpres No. 7 Tahun 1999)

. Selain itu tujuan adanya konsep adalah untuk mendapatkan batasan yang jelas dari setiap konsep yang diteliti. Maka untuk mendapatkan batasan yang jelas, defini konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

2. Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) merupakan perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik. AKIP ini meliputi sistem AKIP (SAKIP) yang merupakan keseluruhan proses/ langkah-langkah pelaksanaan AKIP sesuai dengan Inpres No. 7 Tahun 1999 yang meliputi penyusunan rencana strategis (termasuk

24

Ismail Mohamad, dkk, Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas, (Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2004), hlm 110

25

(47)

penetapan visi, misi, tujuan, sasaran dan penetapan indikator kinerja dari Dinas kebersihan Kota Medan) sampai kepada pembuatan laporan AKIP (LAKIP) yang merupakan alat pertanggungjawaban AKIP.

3. Implementasi kebijakan adalah tindakan yang dilakukan oleh individu-individu yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Teori implementasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Implementasi George Edwards III, dengan 4 faktor yang mempengaruhi implementasi, yaitu:

a. Komunikasi. Penyampaian informasi yang efektif tentang kebijakan AKIP yang akan dilaksanakan terhadap pegawai Dinas Kebersihan Kota Medan.

b. Sumber-sumber yaitu segala modal dan kapasitas yang dimiliki oleh implementor yang mendukung keefektivan pengimplementasian kebijakan AKIPpada Dinas Kebersihan Kota Medan

c. Kecenderungan-kecenderungan (disposisi) merupakan respon berupa penerimaan atau penolakan terhadap kebijakan AKIP yang diterapkan. d. Struktur birokrasi meliputi Prosedur kerja (Standart Operating

(48)

I.8 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, fokus masalah tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep dan sistematika penulisan

BAB II METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, rencana pengujian keabsahan data, etika penelitian.

BAB IV TEMUAN PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran dan karakteristik lokasi penelitan serta hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan

BAB V ANALISIS TEMUAN

Bab ini berisi proses dan hasil analisa data yang diperoleh dari lapangan

BAB VI PENUTUP

Gambar

Gambar 1.1. Tahapan Kebijakan Publik
Gambar 1.2. Model Implementasi Edward III
gambar di bawah ini23:

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini memuat tentang susunan tata surya yang berisi tampilan planet, galaksi, bintang dan orbit beserta keterangannya. Penggabungan komponen-komponen yang dibutuhkan

Sistem ini menangani kegiatan penerimaan pegawai yang meliputi proses-proses : pemeriksaan kelengkapan surat lamaran, pengelompokan sesuai posisi yang ditawarkan, pengiriman

Amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , menyatakan bahwa Renja SKPD disusun sebagai penjabaran Rensta SKPD untuk jangka waktu 1 (satu)

Sehingga kami simpulkan bahwa dokumen pengadaan dan adendum yang diupload di lpse.kemenag.go.id sudah dianggap jelas dan bisa diterima5. Selanjutnya peserta calon

Universitas Negeri

Universitas Negeri

melakukan pendampingan di gugus sesuai alokasi jam pendampngan yang telah ditentukan (3 jam/180 menit/IN). 4) Seluruh guru pendamping belum melakukan pendampingan di gugus

C_1 Pemberdayaan Pemuda Karangtaruna Dalam Rancang Bangun Sistem e-Commerce melalui Pemanfaatan Akses Informasi Jaringan Pita Lebar Indonesia Berbasis Web-GIS untuk Peningkatan