• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Orbita - Prevalensi tindakan operatif pada pasien tumor orbita RS HAM tahun 2011-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Orbita - Prevalensi tindakan operatif pada pasien tumor orbita RS HAM tahun 2011-2013"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

Tinjauan Pustaka

2.1. Orbita

Orbita adalah suatu rongga yang berisikan bola mata dengan jaringan lunak sebagai

bantalan bola mata. Rongga tersebut berbentuk piramid, yang memiliki dasar berbentuk

kuardrangular terbuka disebelah anterior, berukuran 4 cm horizontal dan 3,5 cm vertikal. Atap

orbita memiliki bentuk triangular. Dinding medial orbita berjarak 2,5 cm satu sama lainnya, dan

dinding lateralnya saling membentuk sudut dengan fossa lakrimal yang terletak pada kedalaman

2 cm. dinding orbita terdiri 7 macam tulang, yaitu tulang etmoid, frontal, lakrimal, maksila,

palatum, sphenoid dan zigomatik. Para ahli membagi rongga orbita menjadi 4 bagian, yaitu atap

orbita, dinding lateral, dinding medial dan dasar orbita.9-11

2.2. Tumor Orbita

Jenis tumor orbita: 9,12

1. Tumor orbita primer

Tumor orbita primer adalah tumor orbita yang berasal dari jaringan orbita sendiri. Tumor

orbita ini dapat bersifat jinak maupun ganas.

2. Tumor orbita sekunder

Tumor orbita sekunder adalah tumor orbita yang berasal dari berbagai organ lain di

tubuh. Sifat tumor ini biasanya ganas. Proptosis yang terjadi biasanya biasanya disertai

destruksi tulang orbita dan dapat terjadi oftalmoplegi.

3. Tumor epitel

Tumor orbita yang berasal dari jaringan epitel, yang termasuk jenis ini adalah karsinoma

sel basal atau basalioma, karsinoma sel skuamosa, melanoma maligna, adenokarsinoma.

(2)

Berdasarkan asal jaringan dan sifat tumor, dapat dibagi 4 kelompok yaitu tumor primer

jinak orbita, tumor primer ganas orbita, tumor epitel sekunder orbita, dan tumor invasi atau

metastasis.

2.3. Palpebra

Palpebra adalah lipatan tipis kulit, otot dan jaringan fibrosa yang berfungsi melindungin

struktur-struktur mata yang rentan. Palpebra sangat mudah digerakkan karena kulit disini paling

tipis diantara kulit di bagian lain. Muskulus orbikularis oculi melekat pada kulit. Permukaan

dalamnya disyarafi nervus facialis (nervus VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra.

Otot disini terbagi dalam bagian orbital, preseptal, dan paratarsal. Bagian orbital, yang terutama

berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar tanpa insertion temporal. Otot

praseptal dan paratarsal memiliki kaput medial superfisial dan profundus, yang turut serta dalam

pemompaan air mata.10

Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah digerakkan daripada palpebra inferior.

Sebuah alur yang dalam, biasanya diposisi tengah palpebra superior pada orang Caucasian,

merupakan tempat perlekatan serat-serat otot levator. Alur ini jauh lebih dangkal atau bahkan

tidak ada pada palpebra orang Asia. Dengan meningkatnya usia, kulit tipis palpebra superior

cenderung mengantung diatas alur palpebra itu sampai menyentuh bulu mata. Penuaan juga

menipiskan septum orbital sehingga terlihat bantalan lemak di bawahnya.11-13

Tumor pada mata dapat dibagi dua, tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak palpebra

sangat umum dan frekwensinya dengan bertambah semakin meningkatnya usia. Kebanyakan

mudah dikenali di klinik, dan eksisi dilakukan dengan alasan kosmetik. Meskipiun begitu

seringkali lesi ganas sulit dikenalin secara klinik, dan biopsi harus selalu dilakukan jika ada

kecurigaan keganasan.11-13

Tumor ganas palpebra, karsinoma sel basal dan sel skuamosa palpebra adalah tumor mata

ganas paling umum. Tumor-tumor ini paling sering terdapat pada orang bercorak kulit terang

(3)

karsinoma palpebra adalah dari jenis sel basal. Sisa 5% terdiri atas karsinoma sel skuamosa dan

karsinoma kelenjar meibom.14

Karsinoma sel basal, umumnya tumbuh lambat dan tanpa sakit, berupa nodul yang tidak

atau dapat berulkus. Karsinoma ini secara perlahan menyusupin ke jaringan sekitar namun tidak

bermetastasis. Studi potong-beku tepian irisan terutama penting untuk karsinoma sel basal

bersklerosis, karena tepian tumor secara klinis tidak nyata. Eksisi yang dikontrol secara

mikroskopik (teknik Mohs yang dimodifikasi), dipakai sejumlah ahli penyakit kulit untuk

mendapatkan eksisi total. Kasus tertentu dapat diobatin dengan cara seperti radioterapi dengan

nitrogen cair 14,15

Karsinoma sel skuamosa juga tumbuh lambat dan tanpa rasa sakit, seringkali berawal

sebagai sebuah nodul hiperkeratotik, yang dapat berulkus. Tumor radang jinak seperti

keratokanthoma sangat mirip karsinoma. Diagnosis tepat tergantung pada biopsi. Seperti

karsinoma sel basal, tumor ini dapat menyisip dan mengkikis jaringan sekitarnya, mereka dapat

pula menyebar ke limfonodus regional melalui sistim limfatik.17

(4)

Karsinoma kelenjar sebasea, paling sering muncul dari kelenjar meibom dan kelnjar Zeis,

namun dapat pula muncul dalam kelenjar sebasea alis mata atau karunkulum. Separuhnya mirip

lesi dan kelainan radang jinak seperti chalazion dan blepharitis menahun. Karsinoma ini lebih

agresif dari karsinoma sel skuamosa, sering meluas kedalam orbita, memasuki pembuluh limfe,

dan bermetastasis.17,18

Sarkoma jaringan lunak pada orbita jarang dan biasanya berupa perluasan ke anterior

tumor-tumor orbita. Rhabdomiosarkoma palpebra dan orbita adalah tumor ganas primer paling

umum di temukan dijaringan ini dalam dekade pertama kehidupan. Tumor palpebra adalah tanda

pertama. Kombinasi radioterapi biasanya efektif untuk mempertahankan fungsi mata dan

menghindari kematian.18

Melanoma ganas palpebra serupa dengan melanoma kulit dibagian lain dan terdiri atas tiga

golongan berbeda: melanoma yang menyebar superfisial, melanoma ganas lentigo, dan

melanoma nodular. Tidak semua melanoma ganas berpigmen. Kebanyakan lesi yang berpigmen

pada kulit palpebra bukan melanoma. Karenanya harus di biopsi untuk menegakkan diagnosis.

Prognosis melanoma kulit tergantung kedalaman invasi atau kedalaman lesi. Tumor dengan

kedalaman kurang dari 0,76 mm jarang bermetastase.18

Tumor dan pseudotumor (non-spesific orbital inflamtion, idiopathic orbital inflammation

atau orbital inflammatory syndrome) kadang kala sangat sulit dibedakan. Pseudotumor adalah

lesi inflamasi yang menyerupai lesi neoplastik terdiri dari respon sel pleomorfis dan reaksi

jaringan fibrovaskular tanpa diketahui penyebabnya, baik local maupun sistemik.19-22

Pseudotumor pertama sekali dideskripsikan oleh Birch-Hirscfield pada tahun 1905

terhadap sindrom dengan gambaran klinis jinak atau neoplasma ganas yang pada saat dilakukan

eksplorasi bedah dan biopsy didapatkan jaringan inflamasi. Diagnosis ini kemudian meluas

menjadi “keranjang sampah” penyakit lain yang sulit di diagnosis pada saat itu. Dengan

berkembangnya metode diagnosis tumor mata, spectrum pseudotumor semakin menyempit.

Defenisi pseudotumor pada literature terkini adalah inflamasi orbita non spesifik tanpa

ditemukannya penyebab spesifik baik local maupun sistemik.20,21

Pseudotumor merupakan lesi jinak yang sering ditemukan di orbita. Pada sebuah seri

(5)

mencapai 4,6% dari total tumor orbita. Insiden yang sebenarnya di perkirakan lebih tinggi karena

sejumlah besar kasus tidak dibiopsi.22 Shields dkk23 yang melakukan survey terhadap 1264 pasien dalam periode 30 tahun di Wills Eye Hospital mendapat pseudotumor pada 98 kasus (8%)

Patogenesis pseudotumor dipahami bersamaan dengan ditelitinya mekanisme inflamasi.

Makrofag memproses dan mempersentasekan antigen untuk limfosit T helper untuk mengawalin

respon imun seluler. Pada T helper berproliferasi dan memproduksi sitokinin dan mengakibatkan

sel T efektor bertambah banyak dan mengakibatkan lisis sel. Sitokinin yang dihasilkan akan

menarik dan mengaktifkan makrofag. Sitokini selain mengakibatkan lisis sel yang mengandung

antigen, juga mengakibatkan kerusakan jaringan dan fibrosis secara klinis didapatkan sebagai

nyeri orbita, pembengkakan dan menurunkan fungsi. Pada saat yang bersamaan, respon humoral

diawalin dimana sel B berproduksi, sebagian membentuk folikel, sebagian lagi berubah menjadi

sel plasma yang membentuk antibodi. Apabila jaringan mengalami perbaikan, maka akan tampak

gambaran peradangan kronis.23

(6)

2.4. Protrusi Bola Mata

Protrusi bola mata diukur dari puncak kornea menuju garis sejajar yang dilalui oleh kedua

titik margin rima orbita lateral.

2.4.1. Proptosis

Proptosis adalah peningkatan yang abnormal dari nilai protrusi bola mata. Eksoftalmus

adalah proptosis yang biasanya disertai dengan kelainan kelenjar tiroid, sedangkan enoftalmus

adalah penurunan abnormal nilai protursi bola mata.2 Pseudoproptosis disebabkan akibat penonjolan bola mata yang bukan disebabkan peningkatan isi bola mata. Penyebab dari

pesudoproptosis adalah antara lain membesarnya bola mata akibat myopia tinggi, kelemahan

atau parese otot ekstra ocular, enoftalmos mata sebelahnya, ukuran orbita yang tidak simetris,

fisura palpebra yang tidak simetris (umumnya akibat kelopak mata ipsilateral atau parese saraf

wajah atau ptosis kontralateral).26

Ada studi biopsi terhadap kasus proptosis pada anak-anak yang dilakukan oleh Shields

dkk, mendapatkan bahwa 85% kasus proptosis disebabkan oleh lesi jinak seperti kista, lesi

inflamasi, atau hamartoma. Rabdomiosarkoma, retinoblastoma, dan leukemia terdapat pada

sisanya 25% kasus proptosis.27

Tabel 1.1 jumlah dan persentase lesi penyebab proptosis pada anak28

(7)

Abnormalitas kraniofasial akibat trauma wajah atau kelainan congenital dapat menyebabkan

proptosis

2.4.2. Pengukuran Nilai Protrusi Bola Mata

Tindakan pengukuran protrusi mata disebut eksoftalmometri. Teknik eksoftalmometri ini

merupakan teknik pemeriksaan yang penting dalam evaluasi pasien dengan kelainan orbita.

Terdapat 3 jenis pengukuran eksoftalmometri, yaitu:2

a. Eksoftalmometri absolut, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan nilai

rerata standar yang ada. Eksoftalmometri absolut sangat penting dalam diagnosis

proptosis bilateral, karena pada keadaan ini protrusi kedua mata.

b. Eksoftalmometri relatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan mata

sebelahnya pada individu yang sama. Eksoftalmometri relative penting dalam diagnosis

proptosis unilateral. Sebagian besar penelitian yang telah ada mendapatkan nilai relatif

protrusi bola mata yang tidak lebih dari 2 mm

c. Eksoftalmometri komparatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan

mata yang sama dalam periode waktu tertentu. Eksoftalmometri komparatif penting

dalam memonitor perubahan besar protrusi seiring waktu yang berjalan, sehingga dapat

mengikutin progresifitas proptosis tersebut.

Pada beberapa studi, pengukuran luar daerah orbita atau fotografi teleh dilakukan

untuk mengukur anatomi mata dan daerah sekitar wajah. Namun, teknik ini tidak dapat

menggambarka tulang dan jaringan lunak secara akurat.29

Alat eksoftalmometri hingga saat ini yang paling sering digunakan adalah “Hertel

eksoftalmometri”, namun alat ini sulit dipakai apabila terdapat kelainan pada rim orbita

lateral, seperti pada pasien dengan riwayat pengambilan tulang rima orbita lateral pada

(8)

Gambar3.1. Cara pemeriksaan Hertel Eksoftalmometri pada Pasien31

Bogren dkk22 membandingkan Hertel eksoftalmometri dengan teknik pengukuran secara radiografik. Mengukur dengan teknik radiografik pada protrusi bola mata secara

akurat dan sensitif. Namun, pengukuran ini sangat rumit dan mahal. Hertel eksoftalmometri

yang digunakan sebagai pembanding teknik radiografik tersebut dinyatakan lebih mudah

digunakan dan lebih siap sedia untuk kepentingan klinis. Hertel eksoftalmometri telah

banyak digunakan oleh para klinisi untuk menentukan protrusi bola mata pasien.22 Pada tahun 2001, Kim dan Choi25 membandingkan pengukuran oleh CT Scan orbita dengan Hertel eksoftalmometri di Korea dan menentukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

antara kedua alat ukur tersebut.

2.5. Faktor yang Berhubungan dengan Nilai Protrusi Bola Mata

Sebagian besar peneliti menyatakan bahwa parameter orbita seperti jarak rima orbita

lateral dan jarak antara pupil memiliki korelasi positif dengan nilai protrusi bola mata.2,9,21,25 Namun usia, jenis kelamin, antropometri tinggi badan dan indeks massa tubuh, dan status

refraksi masih memberikan variasi terhadap nilai protrusi bola mata. Panjang sumbu bola mata

(9)

2.5.1. Usia

Fledelius dkk9 pada tahun 1986 meneliti perubahan posisi bola mata seiring pertumbuhan dan saat dewasa pada subjek dengan rentang usia 5-80 tahun. Pada penelitiannya ditemukan

bahwa terdapat hubungan liniar antara nilai protrusi bola mata dengan usia hingga usia 20 tahun,

selanjutnya nilai protrusi bola mata menjadi stabil. linier meningkat kemudian menurun pada dekade kedua dan meningkat lagi pada dekade ketiga.

Nilai protrusi bola mata stabil setelah dekade ketiga dan keempat. Peningkatan nilai protrusi bola

mata pada dekade kedua hingga dekade ketiga diduga akibat peningkatan deposit lemak.

Ghozi dkk8 tahun 1984 meneliti nilai protrusi bola mata pada subyek di Jogyakarta. Pada kelompok usia 6-12 tahun memiliki nilai protrusi bola mata sebesar 16,42±1,77 mm pada

laki-laki dan 16,64±1,96 mm pada perempuian. Pada penelitian ini tidak terlihst adanya hubungtan

antara nilai protrusi bola mata dengan usia. Namun di Indonesia maupun di luar negeri ada

beberapa studi yang btelah dilakukan maka terdapat perbedaan pola hubungtan antara nilai

protrusi bola mata dengan usia yang dapat disebabkan pertumbuhan orbita dan ras.

2.5.2. Jenis Kelamin

Waever dkk29 menemukan bahwa parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi bola mata dari rima orbita lateral, protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior,

perimetri rima orbita memiliki ukuran yang lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita. Chan

dkk4 dan Quant dkk22 menemukan bahwa laki-laki memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan wanita. Hal ini diduga karena laki-laki memiliki postur

(10)

tahun 1984 ditemukan nilai protrusi bola mata secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki

daripada wanita.8

Kaye dkk32 meneliti 462 pasien dengan rentang usia 9-82 tahun dan menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan wanita.

Tsai dkk33 mendapatkan perbedaan signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan wanita.

Pengaruh jenis kelamin terhadap nilai protrusi bola mata masih kontroversi. Hal ini diduga

terjadi karena pengaruh ras.

2.5.3 Antropometri

Peyster dkk34 menemukan bahwa pada pasien dengan obesitas, terdapat peningkatan lemak orbita dibandingkan pasien normal. Wear dkk29 meneliti antropometri orbita dan mata pada 39 subjek dengan ras Kaukasia. Mereka melakukan analisis korelasi multivariat antara tinggi badan

dengan parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi bola mata dari rima orbita lateral,

protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior, perimetri rima orbita) dan menemukan

bahwa tinggi badan merupakan faktor utama yang mempengaruhi adanya variasi antropometri

orbita.

Smoldrers dkk4 penelitiannya berupa nilai protrusi bola mata pada subjek dengan IMT 30kg/m2 dan dibandingkan dengan control 26>IMT 20 kg/m2. Mereka menemukan

bahwa pasien obesitas memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih tinggi serta diameter otot

rektus medial yang lebih besar. Hal ini diduga akibat meningkatnya ukuran leak retro orbita dan

otot intraorbita pada subjek dengan IMT 30kg/m2

Kaskouli dkk21 pada penelitiannya ditemukan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara protrusi bola mata dengan tinggi badan dan berat badan pada kelompok anak-anak, sedang pada

kelompok remaja ditemukan korelasi yang signifikan dengan tinggi badan dan berat badan.

Inkonsistensi hubungan nilai protrusi bola mata dengan antropometri (tinggi badan, IMT)

(11)

2.5.4. Parameter Orbita

Beberapa penelitian menemukan korelasi linear yang positif antar nilai protrusi bola mata

dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil.21,22,32 Hal ini diduga akibat lebih landainya rongga orbita pada jarak rima orbita lateral yang lebih besar. Meskipun nilai protrusi bola mata

dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil memiliki korelasi yang positif, keadaan

tersebut bukan sesuatu proses sebab akibat, namun merupakan hal yang terjadi bersamaan.21

2.5.5. Ras dan Etnis

Penelitian di berbagai negara telah dilakukan dalam upaya pencarian nilai normal protrusi

bola mata. Kashkauli dkk21 meneliti nilai proetrusi bola mata di Iran dan menemukan rerata nilai protrusi bola mata sebesar 14,2±1,8 mm pada kelompok anak-anak. Quant dkk22 mendapat nilai

protrusi bola mata pada anak di Hongkong sebesar 15-17mm. Fledelius dkk9 meneliti nilai protrusi bola mata pada ras Kaukasia pada tahun 1986. Mereka mendapatkan nilai protrusi bola

mata pada kelompok usia 5-10 tahun sebesar 13,6±1,75 mm untuk perempuan dan 13,7±1,4 mm

untuk laki-laki. Sodhi dkk15 meneliti nilai protrusi bola mata pada populasi India, mereka menemukan rerata nilai normal protrusi bola mata kelompok usia 3-10 tahun pada jenis kelamin

laki-laki adalah 13,02 mm (mata kanan) dan 13,09 mm (mata kiri), sedangkan pada jenis kelamin

perempuan adalah 13,06 mm (mata kanan) dan 13,03 mm (mata kiri).

Berdasarkan berbagai ;penelitian yang telah dilakukan, tampak variasi nilai normal

protrusi bola mata menurut ras atau etnis dilokasi geografis tertentu. Nilai normal protrusi bola

mata yang sesuai dengan ras atau etnis setempat dibutuhkan sebagai evaluasi adanya kelainan di

orbita juga untuk menilai keberhasilan pengobatan kelainan di orbita.

2.5.6. Status Refraksi dan Panjang Sumbu Bola Mata

Status refraksi menyatakan status bayangan yang terbentuk pada posisi tertentu dari retina.

Status refraksi terdiri dari emetropia dan ametropia. Emetropia adalah status refraksi dimana

cahaya sejajar dengan datang dari objek jauh tak terhingga sampai tepat di retina pada mata yang

tidak berakomodasi. Ametropia adalah keadaan selain emetropia. Ametropia dibagi menjadi

aksial dan refraktif. Pada ametropia aksial, bola mata cenderung lebih panjang pada myopia, dan

(12)

normal, namun kekuatan refraksi bola mata yang asbnormal. Pada myopia refraktif kekuatan

refraksi tinggi sedangkan pada hipermetropia kekuatan refraksi rendah.

Faktor biometri yang mempengaruhi status refraksi yaitu kurvatura kornea, kedalaman bilik

mata depan, ketebalan lensa, panjang vitreus, dan panjang sumbu bola mata.35 Faktor genetik memiliki korelasi yang signifikan terhadap kejadian myopia. Faktor lingkungan seperti aktifitas

lihat dekat, status antropometri, tingkat pendidikan diduga memiliki hubungan dengan kejadian

myopia. Saw dkk36 pada penelitian terlihat bahwa tinggi badan berhubungan dengan refraksi yang lebih negative/myopia. Berat badan yang lebih besar dan anak yang lebih obesitas

cenderung memiliki refraksi kearah hiperopia. Penemuan tersebut bervariasi berdasarkan jenis

kelamin. Nora dkk35 menemukan bahwa obesitas juga memperlihatkan hubungan dengan kejadian myopia walaupun kekuatan hubungan lemah. Penelitian ini tidak mendapatkan

hubungan tinggi badan terhadap kejadian myopia.36

Quant dkk22 pada penelitiannya memasukkan subjek dengan semua status refraksi dan menemukan bahwa status refraksi memiliki korelasi negatif lemah dengan nilai protrusi bola

mata. Hal ini diduga karena sedikitnya jumlah subjek dengan myopia tinggi. Penelitian ini juga

menemukan bahwa panjang bola mata dan status refraksi memiliki korelasi yang kuat pada

subjek anak-anak di Hongkong. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai protrusi bola mata

pada myopia tinggi. Sehingga dalam menilai protrusi bola mata, perlu mempertimbangkan status

refraksi juga.

Chan dkk4 pada tahun 2009 melakukan penelitian yang merupakan studi berbasis populasi pertama yang menilai hubungan protrusi bola mata dengan biometri. Penilaian biometri dan

status refraksi yang dilakukan oleh Chan dkk dapat menganalisa peran panjang sumbu bola mata

terhadap pseudoproptosis. Mereka menemukan bahwa meskipun terdapat korelasi positif antara

derajat miopia dengan panjang bola mata, namun spherical equivalent tidak berhubungan dengan

protrusi bola mata. Pada analisis regresi mereka menemukan bahwa panjang sumbu bola mata

merupakan faktor prediktor bebas terhadap nilai protrusi bola mata, sedangkan status refraksi

tidak mempengaruhi nilai protrusi bola mata secara signifikan.4

(13)

2.6. Pengobatan Tumor Orbita

Pengobatan yang diberikan pada penderita tumor orbita tidaklah sama, tergantung dari

jenis tumor dan stadium pada saat tumor ditemukan. Pada tumor jinak, tindakan pembedahan

mudah dilakukan tanpa mengganggu bola mata, sehingga penglihatan dan kosmetik wajah tidak

terganggu. Namun bila pada pemeriksaan mikroskopik dan patologi anatomi (PA) menunjukkan

tanda-tanda keganasan, maka harus segera dilakukan pengangkatan secara radikal dan

eksenterasi, yaitu membuang tumor beserta seluruh isi dan jaringan yang ada di dalam rongga

orbita, termasuk bola mata dan periosteum dinding orbita. Pada tumor yang sudah stadium lanjut

dan sudah terdapat metastatasis sistemik atau intrakranial, tidak lagi dilakukan tindakan operatif,

melainkan dengan tindakan radioterapi atau kemoterapi.7,13

2.7. Eksenterasi Orbita

Eksenterasi orbita adalah tindakan pengangkatan seluruh isi bola mata, jaringan lunak

orbita, periosteum dinding orbita, beserta kelopak mata.7,14-16

2.7.1. Teknik operasi eksenterasi orbita

Operasi eksenterasi orbita ada 2 jenis, yaitu:

1. Eksenterasi orbita total

Sesuai dengan defenisi pembedahan diatas pada eksenterasi total, kelopak mata tidak

ditinggalkan. Teknik operasi eksenterasi orbita total: dengan melakukan insisi

sepanjang rima orbita, pada perbatasan periosteum dan periorbita, yang dilanjutkan

dengan pengelupasan periorbita untuk dapat segera mengeluarkan isi orbita, lalu

dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin di daerah apeks. Insisi

permulaan dapat dilakukan di kuadran mana saja, tetapi lebih sering di lakukan

didaerah yang kurang vaskularisasinya. Daerah yang kurang vaskularisasinya berada di

kuadran temporal. Pada saat insisi, perdarahan yang terjadi cukup banyak dan dapat

(14)

disukai adalah operasi dengan menggunakan CO2 laser. Insisi dapat dilakukan

sekaligus dengan cepat dapat memperhatikan perdarahan yang terjadi, kecuali yang

berasal dari arteri. Perdarahan akan segera berhenti pada saat periorbita dan periosteum

telah diangkat dan setelah amputasi dilakukan didaerah apeks. Tetapi perdarahan masih

dapat terjadi setelah pengelupasan periosteum, karena darah berasal dari pembuluh

darah infra orbita superior dank anal optik. Perdarahan dari sumber ini dapat diligasi

atau dikauterisasi. 7,14,15 2. Eksenterasi orbita subtotal

Eksenterasi subtotal merupakan modifikasi dari eksenterasi total (klasik), dengan tidak

mengangkat kelopak mata. Eksentersi subtotal biasanya dilakukan pada tumor orbita

yang terlokalisir, berbatas tegas, satu nodul dan belum berinvasike kelopak mata.

Sebagai contoh, tumor epibulbar yang belum bereksistensi ke palpebra dapat di batasi

dengan mengangkat isi orbita saja. Umumnya para penderita lebih memilih

pembedahan eksenterasi subtotal daripada eksenterasi total. Tetapi pada beberapa

tumor ganas tindakan eksenterasi subtotal tidak dibenarkan, walaupun tumor masih

dalam stadium dini. Teknik operasi eksenterasi orbita subtotal, bola mata dan jaringan

orbita atau tumor epibulbar diangkat sekaligus. Insisi dilakukan mengelilingin daerah

forniks, dilanjutkan dengan melakukan pengelupasan periorbita untuk dapat

mengeluarkan isi orbita, lalu dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin

di daerah apeks. Untuk mengatasi perdarahan, dilakukan ligasi dan kauterisasi sama

seperti teknik operasi eksenterasi total.7,14,15

2.8. Kornea

Kornea adalah jaringan yang bersifat transparan dan avaskular, berfungsi membiaskan

dan meneruskan cahaya kedalam bola mata serta melindungi bagian dalam bola mata dari

lingkungan luar. Kornea memiliki diameter horizontal 11-12 mm dan vertikal 9-11 mm.10/24 Kornea mempunyai bentuk kurvatura yang prolate.25 Bentuk prolate dari kurvatura kornea akan mengakibatkan bagian sentralnya lebih steep dan kekuatan refraksi lebih besar daripada bagian

(15)

yang melalui kornea bagian perifer akan direfraksikan tidak sekuat sinar yang melalui bagian

sentral kornea.26

Kornea merupakan modifikasi dari membran mukosa, dan juga modifikasi dari kulit25 Bagian depan kornea disusun oleh lima lapis epitel skuamosa nonkeratin yang menyerupai

epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di antara susunan

epitel kornea. Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan lapisan germinativum dan

melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel wing. Lapisan sel basal juga melekat

ke membran basal melalui bantuan hemidesmosom.25

Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV, proteoglikan

heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin). Membran basal

merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma kornea.25,26

Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Lapisan muko-protein

pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.

(16)

2.9. Retina

Retina adalah jaringan paling kompleks dimata. Untuk melihat, mata harus berfungsi

sebagai suatu alat optik, sebagai suatu reseptor kompleks dan sebagai suatu transducer yang

efektif. Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu merubah rancangan cahaya

menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus

dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan

yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut, sel

ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam.

Diretina perifer banyak fotoreaseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan

sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti ini adalah bahwa makula

terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian

retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama

penglihatan perifer dan malam (skotopik).7

Gambar 3. Retina

Retinoblastoma adalah tumor masa anak-anak yang jarang tetapi dapat fatal. Dua pertiga

kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga, walaupun jarang dilaporkan. Retinoblastoma dapat

tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik). Retinoblastoma endofitik kemudian meluas

(17)

melalui saraf optikus ke otak dan disepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emirasi di sklera ke

jaringan orbita lainnya. Enukleasi adalah terapi pilihan untuk retinoblastoma besar. Mata dengan

tumor yang berukuran lebih kecil pada anak dapat diterapi secara efektif dengan radioterapi

plaque atau external beam, krioterapi, atau fotokoagulasi. Kadang-kadang diperlukan kemoterapi

untuk penanganan kasus rekuren, terutama untuk menyelamatkan mata kedua pada kasus

bilateral apabila mata pertama telah dienukleasi, dan untuk penyakit metastatik. 7

Pada retina sering juga terjadi tumor, misalnya retinoblastoma yang terjadi pada anak.

Gambar 4. Retinoblastoma dan Gambaran CT Scan 2

Kasus retina blastoma banyak terjadi pada anak-anak dibawah 1 tahun. Gejala awal dari

(18)

merasa sakit, juga orangtuanya tidak menyadarinya kalau retinoblastoma sudah menyerang

anaknya, Gejala akan terlihat bila retinoblastoma ini sudah stadium lanjut. Maka perlunya

Gambar

Gambar 1.1 Karsinoma sel skuamosa 2
Gambar 2.1 Patogenesis pseudotumor5
Tabel 1.1 jumlah dan persentase lesi penyebab proptosis pada anak28
Gambar 3. Lapisan kornea2
+2

Referensi

Dokumen terkait

1) Kompetitif (competitive) : tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial misalnya, memerintah, memintah, menuntut dan memohon.. 2) Menyenangkan (covinvial) : tujuan ilokusi

Akan tetapi perumusan Pancasila sebagai dasar negara berasal dari dunia kehidupan bangsa Indonesia maka Pancasila merefl eksikan keaslian nilai-nilai yang hidup dalam

Pemerintah Daerah Tahun 2017 perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Rencana Kerja Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat 2017;.. Mengingat :

Hubungan Pelayanan Perawatan dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Advent Bandung.

Eigen fungsi yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan program utama menghasilkan fungsi gelombang elektron berbentuk sinusoidal dengan amplitudo bergantung

Saat ini proses ujian di Sekolah Tinggi Tarakanita masih dilaksanakan manual dengan metode Papaer and Pencils (PPT) dan menghadapi kendala seperti persiapan pelaksanaan

Dari hasil penelitian sebelumnya yakni di Desa Mataue (kurang lebih 8 km dari desa Salua ke arah selatan), jenis pohon yang ada di Desa Salua tidak jauh berbeda dengan yang ada

adalah prinsip harga murah atau gelap, gelap artinya kita membuat nilai tambah yang luar biasa hingga menjadi gelap, banyak orang yang tidak begitu peduli meskipun harganya