MEDIA MASSA DAN HEGEMONI NEGARA TERHADAP REALITAS POLITIK PEREMPUAN:
Analisis Gramscian Atas Proses Perjuangan Affirmative Action, Kuota 30 Persen Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang di yakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagian besar manusia, bahkan terkadang oleh kaum perempuan itu sendiri.
Situasi ini lalu melahirkan sebuah sistem budaya patriarkhi yang sangat merugikan kaum perempuan. Dan sistem budaya patriarkhi ini semakin kuat dan berakar, serta seakan memiliki legalitas kebenaran, ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan ‘pembiaran’ terhadap nilai nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Hegemoni dan keterlibatan negara terhadap marjinalisasi yang dialami kaum-perempuan sangat nyata dan berpengaruh, hal ini disebabkan oleh kekuasaan negara, yang memiliki legalitas untuk membuat ketentuan/aturan yang berlaku dimasyarakat, termasuk didalamnya segala ketentuan yang menyangkut kebijakan terhadap kaum perempuan.
Dalam konteks sosial, norma norma dan segala nilai yang berlaku di masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh budaya patriarkhis, yang jelas jelas menyudutkan posisi kaum perempuan.
Nilai nilai budaya patriarkhis ini lalu seakan memperoleh kekuatan pembenaran, ketika negara, yang dalam hal ini disebut Pemerintah, melakukan ‘pembiaran’, dan dalam beberapa hal bahkan melakukan justifikasi terhadap nilai nilai yang berlaku dimasyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan kaum perempuan. Tingkah laku negara seperti ini, pada akhirnya menciptakan dan ‘status quo’ terhadap nilai nilai yang merugikan kaum perempuan.
Dikalangan kaum perempuan sendiri, tindakan negara tersebut lalu melahirkan sikap apatisme yang oleh sebagian masyarakat, dan juga negara, dianggap sebagai ‘pengakuan’ dan ‘penerimaan’ terhadap realitas yang terjadi.
Pentingnya mempengaruhi kebijakan negara agar lebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak di pahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara seringkali membutuhkan pressure untuk melahirkan kebijakan kebijakan yang lebih sensitive gender. Dan pressure terhadap negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar ( Bargaining position ) yang seimbang, atau lebih kuat dari negara.
Gramsci meyakini bahwa hegemoni negara bisa saja kalah, dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan, sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Fase ini disebut oleh Gramsci sebagai gerakan ‘counter hegemoni’, dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru, setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama dan sekaligus ,memperoleh kekuasaan civil society.
Dalam upaya melakukan ‘counter hegemoni’, kaum perempuan, sebagaimana di sebutkan diatas, harus memiliki posisi tawar (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung, yang dalam bahasa Gramsci disebut sebagai struktur.
Instrumen pendukung yang saling berhubungan secara simbiosis akan mendukung terbentuknya kesadaran masyarakat, terutama kaum perempuan itu sendiri, terhadap hegemoni patriarkhis yang berlaku, yang pada akhirnya akan melahirkan kesadaran komunal yang sangat diperlukan untuk merubah nilai-nilai yang selama ini merugikan kaum perempuan di politik.
Kesadaran masyarakat tentu saja tidak dapat diharapkan muncul dengan sendirinya sebagai bola salju yang akan meruntuhkan hegemoni dominan. Perlu kondisi factual yang akan menjadi stimulus bagi pencerahan nilai nilai baru yang lebih berpihak pada keadilan terhadap kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat juga dipengaruhi oleh berbagai instrumen yang berada dan terjadi dalam masyarakat itu sendiri yang salah satunya adalah Media Massa.
Kebutuhan akan dukungan media massa menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media massa memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik disebabkan kelebihan-kelebihan media itu sendiri yang salah satunya adalah, Media massa mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat antara media massa dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media massa , sebagai elemen penting untuk menaikan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara, justru berperan sebagai pendukung budaya patriarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi semakin tidak menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga memiliki kepentingan dengan media massa, memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan ‘perselingkuhan social ( social conspiration) dengan media massa.
Social conspiration antara negara dengan media massa sangat mungkin terjadi terutama jika para pemilik media itu sendiri adalah bagian dari masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Secara umum, Media dibedakan dalam dua bentuk, yaitu Media Komunitas dan Media Komersial. Dalam pelaksanaannya kedua bentuk Media ini terkadang bias dan saling terkait satu sama lain, hal ini disebabkan karakteristik keduanya sebagai Media. Namun ada beberapa ciri dasar yang membedakan sifat kedua bentuk Media tersebut. Perbedaan itu disebabkan oleh visi dan misi dari masing masing Media.
provokasi bagi kepentingan kelompok, yang lalu berakibat media jenis ini seringkali harus melawan kaidah kaidah professional dalam pembuatan sebuah berita.
Media bentuk ini, karena nilai subjektifitasnya yang tinggi, cenderung tidak memiliki kredibilitas di mata masyarakat yang sudah maju dalam membaca dan mengamati realita, apalagi jika pembuatan beritanya cenderung tidak cerdas dan provokatif.
Media seperti ini sangat kecil kemungkinannya dapat dijadikan sarana pembentuk opini publik yang dapat digunakan, baik oleh masyarakat sipil maupun masyarakat politik, meski itu bukan berarti bahwa Media jenis ini tidak mungkin memperoleh popularitas, terutama jika mereka mampu mengangkat isu-isu yang yang bersifat ’common sense’ dan dianggap membela ‘kepentingan umum’ / publik.
Namun dalam sebuah masyarakat sipil yang tertindas, dukungan terhadap media seperti ini cenderung bersifat ‘silent sympathy’ yang lalu melahirkan ‘silent support’ dalam berbagai bentuk, yang diakibatkan oleh ketakutan masyarakat untuk melawan hegemoni penguasa.
Pada beberapa negara tiran yang totaliter, media jenis ini bahkan sering menjadi legitimasi pembenaran atas realitas yang terjadi ditengah masyarakat. Contoh nyata adalah gerakan revolusi kaum buruh di Polandia, yang dengan cerdas memanfaatkan media komunitas mereka untuk menyebarkan, bukan hanya realitas dalam masyarakat, namun juga ide ide tentang nilai / ideologi alternatif yang diyakini dapat lebih memberi kebaikan bersama.
Dalam realitasnya Media jenis ini cenderung harus berkolaborasi dengan media media komersial untuk mendapatkan legitimasi lebih terhadap berita berita yang mereka buat, meski kolaburasi itu tidak bersifat keharusan.
Mengingat sifatnya yang demikian, Media komunitas pada umumnya lebih ‘ideological oriented’ daripada ‘profit oriented’, namun ini tidak berarti bahwa kapital sama sekali tidak berperan didalamnya, karena walau bagaimanapun tetap dibutuhkan sumber dana untuk mengadakan dan memelihara sebuah institusi media. Namun bagi sebuah media komunitas, kendala kapital biasanya dapat diatasi dengan semangat kebersamaan dan militansi untuk berkorban bagi berhasilnya ideology yang mereka anut. Media komersial, (penulis lebih menyukai kata ‘komersial’ daripada ‘professional’ karena kata ‘professional’ penulis anggap lebih tepat jika dipakai untuk menilai kapasitas berita), secara umum adalah media yang dikelola oleh individu / kelompok sebagai sebuah industri.
Dalam konteks umum, industri selalu berkaitan erat dengan kapitalisme Ini berarti bahwa sebuah media komersial dalam perjalanannya selalu berkait erat dengan nilai nilai kapitalisme yang berlaku. Karena itu sebuah media komersial sangat bergantung kepada ‘nilai jual’ dan seberapa banyak financial yang dihasilkan.
Pada tataran selanjutnya media komersial cenderung menjadi ‘profit oriented’ daripada ‘ideological oriented’. Namun ini tidak berarti bahwa sebuah media komersial sama sekali tidak memiliki ideologi, apalagi jika ‘profit oriented’ itu sendiri dikatogerikan sebagai sebuah ideologi.
mereka junjung tinggi, sebuah media komersial cenderung menjadi pengikut agenda publik, dimana berita berita yang mereka muat selalu mengikuti trend peristiwa yang sedang menjadi sorotan publik.
Hal ini wajar mengingat publik sendiri cenderung menyukai informasi terkini yang sedang berkembang ditengah masyarakat yang didalamnya terdapat pengetahuan dalam berbagai bentuk.
Media, sebagai sebuah institusi, didalamnya terdapat individu individu dengan berbagai latar belakang pemahaman dan kepentingan. Ketika individu individu itu menyatu dalam sebuah institusi media, maka yang terjadi adalah peleburan berbagai latar belakang pemahaman dan kepentingan menjadi satu ideologi, yaitu ideologi institusi. Bentuk ideologi institusi sebuah media sangat ditentukan oleh kapital power, yang dalam hal ini diwakili oleh pemilik media. Dalam merumuskan kebijakannya Kapital power itu sendiri dipengaruhi oleh banyak instrumen selain ‘audiences needs’ yang menjadi dasar ‘profit oriented’.
Negara, yang dalam konteks ini direpresentasikan sebagai political society, sangat berkepentingan dengan produk sebuah media disebabkan oleh kekuatan media itu karena kedekatannya dengan masyarakat. Hal inilah yang mendasari munculnya kontrol negara atas media. Situasi ini menjadi sangat mungkin mengingat Negara, dengan segenap instrumentnya yang memiliki legalitas dan kewewenangan, ikut berperan dalam menentukan hidup matinya institusi media. ‘Perselingkuhan / Conspirasi’ antara Media dengan Negara menjadi sangat mungkin terjadi, apalagi jika kapital power dalam media merupakan bagian dari masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik itu sendiri..
Dari uraian diatas maka disimpulkan bahwa produk sebuah media tergantung pada factor-faktor :
1). Ideologi subjektif Media
2). Pemahaman dan Kepentingan individu pelaku media 3). Kebutuhan Media atas Masyarakat
4). Kebutuhan Masyarakat terhadap media
5). Kepentingan Negara/Masyarakat politik terhadap produk media 6). Ketergantungan Media terhadap Negara.
Uraian tentang Media di atas menghasilkan kesimpulan bahwa mengharapkan dukungan ideologis Media, dalam hal ini Media Industri, sangat sulit didapat. Dukungan dari Media hanya dapat di peroleh jika kaum aktifis perempuan mampu mengangkat isu-isu tentang perjuangan kaum perempuan menjadi isu-isu-isu-isu yang mampu menarik rasa keingintahuan masyarakat.
Kaum perempuan, disamping harus memiliki media komunitas sendiri, juga harus mampu mengoptimalkan fungsi media komunitas yang mereka miliki guna melahirkan isu-isu yang mampu menarik minat media Industri, yang selama ini banyak menghasilkan berita tentang perempuan dari sudut eksploitasi phisik semata.
Dalam konteks ini, komunikasi intensif antara media komunitas kaum perempuan dengan media industri menjadi sangat penting. Media industri dapat dan seringkali luput melihat sudut pandang berbeda tentang gerakan perjuangan perempuan dari kaca mata kapitalis mereka, dan pada situasi ini, media komunitas kaum perempuan berperan sebagai ‘pengingat’ yang mampu memberi stimulus agar isu-isu yang mereka anggap penting dapat tersalurkan kemasyarakat melalui media industri yang kemudian akan mengangkatnya meski dengan sudut pandang kapitalis mereka.
Ini akan berarti bahwa media ideologis kumunitas kaum perempuan harus mampu berkompromi dengan nilai-nilai kapitalis yang dianut oleh media industri tanpa harus mengorbankan ideologi mereka.
Kompromi yang cerdas adalah satu satunya cara bagi kaum perempuan untuk dapat meraih dukungan dari media industri. Tanpa suatu kompromi, akan sangat sulit bagi kaum perempuan untuk dapat meraih dukungan media, terlebih jika nilai-nilai yang ditawarkan bersifat kontra produktif dengan kepentingan kapitalis media industri itu sendiri.
Media massa, sebagai sebuah institusi yang memiliki ideology kapital, memang bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide ide nya, terutama jika mengingat bahwa ideology kapitalis sangat menekankan pada orientasi financial (profit oriented).
Orientasi financial itu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah media industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Sementara masyarakat sendiri, meski dengan pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, juga sangat memiliki kepentingan akan pengetahuan, yang sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal hal baru maupun situasi yang sedang berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk ‘memaksa’ media industri berperan sebagai sarana sosialisasi perjuangan mereka.
Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus mengangkat isu isu perjuangan agar mampu bermain dalam ‘arena pasar’ yang laku jual, agar dapat terus memaksa media industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka, sehingga pada akhirnya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung ide ide yang mereka perjuangkan. Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen penting untuk menaikan posisi tawar mereka terhadap negara.
Pada konsep ini jelas bahwa ‘ideologi pembebasan’ yang selama ini ‘dianggap’ sebagai ideology pejuang perempuan, ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah daya gerakan. Hal ini disebabkan karena ‘pembebasan’ memberi konotasi yang lebih bersifat ‘personal’ ataupun ‘golongan’. Kata ‘pembebasan’ dapat melahirkan intepretasi beragam sesuai keadaan dan latar belakang serta kepentingan individual atau kelompok perempuan itu sendiri.
Hal ini yang melatarbelakangi asumsi, bahwa kesamaan visi dan misi dari seluruh elemen gerakan kaum perempuanlah yang akan mampu melahirkan energi besar kaum perempuan untuk mencapai tujuan perjuangan. Dan energi besar itu adalah ‘collective will’ dari kalangan perempuan itu sendiri. Dari sini jelas bahwa menjadikan ‘collective will’ sebagai sebuah ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan agar ide ide perjuangan kaum perempuan memiliki energi yang konstant dan signifikan serta bersifat menyeluruh.
Dalam penyusunan disertasi ini, Penulis menggunakan metode Analisis isi Kualitatif, untuk menemukan tema-tema utama yang dikandung dalam teks dua media atau surat kabar terbesar di Indonesia, yaitu Kompas dan Media Indonesia, yang berhubungan dengan proses perjuangan kaum perempuan meraih kuota 30 persen di Parlemen.
Untuk memahami dan mengangkat realitas dibalik realitas yang muncul, termasuk dalam menganalisis isi kedua Media tersebut, Penulis memakai paradigma kritis dengan menggunakan teori Marxist Humanist Antonio Gramsci, yang didalamnya terdapat konsep hegemoni-counter hegemoni antara masyarakat sipil dan masyarakat politik dengan menyimak peran media massa diantara keduanya.
Dari hasil penelitian dan analisa yang penulis lakukan terhadap gerakan perjuangan kaum perempuan meraih kuota 30 % di Parlemen, beberapa temuan yang dapat disimpulkan diantaranya adalah :
1. Sistem budaya patriarki masih berlangsung di masyarakat dan didukung oleh negara bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri sehingga menciptakan realitas yang merugikan kaum perempuan.
2. Realitas yang terjadi mengakibatkan marjinalisasi kaum perempuan dalam berbagai bidang, baik sosial,politik,ekonomi maupun budaya.
3. Keberadaan perempuan dalam kekuasaan adalah penting guna memberi warna bagi lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang lebih sensitive gender.
4. Keberadaan perempuan dalam kekuasaan hanyalah sebuah fase perjuangan ( affirmative action ) dari beberapa fase yang harus dilalui sebelum mencapai tataran tujuan.
6. Keberadaan perempuan dalam kekuasaan akan menjadi percuma ketika mereka tidak memiliki ‘collective will’ sebagai ideology perjuangan. ( Lihat point 3 dan 4 )
7. Perjuangan kaum perempuan belum selesai. Kuota 30 % hanya merupakan affirmative action menuju situasi yang ideal bagi kaum perempuan. Gerakan counter hegemoni kaum perempuan Indonesia baru berada pada fase awal.
8. Tujuan dari gerakan kaum perempuan Indonesia pada dasarnya adalah keadilan dan kesetaraan gender yang indikatornya adalah perubahan nilai ditengah masyarakat.
9. Affirmative action kuota 30 % belum dapat dijadikan indikator keberhasilan, karena affirmative action itu sendiri hanya salah satu instrumen bagi terjadinya perubahan. Namun mengingat status quo ideology dominan yang berlaku selama ini, maka affirmative action kuota 30 % tetap dianggap sebagai gerakan counter hegemoni, meski hanya berlaku pada tataran politis dengan kapasitas yang juga masih sangat terbatas.
10. Existensi ‘ collective will’ sebagai sebuah ideologi adalah suatu keharusan karena dengan ‘collective will’ kaum perempuan akan lebih konstan dan sinergis untuk melakukan gerakan guna mencapai tujuan perjuangan.
Dalam konteks Media, Yang dalam hal ini diwakili oleh dua media / Surat kabar terbesar di Indonesia, yaitu Kompas dan Media Indonesia, beberapa temuan yang dapat disimpulkan diantaranya :
1. Keberadaan teks dalam media yang berkonotasi mendukung perjuangan, seperti yang terdapat dalam teks-teks Kompas dan Media Indonesia, bukan merupakan indikator dukungan media terhadap gerakan perjuangan perempuan mengingat media memiliki ideologinya sendiri.
2. Ideologi kapitalis yang dianut media membuka celah terjadinya konspirasi antara media dengan negara yang memiliki kekuasaan dan legalitas untuk membuat kebijakan-kebijakan.
3. Konspirasi antara media dengan negara dapat terhambat atau bahkan kontra produktif bagi media itu sendiri ketika ‘common sense’ yang berlaku dimasyarakat bertentangan dengan kebijakan yang diambil negara. Hal itu disebabkan ketergantungan media terhadap masyarakat yang dilandasi ideologi media itu sendiri.
4. Keberadaan ‘perempuan’ dalam media bukan jaminan bahwa media yang bersangkutan akan berperan sebagai pendukung perjuangan, meski para perempuan pelaku media itu sendiri mempunyai idealisme tentang kesetaraan dan keadilan gender.