161
Layanan Bimbingan dan Konseling yang
Memandirikan Orang Difabel
Zaen Musyirifin
Latar Belakang Masalah
S
etiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidupnya. Tidak semua orang mampu mengatasi masalahnya sendiri. Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki makna bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, baik orang yang normal maupun yang berkebutuhan khusus atau difabel. Oleh karena itu, setiap orang pada dasarnya membutuhkan layanan bimbingan dan konseling. Dalam etika profesi bimbingan dan konse-ling disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak un tuk men dapatkan layanan bimbingan dan konseling tanpa memandang suku, agama, dan budaya.1 Dengan demiki an,setiap orang (baik normal maupun berkebutuhan khusus, apa pun suku, agama, dan budayanya) memiliki hak men-da patkan layanan bimbingan dan konseling. Syamsu Yusuf2 menjelaskan, bimbingan dan konseling adalah
pro-ses pemberian bantuan konselor kepada individu secara berkesinambungan agar mampu memahami potensi diri
1 Etika Profesi Bimbingan dan Konseling
dan lingkungannya, menerima diri, mengembangkan dirinya secara optimal, dan menyesuaikan diri secara positif dan konstruktif terhadap tuntutan norma kehidupan (agama dan budaya). Proses pemberian bantuan oleh konselor kepada konseli bertujuan agar konseli mampu menyelesaikan ma salah yang dihadapinya dan mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin secara mandiri. Di sini bantuan tidak hanya diberikan kepada anak yang nor-mal, anak berkebutuhan khusus atau difabel juga perlu mendapatkannya.
Tulisan ini merupakan integrasi antara refleksi ter-hadap isu difabel dengan refleksi kunjungan Sekolah Lintas Iman (SLI). Berdasarkan hasil observasi dan refleksi selama kunjungan SLI ke berbagai lembaga difabel, diketahui bahwa ada sebagian orang yang menjadi difabel sejak lahir dan ada juga yang disebabkan suatu peristiwa dalam hidupnya. Masalah lain yang muncul adalah sebagian be sar masyarakat masih ada yang menganggap kecacatan atau kelainan yang disandang oleh anak berkebutuhan khu-sus sebagai kutukan, penyakit menular, gila, dan lain-lain. Akibatnya orang-orang difabel dan keluarganya ada yang dikucilkan oleh masyarakat. Ada di antara orang-orang difabel yang menarik diri tidak mau berbaur dengan ma-sya rakat karena merasa cemas dan terancam.
163
an atau penilaian negatif dari lingkungan terhadap ABK dan keluarganya merupakan tantangan terbesar selain kecacatan yang disandang oleh ABK itu sendiri dan dampak -nya dapat dirasakan langsung oleh yang ber sang kutan beserta keluarganya. Dampak yang jelas sering dite mui adalah terhadap konsep diri, prestasi belajar, per kem bang-an fisik, dbang-an perilaku menyimpbang-ang. Pbang-andbang-angbang-an negatif dari masyarakat terhadap kecacatan menyebabkan citra diri orang-orang difabel menjadi negatif.
Telaah Pustaka
Untuk menemukan letak perbedaan topik tulisan re-flek si di antara penelitian-penelitian yang sudah ada, penu-lis juga menelaah beberapa penelitian yang sudah ada yang berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling un-tuk difabel. Di antaranya, penelitian yang dilakukan oleh Maryam B. Gainau,3 yang menjelaskan pada dasarnya anak
ber kebutuhan khusus (ABK) memiliki permasalahan yang relatif sama dengan anak pada umumnya. Oleh karena itu, diperlukan seorang konselor untuk mengatasi per-ma salahan yang dihadapi anak, baik akademik maupun non -akademik, dengan memberikan layanan agar anak ber kebutuhan khusus dapat mengembangkan potensi, me-ningkatkan prestasi belajar, dan dapat bersosialisasi de-ngan anak-anak normal lainnya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Rizki Setiyaningtiyas4 menyimpulkan bahwa siswa
pe-nyandang cacat fisik yang memiliki kepercayaan diri rendah dapat ditingkatkan dengan layanan konseling realita. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan dan perkembangan pa da setiap klien setelah diberi konseling. Berkaitan
3 Maryam Gainau, Pemberdayaan Anak Berkebutuhan Khusus Melalui Bimbingan dan Konseling, Jurnal Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Surabaya, Vol . 9: 1 (April, 2013).
4 Rizki Setiyaningtiyas, Peningkatan Kepercayaan Diri Penyandang Cacat Fisik dengan Pendekatan Konseling Realita di Sekolah Luar Biasa Bagian
165
dengan strategi layanan BK bagi orang-orang difabel juga sudah dikaji oleh Umi Aisyah,5 yang dalam penelitiannya
ini menemukan empat komponen layanan dengan masing-masing strategi yang di dalamnya terdapat strategi bim-bingan teman sebaya. Namun, strategi bimbim-bingan teman sebaya tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan di MTs Yaketunis.
Dari telaah pustaka beberapa penelitian di atas dan da ri refleksi SLI selama kunjungan ke beberapa lem baga, penulis mencoba mengklasifikasikan layanan bim bingan dan kon-seling yang dapat dilaksanakan untuk me mandirikan orang-orang difabel sebagai salah satu tu juannya.
Pembahasan
Bimbingan dan konseling dalam pendidikan formal maupun nonformal dilaksanakan sebagai sarana untuk pengembangan diri seseorang. Syamsu Yusuf6 menjelaskan
tujuan pemberian layanan bimbingan di antaranya adalah agar seseorang dapat mengembangkan seluruh potensi atau kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin. Selain itu juga agar dapat menyesuaikan diri dan mengatasi ham-batan serta kesulitan yang dihadapi dalam keadaan yang lebih luas.
5 Umi Aisyah, Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling bagi Siswa Tuna netra MTs Yaketunis Yogyakarta, Tesis tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Prodi Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014).
Dari penjelasan tentang tujuan layanan bimbingan dan konseling dengan dikaitkan kode etik profesi bimbingan dan konseling yang sudah dijelaskan dalam latar belakang di atas, dapat dipahami bahwa semua orang (normal mau-pun difabel) berhak mendapatkan layanan bimbingan dan konseling yang bertujuan untuk memandirikan seseorang atau sekelompok orang (klien). Dalam hal ini, Robert L. Gibson dan Marianne H. Mitchell7 menjelaskan bahwa harus
dicatat meskipun isu-isu pengembangan karier individu pe-nyandang cacat akan menjadi mirip dengan yang dialami se mua populasi lain yang tidak cacat, penanganan terhadap kelompok khusus ini memang memerlukan strategi peren-canaan lebih matang dan luas, termasuk memberikan pen-didikan tambahan dan keterampilan spesifik.
Berkaitan dengan pemberian keterampilan spesifik ke pada orang-orang difabel, semua lembaga pemerhati difabel yang sudah dikunjungi oleh SLI ke-6 sudah mem-berikan bekal keterampilan khusus yang dapat diapli ka-si kan dalam karier komunitas difabel tersebut. Namun, kiranya hal tersebut masih perlu ditambah dengan layanan bimbingan dan konseling, seperti konseling kelompok dan bimbingan sebaya (peer guidance). Oleh karena itu, calon sarjana atau sarjana bim bingan dan konseling perlu ditempatkan di lembaga-lembaga pemerhati difabel terutama lembaga-lembaga non -formal. Pelaksanaan bim-bingan sebaya dilakukan dengan dipimpin oleh seorang
167
difabel yang sudah mandiri dan dapat membimbing teman-temannya dalam komunitas difabel tersebut. Orang-orang difabel harus tetap mengembangkan potensi yang dimiliki, walaupun tidak mendapat dukungan dari lingkungan seki-tar karena Allah SWT telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk, seperti yang disampaikan dalam Alquran surat At-Tiin ayat 4,8 sebagai berikut.
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaikbaiknya.”
Ayat tersebut dapat diintegrasikan dengan pendapat George dan Cristiani9 yang menjelaskan bahwa terapi Gestalt
yang dikembangkan Frederick Perls adalah pendekatan terapeutik yang di dalamnya terapis membantu klien me-nu ju pengintegrasian diri dan pembelajaran dengan meng-gunakan energinya secara tepat bagi pertumbuhan, pe-ngem bangan, dan aktualisasi pribadi. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baiknya bentuk. Walaupun secara fisik ada yang normal dan ada yang berkebutuhan khusus (difabel), Allah sudah memberikan potensi yang harus dikembangkan dalam pengaktualisasian diri.
8 Depag RI, Al Qur’an dan Terjemah, (Semarang: Karya Toha Putra Semarang.
1996), hlm. 478.
9 Robert L. Gibson dan Marianne H. Mitchell, Bimbingan dan Konseling,
Kesimpulan dan Refleksi