• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam Perspektif Pendidikan Islam Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional

di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok Rd. Arif Mulyadi

Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami di Jakarta Selatan Sugiharto

(2)
(3)

ISSN : 2503-1651

Nomor 2

Volume 2 Halaman

121-234

Depok, Agustus 2017

(4)

ISSN : 2503-1651

The Safina is a journal published by Sekolah Tinggi Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI)

PERSON IN CHARGE Asep Kusnadi

EDITOR IN CHIEF Rd. Arif Mulyadi

EDITORIAL BOARDS

IZ. Muttaqin Darmawan, Alwi Husein, Hasan Mawardi, M. Mahdy Alaydrus, Eva Fitriati, Muhammad Azwar, Salman Parisi, Tismat Abdul Hamid, Nana Mulyana, Abdul Hakim

DESIGN GRAPHIC & LAYOUT Abdullah Husein

Redaksi menerima tulisan/artikel jenis karya ilmiah atau hasil penelitian, minimal 20 space halaman, ukuran A4, 2 (dua) spasi, font Times New roman (12 pt). Artikel dilengkapi biodata lengkap penulis, pass foto 4 cm x 6 cm atau ukuran close up (colour), menggunakan footnote, kata kunci, daftar pustaka, dan abstrak. Artikel dikirim ke alamat redaksi Safina melalui CD, flash disk, atau e-mail ke alamat: safina.jurnal@gmail.com. Jurnal Safina terbit bulan Maret dan Agustus. Naskah yang sudah dikirim menjadi milik Redaksi, dan redaksi berhak mengedit tulisan Anda tanpa mengubah essensinya serta berhak menolak tulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan penulisan jurnal ini. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

Submissions should be sent to the editor Safina,

Gg. Pakis (Kampus), RT 03/05, Jl. Raya Sawangan, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. Telp: (021) 77887143

(5)

DAFTAR ISI

Iftitah IV

Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif Islam 121-138 Asep Abdurrohman

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL)

dalam Perspektif Pendidikan Islam 139-163

Eva Fitriati

Manajemen Pondok Pesantren Tradisional

di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh Bandar Lampung 165-187 Hasan Mawardi

Efektivitas Pendidikan Profetik dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih

Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTS) Himmatul Aliyah Depok 189-211 Rd. Arif Mulyadi

Muhammad Muchdi Ardansyah

Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami

di Jakarta Selatan 213-234

Sugiharto

Indeks

(6)

IFTITAH

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh

Segala puja dan puji hanya milik Allah sang Mahakuasa. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi al-Musthafa, Muhammad saw dan keluarganya yang suci dan disucikan.

Sidang pembaca yang budiman, pertama-tama kami dari Redaksi Jurnal Safinah memohon maaf atas keterlambatan atas jurnal tercinta kita ini karena faktor-faktor yang tidak perlu kami sebutkan. Edisi

Safinah kali ini menampilkan lima buah tulisan yang kami susun berdasarkan abjad.

Tulisan pertama berjudul Eksistensi Islam Moderat dalam Perspektif

Islam karya Asep Abdurrohman, seorang peneliti dari Universitas Muhammadiyah Tangerang. Penelitian kepustakaan yang bersifat deskripstif analitik ini diarahkan untuk mengkaji konsep keberadaan Islam moderat dalam perspektif Islam. Peneliti menyimpulkan bahwa Islam moderat yang tercermin dalam organisasi sosial keagaman di Indonesia telah memberikan sumbangsih berharga bagi kelangsungan hidup bertolerasi di kancah nasional khususnya dan dunia pada umumnya. Terbukti dengan adanya dialog antarorganisasi dan kerja sama sosial keagamaan mampu menjadi prototipe di khalayak public.

Selanjutnya, pada tulisan kedua, Eva Fitriati menengahkan tulisan bertajuk Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus (CBL) dalam

Perspektif Pendidikan Islam. Menurut peneliti, Case-Based Learning (CBL) merupakan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran aktif

yang melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang

(7)

ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu.

Dalam tulisan selanjutnya yang bertajuk Manajemen Pondok

Pesantren Tradisional: Studi Kasus di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh – Bandar Lampung, Hasan Mawardi membedah persoalan manajemen pesantren tradisional di kota mukimnya. Menurutnya, dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia yang berbasis masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education), pesantren telah secara

signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ia telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berakhlakulkarimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan sistem manajemen yang baik meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sebab dalam prinsip ajaran Islam yang sangat dipahami para pendidik di pesantren, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, teratur dan

proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib. Pesantren Salafiyah

Al-Hijratul Munawwaroh, Bandar Lampung yang ditelitinya kiprahnya pun tak jauh dari hal ini. Pola umum pendidikan tradisional di pesantren

Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh meliputi dua aspek utama. Pertama,

pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikannya masih memelihara subkultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada Kyai, mengutamakan ibadah, memuliakan kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Elemen-elemen

pesantren yang ada di pesantren Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh

meliputi hal: kyai, santri, podok, masjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur

organisasi di pesantren tradisional Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh,

peran kyai sangat menonjol. Ia acap kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.

(8)

Efektivitas Pendidikan Profetik Dalam Menumbuhkan Budaya Cinta Kasih Siswa Kelas IX di Pondok Pesantren (MTs) Himmatul Aliyah Depok. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa (1) Keberadaan dan pelaksanaan sistem pendidikan profetik telah terbukti berlangsung di Pondok Pesantren Himmatul Aliyah Depok. Hal ini dibuktikan dengan Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini cukup seimbang antara mata pelajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umumnya, di sisi lain kegiatan ekstrakurikuler lebih mengarah pada kegiatan peningkatan keimanan Islam; (2) Sistem pendidikan Profetik telah terbukti mampu menumbuhkan budaya cinta kasih di lingkungan pondok pesantren, hal ini bisa diamati dari tingkat kesopanan, kepatuhan, kepedulian dan kerukunan yang terjalin antara santri dengansejawat, santri dengan ustaz, santri dengan lingkungan.

Akhirnya, Jurnal Safina kami pungkas dengan tulisan Sugiharto

berjudul Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Media Amal Islami (MAI) di Jakarta Selatan. Di dalamnya peneliti menerangkan keberadaan Pesantren Media Amal Islami (MAI) yang fokus pada pemberdayaan pemulung di sekitar Jakarta Selatan. Menurut penulis, lingkungan yang begitu padat, pengairan yang semrawut dan tergenang, cuaca yang panas mengakibatkan psikologi para pemulung menjadi pribadi yang rentan berbuat kasar. Untuk meredam gejolak pengaruh lingkungan tersebut, diperlukan suatu usaha pembinaan untuk menyirami roh yang kering. Keadaan tersebut membuat pendiri pesantren tergerak hatinya untuk mendidik dan membina santri-santri yang ada di lingkungan Pemulung. Pesantren MAI mempunyai sistem pembelajaran yang mengabungkan sistem pesantren dan sekolah umum yaitu mendidik secara islami dan berkompeten dalam ilmu teknologi, dan metode pembelajaran baca Alquran metode Iqro bagi pemula dan metode talaqi untuk tahap lanjut materi pemahaman keislaman.

Akhirnya, semoga semua tulisan yang tersaji ini bermanfaat bagi semuanya. Dan, selamat membaca!

(9)

PARADIGMA PEMBELAJARAN BERBASIS KASUS (CBL)

DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Eva Fitriati

Dosen tetap Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Madinatul Ilmi Depok eva_fitriaty@yahoo.com

Abstrak

Case-Based Learning (CBL) merupakan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran aktif yang melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang bersifat interaktif dan berpusat pada siswa, di mana siswa membaca dan mendiskusikan skenario kehidupan nyata yang kompleks melalui penyajian kasus dalam bentuk cerita, narasi atau bentuk lain sesuai dengan kemampuan berpikir analitis dan kapasitas pengambilan keputusan mereka. Model pembelajaran berbasis kasus semacam ini pada dasarnya juga dikenal dalam tradisi Islam, terutama melalui penggunaan cerita, kisah dan narasi secara interaktif dalam konteks kehidupan nyata, sebagaimana dapat dilihat dalam Alquran dan Sunah. Namun demikian, tidak banyak pakar pendidikan Islam yang menyadari hal ini, sehingga model pembelajaran berbasis kasus dalam perspektif Islam belum dikenal luas secara publik. Pembelajaran berbasis kasus merupakan salah satu metode yang paling menonjol dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan cerita, kisah dan narasi dalam Alquran ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu. Bahkan hampir seluruh ayat Alquran dapat dianggap sebagai koleksi skenario kasus di mana aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut diajarkan secara hidup, di tempat dan waktu kejadian peristiwa.

(10)

Pendahuluan

Sistem pendidikan dikatakan berkualitas jika proses pembelajar-annya berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Proses pendidikan yang berkualitas akan membuahkan hasil pendidikan yang berkualitas juga. Dalam dunia pendidikan di sekolah, proses pembelajaran yang berkualitas adalah proses pembelajaran yang yang memberi perubahan atas hasil yang lebih baik dari sebelumnya.

Proses pembelajaran berkaitan erat dengan model pembelajaran. Model pembelajaran sendiri dipahami sebagai suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam proses pembelajaran di kelas. Upaya memperbaiki proses pembelajaran diperlukan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi pembelajaran. Perkem-bangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Bahkan dengan berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pen-didikan (KTSP) yang menghendaki adanya perubahan paradigma dalam pembelajaran, dengan demikian model-model pembelajaran turut meng-alami perubahan.

Perubahan itu antara lain ditandai dengan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered); dimana guru dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan siswa hanya sebagai objek yang hanya sebagai penerima pengetahuan, beralih ke berpusat pada siswa (student centered); yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan di kelas dengan melibatkan siswa secara penuh. Dengan pendekatan ini siswa memperoleh pengalaman dan membangun pengetahuannya sendiri, dan guru hanya sebagai fasilitator. Dengan model ini siswa dapat melatih kemandirian sehingga dapat belajar dari lingkungan kehidupannya. Perubahan tersebut juga berkaitan erat dengan teori belajar modern yaitu konstruktivisme. Menurut teori ini, guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi juga siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya.

Terdapat beberapa model pembelajaran yang terkait dengan konstruktivisme, di antaranya adalah pembelajaran berbasis kasus (case

(11)

pada kasus, dimana dari kasus ini siswa dapat mendiskusikan, mendebat, dan mengambil kesimpulan. Belajar dari kasus dapat memperoleh pengalaman bermanfaat yang dapat digunakan di kemudian hari.

Rechey dalam bukunya, Planning for Teaching, and Introduction, menjelaskan pengertian pendidikan bahwa istilah pendidikan ber-kenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama untuk memperkenalkan warga masyarakat (generasi muda) pada pengenalan terhadap kewajiban dan tanggung jawabnya di tengah masyarakat. Jadi proses pendidikan jauh lebih luas daripada proses yang berlangsung di sekolah (Saebani & Achdhiyat 2009, 9).

Dalam Dictionary of Education, makna education dipahami juga sebagai kumpulan semua proses yang memungkinkan seseorang me-ngem bangkan kemampuan, sikap, dan bentuk tingkah laku yang ber nilai positif di dalam masyarakat tempat ia hidup. Istilah education sebagai sebuah proses sosial ketika seseorang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya lingkungan sosial) sehingga mereka dapat memiliki kemampuan sosial dan perkembangan individual secara optimal.

Bertolak pada hal tersebut, tulisan ini hadir untuk memaparkan hasil penelitian dengan tema Paradigma pembelajaran berbasis kasus

dalam perspektif pendidikan Islam.

Pembelajaran Berbasis Kasus

dalam Teori Pembelajaran Kontemporer

Istilah “pembelajaran berbasis kasus” dalam penelitian ini merujuk pada istilah “case-based learning”, “case-based teaching”, “case study teaching” atau “case method” dalam literatur teori pembelajaran kontemporer. Dari beberapa istilah tersebut, penelitian ini akan menggunakan istilah “case-based learning” (CBL) dalam uraian selanjutnya. CBL merupakan salah satu pendekatan, metode atau strategi pembelajaran kontemporer yang muncul sebagai respons atas kegagalan model pembelajaran tradisional. Salah satu kekhasan dari pendekatan ini adalah penggunaan cerita, kisah atau narasi sebagai

media untuk merangsang siswa untuk berpikir kritis, reflektif dan

analitis dalam kegiatan pemecahan masalah (problem solving).

(12)

kuat akan pembelajaran yang efektif melalui metode kasus ini didasarkan pada beberapa teori pembelajaran kontemporer, terutama teori perkembangan kognitif dan teori konstruktivisme sosial yang menekankan pentingnya budaya dan keadaan dalam proses pembangunan pengetahuan (Blackmon, Hong & Choi 2010, 177). CBL juga merupakan paradigma pendidikan yang terkait erat dengan

problem-based learning (PBL) yang lebih umum. Pendekatan PBL ini bersifat andragogis (pembelajaran orang dewasa), mengajukan pertanyaan kontekstual yang didasarkan pada masalah “kehidupan nyata” (real life). Sifat utama CBL yang berasal dari PBL adalah bahwa sebuah kasus, masalah, atau penyelidikan digunakan untuk merangsang dan mendukung perolehan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills),

dan sikap (attitudes). Kasus menempatkan peristiwa dalam konteks atau situasi yang mempromosikan pembelajaran autentik (authentic

learning) (Williams 2005, 577).

Sebagaimana telah disinggung dalam pengantar singkat di atas, CBL merupakan salah satu desain pembelajaran yang dipengaruhi oleh teori konstruktivisme dan berkaitan erat dengan PBL. Dengan demikian, paling tidak terdapat tiga isu yang perlu dielaborasi sebelum

menjelaskan definisi dan karakteristik CBL, yakni pembelajaran, teori

pembelajaran konstruktivisme dan PBL.

a.

Hakikat Pembelajaran

Pengertian pembelajaran tidak terlepas dari pengertian belajar; belajar dan pembelajaran merupakan satu rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan. Belajar adalah proses multisegi. Kapasitas belajar adalah karakteristik yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Hanya manusia yang memiliki otak yang berkembang baik untuk digunakan melakukan tindakan yang memiliki tujuan. Di

antara kemampuan itu adalah mengidentifikasi objek, merancang

tujuan, menyusun rencana, mengorganisasikan sumber daya dan mengendalikan konsekuensi (Gredler 2011, 3-4).

(13)

belajar diperlukan pemilihan, penyusunan dan penyampaian informasi dalam lingkungan yang sesuai dan melalui interaksi pembelajar dengan lingkungannya (Heinich, et.al, 1999, 8). Gredler juga menekankan pengaruh lingkungan yang sangat kuat dalam proses belajar, studi belajar bukanlah sekadar latihan akademik, ia adalah aspek penting baik bagi individu maupun masyarakat. Belajar juga merupakan basis untuk kemajuan masyarakat di masa depan (Gredler 2011, 3-4).

Dalam proses belajar terdapat suatu tujuan yang hendak dicapai, yang dikenal sebagai hasil belajar. Menurut Benyamin Bloom, sebagaimana dikutip Nana Sudjana, secara umum terdapat tiga

klasifikasi hasil belajar, yaitu: (1) Ranah kognitif, berkenaan dengan

hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yang meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi; (2) Ranah afektif, berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yang meliputi penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi; (3) Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar yang berupa keterampilan dan kemampuan bertindak, meliputi enam

aspek yakni gerakan refleks, keterampilan gerak dasar, kemampuan

perseptual, ketepatan, keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif (Sudjana 2010, 22-23).

(14)

pembelajaran yang telah ditetapkan atau indikator keberhasilan belajar. Belajar akan berhasil jika pebelajar (siswa) secara aktif melakukan sendiri proses belajar melalui berinteraksi dengan berbagai sumber belajar. Sedangkan pembelajaran itu sendiri merupakan suatu sistem yang membantu individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.

b.

Teori Pembelajaran Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah sebuah paradigma filosofis dan teoretis yang

sangat berpengaruh dalam pemikiran kontemporer. Konstruktivisme pada umumnya disajikan baik sebagai teori pembelajaran (theory of learning) atau teori psikologis (psychological theory) dan teori pengetahuan (theory

of knowledge) atau teori epistemologis (epistemological theory). Kedua dimensi teoretis ini menggambarkan watak gabungan konstruktivisme (Fosnot 2005, ix). Karakterisasi konstruktivisme sebagai gabungan dari

teori pembelajaran (psikologi) dengan teori pengetahuan (filsafat) ini

terlihat jelas dalam tulisan para pendiri konstruktivisme pendidikan (educational constructivism) seperti Jean Piaget, Lev Vygotsky dan Jerome Bruner (Matthews 2012, 4).

Banyak literatur menyatakan bahwa dasar-dasar teori konstruk-tivisme berakar dari pemikiran Jean Piaget, seorang psikolog berkebangsaan Swiss. Namun, menurut von Glasersfeld, prinsip-prinsip konstruktivisme pada dasarnya telah muncul lebih awal dalam tulisan-tulisan Giambattista Vico, yang pada 1710 menyatakan bahwa “we can rationally know only what

we ourselves have made.” (Glasersfeld 1995, 6) Selain Giambattista Vico, von Glasersfeld juga menyebut beberapa tokoh lain di balik kemunculan teori konstruktivisme seperti George Berkeley, Ludwig Wittgenstein, dan Silvio Ceccato. Menurut Noddings, konstruktivisme dapat ditelusuri dalam karya Neisser tentang psikologi tindakan (act psychology), karya Piaget tentang perkembangan kognitif (cognitive development) dan karya Chomsky tentang struktur linguistik bawaan pikiran (innate linguistic structures

of mind). Noddings berpendapat bahwa penekanan konstruktivisme pada peserta didik sebagai pusat muncul dari teori Chomsky dan Piaget tentang subjek epistemologis; “mekanisme mengetahui aktif (active

knowing) yang mengetahui melalui konstruksi berkelanjutan (continued

(15)

gagasan bahwa “pengetahuan bukan merupakan gambaran dari dunia nyata” dan “pengetahuan manusia dikonstruksi secara sosial”, tidak ada pemikir sebelumnya yang memperkenalkan pendekatan perkembangan (developmental approach) yang sangat berpengaruh dalam pembangunan teori konstruktivisme (Glasersfeld 1995, 13-14).

Teori perkembangan kognitif Piaget bertolak dari dua konsep dasar, yakni “asimilasi” (assimilation) dan “akomodasi” (accommodation). Menurut Piaget, kecerdasan manusia, sebagaimana sistem biologis pada umumnya, berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan, mengem-bangkan struktur baru apabila dibutuhkan dan mempertahankan keada-an ykeada-ang tetap saat terjadi perubahkeada-an dkeada-an pertumbuhkeada-an. Oleh karena itu, Piaget menggunakan istilah yang berasal dari konsep biologis untuk mendeskripsikan ciri esensial dari interaksi antara kecerdasan dan lingkungan, yakni asimilasi (assimilation), akomodasi (accomodation) dan ekuilibrasi (equilibration). Asimilasi adalah integrasi elemen eksternal ke dalam struktur organisme. Contohnya antara lain pencernaan makanan

dan pemasukan klorofil dalam pertumbuhan tanaman (Piaget 1970, 307).

Dalam kehidupan intelektual, asimilasi adalah “penggabungan elemen eksternal, misalnya suatu objek atau peristiwa, ke dalam sensorimotor atau skema konseptual subjek. Asimilasi bukan proses pencatatan pasif suatu rekaman realitas, juga bukan asosiasi antara stimulus lingkungan dan suatu respons (S R). Sebaliknya, asimilasi adalah penyaringan stimulus melalui struktur tindakan sehingga struktur itu sendiri menjadi diperkaya (S R) (Piaget & Inhelder 1969, 6).

Dalam sudut pandang konstruktivis, peran esensial pembelajaran adalah memfasilitasi pembangunan pengetahuan melalui metode pengalaman, kontekstual, dan sosial dalam lingkungan dunia nyata. Produk akhir pembelajaran adalah peserta didik mandiri (

self-directed learners) yang mampu membuat koneksi ke tempat kerja dan lingkungan lain berdasarkan pengalaman personal dan sosial (Lynch 1997, 27). Menurut Brown, konsep pembelajaran konstruktivistik dapat diartikulasikan dan diaplikasikan dalam berbagai cara. Beberapa di antaranya adalah pengembangan lingkungan pembelajaran yang menggabungkan praktik “pembelajaran berpusat pada peserta didik” (learner-centered teaching), “pembelajaran berbasis masalah” (

problem-based learning), “pembelajaran kontekstual” (contextual teaching and

learning), integrasi kurikulum akademik dan kejuruan (integrated

(16)

assessments) (Brown 1998, 27-36). Dari beberapa bentuk pembelajaran konstruktivistik ini, model pembelajaran yang memberikan pengaruh penting terhadap perkembangan pembelajaran berbasis kasus (CBL) adalah pembelajaran berbasis masalah (PBL).

c.

Pembelajaran Berbasis Masalah

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian pengantar, perkem-bangan CBL berkaitan erat dengan kemunculan problem-based learning (PBL). CBL sendiri merupakan model desain pembelajaran (instructional

design model) yang merupakan varian dari pembelajaran berorientasi proyek (project-oriented learning). Namun dalam arti sempit, CBL lebih mirip dengan PBL (edutech wiki t.t.). Sifat utama CBL yang berasal dari PBL adalah bahwa sebuah kasus, masalah, atau penyelidikan digunakan untuk merangsang dan mendukung perolehan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam konteks atau situasi yang mempromosikan pembelajaran autentik.

Pembelajaran berbasis masalah dianggap sebagai “salah satu tipe lingkungan pembelajaran konstruktivis terbaik.” (John R. Savery & Thomas M. Duffy 1995, 31-38) Pembelajaran berbasis masalah memiliki kerangka konstruktivis dalam arti bahwa ia mendukung nilai-nilai kolaborasi,

otonomi pribadi, refleksi, keterlibatan aktif, dan relevansi pribadi.

Pendekatan dan kegiatan pembelajaran yang mencerminkan implementasi pembelajaran berbasis masalah antara lain mencakup pembelajaran kasus, simulasi, pemecahan masalah progresif, pembelajar an berjangkar (anchored instruction) dan penelitian tindakan (action research) (Pierce & Jones 1998, 75-106). Brown, merujuk pada studi Stepien dan Gallagher (Placeholder1) (Stepien & Gallagher 1993, 25-28), merangkum empat ciri penting pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.

Pertama, pergumulan (engagement). Masalah dapat menimbulkan konsep dan prinsip-prinsip yang relevan dengan bidang isi dan menghadirkan masalah-masalah nyata yang berhubungan dengan konteks sosial yang lebih besar dari dunia personal peserta didik.

Kedua, penyelidikan (inquiry). Masalah tidak terstruktur (

(17)

Ketiga, pembangunan solusi (solution building). Dalam pembelajaran berbasis masalah, solusi dihasilkan oleh peserta didik sebagai pemecah masalah (problem solvers). Dalam bingkai ini, pendidik lebih berperan sebagai pelatih. Sebagai pemecah masalah, peserta didik terlibat dalam observasi, investigasi dan penyelidikan hipotesis dan masalah, dan mereka merumuskan kesimpulan yang konsisten dengan watak masalah bersangkutan. Di lain pihak, pendidik sebagai pelatih mempromosikan pembelajaran dengan bertindak sebagai model, menunjukkan perilaku yang diharapkan dapat diadopsi oleh peserta didik. Pendidik mendorong peserta didik untuk mengambil kepemilikan atas masalah dan tanggung jawab dalam rangka mencari solusinya dan kemudian mundur ke belakang panggung.

Keempat, refleksi (reflection). Penilaian autentik digunakan sebagai

struktur untuk refleksi. Penilaian memfokuskan pada kompleksitas

proses penalaran dan konsep materi pelajaran dalam pemecahan masalah, menyediakan standar bagi tindakan sebagai tolak ukur untuk berpikir (benchmarks for thinking) (Brown 1998, 1).

Dalam pembelajaran berbasis masalah, Brown menekankan pentingnya pendidik memiliki keterampilan interpersonal dan dinamisasi kelompok yang baik. Dia menyoroti kebutuhan bagi pendidik untuk mengadopsi strategi instruksional, sumber daya, dan kegiatan yang mempromosikan perkembangan sosial peserta didik serta keterampilan dasar dan berpikir (Brown 1998, 1-2). Stage dkk., di sisi lain, mendiskusikan komponen sosial pembelajaran berbasis masalah dalam konteks konstruktivisme. Stage dkk. berpendapat bahwa “pertukaran sosial yang bermakna antara individu adalah sumber utama pertumbuhan kognitif dan konstruksi pengetahuan.” (Francis K. Stage et.al. 1998) Dengan demikian, praktik pembelajaran berbasis masalah memerlukan jenis interaksi dan saling ketergantungan di antara peserta didik.

d.

Pembelajaran Berbasis Kasus

(18)

pengguna awal pembelajaran berbasis kasus bertolak dari persepsi mereka tanpa dasar penelitian apa pun, penelitian selanjutnya telah

mengkonfirmasi bahwa pembelajaran berbasis kasus dapat mengatasi

banyak keterbatasan kelas berbasis kuliah tradisional (traditional

lecture-based class) (Jones 2003, 183-200).

Mendefinisikan Case-Based Learning bukanlah tugas yang mudah. Kasus digunakan untuk tujuan, bidang, dan bentuk yang berbeda. Tidak ada konsensus tentang bagaimana kasus dapat digunakan dalam pembelajaran, sehingga memunculkan kesulitan tersendiri dalam

menentukan metode kasus yang definitif. Meskipun perbedaan pandangan dalam CBL menggambarkan sulitnya membangun definisi universal,

CBL telah diakui secara luas sebagai salah satu model atau pendekatan pembelajaran yang memanfaatkan studi kasus untuk menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata. CBL adalah strategi pembelajaran aktif di mana siswa membaca dan mendiskusikan skenario kehidupan nyata yang kompleks sesuai dengan kemampuan berpikir analitis dan pengambilan keputusan mereka (Michigan State University t.t.).

Menurut Shulman, “sebuah kasus memiliki narasi, cerita, serangkaian peristiwa yang terbentang dari waktu ke waktu di tempat tertentu.” (Shulman 1992, 21) Kasus merupakan masalah kompleks berbasis fakta (factually-based) yang ditulis untuk merangsang diskusi kelas dan analisis kolaboratif. Pembelajaran berbasis kasus

melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis dan spesifik yang

bersifat interaktif dan berpusat pada siswa (student-centered). Ketika siswa mempertimbangkan masalah dari perspektif yang memerlukan analisis, mereka harus berusaha menyelesaikan pertanyaan tanpa harus berujung pada satu jawaban yang benar (edutech wiki t.t.). Dengan kata lain, siswa harus terbuka dengan berbagai kemungkinan jawaban yang berbeda dari satu masalah atau pertanyaan yang sama.

Case-Based Learning menyediakan laboratorium pemecahan

masalah untuk mengidentifikasi banyak alternatif terhadap situasi

yang beragam. Melalui diskusi dan dialog, siswa belajar cara baru untuk melihat situasi yang menantang sikap dan pola pikir sambil belajar membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada (Michael J. Austin & Thomas Packhard 2009, 217). Cossom, sebagaimana dikutip

Austin & Packard, mengidentifikasi beberapa keterampilan yang dapat

(19)

diartikulasikan, bukan hanya asumsi; (2) menerapkan dan mengadaptasi pengetahuan konseptual dan teoretis ke situasi kehidupan nyata yang kompleks dan kacau; (3) mengambil keputusan dalam konteks alternatif yang saling bersaing; (4) belajar menghadapi perbedaan pendapat di antara rekan kerja; (5) memanfaatkan kolega sebagai sumber daya potensial; dan (6) menyajikan gagasan dan analisis yang membutuhkan keterampilan debat, pengaruh dan komunikasi verbal (Cossom 1991, 139-155).

Dalam Case-Based Learning, siswa mengembangkan keterampilan

berpikir analitis dan penilaian reflektif dengan membaca dan membahas

skenario kehidupan nyata yang kompleks (Center for Research on

Learning and Teaching (CRLT) t.t.). Istilah “studi kasus” (case study) dalam CBL mencakup berbagai masalah yang disajikan kepada siswa untuk dianalisis. Kebanyakan kasus didasarkan pada peristiwa nyata (real events), atau konstruksi peristiwa yang secara masuk akal mungkin dapat berlangsung. Model pembelajaran seperti ini biasanya berlangung melalui cerita (story) tentang suatu masalah atau konflik yang perlu diselesaikan—meskipun kebanyakan studi kasus tidak selalu memiliki

satu solusi yang definitif. Informasi yang terkandung dalam studi kasus mungkin bersifat kompleks (termasuk tabel, grafik, dan latar belakang

sejarah yang relevan dengan materi) atau sederhana—cerita manusia yang menggambarkan situasi sulit yang memerlukan suatu keputusan (Center for Teaching and Learning (CTL) Winter 1994, 1).

Dalam model Case-Based Learning diasumsikan bahwa kasus yang baik (good case) dapat menyajikan masalah-masalah yang memprovokasi dan menarik minat dan mempromosikan empati terhadap karakter utama. Ini melukiskan perspektif individual dan keadaan pribadi yang cukup baik untuk memungkinkan siswa memahami pengalaman karakter (characters’ experience) tentang suatu masalah. Pentingnya isu yang menarik dan karakter yang empatik mencerminkan fakta bahwa kasus biasanya berfokus pada persimpangan antara dinamika organisasional atau situasional dan persepsi, penilaian, dan tindakan individu (Boehrer & Linsky 1990, 45).

(20)

dalam diskusi memberikan kesempatan kepada siswa untuk menganalisis, mengajukan solusi, mengevaluasi solusi potensial, memecahkan masa-lah, atau membuat keputusan. Kegiatan ini menempatkan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran. CBL adalah sebuah pedagogi yang membantu siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking) dan mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang konten yang harus dipelajari. Isi kasus dan proses diskusi tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran berbasis kasus (Blackmon, Hong & Choi 2010, 176).

Rekonstruksi Pembelajaran Berbasis Kasus

dalam Perspektif Pendidikan Islam

Pembelajaran berbasis kasus (case-based learning) pada dasarnya bukan merupakan ide baru. Penggunaan cerita untuk menyampaikan sejarah, mengajarkan moral dan menjelaskan konsep telah dipraktikkan sejak zaman kuno. Menurut Blackmon, Hong dan Choi, apa yang modern dari pembelajaran berbasis kasus adalah penggunaan narasi yang dikembangkan untuk memberikan pembelajaran autentik (authentic

learning) bagi siswa (Blackmon, Hong & Choi 2010, 175). Islam sebagai doktrin dan tradisi keagamaan yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan dan pengetahuan pada dasarnya telah mengenal berbagai macam model pembelajaran, termasuk pembelajaran berbasis kasus. Bahkan dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbasis kasus merupakan salah satu metode yang paling menonjol dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan cerita, kisah dan narasi dalam Alquran ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu. Bahkan hampir seluruh ayat Alquran dapat dianggap sebagai koleksi skenario kasus di mana aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut diajarkan secara hidup, di tempat dan waktu kejadian peristiwa.

(21)

Paradigma tersebut telah dikembangkan oleh para ulama dan sarjana

muslim dari masa ke masa, yang pada gilirannya membentuk filsafat,

teori dan sistem pendidikan Islam yang khas. Menurut ‘Abd al-Rahman Shalih ‘Abdullah, teori pendidikan Islam berasal dari konsepsi Alquran (‘Abdullah 1982, 43). Dalam perspektif Alquran, pencarian dan perolehan pengetahuan merupakan salah satu prinsip dasar Islam. Alquran menegaskan bahwa hanya mereka yang memiliki pengetahuan yang mampu “menapak jalan kebenaran (taqwa)”, sebagaimana disebutkan dalam QS. Fathir/35: 28.

a.

Hakikat Pendidikan Islam

Istilah Arab untuk pendidikan berasal dari tiga kata yang berbeda, yakni “tarbiyah”, “ta’dib”, dan “ta‘lim”. Menurut Syed

Naquib al-Attas, tarbiyah berasal dari akar kata raba, yang berarti

tumbuh atau berkembang (to grow, increase). Istilah ini mengacu pada pengembangan potensi individu dan proses mengasuh dan membimbing anak menuju kondisi kesempurnaan atau kedewasaan. Ta’dib berasal dari akar kata aduba, yang berarti sopan, disiplin atau beradab/berbudaya (to be refined, disciplined, cultured). Istilah ini mengacu pada proses pengembangan karakter dan pembelajaran dasar yang kuat untuk perilaku moral dan sosial dalam komunitas dan masyarakat pada umumnya. Istilah ini mencakup makna memahami dan menerima prinsip-prinsip sosial fundamental, seperti keadilan.

Ta‘lim, berasal dari akar kata ‘alima, yang berarti mengetahui, mengerti

atau memahami (to know, perceive, discern). Istilah ini mengacu pada proses menanamkan dan menerima pengetahuan, biasanya melalui pelatihan (training), pengajaran (instruction) atau bentuk-bentuk lain pembelajaran (al-Attas 1979, 41-58). Makna dari ketiga istilah ini menyiratkan bahwa kurikulum pendidikan Islam dalam Alquran mencakup upaya membimbing perkembangan individu menuju kedewasaan, memperluas pemahaman mereka tentang aturan-aturan moral dan sosial, serta mentransmisikan atau mengajarkan pengetahuan baru berdasarkan nilai-nilai Islam.

(22)

saja tidak bersifat eksklusif untuk pemikiran Islam. Aspek utama yang menandai kekhasan pandangan Islam tentang pendidikan adalah aplikasi ketiga dimensi tersebut berdasarkan prinsip bahwa tidak ada aspek kehidupan seorang muslim yang tak tersentuh oleh agama. Dengan demikian, sementara pendidik liberal akan membahas perkembangan individu dalam hal pengembangan otonomi personal dan moral; dalam Islam, perkembangan individu itu akan dibahas dalam hal pertumbuhan yang seimbang dari semua sisi kepribadian individu, termasuk perkembangan moral dan spiritual, yang mengarah kepada tingkat pemahaman dan komitmen keagamaan yang lebih tinggi dalam semua bidang kehidupan (Halstead 2004, 522).

Landasan filosofis pendidikan Islam berasal dari doktrin Alquran

dan Sunah tentang pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa prinsip dasar yang menopang perkembangan pendidikan Islam adalah anjuran mencari pengetahuan (thalab al-‘ilm) dalam Alquran dan Sunah.

Signifikansi belajar dan mencari pengetahuan ini dijelaskan dalam

beberapa cara dalam Alquran, antara lain melalui perintah “membaca” kepada Nabi Muhammad saw (QS al-‘Alaq/96: 1-5), melalui kisah penciptaan Adam terutama ketika Tuhan mengajarkan “ilmu nama-nama” (‘ilm al-asma) kepada Nabi Adam (QS al-Baqarah/2: 31), melalui

justifikasi tentang ketinggian derajat orang yang berpengetahuan (QS.

Al-Mujadalah/58: 11), dan melalui anjuran untuk memikirkan atau merenungkan “tanda-tanda” ciptaan Allah yang terhampar di alam semesta (QS. al-Nahl/16: 16-17; QS. al-Ra’d/13: 3). Berdasarkan ayat-ayat tersebut itulah, anjuran mencari ilmu merupakan prinsip dasar dalam pendidikan Islam.

b.

Paradigma Pembelajaran Berbasis Kasus

dalam Alquran dan Sunah

(23)

demi sepotong. Proses ini berbeda dari kitab suci lainnya dari masa lalu yang digambarkan sebagai “anzalnaa” atau “anzala”, yakni semua pada sekali waktu. Hal ini, antara lain, diungkapkan dalam Surah Ali Imran ayat 3 sebagai berikut:

َ

لي ِجن ِإلاَو

ةا َر ْو َّتلا

َ

ل َزن

َ

أ َو ِهْي َدَي َن ْي َب ا َمِ

َ

ل

ّ

اق ِّد َص ُم ِّق َحْلاِب َباَتِكْلا َكْيَلَع َلَّزَن

ً

Dia menurunkan (nazzala) Al-Kitab (Alquran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan (anzala) Taurat dan Injil” (QS. Ali Imran/3: 3).

Setiap kali sebuah ayat atau sejumlah ayat diturunkan, ayat tersebut seringkali menggambarkan skenario kasus dalam konteks kehidupan nyata yang memberikan kesempatan bagi Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada umat Islam. Oleh karena itu, hampir seluruh ayat Alquran dapat dianggap sebagai koleksi skenario kasus di mana aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut diajarkan secara hidup, di tempat dan waktu kejadian peristiwa (on

the spot). Rincian kasus ini dapat ditemukan dalam Sunah atau Sirah Nabawi. Setiap kali sebuah konsep diwahyukan, konteks dan ajaran/ ucapan Nabi Muhammad dalam menanggapi konsep yang diwahyukan itu akan menjelaskannya. Model pembelajaran seperti ini pada dasarnya identik dengan apa yang disebut sebagai metode “studi kasus” (case study) atau “pembelajaran berbasis kasus” (case-based learning) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Salah satu contoh metode pembelajaran berbasis kasus dalam Alquran dan Sunah dapat dilihat dalam asbab al-nuzul surah pertama Alquran, al-Fatihah. Abu Sa’id ibn al-Mu’alla, salah satu sahabat Nabi Muhammad saw, suatu saat pernah melaksanakan salat di masjid dan Rasulullah memanggilnya, tapi dia tidak menjawab panggilan beliau— seorang muslim tidak diperkenankan berpaling dari atau menyela salat mereka, kecuali dalam keadaan darurat. Kemudian Abu Sa’id mengatakan kepada Rasulullah mengapa dia tidak menjawab, karena

ia sedang salat. Nabi Muhammad berkata, “Bukankah Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (QS. Al-Anfal/8: 24).

(24)

sebelum kamu keluar dari masjid.” Nabi Muhammad kemudian menggandeng tangan Abu Sa’id seraya bergegas ke luar masjid. Tatkala mereka hampir keluar mesjid, Abu Sa’id bertanya, “Bukankah engkau berkata kepadaku, ‘Aku akan mengajarkan kepadamu sebuah surah paling agung dalam Alquran?’” Kemudian Nabi Muhammad mengajarinya permulaan Surah Pertama, “Segala puji bagi Allah, Tuhan

semesta alam. Ia adalah tujuh ayat yang diulang-ulang dalam salat ( al-sab‘u al-matsani) dan Alquran agung yang diberikan kepadaku.” (Katsir 2000, 41-58)

Ada dua poin utama yang dapat diambil hikmahnya dari kisah di atas. Pertama, Nabi Muhammad secara sengaja memanggil Abu Sa’id ketika ia salat, momen di mana seseorang biasanya tidak akan merespons, dalam rangka memberikan kesempatan kepadanya untuk mempelajari arti dari ayat lain, yakni QS. Al-Anfal/8: 24, yang memiliki konsep lebih luas daripada konsep “memperbedakan antara (keimanan

kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya” sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nisa/4: 150. Dalam kisah tersebut, Nabi Muhammad seolah-olah hendak berkata kepada Abu Sa’id, “Tuhan yang kamu sembah dalam salat saat ini adalah Tuhan yang sama yang juga memerintahkan kamu

untuk mematuhi utusan Allah.” Dalam ayat lain, Allah berfirman,

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,

niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran/3: 31).

(25)

Dalam kisah tersebut, Nabi Muhammad mengajarkan kepada Abu Sa’id beberapa konsep yang berkaitan erat dengan konsep sebelumnya dalam QS. Al-Nisa/4: 150, yang membedakan kepatuhan kepada Allah dan utusan Allah, dengan menggunakan skenario kasus sebagai instrumen pembelajaran, yakni secara sengaja memanggil Abu Sa’id dalam keadaan salat, kemudian mengajarkan kepadanya bentuk lain tingkat kepatuhan kepada utusan Allah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anfal/8: 24. Pembelajaran berlapis-lapis (multi-layered) seperti ini memungkinkan pengolahan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai konsep yang disajikan secara bersamaan dalam

satu situasi yang mendefinisikan hubungan konsep-konsep tersebut

satu sama lain. Skenario kasus seperti ini tidak hanya memberikan pembelajaran kepada orang yang mengalaminya secara langsung, tetapi juga kepada pengamat lain yang menyaksikan peristiwa ini, yakni sahabat lain yang hadir di masjid pada waktu itu, yang juga berkesempatan untuk belajar dari peristiwa ini. Cerita-cerita dalam

Alquran, yang biasanya mengambil porsi signifikan dari setiap surah,

juga berfungsi sebagai skenario kasus yang digunakan sebagai model pembelajaran dan memberikan contoh hidup tentang konsep tertentu dalam konteks penerapannya.

Berkaitan dengan isi Alquran, Allah memiliki preferensi khusus tentang bagaimana Dia mengajarkan konsep-konsep dalam Alquran. Kira-kira setengah dari ayat-ayat dalam Alquran berkaitan dengan masa lalu: cerita tentang para nabi, orang-orang atau bangsa-bangsa yang baik dan jahat dan pelajaran yang dapat diambil dari cerita mereka bagi orang-orang yang “merenungkan” atau “memikirkan”-nya. Cerita-cerita ini dapat dianggap sebagai studi kasus, serta sebagai snapshots tertentu dari peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut. Cerita-cerita ini memberikan model peran (role model), terutama dalam kisah-kisah para nabi, bagi orang-orang untuk ditiru, dan menggambarkan berbagai proses pemikiran, penalaran, dan perilaku yang menyebabkan orang untuk melakukan tindakan yang dapat membawa mereka ke surga atau neraka. Banyak surah yang menggambarkan percakapan dan dialog yang akan terjadi kelak antara orang di surga dan orang-orang di neraka.

(26)

digunakan dalam Alquran dan Sunah adalah matsal, yakni analogi atau contoh. Menurut ahli bahasa Arab, matsal adalah sesuatu yang dalam

beberapa hal memiliki kesamaan dengan yang lain dan beberapa hal tidak. Matsal digunakan untuk mengilustrasikan perumpamaan dari gambar yang sama dengan membangun pengetahuan sebelumnya untuk membawa pemahaman sesuatu yang lebih jelas. Matsal biasanya menggunakan struktur/format yang umum di antara orang-orang. Banyak ahli bahasa menganggap amtsal sebagai bentuk kefasihan tertinggi dalam pidato karena amtsal dapat meringkas makna yang dimaksudkan melalui perbandingan, di mana “orang dibuat nyaman dengan konsep dan benda-benda yang telah akrab dan umumnya menjauhkan dari konsep yang aneh dan baru.” (al-Majid 1992, 79-81). Dengan kata lain, analogi secara luas telah diakui/digunakan sebagai ekspresi verbal yang memfasilitasi seseorang untuk mengarahkan pendengar/pembaca secara cepat untuk memperoleh ide atau pema-ham an tertentu.

Penggunaan analogi sebagai teknik pembelajaran merupakan sesuatu yang lazim dalam pedagogi Islam. Hal tersebut berakar dari model yang dicontohkan Alquran dan Sunah yang dipenuhi dengan analogi. Allah bahkan menjelaskan bahwa salah satu tanda-tanda orang beriman adalah bahwa mereka memahami contoh/analogi Allah karena Dia telah membimbing hati mereka dan indra untuk memahaminya (QS. Al-Baqarah/2: 26). Dalam Sunah, Nabi Muhammad juga seringkali menggunakan analogi, terutama saat melontarkan pertanyaan kepada para sahabat. Misalnya, ketika menjelaskan bahwa salat lima waktu dapat menyucikan seseorang dari dosa, beliau bertanya kepada para sahabat, “Jika salah satu dari kalian memiliki sungai di depan rumah dan mandi sebanyak lima kali setiap hari, apakah kalian akan pernah menjadi kotor?” Para sahabat menjawab, “Tidak.” Nabi Muhammad berkata, “Inilah analogi tentang [penghapusan] dosa dengan salat lima waktu; setiap salat menyeka segala dosa kecil dari sejak salat sebelumnya.” Ini adalah contoh penggunaan analogi yang dikombinasikan dengan metode dialog interaktif dalam pembelajaran.

(27)

tinggi. Menurut Gordon Wells, istilah “scaffolding” digunakan sebagai “cara untuk mengoperasionalkan konsep Vygotsky tentang bekerja di zona pembangunan proksimal (zone of proximal development).” (Wells

1999, 127). Wells mengidentifikasi tiga ciri penting yang memberikan

karakter tertentu terhadap scaffolding: (1) sifat wacana pada dasarnya dialogis, di mana pengetahuan dibangun secara bersama-sama (

co-constructed); (2) pentingnya jenis aktivitas, di mana proses mengetahui bersifat tertanam (embedded); dan (3) peran artefak yang memediasi proses mengetahui (Wells 1999, 127).

Istilah “zone of proximal development” (ZPD) itu sendiri didefinisi-kan oleh Vygotsky sebagai “jarak antara tingkat perkembangan aktual yang ditentukan oleh [kemampuan] pemecahan masalah secara independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui [kemampuan] pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau bekerja sama dengan rekan yang lebih mampu” (the distance

between the actual development level as determined by independent problem solving and the level of potential development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with more capable peer) (Vygotsky 1978, 86). ZPD, dengan demikian, dipahami oleh Vygotsky untuk menggambarkan tingkat perkembangan aktual peserta didik dan tingkat perkembangan berikutnya yang dicapai melalui penggunaan mediasi alat-alat semiotik dan lingkungan dan melalui fasilitasi rekan atau orang dewasa yang memiliki kapabilitas. Ide utama dalam konsep ini adalah bahwa cara belajar yang terbaik bagi individu adalah ketika ia bekerja bersama-sama dengan orang lain selama kolaborasi bersama (joint collaboration), dan melalui upaya kolaboratif dengan orang yang lebih ahli itulah peserta didik akan belajar dan menginternalisasi konsep-konsep, alat-alat psikologis, dan keterampilan baru.

(28)

oleh bukti dari peserta didik yang telah mencapai beberapa tingkat kompetensi independen yang lebih besar sebagai hasil dari pengalaman

scaffolding (Wells 1999, 221). Definisi ini menekankan pada kolaborasi

antara guru dan peserta didik dalam membangun pengetahuan dan keterampilan peserta didik.

Teori Vygotskian tidak dapat dilepaskan dari kontribusi pemikiran Piaget. Kontribusi besar Piaget dalam teori dan praktik pendidikan adalah pandangannya tentang anak sebagai pembangun aktif (active

constructer) pengetahuan mereka sendiri, sebagai penjelajah dan penemu independen, yang dikenal sebagai konstruktivisme kognitif atau individual. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa inisiatif dan penentuan nasib sendiri sang anak sebagai peserta didik tidak harus terhalang oleh instruksi pendidikan. Teori Vygotskian dibangun atas dasar gagasan Piaget tentang anak sebagai pembelajar aktif dengan penekanan pada peran interaksi sosial dalam pembelajaran dan pengembangan. Pendekatan ini dikenal sebagai konstruktivisme sosial. Dalam perspektif ini, kualitas interaksi anak dan orang dewasa dianggap sebagai unsur penting dalam proses scaffolding pembelajaran peserta didik.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa metode pembelajaran berbasis kasus dalam Alquran, yang direpresentasikan, antara lain, oleh penggunaan cerita, perdebatan dan analogi, memiliki titik temu dengan model pembelajaran berbasis kasus dalam teori-teori pembelajaran kontemporer. Pedagogi Islam, seperti teori pendidikan kontemporer, pada dasarnya mempertimbangkan hubungan

kepedu-lian yang sangat signifikan antara guru dan siswa—sebagaimana

tercermin dalam istilah tarbiyah itu sendiri berikut kata lain yang seakar dengannya—dalam rangka merangsang motivasi antara guru dan siswa untuk memanfaatkan pendidikan sebagai unsur yang bekerja menuju reformasi dan perubahan sosial. Melalui hubungan magang (apprenticeship) antara guru dan siswa semacam itu, model pembelajaran berbasis kasus (case-based learning) digunakan di dalam kelas untuk membangun pengalaman belajar yang hidup melalui analogi, perdebatan, dan cerita sebagai scaffolding untuk mengarahkan pemahaman dan pengalaman siswa. Kendati demikian, dalam perspektif

Alquran, proses pembelajaran harus melibatkan dimensi metafisik yang didasarkan pada prinsip dasar Tauhid. Motivasi metafisik tersebut

(29)

dalam kelas yang dapat mentransformasi individu secara personal, sosial, intelektual dan spiritual.

Kesimpulan

Case-Based Learning merupakan pendekatan, metode atau strategi pembelajaran aktif yang melibatkan eksplorasi tentang situasi realistis

dan spesifik yang bersifat interaktif dan berpusat pada siswa, di mana

siswa membaca dan mendiskusikan skenario kehidupan nyata yang kompleks melalui penyajian kasus dalam bentuk cerita, narasi atau bentuk lain sesuai dengan kemampuan berpikir analitis dan kapasitas pengambilan keputusan mereka. Model pembelajaran berbasis kasus semacam ini pada dasarnya juga dikenal dalam tradisi Islam, terutama melalui penggunaan cerita, kisah dan narasi secara interaktif dalam konteks kehidupan nyata, sebagaimana dapat dilihat dalam Alquran dan Sunah.

Islam sebagai doktrin dan tradisi keagamaan yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan dan pengetahuan pada dasarnya telah mengenal berbagai macam model pembelajaran, termasuk pembelajaran berbasis kasus. Bahkan dapat dikatakan bahwa pembela-jar an berbasis kasus merupakan salah satu metode yang paling me-nonjol dalam Alquran dan Sunah Nabi Muhammad saw. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan cerita, kisah dan narasi dalam Alquran ketika Allah menyampaikan suatu informasi atau ajaran kepada Nabi Muhammad saw dan masyarakat Arab waktu itu. Bahkan hampir seluruh ayat Alquran dapat dianggap sebagai koleksi skenario kasus di mana aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut diajarkan secara hidup, di tempat dan waktu kejadian peristiwa.

Sebagai pedoman hidup umat Islam, Alquran memiliki paradigma tersendiri tentang dunia kehidupan, termasuk dunia pendidikan, yang didasarkan pada pandangan dunia Tauhid. Meskipun Alquran tidak menyuguhkan teori tertentu tentang pendidikan, narasi-narasi teologis dan sosiologis yang terdapat dalam Alquran pada dasarnya memuat paradigma tertentu tentang pendidikan yang dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan untuk mengembangkan teori, pendekatan atau metode pembelajaran dalam konteks dunia pendidikan modern. Para-digma tersebut telah dikembangkan oleh para ulama dan sarjana

muslim dari masa ke masa, yang pada gilirannya membentuk filsafat,

(30)

Salih ‘Abdullah, teori pendidikan Islam berasal dari konsepsi Alquran. Dalam perspektif Alquran, pencarian dan perolehan pengetahuan merupakan salah satu prinsip dasar Islam. Alquran menegaskan bahwa hanya mereka yang memiliki pengetahuan yang mampu “menapak jalan kebenaran (taqwa)”, sebagaimana disebutkan dalam QS. Fathir/35: 28.

Daftar Pustaka

Buku

‘Abdullah, ‘Abd al-Rahman Salih. Educational Theory: A Quranic Outlook. Makkah: Umm al-Qura’ University, 1982.

al-Attas, Syed Muhammad Naquid. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: Hodder and Stoughton & King Abdulazis University, 1979.

al-Majid, ‘Abd al-Majid Mahmud ‘Abd. Nazharat Fiqhiyyah wa

Tarbawiyyah fi Amtsal al-Hadits. Thaif: Maktabat al-Shadiq, 1992.

Blackmon, Myra, Hong, Yi-Chun & Choi, Ikseon. “Case Based Learning” dalam Emerging Perspectives on Learning, Teaching and Technology, diedit oleh Michael Orey, 177. Zurich: Jacobs Foundation, 2010.

Boehrer, J. & Linsky, M. “Teaching with Cases: Learning to Question” dalam The Changing Face of College Teaching: New Directions for

Teaching and Learning, diedit oleh M.D. Svinicki, 45. San Francisco: Jossey-Bass, 1990.

Brown, Bettina Lankard. Applying Constructivism in Vocational and

Career Education. Ohio: The Ohio State University, 1998.

Brown, Bettina Lankard. Using Problem-Solving Approaches in Vocational

Education: Practice Application Brief. Colombus: The Ohio State University, 1998.

Fosnot, Catherine T., ed. Constructivism: Theory, Perspectives and

Practices. 2. New York: Teachers College Press, 2005.

Francis K. Stage et.al. Creating Learning Centered Classrooms: What

Does Learning Theory Have To Say. Washington D.C.: The George Washington University, 1998.

Glasserfeld, Ernst von. Radical Constructivism; A Way of Knowing and

(31)

Gredler, Margareth E. Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Kencana, 2011.

Heinich, Robert, et.al,. Instructional Media and Technology for Learning. New Jersey: Prentice Hall, 1999.

Inhelder, Jean Piaget & B. Psychology of the Child. Diterjemahkan oleh H. Weaver. New York: Basic Books, 1969.

Katsir, Ibn. Tafsir Ibn Katsir. Vol. 1. Riyadh: Dar al-Salam, 2000.

Lindgren, Henry Clay. Educational Psychology in the Classroom. Toronto: John Willey & Sons. Inc., 1976.

Lynch, Richard R. Designing Vocational and Technical Teacher Education

for the 21st Century. Columbus: The Ohio State University, 1997.

Noddings, Nel. “Constructivism in Mathematics Education.” In

Constructivist Views on the Teaching and Learning of Mathematics, edited by Carolyn Maher & Nel Noddings Robert Davis, 9. Reston, Va: National Council of Teachers of Mathematics, 1990.

Piaget, Jean. Genetic Epistemology. New York: Columbia University Press, 1970.

Pierce, Jean W. & Jones, Beau Fly. “Problem-Based Learning: Learning and Teaching in the Context of Problems” dalam Contextual Teaching

and Learning: Preparing Teachers to Enhance Student Success in and Beyond School, oleh ERIC, 75-10. Columbus & Washington, DC: The Ohio State University & American Association of Colleges for Teaching Education, 1998.

Saebani, Beni Ahmad & Achdhiyat, Hendra. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Shulman, Judith H. Case Method in Teacher Education. New York: Teachers College Press, 1992.

Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Vygotsky, Lev S. Mind in Society: The Development of Higher Psychological

Processess. Cambridge: Harvard University Press, 1978.

Walter, Dick, Carey, Lou & Carey, James O. The Systematic Design of

(32)

Wells, Gordon. Dialogic Inquiry: Towards A Sociocultural Practice and

Theory of Education. New York: Cambridge University Press, 1999.

Jurnal

Austin, Michael J. & Packhard, Thomas. “Case-Based Learning: Educating Future Human Managers.” Journal of Teaching in Sosial Work 29, no. 2 (2009): 217.

Center for Teaching and Learning (CTL). “Teaching with Case Studies.”

Speaking of Teaching: Stanford University on Teaching 5, no. 2 (Winter 1994): 1.

Cossom, J. “Teaching from Cases: Education for Critical Thinking.”

Journal of Teaching in Social Work 5, no. 1 (1991): 139-155.

Halstead, Mark. “An Islamic Concept of Education.” Comparative

Education 40, no. 4 (November 2004): 522.

Hoag, Anne, Brickley, Dale J. & Cawley, Joanne M. “Media Management Education and the Case Method.” Journalism and Mass

Communication Eduactor 55, no. 4 (2001): 52.

Jones, K.A. “Making the Case for the Case Method in Graduate Social Work Education.” Journal of Teaching of Social Work 23, no. 1-2 (2003): 183-200.

Matthews, Michael R. “Philosophical and Pedagogical Problems with Constructivism in Science Education.” Trema 38 (2012): 4.

Savery, John R. & Duffy, Thomas M. “Problem-Based Learning: An Instructional Model and Its Constructivist Framework.”

Educational Technology 35 (September-October 1995): 31-38.

Stepien, William J. & Gallagher, Shelagh A. “Problem-Based Learning: As Authentic as It Gets.” Educational Leadership 50, no. 7 (April 1993): 25-28.

Williams, B. “Case Based Learning - A Review of the Literature: Is There a Scope for This Educational Paradigm in Prehospoital Education?”

(33)

Website

Center for Research on Learning and Teaching (CRLT). “Case-Based Teaching and Problem-Based Learning dalam http://www.crlt. umich.edu/tstrategies/tscbt, diakses 11 Januari 2017.

edutech wiki. “Case-Based Learning dalam http://edutechwiki.unige.ch. (Diakses pada 12 Agustus 2017).

Michigan State University. “Case-Based Teaching dalam http://fod.msu.

(34)

INDEKS

A

Abad Pertengahan, 220 Abangan 125

Abdullah bin Umar 134 Abu Sa’id ibn al-Mu’alla, 153 Ahlusunnah waljama’ah 129-130 Aisyah 135

Akomodasi 145, 171, 224

Alfiyah al-Suyuthi 176

Ali bin Abi Thalib 166

Alquran IV, VI, 122, 125-126, 130-133, 135, 139, 150-156, 158-160, 167, 178, 198, 213, 220-221, 232-233

Analogi 156, 158, 235 Asimilasi 145

Aswaja 129-130, 136, 235 Azra, Azyumardi 136, 186

Al-Itqan fi `Ulum al-Qur’an 176

Al-Khulafa al-Rasyidin 122

B

Bahts al-masa’il 176 Bidayat al-Mujtahid 176 Bilal 134-135

bandongan 176, 183, 231

C

Case-Based Learning IV, 139, 141, 148-150, 153, 155, 158-159, 162-163 Cinta kasih III, VI, 189-194, 197, 200-201, 203-209

Civil society 128

D

Darussalam 214 Dayah 171

(35)

Depok, II, 193, 207-208 Deskripstif analitik IV, 121

Dhofier, Zamakhsyari 136, 186

E

Efektivitas III, VI, 189, 194-196, 207-209 Ekuilibrasi 145

F

Fath al-Majid 176 Fikih ibadah 16

Filosofi 206

Filsafat 132, 144, 151, 159, 210

G

Geertz 125

H

Hadis 122, 134-135, 167, 173, 176, 184, 228, 232 Halstead, Mark 162

Hayatun Nufus 180, 182 Heinich 142-143, 161

Himmatul Aliyah III, VI, 189, 193-194, 196, 207-208 Hindu-Budha 131

Hindu-Jawa 124

I

Ihya `Ulum al-Din 176

International Center for Research on Women 191, 211 Islam Jawa 125

“Islam kultural” 131

Islam moderat III, IV, 121-123, 128-129, 131, 133 “Islam nominal” 125

Islam pesantren 124

(36)

K

Kawula Gusti 126

Kementerian Agama 214, 232 Khawarij 132

Kitab kuning V, 165-166, 170, 172, 179, 183, 185, 220, 224 Konstruktivisme 140, 142, 144-145, 147, 158

Konstruktivisme kognitif 158 Konstruktivisme pendidikan 144 Konstruktivisme sosial 142, 158 KPAI 191, 193, 211

Kurikulum VI, 140, 145, 151, 170, 174-175, 180, 189, 194, 208, 214, 220, 222-223, 231-233

Kurikulum pesantren 174-175

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 140

Kyai V, 165-166, 170-174, 176, 179-183, 185-186, 216, 218-219, 222, 224-227, 229-232

L

Langeveld 196 Lindgren 142, 161 Lurah kobong 180

M

Manajemen III, V, 165-170, 173, 180, 185-187, 194-195, 210, 226, 231-234 Manajemen Sumber Daya Manusia 194

Manhaj 220

Martabat Tujuh 126

Masjid V, 134-135, 153-155, 165, 170, 172, 179, 183, 185, 224-225, 229-230 Masjid Quba 172

Mastuhu 170, 174, 186, 221, 227, 234 Mas’ud, Abdurrahman 136

Matsal 156

Media Amal Islami III, VI, 213, 215-216, 228, 233 Metode “studi kasus” 153

Model pembelajaran IV, 139-141, 146, 149-150, 153, 155, 158-159 Model pembelajaran tradisional 141

(37)

Muasaroh 195, 211

Muhammadiyah IV, 121, 123, 127-129, 135-136 Musala 172

Muslim moderat 131-132

N

Nabi Muhammad IV, V, 122, 130, 136, 139, 150, 152-156, 159, 172, 193, 198, 202, 207, 210, 230

Nahdlatul Ulama 123 Naib al-ulama 228 NU 123, 127-130, 135-137

P

Pandangan dunia Tauhid 150, 159 Pembangun aktif 158

Pembelajaran aktif IV, 139, 148, 158-159 Pembelajaran autentik 142, 146, 150

Pembelajaran berbasis kasus III, IV, 139-141, 146-150, 152-153, 155, 158-159

Pembelajaran berbasis masalah 145-147 Pemulung VI, 213, 216, 228

Pendidikan Islam III, IV, 139, 141, 150-152, 159-161, 170-172, 181, 183, 186, 190, 198, 209, 214, 216, 220, 224, 230, 233

Pendidikan profetik III, VI, 189-191, 193-199, 206-208, 210 Penelitian kualitatif 219, 234

Perkembangan kognitif 142, 144-145

Pesantren III, V, VI, 124, 136, 165-183, 185-186, 189, 193-194, 196, 207-209, 213-234

Pesantren MAI VI, 213, 215, 218, 221, 231-233

Pesantren tradisional III, V, 165-166, 168, 170, 173, 180, 185, 220, 225-227, 230, 232-233

Piaget, Jean 161

Planning for Teaching, and Introduction 141 Poerwadarminta 196

Pondok pesantren III, V, VI, 165-172, 175-177, 179, 181-183, 186, 189, 193-194, 196, 207-209, 213-220, 222-223, 229, 231-232, 234

Pribumisasi Islam 124 Priyayi 125

(38)

Proses Islamisasi 190

Proses pembelajaran 140, 143, 147, 149-150, 158, 205-206

R

Rahmatan lil alamin 123, 192 Rais al-ummah 229

Ranah afektif 143 Ranah kognitif 143 Ranah psikomotorik 143

Rasul 126, 153, 198, 202-203, 207, 228 Rasulullah 135, 153, 166, 198-199, 202, 207

S

Safinah IV, 178, 184

Salafiyah III, V, 165, 176-177, 179-183, 185

Salafiyah Al-Hijratul Munawwaroh V, 165, 180, 182, 185

Santri V, VI, 125, 165, 168-172, 175-183, 185, 190, 198, 208-209, 213, 216-217, 219-230, 232

Santri kalong 227 Santri mukim 227 Satrul al-aurah 228 Scaffolding 155-158 Shahih Bukhari 176 Shahih Muslim 176

Shalih li kulli zaman wa makan 125 Sinkretisme 125

Sisdiknas 218

Sistem pendidikan profetik VI, 189, 194, 196, 198, 207-208 Sistem weton 219

Struktur linguistik bawaan pikiran 144 Subculture 173

Sudjana, Nana 161

Sufi Jawa 124 Sufisme 123

Sugiharto III, VI, 213 Suhartini 168

Sullam al-Munaruq 176

(39)

T

Tafsir Ibn Katsir 161, 176

Tarikh Tasyri` 176

tark al-ma’shi 229 Tasawuf Islam 126 Tawalib 214 Tebu Ireng 214

Teori manajemen Deming 167, 185 Teori Vygotskian 158

The religion of Java 123

Timur Tengah 125-126, 133, 173, 186 Tradisi besar 125

Tradisi lokal 124-125, 130-131

Tradisional III, V, 127, 141, 148, 165-166, 168-173, 180, 183, 185, 220, 224-227, 230, 232-234

U

Ummatan Wasathan 121, 131, 136

Universitas Muhammadiyah Tangerang IV, 121 Uqudu al-Jumah 176

V

Von Glasersfeld 144 Vygotsky, Lev 161

W

Wahyu, Ramdhani 211

Walisongo 122-125, 130, 136, 169, 187, 233 Waratsat al-anbiya 218

Washatiyyah 132-133

Washatiyyah Islamiyyah 133 Wells, Gordon 162

Z

Zhahiriyah 132

(40)

Referensi

Dokumen terkait

Buku perkuliahan ini disusun sebagai salah satu sarana pembelajaran pada mata kuliah Khat dan Desain Grafis. Secara rinci buku ini memuat beberapa paket penting meliputi; 1)

Dalam pembahasan berikut mengenai biaya modal penulis menggunakan metode penilaian yaitu pendekatan yang didasarkan pada asumsi bahwa harga pasar suatu sarana investasi

bangkai/daging saudaranya yang sudah mati).. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai orang-orang yang suka ghibah dan mereka merupakan musuh-musuh amal. Bersifat dengan

Hasil penelitian ini didukung oleh teori Barry E.Cushing dan diterjemahkan oleh Ruchyat Kosasih (2007) sumber daya manusia yang digunakan dalam suatu perusahaan untuk mengolah data

Sebagai contoh masyarakat Kecamatan Permata yang juga ikut berpartisipasi dalam pemilukada secara langsung di Kabupaten Kabupaten Bener Meriah untuk memilih bupati dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui eksistensi usaha tambang emas dalam meningkatkan perekonomian keluarga di Desa Baturijal Hulu Kecamatan Peranap

Di samping berupa harian surat kabar, majalah dan pers tertulis lainnya yang telah diterbitkan pada masa pergerakan, pada tanggal 13 Desember 1937 berdirilah Kantor

Arca yang terbuat dari emas ini merupakan arca cetakan emasapsara (bidadari surgawi) gaya khas Majapahit yang menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit.. sebagai