BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia mempunyai agroekologi dataran rendah sampai dataran tinggi
yang hampir semua dapat menghasilkan buah-buahan. Berdasarkan data
Departemen Pertanian, Indonesia menghasilkan lebih dari 400 jenis buah-buahan,
baik jenis buah tropis maupun subtropis. Komoditas buah-buahan merupakan
penyumbang keanekaragaman dan kecukupan gizi rakyat yang cukup besar.
Buah-buahan sangat penting bagi kesehatan. Mengkonsumsi buah-buahan setiap
hari secara teratur akan mempertinggi daya tahan tubuh dan mencegah penyakit,
membantu kerja jantung, mempertajam ingatan, meringankan tekanan mental,
serta menyelaraskan pencernaan makanan, dan peredaran darah. Semakin
meningkatnya pendidikan dan kesadaran akan pentingnya gizi masyarakat akan
memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan permintaan buah-buahan, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif (Rukmana, 2008).
Menurut Rukmana (2004), sisi kualitas menjadi sangat penting karena ada
kecenderungan bahwa dengan meningkatnya pendapatan (income) masyarakat, makin mengarah kepada pasar konsumen. Oleh karena itu, tidak heran kalau
konsumen lebih menyukai buah impor karena dipandang lebih tinggi kualitasnya.
Produksi buah-buahan di dalam negeri yang masih rendah dan kualitasnya yang
Saat ini, kita telah banyak dibanjiri oleh bermacam-macam buah impor. Buah
impor yang masuk sebagian besar merupakan jenis buah yang juga ada di negara
kita. Padahal Indonesia adalah negara tropis dengan beraneka ragam flora dan
faunanya, termasuk untuk buah-buahan.
Menurut Ridarineni (2013) buah impor hanya bisa masuk lewat empat
lokasi yakni: Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng, Pelabuhan Laut
Tanjung Perak Surabaya, Pelabuhan Laut Belawan Medan dan Pelabuhan laut
Makassar. Buah impor yang masuk ke Indonesia juga berasal dari banyak negara
diantaranya Amerika, Australia, Cina, Jepang, dan Selandia Baru.
Pada tahun 2013 di Yogyakarta dilakukan pemeriksaan terhadap 13
sampel buah impor yang diambil secara acak dari dua jenis tempat penjualan
yakni kios buah pinggir jalan dan supermarket besar untuk diperiksa di Balai
Laboratorium Kesehatan (BLK) Jogja. Hanya satu buah yang tidak mengandung
formalin yakni jeruk ponkam, sisanya semuanya mengandung zat formalin. Baik
yang diambil dari kios buah yaitu pir kuning dan hijau, apel merah dari Amerika,
apel fuji dan anggur merah maupun yang diambil dari supermarket yaitu tiga buah
pir berbagai jenis dan merek, anggur, apel merah dan apel hijau (Zuhri dan
Mediani, 2013).
Buah impor yang beredar di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, diketahui
mengandung formalin setelah Badan Katahanan Pangan dan Penyuluhan
Pertanian (BKP3) Kabupaten Indramayu melakukan rapid tes kit formalin terhadap sejumlah buah impor yang beredar di Kabupaten Indramayu. Pengujian
pir impor, dan anggur merah. Pada apel merah dan jeruk ponkam, hasil uji tes
menunjukkan buah tersebut positif mengandung formaldehyde (formalin) sebesar 1,5 miligram per liter air. Sedangkan untuk buah pir impor dan anggur merah
impor positif mengandung formalin sebesar 1,0 miligram per liter air (Roszandi,
2014).
Formalin adalah desinfektan yang kuat untuk menghancurkan bakteri
pembusuk. Dalam pengawetan mayat atau pengawetan hewan, formalin
digunakan sebagai zat yang mampu menekan aktivitas bakteri pembusuk. Dengan
demikian, jaringan mayat atau hewan dapat bertahan berbulan-bulan. Masalah
keamanan pangan di tingkat industry rumah tangga memang sudah sangat kronis.
Pelaku-pelaku bisnis tidak memerhatikan keselamatan konsumen karena prinsip
dagang yang dipegang adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya
produksi minimal (Anwar dan Ali, 2009).
Formalin tidak hanya berbahaya jika dikonsumsi, melainkan juga dengan
melakukan kontak terhadapnya. Sangat kita pahami bahwa formalin sangat
berbahaya jika digunakan tidak sewajarnya mengingat formalin merupakan zat
yang bersifat karsinogenik atau bisa menyebabkan kanker (Yuliarti, 2007).
Khusus mengenai sifatnya yang karsinogenik, formalin termasuk ke dalam
karsinogenik golongan II A. Golongan I adalah yang sudah pasti menyebabkan
kanker, berdasarkan uji lengkap. Sedangkan golongan IIA baru taraf diduga,
karena data hasil uji pada manusia masih kurang lengkap. Dalam jumlah sedikit,
Itu sebabnya formalin sulit dideteksi keberadaannya di dalam darah (Cahyadi,
2006).
Menurut Yuliarti (2007) kekebalan tubuh sangat berperan pada berdampak
tidaknya formalin di dalam tubuh. Jika kekebalan tubuh atau mekanisme
pertahanan tubuh rendah, sangat mungkin formalin berkadar rendah sekalipun
bisa berdampak buruk terhadap kesehatan. Anak-anak, khususnya bayi dan balita,
adalah salah satu kelompok usia yang rentan mengalami gangguan ini. Secara
mekanik integritas mukosa (permukaan) usus dan peristaltik (gerakan usus)
merupakan pelindung masuknya zat asing ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam
lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi zat berbahaya tersebut.
Secara imunologik sIgA (sekretori Imunoglobulin A) pada permukaan mukosa
dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal zat asing masuk ke dalam
tubuh.
Namun demikian, pada usia anak, usus imatur (belum sempurna) atau
system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga
memudahkan bahan berbahaya masuk ke dalam tubuh dan sulit dikeluarkan. Hal
ini juga akan lebih mengganggu pada penderita gangguan saluran cerna yang
kronis seperti pada penderita autism, penderita alergi dan sebagainya. Produk
makanan berformalin tidak hanya ditemukan di sejumlah pasar tradisional, tetapi
sering pula ditemukan di berbagai supermarket di berbagai wilayah di tanah air.
Padahal perlu diketahui bahwa sebenarnya formalin bukanlah bahan pengawet
untuk makanan. Penggunaan formalin umumnya adalah untuk pengawet mayat di
penggunaanya untuk pengawet makanan sengat membahayakan konsumen.
Adanya bahan aditif dan pengawet berbahaya dalam makanan ini sebenarnya
sudah lama menjadi rahasia umum (Yuliarti, 2007).
Namun demikian, masalah klasik tersebut seringkali muncul menjadi
pembicaraan hangat dengan kembali ditemukannya berbagai pengawet tersebut
pada berbagai jenis bahan makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Penambahan
pengawet dimaksudkan untuk menghambat ataupun menghentikan aktivitas
mikroorganisme seperti bakteri, kapang dan khamir sehingga produk makanan
dapat disimpan lebih lama. Selain itu, suatu pengawet ditambahkan dengan tujuan
untuk lebih meningkatkan cita rasa, memperbaiki warna, tekstur, sebagai bahan
penstabil, pencegah lengket maupun memperkaya vitamin serta mineral.
Sebenarnya makanan yang menggunakan pengawet yang tepat (menggunakan
pengawet makanan yang dinyatakan aman) dengan dosis di bawah ambang batas
yang ditentukan tidaklah berbahaya bagi konsumen. Namun demikian, seringkali
produsen yang nakal menggunakan pengawet yang tidak tepat seperti pengawet
non makanan ataupun pengawet yang tidak diizinkan oleh badan POM sehingga
merugikan konsumen (Yuliarti, 2007).
Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), secara umum ambang batas aman formalin di dalam tubuh dalam bentuk air minum
adalah 0,1 miligram per liter. IPCS adalah lembaga khusus dari tiga organisasi di
PBB, yaitu ILO, UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan
penggunaan bahan kimiawi. Bila formalin yang masuk ke tubuh melebihi ambang
manusia. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi dalam waktu singkat atau
jangka pendek dan dalam jangka panjang, bisa melalui hirupan, kontak langsung,
atau tertelan (Yuliarti, 2007). Menurut Judarwanto (2006) konsumsi formalin
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, dan
ginjal.
Sementara itu menurut Putranto (2011) berdasarkan hasil uji klinis, dosis
toleransi tubuh manusia pada pemakaian secara terus-menerus (Recommended Dietary Daily Allowances / RDDA) untuk formalin sebesar 0,2 mg per kilogram berat badan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Bahan Tambahan Makanan, formalin
(formaldehid) termasuk ke dalam bahan tambahan yang dilarang digunakan ke
dalam makanan.
Apabila melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, diantaranya termasuk penggunaan bahan yang dilarang dipakai sebagai
bahan tambahan pangan seperti formalin, pelakunya diancam hukuman penjara
maksimal lima tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Penggunaan
formalin dalam produk pangan melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (Anonymous, 2006).
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut: “Perlu dilakukan penelitian terhadap buah impor untuk mengetahui
apakah buah impor yang dijual di beberapa pasar swalayan di kota Medan
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar formalin
pada buah impor.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jenis dan asal buah impor yang dijual di beberapa pasar
swalayan di kota Medan.
2. Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan formalin dan kadarnya pada
buah apel impor yang dijual di beberapa pasar swalayan di kota Medan.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan formalin dan kadarnya pada
buah anggur impor yang dijual di beberapa pasar swalayan di kota Medan.
4. Untuk mengetahui ada tidaknya kandungan formalin dan kadarnya pada
buah jeruk impor yang dijual di beberapa pasar swalayan di kota Medan.
5. Untuk mengetahui karakteristik fisik dari buah impor yang dijual di
beberapa pasar swalayan di kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi bagi konsumen buah impor agar lebih hati-hati
dalam memilih dan mengonsumsi buah-buahan impor.
2. Sebagai bahan masukan bagi BPOM dalam melakukan pemeriksaan lebih
lanjut terhadap buah-buahan impor.
3. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang kadar formalin pada buah
4. Sebagai data awal tentang kadar formalin pada buah impor yang dapat
dijadikan sebagai bahan informasi bagi penulis lain untuk penelitian lebih