• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang Jawa dan Peranakannya Di Tanah Day

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Orang Jawa dan Peranakannya Di Tanah Day"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Orang Jawa dan Peranakannya di Tanah Dayak

(Studi pada Orang Jawa di Dusun Suak Mansi, Desa Melawi Makmur, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat)

SITI CHUSNIYAH, Universitas Negeri Semarang

Pendahuluan

Tulisan ini adalah buah dari riset lapangan yang dilakukan di dusun Suak Mansi, kecamatan Meliau, kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 7 Juli 2013 sampai dengan 31 Juli 2013. Sebagai peneliti pemula yang baru pertama kali melakukan riset lapangan dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu satu bulan, penulis merasakan kebingungan saat hari-hari pertama di lapangan. Berbekal outline riset yang sudah dirancang sebelum berangkat ke lokasi, penulis berusaha untuk menemukan titik temu masalah apa yang akhirnya akan menjadi fokus penelitian satu bulan ke depan, informasi apa yang harus digali dan didapatkan, dan siapa saja informan yang harus ditemui dan diajak ngobrol.

(2)

aktivitas penduduk Jawa yang ada di dusun Suak Mansi sehingga peneliti memperoleh data yang valid.

Sekilas Tentang Suak Mansi

Suak Mansi adalah salah satu dusun di desa Melawi Makmur yang dulunya masih termasuk ke dalam daerah administratif desa Pampang Dua, namun karena adanya pemekaran desa, Suak Mansi terpisah dari Pampang Dua dan menjadi bagian dari desa Melawi Makmur. Berdasarakan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten Sanggau Nomor 3 Tahun 2011 tentang pembentukan desa Melawi Makmur kecamatan Meliau, pada bab dua tentang pembentukan menyatakan bahwa desa Melawi Makmur merupakan desa pemekaran dari pampang dua yang meliputi beberapa dusun yaitu dusun Nek Sawak, dusun Suak Mansi, dan dusun Landau. Dengan dibentuknya desa Melawi Makmur sebagai desa definitif, maka desa Pampang Dua sebagai desa induk terdiri atas dusun Pampang Dua, dusun Lubuk Benuang, dusun Tapang Sedendang, dusun Suak Kenyaok, dan dusun Suak Pram. Pusat pemerintahan desa Melawi Makmur yang memiliki luas wilayah 16,6 kilometer persegi, berkedudukan di dusun Nek Sawak. Jumlah penduduk desa Melawi Makmur pada saat desa ini dibentuk adalah 1.882 jiwa.

Suak Mansi sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu Suak Mansi Hulu dan Suak Mansi Hilir. Suak Mansi hulu sebagian besar warganya beragama Kristen dan anjing biasa berkeliaran di kampung. Sedangkan Suak Mansi hilir selain didiami oleh orang Dayak yang beragama Kristen juga terdapat perantauan dari Jawa yang beragama Islam. Mayoritas rumah yang ada di dusun Suak Mansi adalah rumah yang terbuat dari kayu. Meskipun kini sudah ada beberapa rumah yang terbuat dari semen dan sudah mengikuti model rumah modern masa kini. Atap mayoritas rumah di dusun Suak Mansi adalah seng dan alas rumah menggunakan kayu.

(3)

desa Melawi Makmur yang memiliki masjid sehingga orang-orang Islam yang tinggal di dusun Landau dan Nek Sawak biasa ke masjid Suak Mansi untuk melaksanakan sholat Jumat, dan sholat-sholat pada saat hari raya, baik idul fitri maupun idul adha.

Mayoritas pekerjaan masyarakat dusun Suak Mansi adalah sebagai petani sawit dan peNoreh karet, ada juga beberapa yang bekerja sebagai peternak, misalnya peternak babi, peternak ayam, dan peternak ikan. Dalam melakukan aktivitas terkait dengan profesi masyarakat dusun Suak Mansi yang mayoritas adlaah petani sawit, masih menggunakan alat tradisional, yaitu dodos, gancu, dan agrek. Dodos adalah alat pemotong buah sawit yang terbuat dari besi yang diisi dengan baja, tajam dan kuat. Dodos digunakan untuk mengambil buah sawit yang posisi buahnya kurang dari lima mater. Agrek digunakan untuk mengambil buah sawit yang posisi buahnya lebih dari lima meter. Dodos dan agrek digunakan petani untuk mengambil buah sawit dari pohonnya, sedangkan gancu digunakan untuk mengambil buah sawit yang telah jatuh yang kemudian ditaruh di keranjang dan pada akhrinya dibawa ke tempat penimbangan buah sawit. Setiap paginya, jam lima shubuh, orang-orang sudah keluar dari rumah untuk berangkat ke kebun karet. Suasana kampung saat pagi sangat sepi karena banyak warga yang pergi ke hutan, hanya ada beberapa orang yang tinggal di rumah, akan mulai hidup lagi suasana kampung Suak Mansi atau ramai ketika semua orang telah pulang dari noreh, biasanya pulang dari hutan pada jam sepuluh pagi. Noreh karet menjadi sumber penghasilan kedua setelah hasil panen kebun sawit bagi mayoritas penduduk dusun Suak Mansi.

(4)

individu bahkan dua keluarga dengan kebudayaan yang berbeda, termasuk salah satunya adalah bahasa. Keluarga dengan komposisi dua etnik ini sangat memungkinkan sekali terjadinya akulturasi budaya, karena dua kebudayaan berinteraksi satu sama lain dalam kehidupan keluarga. Hal ini lah yang menjadikan bahasa Jawa menjadi bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat di dusun Suak Mansi. Hampir seluruh warga masyarakat dusun Suak Mansi paham jika diajak lawan bicaranya berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Meskipun penggunaannya tentu dalam porsi yang tidak banyak, bahasa Dayak masih menguasai dan banyak proporsi penggunaannya untuk komunikasi sehari-hari masyarakat di dusun Suak Mansi.

Mengapa ke Borneo?

“Kalau di Jawa itu dulu saya kawin, kerjanya bikin genteng dan bata, jual genteng pun pakai sepeda, sampai beberapa puluh kilo pun pakai sepeda, bahkan mikul pun pernah sehari-hari

sampai gunung, berapa gajinya, ndak seberapa, kerjanya payah, gajinya ndak seberapa,

gajinya nunggu kalau udah dijual, cukup buat makan saja. Kami dulu kecil sekolah pagi,

sore kerja bikin genteng buat bayar sekolah, baru kelas lima SR, dulu SD belum ada, minta

duit pakai buat SPP, mamak ndak mau ngasih”

“Kalau di Jawa itu dulu saya kawin kerjanya bikin genteng dan bata, jual genteng pun pakai sepeda, sampai beberapa puluh kilo pun pakai sepeda, bahkan memanggul pun pernah sehari-hari sampai gunung, berapa gajinya, tidak seberapa, kerjanya payah, gajinya tidak seberapa, gajinya nunggu kalau sudah dijual, cukup buat makan saja. Kami dulu kecil sekolah pagi, sore kerja membuat genteng untuk bayar sekolah, baru kelas lima SR (Sekolah Rakyat), dulu SD (Sekolah Dasar) belum ada, minta uang untuk bayar uang sekolah, mamak tidak mau memberi”, cerita seorang imam masjid yang sejak tahun 1979 telah tinggal di tanah Dayak tepatnya di dusun Suak Mansi, ketika saya bertandang ke rumah beliau. Mbah kakung, begitu mbah Tugiran biasa dipanggil oleh cucunya.

(5)

Yatno. Sugihartini dan Rohman di bawa serta mbah Tugiran ke Kalimantan pada tahun 2000, sedangkan Yatno, saat itu masih kecil sehingga ditinggal di Jawa, dititipkan kepada orang tua istri mbah Tugiran.

“Rohman di Pontianak udah kawin, kerja bangunan, Yatno di jawa kerja, penghasilan kurang. Kemarin disjni sebulan lebih, bawa uang pulang hampir 5 juta, kalau di jawa

sebulan dapat enam ratus udah syukur, dia kerja ayam paling-paling sebulan enam ratus,

disini nyangkol punya sabar, sepuluh hari udah 1 juta, ndak mau balik kensini lagi, ditanya

ndak mau”

“Rohman di Pontianak sudah kawin, kerja bangunan, Yatno di Jawa kerja, penghasilan kurang. Kemarin diisni satu bulan lebih, bawa uang pulang hampir lima juta. Kalau di Jawa satu bulan dapat enam ratus sudah bersyukur. Dia kerja ayam satu bulan hanya dapat enam ratus ribu, disini memanenkan sawit punya sabar, sepuluh hari sudah satu juta, tidak mau kembali kesini, ditanya tidak mau kembali lagi”, jelas mbah Tugiran tentang nasib anak -anaknya buah perkawinan pertamanya.

Kemudian setelah merantau beberapa tahun di Kalimantan, mbah Tugiran menikah dengan perempuan keturunan darah Jawa yang lahir dan besar di Kalimantan, yaitu mbah Marsinah. Pernikahanya dengan mbah Marsinah, mbah Tugiran dikaruniai dua tiga orang anak. Istri mbah Tugiran yang tinggal di Jawa telah meninggal karena sakit. Anak pertama mbah Tugiran buah perkawinanya dengan mbah Marsinah telah menikah dengan orang asal Singkawang, Ahmadi namanya. Ahmadi adalah satu-satunya anak mbah Tugiran yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, jenjang D3. Kemudian anak kedua adalah Wit yang sekarang tinggal di rumah suaminya, di Meliau. Terakhir, adalah Mur yang saat ini tinggal satu rumah dengan mbah Tugiran. Mur telah menikah dengan perempuan keturunan Dayak yang berpindah agama dari Kristen menjadi Islam setelah memutuskan untuk menikah Mur.

(6)

Berbeda dengan seorang transmigran yang dibiayai oeh pemerintah dan diberi segala fasilitas hidup mulai dari sandang, pangan, papan, dan biaya hidup selama kurun waktu dua tahun, perantauan harus berjuang keras dengan modal sendiri atau pribadi. Tekad yang kuat dan keinginan yang besar untuk merubah hidup telah mengalahkan ketakutan akan rumor klise, “orang Kalimantan itu makan orang”, dan juga kesulitan modal. Rumor klise bahwa orang Kalimantan memakan sesama manusia sangat sering menjadi omongan di Jawa karena kasus Sambas beberapa tahun silam.

“Mamak kesini, mamak di Jawa masih hidup, sakit, hidup sama mbah. Mamak dulu diajak kesini sama bapak, mau karena diomong disini nyari uang gampang, kalau di Jawa kan ndak

pernah pegang duit”

“Mamak kesini, mamak di Jawa masih hidup, sakit, hidup sama mbah. Mamak dulu diajak kesini sama bapak, mau karena dikasih tahu mencari uang mudah, kalau di Jawa tidak pernah mempunyai uang”, ungkap mamak Su ketika saya bertanya bagaimana ia sampai di dusun Suak Mansi dan menetap disana.

Perbincangan ini terjadi saat saya membantu mamak Su memasak di dapur untuk berbuka puasa nantinya. Sugihartini yang kemudian akrab dipanggil dengan sapaan mamak Su, adalah anak pertama mbah Tugiran. Iming-iming mudahnya mendapatkan uang jika berada di Kalimantan membuat mamak Su bersedia dibawa serta oleh bapaknya, mbah Tugiran. Di usianya yang masih belasan tahun, usia anak sekolah dasar, mamak Su dan satu adiknya dibawa serta oleh bapaknya, mbah Tugiran, ke Kalimantan. Latar belakang mobilitas sosial dari mamak Su ini sama dengan kisah mbah Tugiran, yaitu berawal dari ajakan anggota keluarga yang pernah mencoba hidup di tanah Dayak dan merasakan perbedaan kualitas hidup antara di Jawa dengan di Kalimantan.

“Bapak sih payah, berhenti sekolah, baru sekolah SMP satu bulan, disuruh berhenti mamak tiri. Berhenti sekolah, ikut noreh, mau makan ja diomong, baru enak setelah berkeluarga.

Mamak tiri jahat. Pertama noreh ikut-ikut noreh ja bapak, ikut-ikutan. Dari pagi-pagi jam

lima sampai jam sepuluh, pulang noreh mandi nyuci, beres-beres, bersih rumah. Adik masih

kecil-kecil, tiga, laki-laki sama perempuan, laki-laki dua, perempuan satu, Mur terkahir”

(7)

ikut-ikutan. Dari pagi-padi jam lima sampai jam sepuluh, pulang noreh kemudian mandi dan mencuci, beres-beres, bersih rumah. Adik masih kecil-kecil, saya punya tiga adik, laki-laki dan perempuan, dua laki-laki, satu perempuan, Mur adalah adik terakhir saya”, terang mamak Su kala itu sambil menumbuk cabai untuk dibuat sambal lauk buka puasa.

Petikan perbincangan ketika saya membantu memasak di dapur mamak Su tersebut menggambarkan bagaimana kehidupan awal seorang usia belasan tahun yang berani ikut sang bapak merantau ke Kalimantan. Sampai di Kalimantan tentunya tidak serta merta merasakan saku yang terisi banyak lembaran rupiah. Semua berawal dari hal kecil dan merasakan hidup susah membanting tulang mengumpulkan rupiah demi rupiah. Mamak Su yang masih usia belasan tahun saat itu, sempat menempuh pendidikan pada jenjang sekolah menegah pertama. Pada saat itu, sekitar tahun 2000, mamak Su menempuh sekolah menengah pertama yang terletak di dusun Pampang Dua. Hanya beberapa bulan saja menikmati belajar di sekolah, mamak Su keluar dari sekolah. Bekerja adalah pilihan yang tidak dapat ditolak setelah keluar dari sekolah. Bekerja tanpa bayaran sebagai penoreh disaat seharusnya belajar di kelas.

“Kadang motong, regane murah, males moton, suwe ra tau motong, motong ya ana hasil, motong didol, ditabung, gak usah akeh-akeh lima puluh entuk”

“Kadang noreh karet, harganya murah, jadi malas mau noreh, sudah lama saya tidak noreh, kalau noreh ya ada hasilnya, noreh kemudian karetnya dijual, hasilnya ditabung, tidak perlu banyak-banyak norehnya, lima puluh ribu sudah bisa dapat”, jelas mamak Su dengan suara khas seorang yang sedang flu.

Perbedaan kualitas hidup yang dimaksud disini adalah perbedaan kualitas hidup dari segi ekonomi. Jika di Jawa, satu hari bekerja hanya mendapatkan uang sepuluh ribu rupiah yang hanya cukup untuk kebutuhan perut, di Kalimantan, mamak Su bisa mendapatkan lebih dari sepuluh ribu rupiah dari hasil noreh karet. Selalu dikatakan oleh orang Jawa yang hidup di Kalimantan, bahwa memperoleh uang di Kalimantan ini tidak lah sulit dibandingkan dengan di Jawa. Pernyataan tersebt tentunya merupakan sebuah indikator yang sangat mendukung sebuah asumsi bahwa perantauan Jawa di Kalimantan telah memiliki kualitas hidup yang lebih baik setelah bekerja di Kalimantan.

While everyone might agree that families should fulfill these four functions, conflict theorists point out that family members do not always care for one another in positive ways and that

(8)

to its members. Moreover, marriage and family systems are structured to value productive

work and devalue reproduc tive work, and to foster and maintain divisions and boundaries

(dalam buku Seeing Sociology, Joan Ferrante, 2011)”

Friedrich Engels (1884) distinguishes between productive and reproductive work. Productive

work involves the actual manufacture of food, clothing, and shelter and the tools necessary to

produce them. Reproductive work involves bearing children, caregiving, managing

households, and educating children. Both are work: bearing children and caregiving

activities are fundamental to the perpetuation of society However, reproductive work is disproportionately performed by women, whether or not pay is involved”

Melihat keluarga dari kacamata Sosiologi, dalam hal ini dari sudut pandang konflik, keluarga mempertahankan ketidaksetaraan terhadap anggota-anggotanya. Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam posisinya di keluarga yang seharusnya seimbang. Hal ini sangat terkait dengan bagaimana peran dari laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga.

Berbicara reproduktive work dan productive work sangat berkaitan dengan pemaknaan kerja dan kaitannya dengan gender. Stigma yang ada selama ini sebelum gender dikenal dan diketahui oleh banyak orang, perempuan selalu diasumsikan dengan domestic work, bahwa tugas perempuan dalam keluarga adalah mengurus rumah, merawat anak, dan sebagainya. Sedangkan seorang laki-laki bertugas untuk mencari nafkah. Domestic work yang dibebankan pada seorang perempuan menjadi sesuatu yang tak bernilai ekonomi, padahal jika kita analogikan pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang perempuan di dalam keluarga dengan seorang pembantu rumah tangga, betapa banyak uang yang ahrus dikeluarkan untuk membayar gaji pembantu rumah tangga. Inilah yang kemudian disebut dengan reproductive work dalam buku Seeing Sociology karya Joan Ferrante (2011). Kerja selalu didefinisikan dengan segala aktivitas yang mampu menghasilkan uang, oleh karenanya pekerjaan seorang ibu rumah tangga dianggap bukan sebuah pekerjaan.

(9)

lebih panjang danlebih banyak (double burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Mansour Fakih, 2012 : 13).

Konsep yang akan digunakan oleh penulis untuk mengkaji fenomena sosial yang ditemui di dusun Suak Mansi terkait dengan kehidupan keluarga Jawa di dusun tersebut adalah konsep double burden. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung Jawab kaum perempuan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti mengenai aktivitas sehari-hari dan kegiatan ekonomi masyarakat Jawa di dusun Suak Mansi, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki memang menimbulkan beban ganda bagi perempuan. Saat musim panen buah sawit tiba, suami istri akan pergi ke kebun kelapa sawit mereka untuk memanen sawitnya. Laki-laki bertugas untuk mengambil tandan sawit dari pohonnya dengan menggunakan dodos atau agrek. Sedangkan perempuan bertugas mengangkut tandan sawit yang telah jatuh dari pohon

tadi menuju tempat penimbangan sawit dengan menggunakan keranjang. Berdasarkan pengalaman peneliti yang ikut serta dalam kegiatan memanen buah sawit yang dilakukan oleh pasangan suami istri dua etnik, laki-laki keturunan Jawa dan perempuan keturunan Dayak yang kemudian berpindah agama menjadi Islam, perempuan mampu mengangkut sekitar tiga puluh kilo tandan sawit untuk sekali jalan menuju tempat penimbangan sawit yang biasanya berada di pinggir jalan yang bisa dilalui truk pengangkut sawit menuju pabrik. Begitu seterusnya, setiap kali panen, dan harus bolak-balik sampai lima kali lebih dalam sehari untuk mengangkut keranjang berisi tandan sawit ke tempat penimbangan tandan sawit.

(10)

“Tahun 57, aku iseh bujangan, bujangan neg Kalimantan pirang tahun, dapet orang sini, anak wong Jawa ga, gara-gara bapakku neg Kalimantan, nag gak, neg Jawa aku. Suruh

nusul neg Kalimantan, padahal aku duwe cewek ayu tenan, aku janji satu tahun balik, tapi aku ra balik”

“Tahun 1957, saya masih bujang, bujang di Kalimantan beberapa tahun, dapat orang sini, anak orang Jawa juga, gara-gara bapak saya di Kalimantan, kalau tidak, saya di Jawa. Suruh menyusul ke Kalimantan, padahal saya punya pacar, sangat cantik, saya janji satu tahun kembali, tapi saya tidak kembali”, jelas mbah Pardi ketika ditanya bagaimana bisa sampai di Kalimantan. Sembari merebahkan diri di lantai masjid Suak Mansi setelah selesai sholat Jumat, dan secara kebetulan saya pun selesai sholat dhuhur di masjid juga, saya berbincang dengan mbah Pardi.

Tidak berbeda dengan dua informan sebelumnya, mbah Pardi bisa sampai di Kalimantan juga berawal dari ajakan sanak keluarga. Mbah Pardi adalah perantauan asal Yogyakarta. Setelah merasakan hidup sebagai penoreh selama beberapa tahun hingga perusahaan swasta asing masuk di dusun Suak Mansi dan mengubah kebun karet menjadi hamparan sawit, mbah Pardi memutuskan untuk tetap tinggal di dusun Suak Mansi dan tidak lagi kembali ke daerah asalnya, Yogyakarta. Mbah Pardi mengaku malu jika ia kembali ke kampung halaman, karena merasa belum cukup mapan dibandingkan dengan kawan-kawan dan sanak keluarga di kampung halaman yang telah berhasil lebih dulu. Padahal menurut penuturan dari informan lain, mbah Pardi adalah sosok perantau yang telah sukses, memiliki banyak kapling kelapa sawit dan kebun karet yang luas.

(11)

“Dulu kan dianggarkan pak Suharto, dibikinkan trans sini, yang dari Jawa sana kan disuruh kesini, kan pak suharto yang ngelaksanakan transmigrasi. Dikasih kapling tanah, rumah,

makanan, dicukupi, cuma akeh seg ndak kerasan. Mbah tukiyo merantau, modal sendiri,

merantau kesini kalau punya uang beli tanah untuk sawit kah untuk karet kah. Kalau

transmigrasi susah, kerjanya terikat, ndak enak”

“Dulu kan dianggarkan pak Suharto, dibuatkan trans disini, yang dari Jawa sana dipindahkan kesini, pak Suharto yang melaksanakan transmigrasi. Diberi kapling tanah, rumah, makanan dicukupi, cuma banyak yang tidak betah. Mbah Tukiyo (bapak dari mbah Marsinah) merantau, modal sendiri, merantau kesini kalau punya uang beli tanah untuk sawit atau untuk karet. Kalau transmigrasi susah, kerjanya terikat, tidak nyaman”, cerita mbah Marsinah, istri kedua mbah Tugiran. Mbah Marsinah adalah turunan darah Jawa yang lahir di tanah Dayak yang kemudian mendapatkan suami orang asal Jawa pula.

Mengapa informan yang tidak lain adalah penduduk Jawa yang ada di dusun Suak Mansi, yang ditemui dan diwawancara oleh peneliti lebih memilih menjadi seorang perantauan daripada menjadi seorang transmigran adalah pertanyaan yang kemudian muncul di dalam benak peneliti. Dari sudut pandang ethic atau sudut pandang peneliti, jika memang informan adalah seorang dengan kondisi perekonomian yang tidak mapan, dengan kata lain kemudian disebut miskin, menjadi transmigran adalah pilihan yang baik dan rasional untuk diambil. Menjadi transmigran tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk bisa sampai di daerah tujuan dan tidak perlu pula memikirkan akan tinggal dimana setelah sampai di dareah tujuan, akan bekerja apa dan dimana, berapa modal yang harus dikeluarkan, dan segala biaya yang diperlukan untuk memulai hidup baru di tanah orang. Berbeda sekali jika memutuskan pergi ke tanah orang sebagai seorang perantauan, kita harus memikirkan sendiri segala yang diperlukan untuk bisa sampai di daerah tujuan perantauan. Peneliti kemudian menemukan Jawaban atar pertanyaan tersebut dari sudut pandang emic atau sudut pandang informan. Bahwa transmigrasi adalah program pemerintah dan pelaku transmigrasi harus patuh dan taat terhadap peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui dinas terkait atau diistilahkan oleh informan dengan terikat. Keterikatan dengan pemerintah dirasa akan membatasi diri dan menyusahkan.

(12)

sebagai aset dan tabungan. Setelah dirasa memiliki banyak aset di Kalimantan mereka kembali ke kampung halaman, dan aset yang dimiliki di Kalimantan diurus oleh orang yang dipercaya. Kembali ke kampung halaman sebagai jutawan dengan masih memiliki banyak kekayaan di tanah perantauan.

Rasanya Hidup di Tanah Borneo

“Disini penghasilan gampang, barang-barang mahal. Apalagi kalau ndak tau perincian penghasilan sekilan pengeluaran sekian, perhitungan harus kuat, kita makan itu harus

seadanya, lauk sak anane. Sekarang sama dulu begitu, sama ja, karena dulu kan di Jawa

makan nasi sehari satu kali, satu pinggan udah dibagi-bagi, di Jawa itu kalau pagi makan

growol, tapi kalau semarang lumayan. Nasinya bukan keras macam sini. Lecak-lecak, itu

udah dibagi-bagi, sekali disini makan seenaknya. Ya kalau cuma membesarkan perut ndak

mau perhitungan, entek alas entek omah, paribasane wong Jawa, nggo sangu ngibadah ora

eneg, sibuk, ibadah mana, nyari uang mana, kalau perincian kan, makan sekian, nabung sekian, jelas jadinya”

“Disini penghasilan mudah, barang-barang mahak. Apalagi kalau tidak tahu perincian, penghasilan sekian pengeluaran sekian, perhitungan harus kuat, kita makan itu harus seadanya, lauk apa adanya. Sekarang sama dulu begitu, sama saja, karena dulu kalau di Jawa makan nasi sehari satu kali, satu pinggan sudah dibagi-bagi, di Jawa itu kalau pagi makan growol, tapi kalau Semarang (jaman dulu) lumayan. Nasinya bukan keras seperti disini. Lecak-lecak, itu sudah dibagi-bagi, sekali disini makan seenaknya. Ya kalau cuam membesarkan perut tidak mau perhitungan, habis hutan habis rumah, kata peribahasa orang Jawa, buat bekal ibadah tidak ada, sibuk, ibadah mana, mencari uang mana. Kalau perincian, makan sekian, nabung sekian, jelas jadinya”, cerita mbah Tugiran dengan dialek campuran bahasa Dayak dan bahasa Jawa.

(13)

“Sini serba mahal. Sekarang sih udah agak enak bah, ndak kayak dulu. Hujan-hujan noreh, saking kepingin urip penak kayak wong, beli apa-apa tercapai. Nabung terus, dari anak SD

sampai kuliah nabung, ndak pernah istilahnya utang”

“Disini serba mahal. Sekarang sudah agak enak, tidak seperti dulu. Meskipun hujan tetap noreh, sangat ingin hidup enak seperti orang lain, semua keinginan tercapai, apapun yang

ingin dibeli bisa terbeli. Nabung terus, dari anak SD sampai kuliah, menabung, tidak pernah istilahnya hutang”, cerita mbah Marsinah dengan sangat semangatnya ketika saya bertanya tentang bagaimana rasanya hidup di dusun Suak Mansi.

Hal serupa juga diungkapkan oleh informan lain, yaitu mbah Marsinah, bahwa mengumpulkan uang dari bekerja sebagai penoreh dan petani kelapa sawit di Kalimantan yang giat dalam bekerja adalah mudah. Namun keadaan dan kenyataan tersebut seimbang dengan mahalnya harga barang kebutuhan. Daging ayam yang bisa diperoleh dengan harga dua puluh ribu jika membeli di pasar Meliau, kita harus mengeluarkan dua kali lipat harga tersebut jika kita membeli daging ayam tersebut dari penjual sayur keliling. Tentunya harga tersebut sangatlah rasional mengingat uang bahan bakar yang harus dikeluarkan oleh penjual sayur keliling juga tak sedikit. Mayoritas penjual sayur keliling ini adalah orang asli Jawa.

Pendidikan bagi anak juga merupakan hal yang penting bagi keluarga mbah Marsinah. Kesadaran akan pentingnya pendidikan masih tinggi. Pendidikan dirasa penting agar nantinya anak-anak mereka memperoleh pekerjaan yang layak dan kesuksesan. Mereka berharap agar anaknya tidak menjadi petani seperti orang tuanya.

“Yang penting ada tahu tempe kerupuk peyek, mbah ndak rewel makannya. Tiap hari noreh, sawit kan baru-baru ini, sekitar lima belas, sepuluh tahun sawit baru ada, jaman di PTP 81,

Suak Mansi 92. Tabungan noreh karet buat beli kebun sawit. Kita kepengin apa harus nekat, niat. Sekarang udah tua, tenaga sudah kurang””

(14)

ditunjukkan oleh pernyataan mbah Marsinah bahwa mereka setiap hari bekerja, noreh sawit. Uang hasil noreh ditabung dan kemudian digunakan untuk membeli kebun sawit milik warga sekitar atau transmigran yang tidak betah hidup di Kalimantan dan memilih menjual kebun sawitnya untuk kembali ke kampung asal. Beberapa tahun bekerja dengan sangat keras untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, mbah Tugiran bisa dikategorikan sebagai seorang perantau yang sukses, karena mbah Tugiran telah memiliki banyak kebun kelapa sawit dan kebun karet yang luas. Mbah Tugiran menuturkan telah memiliki delapan kapling kebun sawit yang diperolehnya dari membeli kebun sawit milik orang lain, dan juga dua puluh hektar kebun karet yang memperkerjakan penduduk asli untuk mengambil getah karetnya.

“Suak mansi banyak orang pendatang daripada penduduke. Orang yang pertama disini siapa namanya bah, lupa saya bah. Kalau bapak saya tahu, udah empat puluh tahunan di

Kalimantan, sekarang di Meliau, udah ndak pernah kesini, sudah tua. Di Suak Mansi

perantauan semua. Orang trans yang ndak kerasan pada balik, kaplingnya dijual siapa yang

mau beli, pemerintah udah lepas tangan ndak ngurusi lagi, Suak Mansi ndak ada trans, cuma mbah Muri ja, itu pun pindahan dari trans Sekadau”

“Suak Mansi banyak pendatang daripada penduduk aslinya. Orang yang pertama disini, saya lupa namanya. Kalau bapak saya tahu soal hal itu, sudah empat puluh tahun di Kalimantan, sekarang bapak saya di Meliau, sudah tidak pernah kesini, sudah tua. Di Suak Mansi perantauan semua. Orang trans yang tidak betah, semuanya kembali ke kampung asal, kapling sawitnya dijual kepada siapa saja yang mau membeli, pemerintah sudah lepas tangan, tidak mengurusi lagi, Suak Mansi tidak ada orang transmigrasi, cuma mbah Muri saja, itu pun pindahan dari trans Sekadau”,cerita mbah Marsinah dengan dialek Dayak nya. Pernyataan mbah Marsinah tersebut bukan berarti bahwa penduduk Jawa adalah kelompok mayoritas di dusun Suak Mansi. Dari total jumlah penduduk dusun Suak Mansi sebanyak empat ratus delapan jiwa dengan seratus dua puluh satu kepala keluarga, kurang lebih hanya ada belasan kepala keluarga asal Jawa. Namun karena terjadi pernikahan antara penduduk asli atau penduduk Dayak dengan penduduk pendatang atau penduduk Jawa, secara sepintas, orang Jawa banyak terdapat di dusun Suak Mansi ini.

Sosiolog Louis Wirth (1945) dalam Henslin mendefinisikan kelompok minoritas (minority group) sebagai orang-orang yang dipilh untuk diperlakukan tidak setara dan yag menganggap

(15)

dominan, yang memperlakukan merekasecara tidak adil, dan mereka cenderung menikah dengan anggota kelompok mereka sendiri (Wagley dan Harris 1958). Kondisi tersebut cenderung menciptakan suatu ikatan identitas bersama di kalangan kamu minoritas (suatu perasaan “kekitaan”). Dalam banyak kasus mereka pun merasa menjalani takdir yang sama (Chandra 1993b).

Berdasarkan pandangan penulis, orang Jawa di dusun Suak Mansi secara kuantitas masih termasuk dalam kategori minoritas. Namun, keminoritasan ini tidak menjadi hal yang membuat orang Jawa diperlakukan oleh penduduk asli atau etnik Dayak dengan perlakuan diskrimansi. Orang Jawa atau penduduk pendatang di dusun Suak Mansi membuat mereka tergolong menjadi kelompok minoritas adalah melalui perpindahan geografis atau merantau yang mereka lakukan. Pada kenyataanya, penduduk asli dan penduduk pendatang hidup rukun dan sudah merasa seperti sebuah keluarga besar. Hidup rukun tersebut salah satunya ditunjukkan ketika salah satu dari warga dusun Suak Mansi, baik itu penduduk asli maupun penduduk pendatang mengadakan pesta perkawinan. Jika penduduk asli yang mengadakan pesta perkawinan, maka mereka akan memasak di dua tempat. Satu tempat yaitu di rumah sendiri untuk memasak makanan yag akan disajikan untuk mereka yang beragama non Islam, seperti masakan babi dan minuman arak. Satu tempat lagi adalah untuk memasak makanan yang akan disajikan untuk mereka yang beragama Islam, yang tidak lain adalah penduduk pendatang asal Jawa. Hal seperti ini menggmbarkan bagaimana tingginya penghargaan akan perbedaan, dalam hal ini perbedaan keyakinan. Bentuk lain kerukunan masyarakat dusun Suak Mansi yang bisa dikatakan multikultural adalah adanya representasi dalam sistem kepemimpinan. Wilayah dusun Suak Mansi yang terbagi ke dalam tiga rukun tentangga, salah satu ketua rukun tetangga adalah orang Jawa. Kegiatan-kegiatan gotong royong, seperti memperbaiki jembatan dilakukan bersama-sama tanpa memandang etnik, ras, usia, penghasilan, pendidikan, status pernikahan, agama, dan politik.

Karet, Sawit, dan Sosial Ekonomi

“Jalan sini masih jalan air, tidak ada jalan darat, pakai sampan kecil. Biasa kami naik mobil bawa getah, ke Boyan, ke Meliau. Kalau air pasang air surut, yang susah kalau air surut,

kandas airmya, narik kapal sampai berhari-hari, bermalam sampai ke Boyan, biasa ke

Boyan membawa anak buah, dari sini dihanyut ke Melawi, pulangnya membawa belanjaan.

Kalau sekarang sudah nyaman, pakai motor bisa. Kalau dulu, setidaknya harus bermalam

(16)

1992, yang buat dari perusahaan, dia mau masuk perusahaan harus membuat jalan,

membuat jalan pun kena tanah kita, tidak mau ganti rugi, karena yang untung kan kita di

daerah, mereka nyari keuntungan sawitnya. Rugi ya rugi, kalau lima meter panjang sepuluh

meter udah berapa. Sekarang ke Meliau pulang balik pun tidak sampai lima jam, kalau dulu

dua hari pulang balik baru sampai. Ada proyek masuk sini, ada nyamannya, kalau berjalan

sampai kesana udah tidak pakai sampan, kita mau beli mobil pun sudah bisa. Kalau sakitnya

kita kan, tanah kalau nyerahkan tanah tujuh hektar cuma dapat dua hektar, dua hektar kebun

inti, dua hektar untuk orang trans dari Jawa. Jadi orang yang pribumi sini rugi. Tanah udah

kurang masih suruh bayar lagi,mengangsur kreditnya bibit sawit belasan juta. Maka disini banyak yang ndak mau bayar kredit”

(17)

“Dulu datang dari Jawa masih kerja berat, karena sawit dulu belum produksi, masih awal sawit, belum berhasil. Sekali berhasil masih berapa dulu, sekilo masih seratus, dua ratus

rupiah. Tahun 2001 masih paling-paling seratus, dua ratus. Udah buahnya kecil, murah,

kalau sekarang harganya mahal tapi kan sesuai dengan kerjanya. Kerjanya kalau ngegrek,

manen sawit, resiko besar, coba kalau pas ngegrek jatuh kena sawit, mati banyak kejadian,

disini masih ndak ada, yang banyak di PTP”

“Dulu datang dari Jawa kerja berat, karena sawit dulu belum produksi, sawit masih awal, belum berhasil. Sekali berhasil dulu harganya masih seberapa, satu kilo masih seratus atau dua ratus rupiah. Tahun 2011 paling-paling masih seratus, dua ratus. Sudah buahnya kecil, murah, kalau sekarang harganya mahal tapi itu sesuai dengan kerjanya. Kerjanya kalau ngagrek, memanen sawit, resiko besar, ketika ngagrek, tandan sawit jatuh kena kita, banyak kejadian yang meninggal, disini (Suak Mansi) masih tidak ada, yang banyak di PTP”, cerita mbah Tugiran bagaimana hidup sebagai seorang petani kelapa sawit. Meskipun perkebunan kelapa sawit dan getah karet menghasilkan banyak lembaran rupiah, resiko yang dihadapi pun juga besar. Membutuhkan keahlian tersendiri untuk ngagrek dan ndodos. Salah sedikit, tandan buah sawit bisa jatuh mengenai kita, dan nyawa menjadi taruhan. Salah menggunakan gancu pun juga bisa berbahaya, jika kita tidak tepat meletakkan gancu di tandan sawit yang akan kita angkat, tandan sawit akan mengenai kaki kita, dan tentunya itu menimbulkan rasa sakit dan membekaskan luka yang tidak bisa sembuh dalam waktu yang singkat.

“Jadi petani sawit susah, susah karena harga sawit ditentukan perusahaan, manut ja, mau turun naik, paling tinggi 1700, pas tahun 2010 turun sampai 400, sekarang seribu lebih,

panen terus, begitu ada truk angkut. Kalau hujan kita pun sulit, jalan licin, jadi truk sulit ngangkut sawit ke pabrik, kalau sudah lama tidak diangkut, sawit busuk”

(18)

Cerita pak Sutarmin tersebut menunjukkan bagaimana kehidupan petani sawit yang tidak selalu nyaman karena mampu menghasilkan jutaan rupiah tiap bulannya. Perekonomian perkebunan yang sangat bergantung dengan cuaca menjadi suatu kendala bagi petani kelapa sawit. Hujan menjadi kendala ketika masa panen sawit tiba. Satu-satunya akses jalan menuju pabrik adalah jalan tanah yang licin jika hujan turun. Harga sawit pun petani kelapa sawit tidak memiliki andil untuk ikut serta dalam penentuannya. Petani kelapa sawit hanya tahu bahwa perusahaan menetapkan harga sekian dan petani harus menerima itu. Harga kelapa sawit per kilonya sangat mudah turun, bisa turun harganya hingga ratusan rupiah, namun sangat sulit dan lama sekali harga kelapa sawit naik, naik hanya belasan rupiah bahkan satuan rupiah.

Simpulan

(19)

Daftar Pustaka

Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender and Transformasi Sosial.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Ferrante, Joan. 2011. Seeing Sociology : An Introduction.Northern Kentucky University.

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas peneliti yang juga bertindak sebagai guru selama siswa berdiskusi adalah memberikan skor kepada setiap siswa antara lain jumlah kupon yang digunakan

Simulasi model adalah sistem yang merekayasa model dinamika suatu masalah dengan suatu input sehingga memperoleh output berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya.. Simulasi

Dari hasil analisa pada studi banding dan literatur, pelaku utama adalah pemakai bangunan pusat perbelanjaan merupakan kelompok aktivitas yang di dalamnya

Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap keluhan nyeri pinggang sampai umur 60 tahun, namun pada kenyataannya jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi

 bumil yang yang mendapatkan mendapatkan makanan makanan tambahan tambahan tersebut tersebut Papan Papan Pengumuman Pengumuman Petugas Gizi Petugas Gizi 7 7 26 26 April April

Pengisian evaluasi dalam rekam medis adalah hasil dari evaluasi perencanaan dan implementasi yang sudah dilakukan oleh masing-masing profesi dan ditanyakan

Prevalensi kasus polip serviks berkisar antara 2 hingga 5% wanita.2 Pada wanita premenopause (di atas usia 20 tahun) dan telah memiliki setidaknya satu anak,

b) Rekomendasi Working Group untuk mengundang Negara anggota IMO dan organisasi Internasional untuk memasukkan usulan terkait konsep dari verifikasi sistematik