BAB II
TINJAUAN TEORITIS 2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah 2.1.1. Otonomi Daerah
Pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001
telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan
fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang
sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. UU No.22 tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah dan direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 telah
melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan
otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota.
Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan
masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan
pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan
menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara
pusat dan daerah.
Lahirnya Undang-undang ini juga akan memberikan implikasi positif bagi
dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat
“given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat,
namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam
merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan
sosio-kultural masyarakat setempat. Undang-undang ini juga membuka jalan bagi
pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi,
pemerintahan kabupaten/ kota memiliki kewenangan yang memadai untuk
mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi
rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat didisain
dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah
saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya.
Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang
sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung
jawab penuh.
2.1.1.1.Pengertian Otonomi Daerah
Secara etimologis, pengertian otonomi daerah menurut Situmorang (1993)
dalam Shinta (2009) berasal dari bahasa Latin, yaitu “autos” yang berarti sendiri
dan “nomos” yang berarti aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi daerah
adalah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam bahasa Inggris,
otonomi berasal dari kata “autonomy”, dimana “auto” berarti sendiri dan “nomy”
sama artinya dengan “nomos” yang berarti aturan atau Undang-undang. Jadi
“autonomy” adalah mengatur diri sendiri. Sementara itu, pengertian lain tentang
otonomi ialah sebagai hak mengatur dan memerintah diri sendiri atas insiatif dan
kemauan sendiri. Hak yang diperoleh berasal dari pemerintah pusat.
Lebih lanjut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan otonomi daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri
dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu menurut UU No.22
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Setelah direvisi kembali UU No.22 Tahun 1999 berubah
menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
perundang-undangan. Dari berbagai rumusan otonomi daerah diatas maka
otonomi daerah adalah kewenangan dan kemandirian daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
2.1.1.2.Prinsip Otonomi Daerah Menurut UU No.32 Tahun 2004
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa
untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan wewenang,
tugas dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya
untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan bagian utam dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain
itu penyelengaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama
antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus
mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya
harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan
negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang
hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian
pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.
Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise,
pengendalian koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah
wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan
dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan
2.1.1.3.Pemekaran Daerah sebagai Implikasi Otonomi Daerah
Munculnya Undang-undang otonomi daerah merupakan salah satu usaha
untuk di satu pihak “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk
menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, isi dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut
lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya
sendiri-sendiri
Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 telah menggeser paradigma
desentralisasi administratif, yang dianut pada masa orde baru, menjadi
desentralisasi politik pasca UU No.22 Tahun 1999. Pemekaran wilayah/ daerah
atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan
konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik oleh pemerintah
pusat di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk
daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu
daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan
anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta
keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan pemekaran daerah pasca
ditetapkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai
perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah
berdasar UU No.5 Tahun 1974 (orde baru).
Pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah pada orde baru, bersifat elitis
dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan dan implementasi
dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan
menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.
Pada orde baru, kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis.
Namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan
infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik) sebelum pembentukan daerah
otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi
Daerah Otonomi Baru. Dalam masa transisi, pembentukan daerah baru ini lebih
menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, seperti
penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dan
sebagainya. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian
penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah
kemudian dibentuk DOB.
Di masa era reformasi sekarang, proses-proses penyiapan teknokratis
tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak
ada, tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah
untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran
daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini,
kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik
2.1.2. Pemekaran Wilayah
2.1.2.1.Pengertian, Sebab-sebab dan Tujuan
Diatas telah diuraikan mengenai otonomi daerah. Bangsa Indonesia
melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya UU No.22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu berbagai pemikiran
inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dalam rangka peningkatan
pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan secara efektif.
Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah
saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang
bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat
lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang
lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat
sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik
sebagai warga negara.
Menurut UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, wilayah adalah ruang
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek admninistratif dan atau aspek fungsional. Menurut
Tarigan (2005) dalam Malik (2006), bahwa wilayah dapat dibedakan berdasarkan
cara pandang terkait dengan kondisinya atau berdasarkan fungsinya, yaitu :
1. Wilayah subjektif, yakni wilayah merupakan alat untuk mengidentifikasi suatu
lokasi yang berdasarkan suatu lokasi dengan kriteria tertentu dan tujuan
2. Wilayah objektif, maksudnya wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan
dari ciri-ciri atau gejala alam di setiap wilayah.
Blair (1991) dalam Malik (2006) menyebutkan bahwa dalam menganalisis
wilayah dikenal 3 tipe, yakni :
1. Wilayah fungsional, yaitu adanya saling interaksi antara komponen-komponen
didalam dan diluar wilayahnya. Wujud wilayah sering disebut wilayah nodal
yang didasari oleh susunan dari suatu hubungan di antara simpul-simpul
perdagangan.
2. Wilayah homogen, artinya adanya relatif kemiripan dalam suatu wilayah.
3. Wilayah administratif, artinya wilayah ini dibentuk untuk kepentingan
wilayah pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak-pihak
lain.
Sementara itu, tujuan wilayah menurut Sihotang (1997) dalam Malik
(2006) adalah sebagai suatu usaha untuk menentukan batas-batas daerah yang
biasanya lebih besar daripada daerah struktur pemerintahan lokal, dengan maksud
lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah beserta perencanaan
lokal dan nasionalnya.
Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian
wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan
dan mempercepat pembangunan. Terdapat beberapa alasan mengapa pemekaran
wilayah sekarang menjadi salah satu pendekatan yang cukup diminati dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan
1. Keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam
wilayah kewenangan yang terbatas/terukur. Pendekatan pelayanan melalui
pemerintahan daerah yang baru diasumsikan akan lebih dapat memberikan
pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan pelayanan melalui
pemerintahan daerah induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih
luas (Hermanislame 2005 dalam Arif 2008). Melalui proses perencanaan
pembangunan daerah pada skala yang lebih terbatas, maka pelayanan publik
sesuai kebutuhan lokal akan lebih tersedia.
2. Mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui perbaikan
kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal
(Hermanislamet 2005 dalam Arif 2008). Dengan dikembangkannya daerah
baru yang otonom, maka akan memberikan peluang untuk menggali berbagai
potensi ekonomi daerah baru yang selama ini tidak tergali.
3. Penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi
kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Kenyataan politik seperti ini
juga mendapat dukungan yang besar dari masyarakat sipil dan dunia usaha,
karena berbagai peluang ekonomi baru baik secara formal maupun informal
menjadi lebih tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah.
Disisi lain, menurut Syafrizal (2008) dalam Ventauli (2009), ada beberapa
faktor yang dapat memicu terjadinya pemekaran wilayah, antara lain :
1. Perbedaan agama
Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan
keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari suatu negara/ daerah yang
telah ada untuk menjadi negara/ daerah baru.
2. Perbedaan etnis dan budaya
Sama halnya dengan perbedaan agama, perbedaan etnis dan budaya juga
merupakan unsur penting lainnya yang dapat memicu terjadinya keinginan
untuk melakukan pemekaran wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa
masyarakat merasa kurang nyaman bila hidup dalam suatu masyarakat dengan
etnis, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda. Bila kesatuan budaya ini
terganggu karena kehadiran warga masyarakat lain dengan budaya yang
berbeda, maka seringkali terjadi ketegangan bahkan konflik sosial dalam
masyarakat tersebut.
3. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah
Aspek berikutnya yang cenderung menjadi pemicu terjadinya pemekaran
wilayah adalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Termasuk
juga ke dalam aspek ini adalah ketimpangan dalam ketersediaan sumber daya
alam bernilai tinggi, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang
selanjutnya akan mendorong terjadinya ketimpangan kemakmuran antar
daerah. Ketimpangan ini selanjutnya mendorong terjadinya kecemburuan
sosial dan merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat sehinnga akhirnya
muncul keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah. Indikasi terjadinya
ketimpangan pembangunan antardaerah dapat diketahui dengan menghitung
data PDRB perkapita dan jumlah penduduk sebagai indikator utama melalui
4. Luas daerah
Luas daerah dapat pula memicu timbulnya keinginan untuk melakukan
pemekaran wilayah. Alasannya adalah karena wilayah yang besar akan
cenderung menyebabkan pelayanan public tidak dapat dilakukan secara efektif
dan merata ke seluruh pelosok daerah. Sementara tugas pemerintah daerah
adalah memberikan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat di
daerahnya. Dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, maka
salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemekaran
daerah.
Pemekaran wilayah diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah.
Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:
1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat
2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi
3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah
4. Percepatan pengelolaan potensi daerah
5. Peningkatan keamanan dan ketertiban
6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
2.1.2.2.Konsep Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan
pertumbuhan dan ketimpangan antar wilayah. Dalam konteks nasional, adanya
pembangunan antar wilayah menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembangunan
bahwa pengembangan wilayah dimungkinkan karena adanya modal yang
bertumpu pada pengembangan sumberdaya manusia dan sumber daya alam yang
berlangasung secara kontinyu sehingga menimbulkan arus barang.
Dalam konteks pengembangan wilayah, pendekatan berdasarkan konsep
ekonomi paling banyak digunakan. Tujuan dari konsep ini adalah pembangunan
pada sektor-sektor utama, pada lokasi-lokasi tertentu, sehingga menyebabkan
kemajuan keseluruh wilayah. Ada beberapa konsep pengembangan wilayah,
antara lain :
1. Mendorong dekonsentrasi wilayah, dimana konsep ini bertujuan untuk
menekan tingkat konsentrasi wilayah dan untuk membentuk struktur ruang
yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan.
2. Membangkitkan kembali daerah terbelakang sebagai daerah yang memiliki
karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapata perkapita yang
rendah, dan rendahnya tingkat fasilitas pelayanan masyarakat.
3. Memodifikasi sistem kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju
pusat-pusat pertumbuhan, yakni dengan adanya pengaturan sistem perkotaan
maka telah memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik. Ini diharapkan akan
dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.
4. Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah. Hal ini muncul akibat kurang
memuaskannya struktur ekonomi inter-regional yang biasanya dengan
mempertimbangkan tingkat kesejahteraan serta yang berhubungan dengan
2.1.2.3.Konsep Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah kabupaten/kota menjadi beberapa kabupaten/kota baru
pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan
pada masyarakat. Dari segi pengembangan wilayah, calon kabupaten/kota yang
baru yang akan dibentuk perlu memiliki basis sumber daya yang seimbang antara
satu dengan yang lain. Hal ini perlu diupayakan agar tidak timbul disparitas yang
mencolok dimasa mendatang. Selanjutnya dalam suatu usaha pemekaran wilayah
akan diciptakan ruang publik baru yang merupakan kebutuhan kolektif semua
warga wilayah baru. Ruang publik baru ini akan mempengaruhi aktivitas
seseorang atau masyarakat sehingga merasa diuntungkan karena pelayanannya
yang lebih maksimal.
Akhirnya pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, peningkatan sumber daya secara berkelanjutan,
meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan antar sektor,
memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan
kualitas hidup.
2.1.2.4.Dasar Hukum Pemekaran Wilayah
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran
suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa,
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut:
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”
Secara lebih khusus, UU No.32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai
pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan
Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam
ruang lingkup pembentukan daerah. UU No.32 Tahun 2004 menentukan bahwa
pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang
sama menyebutkan, “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas,
ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan
penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian,
pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada
ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat
berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan
atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4)
menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas
minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”.
Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila
syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD
kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah propinsi
bersangkutan, persetujuan DPRD propinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi
dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif
yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta
rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi
faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di
bawah ini, antara lain :
1. Kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha
perekonomian yang berlangsung disuatu daerah propinsi, kabupaten/kota,
yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan
penerimaan daerah sendiri.
2. Potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat
dimanfaatkan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga
keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana
transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan.
3. Sosial budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan
pola budaya masyarakat, kondisi sosial masyarakat yang dapat diukur dari
tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana
4. Sosial politik, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang
dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi
kemasyarakatan.
5. Kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah.
6. Luas daerah, merupakan luas tertentu suatu daerah.
7. Pertahanan dan keamanan
8. Faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Faktor-faktor lain yang dimasud harus meliputi paling sedikit 5
kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan
untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi
calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
2.1.2.5.Prosedur dalam Pemekaran Wilayah
Inisiatif pemekaran wilayah pada dasarnya berangkat dari adanya peluang
hukum bagi masyarakat dan daerah untuk melakukan pemekaran/ penggabungan
wilayah sebagaimana tertuang dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
Dari sisi pemerintah pusat, proses pembahasan pemekaran wilayah yang
datang dari berbagai daerah melalui dua tahapan besar yaitu proses teknokratis
(kajian kelayakan teknis dan administratif), serta proses politik karena selain
harus memenuhi persyaratan teknokratis yang telah diatur dalam UU dan
Peraturan Pemerintah, proposal pemekaran harus didukung secara politis oleh
DPR. Berikut akan digambarkan tentang skema proses pengusulan pemekaran di
Gambar 2.1. Proses Pengusulan Wilayah Pemekaran di Tingkat Daerah
Dari gambar diatas dijelaskan bahwa persiapan dalam pemekaran wilayah
dimulai dari wilayah yang mengusulkan. Usulan-usulan tersebut berbentuk
proposal yang sudah memiliki pertimbangan-pertimbangan di dalamnya dan
kajian-kajian ilmiah, sehingga ketika proposal rencana pemekaran wilayah
tersebut diajukan ke DPRD kabupaten/ kota dan kemudian ke propinsi, dapat
dipertanggungjawabkan dengan berlandaskan peraturan-peraturan yang berlaku.
Dalam rangka memahami proses kebijakan pemekaran, perlu digambarkan
bagaimana pemerintah nasional meloloskan usulan pemekaran daerah otonom.
Prosedur pembahasan ditingkat pusat untuk “meluluskan atau tidak meluluskan” Persentasi
proposal pembentukan daerah otonom baru secara teknokratis dapat digambarkan
Gambar 2.2. Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/ Kota
Gambar diatas menjelaskan tentang tahapan dan prosedur pembentukan
daerah kabupaten/kota menurut pasal 16 PP No.129 Tahun 2000, yang terdiri dari:
1. Ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang
bersangkutan.
2. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah.
3. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada Pemerintah cq.
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan
dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota
serta persetujuan propinsi, yang dituangkan dalam keputusan DPRD.
4. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk
melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi
kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Berdasarkan rekomendasi pada
huruf d, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan
para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan
Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk
melakukan penelitian lebih lanjut di lapangan.
5. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan
pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan otonomi Daerah.
Usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah.
6. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan
Undang-Undang Pembentukan Daerah kepada Presiden.
7. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang
pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat
2.1.2.6.Peran Pihak-pihak di Daerah dalam Pemekaran Wilayah 1. Daerah Persiapan
Dalam melakukan pemekaran wilayah, maka pembentukan daerah
persiapan menjadi penting dalam upaya penataan daerah. Seiring dengan hal
tersebut, maka peran daerah persiapan tidak saja mencakup persoalan
administratif semata, tetapi juga perlu mencakup beberapa aspek lain, antara lain:
a. Mempersiapkan persyaratan fisik yang berkaitan dengan penataan ruang
maupun batas wilayah. Disamping itu juga terumuskannya dokumen rencana
tata ruang lokasi calon Ibukota daerah otonom baru maupun calon Ibukota
Daerah Induk.
b. Mempersiapkan persyaratan kelembagaan dan organisasi yang berkaitan
dengan kebutuhan kantor, identifikasi aset, fungsi staf, struktur organisasi,
maupun proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini penting dilakukan
dalam masa persiapan agar proses pemekaran wilayah menjadi kebutuhan
bersama antara Daerah Induk dengan Calon Daerah Otonomi Baru.
Dengan demikian konflik tentang pengalihan aset-pun sudah dapat dihindari
sejak awal.
c. Mempersiapkan persyaratan teknis administratif yang berkaitan dengan
kerjasama dengan Daerah Induk dan pihak ketiga yang akan melakukan
pengkajian terhadap kelayakan pembentukan daerah otonomi baru atau
pemekaran wilayah. Berkaiatan dengan daerah persiapan ini, maka perlu ada
persyaratan-persyaratan khusus, seperti daerah yang sudah memenuhi standar
yang ditetapkan melalui rekomendasi dari DPOD atau Permendagri yang
selanjutnya mempersiapkan diri selama minimal 2 (dua) tahun sebagai masa
persiapan sebelum disyahkan sebagai daerah otonom baru yang ditetapkan
dengan Undang-undang.
2. Peran Masyarakat
Suara dan peran masyarakat menjadi syarat utama untuk keberlanjutan
suatu proses pemekaran wilayah. Hal ini sesuai dengan hakekat pemekaran
wilayah yang berorientasi pada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, peran masyarakat dituangkan secara jelas dalam
peraturan perundang-undangan dalam bentuk referendum untuk menentukan
pilihan perlu atau tidaknya dilakukan pemekaran wilayah.
Dalam kaitan dengan hal ini, lembaga-lembaga atau organisasi masyarakat
juga harus berperan dalam memberdayakan masyarakat supaya ada pengertian
yang baik tentang keuntungan dan kelemahan pemekaran wilayah maupun
pentingnya pelaksanaan referendum. Dengan demikian, dalam tahap awal atau
masa persiapan, kegiatan yang harus dilaksanakan pertama kali adalah melakukan
penjaringan aspirasi masyarakat. Meskipun terdapat berbagai metode penjaringan
aspirasi seperti melalui quesioner, seminar atau lokakarya, namun dalam hal
pemekaran wilayah nampaknya referendum merupakan pendekatan yang paling
tepat.
3. Peran Daerah Induk
a. Memberikan rekomendasi persetujuan dan mendukung rencana pemekaran
wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat melalui referendum.
b. Melakukan hearing dengan dengan Daerah Persiapan
c. Memberikan persetujuan dan mengajukan permohonan kepada Gubernur dan
Mendagri untuk dapat mengabulkan rencana pemekaran wilayah
d. Menetapkan Liason Officer sebagai wakil Daerah Induk untuk melakukan
komunikasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait baik di tingkat daerah,
propinsi, maupun pemerintah pusat. Memfasilitasi kunjungan tim observasi
dari pemerintah pusat dan DPR RI.
e. Mengalokasikan anggaran bagi kegiatan pemekaran wilayah.
Peran DPRD dalam pemekaran wilayah ini yaitu:
a. Memberikan rekomendasi dan dukungan politik terhadap rencana pemekaran
wilayah.
b. Membentuk Pansus (Panitia Khusus) yang akan melakukan pembahasan
tentang rencana pemekaran wilayah
c. Mengeluarkan surat keputusan persetujuan dan dukungan terhadap pemekaran
wilayah, serta keputusan tentang calon Ibu Kota dan dukungan pembiayaan
dalam masa persiapan sampai pada proses pembentukan DPRD dan pemilihan
Kepala Daerah.
d. Memberikan rekomendasi sekaligus permohonan kepada DPRD Propinsi
untuk dapat memberikan persetujuan terhadap rencana pemekaran wilayah.
4. Peran Propinsi
a. Memberikan rekomendasi dan persetujuan tentang pemekaran wilayah, serta
menindaklanjutinya dengan mengajukan permohonan persetujuan dari
Pemerintah Pusat.
b. Memfasilitasi serah terima asset antara daerah induk dengan daerah baru.
2.2. Pembangunan Ekonomi
2.2.1. Defenisi Pembangunan Ekonomi
Pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an, ketika banyak
diantara negara-negara Dunia Ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi sesuai target mereka, tetapi gagal memperbaiki taraf hidup
sebagian penduduknya sehingga hal ini menunjukkan adanya sesuatu yang salah
dalam mendefinisikan pembangunan yang dianut pada waktu itu. Gross National
Product (GNP) dianggap sebagai indikator tunggal atas terciptanya kemakmuran
dan kriteria kinerja pembangunan. Sehingga para ekonom dan perumus kebijakan
pada akhirnya mulai mempertimbangkan untuk mengubah strategi guna mengatasi
berbagai masalah mendesak, seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin
parah, ketimpangan distribusi yang mencolok dan tingkat penggangguran yang
terus naik. Pada dekade 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi.
Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari pembangunan ekonomi
bukan lagi meningkatkan pertumbuhan GNP setinggi-tingginya, melainkan
penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan
pendapatan dan penyediaan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian
Defenisi pembangunan ekonomi menurut Kuznets, Chenery (Ahmad
Mahyudi, 2004) adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat menyebabkan
perubahan-perubahan, terutama terjadi perubahan menurunnya tingkat
pertumbuhan penduduk dan perubahan dari struktur ekonomi, baik peranannya
terhadap pembentukan pendapatan nasional, maupun peranannya dalam
penyediaan lapangan kerja. Sukirno (2006) mengemukakan bahwa “pembangunan
ekonomi merupakan pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan”. Atinya,
ada tidaknya pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada satu tahun tertentu
tidak saja diukur dari kenaikan harga produksi barang dan jasa yang berlaku dari
tahun ke tahun, tetapi juga perlu diukur dari perubahan yang berlaku dalam
berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan,
perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam
infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran
rakyat.
Disisi lain, menurut Todaro & Smith (2003) dalam bukunya
“Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Edisi Kedelapan, bahwa
pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional
yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan
kemiskinan. Jadi, pada hakekatnya bahwa pembangunan itu harus mencerminkan
perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara
individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya, untuk
bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara
material maupun spiritual.
2.2.2. Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ialah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan serba sejahtera. Peningkatan
pembangunan diupayakan agar dapat dirasakan oleh masyarakat luas ataupun oleh
masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil atau terbatas (lokal).
Pelaksanaan pemekaran wilayah/ daerah juga mempengaruhi orientasi
kebijakan pembangunan ekonomi di daerah. Dalam otonomi daerah (asas
desentralisasi), campur tangan pusat terhadap pembangunan daerah semakin
berkurang dan daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola
pembangunan di daerahnya masing-masing, maka sistem perencanaan
pembangunan daerah yang semula lebih bersifat sektoral akan berubah menjadi
bersifat regional.
Pembangunan ekonomi daerah ialah suatu proses dimana pemerintah
mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dan swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi). Masalah
pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap
kebijakan yang di dasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan
menggunakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan dan sumber
Perencanaan pembangunan daerah yang disusun, lebih banyak
memperhatikan potensi dan karateristik khusus daerah. Sedangkan perencanaan
nasional lebih banyak bersifak makro dan hanya memberikan arah dan sasaran
umum agar pembangunan daerah dapat dikoordinasikan dengan baik dan efisien.
Perencanaaan pembangunan ekonomi daerah pertama-tama perlu
mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk
interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian, tidak ada strategi
pembangunan ekonomi daerah yang sama atau dapat berlaku untuk semua daerah.
Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah,
baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori
pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola
pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup
menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah
harus dapat menguasai dan menerapkan teori-teori pertumbuhan tersebut untuk
mengembangkan daerahnya. Keinginan yang kuat dari pemerintah daerah untuk
membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut
serta membentuk ekonomi daerah yang dicita-citakan.
2.3. Sosial Ekonomi Masyarakat
Masyarakat merupakan suatu kumpulan individu yang melakukan
interaksi, dimana setiap individu saling membutuhkan antara satu dengan yang
lainnya. Plato mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, yakni mahkluk
sosial, yang tidak akan hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia mempunyai suatu
sosialnya. Sebagai konsekuensinya maka manusia terseebut harus memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik primer (pokok), sekunder maupun tersier sehingga
dapat hidup dengan layak sesuai dengan harkatnya sebagai anggota masyarakat.
Selain dalam pemenuhan kebutuhannya, masyarakat sebagai suatu tipe
sistem sosial dapat dianalisa berdasarkant fungsi-fungsinya yang diperlukan,
yaitu:
1. Fungsi pemeliharaan pola
Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial
dengan sub-sistem kultural. Fungsi ini mempertahankan prinsip-prinsip
tertinggi dari masyarakat sambil menyediakan dasar dalam berperilaku
menuju realitas tertinggi.
2. Fungsi Integrasi
Mencakup koordinasi yang diperlukan antara-antara unit-unit yang menjadi
bagian dari suatu sistem sosial, khususnya berkaitan dengan kontribusi
unit-unit pada organisasi dan berfungsinya unit-unit-unit-unit terhadap keseluruhan sistem.
3. Fungsi pencapaian tujuan
Mengatur hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sitem
kepribadian. Fungsi ini tercermin dalam bentuk penyusunan skala prioritas
dari segala tujuan yang hendak dicapai dan penentuan bagaimana suatu sistem
sosial memobilisasi sumberdaya serta tenaga yang tersedia untuk mencapai
tujuan tersebut.
Menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan
sub-sitem organism tindakan dan dengan fisiko-organik. Secara umum fungsi ini
menyangkut kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan hidupnya. Dalam pelaksanaan fungsi ini, teknologi sangat penting
peranannya.
Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang mendasar
berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh. Selain faktor ekonomi, faktor
sosial terutama pendidikan dan jumlah anggota keluarga dapat juga
mempengaruhi pendapatan sesorang. Ketiak jumlah dalam satu keluarga
bertambah banyak, maka pemenuhan kebutuhan akan semakin banyak, sehingga
mendorong lebih gigih mencari nafkah untuk meningkatkan pendapatan.
Defenisi ilmu ekonomi sendiri yaitu ilmu sosial yang mempelajari cara
mengelola sumber daya ekonomi yang terbatas. Pengelolaan sumberdaya itu
menunjukkan manusia sebagai masyarakat ekonomi. Tugas masyarakat sebagai
masyarakat ekonomi menurut Robert (1994), yaitu:
1. Suatu masyarakat harus mengadakan satu sistem sosial untuk memproduksi
barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Masyarakat juga harus mengatur bagaimana pembagian produksi sehingga
dapat dihasilkan lebih banyak.
Dari pengertian ilmu ekonomi dan kedua tugas diatas menunjukkan bahwa faktor
ekonomi dan sosial berkaitan satu sama lain.
Status atau kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang
kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok dengan kelompok-kelompok
lainnya dalam kelompok yang lebih besar. Status sosial ialah sebagai tempat
secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti
lingkungan pergaulannya, dan hak-hak serta kewajibannya. (Soekanto, 1987:216).
Untuk melihat tingkatan status sosial ekonomi suatu masyarakat, maka
banyak faktor yang harus dilihat, baik dari pandangan sosial maupun pandangan
ekonomi. Karena didalam masyarakat pasti ada sesuatu yang dihargai atau
berharga/ berniali bagi masyarakat itu sendiri. Sesuatu yang dihargai itu akan
menjadi sebab timbulnya sistem yang berlapis-lapis dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Soemardjan (1964), ukuran yang dapat digunakan untuk
menggolongkan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan yaitu ukuran kekayaan,
ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan, ukuran ilmu pengetahuan (pendidikan).
Penulis dalam hal ini melihat kedudukan dan keberhasilan sosial ekonomi
masyarakat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Pertumbuhan
Ekonomi dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
2.3.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2.3.1.1.Definisi dan Pengukuran
Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini yaitu Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) dalam konteks nasional dan Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) dalam konteks regional. Ukuran pembangunan itu hanya
mampu memotret pembangunan ekonomi saja. Untuk itu dibutuhkan suatu
perkembangan ekonomi akan tetapi juga perkembangan aspek sosial dan
kesejahteraan manusia.
Pembangunan nasional menurut Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) yang kemudian dijabarkan kedalam Repelita adalah pembangunan yang
menganut konsep pembangunan manusia. Konsep pembangunan manusia
seutuhnya merupakan konsep yang menghendaki peningkatan kualitas hidup
penduduk secara spiritual. Bahkan secara eksplisit disebutkan bahwa
pembangunan sumber daya manusia yang seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan sumber daya manusia secar fisik dan mental mengandung makna
peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar
kesempatan untuk dapat berpartsisipasi dalam pembangunan yang berkelanjutan.
UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan
pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan
yang dimiliki oleh manusia. Dalam konsep tersebut manusia ditempatkan sebagai
tujuan akhir (the ultimated end), sedangkan upaya pembangunan dipandang
sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal
pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan,
pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut
mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Produktivitas
Penduduk harus dimampukan untuk meningkatkan produktivitas dan
Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan bagian dari
model pembangunan manusia.
2. Pemerataan
Penduduk harus memiliki kesempatan/peluang yang sama untuk mendapatkan
akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan social. Semua hambata yang
memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus,
sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan yang ada dan
berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas
hidup.
3. Kesinambungan
Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak hanya
untuk generasi-generasi yang akan datang. Semua sumber daya fisik, manusia,
dan lingkungan selalu diperbaharui.
4. Pemberdayaan
Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan
menentukan (bentuk/arah) kehidupan mereka, serta untuk berpartisipasi dan
mengambil manfaat dari proses pembangunan.
Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi, dan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran agregat dari dimensi
dasar pembangunan. Penghitungan IPM sebagai indikator pembangunan manusia
memiliki tujuan penting, diantaranya:
1. Membangun indikator yang mengukur dimensi dasar pembangunan manusia
2. Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana.
3. Membentuk satu indeks komposit daripada menggunakan sejumlah indeks
dasar.
4. Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan ekonomi.
Beberapa alasan mengapa IPM merupakan indikator yang cukup baik
sebagai ukuran pembangunan manusia, adalah:
1. IPM menerjemahkan secara sederhana konsep yang cukup kompleks kedalam
tiga dimensi dasar yang terukur.
2. IPM membantu dalam pergeseran paradigma pembangunan dari pembangunan
yang hanya terfokus pada ekonomi menjadi berfokus pada manusia.
3. IPM berfokus pada kapabilitas yang releven, baik untuk negara maju dan
berkembang, sehingga menjadikan indeks tersebut sebagai alat yang universal.
4. IPM menstimulasi diskusi mengenai pembangunan manusia.
5. IPM memberikan motivasi bagi pemerintah untuk berkompetisi secara sehat
dengan negara/wilayah lain melalui keterbandingan angka IPM.
Konsep Indeks Pembangunan Manusia adalah mengukur pencapaian
keseluruhan suatu negara. Dengan demikian, IPM mengukur pencapaian
kemajuan pembangunan sosial ekonomi. IPM yang dipresentasikan oleh tiga (3)
dimensi merupakan indeks dasar yang tersusun dari dimensi berikut ini:
1. Umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator angka harapan
2. Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf, rata-rata lam sekolah
dan kombinasi dari angka partisipasi sekolah untuk tingkat dasar, menengah
dan tinggi.
3. Standar hidup yang layak, dengan indikator PDRB per kapita dalam bentuk
Purchasing Power Parity (PPP).
Konsep pembangunan manusia dalam pengertian di atas jauh lebih baik
dari pada teori-teori pembangunan ekonomi yang konvensional termasuk model
pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia (SDM), pendekatan
kesejahteraan dan pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Model
pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan produksi
nasional (GDP).
Untuk dapat membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka UNDP
mensponsori sebuah proyek tahun 1989 yang dilaksanakan oleh tim ekonomi dan
pembangunan. Tim tersebut menciptakan kemampuan dasar. Kemampuan dasar
itu adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang
dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka
Harapan Hidup/ AHH (eo
2.3.1.1.Metode Penghitungan
). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan
baca tulis/ angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah. Daya beli
dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan
untuk mencapai standar hidup yang layak.
1. Lamanya hidup, yaitu kehidupan untuk bertahan lebih lama dan diukur dengan
indikator harapan hidup pada saat lahir atau life expectancy at birth (e0).
2. Tingkat pendidikan, diukur dari dua indikator, yaitu angka melek huruf (Lit)
dan rata-rata lama sekolah (MYS). Angka melek huruf adalah persentase dari
pendidik usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf
latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama sekolah, yaitu rata-rata jumlah tahun
yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang
pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani
3. Tingkat kehidupan yang layak, diukur dari pengeluaran riil per kapita yang
telah disesuaikan.
Dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia digunakan
tahap-tahap berikut ini :
1. Tahapan pertama penghitungan IPM adalah menghitung indeks
masing-masing komponen IPM (usia hidup, pengetahuan, standar hidup layak) dengan
hubungan matematis sebagai berikut :
Indeks (Xi) = (Xi – Xmin) / (Xmax – Xmin)
Xi = Indikator komponen ke-i, (i = 1, 2, 3,…n)
Xmin = Nilai minimum Xi
Xmax = Nilai Maksimum Xi
Persamaan diatas akan menghasilkan nilai 0 ≤ X i ≤ 1, untuk mempermudah
membaca skala dinyatakan dalam 100% sehingga interval nilai menjadi
2. Tahapan kedua penghitungan IPM adalah menghitung rata-rata sederhana dari
masing-masing indeks Xi dengan hubungan matematis :
IPM = 1/3 Xi
= 1/3 (X(1) + X(2) + X(3))
Dimana,
X(1) = Indeks Angka Harapan Hidup
X(2) = 2/3 (Indeks Melek Huruf) + 1/3 (Indeks Rata-rata Lama Sekolah)
X(3) = Indeks Konsumsi Perkapita yang disesuaikan
Untuk melihat perkembangan tingkatan status IPM di kabupaten/kota,
dibedakan 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua, seperti
dibawah ini :
1. Tinggi, dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80.
2. Rendah, dengan nilai IPM kurang dari 50.
3. Menengah bawah, dengan nilai IPM berada diantara 50 sampai kurang dari
66.
4. Menengah atas, dengan nilai IPM berada diantara 66 sampai kurang dari 80.
2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi
2.3.2.1.Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk
nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Menurut Sukirno (2006),
pertumbuhan ekonomi ialah sebagai suatu ukuran kuantitatif yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu
(2004: 249) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi menggambarkan
ekspansi GDP potensial atau output nasional negara. Dengan kata lain,
pertumbuhan ekonomi terjadi apabila batas kemungkinan produksi bangsa
bergeser ke luar.
Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan
ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi
menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.
Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output
masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi
yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan
“teknologi” dalam produksi itu sendiri.
Simon Kuznets mendefenisikan pertumbuhan ekonomi suatu negara
sebagai kemampuan negara itu untuk menyediakan barang-barang ekonomi yang
terus meningkat bagi penduduknya, dimana pertumbuhan kemampuan ini
berdasarkan kepada kemajuan teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian
ideologi yang dibutuhkannya.
2.3.2.2.Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi
Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan ekonomi, antara lain :
1. Model Pertumbuhan Neo-Klasik (Neo Classic Growth Theory) Robert Solow dan Trevor Swan secara sendiri-sendiri mengembangkan
model pertumbuhan ekonomi yang sekarang sering disebut dengan nama model
Pertumbuhan Neo-klasik (Boediono, 1992). Model Solow-Swan memusatkan
kemajuan teknologi dan out-put saling berinteraksi dalam proses pertumbuhan
ekonomi. Dalam Model neo-klasik Solow-Swan dipergunakan suatu bentuk
fungsi produksi yang lebih umum,yang bisa menampung kemungkinan berbagai
substitusi antar kapital (K) dan tenga kerja.
Dalam Sjafrizal (2008), model neo-klasik dipelopori oleh George H.Bort
(1960) dengan mendasarkan analisisnya pada teori ekonomi neo-klasik. Menurut
model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh
kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya.
Sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi
daerah bersangkutan, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja dan
mobilitas modal antar daerah. Asumsi penting dari Solow adalah:
a. Tingkat Teknologi dianggap Konstan (tidak ada kemajuan teknologi)
b. Tingkat depresiasi dianggap konstan.
c. Tidak perdagangan luar negeri atau aliran masuk barang modal.
d. Tidak ada sektor pemerintah.
e. Tingkat pertambahan penduduk (tenaga kerja) juga dianggap konstan.
f. Seluruh penduduk bekerja sehingga pendapatan = jumlah tenaga kerja
Dengan asumsi-asumsi tersebut,dapat dipersempit faktor-faktor penentu
pertumbuhan menjadi hanya stok barang dan modal dan tenaga kerja. Lebih lanjut
lagi, dapat diasumsikan bahwa PDB perkapita semata-mata ditentukan oleh stok
barang dan modal per tenaga kerja.
Jika Q =out-put atau PDB , K= Modal ,dan L= Tenaga Kerja,maka : Y= f(k)
Y = PDB perkapita atau Q/L
K = Barang Modal perkapita K/L
2. Teori Schumpeter
Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan
oleh kemampuan kewirausahaan (enterpreneur). Sebab para pengusahalah yang
mempunyai kemampuan dan keberanian mengaplikasikan penemuan-penemuan
baru dalam aktivitas produksi. Dalam langkah-langkah pengaplikasian
penemuan-penemuan baru dalam dunia usaha merupakan langkah inovasi. Termasuk dalam
langkah-langkah inovasi adalah penyusunan tehnik-tehnik tahap produksi serta
masalah organisasi manajemen, agar produk yang dihasilkan dapat diteriam
dipasar.
Menurut pandangan Schumpeter, kemajuan perekonomian kapitalis
disebabkan diberinya keleluasaan untuk para entrepreneur (wirausaha).
Namun kekuasaan tersebut cenderung memunculkan monopoli kekuatan pasar.
Monopoli inilah yang memunculkan masalah-masalah non-ekonomi, terutama Kurva Ketimpangan
Regional
Tingkat Pembangunan Ketimpangan Regional
sosial politik, yang pada akhirnya dapat menghancurkan sistem kapitalis itu
sendiri.
3. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Teori ini dikemukakan oleh Roy F.Harrod (1948) dan Evsey D.Domar
(1975) di Amerika serikat. Teori ini berkembang pada waktu bersamaan dengan
teori klasik. Teori Harrod-Domar didasari pada asumsi :
a. Perekonomian bersifat tertutup
b. Hasrat menabung (MPs =s) adalah konstan.
c. Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constan return to scale)
d. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan sama dengan
pertumbuhan penduduk.
Atas dasar asumsi-asumsi khusus tersebut,maka Harrod-Domar membuat
analisis dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap
hanya bisa tercapai apabila terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut :
Dimana,
g = Growth ( tingkat pertumbuhan output)
K= Kapital ( tingkat pertumbuhan modal)
n = Tingkat pertumbuhan angkatan kerja
Harrod-Domar mendasarkan teorinya berdasarkan pada mekanisme pasar
bahwa pemerintah perlu merencanakan besarnya investasi agar terdapat
keseimbangan dalam sisi penawaran dan sisi permintaan barang.
4. Teori Jumlah Penduduk Optimal
Teori ini telah lam dikembangkan oleh kaum klasik. Menurut teori ini
berlakunya The Law Of Dimisnishing Returns (TLDR) menyebabkan tidak semua
penduduk dapat dilibatkan dalam proses produksi. Jika dipaksakan,justru akan
menurunkan tingkat out-put perekonomian.
Pada gambar diatas, kurva TP1 menunjukkan hubungan antara jumlah
tenaga kerja dengan tingkat out-put (fungsi produksi). Kondisi optimal akan
tercapai jika jumlah penduduk (tenaga kerja ) yang terlihat dalam proses produksi
adalah L1, dengan jumlah Out-put (PDB) adalah Q1. Jika jumlah tenaga kerja TP2
TP1
Tenaga Kerja
0 L
2
L1
Q3
Q1
Q2
Gambar 2.4 Jumlah Penduduk optimal
ditambah menjadi L2 PDB justru berkurang menjadi Q2. Hal ini terjadi karena
cepatnya terjadi TLDR.
Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap
bangsa, yaitu :
a. Akumulasi Modal
Akumulasi modal meliputi semua bentuk atau jenis investasi yang ditanamkan
pada tanah, peralatan fisik,modal ataupun sumber daya manusia. Akumulasi
modal terjadi apabila sebagaian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan
kembali dengan tujuan memperbesar out-put dan pendapatan dikemudian hari.
Investasi produktif yang bersifat langsung tersebut harus dilengkapi dengan
berbagai investasi penunjang yang disebut investasi infrastruktur ekonomi
sosial.
b. Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja secara tradisional dianggap
sebagain salah satu faktor produksi yang memacu pertumbuhan ekonomi.
Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga
produktif,sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar yang berarti
ukuran pasar domestiknya lebih besar. Dimana positif atau negatifnya
pertambahan penduduk bagi upaya pembangunan ekonomi sepenuhnya
tergantung pada sistem perekonomian yang bersangkutan.
c. Kemajuan Teknologi
1. Kemajuan teknologi yang netral, terjadi apabila teknologi tersebut
memungkinkan kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi
menggunakan jumlah dan kombinasi faktor in-put yang sama,inovasi yang
sederhana, seperti pengelompokan tenga kerja yang mendorong
peningkatan output masyarakat.
2. Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja, sebagian besar kemajuan
teknologi pada abad kedua puluh adalah teknologi yang hemat tenaga
kerja,jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam berbagai produksi mulai
semakin sedikit.
3. Kemajuan teknologi yang hemat modal, merupakan fenomena yang
relative langka, hal ini dikarenakan hamper semua penelitian dalam dunia
ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan di Negara-negara maju dengan
tujuan utama menghemat pekerja dan bukan penghemat modal.
5. Teori Pertumbuhan Rostow
Menurut teori pertumbuhan Rostow pembangunan ekonomi atau
transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan
suatu proses yang berdimensi banyak. Dalam bukunya yang berjudul
“The Stage of Economic” (1960), Rostow mengemukakan tahap-tahap dalam
proses pembangunan ekonomi yang dialami oleh setiap Negara pada umumnya
dihadapkan pada lima tahap yaitu :
Pada tahap masyarakat tradisional ini, masyarakat masih menggunakan
cara-cara produksi primitif dan dipengaruhi oleh nilai-nilai tak rasional serta adat
istiadat. Tingkat produktivitas sangat rendah.
b. Tahap peletakan dasar untuk tinggal landas (the preconditional society)
Tahap ini merupakan transisi persiapan mencapai pertumbuhan dan
perkembangan lebih lanjut.
c. Tahap lepas landas (the take-off)
Tahap lepas landas ditandai oleh perubahan drastis dan pesat. Cirri tahap ini
adalah terjadinya kenaikan investasi produktif, pertumbuhan sektor industri
yang pesat, dan terbentuknya kerangka dasar politik, sosial dan kelembagaan
yang menjamin pertumbuhan cepat.
d. Tahap bergerak menuju kedewasaan ( the drive to maturity)
Tahap ini merupakan tahap dimana teknologi canggih sudah digunakan secara
efektif dalam proses produksi dan pengelolaan sumber-sumber daya alam.
Ciri-cirinya adalah tingginya keterampilan tenaga kerja serta semakin
dominannya sektor industry manufacturing yang menggantikan dan mendesak
sektor pertanian dan sektor-sektor tradisonal berupa perubahan sistem
manajemen dan pengelolaan bisnis/ usaha. Pada tahap ini masyarakat semakin
menyadari akibat-akibat atau dampak industrialisasi terhadap kehidupan
e. Tahap konsumsi massal tinggi
Tahap konsumsi massal tinggi merupakan tahap dimana masyarakat lebih
menekankan pada konsumsi dan kesejahteraan masyarakat. Pemerataan
kemakmuran merupakan fokus dari tahap ini.
6. Teori Pertumbuhan Kuznets
Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam
jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai
barang ekonomi pada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri akan
dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi,institusional
(kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.
Masing-masing dari ketiga pokok dari defenisi itu sangat penting yaitu :
a. Kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi atau
perwujudan dari apa yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi sedangkan
kemampuan menyediakan berbagai jenis barang itu sendiri merupakan tanda
kematangan ekonomi (economic maturity) disuatu negara yang bersangkutan.
b. Perkembangan teknologi merupakan suatu dasar atau pra kondisi bagi
berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, tetapi
tidak cukup itu saja masih dibutuhkan faktor-faktor lainnya.
c. Untuk mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung didalam teknologi
maka perlu diadakan serangkaian penyesuaian kelembagaan,sikap,dan
ideologi (Todaro, 2000:144).
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara/ wilayah/ daerah. PDRB adalah
jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah
tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang akhir dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh seluruh unit ekonomi dalam suatu wilayah tertentu dan pada suatu tahun
tertentu. PDRB terdiri dari PDRB atas harga berlaku dan PDRB atas harga
konstan.
PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang
dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada setiap
tahun. PDRB ini dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi
dalam suatu daerah. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan
nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku
pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar perhitungannya. PDRB atas dasar
harga konstan dipakai untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi suatu
daerah dari tahun ke tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan indikator untuk
mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan
sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan
pengambilan keputusan.
2.3.3.1.Metode Penghitungan
Dalam penghitungan PDRB ada dua metode penghitungan yang
1. Metode Langsung
Metode langsung merupakan penghitungan yang didasarkan sepenuhnya
pada data daerah, dimana hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang
dan jasa akhir yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Pemakaian metode ini dapat
dilakukan melalui 3 pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan Produksi
PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi disuatu wilayah dalam suatu
periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan NTB adalah Nilai Produksi
Bruto (NPB/Output) dari barang dan jasa tersebut dikurangi seluruh biaya
antara yang digunakan dalam proses produksi.
b. Pendekatan Pendapatan
PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka
waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian tersebut maka
NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan
keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak
langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pola komponen
penyusunan dan pajak tak langsung netto.
c. Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengeluaran
konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, pengeluaran konsumsi
dan ekspor netto (ekspor netto merupakan ekspor dikurangi impor) didalam
suatu wilayah dalam periode tertentu, biasanya satu tahun. Dengan metode ini
penghitungan NTB bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa
yang diproduksi.
2. Metode Tidak Langsung
Metode tidak langsung adalah metode yang menghitung nilai tambah
suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam
masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai
alokator, digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya dengan
produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.
Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada
data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaian kedua metode tersebut akan
saling mendukung satu sama lain karena metode langsung akan mendorong
peningkatan kualitas pada daerah, sedangkan metode tidak langsung merupakan
koreksi dalam pembanding bagi data daerah.
2.3.3.2.Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan
Hasil penghitungan PDRB disajikan atas dasar harga berlaku dan harga
konstan.
1. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku
PDRB atas dasar harga berlaku merupakan jumlah seluruh NTB atau nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu periode
tertentu, biasanya satu tahun, yang dinilai dengan harga pada tahun yang
NTB atas dasar harga berlaku yang didapat dari pengurangan
NPB/Output dengan biaya antara masing-masing, dinilai atas dasar harga berlaku.
NTB menggambarkan perubahan volume produksi yang dihasilkan oleh tingkat
perubahan harga dari masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor.
Penilaian NPB/Output dilakukan sebagai berikut :
1. Untuk sektor primer yang diproduksinya bisa diperoleh secara langsung dari
alam, seperti pertanian, pertambangan dan penggalian. Setelah itu ditentukan
kualitas dari jenis barang yang dihasilkan. Satuan dan kualitas yang
dipergunakan tidak selalu sama antara satu kabupaten/ kota dengan kabupaten/
kota lainnya. Selain itu diperlukan juga data harga per unit satuan dari barang
yang dihasilkan. Harga yang dipergunakan adalah harga produsen, yakni yang
diterima oleh produsen atau harga yang terjadi pada transaksi pertama antara
produsen dengan konsumen. NPB/Output atas dasar harga berlaku merupakan
perkalian antar kuantum produksi dengan harga masing-masing komoditi pada
tahun yang bersangkutan. Selain menghitung nilai produksi utama, dihitung
pula nilai produksi ikutan yang dihasilkan dengan anggapan mempunyai nilai
ekonomi. Produksi ikutan yang dimaksud adalah produksi yang benar-benar
dihasilkan sehubungan dengan produksi utamanya.
2. Untuk sektor sekunder, terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas dan
air minum, sektor bangunan. Penghitungannya sama dengan sektor primer.
Data yang diperlukan adalah kuantum produksi yang dihasilkan serta harga
Selain itu dihitung juga produksi jasa yang digunakan sebagai pelengkap dan
tergabung menjadi satu kesatuan usaha dengan produksi utamanya.
3. Untuk sektor-sektor yang secara umum produksinya berupa jasa, seperti sektor
perdagangan, restoran dan hotel, pengangkutan dan komunikasi, bank dan
lembaga keuangan lainnya, sewa rumah dan jasa perusahaan serta pemerintah
dan jasa-jasa, penghitungan kuantum produksinya dilakukan dengan cara
mencari indikator produksi yang sesuai dengan masing-masing kegiatan,
subsektor dan sektor. Pemilihan indikator produksi didasarkan pada
karakteristik jasa yang dihasilkan serta disesuaikan dengan data penunjang
lainnya yang tersedia. Selain itu diperlukan juga indikator harga dari
masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor yang bersangkutan. NPB/Output atas
dasar harga berlaku merupakan perkalian antara indikator harga
masing-masing komoditi atau jasa pada tahun yang bersangkutan.
2. Penghitungan Atas Dasar Harga Konstan
Penghitungan atas dasar harga konstan sama dengan atas dasar harga
berlaku, tetapi penilaiannya dilakukan dengan harga suatu tahun dasar tertentu.
NTB atas dasar harga konstan menggambarkan perubahan volume/ kuantum
produksi saja. Pengaruh perubahan harga telah dihilangkan dengan cara menilai
dengan harga suatu tahun dasar tertentu. Penghitungan atas dasar harga konstan
berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau sektoral,
juga untuk melihat perubahan struktur perekonomian suatu daerah dari tahun ke