• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORI DAN OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN TEORI DAN OTONOMI DAERAH"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS 2.1. Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah 2.1.1. Otonomi Daerah

Pemberlakuan Otonomi Daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001

telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan

fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan Pemerintahan yang

sentralistik-birokratis ke arah desentralistik-partisipatoris. UU No.22 tahun 1999

tentang Pemerintah Daerah dan direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 telah

melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan

otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota.

Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan

masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan

pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan

menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara

pusat dan daerah.

Lahirnya Undang-undang ini juga akan memberikan implikasi positif bagi

dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat

“given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat,

namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam

merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan

sosio-kultural masyarakat setempat. Undang-undang ini juga membuka jalan bagi

(2)

pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi,

pemerintahan kabupaten/ kota memiliki kewenangan yang memadai untuk

mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi

rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat didisain

dari pusat, tanpa daerah memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah

saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya.

Tantangan, bahwa daerah mampu mendisain dan melaksanakan program yang

sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri dan tanggung

jawab penuh.

2.1.1.1.Pengertian Otonomi Daerah

Secara etimologis, pengertian otonomi daerah menurut Situmorang (1993)

dalam Shinta (2009) berasal dari bahasa Latin, yaitu “autos” yang berarti sendiri

dan “nomos” yang berarti aturan. Jadi dapat diartikan bahwa otonomi daerah

adalah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam bahasa Inggris,

otonomi berasal dari kata “autonomy”, dimana “auto” berarti sendiri dan “nomy”

sama artinya dengan “nomos” yang berarti aturan atau Undang-undang. Jadi

“autonomy” adalah mengatur diri sendiri. Sementara itu, pengertian lain tentang

otonomi ialah sebagai hak mengatur dan memerintah diri sendiri atas insiatif dan

kemauan sendiri. Hak yang diperoleh berasal dari pemerintah pusat.

Lebih lanjut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan otonomi daerah adalah

hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri

dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu menurut UU No.22

(3)

untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Setelah direvisi kembali UU No.22 Tahun 1999 berubah

menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang menyatakan otonomi daerah sebagai hak,

wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

perundang-undangan. Dari berbagai rumusan otonomi daerah diatas maka

otonomi daerah adalah kewenangan dan kemandirian daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

2.1.1.2.Prinsip Otonomi Daerah Menurut UU No.32 Tahun 2004

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya

dalam arti, daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah

untuk memberikan pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa dan

pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang

nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa

untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan wewenang,

tugas dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,

hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

(4)

dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang

bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya

untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang

merupakan bagian utam dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu

memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain

itu penyelengaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan

antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama

antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus

mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah, artinya

harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap

tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan

negara.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang

hendak dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian

pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.

Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervise,

pengendalian koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu pemerintah

wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan

dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan

(5)

2.1.1.3.Pemekaran Daerah sebagai Implikasi Otonomi Daerah

Munculnya Undang-undang otonomi daerah merupakan salah satu usaha

untuk di satu pihak “mendinginkan” euforia reformasi dan di lain pihak untuk

menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, isi dari UU No.22 Tahun 1999 tersebut

lebih memberikan kebebasan yang nyata dan seluas-luasnya bagi daerah untuk

menyelenggarakan pemerintahannya sendiri demi untuk kesejahteraan daerahnya

sendiri-sendiri

Era reformasi yang dimulai dari tahun 1998 telah menggeser paradigma

desentralisasi administratif, yang dianut pada masa orde baru, menjadi

desentralisasi politik pasca UU No.22 Tahun 1999. Pemekaran wilayah/ daerah

atau pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di era reformasi merupakan

konskuensi logis dari penerapan kebijakan desentralisasi politik oleh pemerintah

pusat di daerah. Dengan desentralisasi politik maka pemerintah pusat membentuk

daerah-daerah otonom atau daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan, yaitu

daerah-daerah yang mempunyai wilayah, masyarakat hukum, kepala daerah, dan

anggota DPRD yang dipilih oleh rakyat, pegawai, dan kewenangan serta

keleluasaan mengatur dan mengurus daerah. Kebijakan pemekaran daerah pasca

ditetapkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai

perbedaan yang signifikan jika dibandingkan pengaturan pemekaran daerah

berdasar UU No.5 Tahun 1974 (orde baru).

Pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah pada orde baru, bersifat elitis

dan memiliki karakter sentralistis, dimana perencanaan dan implementasi

(6)

dari bawah. Proses pemekaran daerah seringkali menjadi proses yang tertutup dan

menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.

Pada orde baru, kebijakan pemekaran lebih bersifat elitis dan sentralistis.

Namun pada masa itu pemerintah telah mencoba mendorong upaya penyiapan

infrastruktur birokrasi (bukan infrastruktur politik) sebelum pembentukan daerah

otonom. Masa transisi teknokratis disiapkan sedemikian rupa sebelum menjadi

Daerah Otonomi Baru. Dalam masa transisi, pembentukan daerah baru ini lebih

menekankan pada mekanisme teknokratis daripada mekanisme politik, seperti

penyiapan administrasi birokrasi, infrastruktur, gedung perkantoran, dan

sebagainya. Setelah penyiapan teknokratis dirasa cukup barulah kemudian

penyiapan politik dilakukan yaitu dengan pembentukan DPRD, dari situ barulah

kemudian dibentuk DOB.

Di masa era reformasi sekarang, proses-proses penyiapan teknokratis

tersebut pada kebijakan pemekaran daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999 tidak

ada, tetapi justru lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah

untuk mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar oleh kebijakan pemekaran

daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999. Dengan kebijakan yang demikian ini,

kebijakan pemekaran daerah sekarang lebih didominasi oleh proses politik

(7)

2.1.2. Pemekaran Wilayah

2.1.2.1.Pengertian, Sebab-sebab dan Tujuan

Diatas telah diuraikan mengenai otonomi daerah. Bangsa Indonesia

melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya UU No.22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak saat itu berbagai pemikiran

inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan

pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dalam rangka peningkatan

pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan secara efektif.

Salah satu aspek yang sangat penting dari pelaksanaan otonomi daerah

saat ini adalah terkait dengan pemekaran dan penggabungan wilayah yang

bertujuan untuk memperkuat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat

lokal dalam rangka pertumbuhan kehidupan demokrasi. Dengan interaksi yang

lebih intensif antara masyarakat dan pemerintah daerah baru, maka masyarakat

sipil akan memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajibannya secara lebih baik

sebagai warga negara.

Menurut UU No.24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang, wilayah adalah ruang

kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya

ditentukan berdasarkan aspek admninistratif dan atau aspek fungsional. Menurut

Tarigan (2005) dalam Malik (2006), bahwa wilayah dapat dibedakan berdasarkan

cara pandang terkait dengan kondisinya atau berdasarkan fungsinya, yaitu :

1. Wilayah subjektif, yakni wilayah merupakan alat untuk mengidentifikasi suatu

lokasi yang berdasarkan suatu lokasi dengan kriteria tertentu dan tujuan

(8)

2. Wilayah objektif, maksudnya wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan

dari ciri-ciri atau gejala alam di setiap wilayah.

Blair (1991) dalam Malik (2006) menyebutkan bahwa dalam menganalisis

wilayah dikenal 3 tipe, yakni :

1. Wilayah fungsional, yaitu adanya saling interaksi antara komponen-komponen

didalam dan diluar wilayahnya. Wujud wilayah sering disebut wilayah nodal

yang didasari oleh susunan dari suatu hubungan di antara simpul-simpul

perdagangan.

2. Wilayah homogen, artinya adanya relatif kemiripan dalam suatu wilayah.

3. Wilayah administratif, artinya wilayah ini dibentuk untuk kepentingan

wilayah pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak-pihak

lain.

Sementara itu, tujuan wilayah menurut Sihotang (1997) dalam Malik

(2006) adalah sebagai suatu usaha untuk menentukan batas-batas daerah yang

biasanya lebih besar daripada daerah struktur pemerintahan lokal, dengan maksud

lebih mengefektifkan dan mengefisienkan pemerintah beserta perencanaan

lokal dan nasionalnya.

Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian

wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan

dan mempercepat pembangunan. Terdapat beberapa alasan mengapa pemekaran

wilayah sekarang menjadi salah satu pendekatan yang cukup diminati dalam

kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan

(9)

1. Keinginan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dalam

wilayah kewenangan yang terbatas/terukur. Pendekatan pelayanan melalui

pemerintahan daerah yang baru diasumsikan akan lebih dapat memberikan

pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan pelayanan melalui

pemerintahan daerah induk dengan cakupan wilayah pelayanan yang lebih

luas (Hermanislame 2005 dalam Arif 2008). Melalui proses perencanaan

pembangunan daerah pada skala yang lebih terbatas, maka pelayanan publik

sesuai kebutuhan lokal akan lebih tersedia.

2. Mempercepat pertumbuhan ekonomi penduduk setempat melalui perbaikan

kerangka pengembangan ekonomi daerah berbasiskan potensi lokal

(Hermanislamet 2005 dalam Arif 2008). Dengan dikembangkannya daerah

baru yang otonom, maka akan memberikan peluang untuk menggali berbagai

potensi ekonomi daerah baru yang selama ini tidak tergali.

3. Penyerapan tenaga kerja secara lebih luas di sektor pemerintah dan bagi-bagi

kekuasaan di bidang politik dan pemerintahan. Kenyataan politik seperti ini

juga mendapat dukungan yang besar dari masyarakat sipil dan dunia usaha,

karena berbagai peluang ekonomi baru baik secara formal maupun informal

menjadi lebih tersedia sebagai dampak ikutan pemekaran wilayah.

Disisi lain, menurut Syafrizal (2008) dalam Ventauli (2009), ada beberapa

faktor yang dapat memicu terjadinya pemekaran wilayah, antara lain :

1. Perbedaan agama

Kenyataan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan

(10)

keinginan masyarakat untuk memisahkan diri dari suatu negara/ daerah yang

telah ada untuk menjadi negara/ daerah baru.

2. Perbedaan etnis dan budaya

Sama halnya dengan perbedaan agama, perbedaan etnis dan budaya juga

merupakan unsur penting lainnya yang dapat memicu terjadinya keinginan

untuk melakukan pemekaran wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa

masyarakat merasa kurang nyaman bila hidup dalam suatu masyarakat dengan

etnis, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda. Bila kesatuan budaya ini

terganggu karena kehadiran warga masyarakat lain dengan budaya yang

berbeda, maka seringkali terjadi ketegangan bahkan konflik sosial dalam

masyarakat tersebut.

3. Ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah

Aspek berikutnya yang cenderung menjadi pemicu terjadinya pemekaran

wilayah adalah ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah. Termasuk

juga ke dalam aspek ini adalah ketimpangan dalam ketersediaan sumber daya

alam bernilai tinggi, seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang

selanjutnya akan mendorong terjadinya ketimpangan kemakmuran antar

daerah. Ketimpangan ini selanjutnya mendorong terjadinya kecemburuan

sosial dan merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat sehinnga akhirnya

muncul keinginan untuk melakukan pemekaran wilayah. Indikasi terjadinya

ketimpangan pembangunan antardaerah dapat diketahui dengan menghitung

data PDRB perkapita dan jumlah penduduk sebagai indikator utama melalui

(11)

4. Luas daerah

Luas daerah dapat pula memicu timbulnya keinginan untuk melakukan

pemekaran wilayah. Alasannya adalah karena wilayah yang besar akan

cenderung menyebabkan pelayanan public tidak dapat dilakukan secara efektif

dan merata ke seluruh pelosok daerah. Sementara tugas pemerintah daerah

adalah memberikan pelayanan publik kepada seluruh masyarakat di

daerahnya. Dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada masyarakat, maka

salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemekaran

daerah.

Pemekaran wilayah diharapkan dapat menciptakan kemandirian daerah.

Tujuan pemekaran sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui:

1. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

2. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi

3. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah

4. Percepatan pengelolaan potensi daerah

5. Peningkatan keamanan dan ketertiban

6. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

2.1.2.2.Konsep Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan

pertumbuhan dan ketimpangan antar wilayah. Dalam konteks nasional, adanya

pembangunan antar wilayah menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembangunan

(12)

bahwa pengembangan wilayah dimungkinkan karena adanya modal yang

bertumpu pada pengembangan sumberdaya manusia dan sumber daya alam yang

berlangasung secara kontinyu sehingga menimbulkan arus barang.

Dalam konteks pengembangan wilayah, pendekatan berdasarkan konsep

ekonomi paling banyak digunakan. Tujuan dari konsep ini adalah pembangunan

pada sektor-sektor utama, pada lokasi-lokasi tertentu, sehingga menyebabkan

kemajuan keseluruh wilayah. Ada beberapa konsep pengembangan wilayah,

antara lain :

1. Mendorong dekonsentrasi wilayah, dimana konsep ini bertujuan untuk

menekan tingkat konsentrasi wilayah dan untuk membentuk struktur ruang

yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan.

2. Membangkitkan kembali daerah terbelakang sebagai daerah yang memiliki

karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapata perkapita yang

rendah, dan rendahnya tingkat fasilitas pelayanan masyarakat.

3. Memodifikasi sistem kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju

pusat-pusat pertumbuhan, yakni dengan adanya pengaturan sistem perkotaan

maka telah memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik. Ini diharapkan akan

dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.

4. Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah. Hal ini muncul akibat kurang

memuaskannya struktur ekonomi inter-regional yang biasanya dengan

mempertimbangkan tingkat kesejahteraan serta yang berhubungan dengan

(13)

2.1.2.3.Konsep Pemekaran Wilayah

Pemekaran wilayah kabupaten/kota menjadi beberapa kabupaten/kota baru

pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan

pada masyarakat. Dari segi pengembangan wilayah, calon kabupaten/kota yang

baru yang akan dibentuk perlu memiliki basis sumber daya yang seimbang antara

satu dengan yang lain. Hal ini perlu diupayakan agar tidak timbul disparitas yang

mencolok dimasa mendatang. Selanjutnya dalam suatu usaha pemekaran wilayah

akan diciptakan ruang publik baru yang merupakan kebutuhan kolektif semua

warga wilayah baru. Ruang publik baru ini akan mempengaruhi aktivitas

seseorang atau masyarakat sehingga merasa diuntungkan karena pelayanannya

yang lebih maksimal.

Akhirnya pemekaran wilayah ini bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, peningkatan sumber daya secara berkelanjutan,

meningkatkan keserasian perkembangan antar wilayah dan antar sektor,

memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan

kualitas hidup.

2.1.2.4.Dasar Hukum Pemekaran Wilayah

UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran

suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa,

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut:

(14)

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.”

Secara lebih khusus, UU No.32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai

pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan

Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam

ruang lingkup pembentukan daerah. UU No.32 Tahun 2004 menentukan bahwa

pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.

Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang

sama menyebutkan, “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas,

ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan

penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian,

pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”

Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada

ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat

berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan

atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4)

menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas

minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”.

Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila

(15)

syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD

kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah propinsi

bersangkutan, persetujuan DPRD propinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi

dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif

yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan

bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta

rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi

faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di

bawah ini, antara lain :

1. Kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha

perekonomian yang berlangsung disuatu daerah propinsi, kabupaten/kota,

yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan

penerimaan daerah sendiri.

2. Potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat

dimanfaatkan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga

keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana

transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan.

3. Sosial budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan

pola budaya masyarakat, kondisi sosial masyarakat yang dapat diukur dari

tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana

(16)

4. Sosial politik, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang

dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi

kemasyarakatan.

5. Kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah.

6. Luas daerah, merupakan luas tertentu suatu daerah.

7. Pertahanan dan keamanan

8. Faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Faktor-faktor lain yang dimasud harus meliputi paling sedikit 5

kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan

untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi

calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

2.1.2.5.Prosedur dalam Pemekaran Wilayah

Inisiatif pemekaran wilayah pada dasarnya berangkat dari adanya peluang

hukum bagi masyarakat dan daerah untuk melakukan pemekaran/ penggabungan

wilayah sebagaimana tertuang dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah.

Dari sisi pemerintah pusat, proses pembahasan pemekaran wilayah yang

datang dari berbagai daerah melalui dua tahapan besar yaitu proses teknokratis

(kajian kelayakan teknis dan administratif), serta proses politik karena selain

harus memenuhi persyaratan teknokratis yang telah diatur dalam UU dan

Peraturan Pemerintah, proposal pemekaran harus didukung secara politis oleh

DPR. Berikut akan digambarkan tentang skema proses pengusulan pemekaran di

(17)

Gambar 2.1. Proses Pengusulan Wilayah Pemekaran di Tingkat Daerah

Dari gambar diatas dijelaskan bahwa persiapan dalam pemekaran wilayah

dimulai dari wilayah yang mengusulkan. Usulan-usulan tersebut berbentuk

proposal yang sudah memiliki pertimbangan-pertimbangan di dalamnya dan

kajian-kajian ilmiah, sehingga ketika proposal rencana pemekaran wilayah

tersebut diajukan ke DPRD kabupaten/ kota dan kemudian ke propinsi, dapat

dipertanggungjawabkan dengan berlandaskan peraturan-peraturan yang berlaku.

Dalam rangka memahami proses kebijakan pemekaran, perlu digambarkan

bagaimana pemerintah nasional meloloskan usulan pemekaran daerah otonom.

Prosedur pembahasan ditingkat pusat untuk “meluluskan atau tidak meluluskan” Persentasi

(18)

proposal pembentukan daerah otonom baru secara teknokratis dapat digambarkan

Gambar 2.2. Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/ Kota

Gambar diatas menjelaskan tentang tahapan dan prosedur pembentukan

daerah kabupaten/kota menurut pasal 16 PP No.129 Tahun 2000, yang terdiri dari:

1. Ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang

bersangkutan.

2. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan

oleh Pemerintah Daerah.

3. Usul pembentukan kabupaten/kota disampaikan kepada Pemerintah cq.

Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan

(19)

dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota

serta persetujuan propinsi, yang dituangkan dalam keputusan DPRD.

4. Dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk

melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi

kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Berdasarkan rekomendasi pada

huruf d, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan

para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan

Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk

melakukan penelitian lebih lanjut di lapangan.

5. Para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan

pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan otonomi Daerah.

Usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan

Pertimbangan Otonomi Daerah.

6. Apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan

Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam

Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan

Undang-Undang Pembentukan Daerah kepada Presiden.

7. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang

pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat

(20)

2.1.2.6.Peran Pihak-pihak di Daerah dalam Pemekaran Wilayah 1. Daerah Persiapan

Dalam melakukan pemekaran wilayah, maka pembentukan daerah

persiapan menjadi penting dalam upaya penataan daerah. Seiring dengan hal

tersebut, maka peran daerah persiapan tidak saja mencakup persoalan

administratif semata, tetapi juga perlu mencakup beberapa aspek lain, antara lain:

a. Mempersiapkan persyaratan fisik yang berkaitan dengan penataan ruang

maupun batas wilayah. Disamping itu juga terumuskannya dokumen rencana

tata ruang lokasi calon Ibukota daerah otonom baru maupun calon Ibukota

Daerah Induk.

b. Mempersiapkan persyaratan kelembagaan dan organisasi yang berkaitan

dengan kebutuhan kantor, identifikasi aset, fungsi staf, struktur organisasi,

maupun proses perencanaan dan penganggaran. Hal ini penting dilakukan

dalam masa persiapan agar proses pemekaran wilayah menjadi kebutuhan

bersama antara Daerah Induk dengan Calon Daerah Otonomi Baru.

Dengan demikian konflik tentang pengalihan aset-pun sudah dapat dihindari

sejak awal.

c. Mempersiapkan persyaratan teknis administratif yang berkaitan dengan

kerjasama dengan Daerah Induk dan pihak ketiga yang akan melakukan

pengkajian terhadap kelayakan pembentukan daerah otonomi baru atau

pemekaran wilayah. Berkaiatan dengan daerah persiapan ini, maka perlu ada

persyaratan-persyaratan khusus, seperti daerah yang sudah memenuhi standar

(21)

yang ditetapkan melalui rekomendasi dari DPOD atau Permendagri yang

selanjutnya mempersiapkan diri selama minimal 2 (dua) tahun sebagai masa

persiapan sebelum disyahkan sebagai daerah otonom baru yang ditetapkan

dengan Undang-undang.

2. Peran Masyarakat

Suara dan peran masyarakat menjadi syarat utama untuk keberlanjutan

suatu proses pemekaran wilayah. Hal ini sesuai dengan hakekat pemekaran

wilayah yang berorientasi pada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan

masyarakat. Oleh karena itu, peran masyarakat dituangkan secara jelas dalam

peraturan perundang-undangan dalam bentuk referendum untuk menentukan

pilihan perlu atau tidaknya dilakukan pemekaran wilayah.

Dalam kaitan dengan hal ini, lembaga-lembaga atau organisasi masyarakat

juga harus berperan dalam memberdayakan masyarakat supaya ada pengertian

yang baik tentang keuntungan dan kelemahan pemekaran wilayah maupun

pentingnya pelaksanaan referendum. Dengan demikian, dalam tahap awal atau

masa persiapan, kegiatan yang harus dilaksanakan pertama kali adalah melakukan

penjaringan aspirasi masyarakat. Meskipun terdapat berbagai metode penjaringan

aspirasi seperti melalui quesioner, seminar atau lokakarya, namun dalam hal

pemekaran wilayah nampaknya referendum merupakan pendekatan yang paling

tepat.

3. Peran Daerah Induk

(22)

a. Memberikan rekomendasi persetujuan dan mendukung rencana pemekaran

wilayah berdasarkan aspirasi masyarakat melalui referendum.

b. Melakukan hearing dengan dengan Daerah Persiapan

c. Memberikan persetujuan dan mengajukan permohonan kepada Gubernur dan

Mendagri untuk dapat mengabulkan rencana pemekaran wilayah

d. Menetapkan Liason Officer sebagai wakil Daerah Induk untuk melakukan

komunikasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait baik di tingkat daerah,

propinsi, maupun pemerintah pusat. Memfasilitasi kunjungan tim observasi

dari pemerintah pusat dan DPR RI.

e. Mengalokasikan anggaran bagi kegiatan pemekaran wilayah.

Peran DPRD dalam pemekaran wilayah ini yaitu:

a. Memberikan rekomendasi dan dukungan politik terhadap rencana pemekaran

wilayah.

b. Membentuk Pansus (Panitia Khusus) yang akan melakukan pembahasan

tentang rencana pemekaran wilayah

c. Mengeluarkan surat keputusan persetujuan dan dukungan terhadap pemekaran

wilayah, serta keputusan tentang calon Ibu Kota dan dukungan pembiayaan

dalam masa persiapan sampai pada proses pembentukan DPRD dan pemilihan

Kepala Daerah.

d. Memberikan rekomendasi sekaligus permohonan kepada DPRD Propinsi

untuk dapat memberikan persetujuan terhadap rencana pemekaran wilayah.

4. Peran Propinsi

(23)

a. Memberikan rekomendasi dan persetujuan tentang pemekaran wilayah, serta

menindaklanjutinya dengan mengajukan permohonan persetujuan dari

Pemerintah Pusat.

b. Memfasilitasi serah terima asset antara daerah induk dengan daerah baru.

2.2. Pembangunan Ekonomi

2.2.1. Defenisi Pembangunan Ekonomi

Pengalaman pada dekade 1950-an dan dekade 1960-an, ketika banyak

diantara negara-negara Dunia Ketiga berhasil mencapai tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi sesuai target mereka, tetapi gagal memperbaiki taraf hidup

sebagian penduduknya sehingga hal ini menunjukkan adanya sesuatu yang salah

dalam mendefinisikan pembangunan yang dianut pada waktu itu. Gross National

Product (GNP) dianggap sebagai indikator tunggal atas terciptanya kemakmuran

dan kriteria kinerja pembangunan. Sehingga para ekonom dan perumus kebijakan

pada akhirnya mulai mempertimbangkan untuk mengubah strategi guna mengatasi

berbagai masalah mendesak, seperti tingkat kemiskinan absolut yang semakin

parah, ketimpangan distribusi yang mencolok dan tingkat penggangguran yang

terus naik. Pada dekade 1970-an, pembangunan ekonomi mengalami redefinisi.

Mulai muncul pandangan bahwa tujuan utama dari pembangunan ekonomi

bukan lagi meningkatkan pertumbuhan GNP setinggi-tingginya, melainkan

penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan

pendapatan dan penyediaan lapangan pekerjaan dalam konteks perekonomian

(24)

Defenisi pembangunan ekonomi menurut Kuznets, Chenery (Ahmad

Mahyudi, 2004) adalah pertumbuhan ekonomi yang dapat menyebabkan

perubahan-perubahan, terutama terjadi perubahan menurunnya tingkat

pertumbuhan penduduk dan perubahan dari struktur ekonomi, baik peranannya

terhadap pembentukan pendapatan nasional, maupun peranannya dalam

penyediaan lapangan kerja. Sukirno (2006) mengemukakan bahwa “pembangunan

ekonomi merupakan pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan”. Atinya,

ada tidaknya pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada satu tahun tertentu

tidak saja diukur dari kenaikan harga produksi barang dan jasa yang berlaku dari

tahun ke tahun, tetapi juga perlu diukur dari perubahan yang berlaku dalam

berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan,

perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam

infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran

rakyat.

Disisi lain, menurut Todaro & Smith (2003) dalam bukunya

“Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Edisi Kedelapan, bahwa

pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional

yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi

pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan

kemiskinan. Jadi, pada hakekatnya bahwa pembangunan itu harus mencerminkan

perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara

(25)

individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya, untuk

bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik, secara

material maupun spiritual.

2.2.2. Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ialah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan serba sejahtera. Peningkatan

pembangunan diupayakan agar dapat dirasakan oleh masyarakat luas ataupun oleh

masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil atau terbatas (lokal).

Pelaksanaan pemekaran wilayah/ daerah juga mempengaruhi orientasi

kebijakan pembangunan ekonomi di daerah. Dalam otonomi daerah (asas

desentralisasi), campur tangan pusat terhadap pembangunan daerah semakin

berkurang dan daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola

pembangunan di daerahnya masing-masing, maka sistem perencanaan

pembangunan daerah yang semula lebih bersifat sektoral akan berubah menjadi

bersifat regional.

Pembangunan ekonomi daerah ialah suatu proses dimana pemerintah

mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

pemerintah daerah dan swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan

merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi). Masalah

pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap

kebijakan yang di dasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan

menggunakan potensi Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan dan sumber

(26)

Perencanaan pembangunan daerah yang disusun, lebih banyak

memperhatikan potensi dan karateristik khusus daerah. Sedangkan perencanaan

nasional lebih banyak bersifak makro dan hanya memberikan arah dan sasaran

umum agar pembangunan daerah dapat dikoordinasikan dengan baik dan efisien.

Perencanaaan pembangunan ekonomi daerah pertama-tama perlu

mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk

interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian, tidak ada strategi

pembangunan ekonomi daerah yang sama atau dapat berlaku untuk semua daerah.

Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah,

baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori

pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola

pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup

menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah. Pemerintah daerah

harus dapat menguasai dan menerapkan teori-teori pertumbuhan tersebut untuk

mengembangkan daerahnya. Keinginan yang kuat dari pemerintah daerah untuk

membuat strategi pengembangan ekonomi daerah dapat membuat masyarakat ikut

serta membentuk ekonomi daerah yang dicita-citakan.

2.3. Sosial Ekonomi Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu kumpulan individu yang melakukan

interaksi, dimana setiap individu saling membutuhkan antara satu dengan yang

lainnya. Plato mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon, yakni mahkluk

sosial, yang tidak akan hidup tanpa bantuan orang lain. Manusia mempunyai suatu

(27)

sosialnya. Sebagai konsekuensinya maka manusia terseebut harus memenuhi

kebutuhan hidupnya, baik primer (pokok), sekunder maupun tersier sehingga

dapat hidup dengan layak sesuai dengan harkatnya sebagai anggota masyarakat.

Selain dalam pemenuhan kebutuhannya, masyarakat sebagai suatu tipe

sistem sosial dapat dianalisa berdasarkant fungsi-fungsinya yang diperlukan,

yaitu:

1. Fungsi pemeliharaan pola

Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial

dengan sub-sistem kultural. Fungsi ini mempertahankan prinsip-prinsip

tertinggi dari masyarakat sambil menyediakan dasar dalam berperilaku

menuju realitas tertinggi.

2. Fungsi Integrasi

Mencakup koordinasi yang diperlukan antara-antara unit-unit yang menjadi

bagian dari suatu sistem sosial, khususnya berkaitan dengan kontribusi

unit-unit pada organisasi dan berfungsinya unit-unit-unit-unit terhadap keseluruhan sistem.

3. Fungsi pencapaian tujuan

Mengatur hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-sitem

kepribadian. Fungsi ini tercermin dalam bentuk penyusunan skala prioritas

dari segala tujuan yang hendak dicapai dan penentuan bagaimana suatu sistem

sosial memobilisasi sumberdaya serta tenaga yang tersedia untuk mencapai

tujuan tersebut.

(28)

Menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan

sub-sitem organism tindakan dan dengan fisiko-organik. Secara umum fungsi ini

menyangkut kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap

lingkungan hidupnya. Dalam pelaksanaan fungsi ini, teknologi sangat penting

peranannya.

Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang mendasar

berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh. Selain faktor ekonomi, faktor

sosial terutama pendidikan dan jumlah anggota keluarga dapat juga

mempengaruhi pendapatan sesorang. Ketiak jumlah dalam satu keluarga

bertambah banyak, maka pemenuhan kebutuhan akan semakin banyak, sehingga

mendorong lebih gigih mencari nafkah untuk meningkatkan pendapatan.

Defenisi ilmu ekonomi sendiri yaitu ilmu sosial yang mempelajari cara

mengelola sumber daya ekonomi yang terbatas. Pengelolaan sumberdaya itu

menunjukkan manusia sebagai masyarakat ekonomi. Tugas masyarakat sebagai

masyarakat ekonomi menurut Robert (1994), yaitu:

1. Suatu masyarakat harus mengadakan satu sistem sosial untuk memproduksi

barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Masyarakat juga harus mengatur bagaimana pembagian produksi sehingga

dapat dihasilkan lebih banyak.

Dari pengertian ilmu ekonomi dan kedua tugas diatas menunjukkan bahwa faktor

ekonomi dan sosial berkaitan satu sama lain.

Status atau kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang

(29)

kelompok tersebut atau tempat suatu kelompok dengan kelompok-kelompok

lainnya dalam kelompok yang lebih besar. Status sosial ialah sebagai tempat

secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti

lingkungan pergaulannya, dan hak-hak serta kewajibannya. (Soekanto, 1987:216).

Untuk melihat tingkatan status sosial ekonomi suatu masyarakat, maka

banyak faktor yang harus dilihat, baik dari pandangan sosial maupun pandangan

ekonomi. Karena didalam masyarakat pasti ada sesuatu yang dihargai atau

berharga/ berniali bagi masyarakat itu sendiri. Sesuatu yang dihargai itu akan

menjadi sebab timbulnya sistem yang berlapis-lapis dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Soemardjan (1964), ukuran yang dapat digunakan untuk

menggolongkan masyarakat ke dalam lapisan-lapisan yaitu ukuran kekayaan,

ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan, ukuran ilmu pengetahuan (pendidikan).

Penulis dalam hal ini melihat kedudukan dan keberhasilan sosial ekonomi

masyarakat diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Pertumbuhan

Ekonomi dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).

2.3.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2.3.1.1.Definisi dan Pengukuran

Ukuran pembangunan yang digunakan selama ini yaitu Pendapatan

Domestik Bruto (PDB) dalam konteks nasional dan Pendapatan Domestik

Regional Bruto (PDRB) dalam konteks regional. Ukuran pembangunan itu hanya

mampu memotret pembangunan ekonomi saja. Untuk itu dibutuhkan suatu

(30)

perkembangan ekonomi akan tetapi juga perkembangan aspek sosial dan

kesejahteraan manusia.

Pembangunan nasional menurut Garis-garis Besar Haluan Negara

(GBHN) yang kemudian dijabarkan kedalam Repelita adalah pembangunan yang

menganut konsep pembangunan manusia. Konsep pembangunan manusia

seutuhnya merupakan konsep yang menghendaki peningkatan kualitas hidup

penduduk secara spiritual. Bahkan secara eksplisit disebutkan bahwa

pembangunan sumber daya manusia yang seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan sumber daya manusia secar fisik dan mental mengandung makna

peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar

kesempatan untuk dapat berpartsisipasi dalam pembangunan yang berkelanjutan.

UNDP (United Nation Development Programme) mendefenisikan

pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan

yang dimiliki oleh manusia. Dalam konsep tersebut manusia ditempatkan sebagai

tujuan akhir (the ultimated end), sedangkan upaya pembangunan dipandang

sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu.

Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal

pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan,

pemberdayaan (UNDP, 1995). Secara ringkas empat hal pokok tersebut

mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Produktivitas

Penduduk harus dimampukan untuk meningkatkan produktivitas dan

(31)

Pembangunan ekonomi, dengan demikian merupakan himpunan bagian dari

model pembangunan manusia.

2. Pemerataan

Penduduk harus memiliki kesempatan/peluang yang sama untuk mendapatkan

akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan social. Semua hambata yang

memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus,

sehingga mereka dapat mengambil menfaat dari kesempatan yang ada dan

berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas

hidup.

3. Kesinambungan

Akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus dipastikan tidak hanya

untuk generasi-generasi yang akan datang. Semua sumber daya fisik, manusia,

dan lingkungan selalu diperbaharui.

4. Pemberdayaan

Penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan proses yang akan

menentukan (bentuk/arah) kehidupan mereka, serta untuk berpartisipasi dan

mengambil manfaat dari proses pembangunan.

Pembangunan manusia memiliki banyak dimensi, dan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) merupakan ukuran agregat dari dimensi

dasar pembangunan. Penghitungan IPM sebagai indikator pembangunan manusia

memiliki tujuan penting, diantaranya:

1. Membangun indikator yang mengukur dimensi dasar pembangunan manusia

(32)

2. Memanfaatkan sejumlah indikator untuk menjaga ukuran tersebut sederhana.

3. Membentuk satu indeks komposit daripada menggunakan sejumlah indeks

dasar.

4. Menciptakan suatu ukuran yang mencakup aspek sosial dan ekonomi.

Beberapa alasan mengapa IPM merupakan indikator yang cukup baik

sebagai ukuran pembangunan manusia, adalah:

1. IPM menerjemahkan secara sederhana konsep yang cukup kompleks kedalam

tiga dimensi dasar yang terukur.

2. IPM membantu dalam pergeseran paradigma pembangunan dari pembangunan

yang hanya terfokus pada ekonomi menjadi berfokus pada manusia.

3. IPM berfokus pada kapabilitas yang releven, baik untuk negara maju dan

berkembang, sehingga menjadikan indeks tersebut sebagai alat yang universal.

4. IPM menstimulasi diskusi mengenai pembangunan manusia.

5. IPM memberikan motivasi bagi pemerintah untuk berkompetisi secara sehat

dengan negara/wilayah lain melalui keterbandingan angka IPM.

Konsep Indeks Pembangunan Manusia adalah mengukur pencapaian

keseluruhan suatu negara. Dengan demikian, IPM mengukur pencapaian

kemajuan pembangunan sosial ekonomi. IPM yang dipresentasikan oleh tiga (3)

dimensi merupakan indeks dasar yang tersusun dari dimensi berikut ini:

1. Umur panjang dan kehidupan yang sehat, dengan indikator angka harapan

(33)

2. Pengetahuan, yang diukur dengan angka melek huruf, rata-rata lam sekolah

dan kombinasi dari angka partisipasi sekolah untuk tingkat dasar, menengah

dan tinggi.

3. Standar hidup yang layak, dengan indikator PDRB per kapita dalam bentuk

Purchasing Power Parity (PPP).

Konsep pembangunan manusia dalam pengertian di atas jauh lebih baik

dari pada teori-teori pembangunan ekonomi yang konvensional termasuk model

pertumbuhan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia (SDM), pendekatan

kesejahteraan dan pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Model

pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan produksi

nasional (GDP).

Untuk dapat membuat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maka UNDP

mensponsori sebuah proyek tahun 1989 yang dilaksanakan oleh tim ekonomi dan

pembangunan. Tim tersebut menciptakan kemampuan dasar. Kemampuan dasar

itu adalah umur panjang, pengetahuan dan daya beli. Umur panjang yang

dikuantifikasikan dalam umur harapan hidup saat lahir atau sering disebut Angka

Harapan Hidup/ AHH (eo

2.3.1.1.Metode Penghitungan

). Pengetahuan dikuantifikasikan dalam kemampuan

baca tulis/ angka melek huruf dan rata-rata lama bersekolah. Daya beli

dikuantifikasikan terhadap kemampuan mengakses sumberdaya yang dibutuhkan

untuk mencapai standar hidup yang layak.

(34)

1. Lamanya hidup, yaitu kehidupan untuk bertahan lebih lama dan diukur dengan

indikator harapan hidup pada saat lahir atau life expectancy at birth (e0).

2. Tingkat pendidikan, diukur dari dua indikator, yaitu angka melek huruf (Lit)

dan rata-rata lama sekolah (MYS). Angka melek huruf adalah persentase dari

pendidik usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf

latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama sekolah, yaitu rata-rata jumlah tahun

yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang

pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani

3. Tingkat kehidupan yang layak, diukur dari pengeluaran riil per kapita yang

telah disesuaikan.

Dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia digunakan

tahap-tahap berikut ini :

1. Tahapan pertama penghitungan IPM adalah menghitung indeks

masing-masing komponen IPM (usia hidup, pengetahuan, standar hidup layak) dengan

hubungan matematis sebagai berikut :

Indeks (Xi) = (Xi – Xmin) / (Xmax – Xmin)

Xi = Indikator komponen ke-i, (i = 1, 2, 3,…n)

Xmin = Nilai minimum Xi

Xmax = Nilai Maksimum Xi

Persamaan diatas akan menghasilkan nilai 0 ≤ X i ≤ 1, untuk mempermudah

membaca skala dinyatakan dalam 100% sehingga interval nilai menjadi

(35)

2. Tahapan kedua penghitungan IPM adalah menghitung rata-rata sederhana dari

masing-masing indeks Xi dengan hubungan matematis :

IPM = 1/3 Xi

= 1/3 (X(1) + X(2) + X(3))

Dimana,

X(1) = Indeks Angka Harapan Hidup

X(2) = 2/3 (Indeks Melek Huruf) + 1/3 (Indeks Rata-rata Lama Sekolah)

X(3) = Indeks Konsumsi Perkapita yang disesuaikan

Untuk melihat perkembangan tingkatan status IPM di kabupaten/kota,

dibedakan 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua, seperti

dibawah ini :

1. Tinggi, dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80.

2. Rendah, dengan nilai IPM kurang dari 50.

3. Menengah bawah, dengan nilai IPM berada diantara 50 sampai kurang dari

66.

4. Menengah atas, dengan nilai IPM berada diantara 66 sampai kurang dari 80.

2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi

2.3.2.1.Definisi Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk

nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Menurut Sukirno (2006),

pertumbuhan ekonomi ialah sebagai suatu ukuran kuantitatif yang

menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu

(36)

(2004: 249) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi menggambarkan

ekspansi GDP potensial atau output nasional negara. Dengan kata lain,

pertumbuhan ekonomi terjadi apabila batas kemungkinan produksi bangsa

bergeser ke luar.

Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan

ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi

menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang.

Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output

masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi

yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan

“teknologi” dalam produksi itu sendiri.

Simon Kuznets mendefenisikan pertumbuhan ekonomi suatu negara

sebagai kemampuan negara itu untuk menyediakan barang-barang ekonomi yang

terus meningkat bagi penduduknya, dimana pertumbuhan kemampuan ini

berdasarkan kepada kemajuan teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian

ideologi yang dibutuhkannya.

2.3.2.2.Teori-Teori Pertumbuhan Ekonomi

Ada beberapa teori mengenai pertumbuhan ekonomi, antara lain :

1. Model Pertumbuhan Neo-Klasik (Neo Classic Growth Theory) Robert Solow dan Trevor Swan secara sendiri-sendiri mengembangkan

model pertumbuhan ekonomi yang sekarang sering disebut dengan nama model

Pertumbuhan Neo-klasik (Boediono, 1992). Model Solow-Swan memusatkan

(37)

kemajuan teknologi dan out-put saling berinteraksi dalam proses pertumbuhan

ekonomi. Dalam Model neo-klasik Solow-Swan dipergunakan suatu bentuk

fungsi produksi yang lebih umum,yang bisa menampung kemungkinan berbagai

substitusi antar kapital (K) dan tenga kerja.

Dalam Sjafrizal (2008), model neo-klasik dipelopori oleh George H.Bort

(1960) dengan mendasarkan analisisnya pada teori ekonomi neo-klasik. Menurut

model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh

kemampuan daerah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya.

Sedangkan kegiatan produksi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi

daerah bersangkutan, tetapi juga ditentukan oleh mobilitas tenaga kerja dan

mobilitas modal antar daerah. Asumsi penting dari Solow adalah:

a. Tingkat Teknologi dianggap Konstan (tidak ada kemajuan teknologi)

b. Tingkat depresiasi dianggap konstan.

c. Tidak perdagangan luar negeri atau aliran masuk barang modal.

d. Tidak ada sektor pemerintah.

e. Tingkat pertambahan penduduk (tenaga kerja) juga dianggap konstan.

f. Seluruh penduduk bekerja sehingga pendapatan = jumlah tenaga kerja

Dengan asumsi-asumsi tersebut,dapat dipersempit faktor-faktor penentu

pertumbuhan menjadi hanya stok barang dan modal dan tenaga kerja. Lebih lanjut

lagi, dapat diasumsikan bahwa PDB perkapita semata-mata ditentukan oleh stok

barang dan modal per tenaga kerja.

Jika Q =out-put atau PDB , K= Modal ,dan L= Tenaga Kerja,maka : Y= f(k)

(38)

Y = PDB perkapita atau Q/L

K = Barang Modal perkapita K/L

2. Teori Schumpeter

Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan

oleh kemampuan kewirausahaan (enterpreneur). Sebab para pengusahalah yang

mempunyai kemampuan dan keberanian mengaplikasikan penemuan-penemuan

baru dalam aktivitas produksi. Dalam langkah-langkah pengaplikasian

penemuan-penemuan baru dalam dunia usaha merupakan langkah inovasi. Termasuk dalam

langkah-langkah inovasi adalah penyusunan tehnik-tehnik tahap produksi serta

masalah organisasi manajemen, agar produk yang dihasilkan dapat diteriam

dipasar.

Menurut pandangan Schumpeter, kemajuan perekonomian kapitalis

disebabkan diberinya keleluasaan untuk para entrepreneur (wirausaha).

Namun kekuasaan tersebut cenderung memunculkan monopoli kekuatan pasar.

Monopoli inilah yang memunculkan masalah-masalah non-ekonomi, terutama Kurva Ketimpangan

Regional

Tingkat Pembangunan Ketimpangan Regional

(39)

sosial politik, yang pada akhirnya dapat menghancurkan sistem kapitalis itu

sendiri.

3. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar

Teori ini dikemukakan oleh Roy F.Harrod (1948) dan Evsey D.Domar

(1975) di Amerika serikat. Teori ini berkembang pada waktu bersamaan dengan

teori klasik. Teori Harrod-Domar didasari pada asumsi :

a. Perekonomian bersifat tertutup

b. Hasrat menabung (MPs =s) adalah konstan.

c. Proses produksi memiliki koefisien yang tetap (constan return to scale)

d. Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan sama dengan

pertumbuhan penduduk.

Atas dasar asumsi-asumsi khusus tersebut,maka Harrod-Domar membuat

analisis dan menyimpulkan bahwa pertumbuhan jangka panjang yang mantap

hanya bisa tercapai apabila terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut :

Dimana,

g = Growth ( tingkat pertumbuhan output)

K= Kapital ( tingkat pertumbuhan modal)

n = Tingkat pertumbuhan angkatan kerja

Harrod-Domar mendasarkan teorinya berdasarkan pada mekanisme pasar

(40)

bahwa pemerintah perlu merencanakan besarnya investasi agar terdapat

keseimbangan dalam sisi penawaran dan sisi permintaan barang.

4. Teori Jumlah Penduduk Optimal

Teori ini telah lam dikembangkan oleh kaum klasik. Menurut teori ini

berlakunya The Law Of Dimisnishing Returns (TLDR) menyebabkan tidak semua

penduduk dapat dilibatkan dalam proses produksi. Jika dipaksakan,justru akan

menurunkan tingkat out-put perekonomian.

Pada gambar diatas, kurva TP1 menunjukkan hubungan antara jumlah

tenaga kerja dengan tingkat out-put (fungsi produksi). Kondisi optimal akan

tercapai jika jumlah penduduk (tenaga kerja ) yang terlihat dalam proses produksi

adalah L1, dengan jumlah Out-put (PDB) adalah Q1. Jika jumlah tenaga kerja TP2

TP1

Tenaga Kerja

0 L

2

L1

Q3

Q1

Q2

Gambar 2.4 Jumlah Penduduk optimal

(41)

ditambah menjadi L2 PDB justru berkurang menjadi Q2. Hal ini terjadi karena

cepatnya terjadi TLDR.

Ada tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap

bangsa, yaitu :

a. Akumulasi Modal

Akumulasi modal meliputi semua bentuk atau jenis investasi yang ditanamkan

pada tanah, peralatan fisik,modal ataupun sumber daya manusia. Akumulasi

modal terjadi apabila sebagaian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan

kembali dengan tujuan memperbesar out-put dan pendapatan dikemudian hari.

Investasi produktif yang bersifat langsung tersebut harus dilengkapi dengan

berbagai investasi penunjang yang disebut investasi infrastruktur ekonomi

sosial.

b. Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja secara tradisional dianggap

sebagain salah satu faktor produksi yang memacu pertumbuhan ekonomi.

Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga

produktif,sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar yang berarti

ukuran pasar domestiknya lebih besar. Dimana positif atau negatifnya

pertambahan penduduk bagi upaya pembangunan ekonomi sepenuhnya

tergantung pada sistem perekonomian yang bersangkutan.

c. Kemajuan Teknologi

(42)

1. Kemajuan teknologi yang netral, terjadi apabila teknologi tersebut

memungkinkan kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi

menggunakan jumlah dan kombinasi faktor in-put yang sama,inovasi yang

sederhana, seperti pengelompokan tenga kerja yang mendorong

peningkatan output masyarakat.

2. Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja, sebagian besar kemajuan

teknologi pada abad kedua puluh adalah teknologi yang hemat tenaga

kerja,jumlah pekerja yang dibutuhkan dalam berbagai produksi mulai

semakin sedikit.

3. Kemajuan teknologi yang hemat modal, merupakan fenomena yang

relative langka, hal ini dikarenakan hamper semua penelitian dalam dunia

ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan di Negara-negara maju dengan

tujuan utama menghemat pekerja dan bukan penghemat modal.

5. Teori Pertumbuhan Rostow

Menurut teori pertumbuhan Rostow pembangunan ekonomi atau

transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan

suatu proses yang berdimensi banyak. Dalam bukunya yang berjudul

“The Stage of Economic” (1960), Rostow mengemukakan tahap-tahap dalam

proses pembangunan ekonomi yang dialami oleh setiap Negara pada umumnya

dihadapkan pada lima tahap yaitu :

(43)

Pada tahap masyarakat tradisional ini, masyarakat masih menggunakan

cara-cara produksi primitif dan dipengaruhi oleh nilai-nilai tak rasional serta adat

istiadat. Tingkat produktivitas sangat rendah.

b. Tahap peletakan dasar untuk tinggal landas (the preconditional society)

Tahap ini merupakan transisi persiapan mencapai pertumbuhan dan

perkembangan lebih lanjut.

c. Tahap lepas landas (the take-off)

Tahap lepas landas ditandai oleh perubahan drastis dan pesat. Cirri tahap ini

adalah terjadinya kenaikan investasi produktif, pertumbuhan sektor industri

yang pesat, dan terbentuknya kerangka dasar politik, sosial dan kelembagaan

yang menjamin pertumbuhan cepat.

d. Tahap bergerak menuju kedewasaan ( the drive to maturity)

Tahap ini merupakan tahap dimana teknologi canggih sudah digunakan secara

efektif dalam proses produksi dan pengelolaan sumber-sumber daya alam.

Ciri-cirinya adalah tingginya keterampilan tenaga kerja serta semakin

dominannya sektor industry manufacturing yang menggantikan dan mendesak

sektor pertanian dan sektor-sektor tradisonal berupa perubahan sistem

manajemen dan pengelolaan bisnis/ usaha. Pada tahap ini masyarakat semakin

menyadari akibat-akibat atau dampak industrialisasi terhadap kehidupan

(44)

e. Tahap konsumsi massal tinggi

Tahap konsumsi massal tinggi merupakan tahap dimana masyarakat lebih

menekankan pada konsumsi dan kesejahteraan masyarakat. Pemerataan

kemakmuran merupakan fokus dari tahap ini.

6. Teori Pertumbuhan Kuznets

Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam

jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai

barang ekonomi pada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri akan

dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian teknologi,institusional

(kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.

Masing-masing dari ketiga pokok dari defenisi itu sangat penting yaitu :

a. Kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi atau

perwujudan dari apa yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi sedangkan

kemampuan menyediakan berbagai jenis barang itu sendiri merupakan tanda

kematangan ekonomi (economic maturity) disuatu negara yang bersangkutan.

b. Perkembangan teknologi merupakan suatu dasar atau pra kondisi bagi

berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, tetapi

tidak cukup itu saja masih dibutuhkan faktor-faktor lainnya.

c. Untuk mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung didalam teknologi

maka perlu diadakan serangkaian penyesuaian kelembagaan,sikap,dan

ideologi (Todaro, 2000:144).

(45)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator

penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara/ wilayah/ daerah. PDRB adalah

jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah

tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang akhir dan jasa akhir yang dihasilkan

oleh seluruh unit ekonomi dalam suatu wilayah tertentu dan pada suatu tahun

tertentu. PDRB terdiri dari PDRB atas harga berlaku dan PDRB atas harga

konstan.

PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang

dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada setiap

tahun. PDRB ini dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi

dalam suatu daerah. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan

nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku

pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar perhitungannya. PDRB atas dasar

harga konstan dipakai untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi suatu

daerah dari tahun ke tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan indikator untuk

mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan

sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan

pengambilan keputusan.

2.3.3.1.Metode Penghitungan

Dalam penghitungan PDRB ada dua metode penghitungan yang

(46)

1. Metode Langsung

Metode langsung merupakan penghitungan yang didasarkan sepenuhnya

pada data daerah, dimana hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang

dan jasa akhir yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Pemakaian metode ini dapat

dilakukan melalui 3 pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah Nilai Tambah Bruto (NTB) atau nilai barang dan

jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi disuatu wilayah dalam suatu

periode tertentu, biasanya satu tahun. Sedangkan NTB adalah Nilai Produksi

Bruto (NPB/Output) dari barang dan jasa tersebut dikurangi seluruh biaya

antara yang digunakan dalam proses produksi.

b. Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah seluruh balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor

produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka

waktu tertentu, biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian tersebut maka

NTB adalah jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan

keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak

langsung lainnya. Dalam pengertian PDRB ini termasuk pola komponen

penyusunan dan pajak tak langsung netto.

c. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan untuk pengeluaran

konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, pengeluaran konsumsi

(47)

dan ekspor netto (ekspor netto merupakan ekspor dikurangi impor) didalam

suatu wilayah dalam periode tertentu, biasanya satu tahun. Dengan metode ini

penghitungan NTB bertitik tolak pada penggunaan akhir dari barang dan jasa

yang diproduksi.

2. Metode Tidak Langsung

Metode tidak langsung adalah metode yang menghitung nilai tambah

suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam

masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai

alokator, digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya dengan

produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.

Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada

data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaian kedua metode tersebut akan

saling mendukung satu sama lain karena metode langsung akan mendorong

peningkatan kualitas pada daerah, sedangkan metode tidak langsung merupakan

koreksi dalam pembanding bagi data daerah.

2.3.3.2.Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan

Hasil penghitungan PDRB disajikan atas dasar harga berlaku dan harga

konstan.

1. Penghitungan Atas Dasar Harga Berlaku

PDRB atas dasar harga berlaku merupakan jumlah seluruh NTB atau nilai

barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu periode

tertentu, biasanya satu tahun, yang dinilai dengan harga pada tahun yang

(48)

NTB atas dasar harga berlaku yang didapat dari pengurangan

NPB/Output dengan biaya antara masing-masing, dinilai atas dasar harga berlaku.

NTB menggambarkan perubahan volume produksi yang dihasilkan oleh tingkat

perubahan harga dari masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor.

Penilaian NPB/Output dilakukan sebagai berikut :

1. Untuk sektor primer yang diproduksinya bisa diperoleh secara langsung dari

alam, seperti pertanian, pertambangan dan penggalian. Setelah itu ditentukan

kualitas dari jenis barang yang dihasilkan. Satuan dan kualitas yang

dipergunakan tidak selalu sama antara satu kabupaten/ kota dengan kabupaten/

kota lainnya. Selain itu diperlukan juga data harga per unit satuan dari barang

yang dihasilkan. Harga yang dipergunakan adalah harga produsen, yakni yang

diterima oleh produsen atau harga yang terjadi pada transaksi pertama antara

produsen dengan konsumen. NPB/Output atas dasar harga berlaku merupakan

perkalian antar kuantum produksi dengan harga masing-masing komoditi pada

tahun yang bersangkutan. Selain menghitung nilai produksi utama, dihitung

pula nilai produksi ikutan yang dihasilkan dengan anggapan mempunyai nilai

ekonomi. Produksi ikutan yang dimaksud adalah produksi yang benar-benar

dihasilkan sehubungan dengan produksi utamanya.

2. Untuk sektor sekunder, terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas dan

air minum, sektor bangunan. Penghitungannya sama dengan sektor primer.

Data yang diperlukan adalah kuantum produksi yang dihasilkan serta harga

(49)

Selain itu dihitung juga produksi jasa yang digunakan sebagai pelengkap dan

tergabung menjadi satu kesatuan usaha dengan produksi utamanya.

3. Untuk sektor-sektor yang secara umum produksinya berupa jasa, seperti sektor

perdagangan, restoran dan hotel, pengangkutan dan komunikasi, bank dan

lembaga keuangan lainnya, sewa rumah dan jasa perusahaan serta pemerintah

dan jasa-jasa, penghitungan kuantum produksinya dilakukan dengan cara

mencari indikator produksi yang sesuai dengan masing-masing kegiatan,

subsektor dan sektor. Pemilihan indikator produksi didasarkan pada

karakteristik jasa yang dihasilkan serta disesuaikan dengan data penunjang

lainnya yang tersedia. Selain itu diperlukan juga indikator harga dari

masing-masing kegiatan, subsektor dan sektor yang bersangkutan. NPB/Output atas

dasar harga berlaku merupakan perkalian antara indikator harga

masing-masing komoditi atau jasa pada tahun yang bersangkutan.

2. Penghitungan Atas Dasar Harga Konstan

Penghitungan atas dasar harga konstan sama dengan atas dasar harga

berlaku, tetapi penilaiannya dilakukan dengan harga suatu tahun dasar tertentu.

NTB atas dasar harga konstan menggambarkan perubahan volume/ kuantum

produksi saja. Pengaruh perubahan harga telah dihilangkan dengan cara menilai

dengan harga suatu tahun dasar tertentu. Penghitungan atas dasar harga konstan

berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau sektoral,

juga untuk melihat perubahan struktur perekonomian suatu daerah dari tahun ke

Gambar

Gambar 2.1. Proses Pengusulan Wilayah Pemekaran di Tingkat Daerah
Gambar 2.2. Tahapan dan Prosedur Pembentukan Kabupaten/ Kota
Gambar 2.3 Hipotesa Neo-Klasik
Gambar 2.4 Jumlah Penduduk optimal
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tahap observasi ini yang akan diamati meliputi kegiatan dan kondisi suasana kelas saat guru melaksanakan kegiaatan pembelajaran dengan menggunakan metode

Metode pelaksanaan dari penerapan ipteks ini terdiri dari beberapa kegiatan utama yaitu; Sosialisasi, Pelatihan pengolahan kerupuk kepala udang, Pengolahan kerupuk

Tipe tanah organosol yang merupakan tanah asli pada kawasan perencanaan memiliki persediaan air tanah dalam, rata-rata curah hujan pertahun 2500 mm/tahun, batuan induk

Sekunder. Rekapitulasi output hasil analisis yang berkaitan dengan pengaruh secara parsial pada model II adalah sebagai berikut:.. Artinya, setiap peningkatan Konsumsi Rumah

kapal ikan yang akan dirancang menggunakan metode kapal pemb<mding, yaitu kapal tradisional yang sudah ada di Kecamatan Sepulu£ Alat tangkap yang digunakan

Struktur organisasi perangkat kerja daerah yang menangani kegaiatn bidang cipta karya sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.Tugas serta fungsi

a) Reviu telah dilakukan atas laporan kinerja untuk tahun yang bersangkutan. b) Reviu telah dilaksanakan sesuai dengan pedoman reviu laporan kinerja. c) Semua

apabila variabel laten perilaku kekasaran dihubungkan dengan variabel laten kenakalan pelajar (Gambar 7), didapatkan hasil bahwa hubungan perilaku kekasaran ibu dan