KEJANG DEMAM
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah BPK RSUDZA
Banda Aceh
oleh
BERLIAN MIZA
1407101030057
Pembimbing
dr. Darnifayanti, M.Ked (Ped), Sp.A
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BPK RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
ii
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.
Adapun tugas laporan kasus ini berjudul “Kejang Demam”. Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unsyiah BPK RSUD dr. Zainoel Abidin, Kota Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Darnifayanti, M.Ked (Ped), Sp.A yang telah meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang.
Banda Aceh, Mei 2015
iii
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II STATUS PASIEN ... 3
BAB III ANALISA KASUS ... 13
3.1 Definisi ... 13
3.2 Epidemiologi... 13
3.3 Klasifikasi ... 14
3.4 Faktor Resiko ... 14
3.5 Patofisiologi ... 22
3.6 Penegakan Diagnosis ... 24
3.7 Tatalaksana ... 25
3.8 Prognosis ... 29
BAB IV KESIMPULAN ... 32
1
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1)
Di Amerika Serikatdan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14%.(1)
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor demam, usia dan riwayat keluarga, dan riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi berat badan lahir rendah).(2)
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup menkhawatirkan bagi orangtuanya.(2)
pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah tidak efektif untuk mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis obat yang sering digunakan adalah fenobarbital, asam valproate, dan fenitoin. Pemberian obat antikonvulsan jangka panjang tersebut diatas dapat mencegah timbulnya kejang demam akan tetapi tidak akan mencegah timbulnya epilepsi maupun cacat neurologis akibat kejang demam. Tetapi pemberian obat anti kejang mempunyai efek samping tidak baik. Tindakan pencegahan kejang dengan pemakaian obat fenobarbital maupun asam valproate dan fenitoin dilakukan atas indikasi yang tepat. Indikasi pemberian pengobatan pencegehan terhadap penderita kejang demam apabila
3 2.1.Identitas Pasien
Nama : Adinda Rahmadina
CM : 0-96-53-18
Umur : 2 tahun
Alamat : Banda Aceh
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Aceh
Masuk Rumah Sakit : 28 April 2015
Tanggal Pemeriksaan : 30 April 2015
2.2. Anamnesis
Keluhan Utama: kejang
Keluhan Tambahan: demam, batuk, flu, muntah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kejang yang terjadi sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi lebih kurang selama 2 menit. Saat kejang terjadi tubuh pasien kelonjotan, mata melotot, mulut keluar busa tidak ada. Setelah pasien mengalami kejang, pasien muntah dan langsung menangis. Muntah berisi kue yang dimakan pasien saat pagi. Ibu pasien mengatakan 5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami batuk dan flu yang kemudian diikuti dengan demam. Awalnya demam yang dialami tidak begitu tinggi, dan demam turun setelah pemberian obat penurun demam. Kemudian dimalam harinya pasien kembali demam dan demam tidak turun setelah pemberian obat penurun demam. Ibu pasien mengatakan demam yang dialami demam tinggi, saat diukur suhu
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat trauma disangkal. Riwayat kejang sebelumnya disangkal.
Riwayat Penggunaan Obat:
Pemakaian obat paracetamol sirup. Saat kejang tidak diberikan
Riwayat Penyakit Keluarga:
Kejang/epilepsi disangkal, abang pasien (anak pertama) pernah mengalami hal yang serupa dengan pasien.
Riwayat Kehamilan:
Ibu pasien ANC teratur ke bidan dan dokter kandungan. Sakit sewaktu hamil disangkal oleh ibu pasien. Ibu pasien rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter kandungan. Selain itu disangkal.
Riwayat Persalinan :
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang lahir secara section cesarea dengan berat badan lahir 3200 gr yang segera menangis.
Riwayat Imunisasi:
Menurut pengakuan ibu pasien, pasien hanya belum di imunisasi campak karena sedang sakit.
Riwayat Pemberian makanan: 0 - 6 bulan: ASI
6 bulan - 2 tahun: MPASI + makanan keluarga
Data antropometri
Berat Badan : 13 kg
Tinggi badan : 90 cm
BB/U : -2SD s/d +2 SD
BB/PB : -2SD s/d +2 SD
Status Gizi : Normal
2.3. Vital Sign
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 109 x/menit
Pernafasan : 26 x/menit
Suhu : 38,70C (axial)
Keadaan Gizi : Gizi baik
2.4. PemeriksaanFisik
a. Kulit
Warna : sawo matang
Turgor : cepat kembali
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Oedema : tidak ada
Anemia : tidak ada
b. Kepala
Rambut : Hitam, sukar dicabut
Wajah : Simetris, edema (-), deformitas(-)
Mata : Conjunctiva pucat (-/-), ikterik (-/-)
Pupil : Bulat isokor 3 mm/3 mm, refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Serumen (-/-), Sekret (-/-)
Bibir : pucat (-), mukosa basah (-), sianosis (-)
Lidah : lidah kotor(-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (+)
c. Leher
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Kaku kuduk (-)
Pembesaran KGB : Tidak ada
d. Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris.
Anterior-Posterior Kanan Kiri
Palpasi Fremitus normal Fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler Normal
Ronchi (-) wheezing (-)
Vesikuler Normal Ronchi (-) wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I > BJ II, regular, bising (-)
e. Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-), tumor(-), vena collateral(-)
Palpasi : Soepel, NT (-), H/L/R tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)
f. Genitalia : Tidak diperiksa
g. Anus : Tidak diperiksa
i. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB (-)
j. Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -
2.5.Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan 28/04/2015
Hb 10,9 gr/dl
Ht 28 %
Eritrosit 6,2 x 106/mm3
Leukosit 24.700/mm3
Trombosit 423000 U/L
E/B/NS/L/M 0/0/66/27/7
Na/K/Cl 139/4,0/100 mmol/L
Ur/Cr 14/0,20 mg/dL
2.6. Diagnosis
Kejang demam sederhana e.c tonsilofaringitis
2.7.Terapi
O2 nasal kanul 2 L/i
IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Cefotaxime 200 mg/24 jam
Inj. Ampicilin 400 mg/12 jam
Stesolid supp 10 mg bila kejang
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
FOLLOW UP HARIAN
Kepala : normocephali, rambut
normal
Cor : BJ I > BJ II, regular, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, Distensi (-)
Palpasi : Soepel
Perkusi :Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Extremitas :
Pucat /-), Ikterus /-), sianosis (-/-), edema (-/-)
ASSESSMENT:
FOLLOW UP HARIAN
Kepala : normocephali, rambut
normal
Cor : BJ I > BJ II, regular, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : Simetris, Distensi (-)
Palpasi : Soepel
Perkusi :Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)
Extremitas :
Pucat /-), Ikterus /-), sianosis (-/-), edema (-/-)
ASSESSMENT:
13 KEJANG DEMAM
3.1Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat
ataupun epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.(3)
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1)
3.2Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.
Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda bankitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.(4)
3.3Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks.(5)
Tabel 3.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks
No Klinis KD
7 Abnormalitas neurologis sebelumnya +/- +/-
Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan
35% berupa kejang demam kompleks.
3.4Faktor Resiko
a. Faktor Demam
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80C aksila atau diatas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam sebesar 80%.(6)
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia.
Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamate ekstrasel. Timbunan asam glutamate akan meningkatkan permeabilitas membrane sel terhadap
ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intra dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membrane sel neuron sehingga membrane sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.(5)
glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.(5)
b. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2) perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai bertahun-tahun pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif, sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai
prokonvulsan. pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan kejang apabila
terpicu oleh demam.(5)
c. Faktor riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan
kejang demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam maka resiko terjadinya kejang demam hanya 9%.(5)
d. Usia saat ibu hamil
tahun dapat mengakibatkan berbagai konplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.(5)
e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan
aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.(5)
f. Kehamilan primipara atau multipara
Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang mungkin terjadi adalah partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak. Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
g. Pemakaian bahan toksik
mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan resiko kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang.(5) h. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada
derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi
lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.(5)
i. Bayi berat lahir rendah
kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya.(5)
j. Kelahiran premature dan postmatur
Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar.(5)
Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic.(5)
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada multigravida , kala I selama 7 jam dan
kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.(5)
l. Persalinan dengan alat
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di
Negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah Herpes
Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis dapat terjadi
sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis,
3.5Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membrane berkisar antara 30 – 100 mV, selisih potensial membrane ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membrane ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+, K+, dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi akan mengakibatkan menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial membrane ini akan mengakibatkan permeabilitas membrane tehadap ion Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan ini
lemah, perubahan potensial membrane masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat.
Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut sebagai
respon lokal.(5)
Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+ akan meningkat
secara besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan perantara zat kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesa, maka permeabilitas membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme
pompa Na – K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.(5)
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K,
misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.(5)
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini
akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme otak.(5) Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membrane sel
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron
d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.(5)
3.6Penegakan Diagnosis
Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk
membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:(1)
a. Dari anamnesa yang didapatkan
- Umur pasien kurang dari 6 tahun (1 tahun 11 bulan)
- Kejang didahului demam
- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari
5 menit
- Kejang umum dan tonik klonik
- Kejang berhenti sendiri
- Pasien tetap sadar setelah kejang
b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan
- Suhu tubuh aksila 38,20C
- Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang terjadi pada suhu antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC.(1)
Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18 bulan.(1)
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak
yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk me-nyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang menderita kejang demam.(7)
3.7Tatalaksana
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:
a. Mencegah kejang demam berulang
b. Mencegah status epilepsy
c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
Pengobatan fase akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).(7)
Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10
mg pada berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal
30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia
lebih dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.(7)
Mencari dan Mengobati Penyebab
kontraindikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan pertama kali terjadi.(7)
Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu: (7)
• Profilaksis intermittent pada waktu demam
• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 6 jam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50C untuk
mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya
kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya diberikan Diazepam oral sebagai profilaksis, karena kondisi pasien kompos
mentis dan masih dapat mengkonsumsi obat oral.(7)
Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:
• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang
tua atau saudara kandung.
• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan
• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan. Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat yang memejiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane meneliti kejadian kang berulang sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati dengan asam valproate dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam valproat. Dosis asam valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping
yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.
Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan
menghadapi kejang demam diantara lain adalah sebagai berikut:
Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai
penanganan demam dan kejang.
Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis
0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam. Sebagai alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan fenobarbital.
Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.
Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik. Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian.(1)
3.8Prognosis
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang demam baik, bangkitan kejang demam cukup
mengkhawatirkan bagi orangtuanya.(2)
Pada kasus ini pasien mengalami batuk dan pilek sejak 5 hari sebelum
masuk rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tonsil tidak membesar tetapi hiperemis dan faring yang juga hiperemis. Sehingga dapat dipastikan bahwa demam disebabkan karena telah terjadi peradangan pada tonsil dan faring pasien. Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14 - 40% kejang terjadi pada suhu antara 38° - 38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C - 39,9ºC.
cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% -6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18 bulan. Pada kasus ini pasien telah berumur 23 bulan dan secara klinis tidak ditemukan gejala yang mengarah pada infeksi intrakranial sehingga pemeriksaan pungsi tidak perlu dilakukan.
Kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi oksidasi berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan terjadi keadaan hipoksia. Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen, serta terganggunya berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi perubahan konsentrasi ion natrium, sehingga lebih baik jika dilakukan pemeriksaan elektrolit dan glukosa darah.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini hanya keadaan tonsil dan faring yang hiperemis. Pemeriksaan penunjang berupa hasil laboratorium darah rutin mengarahkan adanya infeksi bakteri berupa kadar
leukosit yang meningkat, sehingga pemberian antibiotik diberikan pada kasus ini. Sedangkan terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan
selama pasien mengalami demam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang
suhunya mencapai 38,50C untuk mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian
Diazepam sebagai profilaksis intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan pemberian antipiretik saja.
32
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu:
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau
fungsi vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat digunakan luminal suntikan intramuscular ataupun yang lebih praktis midazolam intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi
lumbal pada saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis sulit ditemukan. Pemeriksaan laboratorium penunjang lain dilakukan sesuai indikasi.\
3. Pengobatan profilaksis.
Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien
demam (suhu rektal lebih dari 380C) dengan menggunakan diazepam
oral / rektal, klonazepam supositoria.
Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat
34
1. Pasaribu AS. Kejang Demam Sederhana Pada Anak yang Disebabkan
karena Infeksi Tonsil dan Faring. Medula. 2013;1(1):65-71.
2. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, Safdari L. Clinical, Epidemiological and Laboratory Characteristics of Patients with Febrile Convulsion. Journal of Comprehensive Pediatrics. 2013;4(3):134-7.
3. Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana Pada Anak Usia Satu Tahun.
Medula. 2013;1(1):57-64.
4. American Academy of Pediatrics. Committee on Quality Improvement,
Subcommittee on Febrile Seizures. Practice Parameter: Long-term
Treatment of the Child With Simple Febrile Seizures. Pediatrics 1999; 103 (6): 1307-9.
5. Fuadi. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak: Universitas Diponegoro; 2010.
6. Graves RC, Oehler K, Tingle LE. Febrile Seizures : Risks, Evaluation, and
Prognosis. American Family Physician. 2012;85(2):149-53.
7. Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri.