• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN TERHADAP SIFAT KIMIAWI TEPUNG IKAN SELAMA PENYIMPANAN JurusanProgram Studi Teknologi Hasil Pertanian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN TERHADAP SIFAT KIMIAWI TEPUNG IKAN SELAMA PENYIMPANAN JurusanProgram Studi Teknologi Hasil Pertanian"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PERLAKUAN PENDAHULUAN TERHADAP SIFAT KIMIAWI TEPUNG IKAN SELAMA PENYIMPANAN

Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

Oleh Denny Purnanila

H0604010

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Potensi sumber daya perikanan hasil laut di Indonesia, diperkirakan mencapai sekitar 6,5 juta ton setahun, termasuk di dalamnya potensi perairan teritorial sebesar 4,5 juta ton (Murtidjo, 2001). Produksi perikanan tangkap dari penangkapan ikan dilaut dan di perairan umum pada tahun 2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton (Ditjen Perikanan Tangkap, 2007).

Potensi sumberdaya hasil laut yang dimiliki oleh Indonesia dan produksi yang dihasilkan menunjukkan bahwa perikanan memiliki potensi yang baik untuk berkontribusi di dalam pemenuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani, di samping kontribusinya dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Produksi perikanan hasil tangkapan dari laut yang dicapai baru sekitar 30% dari seluruh potensi yang telah dimanfaatkan bagi keperluan konsumsi dan ekspor. Dari produksi perikanan tersebut, hanya sebagian kecil saja yang telah dimanfaatkan dan yang lainnya dibuang.

Bagian terbesar hasil tangkapan laut yang ada memang sudah dimanfaatkan sebagai makanan manusia. Sementara, bagian lain yang digolongkan sebagai hasil ikutan atau limbah perikanan yang terdiri atas tangkapan hasil sampingan, kelebihan hasil tangkapan pada musim puncak, sampai sekarang belum termanfaatkan secara baik.

Hasil ikan yang tidak terpakai yang mempunyai ukuran kecil jika dibuang percuma, sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi produk yg lebih bermanfaat atau mempunyai nilai tambah sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis. Ikan yg tidak terpakai tadi dapat dimanfaatkan sebagai hasil samping yaitu dibuat menjadi tepung ikan yg dapat digunakan sebagai pakan unggas, campuran biskuit, dan lain-lain.

(3)

terkontrolnya kadar protein, pengeringan dengan sinar matahari menghasilkan warna tepung ikan yang lebih gelap. Hal ini berkaitan dengan waktu pengeringan yang lebih lama sehingga suhu tidak terkontrol. Selain itu kualitas dari tepung ikan bervariasi karena bahan baku yang berupa ikan rucah kurang terseleksi secara ketat, serta terdapat kontaminasi mikrobia. Dengan melihat kenyataan di atas maka ingin dicari dan dilakukan perlakuan tertentu yang dapat mengatasi kelemahan pada pembuatan tepung ikan pada umumnya, salah satu cara adalah dengan melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut.

Dalam penelitian ini bertujuan untuk membantu perajin tepung ikan tradisional agar mendapatkan kualitas tepung ikan yang berkualitas sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan memberikan kontribusi informasi standar mutu tepung ikan yang baik. Selain itu juga produsen dapat meningkatkan kepercayaan kepada konsumen rnendapatkan bahan pangan yang berkualitas sesuai persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) dimana diketahui bahwa perajin tepung ikan tradisional mempunyai banyak kelemahan.

B. Perumusan Masalah

Perajin tradisional mempunyai prosedur pembuatan tepung ikan yaitu pembersihan ikan rucah, penjemuran setengah kering, penggilingan, penjemuran kering, penepungan yang kualitas tepung ikannya masih di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI).

Prosedur Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pembuatan tepung ikan tidak dilakukan sepenuhnya oleh perajin tradisional. Karena perajin tepung ikan tradisional membuat tepung ikan tanpa memperhatikan kualitas dari tepung ikan dan higienitas dari tempat maupun alat-alat untuk membuat tepung ikan tersebut. Sehingga para konsumen kurang berminat dengan produk tepung ikan dari perajin tradisional atau bisa dikatakan hanya sesuai pesanan.

Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh adanya antioksidan.

(4)

penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%, maka permasalahan dengan kualitas tepung ikan di bawah Standar Nasional Indonesia (SNI) diharapkan bisa lebih ditingkatkan.

Namun selama ini belum diketahui pengaruh perlakuan pendahuluan seperti pengukusan, pengukusan dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001%, perebusan, perebusan dengan penambahan Butylated hydroxytoluene (BHT) 0,001% terhadap sifat kimiawi tepung ikan sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji apakah dengan berbagai perlakuan pendahuluan ini dapat memperbaiki kualitas tepung ikan yang dibuat oleh perajin tepung ikan tradisional agar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui nilai parameter kualitas (sifat kimiawi) dari perlakuan pandahuluan yang dilakukan.

2. Untuk membandingkan nilai parameter kualitas tepung ikan hasil perlakuan pendahuluan terhadap nilai parameter kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI).

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk :

1. Untuk memberikan kontribusi kepada perajin tepung ikan tradisional agar dapat memperbaiki kualitas tepung ikan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu dengan memperbaiki aspek teknologi proses produksi.

(5)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Ikan Rucah

Tabel 2.1 Komposisi kimia dari beberapa jenis ikan rucah

Jenis Ikan Komposisi Kimia (%)

Nama lokal Nama latin Protein Lemak Abu Air

Blose Saurida sp. 16,00 0,55 1,30 79,50

Pafere (pethek) Leiognathus sp. 17,70 0,20 1,30 80,00 Tiga waja Pseudosciaena

spp.

17,82 1,73 0,01 79,27

Kerong-kerong Therapron therapen sp.

19,36 0,41 1,22 79,70

Kuniran Upeneus sp. 15,43 0,46 0,77 84,29 Kerisi Nemipterus sp. 14,80 0,47 0,70 84,00 Selangat Doerosema

chacunda

19,60 1,10 1,70 77,50

Selar kuning Caranx leptolepsis 19,02 2,28 0,88 78,85 Julung-julung Tylesorus sp. 18,02 1,45 0,10 79,98

Rejung Silago spp. 21,38 0,41 1,43 76,78

Mata besar Priacantus 18,10 0,81 1,35 79,68

Bulu ayam Thryssa 16,95 4,45 1,78 77,33

Kepala gepeng Platycephalus 20,75 0,14 1,78 77,33 Sumber: Jaringan Informasi Perikanan Indonesia, 1986 dalam Syarief, 1991.

Ikan rucah sebagai bahan baku produk tepung ikan, mudah sekali mengalami kerusakan. Sehingga jika sampai membusuk, akan menjadi bahan baku yang tidak baik digunakan dalam pembuatan produk tepung ikan (Syarief, 1991).

Bahan baku tepung ikan sampai saat ini masih menggunakan ikan rucah sebagai bahan utama. Ikan rucah termasuk bahan pangan yang kualitasnya cepat menurun terutama pada iklim tropis termasuk Indonesia. Oleh karena itu, ikan rucah memerlukan penanganan yang memadai agar kualitasnya tetap baik yaitu untuk menghambat

penurunan mutu ikan rucah dapat dilakukan dengan penurunan suhu atau pembekuan (Suwirya dkk dalam Litbang, 2002).

(6)

dan sejenisnya. Ikan rucah oleh nelayan biasa dijual dalam wadah keranjang tanpa seleksi, serta dijual dengan harga murah. Selain itu, pemanfaatan ikan rucah kurang maksimal, biasanya hanya untuk pakan ternak, ikan asin, atau pun hanya dibuang begitu saja terutama pada saat panen raya. Seperti jenis-jenis ikan yang lain, kandungan gizi ikan rucah cukup lengkap, sehingga dapat diolah menjadi bahan baku produk olahan ikan (Koesoemawardani dan Nurainy, 2008).

Untuk menjaga kualitas ikan rucah yang digunakan sebagai pakan dalam budidaya laut maka ikan rucah perlu mendapatkan penanganan yang baik. Ikan rucah yang baru ditangkap secepat mungkin diberi es, dan tidak terlalu lama di dalam kapal. Pemberian es pada ikan rucah tersebut hanyalah memperlambat proses penurunan mutu. Begitu ikan rucah sampai di darat sebaiknya langsung dicuci dan disimpan dalam freezer.

Ketersediaan ikan rucah sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga perlu tempat

penyimpanan yang memadai agar pemberian pakan tidak terputus (Suwirya dkk dalam Litbang, 2002).

2. Tepung Ikan

Definisi tepung ikan menurut standar Nasional Indonesia (SNI 01-2715-1995 tahun 1995) adalah produk yang diolah dari ikan segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut : pencucian, pengukusan atau perebusan, kemudian pengepresan, pengeringan, dan penggilingan/ penepungan. Umumnya tepung ikan dimanfaatkan untuk fortifikasi pakan ternak, unggas, ikan serta udang budidaya. Menurut Sahwan (2001) tepung ikan merupakan bahan baku yang paling penting karena paling baik sebagai sumber protein.

(7)

yang diperlukan terbuang pada proses pengolahan, randemen kecil dan cara pengoperasian lebih sukar (Syarief, 1991).

Pengolahan tepung ikan dengan cara kering dilakukan untuk ikan yang kandungan lemaknya rendah (kurang dari 5%). Urutan proses pembuatannya yaitu penggilingan kasar, pengeringan, pengepresan, penggilingan halus dan pengeringan lanjutan (Syarief, 1991).

PT. Wiraniaga Kumala Mas merupakan salah satu industri pengolah tepung ikan di jalur pantai Utara Jawa yang telah menggunakan ikan bergaram (ikan asin) sebagai bahan baku utamanya. Tepung ikan yang dihasilkan oleh PT. Wiraniaga Kumala Mas memiliki komposisi sebagai berikut: air 13,7%, abu 28,7%, lemak 7,7%, dan protein 47.5%. Dengan mengacu kepada standar mutu tepung ikan (Dewan Standarisasi Nasional, 1992), maka dapat disimpulkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan oleh indusri kecil tersebut termasuk kategoni mutu III. Konsekuensi dan rendahnya mutu produk adalah harga jual yang rendah. yaitu Rp. 2400/kg. Sedangkan harga jual untuk mutu II adalah Rp. 2850/kg dan Mutu I adalah Rp. 3700/kg (Astawan dkk, 2003).

Gambar 2.1 Diagram alir pembuatan tepung ikan yang diterapkembangkan di PT. Wiraniaga Kumala Mas.

Bahan Baku Limbah Pembuatan Bakso**

** ****888

Desalting

Direbus 10 menit

Dipress*

Dikeringkan I*

Dikeringkan II*

Digiling

Diayak*

Press Cairan

Limbah Ikan

asin Ikan Rucah

(8)

Gambar 2.1 Bagan Alir Proses Pembuatan Tepung Ikan Keterangan :

*) Penekanan proses dilakukan pada: perebusan 10 menit, pengepresan dengan alat pengepres, pengeringan dengan lantai jemur, pengayakan, dan pengemasan.

**) merupakan campuran tepung limbah bakso ikan atau tepung ikan asin hasil desalting

dengan tepung ikan rucah segar (perbandingan 4 : 1) (Astawan dkk, 2003).

Jenis tepung ikan yang dihasilkan oleh PT. Wiraniaga Kumala Mas termasuk peralihan antara mutu III dan mutu II. Komposisi kimia tepung yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Analisis proksimat tepung ikan yang diproduksi oleh PT. Wiraniaga Kuala Mas dibandingkan standar DSN 1992.

Komposisi Nilai (%) Standar Mutu III Standar Mutu II Protein (% bk) 53,7 Minimal 45% Minimal 55%

Air 10,4 Maksimal 12% Maksimal 12%

Abu 31,4 Maksimal 30% Maksimal 25%

Lemak 8,2 Maksimal 12% Maksimal 10%

Serat kasar 2,4 Maksimal 3% Maksimal 2,5%

Garam (NaCl) 0,9 Maksimal 4% Maksimal 3%

Sumber: Astawan dkk, 2003

Adapun untuk dapat menghasilkan tepung ikan berkualitas baik, sebaiknya digunakan bahan baku yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(9)

b. Kesegaran bahan baku ikan rucah yang digunakan harus baik. c. Proses pengolahan harus dilakukan dengan cepat dan bersih. d. Pengemasan dan penyimpanan produk tepung ikan harus baik. (Murtidjo, 2001).

Tepung ikan sebagai bahan baku pakan ternak merupakan salah satu hasil pengolahan produk perikanan dalam bentuk kering. Walaupun kadar air tepung ikan yang dianggap aman dari penyebab kerusakan adalah 5-6%, akan tetapi tingkat kesetimbangannya dengan keadaan lingkungan suhu dan kelembaban relatif (T dan RH) berkisar antara 10-12%. Oleh karena itu standar mutu tepung ikan di Indonesia menentukan kadar air maksimal tepung ikan adalah 10-12% (Syarief, 1991).

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) menunjukkan pertumbuhan ikan lebih cepat jika pada pakannya ditambahkan tepung ikan 10-40% dan pada ternak mampu memperbaiki pertumbuhan dan produktivitasnya (Brody, 1965). Menurut Stanby dan Dassow (1963), tepung ikan memiliki kandungan konsentrat yang tinggi, bergizi karena mengandung protein, vitamin B kompleks, mineral dan juga mengandung zat-zat tertentu yang mengarah ke pertumbuhan hewan dimana zat-zat tersebut dikenal sebagai unknown growth factors. Brody (1965) dan Rasyaf (1989), menambahkan bahwa protein dalam tepung ikan kaya akan asam amino esensial yaitu lisin dan metionin dimana tepung dari biji-bijian defisiensi akan dua asam amino tersebut. Selain itu kandungan mineral tepung akan cukup tinggi antara 12-13%, pembuatannya relatif mudah, dan biayanya tidak mahal. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasyaf (1989), tepung ikan merupakan sumber kalsium dan fospor yang baik dalam pembuatan ransum pakan unggas. Standar mutu tepung ikan yang dikeluarkan DSN dalam SNI 01-2715-1995 tahun 1995 seperti dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3. Standar mutu tepung ikan

(10)

* Echericia coli, MPN/gr maks

Persyaratan dan standar tepung ikan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penilaian secara fisik

Penilaian secara fisik meliputi parameter-parameter sebagai berikut:

a. Warna : Kuning kecoklatan atau sedikit kemerahan, tergantung jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan.

b. Bau : Produk disertai sedikit bau minyak.

c. Bentuk : Hasil penggilingan tepung ikan 100% harus dapat lolos saringan nomor 9 dan 98% dapat lolos saringan nomor 10.

d. Sifat : Produk tepung ikan bebas dari ketengikan serta tidak hangus, warna dan tingkat kehalusannya homogen.

2. Komposisi Kimiawi

Komposisi kimiawi meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Kadar air rerata 6,5%, dengan spesifikasi maksimal 10,0%.

b. Kadar protein kasar rerata 60,5%, dengan spesifikasi minimal 60,0%

c. Kadar lemak rerata 6,0%, dengan spesifikasi maksimal 10,0% atau minimal 5,0%. d. Kadar serat kasar rerata 1,0%, dengan spesifikasi maksimal 1,0%.

e. Kadar abu rerata 21,0%, dengan spesifikasi maksimal 20%. f. Kadar kalsium rerata 6,0%.

g. Kadar phospor rerata 3,0%.

h. Tulang dengan spesifikasi maksimal 15%

i. Protein tercerna dengan spesifikasi maksimal 90%. 3. Pertimbangan kualitas lainnya

(11)

a. Produk tepung ikan tidak diproses dengan suhu yang terlalu tinggi hingga hangus. b. Produk tepung ikan diawetkan dengan antioksidan, sehingga tidak mudah menjadi

tengik.

c. Produk tepung ikan memiliki kandungan tulang dan sisik maksimal 15,0%. d. Produk tepung ikan tidak dipalsu dengan bahan baku lain.

e. Produk tepung ikan mengandung pasir maksimal 1,0%.

f. Produk tepung ikan mengandung bahan NPN (Non Protein Nitrogen) maksimal 0,32%.

g. Produk tepung ikan mengandung abu yang tidak larut pada asam maksimal 2,5% (Murtidjo, 2001).

Tepung ikan mutu pangan dapat ditambahkan pada produk ekstrusi, roti, biskuit dan kue kering. Pada pembuatan produk ekstrusi tepung ikan dicampur dengan jagung, beras dan kacang hijau (Fawzya et al., 1997; Murdinah et al., 1998). Tepung ikan, tepung

kerang dan tepung udang dapat ditambahkan pada pembuatan permen jeli sebanyak 7,6% (Irianto et al., 2003).

Tepung ikan hendaknya mempunyai ukuran partikel yang seragam bebas dari serpihan tulang, mata ikan dan partikel-partikel kasar lainnya yang tertahan oleh saringan 80 mesh. Fraksi lolos 50 mesh masih dianggap terlalu besar untuk tepung ikan yang bermutu baik.

Metode pengolahan melalui tahap pengepresan akan menghasilkan warna tepung ikan yang lebih baik dan kadar lemak yang lebih rendah, sehingga mempunyai daya awet yang lebih panjang dibandingkan tanpa pengepresan (Shaleh, 1990). Ilza dkk (2000) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pengolahan tepung ikan dengan cara pengukusan terbukti menghasilkan kualitas tepung ikan yang lebih baik dibandingkan dengan cara perebusan ditinjau dari kadar protein dan organoleptik hingga penyimpanan 60 hari.

(12)

khusus ditangkap untuk dijadikan tepung ikan, hasil tangkapan sampingan (ikan rucah) dan dari limbah industri pengalengan pembekuan dan lain-lain.

Kondisi ikan bukan merupakan faktor penentu nilai nutrisi tepung ikan melainkan hanya berpengaruh pada yieldnya (Brody, 1965). Hal ini telah dibuktikan Shaleh (1990) dalam penelitiannya, bahwa tepung ikan yang diolah dari ikan lemuru segar mempunyai kandungan asam amino threonin, glisin, asam glutamat, valin, metionin, lisin dan arginin yang lebih tinggi daripada yang diolah dari ikan yang kurang segar, sedangkan kandungan asam-asam amino lainnya relatif sama.

Pemanfaatan tepung ikan untuk fortifikasi dalam produk pangan manusia tentu akan meningkatkan nilai gizi dari produk tersebut. Purnomosari (2001) dalam penelitiannya melakukan fortifikasi tepung mujair pada pembuatan kerupuk. Fortifikasi tepung mujair ini mampu meningkatkan kadar protein kerupuk dimana semakin banyak tepung ikan yang ditambahkan, semakin tinggi kandungan proteinnya. Namun fortifikasi ini mengakibatkan penurunan presentasi pengembangan volumetrik kerupuk sehingga tingkat kesukaan konsumen semakin menurun dengan semakin banyaknya tepung mujair yang ditambahkan. Tingkat penambahan tepung mujair sebesar 5% menghasilkan kerupuk yang paling disukai dibandingkan penambahan tepung mujair sebesar 10%, 15%, dan 20%.

3. Minyak

(13)

kehilangan sebagian besar air yang dikandungnya dan menjadi kering. Minyak dan lemak juga memberikan rasa gurih dan memberi aroma yang spesifik (Sudarmadji, 2003).

Kerusakan lemak minyak pada umumnya disebabkan oleh : a. absorpsi bau oleh minyak

b. aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak.

c. oksidasi oleh oksigen atau kombinasi dari dua atau lebih penyebab kerusakan diatas. Umumnya kerusakan lemak dan minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan antioksidan, prooksidan akan menghambatnya. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak dan minyak. Salah satu cara yang digunakan untuk mencegah kerusakan diatas adalah dengan penambahan antioksidan. Antioksidan adalah suatu senyawa kimia yang dalam kadar tertentu mampu menghambat atau memperlambat kerusakan lemak dan minyak akibat proses oksidasi. Berdasarkan fungsinya antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah senyawa yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan (sintetis). Antioksidan alam antara lain : tokoferol, lesitin, sesamol, fosfasida, dan asam askrobat, Antioksidan buatan adalah senyawa-senyawa fenol, misalnya : butylated hidroxytoluene (BHT). Antioksidan sekunder adalah suatu senyawa yang dapat mencegah kerja prooksidan yaitu faktor-faktor yang mempercepat terjadinya reaksi oksidasi terutama logam-logam seperti: Fe, Cu, Pb, Mn (Anonima, 2006).

(14)

asam yang besar menunjukkan asam lemak bebas yang besar berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik (Sudarmadji, 2003).

Angka asam merupakan asam lemak bebas yang berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka asam maka makin rendah kualitasnya ( Anonimb, 2007).

Angka asam lemak bebas pada minyak atau lemak hasil ekstraksi dapat ditentukan dengan cara titrasi. Angka asam lemak bebas dinyatakan dalam % asam lemak yang dianggap dominan pada sampel produk yang dianalisis. Adanya asam lemak bebas cenderung menunjukkan terjadinya ketengikan hidrolitik, namun masih dimungkinkan oksidasi lemak menghasilkan asam-asam organik lainnya (Rahardjo, 2004).

Metode angka peroksida mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Pengukuran dilakukan dengan titrasi menggunakan larutan iod dan dinyatakan sebagai miliequivalen (meq) peroksida per kg minyak. Pada angka peroksida tinggi jelas mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain. Oleh karena itu pengukuran angka peroksida harus dilakukan beberapa kali dalam interval waktu tertentu (Gray and Monahan dalam Rahardjo, 1992).

(15)

Lemak dan minyak dapat mengalami kerusakan yang dapat menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau pada lemak yang bersangkutan. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 2000).

Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh pembentukan senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida. Menurut teori yang sampai kini masih dianut orang, sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom karbon yang letaknya di sebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas (Winarno, 2000).

Kemudian radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida, dan keton yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak. (Winarno, 2000).

Kemungkinan kerusakan lemak dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu : (1) absorbsi bau oleh lemak, (2) aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, (3) aksi mikrobia dan oksidasi oleh oksigen udara atau (4) kombinasi dari dua atau lebih penyebab kerusakan tersebut. Bentuk kerusakan, terutama ketengikan yang paling penting disebabkan oleh aksi oksigen udara terhadap lemak. Dekomposisi lemak oleh mikroba hanya dapat terjadi jika terdapat air, senyawa nitrogen dan garam mineral, sedangkan oksida oleh O2 udara terjadi secara spontan jika bahan yang mengandung

(16)

yang mudah mengalami oksidasi spontan adalah asam lemak tidak jenuh dan sejumlah kecil persenyawaan (Ketaren, 1986).

Ada dua tipe kerusakan lemak dan minyak yang utama, yaitu : a. Ketengikan

Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan cita rasa yang tak diinginkan dalam lemak dan minyak dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak itu.

b. Hidrolisis

Hidrolisis minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak karena kegiatan enzim (Buckle, 1985).

Menurut Ketaren (1986) proses oksidasi tidak ditentukan oleh besar kecilnya jumlah lemak dalam bahan sehingga bahan yang mengandung lemak dalam jumlah kecil pun mudah mengalami proses oksidasi. Fosfolipid dalam jumlah kecil pun dapat teroksidasi, sebagai contoh ialah kadar fosfolipid dalam susu sekitar 0,03% dapat mempercepat kerusakan susu, daging dan ikan karena proses oksidasi. Pengaruh oksidasi terhadap lemak dapat dilihat pada gambar 2.2

Gambar 2.2. Pengaruh proses oksidasi terhadap komponen dalam lemak Lemak tak jenuh + O2

Lipo peroksida, aldehida, asam keton

hidroksi, epoksi, polimer Oksidasi berantai

menyebabkan menyebabkan

Off odour, destruksi asam lemak esensial, browning dengan protein, kemungkinan menimbulkan keracunan

(17)

Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi yang tidak dipanaskan (dimasak) rata-rata 17,2%, sedang jika dimasak dengan suhu 600C, kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2 - 13,2% (Muchtadi dkk, 1992).

4. Antioksidan

Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang mempunyai satu elektron/lebih yang tidak berpasangan biasanya pada rumus bangunnya ditulis dengan titik tebal dibelakang atom atau molekul ( R ). Radikal bebas di dalam tubuh sangat berbahaya sebab untuk memperoleh pasangan elektron, ia amat reaktif dan merusak jaringan (Afriansyah, 1996).

Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran ultraviolet, zat kimiawi dalam makanan dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata. Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas adalah serangan jantung dan kanker (Wikipedia, 2008).

Berbagai definisi telah diberikan untuk menggambarkan “antioksidan”. Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell, 1990 cit Ardiansyah, 2007).

Menurut Cuppert (1997) Disitir Widjaya (2003) antioksidan dinyatakan sebagai senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat dioksidasi.

(18)

Antioksidan sebenarnya didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil. Akan tetapi jika dikaitkan dengan radikal bebas yang dapat menyebabkan penyakit, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen reaktif (Sofia, 2008). Oksidasi adalah suatu proses normal di dalam tubuh sehingga panas dan energi bebas dilepaskan untuk mempertahankan temperatur tubuh, membentuk dan memperbaiki sel-sel jaringan, menguraikan dan mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan, serta untuk proses metabolisme yang lain. Akan tetapi, pada kondisi tertentu yang tidak normal misalnya infeksi, inflamasi, paparan biota asing yang berlebihan (xenobiotics), pemutusan ikatan oleh cahaya dapat menyebabkan oksidasi yang bersifat destruktif. Oksidasi yang bersifat destruktif dapat menyebabkan kerusakan sel-sel dan jaringan. Bahkan, melalui proses oksidasi yang normal pun kerusakan sel-sel juga dapat terjadi (Silalahi, 2006).

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi didalam bahan. Antioksidan terutama penting dalam melindungi lemak, bahan pangan yang dapat dibuat dengan lemak sabun, produk karet, produk petroleum, pelumas, plastik, kosmetika, dan beberapa obat-obatan. Meskipun kerusakan mikrobiologis merupakan faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pengawetan bagian karbohidrat dan protein suatu produk pangan, namun oksidasi adalah faktor utama yang mempengaruhi kualitas lemak, minyak, dan bagian lemak dari pangan. Lemak dan minyak mudah mengalami oksidasi yang mengakibatkan kerusakan karena timbulnya bau dan cita rasa menyimpang. Antioksidan efektif dalam mengurangi ketengikan oksidatif dan polimerisasi tetapi tidak mempengaruhi hidrolisis atau reverse. Penggunaan antioksidan disini tergantung pada macam lemak yang distabilkan. Sebagai contoh beberapa tipe kacang seperti kacang kenari, kacang tanah, dan lain-lainnya perlu distabilkan dahulu sebelum ditambahkan pada permen. Mentega yang digunakan dalam permen biasanya distabilkan dengan kombinasi Butylated Hydroxyanisole (BHA) dan Butylated Hydroxytoluene (BHT) (Cahyadi, 2006).

(19)

perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh adanya antioksidan.

Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt, 1992; Ardiansyah, 2007). Berbagai sumber nutrisi yang mengandung antioksidan diantaranya adalah semua biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran, hati, tiram, unggas, kerang, ikan, susu, dan daging (Destiutami, 2007).

Dewasa ini telah dikenal kurang lebih sebanyak 500 macam persenyawaan kimia yang mempunyai aktivitas anti-oksidan, yaitu dapat menghambat atau mencegah kerusakan lemak atau bahan pangan berlemak akibat proses oksidasi. Pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzene tidak jenuh disertai gugusan hidroksil atau gugusan amino. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi, yaitu: 1) pelepasan hidrogen dari antioksidan, 2) pelepasan elektron dari anti-oksidan, 3) adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Antioksidan dapat menghambat setiap tahap proses oksidasi. Dalam industri pangan, oksidasi lemak biasanya disertai dengan off flavor yang disebabkan oleh persenyawaan aldehid dan keton. Persenyawaan aldehid dan keton ini merupakan hasil pemecahan dari rantai asam lemak tidak jenuh (Ketaren, 1986).

(20)

yang ditambahkan sebagai bahan tambahan pangan. Kemampuan bertahan antioksidan terhadap proses pengolahan sangat diperlukan untuk dapat melindungi produk akhir.

Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus mempunyai sifat-sifat tidak toksik, efektif pada konsentrasi yang rendah (0,01–0,02%), dan dapat terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (bersifat lipofilik). Selain itu, antioksidan harus dapat tahan pada kondisi pengolahan pangan pada umumnya. Antioksidan yang sering ditambahkan ke dalam makanan dapat bersifat alami, seperti tokoferol dan beta-karoten atau merupakan antioksidan sintetis seperti butylated hydorxyanisole (BHA), butylated hydroytoluene (BHT), PG (propil galat), dan TBHQ (di-t-butyl hydroquinone (Siagian, 2002).

Pada umumnya antioksidan alami yang banyak dalam lemak dan minyak nabati tidak cukup untuk menghambat proses ketengikan atau kerusakan pada lemak dan minyak. Untuk menghambat kerusakan pada lemak dan minyak perlu ditambahkan antioksidan sintetis untuk bahan pangan lain dengan mengacu peraturan pangan.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan antioksidan sintetis pada bahan pangan adalah :

a. Efektif pada konsentrasi rendah (0,001-0,01%).

b. Tidak memberikan efek yang tidak diinginkan terhadap bau, warna, rasa, dan karakteristik lain pada makanan.

c. Mempunyai kesesuaian dengan makanan dan mudah untuk digunakan.

d. Mempunyai kestabilan pada pengelolaan lebih lanjut dan pada penyimpangan makanan (Sebayang, 2008).

Minyak hidrokarbon seperti parafin dan minyak mineral juga mempunyai ikatan tak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Untuk bahan ini, BHT merupakan antioksidan yang paling efektif dan biasanya digunakan konsentrasi 0,0025%. Antioksidan dalam bentuk padat biasanya mudah larut dalam paraffin panas atau minyak mineral panas (Tranggono dkk, 1990).

(21)

yang sudah tengik, (c) antio kerusakan mikroba (Coppen, 5. Butylated Hydroxytoluene

Butylated Hidroxytolu ijin untuk digunakan sebaga Administrasi Makanan dan and Human Services, 2005).

Gambar 2.3 Kristal pu Sumber: Jack Reed, Departm

Gambar 2.4

Butylated Hydroxyto diformulasikan secara khus tanah, makanan, dan pakan.

tioksidan tidak dapat mencegah kerusakan hidro en, 1983).

ne (BHT)

toluene (BHT) telah dipatenkan pada tahun 1947 gai bahan tambahan makanan dan bahan pengaw

n Obat United State pada tahun 1954 (Departm 5).

putih Butylated Hydroxytoluene (BHT).

rtment of Entomology, Mississippi State Universit

2.4. Struktur Kimia Butylated Hydroxytoluene (B (statcounter.com).

ytoluene (BHT) banyak digunakan sebagai usus digunakan dalam plastik, elastomers, p n.

idrolisis, maupun

47 dan mendapat awet oleh Badan rtment of Health

rsity.

BHT).

(22)

BHT terdiri dari 3 macam :

1. Kristal BHT : terdiri dari kristal bentuk acak

2. Bedak BHT : khusus dirancang dalam bentuk serbuk

3. Cairan BHT : cairan volume besar yang dapat mencair karena suhu dengan suhu 100 oC.

Kelebihan BHT diantaranya :

a. Mengawetkan bahan organik dengan mengurangi efek dari waktu, panas, cahaya. b. Mencegah pembentukan minyak menjadi tengik.

(Manura, 1995).

Tabel 2.4 Komposisi Butylated Hydroxytoluene (BHT). Kimia

Nama Kimia 2,6Di-tert-butyl-para cresol (2,6 DBPC) BHT Sinonim 2,6-diterbutyl-3-metyl phenol

CAS No. 128-37-0

Kemurnian WT % 99,0 menit Warna yang mencair 50,0 APHA maks Campuran abu % WT 0,01 maks

Kelembaban % WT 0,1 maks Residu pada pengapian 0,002% maks

Arsenik 3 ppm max

Fisik

Tampilan Kristal putih solid

Formula WT 220,35

Berat jenis 20/4C:1,01

Titik beku 69 oC

Titik didih 265 oC (760 mm) 190 oC (100 mm)

Titik tercepat 245 oC dari ASTM D93-73 Gelas tertutup 118,3 oC

Index Refractive 1,49 (Manura, 1995).

(23)

putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Propil galat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya 148 0C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck, 1991).

6. Pengeringan

Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara simultan, yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air yang dipindahkan dari permukaan bahan, yang dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas.

Tujuan pengeringan adalah

mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti. Dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lebih lama (Nani, 2007).

Dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Dalam hal ini, kandungan uap air udara lebih sedikit atau udara mempunyai kelembaban nisbi yang rendah sehingga terjadi penguapan (Adawyah, 2007).

Kemampuan udara membawa uap air bertambah besar jika perbedaan antara kelembaban nisbi udara pengering dengan udara sekitar bahan semakin besar. Salah satu faktor yang memepercepat proses pengeringan adalah kecepatan angin atau udara yang mengalir. Udara yang tidak mengalir menyebabkan kandungan uap air di sekitar bahan yang dikeringkan semakin jenuh sehingga pengeringan semakin lambat (Adawyah, 2007).

(24)

Pengering ini mirip lemari yang merupakan sebuah ruangan yang dibatasi oleh sekat-sekat dimana bahan yang dikeringkan diletakkan dalam nampan/ baki. Udara dari sumber panas dibantu dengan kipas angin yang diletakkan dalam lori yang dihembuskan pada bahan yang dikeringkan. Biasanya digunakan di laboratorium untuk mengeringkan sayuran, buah-buahan, dan bahan makanan yang lain (Kusmawati dkk, 2000).

Cabinet dryer ini dindingnya tebal sehingga panas yang ada dalam ruangan tidak keluar melainkan lewat cerobong sehingga hemat pemanasan dan bahan cepat kering. Digunakan untuk berbagai pengeringan bahan seperti tepung-tepungan, daun-daunan, empon-empon,ubi dll (Arifin, 2007).

Cabinet dryer ini mempunyai banyak keuntungan yaitu dapat dilakukan secara terus menerus, pemakaian tidak tergantung dengan cuaca, bebas sama sekali dari lalat, waktu pengeringan relatif pendek, kapasitas alat pengering besar, mutu ikan asin yang dihasilkan lebih baik (Adawyah, 2007).

7. Penyimpanan

Penyimpanan tepung ikan dalam karung plastik atau kemasan yang dilapisi polietilen kedap uap air telah banyak dilakukan. Masalah yang timbul umumnya berupa penggumpalan bagian-bagian tertentu akibat peningkatan kadar air. Penyimpanan tepung ikan pada kadar air di atas 12% dapat menimbulkan serangan jasad renik. Kadar lemak tepung ikan berkisar 10-12%. Kadar lemak yang terlalu tinggi akan menyebabkan ketengikan (Syarief, 1991).

(25)

bahan pengemas terhadap uap air sangat berperan terhadap kualitas produk yang dikemas (Downes dan Harte, 1982).

Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan 1. Jenis & karakteristik produk pangan

a. Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar.

b. Produk yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity, sedang produk yang mengandung protein & gula berpotensi mengalami reaksi maillard (warna coklat).

2. Jenis & karakteristik bahan kemasan

Permeabilitas bahan kemas terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen).

3. Kondisi lingkungan

a. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan degradasi warna.

b. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. (Labuza dan Schmild, 1984).

Selama penyimpanan dapat terjadi penyimpangan warna, yaitu tepung ikan yang semula putih kekuningan (dari ikan rucah) atau abu-abu dari limbah pengolahan ikan berubah menjadi coklat yang disertai bau tengik (Syarief, 1991).

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kemunduran mutu. Suhu rendah mampu untuk menghambat reaksi kimia, reaksi enzimatis, atau pertumbuhan mikroba (Winarno, 1973) sehingga masa simpan dapat diperpanjang dengan kualitas yang relatif baik. Dalam Djundjung (1988), bahwa kemampuan memperpanjang umur simpan dalam suhu dingin sangat tergantung pada jenis produk atau bahan pangan.

(26)

1. Perubahan kimiawi

Produk perikanan yang disimpan pasti akan mengalami perubahan kimiawi dan penyebabnya antara lain karena aktivitas enzim, mikrobia maupun kondisi penyimpanannya. Perubahan kimiawi yang terjadi seperti degradasi protein, oksidasi lemak dan perubahan kadar air atau aw bahan.

2. Perubahan mikrobiawi

Proses pembusukan pada produk perikanan selama penyimpanan juga dapat disebabkan oleh adanya mikrobia perusak. Mikrobia ini setiap saat akan terus meningkat jumlahnya, karena mengandung sejumlah protein yang merupakan makanan bagi mikrobia tersebut. Menurut Eskin dkk (1971) pertumbuhan mikrobia selama penyimpanan disebabkan karena tersedianya komponen-komponen organik yang ada pada daging ikan terutama protein. Selanjutnya, Chen dkk dalam Sonisa (1998) menyatakan bahwa ada hubungan antara kandungan protein dengan pertumbuhan bakteri proteolitik yang dapat merombak protein menjadi senyawa sangat sederhana. Bakteri tersebut antara lain Bacillus subtilis, Escherichia coli, Proteus vulganis, dan Clostridium sporangenus.

3. Perubahan fisik dan organoleptik

Bahan pangan yang disimpan akan mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh kondisi penyimpanannya. Penurunan kualitas produk ikan antara lain ditandai dengan adanya aroma dan rasa yang tidak enak. Produk tersebut sudah mengalami proses pembusukan sehingga tidak diterima oleh konsumen. Proses pembusukan yang diawali dengan perubahan tekstur ini dapat disebabkan karena adanya aktivitas enzim dan mikroba yang ada dalam produk ikan tersebut. Akibat penyimpanan pada produk perikanan telah diketahui akan menurunkan nilai organoleptiknya. Hal ini disebabkan karena terjadinya dekomposisi asam lemak, protein, atau kedua-duanya yang menghasikan senyawa volatil yang berbau tidak enak. Penyebab bau yang tidak enak pada produk hasil perikanan selain disebabkan oleh karena degradasi protein, juga adanya kerusakan lemak karena proses oksidasi yang menimbulkan bau tengik.

(27)

Pengemasan merupakan tahap yang harus dilakukan dalam rangkaian proses pengolahan. Secara umum pengemasan bertujuan untuk melindungi produk dari kerusakan karena pengaruh lingkungan selama penyimpanan, distribusi dan pemasaran. Dewasa ini terdapat berbagai macam bahan pengemas untuk berbagai penggunaan yaitu logam kayu, logam yang bersifat fleksibel, plastik, kertas karton, kayu laminasi, serta kombinasi dari berbagai bahan untuk memperoleh sifat yang tidak mungkin dipenuhi oleh satu jenis bahan pengemas. Cara pengemasan juga bermacam-macam disesuaikan dengan tujuan tertentu tergantung pada jenis bahan yang akan dikemas (Basworo, 1998).

Pada umumnya tujuan pengemasan adalah memelihara aseptabilitas bahan pangan misalnya warna, tekstur dan citarasa serta memelihara nilai gizi selama transportasi dan distribusi (Ketaren, 1986).

Peranan utama pengemasan dalam pengawetan bahan makanan adalah memberi perlindungan terhadap masuknya bahan dari luar dan kotoran selama penyimpanan. Bahan pengemas diharapkan dapat memperpanjang umur simpan produk. Lebih lanjut, pengemasan ditujukan untuk menyajikan produk dalam bentuk yang bisa menarik pembeli (Suyitno, 1990).

Wadah yang dibuat dari plastik dapat berbentuk film (lembaran plastik), kantung, wadah dan bentuk-bentuk lain seperti botol, kaleng, stoples

dan kotak. Kini penggunaan plastik sangat luas karena relatif murah ongkos produksinya, mudah dibentuk menjadi aneka model, mudah penanganannya dalam sistem distribusi dan bahan bakunya mudah diperoleh (Syarief, Rizal dan Anies Irawati, 1988).

Untuk membatasi dan mengendalikan pengaruh kondisi lingkungan terhadap produk sampai batas tertentu, dapat ditempuh dengan melakukan pengemasan menggunakan bahan pengemas dan cara pengemasan yang baik atau sesuai. Bahan pengemas yang kini digunakan secara luas adalah plastik karena mudah didapatkan dan harganya relatif murah. Terdapat berbagai macam plastik dengan sifat proteksinya yang sangat bervariasi dan dengan pemilihan jenis plastik yang tepat, tujuan pengemasan dapat tercapai dengan biaya murah (Benning, 1983).

(28)

1. Tepung ikan disajikan dalam bentuk tepung atau padatan yang dikemas dengan karung plastik atau kemasan lain yang sesuai, bersih, kering, dan dijahit kuat, dengan berat maksimal 75 kg.

2. Pemberian merk di bagian luar kemasan berupa tulisan yang tidak mudah luntur dan tertulis jelas, meliputi nama barang, nama/kode dan alamat perusahaan, berat bersih (netto), kode dan tanggal produksi, serta tanggal kadaluwarsa.

3. Pemberian merk, di bagian dalam dari kemasan diberi label yang tidak mudah luntur dan tertulis jelas, misalnya mengenai kandungan atau komposisi nutrisinya (dalam%). 4. Jenis antioksidan (pengawet) yang digunakan sesuai dengan yang diizinkan

(Murtidjo, 2001).

Polypropilen (PP) termasuk jenis plastik olefin yang merupakan polimer dari propilen. Sifat umum PP :

1. Ringan, mudah dibentuk, tembus pandang, jernih dalam bentuk film. Tidak transparan dalam bentuk kaku.

2. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE.

3. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen.

4. Titik leburnya tinggi, sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim panas yang baik (Syarief, Rizal dan Hariyadi Halid, 1989).

Polipropilen (PP) merupakan salah satu jenis termoplastik yang pertama kali direkomersialkan pada tahun 1950-an. Polipropilen dibuat dengan polimerisasi katalitik dari monomer propilen menggunakan panas dan tekanan. Polipropilen banyak digunakan untuk pengemas makanan yang bersifat kaku (Brown, 1992).

Polipropilen dihasilkan dengan polimerisasi gas polipropilen murni dengan Ziegler-Natta katalis. Polipropilen merupakan plastik dengan densitas antara 0,9-0,91. Polipropilen mempunyai sifat kekakuan yang baik, kuat, permukaan mengkilap dan kenampakan yang bening (Kondo, 1990) dan polipropilen juga memiliki sifat transparan susu pada bentuk film, tahan terhadap panas, relatif sulit ditembus oleh air akan tetapi mudah ditembus oleh gas.

(29)

air, akan tetapi mudah sekali ditembus oleh gas. Polipropilen baru akan meleleh pada suhu 162oC sehingga dapat digunakan sebagai kemasan kantong yang tahan terhadap proses pemanasan suhu tinggi seperti sterilisasi. Sifat tahan terhadap suhu tinggi membawa konsekuensi menjadi sulit direkatkan dengan menggunakan panas.

Polipropilen bersifat lebih keras dan titik lunaknya lebih tinggi dari pada PEDT, lebih kenyal namun daya tahannya terhadap kejutan lebih rendah terutama pada suhu rendah. Tidak mengalami stress cracking oleh perubahan kondisi lingkungan, tahan terhadap sebagian besar senyawa kimia, kecuali pelarut aromatik dan hidrokarbon klorida dalam keadaan panas. Sedangkan sifat permebilitasnya terletak antara PEDR dan PEDT. Permukaannya yang keras dan licin membuatnya sulit ditulisi atau ditempeli tinta (Suyitno, 1990).

Polipropilen merupakan polimer dari propilen. Plastik jenis ini bersifat lebih kuat, kaku dan ringan dibanding dengan polietilena dengan daya tembus uap air yang rendah, tahan terhadap lemak, stabil pada suhu tinggi dan cukup mengkilap (Buckle dkk., 1978). Polipropilen juga mempunyai daya tahan yang sangat baik terhadap zat kimia (Setiadji, 1993).

B. Kerangka Berpikir

Gambar 2.6 Kerangka Berpikir Penelitian Tanpa Proses Penepungan

Membusuk

Pengawetan dengan Proses Penepungan

Analisis terhadap kualitas Tepung Ikan (air, abu, protein, lemak,

angka peroksida) Ikan

(30)

C. Hipotesa

(31)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Lama pelaksanaan penelitian dilaksanakan bulan Juli - September 2009.

B. Bahan, Alat dan Tahap Penelitian 1. Bahan

Bahan dasar yang digunakan untuk penelitian adalah ikan rucah diperoleh dari TPI di Juwana, Kabupaten Pati Jawa Tengah, es batu, Bahan yang di gunakan untuk uji uji sifat kimia (protein adalah katalis N campuran Na2SO4 : HgO, asam sulfat pekat, NaOH,

asam borat 4%, indikator PP, HCl 0,02 N, dan sampel tepung ikan), (angka peroksida adalah larutan asam asetat-kloroform (3:2), larutan KI jenuh, 0,1 N natrium thiosulfat, larutan pati 1 %), (lemak adalah pelarut organik petroleum ether, sampel tepung ikan), (kadar air adalah sampel tepung ikan), (kadar abu adalah sampel tepung ikan).

2. Alat

Alat yang digunakan adalah pisau, panci, telenan, blender, termos, sendok besar, nampan, gelas ukur, kabinet dryer, timbangan analitik, timbangan, kempa hidrolik, alat penggiling, ayakan 80 mesh dan kompor. Sedangkan alat yang digunakan pada uji sifat kimia kadar protein (labu destruksi/ labu kjeldahl, desikator, gelas ukur, pemanas listrik, buret, erlenmeyer, uji kadar lemak (alat ekstraksi soxhlet, eksikator, kertas saring bebas lemak, dan neraca analitik), uji kadar air (botol timbang, eksikator, oven, penjepit), uji kadar abu (krus, oven, neraca analitik, desikator, tanur).

3. Tahap Penelitian

a. Pembuatan tepung ikan

(32)

dahulu dengan mengaliri air sampai semua kristal es mencair. Kemudian dilakukan pemasakan dengan pengukusan dan perebusan selama 10 menit pada suhu 100°C. Selanjutnya dilakukan pengepresan yang bertujuan untuk mengurangi air dan lemak dalam ikan. Bungkil yang diperoleh dari pengepresan, dihancurkan dengan alat penggiling dan dikeringkan dengan cabinet dryer selama 8 jam pada suhu 50-60°C. Setelah benar-benar kering, bungkil dihancurkan/diblender kemudian diayak menggunakan ayakan ukuran 80 mesh. Setelah itu baru ditambahkan antioksidan BHT 0,001% yang sudah dilarutkan dengan etanol. Lalu dikemas dengan plastik polipropilen 0,03 mm dan direkatkan dengan alat press. Tepung yang diperoleh siap untuk disimpan pada suhu kamar (kurang lebih 27°C) dan selanjutnya dianalisa kimia dan kerusakan minyak. Analisa dilakukan pada hari ke-1, 14,28.

Metode Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 1 : dilakukan Pengukusan tanpa Penambahan BHT

0,001% (tanda

*

)

*

Ikan rucah

Thawing

Pengukusan 10 menit, T = 100oC (P1)

(33)

Cairan

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 1

Keterangan :

*

= Pengukusan tanpa penambahan BHT 0,001%

Metode Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 2 : dilakukan Pengukusan dengan Penambahan BHT

0,001% (tanda

*

)

*

Cairan Pengepresan

Penggilingan Bungkil

Pengeringan 8 jam, T = 50-60oC

Penghancuran

Pengayakan 80 mesh

Pengemasan PP 0,03 mm

Penyimpanan selama 28 hari

Analisa kimia dan angka peroksida pada hari ke-1,14,28

Ikan rucah

Thawing

Pengukusan 10 menit, T = 100oC (P2)

Pengepresan

(34)

*

Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 2

Keterangan :

*

= Pengukusan dengan Penambahan BHT 0,001%

Metode Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 3 : dilakukan Perebusan tanpa Penambahan BHT

0,001% (tanda

*

)

*

Cairan Penggilingan

Pengeringan 8 jam, T = 50-60oC

Penghancuran

Pengayakan 80 mesh

Penambahan BHT 0,001%

Pengemasan PP 0,03 mm

Penyimpanan selama 28 hari

Analisa kimia dan angka peroksida pada hari ke-1,14,28

Ikan rucah

Thawing

Perebusan 10 menit, T = 100oC (P3)

(35)

Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 3

Keterangan :

*

= Perebusan Tanpa Penambahan BHT 0,001%

Metode Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 4 : dilakukan Perebusan dengan Penambahan BHT

0,001% (tanda

*

)

*

Cairan Penggilingan

Bungkil

Pengeringan 8 jam, T = 50-60oC

Penghancuran

Pengayakan 80 mesh

Pengemasan PP 0,03 mm

Penyimpanan selama 28 hari

Analisa kimia dan angka peroksida pada hari ke-1,14,28

Ikan rucah

Thawing

Perebusan 10 menit, T = 100oC (P4)

Pengepresan

(36)

*

Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ikan Perlakuan 4

Keterangan :

* =

Perebusan dengan Penambahan BHT 0,001%

C. Metode Analisa

Dalam penelitian ini menggunakan menggunakan metode analisa, yaitu analisa kimia. Jenis dan metode analisa dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

No Macam uji Metode 1

2

3 4

Kadar Air Kadar Abu

Kadar Protein total Kadar Lemak

Gravimetri (Anton Apriyantono dkk, 1989)

Cara Penetapan Total Abu (Anton Apriyantono dkk, 1989)

Mikro Kjehdahl (Anton Apriyantono dkk, 1989) Metode Soxhlet (Anton Apriyantono dkk, 1989)

Penggilingan

Pengeringan 8 jam, T = 50-60oC

Penghancuran

Pengayakan 80 mesh

Penambahan BHT 0,001%

Pengemasan PP 0,03 mm

Penyimpanan selama 28 hari

(37)

5 Angka Peroksida (Sudarmadji, 1984)

D. Rancangan Percobaan

Penelitian menggunakan pola rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan berdasar perbedaan perlakuan pendahuluan. Adapun perlakuan tersebut yaitu : pengukusan, pengukusan dengan penambahan BHT 0,001%, perebusan, perebusan dengan penambahan BHT 0,001%. Dalam penelitian ini dilakukan dengan dua kali ulangan analisa kimia dan analisa kerusakan minyak. Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap pertama dilakukan untuk mengetahui perlakuan pendahuluan yang terbaik dan tahap ke dua dilakukan untuk mengetahui analisa kimia dan tingkat kerusakan minyak selama penyimpanan 28 hari. Analisis data yang diperoleh dianalisa dengan Anova dan apabila ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan α = 0,05.

(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Analisa Sifat Kimiawi Tepung ikan

Tepung ikan yang mempunyai fungsi utama dalam pembuatan pakan ikan dan pakan ternak lain dapat ditingkatkan mutunya dengan penggunaan bahan baku dan penerapan teknologi dalam proses produksinya. Namun demikian, apabila kondisi penyimpanan tepung ikan kurang memadai akan menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan penurunan kualitas tepung ikan. Pengamatan terhadap perubahan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, angka peroksida tepung ikan dilakukan untuk mengetahui penurunan kualitas tepung ikan selama penyimpanan.

1. Analisa Kadar Air Tepung Ikan

Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan daya awet bahan pangan tersebut. Makin rendah kadar air, makin lambat pertumbuhan mikroorganisme sedangkan bahan pangan tersebut dapat tahan lama (Winarno, 2002).

Tabel 4.1 Hasil Analisa Kadar Air Tepung Ikan (%db)

Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

(39)

P3 : Direbus

P4 : Direbus + BHT 0,001%

Dari tabel 4.1 terlihat hasil analisa kadar air dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, dalam variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar air yang dihasilkan pada tepung ikan.

Dari tabel 4.1 terlihat hasil analisa kadar air dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yaitu pada hari 1 penyimpanan kadar air tertinggi pada perlakuan dikukus dengan penambahan BHT 0,001% pada hari ke-1 dan yang paling rendah pada perlakuan dikukus pada hari ke-14. Perlakuan dengan penambahan BHT 0,001% pada hari ke-14 dan ke-28 cenderung ± 4,9% dan perlakuan tanpa penambahan BHT 0,001% cenderung ± 3,5%. Selama penyimpanan dari hari ke-1 sampai ke-14 umumnya untuk perlakuan dengan penambahan BHT 0,001% dan tanpa penambahan BHT 0,001% terjadi penurunan yang beda nyata. Pada penyimpanan hari ke-14 sampai ke-28 tidak terjadi penurunan yang signifikan, hal ini disebabkan karena telah terjadi keseimbangan kadar air antara tepung ikan dengan lingkungannya.

Pengaruh lama penyimpanan tepung ikan terhadap kadar air tepung ikan dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kadar air tepung ikan menurun selama penyimpanan. Selama

5.5405c

Grafik 4.1 Persentase Kadar Air Tepung Ikan

(40)

penyimpanan terjadi penguapan air yang menyebabkan airnya menurun sampai terjadinya equilibrium moisture containe (keseimbangan kadar air) berkisar 3-4%.

Pada proses pengeringan terjadi penguapan air dari bahan yang diikuti dengan perpindahan massa dari dalam bahan ke permukaan secara difusi karena adanya panas (Hall, 1971). Proses utama pengeringan adalah transfer panas dan massa. Panas ditransfer dari udara pengering yang bersuhu 60 ºC, kemudian air dimobilisasi keluar untuk kemudian diuapkan. Uap air selanjutnya diserap udara pengering dan keluar bersama dengan udara sisa pengering sehingga air yang semula terperangkap dalam struktur 3 dimensi gel akan menguap dan akan dihasilkan tepung ikan yang teksturnya keras.

Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan pengukusan menghasilkan tepung ikan dengan rata-rata kadar air yang lebih rendah dibandingkan tepung ikan dengan perebusan. Penambahan BHT sebagai antioksidan pada tepung ikan menunjukkan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT. Tepung ikan dengan penambahan BHT mengalami hidrolisa lemak yang lebih lambat sehingga kebutuhan air untuk hidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas lebih sedikit sehingga penurunan kadar airnya lebih sedikit. Menurut Sri Raharjo (2004), kadar air tepung ikan selama penyimpanan sangat dipengaruhi oleh adanya hidrolisa lemak tepung ikan maupun penyerapan uap air ke dalam tepung ikan tersebut.

Pada penelitian ini tepung ikan disimpan dalam plastik polipropilen. Pengemasan yang rapat menyebabkan terjadinya kontak antara tepung ikan dan udara lebih sulit sehingga proses pengikatan air oleh tepung ikan semakin lambat. Akibat dari proses tersebut, tepung ikan akan tidak akan memadat dan dalam keadaan paling buruk mengeluarkan bau tidak sedap. Menurut Winarno (1997), keberadaan air dapat menyebabkan lemak menjadi terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak sehingga

menyebabkan ketengikan hidrolitik. Tepung ikan mutu I dan mutu II menurut standar SNI 01-2715-1995 berkadar air maksimal 10% dan 12%. Setelah penyimpanan selama 28

hari, kadar air tepung ikan tidak melebihi 12%. Hal ini terlihat bahwa tepung ikan termasuk dalam standar mutu I maupun mutu II pada akhir penyimpanan.

(41)

Dari tabel 4.2 terlihat hasil analisa kadar abu dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa variasi perlakuan pendahuluan berpengaruh nyata terhadap kadar abu yang dihasilkan tetapi pada lama waktu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap kadar abu dari tepung ikan.

Tabel 4.2 Hasil Analisa Kadar Abu Tepung Ikan (%db)

Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

H1P1 dengan perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% menunjukkan kadar abu

14.996f 14.675d 14.918ef

Grafik 4.2 Persentase Kadar Abu Tepung Ikan (%)

(42)

lebih rendah dibandingkan tepung ikan dengan perebusan dengan penambahan BHT 0,001%. Perebusan menunjukkan kadar abu lebih rendah dibandingkan dengan pengukusan. Dimana pengukusan menunjukkan kadar abu yang paling tinggi. Hal ini disebabkan oleh beragamnya jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung ikan (Murtidjo, 2001). Selain itu dikarenakan pencampuran antara daging ikan, sisik ikan, tulang kurang merata.

Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar abu yang terkandung dalam tepung ikan maksimal 4%. Kadar abu tepung ikan berkisar antara 13,785% - 21,927%, sehingga kadar abu tepung ikan tidak memenuhi standar mutu tepung ikan sesuai dengan SNI 01-2715- 1995.

3. Analisa Kadar Protein Tepung Ikan

Tabel 4.3 terlihat hasil analisa kandungan protein dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap kadar protein dari tepung ikan yang dihasilkan.

Tabel 4.3 Hasil Analisa Kadar Protein Tepung Ikan (%db)

Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

(43)

Dari tabel 4.3 terlihat bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan mempengaruhi dari kandungan protein yang terdapat pada tepung ikan. Penambahan BHT 0,001% pada tepung ikan menunjukkan rerata kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT 0,001%. Namun pengukusan dan perebusan pada proses pembuatan tepung ikan memberikan perubahan yang signifikan pada peningkatan protein selama penyimpanan. Secara umum, selama penyimpanan terjadi kenaikan protein pada semua perlakuan pada tepung ikan. Kenaikan kadar protein ini disebabkan karena penurunan kadar air dan degradasi lemak sehingga mengurangi proporsi lemak pada tepung ikan selama penyimpanan.

Pada grafik 4.3 terlihat bahwa penyimpanan pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001% dari hari ke-1 sampai hari ke-28 tidak terjadi perubahan yang signifikan. Pada penyimpanan perlakuan pengukusan dari hari ke-1 sampai hari ke-14 terjadi penurunan 1%, tetapi pada hari ke-14 sampai hari ke-28 terjadi kenaikan kadar protein yang tinggi sebesar 9%. Dari semua perlakuan, hanya pada perlakuan pengukusan yang mengalami kenaikan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kadar air rendah dan pada hari ke-14 sampai hari ke-28 terjadi penurunan kadar lemak sehingga kadar protein mengalami kenaikan yang signifikan.

Kelarutan protein yang terekstrak di dalam air dipengaruhi oleh ukuran partikel, perbandingan bahan dan air serta suhu air untuk ekstraksi. Perbandingan bahan dan air yang cukup akan menyebabkan seluruh partikel-partikel bahan kontak dengan air,

71.383cde

Grafik 4.3 Persentase Kadar Protein Tepung Ikan

(%)

(44)

sedangkan ukuran partikel yang kecil akan menyebabkan kontak antara bahan dan air lebih baik (Prihtiyono, 1998).

Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar protein yang terkandung dalam tepung ikan mutu I sebesar 60% dan mutu II sebesar 45%. Kadar protein tepung ikan berkisar antara 63,097% -73,477%, sehingga kadar protein tepung ikan memenuhi standar mutu I sesuai dengan SNI 01-2715-1995.

4. Analisa Kadar Lemak Tepung Ikan

Tabel 4.4 terlihat hasil analisa kandungan lemak dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap kadar lemak dari tepung ikan yang dihasilkan.

Tabel 4.4 Hasil Analisa Kadar Lemak Tepung Ikan (%db)

Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

(45)

Dari tabel 4.4 terlihat bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan mempengaruhi dari kandungan lemak yang terdapat pada tepung ikan. Pada hari ke-1 sampai hari ke-14 semua variasi perlakuan mengalami kenaikan kadar lemak yang signifikan, dimana pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001% dan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% mengalami kenaikan kadar lemak yang tinggi yaitu sekitar 4%. Kenaikan terbesar pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001%. Menurut Belitz dan Grosch (1998) kadar air juga mempengaruhi kandungan lemak didalam bahan. Menurut Buckle, dkk (1987), semakin rendah kadar air maka kandungan lemak akan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin tinggi kadar air maka kandungan lemak akan semakin rendah.

Pada hari ke-14 sampai hari ke-28 untuk semua perlakuan pendahuluan terjadi penurunan kadar lemak sekitar 2%-3% selain perlakuan perebusan yang terjadi kenaikan kadar lemak sekitar 2,5%. Hal ini diduga karena lemak terdegradasi oleh peroksida.

Dari keseluruhan perlakuan, kadar lemak tertinggi pada perlakuan perebusan dengan penambahan BHT 0,001% pada hari ke-14 sebesar 11,603% dan terendah pada perlakuan perebusan pada hari ke-1 sebesar 5,609%.

Menurut Standar Nasional Indonesia tentang standar mutu tepung ikan, kadar lemak yang terkandung dalam tepung ikan mutu I sebesar 10% dan mutu II sebesar 15%. Kadar lemak tepung ikan berkisar antara 5,609%- 11,603%, sehingga kadar lemak tepung ikan memenuhi standar mutu I sesuai dengan SNI 01-2715-1995.

7.245d

Grafik 4.4 Persentase Kadar Lemak Tepung Ikan

(%)

(46)

5. Analisa Angka Peroksida Tepung Ikan

Tabel 4.5 terlihat hasil analisa angka peroksida dari tepung ikan. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil yang beda nyata antar perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa variasi perlakuan pendahuluan dan lama waktu penyimpanan berpengaruh terhadap kadar peroksida dari tepung ikan yang dihasilkan.

Tabel 4.5 Hasil Analisa Angka Peroksida Tepung Ikan (%db)

Sampel Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

(47)

Dari tabel 4.5 terlihat hasil analisa angka peroksida dari tepung ikan. Tepung ikan dengan perlakuan pengukusan menunjukkan angka peroksida lebih rendah dibandingkan tepung ikan dengan perebusan. Penambahan BHT 0,001% pada tepung ikan saat perebusan maupun pengukusan menunjukkan angka peroksida yang berbeda nyata dibandingkan tepung ikan tanpa penambahan BHT 0,001%. BHT (Butylated hydroxytoluene) adalah antioksidan primer yang sering digunakan dalam bahan makanan (Winarno,1997). Antioksidan hanya berfungsi untuk menghambat reaksi oksidasi dan tidak dapat menghentikan sama sekali proses autooksidasi pada lemak. Kerja antioksidan dalam menghambat kerusakan lemak yaitu dengan menghambat pembentukan radikal bebas pada tahap inisiasi atau menghambat reaksi berantai pada tahap propagasi pada reaksi autooksidasi. Peningkatan angka peroksida terjadi pada semua perlakuan pendahuluan. Tetapi perlakuan pendahuluan yang peningkatannya tidak terlalu signifikan adalah pada perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001%. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan pengukusan menghasilkan kadar air yang sedikit, sedangkan kerusakan lemak memerlukan kadar air yang lebih banyak. Maka dengan kadar air yang sedikit dapat mengakibatkan angka peroksidanya rendah. Apalagi dengan penambahan BHT 0,001%, maka dengan adanya antioksidan BHT akan menghambat kerusakan lemak sehingga peningkatan kadar peroksida masih rendah. Tepung ikan dengan perlakuan pengukusan dan pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% menunjukkan angka

5.608f

Grafik 4.5 Persentase Angka Peroksida

Tepung Ikan (mg ekiv/kg)

(48)

peroksida yang tidak beda nyata. Tetapi selain perlakuan itu, menunjukkan angka peroksida yang tidak beda nyata.

(49)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tepung ikan hasil perlakuan pengukusan mempunyai rerata kadar air 3,532%; kadar abu 21,768%; kadar protein 66,607%; kadar lemak 7,843%; angka peroksida 2,853 mg ekivalen peroksida/kg.

2. Tepung ikan hasil perlakuan (pengukusan dengan penambahan BHT 0,001%) mempunyai rerata kadar air 5,314%; kadar abu 13,891%; kadar protein 72,774%; kadar lemak 8,830%; angka peroksida 3,215 mg ekivalen peroksida/kg.

3. Tepung ikan hasil perlakuan perebusan mempunyai rerata kadar air 4,148%; kadar abu 14,566%; kadar protein 69,706%; kadar lemak 7,139%; angka peroksida 5,305 mg ekivalen/kg.

4. Tepung Ikan hasil perlakuan (perebusan dengan penambahan BHT 0,001%) mempunyai rerata kadar air 5,125%; kadar abu 14,863%; kadar protein 71,113%; kadar lemak 9,279%; angka peroksida 8,872 mg ekivalen peroksida/kg

5. Pengukusan dengan penambahan BHT 0,001% akan menghasilkan tepung ikan yang lebih baik daripada ketiga perlakuan yang lain dilihat dari kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, angka peroksida selama penyimpanan.

6. Perlakuan pengukusan dan perebusan pada proses pembuatan tepung ikan memberikan perubahan yang signifikan pada peningkatan kadar protein selama penyimpanan.

7. Perlakuan pengukusan dengan penambahan BHT 0,01% dan perebusan dengan penambahan BHT 0,001% memberikan pengaruh nyata selama penyimpanan 28 hari. 8. Penambahan BHT sebagai antioksidan sebesar 0,001% efektif dalam menghambat

terjadinya oksidasi selama penyimpanan.

9. Tepung ikan hasil perlakuan pengukusan lebih baik daripada perebusan dilihat dari parameter kualitas (sifat kimiawi).

Gambar

Tabel 2.1 Komposisi kimia dari beberapa jenis ikan rucah
Gambar 2.1 Diagram alir pembuatan tepung ikan yang diterapkembangkan di  PT.
Tabel 2.2 Analisis proksimat tepung ikan yang diproduksi oleh PT. Wiraniaga Kuala
Tabel 2.3. Standar mutu tepung ikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Individu yang sering mengalami orgasme ketika berhubungan seksual dengan pasangannya dilaporkan memiliki tingkat kepuasan seksual yang tinggi. Hal ini dilaporkan

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk merancang campuran beton mutu tinggi dengan bahan tambah superplasticizer dan

Terdapat delapan permasalahan utama terkait jalan pertanian di Provinsi Jambi yang menyangkut aspek pendanaan dan aspek teknis lainnya, seperti konektivitas,

Iklan Baris Iklan Baris JAKARTA UTARA Serba Serbi JAKARTA BARAT Rumah Dikontrakan Rumah Dijual JAKARTA PUSAT JAKARTA SELATAN JAKARTA SELATAN JAKARTA TIMUR JAKARTA TIMUR BODETABEK

Dengan melihat faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen mengambil keputusan dalam hal pembelian, maka penulis berharap dapat membuktikan bahwa terdapat

Hasil penelitian didapatkan dari 16 pasang kembar dengan 320 pola pada jari tangan, pola sidik jari yang terbanyak yaitu pola whorl 173 jari tangan (54,06%), dengan

Kako ne postoji hrvatski instrument koji mjeri doživljaj mobinga, ovo pilot istraživanje i prikazani rezultati 1 su preliminarni u ispitivanju primjenjivosti instrumenta

pada gelas kimia tidak mengalami perubahan juga tidak terdapat adanya gas atau gelembung, tidak terdapat adanya gelembung tersebut membuktikan bahwa tidak