perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam
Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
ARDANI NIRWESTHI
NIM. E 0008287
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI
Oleh
ARDANI NIRWESTHI
NIM. E 0008287
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juni 2012
Dosen Pembimbing
Pius Triwahyudi, S.H., M.Si.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI
Oleh
ARDANI NIRWESTHI
NIM. E 0008287
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 19 Juli 2012
DEWAN PENGUJI
1. Lego Karjoko, S.H.,M.H. : ………
Ketua
2. Purwono Sungkowo Raharjo, S.H. : ………
Sekretaris
3. Pius Triwahyudi, S.H.,M.Si. : ………
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Ardani Nirwesthi
NIM : E 0008287
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2012
Yang membuat pernyataan
Ardani Nirwesthi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v ABSTRAK
ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. ASPEK HUKUM
MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON
SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional dan mengetahui implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari.
Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah jenis bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis bahan hukum menggunakan interpretasi dengan menemukan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa hukum sehingga memperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasulkan kesimpulan. Kesatu Kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional, zaman penjajahan tanah Keraton Surakarta diatur didalam Rijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938 kekuasaan penuh mengelola tanah Keraton mengenai tanah magersari dikelola sendiri oleh Keraton Surakarta. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 khusus pembentukan hukum nasional tentang tanah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945. Hukum adat yang berlaku kurang bisa mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme. Ketentuan tersebut menjadikan tanah Keraton yang termasuk tanah magersari menjadi milik negara. Kedua, bahwa implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) masih belum cukup untuk mengatur keberadaan tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukum menjadi tidak jelas. Permasalahan ketidak harmonisnya mengenai pemegang hak pengelolaan tanah magersari antara pemerintah Kota Surakarta atau Keraton Surakarta, sehingga adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB dan uang sewa atau duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Pajak PBB untuk pemerintah Kota Surakarta dan uang sewa atau
duduk lumpur untuk Keraton Surakarta. Pengaturan tanah magersari belum jelas
menjadikan orang yang magersari menjadi kesewenang-wenangan melakukan kecurangan menempati tanah magersari bukan abdi dalem Keraton Surakarta, dan diketemukan warga yang tidak punya Palilah Griya Pasiten maka tidak membayar yang ditarik oleh Negara. Oleh karena itu diharapkan adanya peraturan yang jelas dari pemerintah mengenai pengelolaan tanah magersari di Keraton Surakarta.
commit to user
vi
ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. LEGAL ASPECT OF
MAGERSARI AND THE IMPLICATION TO SURAKARTA PALACE AND
THOSE UNDERTAKING MAGERSARI. Faculty of Law of Sebelas Maret
University.
This research aims to find out the legal position of magersari in the national legal system and to find out the implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and those in position as magersari.
This writing was a normative law research that was prescriptive in nature. The approach used was statute, case, and conceptual approaches. The types of law material used were primary and secondary law materials. Technique of collecting law material used was interpretation by looking for law giving the most vivid explanation about legislation text so that the norm scope can be defined relating to the law event to obtain the answer to the problem raised.
Based on the result of research and discussion, the following conclusion could be drawn. Firstly, the legal position of magersari about the Surakarta Palace’s land in the national legal system had been governed in colonial age in Rijkblad Surakarta Number 14 of 1938 stating that the full authority of managing the Palace’s land on magersari land is held by the Surakarta Palace itself. After Indonesia’s independency on August 17, 1945 particularly the establishment of national legislation about land was governed in the article 33 clause (3) of RI’s 1945 Constitution. The customary law enacted could integrate inadequately the society as a national unity. The Act Number 5 of 1960 (UUPA) gave law certainty about the land with dualism and pluralism. Such the provision made the Palace’s land including into magersari land belonged to the state. Secondly, the implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and those in position of magersari in Act No.5 of 1960 (UUPA) still inadequately governed the existence of magersari land in Surakarta City so that the law certainty became vague. The problem of disharmony of magersari land management right holder between the Surakarta City Government and the Surakarta Palace, resulted in double tax, namely Land and Building Tax (PBB) and lease cost or duduk Lumpur the Baluwarti people should assume. Land and Building Tax for Surakarta city and lease tenant or duduk Lumpur for Surakarta Palace. The magersari land regulation had not been clear yet making those who performed magersari misused the land arbitrarily by occupying the magersari
land not belonging to the Surakarta Palace’s abdi dalem (servant), and some people were found having no Palilah Griya Pasiten so that they did not pay the billing from the state. For that reason, it is expected a clear regulation from the government concerning the management of magersari landin Surakarta Palace.
Keywords: legal aspect of magersari, Surakarta Palace and those undertaking
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii MOTTO
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya”
(QS. Al Baqarah: 286)
“Ketahuilah, bahwa kehidupan di dunia itu merupakan roda perputaran masa
yang berubah berganti, apabila engkau memiliki watak tawakal dan ikhlas dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu, engkau akan menjadi
orang yang paling kaya di antara para manusia”
(Sasangka Jati)
“Mereka yang berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa lalu, mereka yang
tak pernah berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa depan”
(Mario Teguh)
“Meninggal dunia itu pasti dan Hidup di dunia itu tidak pasti karena hidup di
dunia hanya sementara maka janganlah lekat dengan keduniawian”
(Ardani Nirwesthi)
“Ulat Sumeh Gawe Renaning Wong Akeh”
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi)
dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana. Penulisan
hukum ini, penulis beri judul “Aspek Hukum Magersari dan Implikasinya
Terhadap Keraton Surakarta dan Orang yang Magersari ”.
Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis bermaksud
menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah memberi
bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupu imateriil selama
penyusunan penulisan hukum ini terutama kepada :
1. ALLAH SWT yang senantiasa menjaga dan melindungi penulis dalam setiap
langkah dan mencari ridho-Nya.
2. Nabi Muhammad SAW junjungan dan suri tauladan yang baik untuk penulis
dalam menjalani kehidupan.
3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Ibu Wida Astuti, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis.
5. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Penulisan
Hukum (Skripsi).
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
atas segala dedikasinya selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Ayahanda Mayor (Tek) Djoko Widodo dan Ibunda Enie Jatmikaningtyastuti,
S.Pd., M.Pd, yang menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan pengabdian diri
penulis. Terima kasih untuk kasih sayang, doa serta segenap pengertian,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
8. Kedua kakakku Serka Dona Ifi Kharisma, S.E., M.M beserta istrinya, dan
Lettu Denni Aristia Adi, S.Pd beserta istrinya yang telah memberikan
nasehat, semangat dan doa untuk penulis.
9. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum UNS, spesial untuk Atika,
Alphi, Iffa, Dwi, NA, Maya, Corry, Siska, Ryan, Fathony, Trisna, Helena.
10. Teman-teman yang selalu mendengarkan curhatan penulis Puspa, Jezi,
Inggrid, Adhe, Niken, Mas Adi, Mba Nira, Mas Wica, Mba Dita, Mas
Satriyo.
11. Teman-teman seperjuangan waktu magang di Boyolali, yaitu Tiara, Dewi,
Oki, Luvy, Vitri, Yoni, Yoga, dan teman-teman lain angkatan 2008 yang
tidak bisa penulis sebut satu persatu.
12. Keluarga Besar KSP Principium FH UNS, terima kasih atas pengalaman dan
suasana kekeluargaannya ada Mas Aji, Mas Haris, Mas Yovi, Mas Tejo, Mas
Gatot, Mb Citra, Mb Ariyani, Miqdad, Prita, Citra Widi, Mia, Naning, Indri,
Maulida, Faradina, Kiki, Danang, Dias, Indra, Rifzki, Isti, Mira, Fika, Nares,
dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.
13. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan
satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima
dengan senang hati.
Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan pengetahuan dan
pengembangan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.
Semoga pihak-pihak yang telah membantu penulisan ini mendapat pahala dari
Allah SWT. Amin.
Surakarta, 1 Juli 2012
commit to user
x DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
HALAMAN MOTTO ... vii
KATA PENGANTAR ………..….. viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR BAGAN ………..………..……... xii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 13
1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional ... 13
2. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanh ... 20
3. Tinjauan Tentang Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat ... 29
4. Tinjauan Tentang Hak Tanah Atas Keraton Surakarta ... 33
5. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta ... 35
B. Kerangka Pemikiran ... 37
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Magersari Dalam Sistem Hukum Nasional ... 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2. Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria... 44
3. Hak Pengelolaan Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta... 52
B. Implikasi Sistem Hukum Nasional Terhadap Keraton Surakarta
Selaku Pemilik Tanah dan Orang yang Berkedudukan sebagai
Magersari... 55
1. Status Magersari Dengan Berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.. 55
2. Wewenang dan Kewajiban Pemegang Tanah Hak Magersari... 69
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan ... 84
B. Saran ... 86
commit to user
xii
DAFTAR BAGAN
Halaman
BAGAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan
bangsa kita. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik
permasalahan pertanahan yang berbeda di antara satu wilayah dengan wilayah
lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar pemahaman
dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia
memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan
sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting (Arie Sukanti Hutagalung,
2009:1).
Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan
magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara individu
dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan
hukum adat (Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat
(Mohammad Hatta, 2005:40).
Manfaat tanah tidak hanya pada nilai ekonomisnya, tetapai juga
mengandung nilai politik, sosial, dan budaya. Sehingga permasalahan yang
berkaitan dengan tanah seringkali terjadi, bahkan bisa dikatakan sebagai masalah
yang sulit dan rumit. Masalah pertanahan dari hari ke hari semakin mencuat dalam
kehidupan masyarakat. Beberapa kondisi dalam masyarakat yang menggambarkan
masalah utama bidang pertanahan dewasa ini, diantaranya semakin maraknya
konflik dan sengketa tanah, semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan
tanah pada sekelompok kecil masyarakat, dan lemahnya jaminan kepastian hukum
atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah serta masih banyaknya
tanah-tanah di Indonesia ini yang belum jelas status hukumnya.
Di lingkungan Magersaren (magersari) istilah magersari dikenakan bagi
orang kebanyakan (bukan keluarga bangsawan) yang hidup dan tinggal dalam
waktu yang lama di atas tanah milik Keraton Surakarta. Sebenarnya beberapa aset
keraton telah berganti kepemilikan. Di mulai oleh siapa dan bagaimana caranya
commit to user
akan dijual tentu saja sangat meresahkan bagi orang-orang yang menumpang
hidup selama berpuluh tahun di atas tanah magersari. Apalagi adanya gesekan
peraturan perundangan antara yang milik Republik Indonesia dan yang milik
keraton (http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011
jam 20.13 wib).
Keraton Surakarta memiliki sejumlah besar aset tanah berklasifikasi
Sunan Grond yang tersebar di berbagai tempat. Tanah milik raja pribadi ini,
seharusnya tak dapat semena-mena diambil alih hak kepemilikannya begitu saja.
Namun faktanya, Sunan Grond termasuk, pesanggrahan-pesanggarahan dan
tanah-tanah makam milik Kraton Surakarta Hadiningrat banyak yang berubah
menjadi pemukiman padat penduduk. Karaton Surakarta Hadiningrat sendiri
menyadari persoalan tanah merupakan masalah peka. Wilayah Kota Surakarta
tidak mungkin diperluas tanpa harus berhadapan dengan pertambahan jumlah
penduduk serta gelombang urbanisasi yang tidak tercegah. Akibatnya muncul
semacam lapar lahan dalam masyarakat. Kecenderungan selama ini menunjukkan
banyak areal yang terlihat kosong, tidak peduli milik siapa, diserobot tanpa izin
menjadi pemukiman illegal (Much Bintang Arief Martoadi, Pelaksanaan Jual Beli
Tanah Magersari Milik Kraton Surakarta Hadiningrat Di Desa Pesarean
Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Suatu Tesis. 2009 : hal 5).
Di tengah perubahan jaman yang sedang kencang-kencangnya pandangan
masyarakat terhadap kehidupan kaum priyayi pun berubah drastis. Jika dahulu
masyarakat yang menumpang hidup di tanah keraton begitu taksim dan hormat
karena diijinkan tinggal di sana dengan gratis atau hanya bayar uang kebersihan,
sekarang mereka mudah memandang sinis karena praktek jual beli dan pindah
tangan harta pusaka, rumah dan tanah keraton oleh kerabat istana yang sering
mengakibatkan mereka menjadi korban pelengkap penderita. Jika mau
menyalahkan tidak bisa karena sebenarnya mereka tinggal di sana berpuluh tahun
hanya menumpang tinggal di tanah yang bukan milik mereka. Dan sering dituntut
harus berterimakasih oleh diri mereka sendiri. Tidak menyalahkan juga tidak bisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
(http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011 jam 20.13
wib).
Sampai sekarang Keraton Surakarta masih berpolemik dengan
warga-warga yang mendiami tanah dan bangunan milik Keraton, sebenarnya konsep
awal Keraton Surakarta memberikan hadiah kepada para abdi dalem atau putra
dalem, yakni rumah sebagai pemberian yang dikarenakan jasa-jasa mereka kepada
Karaton, dengan menggunakan hak “anggadhuh” atau Keraton Surakarta hanya
meminjaminya saja dan bisa menariknya kapanpun kalau Keraton Surakarta mau.
Namun di kemudian hari, bangunan yang dulu ditempati oleh abdi dalem dan
putra dalem sekarang telah berubah ditempati oleh ahli waris mereka. Seharusnya
ketika abdi dalem atau putra dalem meninggal, hak “anggadhuh” itu selesai.
Tanah dan bangunan itu kosong dan dapat ditempati oleh abdi atau putra dalem
yang lain dan masih hidup di lingkungan Keraton Surakarta (GRA. Koes
Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah
dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status
dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu
Tesis. 2008. hal. 17.)
Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 telah
menghadirkan peraturan-peraturan mengenai tanah yang selama ini mempunyai
sifat dualisme antara tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan hukum adat
serta menjadi pedoman bagi pemerintah dan masyarakat (Adrian Sutedi, 2010:1),
khususnya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan pejabat lain yang
berwenang dalam melaksanakan tugasnya berkaitan dengan tanah.
Dalam hukum pertanahan nasional, tanah Keraton, baik Sultan Ground
atau tanah magersari, tidak diatur secara pasti dan tegas dalam peraturan
perundang-undangan oleh pemerintah. Secara yuridis formal, berdasarkan
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), Sultan
Ground atau tanah magersari dianggap tidak ada.
Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau
bekas Swapraja yang masih ada, pada waktu mulai berlakunya Undang-Undang
commit to user
tanah Keraton beralih kepada Negara atau menjadi tanah Negara. Meski demikian,
Sultan Ground memang secara nyata ada dan diakui pemerintah.
Atas dasar itulah, sebagai bentuk pengakhiran kebimbangan tentang
bagaimana status Karaton Surakarta Hadiningrat sehingga Presiden Soeharto
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan
Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta.
Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang
Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta, sebenarnya memberikan
peluang kepada Keraton Surakarta untuk kembali menguasai dan memiliki
aset-aset yang telah hilang, sebab Keppres itu memberikan wewenang untuk memiliki
kepada Karaton Surakarta. Tetapi dalam Keppres itu membatasi luas wilayah
karaton yang hanya dibatasi Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan serta Masjid
Agung, jadi tanah dan bangunan yang berada di luar wilayah itu kemungkinan jadi
bukan milik Keraton Surakarta walaupun berstatus Sunan Grond. (GRA. Koes
Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah
dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status
dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu
Tesis. 2008. hal. 19.)
Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk mempelajari dan
mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam sebuah penulisan penelitian
hukum dengan judul : “ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG
YANG MAGERSARI” .
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis
merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
mengumpulkan, menyusun, menganalisis, dan mengkaji bahan secara lebih
rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional?
2. Bagaimana implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta
selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam
suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan
penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum
nasional.
b. Mengetahui implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap Keraton
Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai
magersari
2. Mengetahui Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis
bidang hukum administrasi Negara khususnya aspek hukum magersari
dan implikasinya antara Keraton Surakarta dan orang yang magersari.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar
akademik sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
D.Manfaat Penelitian
Suatu penelitian diharapkan memberikan suatu manfaat. Penulis berharap
kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam penulisan hukum ini dapat
commit to user
ini dikelompokkan menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai
berikut :
1. Manfaat Teroritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya dan Hukum Agraria pada khususnya; dan
b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum Agraria
tentang aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Karaton
Surakarta dan orang yang magersari.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh;dan
b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna bagi
para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat untuk
mengkaji permasalahan yang sejenis.
E.Metode Penelitian
Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi
bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang
tertentu. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum
yang timbul dan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan (Peter Mahmud
Marzuki, 2005:41). Untuk mendapatkan bahan hukum dan prosedur penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
hukum magersari dan implikasinya antara karaton Surakarta dan orang yang
magersari, maka digunakan metode penelitian yang sesuai. Adapun metode
penelitian yang digunkan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagi berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian
hukum normatif atau doctrinal research. Terry Hunchinson
memperjelaskan pengertian hukum doktinal sebagai berikut, “research
which provides a systematic exposition of the rule governing a particular
legal category, analyses the relationship between rules, explains areas of
difficulty and, perhaps, predict future development.” (Terry Hunchinson
dalam Johnny Ibrahim, 2007:44).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang
bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta
disebabkan oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jawaban yang diharapkan dalam
penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong
(Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang
mempelajari ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan
norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Tujuan dari
penelitian ini untuk mencapai hasil yang memberikan preskripsi mengenai
apa yang seyogyanya mengenai aspek hukum magersari dan implikasinya
terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya “Penelitian hukum”, disebutkan bahwa dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian
commit to user
kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).
Adapun pendekatan yang digunakan Penulis dalam penelitian ini
yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus
(case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan undang dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan aspek hukum magersari
dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari .
Pendekatan kasus dengan menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan
dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton
Surakarta dan orang yang magersari. Pendekatan konseptual beranjak
dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam
ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang
relevan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton
Surakarta dan orang yang magersari
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Di dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan jenis dan
sumber bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan aspek
hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang
yang magersari yang akan menunjang diperolehnya jawaban atas
permasalahan penelitian yang diketengahkan penulis.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, dan catatan-catatan resmi atau risalah-risalah dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum
primer dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
3) Penetapan Pemerintah No. 16/SD/1946 tentang Pemerintah di
daerah Istimewa Surakarta dan Yogjakarta.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan
Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah;
6) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 Tentang Status dan
Pengelolaan Kraton Kasunanan Surakarta di Kelurahan Baluwarti
Kota Surakarta; dan
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:141).
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan dengan jalan membaca
peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun
literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan
bahan hukum sekunder. Dari bahan tersebut kemudian dianalisis dan
dirumuskan sebagai bahan penunjang di dalam penelitian ini.
6. Teknis Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian
rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna
commit to user
bahan hukum dilakukan secara interpretasi atau penafsiran, merupakan salah
satu penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang
mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaedah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Interpretasi dibedakan
menjadi interpretasi berdasarkan kata undang-undang, interpretasi
berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interpretasi sistematis,
interpretasi histories, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris,dan
interpretasi modern ( Peter Mahmud Marzuki, 2005:106-107).
Adapun metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang
Interpretasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang di dalam
undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata
yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak
bertele-tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak
mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal itu
sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau aturan
ataupun larangan;dan
b. Interpretasi sistematis
Menurut pendapat P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah
interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu
undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga harus dilihat
bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat
asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis
adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun
ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran umum secara menyeluruh menegnai
sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan
hukum, maka penelitian menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum.
Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang
tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksud untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.
Bab pertama mengenai pendahuluan. Pada bab ini penulis
mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan
hukum. Di dalam latar belakang masalah dipaparkan adanya fakta hukum
yang menjadi latar belakang masalah, yaitu aspek hukum magersari dan
implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari. Rumusan
masalah dimaksudkan untuk mempertegas ruang lingkup penelitian dan untuk
menghindari kemungkinan penyimpangan dari permasalahan pokok yang
diteliti. Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan obyektif dan
tujuan subyektif. Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat
praktis. Metode penelitian mencangkup jenis penelitian, pendekatan
penelitian, sifat penelitian, jenis dan sumber bahan hukum, teknik
pengumpulan bahan hukum, teknis analisis bahan hukum. Pada sistematika
penulisan hukum akan diuraikan secara garis besar atau gambaran menyeluruh
tentang hal-hal yang akan dibahas dalam penulisan hukum.
Bab kedua mengenai tinjauan pustaka. Pada bab ini penulis
memaparkan sejumlah landasan teori dari para pakar dan doktrin hukum
berdasarkan literature-literatur yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu :
1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai :
a. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah
b. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
commit to user
d. Tinjauan Tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta
e. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta
2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur berpikir dari penulis
berupa konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini.
Bab ketiga mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari
proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua
pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu kedudukan hukum
magersari dalam sistem hukum nasional dan implikasi sistem hukum
nasional tersebut terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan
orang yang berkedudukan sebagai magersari.
Bab keempat diuraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh
dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran yang
relevan yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional
a. Asas Nasionalitas
Pasal 1 UUPA
(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia.
(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang
angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang
bersifat abadi.
Jadi, bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia
menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak
dari para pemiliknya saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah dan
pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah
atau pulau yang bersangkutan saja. Dalam pasal 3 ayat 3 ini berarti
bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia
masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu masih
ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut.
b. Asas Hak Menguasai Negara
Pasal 2 UUPA
(1) Atas dasara ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa
commit to user
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasikekuasaan seluruh rakyat.
Perkataan “dikuasai” bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi.
(2) Hak menguasai dari Negara termasud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hhubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Hak menguasai dari Negara tersebut ditujukan untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagian dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Atas dasar hak menguassai dari Negara tersebut, Negara dapat
memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu
hak menurut peruntukan dan keperluannya. Misalnya Hak Milik, Hak
Guna Usaha dan lainnya.Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari
Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
c. Asas Pengakuan Hak Ulayat
Pasal 3 UUPA
“Dengan mengingat etentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.”
Pasal 5 UUPA
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.”
Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya.[2]Hak ulayat atas tanah masyarakat
hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah
masyarakat hukum adat.
1). Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam
Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam
menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan
kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara kesejahteraan
anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar tidak timbul
bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang menarik ialah ketika
pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka masyarakat hukum
adatlah yang menjadi ahli warisnya.
2). Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan
Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak
perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh
seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah
tersebut.Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin diakui
sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi
commit to user
3). Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar
Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah
dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat
hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya.Cara mendapatkan izin
ialah dengan memberikan barang (pengisi adat) secara terang dan tunai.
Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem
Hukum Agraria Nasional akan tetapi dalam pelaksanannya berdasarkan
asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika
masyarakat hukum adat berdasarkan hak ulayatnya menolak dibukaknya
hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan
proyek-proyek yang besar, misalnya pembukaan areal pertanian yang baru,
transmigrasi dan lainnya.
d. Asas Tanah mempunyai Fungsi Sosial
Pasal 6 UUPA : “Semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial.”
Tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat
daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat
dan Negara.Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa
kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan
umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan
pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
e. Asas Perlindungan
Pasal 9 (1) jo. pasal 21 ayat 1 UUPA:
“Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas
ketentuan pasal 1 dan 2.” Yaitu bahwa orang perseorangan atau badan
hukum dapat mempunyai hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Pasal11 (2) UUPA:
“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan
rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”
1). Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing.
2). Pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).
3).Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang
luasnya terbatas.
4).Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat
mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2).
5).Dasar pertimbangan melarang badan-badan hukum mempunyai hak
milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu
mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya.
6).Boleh hak lain, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi
keperluan-keperluannya yang khusus (hak usaha, hak
guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).
7).Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud
menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas
tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).
8).Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mem-
punyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma-
syarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan,
sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu
"escape-clause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai
hak milik.
9).Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada
keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum
diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan
hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai
commit to user
10).Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan
keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya
diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu.
Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu
mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
f. Asas Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan
Pasal 9 (2) UUPA:
“Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas
tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.”
Pasal 11 (20) UUPA :
“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan
rakyat diamana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap
kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”
Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian
dengan wasita, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi
golongan-golongan yang lemah.
Dalam hubungan itu dibuat ketentuan yang dimaksudkan
mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang
lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria.
Segala usaha bersama dalam lapangan agrarian harus didasarkan
atas kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah
adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan
agrarian yang bersifat monopoli swasta.Dan tidak hanya monopoli
swasta, tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
g. Asas Tanah untuk Pertanian
Pasal 10 (1) UUPA :
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak ats tanh
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan tau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
Pasal 12 UUPA :
(1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas
kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam
bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.
(2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan
usaha bersama dalam lapangan agraria.
Pasal 13 UUPA :
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan
agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan
kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3)
serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup
yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria
dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat
monopoli swasta.
(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat
monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan
sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di
lapangan agraria.
Pelaksanaan asas tersebut menjadi dasar hampir diseluruh dunia
yang menyelenggaarakan landreform.Yaitu tanah pertanian harus
dikerjakan atau diusahakan secara efektif oleh pemiliknya sendiri.
h. Asas Tata Guna Tanah
commit to user
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”
Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara
dalam bidang agrarian, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai
peruntukan, penggunaan dan persedian bumi, air dan ruang angkasa
untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara.
2.Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah
a. Pengertian Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak
penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau
dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah
yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam hukum tanah (Boedi Harsono, 2005: 283).
Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno
Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk
kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,
peternakaan, perkebunan (Urip Santosa, 2010: 49).
b. Macam Hak Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas dasar
menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik sendirian
maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu
pula bumi dan air serta ruang udara diatasnya sekedar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal
16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dikelompokkan menjadi 3 bidang,
yaitu:
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap
Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku
selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan
undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak
sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut
hasil hutan.
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan
ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini belum
ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut Emelan
Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa pembentukan
UUPA menyadari bahwa dalam perkembangannya nanti akan
sangat dimungkinkan timbulnya hak atas tanah yang baru
sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan masyarakat,
hanya saja pengaturannya harus dalam bentuk Undang-Undang.
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara
Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam
waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung
sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan
bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah ini
adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang,
commit to user
Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu (Urip Santosa, 2010: 52-53) :
a) Hak atas tanah yang bersifat primer.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas
tanah negara.
b) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan
atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak
milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk
bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
dan hak sewa tanah Pertanian.
Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya
sebagai berikut :
1) Hak milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap
mengingat ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi sosial
(Pasal 20 ayat (2) UUPA). Hak milik merupakan hak yang
paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada
pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas
bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa
hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak
guna usaha), yang hampir sama kewenangan negara (sebagai
penguasa) untuk memberi hak atas tanah kepada warganya
(Kartini Muljadi,dkk.,2004:30).
Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak
dibatasi oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
tersebut tetap berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya
tidak lagi memmenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka
hak milik tersebut menjadi hapus.
Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat, dan
terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya
berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya
meninggal dunia. Terkuat menunjukkan:
(a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan
dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan, jangka
waktunya tertentu.
(b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang mempunyai diberi “tanda hak milik”.
Terpenuh artinya:
(a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang
empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak
lain.
(b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya.
Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah
kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada
hak milik: menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan,
menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna
bangunan atau hak pakai.
(c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.
(d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas. Hak
guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna
usaha terbatas hanya untuk pertanian sedangkan hak milik
dapat digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk
commit to user
Subyek hak milik atas tanah yaitu WNI dan badan
hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) UUPA
yang menyatakan bahwa oleh pemerintah ditetapkan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan
syarat-syarat. Pemberian landasan hukum yang terkuat kepada
badan-badan hukum untuk medapatkan hak milik atas tanah,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah (Supriadi, 2007: 66).
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963
menyatakan bahwa Badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan
pembatasan yang disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini :
(a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut
bank negara);
(b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang
didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958;
(c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; dan
(d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri
Kesejahteraan Sosial.
Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 UUPA yang
menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:
(a) Tanahnya jatuh kepada negara :
(i) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;
(ii)Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya;
(iii)Karena ditelantarkan; dan
(iv)Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya
kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
1) Hak Guna Usaha (HGU)
Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA). HGU
merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki
spesifikasi. Spesifikasi HGU tidak bersifat terkuat dan
terpenuh, dalam artian bahwa HGU ini terbatas daya
berlakunya walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak
lain (Supriadi, 2007:110). Penjelasan UUPA telah diakui
dengan sendirinya bahwa HGU ini sebagai hak-hak baru guna
memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan
terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi,
tidak dapat terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu
hak milik dengan orang lain.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 Pasal 8 ayat (1), HGU diberikan untuk jangka waktu 35
tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk
jangka waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan
mengingat keadaan perusahannya.
HGU diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar,
dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus
memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan
yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. HGU dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan cara: jual beli,
tukar-menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan
(Pasal 16 ayat (2) PP No.40 tahun 1996).
Subyek HGU diatur dalam Pasal 2 PP No. 40 Tahun
1996, dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah:
commit to user
(b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Berkaitan dengan subyek HGU di atas, maka
bagaimana kalau subyek pemegang HGU tersebut beralih
menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut
berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi
berstatus asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT)
telah beralih ke tangan pihak asing. Bagaimana status
HGU-nya tersebut. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat
Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan
hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang managing
control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT
bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan
(Supriadi, 2007:111):
Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang
Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah
berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan
HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan Pasal
3 PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan pelepasan
ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan status dari
pemegangnya, maka karena hukum HGU bersangkutan
menjadi hapus dan tanh menjadi tanah negara (ayat (2) dari
Pasal 3).
HGU mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 34 UUPA dinyatakan bahwa, HGU
hapus karena:
(a) Jangka waktunya berakhir;
(b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena
sesuai syarat tidak dipenuhi;
(c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
(d) Dicabut untuk kepentingan umum;
(e) Ditelantarkan;
(f) Tanahnya musnah;
(g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).
Ketentuan Pasal 34 UUPA ini diatur kembali dalam Pasal 17
PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU Hapus karena:
(a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya;
(b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum
jangka waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya
kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya
ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12, Pasal 13 dan/atau 14; (2) putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
(c) Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961;
(d) Ditelantarkan;
(e) Tanahnya musnah; dan
(f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka
waktu satu tahun HGU itu tidak dilepaskan atau dialihkan.
1) Hak Guna Usaha (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri (Pasal 35 UUPA), dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya
dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan
bangunannya. HGB atas tanah hak milik tidak dapat
diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan
commit to user
Subyek yang dapat menjadi pemegang HGB adalah:
warga negara indonesia, badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19 PP
No. 40 Tahun 1996). HGB dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain, peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar
menukar, penyertaan modal, hibah, dan pewarisan. (Pasal 34
ayat (1) dan (2) No. 40 Tahun 1996).
HGB mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 35 PP No. 40 tahun 1996
dinyatakan bahwa, HGB hapus karena:
(a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam
perjanjian pemberiannya;
(b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak
pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya
berakhir, karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban
pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau
(2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau
kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam pemberian HGB antara
pemegang HGB dan Hak milik atau perjanjian penggunaan
tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekeuatan hukum yang tetap;
(c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
janghka waktu berakhir;
(d) Dicabut berdasarkan UU No. 20 tahun 1961;
(e) Ditelantarkan;
(f) Tanahnya musnah;
(g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang HGB yang tidak
lagi memnuhi syaratdalam satu tahun yang tidak