• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

ARDANI NIRWESTHI

NIM. E 0008287

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI

Oleh

ARDANI NIRWESTHI

NIM. E 0008287

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Juni 2012

Dosen Pembimbing

Pius Triwahyudi, S.H., M.Si.

(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI

Oleh

ARDANI NIRWESTHI

NIM. E 0008287

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 19 Juli 2012

DEWAN PENGUJI

1. Lego Karjoko, S.H.,M.H. : ………

Ketua

2. Purwono Sungkowo Raharjo, S.H. : ………

Sekretaris

3. Pius Triwahyudi, S.H.,M.Si. : ………

Anggota

Mengetahui

Dekan,

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Ardani Nirwesthi

NIM : E 0008287

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI adalah

betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum

(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila

dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan

gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juni 2012

Yang membuat pernyataan

Ardani Nirwesthi

(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v ABSTRAK

ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. ASPEK HUKUM

MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON

SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional dan mengetahui implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari.

Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah jenis bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis bahan hukum menggunakan interpretasi dengan menemukan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa hukum sehingga memperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasulkan kesimpulan. Kesatu Kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional, zaman penjajahan tanah Keraton Surakarta diatur didalam Rijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938 kekuasaan penuh mengelola tanah Keraton mengenai tanah magersari dikelola sendiri oleh Keraton Surakarta. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 khusus pembentukan hukum nasional tentang tanah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945. Hukum adat yang berlaku kurang bisa mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme. Ketentuan tersebut menjadikan tanah Keraton yang termasuk tanah magersari menjadi milik negara. Kedua, bahwa implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) masih belum cukup untuk mengatur keberadaan tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukum menjadi tidak jelas. Permasalahan ketidak harmonisnya mengenai pemegang hak pengelolaan tanah magersari antara pemerintah Kota Surakarta atau Keraton Surakarta, sehingga adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB dan uang sewa atau duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Pajak PBB untuk pemerintah Kota Surakarta dan uang sewa atau

duduk lumpur untuk Keraton Surakarta. Pengaturan tanah magersari belum jelas

menjadikan orang yang magersari menjadi kesewenang-wenangan melakukan kecurangan menempati tanah magersari bukan abdi dalem Keraton Surakarta, dan diketemukan warga yang tidak punya Palilah Griya Pasiten maka tidak membayar yang ditarik oleh Negara. Oleh karena itu diharapkan adanya peraturan yang jelas dari pemerintah mengenai pengelolaan tanah magersari di Keraton Surakarta.

(6)

commit to user

vi

ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. LEGAL ASPECT OF

MAGERSARI AND THE IMPLICATION TO SURAKARTA PALACE AND

THOSE UNDERTAKING MAGERSARI. Faculty of Law of Sebelas Maret

University.

This research aims to find out the legal position of magersari in the national legal system and to find out the implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and those in position as magersari.

This writing was a normative law research that was prescriptive in nature. The approach used was statute, case, and conceptual approaches. The types of law material used were primary and secondary law materials. Technique of collecting law material used was interpretation by looking for law giving the most vivid explanation about legislation text so that the norm scope can be defined relating to the law event to obtain the answer to the problem raised.

Based on the result of research and discussion, the following conclusion could be drawn. Firstly, the legal position of magersari about the Surakarta Palace’s land in the national legal system had been governed in colonial age in Rijkblad Surakarta Number 14 of 1938 stating that the full authority of managing the Palace’s land on magersari land is held by the Surakarta Palace itself. After Indonesia’s independency on August 17, 1945 particularly the establishment of national legislation about land was governed in the article 33 clause (3) of RI’s 1945 Constitution. The customary law enacted could integrate inadequately the society as a national unity. The Act Number 5 of 1960 (UUPA) gave law certainty about the land with dualism and pluralism. Such the provision made the Palace’s land including into magersari land belonged to the state. Secondly, the implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and those in position of magersari in Act No.5 of 1960 (UUPA) still inadequately governed the existence of magersari land in Surakarta City so that the law certainty became vague. The problem of disharmony of magersari land management right holder between the Surakarta City Government and the Surakarta Palace, resulted in double tax, namely Land and Building Tax (PBB) and lease cost or duduk Lumpur the Baluwarti people should assume. Land and Building Tax for Surakarta city and lease tenant or duduk Lumpur for Surakarta Palace. The magersari land regulation had not been clear yet making those who performed magersari misused the land arbitrarily by occupying the magersari

land not belonging to the Surakarta Palace’s abdi dalem (servant), and some people were found having no Palilah Griya Pasiten so that they did not pay the billing from the state. For that reason, it is expected a clear regulation from the government concerning the management of magersari landin Surakarta Palace.

Keywords: legal aspect of magersari, Surakarta Palace and those undertaking

(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii MOTTO

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya”

(QS. Al Baqarah: 286)

“Ketahuilah, bahwa kehidupan di dunia itu merupakan roda perputaran masa

yang berubah berganti, apabila engkau memiliki watak tawakal dan ikhlas dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu, engkau akan menjadi

orang yang paling kaya di antara para manusia”

(Sasangka Jati)

“Mereka yang berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa lalu, mereka yang

tak pernah berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa depan”

(Mario Teguh)

“Meninggal dunia itu pasti dan Hidup di dunia itu tidak pasti karena hidup di

dunia hanya sementara maka janganlah lekat dengan keduniawian”

(Ardani Nirwesthi)

“Ulat Sumeh Gawe Renaning Wong Akeh”

(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan

rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi)

dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana. Penulisan

hukum ini, penulis beri judul Aspek Hukum Magersari dan Implikasinya

Terhadap Keraton Surakarta dan Orang yang Magersari .

Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis bermaksud

menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah memberi

bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupu imateriil selama

penyusunan penulisan hukum ini terutama kepada :

1. ALLAH SWT yang senantiasa menjaga dan melindungi penulis dalam setiap

langkah dan mencari ridho-Nya.

2. Nabi Muhammad SAW junjungan dan suri tauladan yang baik untuk penulis

dalam menjalani kehidupan.

3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Ibu Wida Astuti, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis.

5. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Penulisan

Hukum (Skripsi).

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

atas segala dedikasinya selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Ayahanda Mayor (Tek) Djoko Widodo dan Ibunda Enie Jatmikaningtyastuti,

S.Pd., M.Pd, yang menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan pengabdian diri

penulis. Terima kasih untuk kasih sayang, doa serta segenap pengertian,

(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

8. Kedua kakakku Serka Dona Ifi Kharisma, S.E., M.M beserta istrinya, dan

Lettu Denni Aristia Adi, S.Pd beserta istrinya yang telah memberikan

nasehat, semangat dan doa untuk penulis.

9. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum UNS, spesial untuk Atika,

Alphi, Iffa, Dwi, NA, Maya, Corry, Siska, Ryan, Fathony, Trisna, Helena.

10. Teman-teman yang selalu mendengarkan curhatan penulis Puspa, Jezi,

Inggrid, Adhe, Niken, Mas Adi, Mba Nira, Mas Wica, Mba Dita, Mas

Satriyo.

11. Teman-teman seperjuangan waktu magang di Boyolali, yaitu Tiara, Dewi,

Oki, Luvy, Vitri, Yoni, Yoga, dan teman-teman lain angkatan 2008 yang

tidak bisa penulis sebut satu persatu.

12. Keluarga Besar KSP Principium FH UNS, terima kasih atas pengalaman dan

suasana kekeluargaannya ada Mas Aji, Mas Haris, Mas Yovi, Mas Tejo, Mas

Gatot, Mb Citra, Mb Ariyani, Miqdad, Prita, Citra Widi, Mia, Naning, Indri,

Maulida, Faradina, Kiki, Danang, Dias, Indra, Rifzki, Isti, Mira, Fika, Nares,

dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.

13. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan

satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari

kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh

karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima

dengan senang hati.

Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan pengetahuan dan

pengembangan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Semoga pihak-pihak yang telah membantu penulisan ini mendapat pahala dari

Allah SWT. Amin.

Surakarta, 1 Juli 2012

(10)

commit to user

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO ... vii

KATA PENGANTAR ………..….. viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR BAGAN ………..………..……... xii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 13

1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional ... 13

2. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanh ... 20

3. Tinjauan Tentang Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat ... 29

4. Tinjauan Tentang Hak Tanah Atas Keraton Surakarta ... 33

5. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta ... 35

B. Kerangka Pemikiran ... 37

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Hukum Magersari Dalam Sistem Hukum Nasional ... 40

(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

2. Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria... 44

3. Hak Pengelolaan Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta... 52

B. Implikasi Sistem Hukum Nasional Terhadap Keraton Surakarta

Selaku Pemilik Tanah dan Orang yang Berkedudukan sebagai

Magersari... 55

1. Status Magersari Dengan Berlakunya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.. 55

2. Wewenang dan Kewajiban Pemegang Tanah Hak Magersari... 69

BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan ... 84

B. Saran ... 86

(12)

commit to user

xii

DAFTAR BAGAN

Halaman

BAGAN

(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan

bangsa kita. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik

permasalahan pertanahan yang berbeda di antara satu wilayah dengan wilayah

lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar pemahaman

dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia

memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan

sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting (Arie Sukanti Hutagalung,

2009:1).

Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan

magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara individu

dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan

hukum adat (Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat

(Mohammad Hatta, 2005:40).

Manfaat tanah tidak hanya pada nilai ekonomisnya, tetapai juga

mengandung nilai politik, sosial, dan budaya. Sehingga permasalahan yang

berkaitan dengan tanah seringkali terjadi, bahkan bisa dikatakan sebagai masalah

yang sulit dan rumit. Masalah pertanahan dari hari ke hari semakin mencuat dalam

kehidupan masyarakat. Beberapa kondisi dalam masyarakat yang menggambarkan

masalah utama bidang pertanahan dewasa ini, diantaranya semakin maraknya

konflik dan sengketa tanah, semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan

tanah pada sekelompok kecil masyarakat, dan lemahnya jaminan kepastian hukum

atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah serta masih banyaknya

tanah-tanah di Indonesia ini yang belum jelas status hukumnya.

Di lingkungan Magersaren (magersari) istilah magersari dikenakan bagi

orang kebanyakan (bukan keluarga bangsawan) yang hidup dan tinggal dalam

waktu yang lama di atas tanah milik Keraton Surakarta. Sebenarnya beberapa aset

keraton telah berganti kepemilikan. Di mulai oleh siapa dan bagaimana caranya

(14)

commit to user

akan dijual tentu saja sangat meresahkan bagi orang-orang yang menumpang

hidup selama berpuluh tahun di atas tanah magersari. Apalagi adanya gesekan

peraturan perundangan antara yang milik Republik Indonesia dan yang milik

keraton (http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011

jam 20.13 wib).

Keraton Surakarta memiliki sejumlah besar aset tanah berklasifikasi

Sunan Grond yang tersebar di berbagai tempat. Tanah milik raja pribadi ini,

seharusnya tak dapat semena-mena diambil alih hak kepemilikannya begitu saja.

Namun faktanya, Sunan Grond termasuk, pesanggrahan-pesanggarahan dan

tanah-tanah makam milik Kraton Surakarta Hadiningrat banyak yang berubah

menjadi pemukiman padat penduduk. Karaton Surakarta Hadiningrat sendiri

menyadari persoalan tanah merupakan masalah peka. Wilayah Kota Surakarta

tidak mungkin diperluas tanpa harus berhadapan dengan pertambahan jumlah

penduduk serta gelombang urbanisasi yang tidak tercegah. Akibatnya muncul

semacam lapar lahan dalam masyarakat. Kecenderungan selama ini menunjukkan

banyak areal yang terlihat kosong, tidak peduli milik siapa, diserobot tanpa izin

menjadi pemukiman illegal (Much Bintang Arief Martoadi, Pelaksanaan Jual Beli

Tanah Magersari Milik Kraton Surakarta Hadiningrat Di Desa Pesarean

Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Suatu Tesis. 2009 : hal 5).

Di tengah perubahan jaman yang sedang kencang-kencangnya pandangan

masyarakat terhadap kehidupan kaum priyayi pun berubah drastis. Jika dahulu

masyarakat yang menumpang hidup di tanah keraton begitu taksim dan hormat

karena diijinkan tinggal di sana dengan gratis atau hanya bayar uang kebersihan,

sekarang mereka mudah memandang sinis karena praktek jual beli dan pindah

tangan harta pusaka, rumah dan tanah keraton oleh kerabat istana yang sering

mengakibatkan mereka menjadi korban pelengkap penderita. Jika mau

menyalahkan tidak bisa karena sebenarnya mereka tinggal di sana berpuluh tahun

hanya menumpang tinggal di tanah yang bukan milik mereka. Dan sering dituntut

harus berterimakasih oleh diri mereka sendiri. Tidak menyalahkan juga tidak bisa

(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

(http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011 jam 20.13

wib).

Sampai sekarang Keraton Surakarta masih berpolemik dengan

warga-warga yang mendiami tanah dan bangunan milik Keraton, sebenarnya konsep

awal Keraton Surakarta memberikan hadiah kepada para abdi dalem atau putra

dalem, yakni rumah sebagai pemberian yang dikarenakan jasa-jasa mereka kepada

Karaton, dengan menggunakan hak “anggadhuh” atau Keraton Surakarta hanya

meminjaminya saja dan bisa menariknya kapanpun kalau Keraton Surakarta mau.

Namun di kemudian hari, bangunan yang dulu ditempati oleh abdi dalem dan

putra dalem sekarang telah berubah ditempati oleh ahli waris mereka. Seharusnya

ketika abdi dalem atau putra dalem meninggal, hak “anggadhuh” itu selesai.

Tanah dan bangunan itu kosong dan dapat ditempati oleh abdi atau putra dalem

yang lain dan masih hidup di lingkungan Keraton Surakarta (GRA. Koes

Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah

dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status

dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu

Tesis. 2008. hal. 17.)

Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 telah

menghadirkan peraturan-peraturan mengenai tanah yang selama ini mempunyai

sifat dualisme antara tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan hukum adat

serta menjadi pedoman bagi pemerintah dan masyarakat (Adrian Sutedi, 2010:1),

khususnya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan pejabat lain yang

berwenang dalam melaksanakan tugasnya berkaitan dengan tanah.

Dalam hukum pertanahan nasional, tanah Keraton, baik Sultan Ground

atau tanah magersari, tidak diatur secara pasti dan tegas dalam peraturan

perundang-undangan oleh pemerintah. Secara yuridis formal, berdasarkan

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), Sultan

Ground atau tanah magersari dianggap tidak ada.

Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau

bekas Swapraja yang masih ada, pada waktu mulai berlakunya Undang-Undang

(16)

commit to user

tanah Keraton beralih kepada Negara atau menjadi tanah Negara. Meski demikian,

Sultan Ground memang secara nyata ada dan diakui pemerintah.

Atas dasar itulah, sebagai bentuk pengakhiran kebimbangan tentang

bagaimana status Karaton Surakarta Hadiningrat sehingga Presiden Soeharto

mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan

Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta.

Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang

Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta, sebenarnya memberikan

peluang kepada Keraton Surakarta untuk kembali menguasai dan memiliki

aset-aset yang telah hilang, sebab Keppres itu memberikan wewenang untuk memiliki

kepada Karaton Surakarta. Tetapi dalam Keppres itu membatasi luas wilayah

karaton yang hanya dibatasi Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan serta Masjid

Agung, jadi tanah dan bangunan yang berada di luar wilayah itu kemungkinan jadi

bukan milik Keraton Surakarta walaupun berstatus Sunan Grond. (GRA. Koes

Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah

dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status

dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu

Tesis. 2008. hal. 19.)

Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk mempelajari dan

mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam sebuah penulisan penelitian

hukum dengan judul : “ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG

YANG MAGERSARI” .

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis

merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah

(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

mengumpulkan, menyusun, menganalisis, dan mengkaji bahan secara lebih

rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional?

2. Bagaimana implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta

selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam

suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan

penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum

nasional.

b. Mengetahui implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap Keraton

Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai

magersari

2. Mengetahui Tujuan Subjektif

a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis

bidang hukum administrasi Negara khususnya aspek hukum magersari

dan implikasinya antara Keraton Surakarta dan orang yang magersari.

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar

akademik sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

D.Manfaat Penelitian

Suatu penelitian diharapkan memberikan suatu manfaat. Penulis berharap

kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam penulisan hukum ini dapat

(18)

commit to user

ini dikelompokkan menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai

berikut :

1. Manfaat Teroritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum

pada umumnya dan Hukum Agraria pada khususnya; dan

b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum Agraria

tentang aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Karaton

Surakarta dan orang yang magersari.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan

pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh;dan

b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap

penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna bagi

para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat untuk

mengkaji permasalahan yang sejenis.

E.Metode Penelitian

Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi

bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang

tertentu. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk

menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum

yang timbul dan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi

mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan (Peter Mahmud

Marzuki, 2005:41). Untuk mendapatkan bahan hukum dan prosedur penelitian

(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

hukum magersari dan implikasinya antara karaton Surakarta dan orang yang

magersari, maka digunakan metode penelitian yang sesuai. Adapun metode

penelitian yang digunkan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagi berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian

hukum normatif atau doctrinal research. Terry Hunchinson

memperjelaskan pengertian hukum doktinal sebagai berikut, “research

which provides a systematic exposition of the rule governing a particular

legal category, analyses the relationship between rules, explains areas of

difficulty and, perhaps, predict future development.” (Terry Hunchinson

dalam Johnny Ibrahim, 2007:44).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang

bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta

disebabkan oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk

menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jawaban yang diharapkan dalam

penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong

(Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang

mempelajari ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan hukum,

nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan

norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Tujuan dari

penelitian ini untuk mencapai hasil yang memberikan preskripsi mengenai

apa yang seyogyanya mengenai aspek hukum magersari dan implikasinya

terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari.

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya “Penelitian hukum”, disebutkan bahwa dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian

(20)

commit to user

kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),

pendekatan komparatif (comparative approach), dan konseptual

(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).

Adapun pendekatan yang digunakan Penulis dalam penelitian ini

yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus

(case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan undang dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan aspek hukum magersari

dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari .

Pendekatan kasus dengan menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan

dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton

Surakarta dan orang yang magersari. Pendekatan konseptual beranjak

dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam

ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang

relevan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton

Surakarta dan orang yang magersari

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Di dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan jenis dan

sumber bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan aspek

hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang

yang magersari yang akan menunjang diperolehnya jawaban atas

permasalahan penelitian yang diketengahkan penulis.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, dan catatan-catatan resmi atau risalah-risalah dalam

(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum

primer dalam penelitian ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria;

3) Penetapan Pemerintah No. 16/SD/1946 tentang Pemerintah di

daerah Istimewa Surakarta dan Yogjakarta.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan

Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah;

6) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 Tentang Status dan

Pengelolaan Kraton Kasunanan Surakarta di Kelurahan Baluwarti

Kota Surakarta; dan

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi

buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum (Peter

Mahmud Marzuki, 2005:141).

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan dengan jalan membaca

peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun

literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan

bahan hukum sekunder. Dari bahan tersebut kemudian dianalisis dan

dirumuskan sebagai bahan penunjang di dalam penelitian ini.

6. Teknis Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian

rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna

(22)

commit to user

bahan hukum dilakukan secara interpretasi atau penafsiran, merupakan salah

satu penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang

mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaedah dapat

ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Interpretasi dibedakan

menjadi interpretasi berdasarkan kata undang-undang, interpretasi

berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interpretasi sistematis,

interpretasi histories, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris,dan

interpretasi modern ( Peter Mahmud Marzuki, 2005:106-107).

Adapun metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah :

a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang

Interpretasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang di dalam

undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata

yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak

bertele-tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak

mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal itu

sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau aturan

ataupun larangan;dan

b. Interpretasi sistematis

Menurut pendapat P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah

interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu

undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga harus dilihat

bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat

asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis

adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun

ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri

(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran umum secara menyeluruh menegnai

sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan

hukum, maka penelitian menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum.

Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang

tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksud untuk memudahkan

pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Bab pertama mengenai pendahuluan. Pada bab ini penulis

mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan

hukum. Di dalam latar belakang masalah dipaparkan adanya fakta hukum

yang menjadi latar belakang masalah, yaitu aspek hukum magersari dan

implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari. Rumusan

masalah dimaksudkan untuk mempertegas ruang lingkup penelitian dan untuk

menghindari kemungkinan penyimpangan dari permasalahan pokok yang

diteliti. Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan obyektif dan

tujuan subyektif. Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat

praktis. Metode penelitian mencangkup jenis penelitian, pendekatan

penelitian, sifat penelitian, jenis dan sumber bahan hukum, teknik

pengumpulan bahan hukum, teknis analisis bahan hukum. Pada sistematika

penulisan hukum akan diuraikan secara garis besar atau gambaran menyeluruh

tentang hal-hal yang akan dibahas dalam penulisan hukum.

Bab kedua mengenai tinjauan pustaka. Pada bab ini penulis

memaparkan sejumlah landasan teori dari para pakar dan doktrin hukum

berdasarkan literature-literatur yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu :

1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai :

a. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah

b. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah

(24)

commit to user

d. Tinjauan Tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta

e. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta

2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur berpikir dari penulis

berupa konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini.

Bab ketiga mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari

proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua

pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu kedudukan hukum

magersari dalam sistem hukum nasional dan implikasi sistem hukum

nasional tersebut terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan

orang yang berkedudukan sebagai magersari.

Bab keempat diuraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh

dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran yang

relevan yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait

(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional

a. Asas Nasionalitas

Pasal 1 UUPA

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh

rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai

karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa

bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang

angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang

bersifat abadi.

Jadi, bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia

menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak

dari para pemiliknya saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah dan

pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah

atau pulau yang bersangkutan saja. Dalam pasal 3 ayat 3 ini berarti

bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia

masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu masih

ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu

kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan

tersebut.

b. Asas Hak Menguasai Negara

Pasal 2 UUPA

(1) Atas dasara ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal

sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa

(26)

commit to user

tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai

organisasikekuasaan seluruh rakyat.

Perkataan “dikuasai” bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi.

(2) Hak menguasai dari Negara termasud dalam ayat 1 pasal ini

memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hhubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai

bumi, air dan ruang angkasa.

Hak menguasai dari Negara tersebut ditujukan untuk mencapai

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagian dan

kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Atas dasar hak menguassai dari Negara tersebut, Negara dapat

memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu

hak menurut peruntukan dan keperluannya. Misalnya Hak Milik, Hak

Guna Usaha dan lainnya.Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari

Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan

masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan

Peraturan Pemerintah.

c. Asas Pengakuan Hak Ulayat

Pasal 3 UUPA

“Dengan mengingat etentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2

pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari

masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,

(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang

lebih tinggi.”

Pasal 5 UUPA

“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum

dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,

segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada

hukum agama.”

Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu

masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak

dalam lingkungan wilayahnya.[2]Hak ulayat atas tanah masyarakat

hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah

masyarakat hukum adat.

1). Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam

Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam

menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan

kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara kesejahteraan

anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar tidak timbul

bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang menarik ialah ketika

pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka masyarakat hukum

adatlah yang menjadi ahli warisnya.

2). Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan

Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak

perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh

seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah

tersebut.Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin diakui

sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi

(28)

commit to user

3). Kekuatan Hak Ulayat berlaku ke luar

Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah

dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat

hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya.Cara mendapatkan izin

ialah dengan memberikan barang (pengisi adat) secara terang dan tunai.

Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem

Hukum Agraria Nasional akan tetapi dalam pelaksanannya berdasarkan

asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika

masyarakat hukum adat berdasarkan hak ulayatnya menolak dibukaknya

hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan

proyek-proyek yang besar, misalnya pembukaan areal pertanian yang baru,

transmigrasi dan lainnya.

d. Asas Tanah mempunyai Fungsi Sosial

Pasal 6 UUPA : “Semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial.”

Tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan

dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan

pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat

daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan

kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat

dan Negara.Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa

kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan

umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan

pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

e. Asas Perlindungan

Pasal 9 (1) jo. pasal 21 ayat 1 UUPA:

“Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang

sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas

ketentuan pasal 1 dan 2.” Yaitu bahwa orang perseorangan atau badan

hukum dapat mempunyai hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun

(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Pasal11 (2) UUPA:

“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan

rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap

kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”

1). Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing.

2). Pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2).

3).Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang

luasnya terbatas.

4).Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat

mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2).

5).Dasar pertimbangan melarang badan-badan hukum mempunyai hak

milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu

mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya.

6).Boleh hak lain, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi

keperluan-keperluannya yang khusus (hak usaha, hak

guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).

7).Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud

menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas

tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).

8).Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mem-

punyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma-

syarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan,

sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu

"escape-clause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai

hak milik.

9).Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada

keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum

diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan

hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai

(30)

commit to user

10).Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan

keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat

mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya

diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu.

Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu

mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.

f. Asas Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan

Pasal 9 (2) UUPA:

“Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas

tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri

maupun keluarganya.”

Pasal 11 (20) UUPA :

“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan

rakyat diamana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap

kepentingan golongan yang ekonomi lemah.”

Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian

dengan wasita, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk

memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah.Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi

golongan-golongan yang lemah.

Dalam hubungan itu dibuat ketentuan yang dimaksudkan

mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang

lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria.

Segala usaha bersama dalam lapangan agrarian harus didasarkan

atas kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah

adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan

agrarian yang bersifat monopoli swasta.Dan tidak hanya monopoli

swasta, tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus

(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

g. Asas Tanah untuk Pertanian

Pasal 10 (1) UUPA :

“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak ats tanh

pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan tau mengusahakannya

sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”

Pasal 12 UUPA :

(1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas

kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam

bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.

(2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan

usaha bersama dalam lapangan agraria.

Pasal 13 UUPA :

(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan

agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan

kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3)

serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup

yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri

maupun keluarganya.

(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria

dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat

monopoli swasta.

(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat

monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.

(4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan

sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di

lapangan agraria.

Pelaksanaan asas tersebut menjadi dasar hampir diseluruh dunia

yang menyelenggaarakan landreform.Yaitu tanah pertanian harus

dikerjakan atau diusahakan secara efektif oleh pemiliknya sendiri.

h. Asas Tata Guna Tanah

(32)

commit to user

“Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan

penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.”

Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara

dalam bidang agrarian, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai

peruntukan, penggunaan dan persedian bumi, air dan ruang angkasa

untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara.

2.Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah

a. Pengertian Hak Atas Tanah

Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak

penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang,

kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat

sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau

dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah

yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan

atas tanah yang diatur dalam hukum tanah (Boedi Harsono, 2005: 283).

Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno

Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi

wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk

kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan,

peternakaan, perkebunan (Urip Santosa, 2010: 49).

b. Macam Hak Atas Tanah

Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas dasar

menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas

tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik sendirian

maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan

(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu

pula bumi dan air serta ruang udara diatasnya sekedar diperlukan

untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan

tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan

peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Macam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal

16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dikelompokkan menjadi 3 bidang,

yaitu:

1) Hak atas tanah yang bersifat tetap

Yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetap ada atau berlaku

selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan

undang-undang yang baru. Macam hak atas tanah ini adalah

hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak

sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut

hasil hutan.

2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang

Yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian yang akan

ditetapkan dengan undang-undang. Hak macam tanah ini belum

ada. Berkaitan dengan hak atas tanah ini, menurut Emelan

Ramelan dalam Urip Santosa menyatakan bahwa pembentukan

UUPA menyadari bahwa dalam perkembangannya nanti akan

sangat dimungkinkan timbulnya hak atas tanah yang baru

sebagai konsekuensi dari adanya perkembangan masyarakat,

hanya saja pengaturannya harus dalam bentuk Undang-Undang.

3) Hak atas tanah yang bersifat sementara

Yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam

waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung

sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan

bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam hak atas tanah ini

adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang,

(34)

commit to user

Berdasarkan asal tanahnya, hak atas tanah dibagi menjadi 2

kelompok, yaitu (Urip Santosa, 2010: 52-53) :

a) Hak atas tanah yang bersifat primer.

Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah negara.

Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan atas tanah negara, dan hak pakai atas

tanah negara.

b) Hak atas tanah yang bersifat sekunder.

Yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.

Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak guna bangunan

atas tanah hak pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak

milik, hak pakai atas tanah hak milik, hak sewa untuk

bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,

dan hak sewa tanah Pertanian.

Berdasarkan macam hak atas tanah di atas, lebih jelasnya

sebagai berikut :

1) Hak milik

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan

terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan tetap

mengingat ketentuan tentang hak atas tanah untuk fungsi sosial

(Pasal 20 ayat (2) UUPA). Hak milik merupakan hak yang

paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada

pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas

bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa

hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak

guna usaha), yang hampir sama kewenangan negara (sebagai

penguasa) untuk memberi hak atas tanah kepada warganya

(Kartini Muljadi,dkk.,2004:30).

Hak milik berjangka waktu selama-lamanya (tidak

dibatasi oleh jangka waktu). Selama pemegang haknya masih

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

tersebut tetap berlaku. Sebaliknya, kalau pemegang haknya

tidak lagi memmenuhi syarat sebagai subyek hak milik, maka

hak milik tersebut menjadi hapus.

Sifat khas dari hak milik yaitu turun temurun, terkuat, dan

terpenuh. Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya

berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi

dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya

meninggal dunia. Terkuat menunjukkan:

(a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan

dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan, jangka

waktunya tertentu.

(b) Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”. Hak milik juga hak yang terkuat, karena terdaftar dan yang mempunyai diberi “tanda hak milik”.

Terpenuh artinya:

(a) Hak milik itu memberikan wewenang kepada yang

empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak

lain.

(b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya.

Artinya seseorang pemilik tanah bisa memberikan tanah

kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada

hak milik: menyewakan, membagi hasilkan, menggadaikan,

menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna

bangunan atau hak pakai.

(c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain.

(d) Dilihat dari peruntukannya, hak milik juga tak terbatas. Hak

guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna

usaha terbatas hanya untuk pertanian sedangkan hak milik

dapat digunakan untuk usaha pertanian maupun untuk

(36)

commit to user

Subyek hak milik atas tanah yaitu WNI dan badan

hukum. Hal demikian, sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) UUPA

yang menyatakan bahwa oleh pemerintah ditetapkan

badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan

syarat-syarat. Pemberian landasan hukum yang terkuat kepada

badan-badan hukum untuk medapatkan hak milik atas tanah,

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang

dapat mempunyai hak milik atas tanah (Supriadi, 2007: 66).

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963

menyatakan bahwa Badan-badan hukum yang dapat

mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan

pembatasan yang disebut pada Pasal 1,2, dan 4 peraturan ini :

(a) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut

bank negara);

(b) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang

didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958;

(c) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; dan

(d) Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri

Kesejahteraan Sosial.

Hapusnya hak milik diatur dalam Pasal 27 UUPA yang

menyatakan bahwa Hak Milik Hapus apabila:

(a) Tanahnya jatuh kepada negara :

(i) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;

(ii)Karena penyerahan sukarela oleh pihak pemiliknya;

(iii)Karena ditelantarkan; dan

(iv)Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) (hilangnya

kewarganegaraan) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.

(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

1) Hak Guna Usaha (HGU)

Hak guna usaha (selanjutnya disebut HGU) adalah hak

untuk mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh

Negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan

pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 UUPA). HGU

merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki

spesifikasi. Spesifikasi HGU tidak bersifat terkuat dan

terpenuh, dalam artian bahwa HGU ini terbatas daya

berlakunya walaupun dapat beralih dan dialihkan pada pihak

lain (Supriadi, 2007:110). Penjelasan UUPA telah diakui

dengan sendirinya bahwa HGU ini sebagai hak-hak baru guna

memenuhi kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan

terhadap tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi,

tidak dapat terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu

hak milik dengan orang lain.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun

1996 Pasal 8 ayat (1), HGU diberikan untuk jangka waktu 35

tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun, dan diperbarui untuk

jangka waktu 35 tahun atas permintaan pemegang hak dengan

mengingat keadaan perusahannya.

HGU diberikan atas tanah yang paling sedikit 5 hektar,

dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus

memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan

yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. HGU dapat

beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dengan cara: jual beli,

tukar-menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan

(Pasal 16 ayat (2) PP No.40 tahun 1996).

Subyek HGU diatur dalam Pasal 2 PP No. 40 Tahun

1996, dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah:

(38)

commit to user

(b) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia

dan berkedudukan di Indonesia.

Berkaitan dengan subyek HGU di atas, maka

bagaimana kalau subyek pemegang HGU tersebut beralih

menjadi warga negara lain atau status badan hukum tersebut

berubah, yaitu yang tadinya nasional Indonesia menjadi

berstatus asing atau pemilikan sebuah Perseroan Terbatas (PT)

telah beralih ke tangan pihak asing. Bagaimana status

HGU-nya tersebut. Menurut Supriadi yang mengutip pendapat

Sudargo Gautama, berlaku teori ketiga tentang status badan

hukum yaitu teori tentang siapa yang memegang managing

control, pengawasan atau manajemen dan kontrol atas PT

bersangkutan. Dengan demikian, lebih lanjut dikatakan

(Supriadi, 2007:111):

Jika jatuh semua dalam tangan asing, maka dipandang

Perseroan Terbatas bersangkutan ini sebagai sudah

berstatus asing. Dengan demikian, maka harus dilepaskan

HGU yang telah dimilikinya semula sesuai ketentuan Pasal

3 PP Nomor 40 Tahun 1996. Jika tidak dilakukan pelepasan

ini dalam waktu 1 tahun setelah perubahan status dari

pemegangnya, maka karena hukum HGU bersangkutan

menjadi hapus dan tanh menjadi tanah negara (ayat (2) dari

Pasal 3).

HGU mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 34 UUPA dinyatakan bahwa, HGU

hapus karena:

(a) Jangka waktunya berakhir;

(b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena

sesuai syarat tidak dipenuhi;

(c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu

(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

(d) Dicabut untuk kepentingan umum;

(e) Ditelantarkan;

(f) Tanahnya musnah;

(g) Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2).

Ketentuan Pasal 34 UUPA ini diatur kembali dalam Pasal 17

PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU Hapus karena:

(a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan pemberian atau perpanjangannya;

(b) Dibatalkan hanya oleh pejabat yang berwenang sebelum

jangka waktunya berakhir karena: (1) tidak terpenuhinya

kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya

ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12, Pasal 13 dan/atau 14; (2) putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap;

(c) Dicabut berdasarkan UU No.20 Tahun 1961;

(d) Ditelantarkan;

(e) Tanahnya musnah; dan

(f) Ketetapan Pasal 3 ayat (2), yaitu apabila dalam jangka

waktu satu tahun HGU itu tidak dilepaskan atau dialihkan.

1) Hak Guna Usaha (HGB)

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk

mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah

yang bukan miliknya sendiri (Pasal 35 UUPA), dengan jangka

waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang dengan

waktu paling lama 20 tahun atas permintaan pemegang haknya

dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan

bangunannya. HGB atas tanah hak milik tidak dapat

diperpanjang jangka waktunya, akan tetapi atas kesepakatan

(40)

commit to user

Subyek yang dapat menjadi pemegang HGB adalah:

warga negara indonesia, badan hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 19 PP

No. 40 Tahun 1996). HGB dapat beralih dan dialihkan kepada

pihak lain, peralihan HGB terjadi karena: jual beli, tukar

menukar, penyertaan modal, hibah, dan pewarisan. (Pasal 34

ayat (1) dan (2) No. 40 Tahun 1996).

HGB mempunyai batas waktu berlakunya. Hal ini

sesuai dengan ketentuan Pasal 35 PP No. 40 tahun 1996

dinyatakan bahwa, HGB hapus karena:

(a) Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam

perjanjian pemberiannya;

(b) Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak

pengelolaan atau hak milik, sebelum jangka waktunya

berakhir, karena: (1) tidak terpenuhinya kewajiban

pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan Pasal 32; atau

(2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau

kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam pemberian HGB antara

pemegang HGB dan Hak milik atau perjanjian penggunaan

tanah hak pengelolaan; atau (3) putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekeuatan hukum yang tetap;

(c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum

janghka waktu berakhir;

(d) Dicabut berdasarkan UU No. 20 tahun 1961;

(e) Ditelantarkan;

(f) Tanahnya musnah;

(g) Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (pemegang HGB yang tidak

lagi memnuhi syaratdalam satu tahun yang tidak

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran  …………………………………………  39

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kondisi perbankan nasional dewasa ini yang cukup berkembang, namun pembinaan bank secara komprehensif khususnya kepada bank-bank penggerak sector Usaha Kecil dan

Makalah ini menyajikan beberapa teknik optimasi program perkalian matriks yang ditujukan untuk memaksimalkan kelebihan-kelebihan yang terdapat pada prosesor multicore

Metode angket atau kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawabnya..

Untuk metode modifikasi dengan tujuan meminimasi kedua kriteria sekaligus diketahui metode Modified-NEH memiliki performansi yang cukup baik dengan hasil makespan

Hal ini berdasarkan hasil penilaian dari ahli materi, ahli media, dan siswa pada media pembelajaran adalah baik dan sudah tidak ada lagi saran perbaikan yang perlu

Media massa adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio

Salah satu bagian dari kegiatan e- Learning yang menggunakan fasilitas internet adalah distance learning, merupakan suatu proses pembelajaran, dimana dosen dan maha- siswa tidak

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian “Hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah pada mahasiwa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara