BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Konsep pajak
Pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada
masyarakat, berdasarkan Undang-Undang dapat dipaksakan yang mana balas
jasanya tidak secara langsung dinikmati oleh wajib pajak. Pajak yang dipungut
tersebut dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah seperti
pembangunan sarana-sarana umum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban yang
akhirnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Menurut Undang-Undang Perpajakan tahun 2000: Pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, bahwa untuk penyelenggaraan
otonomi daerah diperlukan wewenang dan kemampuan pemerintah menggali
sumber-sumber penerimaan daerah yang salah satunya adalah dari penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan. Menurut Soemitro (2001) yang dijadikan dasar untuk
pengenaan pajak atas bumi dan bangunan adalah nilai jual dari bumi dan
bangunan, nilai jual tersebut dihitung dengan cara tertentu.
2.1.2. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Sejarah asal mulanya Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan salah satu
pajak tertua di Indonesia, pada zaman kolonial Belanda pajak atas tanah
(landrent) diganti dengan nama Pajak Bumi. Kemudian setelah Indonesia
merdeka tahun 1959 diubah namanya menjadi Pajak Hasil Bumi berdasarkan UU
No. 11 Prp Tahun 1959. Pada masa itu obyek pajak yang dikenakan tidak lagi
nilai tanah melainkan hasil yang keluar dari tanah. Dengan pemberian otonomi
dan desentralisasi kepada Pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian diubah
namanya menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), hasilnya diserahkan pada
Pemerintah Daerah walaupun pajak tersebut masih merupakan pajak pusat. Hasil
IPEDA tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan daerah.
Pada tahun 1983 pemerintah mengadakan reformasi pajak untuk pertama
kalinya dan menghasilkan salah satunya UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan dan mulai berlaku secara efektif sejak 1 Januari 1986, yang
merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas
bumi dan/atau bangunan, memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan,
memiliki dan menguasai atas bangunan.
Terakhir peraturan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan UU No. 12
Tahun 1994 sebagai pengganti dari UU No. 12 Tahun 1985, dengan berpegang
teguh pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dan tujuan
penyempurnaan undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1. Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam
pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan
2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.
Berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam
penyempurnaan UU No. 12 Tahun 1985, diatur kembali ketentuan-ketentuan
mengenai Pajak Bumi dan Bangunan yang dituangkan dalam UU tentang
Perubahan atas UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
dengan pokok-pokok antara lain sebagai berikut:
1. Untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur ketentuan
mengenai besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
untuk setiap wajib pajak.
2. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding ke badan peradilan pajak.
2.1.3.Fungsi pajak dalam pembangunan
Pajak mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi budgetair dan regulator.
Sebagai fungsi budgetair, pajak merupakan alat untuk mengumpulkan dana
melalui Kas Negara bagi pembiayaan pembangunan. Pemerintah sangat
mengharapkan penerimaan negara selalu meningkat karena pajak merupakan
sumber penerimaan negara yang utama. Sebagai fungsi regulator, pajak
dimaksudkan untuk mengatur perekonomian yang sesuai dengan kebijakan
pemerintah. Artinya, pajak dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk
menjalankan peranannya. Peranan pemerintah dalam arti luas adalah mengatur
kegiatan-kegiatan produsen dan konsumen mencapai tujuan masing-masing.
Bohari (2004) menjelaskan: Pembangunan hanya dapat terlaksana dengan
biaya yang cukup tersedia pada kas Negara. Untuk itu pajak merupakan sumber
keuangan Negara lewat tabungan pemerintah atau saving yang disalurkan ke
sektor pembangunan. Tabungan pemerintah ini diperoleh melalui surplus
penerimaan rutin setelah dikurangi dengan pegeluaran rutin. Penerimaan rutin
seperti: penerimaan dari sektor pajak, retribusi, Bea dan Cukai, hasil perusahaan
negara, denda dan sitaan. Penerimaan rutin ini adalah untuk membiayai
pengeluaran rutin dari pemerintah seperti: gaji pegawai, pembelian alat-alat tulis
menulis, ongkos pemeliharaan gedung pemerintah, bunga dan angsuran
pembayaran hutang-hutang dari negara lain, tunjangan sosial dan sebagainya.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2000 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan dapat dijelaskan, diantaranya:
a. Bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat
penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional
sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola
dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya.
b. Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan
sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu
hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar
apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.
c. Bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan,
sehingga dapat mewujudkan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat
2.1.4. Subyek dan obyek pajak bumi dan bangunan 2.1.4.1. Subyek pajak bumi dan bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Subyek
Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian subyek pajak tersebut
di atas menjadi wajib pajak PBB.
Jika subyek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak
obyek pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan, orang
atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak oleh Direktur
Jenderal Pajak (DJP). Namun penunjukan tersebut bukan merupakan bukti
kepemilikan. Subyek pajak yang ditetapkan seperti pada contoh di atas dapat
memberikan keterangan secara tertulis kepada DJP bahwa kuasa tersebut bukan
wajib pajak terhadap obyek pajak yang dimaksud. Apabila keterangan wajib pajak
disetujui, maka DJP membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka
waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. Namun bila tidak
disetujui, DJP mengeluarkan surat keputusan penolakan disertai dengan
alasan-alasan. Selanjutnya setelah jangka waktu satu bulan sejak diterima Surat
Keterangan ternyata DJP tidak memberi keputusan keterangan yang telah pernah
diajukan dianggap disetujui.
2.1.4.2. Obyek pajak bumi dan bangunan
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa obyek pajak pada penelitian ini
adalah PBB P2, yang mana obyek pajaknya adalah bumi dan atau bangunan yang
kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan
pertambangan. Pengertian bumi adalah permukaan bumi yang ada di bawahnya,
sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah, yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut,
2) Jalan tol, 3) Kolam renang, 4) Pagar mewah, 5) Tempat olah raga,
6) Galangan kapal, dermaga, 7) Taman mewah,
8) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, 9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat (Waluyo, 2004).
Selain obyek pajak kena pajak, terdapat pula obyek pajak yang tidak
dikenakan pajak bumi dan bangunan, sesuai Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1994,
yaitu:
1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum.
2) Ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
3) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala/yang sejenisnya dengan itu.
4) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa.
5) Digunakan oleh diplomatik, konsulat dan perwakilan Organisasi Internasional dengan asas timbal balik.
6) Digunakan oleh badan atau perwakilan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Obyek pajak berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994, sebagai perubahan UU
No. 12 Tahun 1985, adalah:
1. PBB belum didasarkan pada self assesment system. Nilai jual obyek pajak
ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan alasan agar dapat mencapai
(mendekati) nilai jual obyek pajak yang ideal dalam artian nilai jual relatif
sama dengan harga jual.
2. Besarnya NJOP tidak kena pajak menjadi Rp. 8.000.000,-
3. NJOP tidak kena pajak tidak diterapkan untuk setiap wajib pajak, dengan
demikian NJOPTKP tersebut dikurangkan terhadap hasil penjumlahan NJOP
tanah dan NJOP bangunan. Hal ini berbeda dengan NJOPTKP menurut UU
Nomor 12 Tahun 1985, yang mana NJOPTKP ini dapat diterapkan terhadap
NJOP bangunan saja.
4. Pengurangan NJOPTKP hanya berlaku untuk satu unit obyek PBB yang
dimiliki atau dikuasai oleh wajib pajak. Dengan demikian, apabila wajib
pajak mempunyai lebih dari satu obyek pajak maka NJOPTKP hanya dapat
dikurangkan terhadap satu obyek pajak saja, dalam hal ini obyek pajak yang
mempunyai NJOP paling tinggi. Untuk obyek pajak yang mempunyai obyek
pajak yang lain tidak diberikan pengurangan NJOPTKP.
Nasucha (1997) mengungkapkan bahwa PBB merupakan pajak obyektif,
di mana pengenaan pajak didasarkan pada obyek dari PBB, yaitu bumi dan/atau
bangunan, sehingga otomatis yang menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan
bangunan.
Sebagai dasar pengenaan pajak adalah NJOP, yaitu harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak
terdapat transaksi jual beli, maka penentuan NJOP diperoleh melalui
perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau melalui nilai perolehan
Berdasarkan ketentuan baru yang berlaku efektif mulai tahun 2001, atas
setiap wajib pajak diberikan keringanan berupa ketentuan NJOPTKP sebesar
Rp. 12.000.000,- per wajib pajak. Ketentuan ini menggantikan ketentuan lama
yang besarnya Rp. 8.000.000,-. Dengan adanya NJOPTKP akan banyak
masyarakat kecil (terutama yang tinggal di perdesaan) yang selama ini hanya
mempunyai obyek PBB yang bernilai kecil, akan terbebas dari kewajiban
membayar PBBnya. Untuk menghitung obyek PBB dikenakan tarif PBB 0,5%.
Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yang
ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Saat
ini ketentuan mengenai NJKP yang diberlakukan adalah sebesar 20% dan 40%.
NJKP sebesar 40% diberlakukan khusus bagi obyek PBB yang dipergunakan
untuk perumahan dengan NJOP sebesar 1 (satu) milyar rupiah atau lebih.
Ketentuan NJKP sebesar 40% tersebut tidak berlaku bagi obyek pajak yang
dimiliki oleh PNS, ABRI, pensiunan yang semata-mata penghasilannya hanya
berasal dari gaji pensiunan, dengan demikian tarif efektif untuk menghitung
besarnya PBB yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah sebesar 0,1% dan 0,2%
dari NJOP.
2.1.5. Jumlah wajib pajak
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran
pajak yang terutang, termasuk memungut atau memotong pajak tertentu. Oleh
sebab itu, seseorang atau suatu badan menjadi wajib pajak apabila telah
ditentukan oleh peraturan daerah untuk melakukan pembayaran pajak, serta orang
ini menunjukkan bahwa wajib pajak dapat merupakan subyek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak maupun pihak lain yang bukan merupakan
subyek pajak yang berwenang untuk memungut pajak dari subyek pajak. Dalam
pengertian PBB, subyek pajak identik dengan wajib pajak, yaitu setiap orang atau
badan yang memenuhi ketentuan sebagai subyek pajak diwajibkan untuk
membayar pajak sehingga secara otomatis menjadi wajib pajak.
Subyek pajak atau wajib pajak dalam PBB adalah orang atau badan yang
secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi
untuk memiliki, menguasai, dan memperoleh manfaat atas bangunan antara lain
pemilik, penghuni, penggarap, dan penyewa.
2.1.6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita
Besarnya nilai jual obyek pajak sebagai dasar pengenaan PBB ditetapkan
setiap 3 (tiga) tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu
ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya (Waluyo dan Wirawan,
2000). Kondisi ini diperhitungkan mengikuti pertumbuhan ekonomi yang dialami
daerah bersangkutan yang mendorong kemampuan ekonomi masyarakat dan
ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan perkapita (Insukindro, 1994). PDRB
perkapita menunjukkan kemampuan seseorang untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya, termasuk membayar pajak.
Produk Domestik Regional Bruto adalah merupakan indikator agregat
ekonomi makro yang lazim digunakan untuk mengukur kondisi perekonomian
suatu wilayah tingkat provinsi atau kabupaten, sedangkan PDRB perkapita
selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. PDRB perkapita diperoleh dari
hasil pembagian antara PDRB dengan jumlah penduduk.
Kemampuan seseorang untuk membayar pajak dapat dilihat dari tiga aspek,
yaitu tingkat pendapatan, jumlah kekayaan, dan besarnya pengeluaran konsumsi.
Semakin tinggi tingkat pendapatan, kekayaan, dan konsumsi seseorang, berarti
semakin tinggi kemampuan orang tersebut untuk membayar pajak dan
berpengaruh positif dalam meningkatkan penerimaan pajak (Miyasto, 1993).
2.1.7.Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus menerus (Sukirno, 2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu
atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas
atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain
(Boediono, 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan
persentase yang sama.
Inflasi dapat digolongkan menurut sifatnya, menurut sebabnya, parah dan
tidaknya inflasi tersebut dan menurut asal terjadinya (Nopirin, 2000). Menurut
sifatnya inflasi digolongkan dalam tiga kategori yaitu inflasi merayap, inflasi
menengah dan inflasi tinggi. Inflasi merayap adalah kenaikan harga terjadi secara
lambat, dengan persentase yang kecil dan dalam jangka waktu yang relatif lama
(di bawah 10% per tahun). Inflasi menengah adalah kenaikan harga yang cukup
besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta
mempunyai sifat akselerasi. Inflasi tinggi adalah kenaikan harga yang besar bisa
Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga barang-barang secara umum
mengalami kenaikan dan berlangsung dalam waktu yang lama terus-menerus.
Harga barang yang ada mengalami kenaikan nilai dari waktu-waktu sebelumnya
dan berlaku di mana-mana dan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Inflasi dapat menyebabkan gangguan pada stabilitas ekonomi yang mana
para pelaku ekonomi tidak akan melakukan spekulasi dalam perekonomian.
Di samping itu inflasi juga bisa memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat
akibat menurunnya daya beli masyarakat secara umum akibat harga-harga yang
naik. Selain itu distribusi pendapatan pun semakin buruk akibat tidak semua orang
dapat menyesuaikan diri dengan inflasi yang terjadi. Akhirnya masyarakat tidak
lagi berkeinginan menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga
ingin ditukar dengan barang. Perputaran uang makin cepat, sehingga harga naik
secara akselerasi. Berdasarkan parah tidaknya inflasi tersebut dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu, inflasi ringan (di bawah 10%
setahun), inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun), inflasi berat (antara 30% -
100% setahun) dan hiperinflasi (di atas 100% setahun).
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif, tergantung parah atau
tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang
positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan
pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan
mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat
terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau
dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja,
dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap, seperti pegawai negeri atau
karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan
mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan
terpuruk dari waktu ke waktu.
Dampak inflasi bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan
yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Apabila hal ini
terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya
terjadi pada pengusaha besar). Namun, apabila inflasi menyebabkan naiknya biaya
produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen tidak akan
meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk
sementara waktu. Bahkan, apabila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha
produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha
kecil).
Secara umum, inflasi berdampak juga dapat mengakibatkan berkurangnya
investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong
penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan,
ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
2.1.8. Tingkat suku bunga
Menurut Nopirin (2000), suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh
peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi
pinjaman atas investasinya. Tingkat suku bunga mempengaruhi keputusan
individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan
harga yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, sebagaimana harga
lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan
penawaran.
Suku bunga dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Suku Bunga Nominal. Suku bunga nominal adalah rate yang dapat
diamati pasar.
2) Suku Bunga Riil. Suku bunga riil adalah konsep yang mengukur tingkat
bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga nominal dikurangi
dengan laju inflasi yang diharapkan.
Suku bunga yang tinggi di satu sisi, akan meningkatkan hasrat masyarakat
untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat (Pohan, 2008).
Apabila SBI cukup tinggi (lebih tinggi dari capital gain dan deviden per
tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa) orang akan memilih menyimpan
uangnya di bank dan IHSG turun. Sebaliknya, apabila suku bunga sudah
melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa (Yuniarta, 2008).
Penelitian ini dengan menggunakan tingkat suku bunga Bank Indonesia.
Kenaikan tingkat suku bunga dapat meningkatkan beban perusahaan (emiten)
yang lebih lanjut dapat menurunkan harga saham. Kenaikan ini juga potensial
mendorong investor mengalihkan dananya ke pasar uang atau tabungan maupun
deposito sehingga investasi di lantai bursa turun dan selanjutnya dapat
menurunkan harga saham.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas diketahui bahwa tingkat suku
bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga. Ketika
sehingga konsumsi masyarakat tinggi, akan diantisipasi oleh pemerintah dengan
menetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan tingkat suku bunga tinggi
yang diharapkan kemudian adalah berkurangnya jumlah uang beredar sehingga
permintaan agregat pun akan berkurang dan kenaikan harga bisa diatasi.
2.1.9.Investasi
Pengertian investasi menurut Sutojo (1993), adalah usaha menanamkan
faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik yang bersifat baru sama
sekali atau perluasan proyek atau pabrik yang sudah ada untuk memperoleh
manfaat keuangan dan/atau non keuangan yang layak di kemudian hari.
Pertumbuhan produksi pada dasarnya dipengaruhi oleh perkembangan
faktor-faktor produksinya. Salah satu faktor-faktor produksi tersebut adalah modal (investasi).
Banyak studi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah erat
kaitannya dengan tingkat produktivitas penggunaan modal atau investasi.
Menurut Sunariyah (2006): “Investasi adalah penanaman modal untuk satu
atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan
harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang”. Banyak
negara-negara yang melakukan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan
investasi baik domestik ataupun modal asing. Hal ini dilakukan oleh pemerintah
sebab kegiatan investasi akan mendorong pula kegiatan laju pertumbuhan
ekonomi suatu negara, penyerapan tenaga kerja, peningkatan output yang
dihasilkan, penghematan devisa atau bahkan penambahan devisa.
Perkembangan investasi atau penanaman modal merupakan langkah awal
bagi kegiatan pembangunan ekonomi di suatu negara. Dinamika investasi sangat
marak lesunya pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap
negara senantiasa berusaha menciptakan iklim usaha yang dapat menggairahkan
investasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, setiap saat pemerintah berusaha secara
intensif menggalakkan kegiatan promosi untuk menarik investor asing agar dapat
menanamkan modalnya di Indonesia khususnya di Kota Medan. Oleh karena itu,
pemerintah melalui kebijakannya berulang kali memfasilitasi para investor agar
lebih giat melakukan investasi, antara lain dengan diperlonggarnya kepemilikan
saham oleh para pemodal asing dan makin terbukanya peluang usaha di Indonesia,
seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang
pemilikan saham dalam rangka peningkatan arus modal asing langsung atau
penanaman modal asing (PMA).
Berbagai terobosan dilakukan pemerintah kota di sektor investasi untuk
dapat menarik minat para investor dari dalam maupun luar negeri mulai dari
penyempurnaan pelayanan perizinan investasi sampai kepada pemberian insentif
baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Berbagai langkah debirokrasi
dan deregulasi terus dilanjutkan untuk menciptakan efisiensi berusaha dan
berinvestasi termasuk konsistensi aturan dan kepastian hukum untuk
meminimalisir ketidakpastian berusaha bagi investasi asing.
Pemerintah Kota Medan akan memberikan berbagai langkah yang sedang
dilakukan, telah dilakukan dan akan dilakukan, antara lain:
1) Membentuk institusi kantor penanaman modal daerah Kota Medan sebagai institusi yang menyelenggarakan kewenangan perizinan investasi baik yang bersifat PMDN, maupun sebahagian PMA yang sebelumnya ada pada Pemerintah Pusat/Provinsi dalam layanan sistem satu atap (one stop service). 2) Membentuk Medan Bisnis Forum (MBF) sebagai wadah kemitraan antara
forum komunikasi, fasilitator, mediator, kegiatan bisnis dan investasi usaha swasta dan asing.
3) Mempersiapkan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) satu atap, sebagai bentuk pengintegrasian pelayanan perizinan bagi investor dalam negeri dan asing sehingga diharapkan dapat lebih sederhana, cepat, mudah, murah, terbuka, baku, efisien dan ekonomis (terjangkau).
4) Mengusahakan insentif dan kemudahan melalui Pemerintah Pusat dengan pemberian:
a. Keringanan bea masuk, impor barang-barang modal (mesin, bahan baku, dan lain-lain) sesuai dengan SK Menteri Keuangan No. 135/KMK.05 /2000.
b. Pembebasan PPN atas impor dan atau penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis, sesuai dengan SK Menteri Keuangan RI No. 155/KMK.03/2001.
c. Memberikan visa izin tinggal sementara dan atau izin tinggal terbatas bagi perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing, melalui Ditjen Imigrasi/Kantor Imigrasi setempat.
d. Menggalang kerjasama perdagangan dan investasi dalam wadah-wadah regional seperti IMT-GT, Sister City dan lain-lain.
e. Peningkatan pelayanan pada pintu-pintu masuk khususnya bandara dan pelabuhan, sehingga menciptakan budaya yang maju.
f. Melakukan koordinasi secara terus menerus dengan Kepolisian dan TNI untuk memberikan rasa aman dan tenteram bagi seluruh pelaku bisnis baik Domestik maupun Asing yang ada di Kota Medan.
Sumber Data: website Pemko Medan.
Berbagai langkah yang telah, sedang dan akan dilanjutkan tersebut
diharapkan juga menghapus perbedaan perlakuan antara investor asing dan lokal,
sehingga investor asing dapat memiliki akses yang sama termasuk dari lembaga
perbankan domestik/lokal (menyamakan perlakuan terhadap investor).
2.2. Review Peneliti Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan judul ini telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya adalah:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Sitanggang (2001), tentang Faktor-faktor yang
Istimewa Yogyakarta, menyimpulkan bahwa jumlah surat penagihan, jumlah
wajib pajak, Dana Prasarana Pembangunan dan PDRB perkapita secara
keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PBB Daerah
Istimewa Yogyakarta.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2005), tentang Analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi penerimaan PBB Studi Kasus di Kabupaten Banyumas,
menyimpulkan bahwa PDRB perkapita, wajib pajak, inflasi, luas lahan,
jumlah bangunan dan resesi ekonomi berpengaruh positif terhadap
penerimaan PBB dan krisis moneter berpengaruh negatif.
3. Penelitian yang dilakukan Joko (2006), tentang Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan PBB Studi Kasus di Kabupaten Bayolali,
menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan
PBB secara nyata adalah PDRB perkapita, pengeluaran pembangunan 2 (dua)
tahun yang lalu, biaya pembangunan yang dibiayai oleh swadaya masyarakat
2 (dua) tahun yang lalu dan inflasi.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (2008), tentang Faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan PBB dan dampaknya terhadap penerimaan daerah
(Studi Kasus di Kabupaten Kendal) menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil
pengujian hipotesis secara parsial dengan uji-t hanya PDRB perkapita, yang
berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan PBB sedangkan
wajib pajak, luas lahan, jumlah penduduk berpengaruh negatif dan tidak
Tabel 2.1. Review peneliti terdahulu