Menanti Malam 1000 Bulan
Mengenai pengertian lailatul qadar, para ulama ada beberapa versi pendapat. Ada yang mengatakan bahwa malam lailatul qadr adalah malam kemuliaan. Ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar adalah malam yang penuh sesak karena ketika itu banyak malaikat turun ke dunia. Ada pula yang mengatakan bahwa malam tersebut adalah malam penetapan takdir. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar dinamakan demikian karena pada malam tersebut turun kitab yang mulia, turun rahmat dan turun malaikat yang mulia.1 Semua makna lailatul qadar yang sudah disebutkan ini adalah benar.
Keutamaan Lailatul Qadar
Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). Allah Ta’ala berfirman,
,
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang
diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4).
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
, ,
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5).
Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga.2 Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar.3
Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i mengatakan, “Amalan
di lailatul qadarlebih baik dari amalan di 1000 bulan.”4 Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.5
Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”6
2
Lihat Zaadul Masiir, 9/192.
3 Lihat Zaadul Masiir, 9/194. 4
Kapan Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”7
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.”8
Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun9. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
، ى،
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”10 Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika
7 HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169. 8
HR. Bukhari no. 2017.
9
lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.11
Do’a di Malam Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a
yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
ى «
“Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu
malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’
(Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf,
maafkanlah aku).”12
Tanda Malam Qadar
Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu
panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.”13
Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
11
Fathul Bari, 4/266.
12
HR. Tirmidzi no. 3513, Ibnu Majah no. 3850, dan Ahmad 6/171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada
sinar. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
- الله -
.
“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah, pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot. 14”15
Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.”16
Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan,
- الله - .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”17
14
HR. Muslim no. 762.
15
Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan
ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan,
– الله – ، ،
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan
Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau
dari berjima’18
), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.”19
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu.20
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam.
Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat yang dulu mengatakan, “Barangsiapa
yang mengerjakan shalat Isya’ dan shalat Shubuh di malam qadar, maka ia berarti
telah dinilai menghidupkan malam tersebut”.21
berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul
qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang
Inilah pendapat yang dipilih oleh para salaf dan ulama masa silam mengenai maksud hadits tersebut. Lihat Lathoif
Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak,
“Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang yang
tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa
mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya,
mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya,
dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.”24
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu, maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita haidh lakukan ketika itu adalah,
1. Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf.25
2. Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
3. Memperbanyak istighfar. 4. Memperbanyak do’a.26
24
Latho-if Al Ma’arif, hal. 341
25Dalam at Tamhid (17/397), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para
pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq
Lailatul Qadar
Sesungguhnya dalam setahun terdapat beberapa hari dan waktu tertentu yang memiliki keutamaan, apabila doa dipanjatkan pada saat itu maka keutamaan yang lebih besar akan diperoleh, dan lebih memungkinkan untuk dikabulkan dan diterima oleh Allah. Bagi-Nya-lah hikmah yang sempurna.
“Dan Rabb-mu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.” (QS. Al Qashash: 68)
Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, kekuasaan-Nya serta kesempurnaan ilmu dan pengetahuan-Nya, Dia memilih di antara sekian makhluk-Nya, berbagai waktu, tempat dan individu kemudian mengistimewakan mereka dengan tambahan keutamaan, perhatian lebih dan karunia yang melimpah. Hal ini merupakan salah satu tanda terbesar akan kekuasaan Rububiyah-Nya, bukti terkuat akan keesaan-Nya dan ketunggalan-Nya dalam sifat kesempurnaan. Segala urusan diatur oleh-Nya, sebelum dan sesudahnya, Dia menentukan segala sesuatu bagi ciptaan-Nya sesuai yang dikehendaki-Nya dan menetapkan bagi mereka apa yang Dia kehendaki.
(٣٦)
“Maka bagi Allah-lah segala puji, Rabb langit, Rabb bumi dan Rabb semesta alam. Bagi-Nya-lah keagungan di langit dan bumi, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al Jatsiyah: 36-37)
orang yang bertakwa, sebagai pembeda baik dan buruk bagi mereka yang beriman, sebagai sinar, cahaya dan rahmat.
Allah ta’ala berfirman:
(٣) (٤) (٥) (٦) (٧)
(٨)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui, Rabb yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah orang yang meyakini. Tidak ada Rabb (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan (Dialah) Rabb-mu dan Rabb bapak-bapakmu yang terdahulu.” (QS. Ad Dukhaan: 3-8)
Allah ta’ala juga berfirman:
(١) (٢) (٣)
(٤) (٥)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh)
keselamatan hingga terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5)
inilah (keuntungan) bagi mereka yang menggapai keutamaan dan karunia pada malam tersebut.
Mujahid rahimahullah mengatakan, “(Keutamaan) Lailatul Qadr lebih baik daripada keutamaan seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul
Qadr.”Perkataan serupa diucapkan oleh Qatadah, Asy Syafi’i dan selainnya.
Pada malam yang mulia ini, para malaikat akan lebih banyak turun ke dunia dikarenakan melimpahnya berkah pada malam tersebut, karena malaikat akan turun seiring turunnya berkah, yaitu keselamatan (yang ditebarkan) hingga terbitnya fajar, seluruh kebaikan terkandung dalam malam tersebut, tidak ada keburukan hingga terbitnya fajar. Pada malam ini, segala urusan yang penuh hikmah dirinci, maksudnya segala kejadian selama setahun ke depan ditentukan dengan izin Allah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Penentuan takdir pada malam tersebut adalah penentuan takdir tahunan, adapun penentuan takdir secara umum yang tercantum dalam Lauhul Mahfuzh, maka hal tersebut telah tercatat sejak 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan sebagaimana yang tertera dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sepatutnya seorang muslim bersemangat dalam menelusuri suatu malam yang memiliki kedudukan seperti ini, agar mendapatkan keberuntungan dengan pahala yang terdapat pada malam tersebut, mendulang kebaikannya, memperoleh ganjarannya, dan merengkuh berkahnya.
Orang yang merugi adalah mereka yang tidak mendapatkan pahala pada malam tersebut. Barang siapa yang melewatkan momen-momen kebaikan, hari-hari tersebarnya keberkahan dan karunia, sedangkan dirinya senantiasa bergelimang dalam dosa dan kesesatan serta asyik dalam kedurhakaan, karena dirinya telah dibinasakan oleh kelalaian dan penyimpangan, kesesatan telah menghalanginya (dari pintu kebaikan), maka betapa besar kerugian dan penyesalan yang menimpanya. Seorang yang tidak bersemangat dalam mencari keuntungan pada malam yang mulia ini, kapankah dirinya akan bersemangat lagi?
Sesungguhnya bersemangat dalam mencari malam yang penuh berkah ini, serta beribadah dan berdoa di dalamnya merupakan ciri orang pilihan dan mereka yang berbakti kepada Allah. Bahkan dalam malam tersebut mereka berdoa dengan penuh kesungguhan kepada Allah Dia memberikan ampunan dan perlindungan bagi mereka, karena segala sesuatu yang akan terjadi pada diri seseorang selama setahun ke depan ditetapkan pada malam tersebut.
Di malam inilah mereka berdoa dan memohon kepada Allah, dan mereka bersungguh-sungguh (dalam berbuat kebajikan) selama setahun ke depan penuh, hanya kepada Allah semata mereka memohon pertolongan dan taufik.
Tirmidzi, Ibnu Majah dan selainnya meriwayatkan dari Ummul Mukminin
‘Aisyahradliallahu ‘anha, beliau berkata,
الله ي ؟
Aku berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apabila aku mengetahui waktu malam Al Qadr, apakah yang mesti aku ucapkan pada saat itu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fu’anni
(Yaa Allah sesungguhnya engkau Maha pemberi ampunan, suka memberi
pengampunan, maka ampunilah diriku ini).” (HR. Tirmidzi nomor 3513, Ibnu Majah nomor 3850 dan dishahihkan oleh Al Albani rahimahullahdalam Shahih Ibnu Majah nomor 3105)
Doa yang penuh berkah ini memiliki kandungan makna yang agung, indikasi yang mendalam, manfaat dan pengaruh yang besar serta sangat selaras dengan malam yang mulia ini. (Bagaimana tidak?) Bukankah pada malam tersebut akan di rinci segala urusan yang penuh hikmah, yaitu segala amalan para hamba ditentukan untuk setahun yang akan datang hingga malam Al Qadr berikutnya.
Bukhari telah meriwayatkan dalam Al Adabul Mufrad dan Tirmidzi dalam
Sunan-nya sebuah riwayat dari Al ‘Abbas bin Abdil Muththallibradliallahu ‘anhu, beliau berkata:
الله أ الله : الله ث ث ث
الله أ الله , الله الله
لآ
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, ajarilah aku sebuah kalimat yang aku gunakan untuk memohon kepada Allah ‘azza wa jalla.” Maka beliau menjawab, “Mintalah
perlindungan kepada Allah!” Selang selama beberapa hari, aku kembali
mendatangi beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, ajarilah aku sebuah kalimat yang aku gunakan untuk memohon kepada Allah ‘azza wa jalla,” maka beliau berkata kepadaku, “Wahai ‘Abbas, paman Rasulullah, mintalah perlindungan di
dunia dan akhirat kepada Allah!” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad nomor 726, Tirmidzi nomor 3514 dan dishahihkan Al Albanirahimahullah dalam Shahihul Adab nomor 558)
Bukhari dalam Al Adab dan Tirmidzi dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, dirinya berkata:
الله الله ي ؟ الله لآ . ث غ الله ي
؟ الله لآ ,
لآ
Seseorang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah! doa apakah yang paling afdhol?” Maka beliau menjawab, “Mintalah
kepada Allah pengampunan dan perlindungan di dunia dan akhirat!”, Kemudian orang tersebut kembali mendatangi beliau pada esok harinya dan bertanya,
“Wahai nabi Allah! Doa manakah yang paling afdhol?” Maka beliau berkata, “Mintalah kepada Allah pengampunan dan perlindungan di dunia dan akhirat, karena apabila engkau diberi pengampunan dan perlindungan di dunia dan
Bukhari dalam Al Adabul Mufrad meriwayatkan dari Ausath bin Isma’il, dirinya berkata, Aku mendengar Abu Bakr Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu setelah nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat berkata:
الله ث ث :
الله ؤ الله
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di tempatku ini, kemudian Abu
Bakar menangis. Lalu Nabi berkata, ‘Berlaku jujurlah kalian! Karena
sesungguhnya kejujuran akan diiringi oleh kebaikan dan keduanya akan (menggiring pelakunya ke dalam) surga. Jauhilah dusta! Karena dusta akan senantiasa diiringi oleh kemaksiatan dan keduanya (akan menggiring pelakunya menuju) neraka. Mintalah kepada Allah perlindungan, karena sesungguhnya tidak ada karunia yang lebih baik, setelah keimanan daripada perlindungan dari Allah. Janganlah kalian saling memboikot, saling tidak memperdulikan dan janganlah kalian saling mendengki dan membenci. Hendaknya kalian menjadi wahai hamba-hamba Allah menjadi orang-orang yang bersaudara.’” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad nomor 724 dan dishahihkan oleh Al Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Adab no. 557)
Oleh karena itu, suatu hal yang baik bagi seorang muslim untuk memperbanyak doa yang penuh berkah ini di setiap waktu dan kondisi, terlebih di malam Al-Qadr, yang di dalamnya segala urusan yang penuh hikmah ditetapkan agar seorang
muslim mengetahui bahwa Allah ‘azza wa jalla (adalah Dzat yang) maha
pengampun dan maha mulia lagi suka memberi ampunan,
ي “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy Syuuraa: 25)
Kita memohon kepada Allah agar menaungi diri kita dengan ampunan-Nya, memasukkan diri kita ke dalam rahmat-Nya, membimbing kita untuk taat kepada-Nya dan memberi hidayah-kepada-Nya kepada kita untuk senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. [Diterjemahkan dari Buku Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr, Fiqhul Ad'iyyah wal Adzkar, Al Qismuts Tsalits halaman 258-262, sub bab Ad Du'a Lailatal Qadr]
Lailatul Qadar dan I’tikaf
Segala puji bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan. Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya dan para pengikutnya.
Bersemangatlah di Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan
Para pembaca -yang semoga dimudahkan Allah untuk melakukan ketaatan-. Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh karena itu suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya.
Sebagaimana istri beliau -Ummul Mu’minin Aisyahradhiyallahu ‘anha- berkata,
- الله - .
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di
waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
– الله – ، ،
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan
dari berjima’, pen), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan
keluarganya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Maka perhatikanlah apa yang dilakukan oleh suri tauladan kita! Lihatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah malah mengisi hari-hari terakir Ramadhan dengan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan untuk persiapan lebaran (hari raya). Yang beliau lakukan adalah bersungguh-sungguh dalam
melakukan ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, dzikir, sedekah dan lain
sebagainya. Renungkanlah hal ini!
Keutamaan Lailatul Qadar
Saudaraku, pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam-malam tersebut adalah Allah mensifatinya
dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,
(3)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang
diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 3-4)
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
(3) (4)
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)
Catatan: Perhatikanlah bahwa malam keberkahan tersebut adalah lailatul qadar.
Dan Al Qur’an turun pada bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ي
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)
Maka sungguh sangat keliru yang beranggapan bahwasanya Al Qur’an itu turun
pada pertengahan bulan Sya’ban atau pada 17 Ramadhan lalu diperingati dengan hari NUZULUL QUR’AN. Padahal Al Qur’an itu turun pada lailatul qadar. Dan
lailatul qadar -sebagaimana pada penjelasan selanjutnya- terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Renungkanlah hal ini!
Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi ?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)
Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
– – غ
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)
Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh
tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’abradhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua
puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
، ،
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)
Catatan: Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam
bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.
Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a
yang dianjurkan oleh suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu
‘anha berkata,
ى «
»
“Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu
malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang
menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shohihah)
Tanda Malam Lailatul Qadar
[1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas,
juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)
[2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
[4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar.
Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda yang artinya, “Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150)
I’tikaf dan Pensyari’atannya
Dalam sepuluh hari terakhir ini, kaum muslimin dianjurkan (disunnahkan) untuk
melakukan i’tikaf. Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari)
Lalu apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab Lisanul Arab, i’tikaf bermakna merutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di dalamya disebut mu’takifun atau
‘akifun. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/150)
Dan paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadhan.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari
bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari & Muslim)
I’tikaf Harus di Masjid dan Boleh di Masjid Mana Saja
I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman
firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan,“Tidak ada i’tikaf kecuali
pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151)
Wanita Juga Boleh Beri’tikaf
Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan istri tercinta beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim)
Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: [1] Diizinkan oleh
suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki). (LihatShohih Fiqh Sunnah II/151-152)
Waktu Minimal Lamanya I’tikaf
I’tikaf tidak disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tunaikan nadzarmu.”Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan jika beri’tikaf pada malam hari, tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah syarat untuk i’tikaf. Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang beri’tikaf hanya semalam, wallahu a’lam.
Yang Membatalkan I’tikaf
Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah: [1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk
mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), [2] Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah: 187 di atas. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/155-156)
untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan amalan sholih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7 Keistimewaan Lailatul Qadar
Setiap muslim pasti menginginkan malam penuh kemuliaan, Lailatul Qadar. Malam ini hanya dijumpai setahun sekali. Orang yang beribadah sepanjang tahun tentu lebih mudah mendapatkan kemuliaan malam tersebut karena ibadahnya rutin dibanding dengan orang yang beribadah jarang-jarang.
Edisi kali ini kita akan melihat keistimewaan Lailatul Qadar yang begitu utama dari malam lainnya.
1. Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur’an
Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh
sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.
2. Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan
Allah Ta’ala berfirman,
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3).
An Nakha’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Latha-if Al Ma’arif, hal. 341).
3. Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3).
Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan
keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.
4. Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar
Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah
Ta’ala berfirman,
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4)
Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang
membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam
majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)
Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena
5. Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’
Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5)
yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407).
Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.
6. Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan
Allah Ta’ala berfirman,
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhahhak dan ulama salaf lainnya.
7. Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu
Fiqih I’tikaf
Definisi I’tikaf
Secara literal (lughatan), kata “ ” berarti “ ” (memenjarakan)28. Ada juga yang mendefinisikannya dengan:
“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan”29
.
Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam
mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan
syarat dan rukun i’tikaf30
. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum
bahwa i’tikaf adalah:
الله
“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh
orang tertentu dengan tata cara tertentu”31.
Dalil Pensyari’atan
I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.
Dalil dari Al Quran a. Firman Allah ta’ala,
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).
28
Mukhtar ash-Shihhah 1/467.
29
Al Mishbah al Munir 2/424.
30
b. Firman Allah ta’ala,
“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).
Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan
perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf
merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.32
Dalil dari sunnah
a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyahradhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
– الله – ، ث “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal
beliau.”33
b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umarradhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
– الله –
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”34
32
Dalil Ijma’
Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:
a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,
“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untukmenunaikannya.”35
b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”36
c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah
wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”37
Hukum I’tikaf
Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
ث ث ».
“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam
kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang
35
Al Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah.
36
ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka
para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”38
Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk
melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak
wajib.
Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf
berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”39
‘Umarradhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah
nadzarmu itu!”40
Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan
ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”4142
38
HR. Muslim: 1167.
39
HR. Bukhari: 6318.
40
HR. Bukhari: 1927.
41
Fath al-Baari 4/271
42
Pertanyaan: Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita?
Jawab:
Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.
Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan
juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:
Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut
mencakup pria dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
Firman Allah ta’ala,
“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…”(Ali ‘Imran:
37).
dan firman-Nya,
“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).
Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu, namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang menyatakan syari’at tersebut telah
dihapus.
Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshahradhiallahu ‘anhuma, yang
keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih
dalam keadaan belia saat itu.43
Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf dimakruhkan bagi pemudi. Dalil yang
menjadi patokan bagi pendapat ini diantaranya adalah sebagai berikut:
Hadits ‘Aisyahradhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya
ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau44
Hadits ‘Aisyahradhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
– الله –
“Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”45
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga
disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa alasan berikut:
Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak
terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk
beri’tikaf.
Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka
beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi
turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah
kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits
tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.
Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena ‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf
dan pada saat itu keduanya berusia belia.
Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui
kondisi wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa
i’tikaf tidak disyari’atkan bagi pemudi. Namun, perkataan beliau tersebut
menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.
Hikmah I’tikaf
Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah i’tikaf ini, tentu
mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad46. Beliau mengatakan, “Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah
ta’ala secara menyeluruh-, sedangkan makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan menghentikannya. (Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang
menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu menyebabkan
hilangnya makan dan minum yang berlebih.
(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu) memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.
Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya,
memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari
i’tikaf yang agung itu.”
Waktu I’tikaf
Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk
dilakukan dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.47 Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:
a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberi’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.48
b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umarradhiallahu ‘anhu,
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di
Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.49
47
Badai’ ash-Shanai’ 2/273, Kifayah al Akhyar 1/297, Al Mughni 3/122.
c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
.
“Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau
beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”50
Begitupula hadits Ubay bin Ka’abradhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
- الله -
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di
bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama setahun dan tidak
beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”51
Sisi argumen dari hadits di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan
beri’tikaf pada selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau
ini bukanlah qadha, karena kalau terhitung sebagai qadha tentu nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersegera menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhuyang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf.
Hal ini mengisyaratkan bahwa i’tikaf disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya
di bulan Ramadhan atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena
jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka adanya perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak tidak akan mencuat.
50
Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allahta’ala, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan,
ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.
Waktu Minimal Beri’tikaf
Waktu minimal seorang untuk ber-i’tikaf adalah setengah hari, dalam artian dia boleh ber-i’tikaf ketika siang hari, dari selepas shalat Subuh hingga matahari terbenam, atau dia boleh memulai ber-i’tikaf ketika malam, yaitu dari matahari terbenam hingga terbit fajar. Hal ini berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut52:
Pertama, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengizinkan ‘Umar radhiallahu
‘anhuuntuk menunaikan nadzarnya beri’tikaf selama semalam di Masjid Al -Haram53.
Kedua, terdapat berbagai riwayat dari para sahabat radhiallahu ‘anhum dan para
salaf yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Telah diketahui bahwa
puasa tidak akan terealisasi ketika dilaksanakan kurang dari setengah hari.
Ketiga, Jika i’tikaf disyari’atkan dilaksanakan dalam waktu kurang dari setengah
hari, maka tentu terdapat riwayat valid dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal tersebut dan beliau akan memerintahkan para sahabatnya serta hal itu tentu sangat ma’ruf di tengah-tengah mereka, karena mereka senantiasa hilir mudik ke masjid.
Keempat, para sahabat radhiallahu ‘anhum sering duduk di masjid untuk
menunggu shalat, mendengarkan khutbah atau siraman ilmu dari nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan kegiatan lainnya, namun tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan ketika mereka melakukan kegiatan itu semua, mereka juga berniat
untuk beri’tikaf di masjid.
Berdasarkan hal ini, seorang yang masuk masjid dan berniat untuk ber-i’tikaf selama dia berada di dalam masjid tersebut, meski hanya sesaat,-sebagaimana
pendapat ulama madzhab Syafi’i dan Hambali-, maka perbuatan tersebut tidaklah
disyari’atkan.
Di dalam al Fatawa al Kubra tercantum, “Abu al’Abbas (Ibnu Taimiyah) rahimahullah tidak mendukung pendapat yang menganjurkan agar seorang yang
pergi ke masjid untuk shalat atau tujuan selainnya, berniat I’tikaf selama berada di dalam masjid.”54
Waktu Maksimal Beri’tikaf
Para ulama sepakat tidak ada batas waktu maksimal bagi seorang untuk
ber-i’tikaf.55
Ibnu Mulaqqin rahimahullahmengatakan, “Di dalam hadits ‘Aisyah yang redaksinya berikut, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkannya”56
memiliki
kandungan bahwa I’tikaf tidak dibenci jika dilakukan di setiap waktu dan ulama
telah sepakat bahwa tidak ada batas waktu maksimal untuk beri’tikaf.”57
Mungkin ada pertanyaan, “ Bukankah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan ber-i’tikaf selama sepuluh hari?“
Hal ini dapat dijawab sebagai berikut:
“Tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beri’tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan tidaklah menunjukkan pengkhususan waktu. Namun, hal tersebut dilakukan karena adanya sebab lain, yaitu dalam rangka mencari Lailat al-Qadr, karena malam tersebut terdapat pada malam-malam tersebut.
Oleh karena itu, pada hadits Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu dinyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari pada pertengahan
Ramadhan kemudian diwahyukan kepada beliau bahwa malam tersebut terdapat
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sehingga beliau pun beri’tikaf pada waktu tersebut untuk mencarinya.”58
Fath al-Baari 4/272, al Minhaj Syarh Shahih Muslim 8/78, Bidayah al Mujtahid 1/445.
56
HR. Bukhari: 1922 dan Muslim: 1172.
57
Pertanyaan: “Ketika beri’tikaf di bulan Ramadhan, kapankah seorang dianjurkan untuk memulai i’tikaf?”
Jawab:
Seorang dianjurkan untuk masuk ke dalam masjid ketika matahari terbenam pada malam ke-21 Ramadhan. Hal ini berdasarkan pendapat ulama ketika meneliti berbagai dalil terkait hal ini.
Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada para sahabat,
ث ث ».
“Sesungguhnya saya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dalam
rangka mencari malam Lailat al-Qadr. Kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pada pertengahan Ramadhan, dan saya didatangi oleh (Jibril) dan diberitahu bahwa malam tersebut terletak pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Oleh
karena itu, siapa diantara kalian yang ingin beri’tikaf, silahkan beri’tikaf. Maka para sahabat pun beritikaf bersama beliau.”59
Dalam satu riwayat tercantum dengan lafadz,
“Barangsiapa yang (ingin) beri’tikaf, hendaknya beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”60
Sepuluh hari pertama yang dimaksud dimulai pada malam ke-21 Ramadhan karena malam ke-21 Ramadhan termasuk malam ganjil yang turut dinyatakan sebagai malam turunnya Lailatul Qadr.61 Oleh karena itu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri di atas-,
beri’tikaf semenjak pertengahan Ramadhan untuk mencari malam tersebut dan
dilanjutkan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.
59
Pertanyaan: Bukankah disana terdapat hadits ‘Aisyahradhiallahu ‘anha yang redaksinya
- الله - ث
Apabila rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin beri’tikaf, beliau
melaksanakan shalat Subuh kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.62
Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa I’tikaf dimulai ketika selesai Shalat Subuh pada hari ke-21?
Jawab:
Hal ini telah dijawab oleh dua ulama ternama, yaitu imam an Nawawi dan al
‘Allamah Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahumallah. Berikut jawaban
mereka berdua,
An Nawawi rahimahullah menjawab hal tersebut dengan mengatakan sebenarnya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah lebih dahulu beri’tikaf di masjid. Hadits
‘Aisyahradhiallahu ‘anha tersebut bukanlah menunjukkan nabi memulai I’tikaf
pada saat itu, namun nabi sebenarnya telah beri’tikaf dan tinggal di masjid sebelum waktu Maghrib, tatkala beliau melaksanakan shalat Subuh (pada hari
setelahnya) barulah beliau menyendiri di tempat I’tikaf yang khusus dibuatkan untuk beliau (mu’takaf).63
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Seorang yang beri’tikaf mulai beri’tikaf ketika terbenamnya matahari pada
malam ke-21 Ramadhan, karena pada saat itulah sepuluh hari terakhir yang dimaksud dalam hadits dimulai. Hal ini tidaklah bertentangan dengan hadits
‘Aisyah dan hadits Abu Sa’idradhiallahu ‘anhu, meskipun redaksi kedua hadits tersebut memiliki perbedaan.
(Ketika terjadi hal seperti ini), maka (redaksi hadits) yang dijadikan pegangan adalah redaksi yang lebih dekat pada indikasi (kandungan) bahasa, yaitu hadits
yang diriwayatkan Bukhari dari ‘Aisyah yang merupakan hadits pertama dalam bab “Al I’tikaf fi Syawwal” hal 382 juz 4 yang terdapat dalam kitab Fathul Baari.
‘Aisyahradhiallahu ‘anhamengatakan,
62
– الله – ، غ ى
“Rasulullah senantiasa beri’tikaf di bulan Ramadhan. Apabila beliau melaksanakan shalat Subuh, beliau masuk ke dalam tempat I’tikaf yang
digunakan untuk beri’tikaf.”
Demikian pula hadits Abu Sa’id, hadits kedua pada bab “Taharri Lail al Qadr fi al
Witr min Al ‘Usyr al Awakhirhal. 952″, dia mengatakan,
– الله – ، ، ى ، .
، ، أ ، ث «
، ث ، ث ، ث غ غ ،
» . ، أ ، – الله
– ى ، – الله – ، “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf di sepuluh hari pada
pertengahan Ramadhan. Ketika berada pada waktu sore di hari ke-20, malam menjelang dan hari ke-21 akan segera tiba, beliau kembali ke rumah dan
orang-orang yang beri’tikaf bersama beliau juga turut kembali.
Pada malam itu,-dimana beliau beri’tikaf dan kemudian kembali ke rumah-, beliau berkhutbah kepada manusia kemudian memerintahkan mereka dengan apa yang
dikehendaki Allah, beliau kemudian berkata kepada mereka, “Semula, saya beri’tikaf pada sepuluh hari ini (yaitu pada pertengahan Ramadhan), kemudian
diwahyukan kepadaku agar beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir (agar
memperoleh Lailat al-Qadr). Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka
hendaklah dia tetap tinggal di tempat i’tikafnya. Sesungguhnya malam tersebut telah diperlihatkan kepadaku, namun aku terlupa. Oleh karena itu, carilah malam tersebut pada sepuluh hari terakhir, di malam yang ganjil, dan sungguh (pada
saat Lailatul Qadr tersebut) saya melihat diriku sujud di atas tanah dan air.”
sallam, (saat itu) pada malam ke-21. Pandangan saya memperhatikan rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saya melihat ketika beliau selesai menunaikan shalat Subuh, wajahnya dipenuhi tanah dan air.”
(Syaikh Utsaimin mengatakan), “Pada hadits ‘Aisyah tercantum redaksi berikut ” ي “. Redaksi ini berkonsekuensi bahwa nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah terlebih dahulu berada di masjid sebelum masuk ke dalam mu’takaf64, karena perkataan ‘Aisyah “ ” merupakanfi’il madhi (kata kerja lampau) dan hukum asalnya kata tersebut digunakan sesuai dengan hakikatnya.
Pada hadits Abu Sa’id tercantum redaksi:
ى
sore merupakan akhir siang dan merupakan waktu tiba bagi malam selanjutnya. Berdasarkan hal ini, khutbah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi di akhir siang pada hari ke-20 Ramadhan, hal ini dikuatkan oleh riwayat kedua dalam
hadits beliau, yaitu hadits ketiga pada bab “Al I’tikaf fi al ‘Usyr al Awakhir wa Al I’tikaf fi Al Masajid Kulliha” hlm. 172. Anas mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah beri’tikaf pada suatu tahun kemudian pada malam ke-21 beliau
mengatakan, “Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, hendaklah dia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir. Sungguh telah diwahyukan kepadaku waktu Lailatul Qadr, namun kemudian saya dilupakan mengenai waktunya. Dan sungguh (pada saat Lailatul Qadr tersebut), saya melihat diriku bersujud di air dan tanah (dalam kondisi becek-pen) pada waktu Subuh.” Anas mengatakan, “Maka pada malam tersebut, turunlah hujan yang sangat lebat, dan di waktu Subuh pada hari ke-21, saya melihat dahi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terdapat bekas air dan tanah.”65
Dari pemaparan di atas, kita bisa melihat bahwa I’tikaf dianjurkan dilakukan pada
malam ke-21 Ramadhan. Inilah pendapat yang paling hati-hati dalam masalah ini sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Dr. Khalid al Musyaiqih hafizhahullah.66
64
Tempat yang digunakan orang yang beri’tikaf untuk menyendiri agar bisa beribadah di dalamnya. 65