BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Analytic Hierarchy Process
2.1.1 Pengertian Analytic Hierarchy Process
Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu metode
pengambilan keputusan yang menggunakan faktor-faktor logika, intuisi,
pengalaman, pengetahuan, emosi dan rasa untuk dioptimasi dalam suatu proses
yang sistematis. Metode AHP ini mulai dikembangkan oleh Thomas L. Saaty,
seorang ahli matematika yang bekerja pada University of Pittsburgh di Amerika
Serikat, pada awal tahun 1970-an (Iryanto, 2008).
Metode Analytic Hierarchy Process dapat membantu menyelesaikan masalah
yang kompleks dan tidak terstruktur. Dalam hal ini, masalah kompleks yang
dimaksud adalah masalah yang mempunyai banyak kriteria (multikriteria),
ketidakpastian pendapat dari pengambil keputusan, pengambil keputusan lebih
dari satu orang serta ketidakakuratan data yang tersedia. Metode ini dapat
melakukannya dengan cara menyederhakan dan mempercepat proses pengambilan
keputusan yaitu memecahkan masalah atau persoalan tersebut ke dalam
bagian-bagiannya, menata bagian atau veriabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi
nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel yang
mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil
pada situasi tersebut.
Menurut Mulyono (2004), AHP digunakan untuk menemukan skala rasio
baik dari perbandingan berpasangan yang diskrit maupun kontinu.
Perbandingan-perbandingan ini dapat diambil dari ukuran aktual atau dari skala dasar yang
mencerminkan kekuatan perasaan dan preferensi relatif. AHP memiliki perhatian
khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran dan pada
ketergantungan di dalam dan di antara kelompok elemen strukturnya. AHP
perencanaan (prediksi), alokasi sumber daya, penyusunan matriks input koefisien,
penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi
konflik dan lain sebagainya.
2.1.2 Landasan Aksiomatik
Analytic Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri
dari (Iryanto, 2008):
1. Reciprocal Comparison, yang mengandung arti bahwa matriks perbandingan
berpasangan yang terbentuk harus bersifat berkebalikan. Misalnya, jika A
adalah kali lebih penting daripada B maka B adalah kali lebih penting
dari A.
2. Homogenity, yang mengandung arti kesamaan dalam melakukan
perbandingan. Misalnya, tidak dimungkinkan membandingkan jeruk dengan
bola tenis dalam hal rasa, akan lebih relevan jika membandingkan dalam hal
berat.
3. Dependence, yang berarti setiap jenjang (level) mempunyai kaitan (complete
hierarchy) walaupun mungkin saja hubungan yang tidak sempurna
(incomplete hierarchy)
4. Expectation, yang artinya menonjolkan penilaian yang bersifat ekspektasi dan
persepsi dari pengambil keputusan. Jadi yang diutamakan bukanlah
rasionalitas tetapi dapat juga yang bersifat irrasional.
2.1.3 Prinsip-Prinsip Dasar AHP
Adapun prinsip-prinsip dasar AHP adalah sebagai berikut :
1. Decomposition
Decomposition adalah pemecahan permasalahan yang utuh menjadi
unsur-unsurnya. Jika menginginkan hasil yang akurat maka pemecahan dapat
lebih lanjut. Karena hasil dari pencabangan berbentuk suatu tingkatan maka
proses analisis ini dikatakan sebagai hierarki.
2. Comparative Judgment
Comparative judgment adalah penilaian yang diberikan oleh seorang
responden atau expert terhadap nilai kepentingan relatif dua elemen pada
suatu tingkat tertentu yang berkaitan dengan tingkat di atasnya.
Pemberian nilai ini akan berpengaruh pada prioritas elemen-elemen. Nilai ini
dimulai dari angka paling rendah yaitu 1 (sama penting) dan paling tinggi
adalah 9 (mutlak lebih penting).
3. Synthesis of Priority
Synthesis of Priority dilakukan dengan menggunakan eigen vector method
untuk mendapatkan bobot relatif bagi unsur – unsur pengambilan keputusan.
4. Logical Consistency
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek yang
serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi.
Contohnya, anggur dan kelereng dapat dikelompokkan dalam himpunan yang
seragam jika bulat merupakan kriterianya, tetapi tak dapat jika rasa sebagai
kriterianya. Arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara
objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Contohnya, jika manis
merupakan kriteria dan madu dinilai 5 kali lebih manis dibanding gula dan
gula 2 kali lebih manis dibanding sirup maka seharusnya madu dinilai manis
10 kali lebih manis dibanding sirup. Jika madu hanya dinilai 4 kali manisnya
dibanding sirup maka penilaian tak konsisten dan proses harus diulang jika
ingin memperoleh penilaian yang lebih tepat (Mulyono, 2004).
2.1.4 Langkah-Langkah Metode AHP
Berikut ini merupakan langkah-langkah pengerjaan metode AHP :
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan tujuan yang diinginkan.
2. Membuat struktur hierarki di mana penyusunan hierarki paling atas adalah
ketiga adalah alternatif-alternatif. Hierarki masalah ini dibuat untuk
membantu proses pengambilan keputusan dengan memperhatikan seluruh
faktor-faktor yang terlibat dalam sistem. Berikut merupakan contoh struktur
hierarki complete dan incomplete.
…
…
Gambar 2.1: Struktur Hierarki yang Complete
Gambar 2.2: Struktur Hierarki yang Incomplete
Goal
Kriteria 1
Alternatif 1
Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria N
Alternatif 2 Alternatif M
Goal
Kriteria 1 Kriteria 3 Kriteria N
Sub-Kriteria M Sub-Kriteria 4
Sub-Kriteria 3 Sub-Kriteria 2
Sub-Kriteria 1
Suatu struktur hierarki dikatakan complete jika seluruh elemen-elemen yang
berada satu tingkat mempunyai hubungan terhadap semua elemen yang
berada pada tingkat berikutnya. Sementara, struktur hierarki dikatakan
incomplete apabila semua elemen yang berada satu tingkat tidak memiliki
hubungan terhadap semua elemen yang berada pada tingkat berikutnya.
3. Membentuk matriks perbandingan berpasangan yang akan menggambarkan
bentuk kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing–
masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Perbandingan dilakukan
berdasarkan pilihan atau judgement dari pembuat keputusan dengan menilai
tingkat tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga nilai judgement keseluruhan
yang didapat adalah sebanyak judgment, bilamana adalah
banyaknya elemen.
5. Menghitung nilai eigen vector dan menguji konsistensi. Jika terdapat
judgement koresponden tidak konsisten maka pengambilan data perlu
diulang.
6. Mengulangi langkah 3, 4 dan 5 untuk seluruh tingkat hierarki.
7. Menghitung eigen vector dari setiap matrik perbandingan berpasangan. Nilai
eigen vector merupakan bobot dari setiap elemen yang akan memberikan
gambaran tingkat prioritas elemen-elemen mulai dari tingkat hierarki
terendah sampai ke tingkat tujuan.
8. Menguji konsitensi hierarki. Jika nilai konsistensi hierarki tidak memenuhi
maka penilaian harus diulang.
2.1.5 Penyusunan Struktur Hierarki Masalah
Suatu masalah akan menjadi sulit diselesaikan apabila proses pemecahannya
dilakukan tanpa memandang masalah sebagai suatu sistem dengan suatu struktur
tertentu. Maka dari itu hierarki masalah disusun untuk membantu proses
pengambilan keputusan dengan memperhatikan seluruh kriteria keputusan yang
Pada tingkat tertinggi dari hierarki adalah tujuan, sasaran dari sistem yang
dicari solusinya. Tingkat berikutnya merupakan penjabaran dari tujuan tersebut.
Suatu hierarki dalam AHP merupakan penjabaran kriteria yang tersusun dalam
beberapa tingkat, dengan setiap tingkat mencakup beberapa kriteria homogen
(Ambardi, 2010).
2.1.6 Penyusunan Prioritas
Dalam menentukan prioritas kriteria-kriteria dari suatu sistem hierarki harus
terlebih dahulu diketahui bobot relatifnya. Tujuannya adalah untuk mengetahui
intensitas kepentingan suatu kriteria terhadap kriteria lainnya yang berada pada
tingkat yang sama.
Langkah pertama untuk menentukan prioritas setiap kriteria adalah membuat
perbandingan berpasangan antara kriteria yang dengan yang lainnya. Misal, jika
terdapat empat kriteria yaitu A, B, C dan D maka perbandingan berpasangan yang
dapat dibuat adalah:
1. A dengan B,
2. A dengan C,
3. A dengan D,
4. B dengan C,
5. B dengan D,
6. C dengan D.
Dengan kata lain bahwa jumlah perbandingan berpasangan sebanyak enam.
Kemudian perbandingan antar-kriteria ditransformasikan ke dalam bentuk matriks
perbandingan berpasangan untuk analisis numerik.
Misalkan terdapat sebanyak kriteria dengan unsur-unsur dengan
di mana menunjukkan bahwa hubungan perbandingan
Tabel 2.1 Matriks Perbandingan Berpasangan
Matriks pada tabel 2.1 disebut sebagai matriks reciprocal. Suatu matriks
dikatakan matriks reciprocal jika kriteria dinilai 3 kali lebih penting dibanding
kriteria maka nilai dan nilai perbandingan terhadap adalah
, diagonal matriks akan bernilai 1 dan banyaknya penilaian yang
diperlukan dalam menyusun matriks adalah .
Pemberian nilai pada matriks perbandingan berpasangan diperoleh dari
skala perbandingan berpasangan yang disebut saaty pada tabel 2.2:
Tabel 2.2 Skala Perbandingan Berpasangan
Pengalaman dan penilaian sedikit
mendukung dibanding elemen
lainnya.
5 Lebih penting
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung dibanding elemen lainnya.
7 Sangat penting
Satu elemen yang kuat didukung dan dominannya telah terlihat pada praktek.
9 Mutlak lebih penting
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain
Diberikan bila terdapat keraguan penilaian antara dua penilaian yang berdekatan.
Resiprokal
2.1.7 Eigen Vector dan Eigen Value
Misalkan suatu matriks A yang berukuran maka vector tidak nol pada
dikatakan eigen vector dari A jika perkalaian matriks A dan vector
merupakan kelipatan skalar dari . Dengan kata lain, vektor eigen adalah suatu
vektor yang jika dikalikan dengan suatu matriks maka hasilnya adalah vektor itu
sendiri dikali dengan suatu skalar yang disebut sebagai nilai eigen (eigen value).
Dapat ditulis sebagai berikut:
(2.1)
Jika matriks A yang berukuran terdapat n elemen yaitu
yang akan dinilai secara perbandingan. Perbandingan berpasangan ini akan
dipresentasikan sama seperti pada tabel 2.1 yaitu bilamana
dengan merupakan vektor dari pembobotan semua elemen dan
sehingga untuk menyatakan intensitas kepentingan
elemen terhadap dapat ditulis dengan atau . Untuk lebih jelas dapat
dilihat pada tabel 2.3 yaitu matriks perbandingan berpasangan dengan nilai
intensitas.
Tabel 2.3: Matriks Perbandingan Berpasangan dengan Nilai Intensitas
Apabila persamaan (2.1) ditulis secara lengkap maka matriksnya adalah sebagai
(2.2)
Persamaan 2.1 dan 2.2 digunakan untuk mencari nilai bobot dari kriteria
maupun alternatif dan yang merupakan langkah akhir dalam penyelesaian pada
metode Analytic Hierarchy Process (AHP).
2.1.8 Uji Konsistensi
Uji konsistensi merupakan sala satu karakteristik metode AHP yang
membedakannya dengan metode-metode pengambilan keputusan lainnya. Karena
pada metode AHP menggunakan input berdasarkan persepsi responden dengan
syarat konsistensi mutlak.
Pengukuran konsistensi tersebut didasarkan atas eigen value maksimum.
Rumus untuk mencari nilai indeks konsistensi adalah:
(2.3)
Keterangan:
= Consistency Index
= Eigen value maksimum
= Ordo matriks
Untuk batas ketidakkonsistenan yang telah ditetapka Thomas L. saaty
ditentukan dengan menggunakan Consistency Ratio (CR), yaitu perbandingan
Consistency Index (CI) dengan nilai Random Index (RI) yang didapatkan dari
suatu eksperimen oleh Oak Ridge National Laboratory kemudian dikembangkan
Tabel 2.4 Random Index (RI) Orde
Matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Nilai ini bergantung pada ordo matriks n. Dengan demikian, Rasio Konsistensi
dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.4)
Jika nilai CR matriks perbandingan berpasangan lebih kecil 10% maka
ketidakkonsistenan responden dapat diterima tetap apabila nilai CR lebih besar
dari 10% maka ketidakkonsistenan responden ditolak dan perlu melakukan
perulangan data.
2.2 Produk dan Merek
2.2.1 Teori Produk
Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk memuaskan
keinginan atau kebutuhan. Suatu produk tidak hanya sebuah objek fisik, tetapi
produk adalah sekumpulan manfaat atau nilai yang dapat memuaskan konsumen
(BelchG.E. dan Belch M.A., 2007).
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi soerang konsumen ketika hendak
memiliki suatu produk seperti merek, kemasan, garansi, layanan, purna jual, nama
baik perusahaan, nilai kepuasaan, ketahanan produk dan lain sebagainya.
2.2.2 Teori Merek
Merek (brand) adalah sebuah nama, istilah, tanda, lambang, atau desain, atau
Kepercayaan atau trust disefinisikan sebagai persepsi akan kehandalan dari
sudut pandang konsumen didasarkan pada pengalaman atau terpenuhinya harapan
akan kinerja produk. Jadi, ketika suatu perusahaan memberikan merek terhadap
suatu produk maka posisi merek bisa sangat mempengaruhi keadaaan atau kondisi
produk dalam pasar. Karena merek merupakan sebagai pengenal atau identitas
dari produk itu sendiri yang secara tidak langsung akan memrpengaruhi kuantitas
konsumen dalam memilih suatu produk (Ferrinadewi, 2008).
Dalam strategi penetapan merek, terdapat istilah brand equity yaitu aset yang
tidak terlihat yang melekat pada nilai tambah atau kebaikan yang dihasilkan dari
citra yang baik, kesan yang berbeda, dan/atau kekuatan nama perusahaan, nama
merek, atau merek dagang di mata konsumen (BelchG.E. dan Belch M.A., 2007).
2.3 Sikap Konsumen dan Keputusan Pembelian
2.3.1 Sikap Konsumen
Sikap (attitudes) konsumen adalah faktor penting yang akan mempengaruhi
keputusan konsumen. Sikap adalah mempelajari kecendrungan konsumen untuk
mengevaluasi baik disenangi ataupun tidak disenangi secara konsisten sedangkan
menurut Hawkins dalam (Ferrinadewi, 2008), sikap adalah proses
pengorganisasian motivasi, emosi, persepsi, kognitif yang bersifat jangka panjang
dan berkaitan dengan aspek lingkungan disekitarnya.
2.3.2 Keputusan Pembelian
Keputusan pembelian merupakan salah satu bagian pokok dari perilaku konsumen
yang mengarah kepada pembelian produk atau jasa. Dalam mengambil keputusan
seorang konsumen tidak akan lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi
konsumen untuk mengadakan pembelian. Kemudian, konsumen akan melakukan
kepentingan atau manfaat produk, keunggulan-keunggulan produk dan lain
sebagainya) dari beberapa produk atau alternatif dan akan melakukan pengadaan
pembelian suatu produk berdasarkan pertimbengan-pertimbangan tertentu.
2.4 Uji Alat Ukur (Kuesioner)
Dalam melakukan penelitian seorang peneliti akan mendapatkan hasil yang
mendekati akurat jika penelitian dilakukan dengan mengadakan uji data. Oleh
sebab itu, peneliti harus memilih peralatan yang dapat mengukur secara tepat dan
konsisten apa yang harus diukur untuk mencapai tujuan penelitian. Proses ini
disebut dengan uji alat ukur. Uji alat ukur ada dua, yaitu uji validitas dan
reliabilitas.
2.4.1 Uji Validitas
Sesuatu dikatakan valid jika alat ukur yang dibuat sesuai dengan apa yang hendak
diukur, jika yang diukur adalah panjang, maka penggaris dapat dikatakan sebuah
alat ukur yang valid. Akan tetapi bagaimana jika yang akan diukur adalah persepsi
seorang responden. Persepsi setiap orang ketika menyatakan kelebihan suatu
produk tentu berbeda-beda. Artiya jika obyek yang akan diteliti adalah berbeda
akan tetapi variabel yang akan diangkat adalah sama, maka secara operasional
akan terjadi perbedaan dalam mengukur indikasi-indikasi yang ada. Dalam
penulisan ini, uji yang akan dilakukan menggunakan uji Cochran.
Uji Cochran termasuk pengujian statistik nonparametrik yang digunakan
untuk peristiwa atau perlakuan lebih dari dua. Uji Cochran (disebut uji Q)
merupakan perluasan McNemar. Uji Cochran berlaku untuk sampel
berpasangan dengan data yang berskala nominal atau berskala ordinal
yang hanya terbagi dua (dikotomi). Apabila uji McNemar digunakan untuk dua
sampel berpasangan maka uji Cochran digunakan untuk tiga sampel berpasangan
Pada Uji Cochran Q, peneliti mengeluarkan (menghilangkan) atribut-atribut
yang dinilai tidak sah berdasarkan kriteria-kriteria statistik yang dipakai sehingga
unsur-unsur subyektifitas peneliti sama sekali tidak dilibatkan (Ambardi, 2010).
Berikut merupakan langkah-langkah untuk melakukan uji Cochran:
1. Menghitung jumlah responden dari data hasil kuesioner yang setuju bahwa
kriteria yang dipertimbangkan dapat dijadikan sebagai kriteria penentu
keputusan.
2. Membentuk hipotesa:
: Semua atribut yang diuji memiliki proporsi jawaban “YA” yang sama
: Tidak semua jawaban yang diuji memiliki proporsi jawaban “YA” yang
sama
3. Menghitung nilai dengan rumus:
(2.5)
di mana:
= Jumlah kriteria
= Jumlah responden yang memilih “YA” pada kriteria ke-j
= Jumlah kriteria yang disetuji oleh responden ke-i
4. Menentukan dengan tingkat signifikan dan degree of
freedom (derajat kebebasan / dk) maka akan diperoleh nilai
dapat dilihat dari tabel Chi Square Distrbution.
5. Membandingkan nilai dengan , dengan syarat:
Jika: ditolak,
Jika: diterima.
6. Mengambil kesimpulan dari hasil keputusan yang diperoleh.
a. Jika diterima maka proporsi jawaban “YA” pada semua atribut
dianggap sama. Dengan demikian maka semua responden dianggap
sepakat mengenai semua kriteria sebagai faktor yang dipertimbangkan.
b. Jika ditolak maka proporsi jawaban “YA” masih berbeda. Artinya,
belum ada kesepakatan di antara responden mengenai atribut sehingga
Pengujian lanjutan dilakukan dengan membuang (menghilangkan)
kriteria yang memiliki proporsi jawaban “YA” yang paling kecil.
2.4.2 Uji Reliabilitas
Beberapa item yang mengelompok menjadi indikasi sebuah variabel tidak cukup
dilihat dari ukuran validitas saja, namun juga diukur besarnya kehandalan yang
terjadi pada kelompok tersebut. Pada uji reliabilitas, penulis mengambil metode
uji Chi-Square.
Uji Chi-Square banyak digunakan untuk dua tujuan, yaitu uji keselarasan
fungsi dan uji tabel kontingensi. Uji keselarasan fungsi bertujuan untuk
mengetahui apakah distribusi dari hasil-hasil yang teramati pada suatu percobaan
terhadap sampel mendukung suatu distribusi yang telah dihipotesiskan pada
populasi sedangkan uji tabel kontingensi, yang sering juga disebut sebagai uji
independensi, bertujuan untuk mengetahui apakah data terklarifikasikan silang
secara independen (tidak saling terikat) atau tidak. Berikut adalah
langkah-langkah uji Chi-Square:
1. Menentukan hipotesis
: Tidak ada perbedaan antara hasil pengukuran I dan pengukuran II
: Terdapat perbedaan antara hasil pengukuran I dan pengukuran II
2. Menentukan nilai dengan rumus:
(2.6)
3. Menentukan angka kritis nilai dengan taraf signifikan dan
derajat kebebasan (dk) = 1. Maka diperoleh angka kritis nilai
dari tabel angka kritis nilai .
4. Menarik kesimpulan.
5. Jika nilai yang didapat berada pada daerah di bawah nilai kritis maka