• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Orang Tionghoa Dalam Politik L

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kedudukan Orang Tionghoa Dalam Politik L"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kedudukan Orang Tionghoa dalam

Kebijakan Luar Negeri Tiongkok

Oleh : Ahmad Sofyan*

Sejak berdirinya rejim komunis Republik Rakyat

China (RRC/Tiongkok), China peranakan/perantauan atau

yang biasa disebut Tionghoa sudah menjadi perhatian

tersendiri dalam kebijakan domestik maupun luar negeri

Tiongkok. Secara khas, kebijakan Tiongkok tentang China

Perantauan ini saling melengkapi dengan agenda kebijakan

domestik dan luar negeri Beijing. Secara keseluruhan,

kebijakan domestik Tiongkok pun selaras dengan tujuan

kebijakan luar negerinya. Pada tataran kebijakan domestik,

Tiongkok sangat fokus dalam melanjutkan pertumbuhan

perekonomian yang pesat untuk menjaga stabilitas internal

negara. Sejalan dengan itu, strategi kebijakan luar negeri

Tiongkok berusaha menjaga stabilitas rejional dan

internasional guna mendukung moderniasasi ekonomi, pun

meningkatkan kekuatan dan martabat bangsa di mata dunia.

Menurut buku Dennis Roy, Power, Wealth, and Status,1 adalah tiga “tujuan utama dan tetap”

dari kebijakan luar negeri Tiongkok. Beijing menginginkan kekuatan atau pengaruh, kekayaan,

dan status demi mempertahankan diri dalam perubahan-perubahan dunia. Untuk memenuhinya,

Beijing mencatat dengan baik semua sumber daya yang dibutuhkan dalam mencapai

tujuan-tujuan kebijakan domestik maupun luar negerinya, oleh karena itu, Beijing menyatukan sekitar

35 juta China perantauan ke dalam usaha pencapaian tujuan-tujuannya tersebut.2

Ada tiga tujuan kebijakan Tiongkok soal China perantauan di abad ke-21 : ekonomi,

budaya, dan politik.3 Dengan menghormati tujuan ekonomi Beijing, jaringan China perantauan

memainkan peran penting dalam memodernisasi Tiongkok. Jutaan China perantauan memang

1

Dennis Roy, Chi a’s Foreig Relations, (Boulder: Rowman & Littlefield, 1998), hal. 215

2

Shaio H. Zerba, The PRC’s O erseas Chi ese Policy THE“I“ , (Monterey: Naval Postgraduate School, 2008), hal. 1.

3

Elena Barabantseva dalam Shaio H. Zerba, ibid, hal. 2. Lebih detil tentang kedudukan China

(2)

2

merupakan sumber investasi dan SDM yang signifikan. China perantauan pun turut berperan

mempromosikan bahasa dan kebudayaan China ke dunia sehingga turut membantu

meningkatkan martabat dan soft power Tiongkok. Dan akhirnya, dengan rasa hormat pada tujuan

politik Beijing, jaringan China perantauan menjadi media untuk mengkomunikasikan

kepentingan Tiongkok di negara tempat mereka berdiam atau dimana mereka memperoleh

kewarganegaraan. Lebih dari itu, jaringan China perantauan adalah agen yang sangat dibutuhkan

dalam persoalan Taiwan dan isu reunifikasi China. 4

Mengokohkan Urusan China Perantauan Sebagai Kepentingan Nasional

Tiongkok

Selama berabad-abad, kekaisaran China selalu melarang warga melakukan migrasi ke luar

negeri. Contohnya Dinasti Ming (1368-1644), yang menetapkan hukum untuk menghambat

terjadinya emigrasi dan perdagangan internasional. Kemudian dinasti Qing (1644-1912) yang

juga melarang semua kegiatan tersebut. Pada abad kesembilan belas, akibat kekalahan China atas

perang melawan militer multinasional dalam Perang Candu, mendorong Dinasti Qing untuk

mengizinkan emigrasi tenaga kerja ke luar China. Sebuah klausul dalam perjanjian Nanking pada

tahun 1842 mengakui hak orang China untuk beremigrasi, membuka jalan untuk migrasi skala

besar buruh tidak hanya ke Asia Tenggara, tetapi juga ke wilayah yang lebih jauh seperti

Amerika dan Australasia. Melunaknya kebijakan Dinasti Qing bertepatan dengan munculnya

revolusi industri dan akhir perbudakan di Barat. Setelah tahun 1859, populasi buruh-buruh China

meningka pesat di luar negeri, khususnya di Asia Tenggara. Diperkirakan bahwa lebih dari dua

juta orang China berimigrasi antara 1848 dan 1.883.5 Dan akhirnya, pada tahun 1893 Dinasti

Qing resmi mencabut larangan melakukan perjalanan dari dan ke luar negeri.6

Termotivasi oleh kekayaan dan sumber daya orang China perantauan yang tinggal di luar

negeri, pada tahun 1909, Dinasti Qing mengadopsi hukum kewarganegaraandengan prinsip jus

sanguinis untuk melegitimasi klaimnya atas china perantauan. Jus sanguinis atau "hak darah,"

membuat setiap etnis China, terlepas dari tempat kelahiran atau domisilinya, tetap dianggap

4

Ibid.

5

Paul J. Bolt, China and Southeast Asia's Ethnic Chinese: State and Diaspora in Contemporary Asia, (Westport: Praeger Publishing, 2000), hal. 38.

6

(3)

3

warga negara Qing.7 Hukum kebangsaan ini kemudian diadopsi oleh pemerintah China

Nasionalis (Kuomintang), lalu diteruskan oleh Tiongkok (Komunis). Hukum kebangsaan inilah

yang kemudian menjadi hambatan orang-orang China perantauan membaur dengan orang

pribumi di negara mereka tinggal. Pada sisi lain, karena tradisi merantaunya, orang-orang China

sering menganggap diri mereka sebagai penduduk sementara dengan niat untuk kembali. Kaum

migran China pun mendirikan sekolah-sekolah yang terpisah dari sekolah-sekolah lokal dan

memelihara budaya mereka sendiri.

Selama masa pemerintahan China Republik (1912-1949), berbagai upaya pemerintah

China untuk mempererat hubungan dengan China perantauan terus dilakukan. Misalnya, Hukum

Kewarganegaraan Kuomintang (KMT) tahun 1929 yang menegaskan kembali prinsip jus

sanguinis. KMT mengklaim semua etnis Tionghoa yang tinggal di luar negeri, "diyakini bahwa

mereka dapat menjadi instrumen kebijakan luar negeri, dan bahkan terdaftar dalam kebijakan

luar negeri China sebagai tujuan pertama."8 Selanjutnya, pemerintah Nasionalis membentuk

lembaga seperti Overseas Chinese Affairs Commission untuk mendekati dan melobi orang China

perantauan. Meskipun KMT punya banyak alasan untuk mempromosikan hubungan dengan

China perantauan, tetapi yang menjadi motivasi utama mereka adalah untuk mengumpulkan

dana. Untuk mendorong tujuan ini, KMT menyusun undang-undang khusus memberikan orang

China perantauan peluang investasi dan insentif yang menguntungkan, seperti Undang-undang

untuk mendorong diberlakukannya investasi China perantuan di Tanah Air, UU Insentif untuk

China Perantauan.9 KMT juga memprakarsai program untuk mempromosikan budaya dan

nasionalisme China di kalangan masyarakat Tionghoa perantauan seperti mengirim guru-guru ke

Asia Tenggara. Sayangnya, pendekatan agresif KMT ini membuat orang-orang China perantauan

terasing dari tempat tinggalnya di negara-negara Asia Tenggara.

Ketika Partai Komunis menguasai China pada tahun 1949, situasi internasional

ini sangat berbeda dari yang dihadapi oleh Dinasti Qing dan pemerintah Nasionalis.

Nasionalisme Asia Tenggara meningkat setelah akhir Perang Dunia Kedua. Fenomena ini

menimbulkan kecurigaan tinggi pada China perantauan sebagai kelompok penghambat

kemerdekaan di benak pejuang di Asia Tenggara.10 Kebijakan pemerintah China sebelumnya

7

Paul J. Bolt, op.cit., hal.38.

8

Stephen Fitzgerald, China and the Overseas Chinese, (New York: Cambridge University Press, 1972), hal. 11.

9

Paul J. Bolt, op.cit., hal. 40.

10

(4)

4

turut memperumit upaya Tiongkok untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara

Asia Tenggara dimana mayoritas etnis Tionghoa perantauan tinggal. Hubungan China dengan

China perantauan tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan negara-negara di mana

mereka tinggal. Negara Tiongkok yang baru dibentuk segera menemukan masalah

kewarganegaraan ganda yang menghambat upaya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan

negara-negara di Asia Tenggara.

Pada bulan Desember 1977, Partai Komunis China (PKC) Pusat mengadatakan konferensi

internasional China perantauan pertama di Beijing dengan tujuan meninjau kebijakan luar

negeri Tiongkok dalam menghadapi kritik internal dari “Gang of Four”.11 Konferensi tersebut juga menyerukan kebangkitan dan penguatan kembali urusan China perantauan. Seluruh aspek

kebijakan mengenai urusan China perantauan dipadukan dalam sebuah slogan “All Patriots are

One Family”, yang menunjukkan niat serius pemerintah Tiongkok memanfaatkan potensi China

perantauan untuk memajukan tanah air mereka.12 Pada tahun-tahun itu, kebangkitan rasa

patriotisme China perantauan difahami sebagai bagian dari “perjuangan kelas” dalam

terminologi Marxis :

“Karena orang-orang di China dahulu hampir tidak mampu mencari nafkah, beberapa dari

mereka terpaksa menyeberangi lautan dan bekerja sebagai kuli di luar negeri. Sebagian besar

dari masih adalah buruh pekerja. Mereka juga tertindas dan dipermainkan oleh imperialis,

kolonialis, dan monopoli kapitalistik,” (Peking Review 3, 1978: 14-16).

Konferensi itu diikuti dengan setidaknya dua konferensi nasional yang juga diadakan oleh

PKC pada tahun 1978 : Konferensi Urusan China Perantauan dan Konferensi Delegasi Semua

Negara. Li Xiannian, perwakilan Komite Sentral PKC telah memetakan penting dan urgennya

implementasi nyata kebijakan-kebijakan mengenai China perantauan dalam setiap tingkat

pemerintahan. Pada saat yang sama, Li juga menyeru kepada seluruh China perantauan, kerabat

mereka yang masih tinggal di China Daratan, serta semua orang China di luar negeri untuk

kembali bersama-sama berjuang mencapai modernisasi tanah air (Tiongkok).13

Ketiga konferensi tersebut menandai pergeseran signifikan dalam kebijakan mengenai

China perantauan, yang sebelumnya Beijing cenderung buntu dan masa bodoh, kini Tiongkok

11

Gang of Four (Siren Bang) adalah empat pembangkang yang mengkritik keras kebijakan-kebijakan Mao Za Dong, mereka terdiri dari Jiang Qing, Zhang Chunqiao, Yao Wenyuan, dan Wang Hongwen.

12

Elena Barabantseva, The Party- “tate’s Tra s atio al Outreach: O erseas Chi ese Policies of the PRC’s Ce tral Government, (Tuebingen: Institute of Chinese and Korean Studies, 2005), hal. 3.

13

(5)

5

mulai membuka hubungan dengan jaringan China perantauan di dunia untuk memajukan

ekonomi negara.

Partai Komunis China pun memanfaatkan hal ini dengan kampanye-kampanye

sosialismenya, termasuk mengklaim kemajuan dan pembangunan yang mulai tampak sebagai

bukti keberhasilan sosialisme yang dulu diperjuangkan lewat revolusi Mao, seperti yang ditulis

dalam laporan internal PKC berikut :

“Kami membuka diri dan menyambut dukungan China perantauan terhadap pembangunan sosialis. Menjaga agar Partai tetap berhubungan dekat dengan mereka, mengembangkan

aktivitas federasi China perantauan, dan memperkuat kepemimpinan P artai serta hubungan

dengan China perantauan untuk memastikan kekokohan jaringan.”14

Awal kebijakan yang menjadi penanda keterlibatan kembali dengan orang China

perantauan adalah sebuah rehabilitasi status kekerabatan China perantauan: memperkenalkan

perlakuan khusus bagi mereka, mengartikulasikan perlindungan hak-hak mereka dalam

Konstitusi 1982 dan dalam Hukum Perlindungan Khusus 1999.

Untuk menghidupkan kembali hungan antara kerabat China perantauan di Darata dan

warga China yang kembali dari luar negeri dengan komunitas China perantauan, sejumlah

lembaga administrasi pemerintah dan non-pemerintah yang didirikan kembali, yang

bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak dan kepentingan China perantauan dan kerabat

mereka. Di seluruh Tiongkok, seluruh mekanisme pengelolaan urusan China perantauan ini

berada di bawah kendali Dewan Negara (State Council/SC). Pada tahun 1978, didirikan The

Overseas Chinese Affairs Office6 (qiaoban) (OCAO). Mantan direktur OCAO melukiskan

tujuan OCAO sebagai berikut : 'Kantor Urusan China Perantauan telah dibentuk demi

kepentingan China Perantauan.' Dengan demikian, urusan China perantauan telah dianggap

sebagai masalah kepentingan nasional China. Ini bukan kebetulan bahwa dalam kebanyakan

laporan resmi dan publikasi tentang China perantauan, ada ungkapan yang menekankan bahwa

China memiliki sejumlah klaim atas identitas China perantauan. Seperti pernyataan : 'China

telah mendapatkan 30 juta China perantauan di seluruh dunia (Zhongguo zai Shijie ge di Anda

3000 wan huaqiao Huaren.)‟15 dengan kata lain, China perantauan diklaim sebagai bagian dari Tiongkok, atau China perantauan dianggap sebagai bagian dari karakteristik nasional China yang

14

'Seriously Implement the Policy of Overseas Chinese Affairs and Strive for Building a Modernised Socialist Fatherland' delivered by Liao Chengshih

15

(6)

6

unik. Sikap ini jelas menempatkan Tiongkok dalam posisi unggul dibandingkan dengan

negara-negara lain, sekaligus memberikan legitimasi Tiongkok untuk menggabungkan China

perantauan ke dalam modernisasi China dan usaha nasional lainnya.

Hal ini juga melegitimasi program-program yang yang bertujuan untuk meningkatkan

afiliasi simbolis dan kontribusi material dari China perantauan ke tanah air mereka. Program ini

merupakan inti dari kegiatan lembaga-lembaga urusan China perantauan yang dilaksanakan di

semua tingkatan pemerintah. Sejak tahun 1978, di setiap provinsi, daerah otonom (kecuali Tibet),

dan kota telah berdiri kantor-kantor OCAO masing-masing.

Program-program OCAO kemdian ditiru ke dalam kegiatan organisasi massa yang

berfungsi secara paralel dengan organ resmi pemerintah Pusat. All-China's Federation of

Returned Overseas Chinese /ACFROC (Qiaolian) yang awalnya dibentuk pada tahun 1956 tetapi

kemudian selama bertahun-tahun Revolusi Kebudayaan menghentikan aktivitasnya, pada tahun

1978 ACFROC kembali berfungsi dengan slogan 'yi qiao da qiao' yang dalam terjemahan

langsung berarti 'membangun jembatan hubungan dengan China perantauan'. Dengan kata lain,

tujuan ACFROC adalah untuk menggunakan kembali China perantauan yang kembali ke China

Daratan, anggota keluarganya, dan China perantauan di seluruh dunia sebagai jalan untuk

menyerap tenaga kerja, kecerdasan, sumber daya keuangan, mengkampanyekan modernisasi

sosialis, dan lain-lain.

Pada tahun 1989, lebih dari 2.000 organ ACFROC didirikan di 29 daerah tingkat provinsi,

kota, dan kabupaten otonom, mereka dilengkapi dengan 8.000 organisasi yang berafiliasi pada

tingkat administrasi yang lebih rendah. Sejak 1984 Kongres Nasional China Perantauan Kembali

dan Keluarga (KNCPKK) telah dilangsungkan setiap lima tahun, yang terakhir diselenggarakan

di Beijing pada bulan Juli 2004 dan berhasil mengumpulkan 1.000 delegasi China perantauan

dari seluruh dunia.

Pada tahun 1983, Kongres Tiongkok (renda) membentuk Komisi China Perantauan

(huaqiao weiyuanhui or renda de qiaowei) atau CPCOCC yang terdiri dari empatbelas orang

anggota yang bertanggung jawab untuk penelitian, rekomendasi dan pengamatan pelaksanaan

kebijakan pemerintah terhadap kerabat, mereka yang kembali, dan China perantauan.

Sebagai buah dari kerja kolektif lembaga-lembaga di atas, selama kurun periode

1979-2000, pembangunan kebijakan China perantauan mewujudkan hasil berupa adopsi lebih dari 360

(7)

7

dan tidak kurang dari 800 regulasi dihasilkan oleh Dewan Negara. Pendirian sejumlah lembaga

administratif tersebut mencerminkan usaha pemerintah untuk melembagakan berbagai bidang

garapan program China perantauan baik di Tiongkok maupun di luar negeri : mulai dari pihak

yang bertanggung jawab untuk pengembangan dan penyebarluasan lingkup umum program,

hingga instruksi pelaksanaan ke tingkat massa. Pelembagaan birokrasi yang sedemikian luas

menunjukkan urgensi dan pentingnya elemen China perantauan dalam formulasi kebijakan

TIONGKOK yang kondusif untuk modernisasi.

Fase Bandung

Pada tahun 1955, PM Tiongkok, Zhou Enlai menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di

Bandung. Menurut Yahuda, kehadiran Tiongkok di KAA menandakan dimulainya satu fase yang

disebut Fase Bandung, ketika Tiongkok memulai kebijakan luar negerinya ke negara-negara

Dunia Ketiga. Secara umum garis kebijakan luar negeri Tiongkok pada periode ini adalah

membangun solidaritas dengan negara-negara Amerika Latin, Asia, dan Afrika, sekaligus mempromosikan “Lima Prinsip Kedamaian Koeksistensial”. Mao mencita-citakan peran Tiongkok sebagai pemimpin negara-negara Dunia Ketiga dan ujung tombak revolusi sosialis.

Dalam padangan Mao, China dan negara-negara Dunia Ketiga memiliki kesamaan sejarah

kolonialisme, karena itu mereka berpotensi disatukan melawan imperialisme Barat. Mao

memperlihatkan keinginan kuat untuk berhubungan dengan semua negara, terlepas dari haluan

politik mereka, untuk menyelesaikan semua masalah dengan moderasi dan diplomasi.

Dalam mendukung pandangan Mao tersebut, Beijing berusaha membentuk hubungan yang

lebih baik dengan negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka, terutama jiran-jiran di Asia

Tenggara. Untuk maksud meningkatkan hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara

tersebut, Zhou Enlai menghadiri KAA di Bandung. Tidak hanya itu, Zhou menegosiasikan

perjanjian dengan Indonesia pada tahun 1955 yang akan mengakhiri kewarganegaraan ganda

bagi orang China perantauan di Indonesia. Dia pun menawarkan penandatanganan perjanjian

non-agresi dengan Filipina dan meyakinkan Thailand bahwa China tidak memiliki niat buruk

dalam mendirikan Zona Otonomi etnis Thai di provinsi Yunnan.

Perjanjian “Dwi kewarganegaraan” antara Tiongkok - Indonesia ini pada dasarnya diawali oleh klaim politik Mao Zedong yang mengatakan bahwa semua orang Tionghoa di seluruh dunia

(8)

8

(keturunan darah). Kebijaksanaan itu kemudian ditindaklanjuti dengan Perjanjian

Dwi-Kewarganegaraan RI- Tiongkok antara Zhou Enlai dan Mr. Soenario pada 1955. Perjanjian ini

tidak diratifikasi oleh Pemerintah RI hingga tahun 1960.

Beijing sangat ingin mencapai kesepakatan dengan Indonesia agar mereka dapat

mempresentasikan perjanjian tersebut di forum KAA. Meskipun tidak sempurna, bagi Beijing

perjanjian dapat menjadi propaganda utama dari Lima Prinsip Kedamaian Koeksistensial untuk

hidup berdampingan secara damai.

Bagi Beijing, KAA Bandung adalah platform yang ideal untuk menunjukkan niat hidup

berdampingan secara damai Tiongkok pada para pemimpin negara-negara Asia-Afrika. Dalam

konferensi tersebut, Zhou Enlai mengambil kesempatan untuk menawarkan solusi memecahkan

masalah kewarganegaraan China perantauan di negara-negara lain dengan model perjanjian

seperti Indonesia- Tiongkok.

Tetapi, pada sisi lain, di forum KAA Bandung, Zhou Enlai menyatakan bahwa keturunan

Tionghoa di Indonesia berhutang kesetiaan pada negara leluhur. Mao di satu pihak meluncurkan

kebijakan ini, namun di lain pihak merasa keturunan Tionghoa di luar negeri adalah masih

memihak kepada ROC (Republik of China) Taiwan yang nasionalis.

Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Tiongkok -Indonesia ini sangat jelas merupakan

upaya-upaya Tiongkok untuk menarik kaum China perantauan terikat secara politik dan ekonomi

dengan China daratan. Meski di sisi lain Beijing menggaungkan jargon hidup berdampingan

secara damai, namun mereka tetap menyasar etnis China perantauan yang tersebar di

negara-negara Asia.

Tahun 1958, Perjanjian dituangkan dalam UU, yang menegaskan bahwa orang Tionghoa di

Indonesia kembali diperbolehkan memilih kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Batas

waktu pemilihan sampai pada tahun 1962. Yang memilih menjadi WNI tunggal harus

menyatakan diri melepaskan kewarganegaraan Tiongkok.

Tetapi pada 1969, Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dibatalkan. Yang memegang surat

pernyataan Dwi Kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) bila tidak

menyatakan keinginan menjadi WNI.

Yang menarik adalah, ketika perjanjian Dwi Kenegaraan ini telah dibatalkan, apakah

keterikatan antara Tiongkok dengan China perantauan di Indonesia terhenti? Tentu saja tidak,

(9)

9

china perantauan dengan sejumlah konferensi-konferensi internasional China perantauan pada

dekade 1970-an.

Menarik Devisa Masuk Tiongkok

Meskipun terjadinya perubahan lingkungan internasional yang dihadapi China, ada satu

Kebijakan luar negeri China yang konstan yaitu kebutuhan Beijing untuk menarik devisa dari

luar negeri (China perantauan). Pengiriman dana ini memainkan peran penting pada tahun 1949

sampai 1977. Sepanjang pemerintahan Mao, orang China perantauan telah bermurah hati

mengirim uang ke kerabat mereka, teman-teman dan di China daratan. Selama periode

1950-1975 perkiraan total dana yang dikirim ke Tiongkok tidak kurang dari US$ 4,6 miliar (Lihat

Tabel 1). Selama periode tertentu, pengiriman uang ke Tiongkok sempat menurun karena

kebijakan domestik yang berhaluan kiri, sehingga uang yang dikirim dianggap tidak terlalu

mnguntungkan orang Tionghoa perantauan. Misalnya, kebijakan Kiri Lompatan Jauh ke Depan

memperkecil peluang China perantauan untuk mengirim dana sehingga pengiriman uang

rata-rata hanya US$ 90 juta per tahun. Jumlah pengiriman uang juga anjlok selama Revolusi

Kebudayaan.

Rata-rata pengiriman uang per tahun selama periode ini adalah US$ 252 juta. Meskipun

pengiriman uang tahunan dari tahun 1966 hingga 1975 rata-rata US$ 252 juta, ini menutupi fakta

bahwa selama tiga tahun pertama pengiriman uang jatuh karena Revolusi Kebudayaan dan

kemudian terus meningkat tahun berikutnya. Kemudian, kenaikan pengiriman uang pada tujuh

tahun berikutnya mungkin sebagian disebabkan oleh pembukaan baru hubungan diplomatik dan

ekonomi dengan negara Barat.16

Tabel 1. Pengiriman Uang dari China Perantauan ke Daratan China

Periode Pengiriman Uang dalam US$

Rata-rata Tahunan

dalam US$ Defisit dalam US$

1950 – 1957 $1.170 milyar $146 juta $1.38 milyar

1958 – 1962 $450 juta $90 juta $498 juta

1963 – 1965 $454 juta $151 juta $963 juta

1966 – 1975 $2.523 milyar $252 juta Tidak ada data

Sumber : The PRC's Overseas Chinese Policy, Shaio H. Zerba, Naval Postgraduate School, Monterey, California.

16

(10)

10

Selain mengirimkan uang, tentu saja para China perantauan ini diundang untuk melakukan

investasi di Tiongkok. Diantara investor-investor luar negeri lainnya, investor China perantauan

telah memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan China Komunis yang lebih

modern dan bergaya kapitalis. Sebagai contoh, pada awal dekade 1980-an, investor-investor

China perantauan dari Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Philipina, dan Thailand)

adalah sumber utama dana luar negeri di provinsi Fujian, Tiongkok. Singapura sendiri adalah

negara yang paling giat menjalin kerjasama ekonomi dan investasi dengan Tiongkok setelah

kunjungan PM Lee Kuan Yew pada tahun 1980. Tidak hanya itu, ternyata cukup banyak grup

pengusaha China perantauan yang memiliki leluhur dari Fujian, seperti Tan Yu dan Lucio C. Tan

(Philipina), Liem Sioe Liong (Sudono Salim), Djuhar Sutanto, dan Klan Riady (Indonesia), serta

Robert Kuok (Malaysia). Mereka semua telah menanamkan investasi besar di Fujian sejak

1980-an.17

Pada tahun 1993, Salim Grup termasuk salah satu investor terpenting di Fujian. Mereka

mendirikan sejumlah pabrik seperti pabrik sepatu, pabri lantai, dan real estate. Salim Grup pun

bekerja sama dengan Bank China membuka Fujian Asia Bank. Rata-rata motif pengusaha China

perantauan berinvestasi di Fujian itu selain berbisnis juga untuk mengangkat taraf hidup

masyarakat setempat. Demikian pula dengan investasi Salim di Fujian yang berdampak besar

pada sebuah desa kecil bernama Fuqing. Sejumlah suratkabar melaporkan pengaruh Liem

terhadap kampung halamannya, seperti yang ditulis Australian Financial Review pada 1995:

Sekitar 90 persen dari pabrik-pabrik di Fujian dikendalikan oleh Liem, dia berhasil menyalurkan uang kembali ketanah leluhurnya. Dari desa-desa terdekat

direkrut sekitar 50.000 pekerja ke pabrik-pabrik milik Liem - yang terdiri dari prabrik makanan,

prabrik plastik prabrik bunga, prabrik sepatu, prabrik pakaian, prabrik pengemasan dan

pelabuhan baru di Fujian, sekitar 20.000 diantaranya berasal dari Fuqing ini.”18

Kebalikan dengan ayahnya Liem, Anthony Salim justru lebih suka berinvestasi di

Shanghai, sebuah kota bisnis yang sibuk dan lebih menyediakan banyak peluang.19

17

Alvi Y. “o, Chi a’s Develop e tal Miracle : Origins, Transformation, and Challenges, (New York: M.E. Sharpe, Inc., 2003), hal. 137

18

Australian Financial Report dalam Marleen Dieleman, The Rhythm of Strategy : A Corporate Biography of the Salim Grup of Indonesia, (Amstersdam: Amsterdam University Press, 2007), hal. 63.

19

(11)

11

Liem pun tercatat sebagai anggota aktif Asosiasi Fuqing, perkumpulan berbasis daerah

atau dialek setempat yang efektif dalam mengembangkan jaringan bisnis. Liem pun menjadi

eksekutif komite dari Asosiasi Internasional Fuzhous (Ibukota provinsi Fujian) bersama Robert

Kuok.

Serbuan investasi China perantauan ke provinsi Fujian ini berhasil mengangkatnya menjadi

provinsi 5 besar termaju di seluruh Tiongkok pada tahun 1998. Statistik pada tahun 1995

menunjukkan pertumbuhan provinsi Fujian sekitar 35,6%, melebihi angka pertumbuhan nasional

yang hanya 21,7%. Angka itu rata-rata bersumber dari komoditas seperti tekstil dan

produk-produk industri.20

Selain di Fujian, Salim Grup juga telah berinvestasi di wilayah tenggara TIONGKOK

lainnya dalam bidang otomotif, telekomunikasi, pembangunan kota dan pelabuhan bermitra

dengan perusahaan-perusahaan lokal.

Investasi besar yang dilakukan pengusaha China perantauan di Tiongkok lainnya yaitu

pembangunan Hotel Shangri-La di Hangzhou oleh konglomerat Malaysia, Robert Kuok pada

dekade 1980. Saat itu, infrastruktur pariwisata Tiongkok masih terbelakang sehingga tidak

menarik wisatawan mancanegara untuk berkunjung. Tetapi Kuok berhasil melihat sesuatu yang

terpendam, dia yakin jika masa depan turisme Tiongkok akan maju karena negara itu memiliki

kekayaan budaya yang sangat kaya. Dan Kuok terbukti benar. Kini ada sekitar 24 Hotel

Shangri-La di Tiongkok dari total 72 hotel tersebut yang ada di dunia.21

Hubungan erat antara Tiongkok dengan pengusaha China perantauan ini boleh dikatakan

sangan konstan dan relatif tidak terpengaruh isu-isu politik yang panas sekalipun. Terbukti ketika

kasus kerusuhan lapangan Tiananmen meletus pada 1989, ketika seluruh investasi asing menarik

diri dari China, hal berbeda dilakukan oleh para investor China perantauan. Mereka tetap

berinvestasi dan tidak melarikan modalnya ke luar negeri, seperti salah satunya dilakukan oleh

Charoen Pokphand (CP) milik Chia Eksaw, imigran asal Tiongkok yang menjadi konglomerat di

Thailand.22

Gagasan besar Tiongkok untuk menjadikan China perantauan sebagai basis kemajuan ini

telah dirancang dengan sangat baik. Ketika globalisasi ekonomi dan politik menjadi sumbu

20

Alvin Y. So, op.cit.

21

A.B. Susanto, Patricia Susanto, The Dragon Network : Inside Stories of the Most Successful Chinese Family Business, (Singapore: John Wiley & Sons, 2013), hal. 151.

22

(12)

12

utama dunia, Tiongkok dengan cerdik menawarkan pada negara-negara ASEAN satu traktat

perdagangan yang dikenal dengan CAFTA (ASEAN Free Trade Area). Para KTT

China-ASEAN tahun 2001, PM Zhu Rongji mengusulkan pembentukan CAFTA dalam kurun 10 tahun

ke depan. CAFTA akan mencakup Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan

Thailand pada tahun 2010; kemudian diperluas ke Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja pada

tahun 2015.

Bahkan sebelumnya, hubungan bisnis antara Tiongkok dan ASEAN telah sangat erat.

Menurut harian Xinhua, sejak tahun 1991, perdagangan volume China-ASEAN

tumbuh lebih dari 15 persen setiap tahun. Perdagangan bilateral mencapai $130.400.000.000

pada tahun 2005. Selain itu, ASEAN adalah pasar ekspor China terbesar kelima, sumber impor

terbesar ketiga dan mitra dagang terbesar keempat. China adalah mitra dagang terbesar keempat

ASEAN. Pada akhir tahun 2005, investasi ASEAN di China mencapai $38.500.000.000

sementara investasi China di ASEAN mencapai $1,085 milyar.23

Singkatnya, uang adalah faktor pendorong kerja sama Tiongkok-ASEAN. Karena blok

perdagangan ekonomi seperti NAFTA dan Uni Eropa menggunakan banyak sumber daya, maka

China merayu ASEAN untuk bergabung dalam Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA).

Tiongkok menggoda anggota ASEAN dengan iming-iming pasar China yang terbuka.

Menurut Sheng Lijun, dari Institute of Southeast Asian Studies, CAFTA adalah bentuk latihan

"politik pembangunan keyakinan" bagi kedua belah pihak. Lijun mengatakan, “Wacana bahwa dengan CAFTA berarti bahwa China dapat bermitra dengan negara-negara ASEAN secara

konstruktif untuk setidaknya sepuluh tahun di bawah satu kerangka politik dan ekonomi yang

ramah.”24 Membentuk CAFTA mungkin bisa memposisikan China sebagai jangkar dari sutu

blok perdagangan dan ekonomi.

Kemitraan China dengan ASEAN adalah batu loncatan dalam meningkatkan pengaruh

Beijing di Asia Timur. Keterlibatannya di Asia Tenggara merupakan bagian dari strategi yang

lebih besar untuk menciptakan wilayah Sinosentrik yang interdepensi secara kondusif untuk

kepentingannya. Menurut seorang pejabat senior ASEAN, "Ini adalah permainan jangka panjang

bahwa Tiongkok. Mereka ingin situasi di Asia Tenggara yang secara otomatis memperhitungkan

kepentingan Tiongkok. Seluruh Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menghindari

23

“u it Will Ce e t “trategic Part ership, Xinhua, 28 October 2006, Lexis Nexis.

24

(13)

13

pengepungan strategis Tiongkok oleh Amerika Serikat."25 Kemitraan Tiongkok dengan ASEAN

seperti pertahanan terhadap upaya Amerika Serikat yang ingin membendung perluasan pengaruh

politik China. Sepanjang konteks strategi Tiongkok tersebut, orang China perantauan sangat

bernilai penting.

Kepentingan Tiongkok di ASEAN sendiri ada tiga : mengembangkan pasar bagi

produk-produk buatan China, mengamankan sumber daya alam, dan membentuk blok ekonomi rejional

yang sebanding dengan Uni Eropa. Dan yang menjadi penghubung (middlemen) antara

Tiongkok dan ASEAN adalah China perantauan yang jumlahnya tidak kurang dari 20 juta. Para

pengusaha China perantauan ini turut berperan dalam memasukkan produk-produk Tiongkok ke

negara-negara ASEAN, mulai dari baju, makanan, hingga produk elektronik. Sebagai imbal

baliknya, para pengusaha China perantauan diberikan kemudahan berinvestasi di China daratan.

Bola Panas itu bernama “China

Perantauan

China perantauan atau China perantauan jelas-jelas sangat bernilai bagi Tiongkok. Karena

itu sedapat mungkin hubungan keduanya tidak terganggu, bahkan Tiongkok pun sangat sensitif

dengan isu-isu yang menyangkut china perantauan di negara lain, terutama Asia Tenggara.

Apalagi di Asia Tenggara, meski populasi China perantauan minoritas secara jumlah, tetapi

mereka menguasai perkenomian negara. Perhatikan tabel 2 di bawah.

Negara Populasi Perkenonomian

Indonesia 4 % Menguasai 75% perekonomian nasional Piliphina 2% Menguasai 80% perekonomian nasional Thailand 8% Menguasai 80% perekonomian nasional Sumber : John Naisbitt, Megatrends Asia

Selain faktor sumber daya ekonomi, China daratan masih menganggap bahwa

orang-orang China perantauan itu merupakan saudara sebangsa yang merantau dan harus terikat dengan

negeri leluhurnya. Seperti ketika pemerintahan Tiongkok mengklaim seluruh China perantauan

di dunia sebagai warga negaranya dengan alasan pertalian darah (jus sanguinis).

Perhatian pemerintahan China daratan terhadap orang-orang China perantauan telah

dimulai sejak zaman dinasti/kekaisaran China. Seperti ketika pemerintahan kolonial

Hinda-Belanda menerapkan kebijakan pola pemukiman (wijkenstelsel) dan sistem izin jalan

25

(14)

14

(passenstelsel) terhadap orang-orang China perantauan, membuat pemerintah China mulai

menaruh perhatian atas nasib mereka. Tahun 1892, Kaisar China membicarakan soal emansipasi

orang-orang China di Hindia dengan pemerintah Kolonial Belanda. Contoh lain dari perhatian

negeri China itu antara lain pengiriman kapal-kapal perang China dengan seorang duta,

pengiriman guru-guru, pemberian bantuan kepada sekolah-sekolah Tiong Hoa Hwee Koan

(THHK), serta pemberian kesempatan untuk belajar di China.26

THHK tidak sekedar menjadi organisasi sosial dan perdagangan, sebab kemudian juga

menjadi organisasi politik. Organisasi ini banyak mengirimkan uang ke negeri leluhur yang pada

waktu itu dalam proses bangkitnya nasionalisme dan perubahan politik di China. Sudah sejak

akhir abad ke-19 negara China meningkatkan jalinan premordialismenya dengan orang-orang

China di Indonesia, baik berupa hubungan dengan organisasi China, hubungan dengan

pemerintah Hindia Belanda, membela orang-orang China di Indonesia dalam hubungan dengan

Belanda dan mensupply buku-buku berbahasa China dan mengirimkan guru-guru untuk

mengajar di sekolah-sekolah Tionghoa Hwee Koan.

Isu China perantauan ini terus menjadi bola panas hingga pemerintahan Soekarno. Euforia

kemerdekaan yang merebak seantera Indonesia kemudian menyadarkan bahwa bangsa Indonesia

yang baru lepas dari penjajahan belum terlatih dan berpengalaman dalam berbisnis.27 Kaum

pribumi pun tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin bersaing dengan perusahaan

asing dan Tionghoa. Perusahaan-perusahaan Belanda yang sempat diambil alih orang Indonesia,

saat itu mengalami kemunduran setelah diambil alih. Sebagai jalan keluar ditanda tangani

persetujuan di Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang isinya Pemerintah akan

mengembalikan semua perusahaan asing yang telah diambil alih kepada pemiliknya. Sebagai

gantinya untuk memperkuat ekonomi pribumi berdasarkan persetujuan Konferensi Meja Bundar

maka pemerintah Indonesia diberikan hak untuk mengeluarkan peraturan yang melindungi

kepentingan nasional dan "golongan ekonomi lemah".

(15)

15

Pada awal 1950 dikeluarkanlah Program Benteng oleh Menteri Perdagangan dan

Perindustrian ketika itu, Sumitro Djojohadikusumo besertaMenteri Kesejahteraan Djuanda, yang

mengumumkan bahwa hanya pengusaha pribumi saja yang diberi izin mengimpor barang

tertentu yang dikenal sebagai sebutan barang benteng.

Program Benteng mengawali gelombang transformasi ekonomi yang dipaksakan untuk

menghadirkan kelas pengusaha pribumi. Istilah „Benteng‟ terhadap ide Sumitro ini diberikan

karena pada dasarnya program tersebut berusaha membangun kewirausahaan pribumi agar

mampu membentengi perekonomian negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Selain itu,

juga untuk meningkatkan daya saing di luar negeri, bukan saja dengan bisnis Barat (Belanda),

tetapi juga dengan jaringan bisnis etnis China di seluruh dunia.

Pada tanggal 19 Maret 1956 pada Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di

Surabaya, Asaat Datuk Mudo, Mantan Pejabat Presiden Republik Indonesia berorasi bahwa

orang-orang China telah bersikap monopolistis dalam perdagangannya dengan tidak membuka

jalan bagi penduduk pribumi untuk ikut berdagang.

Orang-orang China sebagai satu golongan yang eksklusif menolak masuknya orang-orang lain, terutama dalam bidang ekonomi. Mereka begitu ekslusif sehingga dalam praktiknya

bersikap monopolistis...,” demikian kata Asaat.

Sebagai penutup Asaat berkata bahwa ia percaya bahwa pada masa itu diperlukan

perlindungan khusus di bidang ekonomi kepada warga negara Indonesia asli.

Dilihat dari fakta yang terjadi dilapangan pada era 1950an hampir semua toko di Indonesia

dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa. Mulai dari toko kelontong, toko bangunan, hingga toko

makanan. Hal ini dibenarkan oleh pengamat budaya Betawi, Alwi Shahab yang menyatakan

bahwa pada masa mudanya di daerah Kwitang, Jakarta Pusat, pusat perekonomian di Jakarta

betul-betul bergantung pada pengusaha keturunan Tionghoa.

Jangan bayangkan ada warung Padang atau yang lain seperti sekarang. Semua dikuasai orang China,” ujar Alwi Shahab.

Pidato Asaat tersebut menjadi awal "gerakan Asaat" atau "pribumisasi" yang dinilai

berpengaruh besar pada gerakan yang dituduh rasis atau anti-China selanjutnya. Pada bulan

November 1959 dikeluarkan PP Nomor 10 tahun 1959 yang berisi larangan untuk orang asing

berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bahwa dan wajib mengalihkan

(16)

16

sampai batas 1 Januari 1960. Dengan peraturan tersebut semua WNA China hanya

diperkenankan berusaha secara terbatas di kota-kota Daerah Tingkat I dan II.

Pada praktiknya "orang asing" pada pasal ini terbatas hanya pada orang Tionghoa karena

dari 86.690 pedagang kecil asing yang terdaftar, 90 persennya adalah orang Tionghoa. Saat

peraturan ini diterapkan, sekitar 500 ribu pengusaha keturunan Tionghoa terimbas (Majalah

Tempo) sedangkan Harian Waspada memiliki perhitungan lain, yaitu terdapat sekitar 25.000

warung/kios milik pedagang asing yang umumnya orang China yang terkena PP No. 10 (harian

Waspada 1960).28

PP No.10 ini dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional, namun

menimbulkan ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok. Dalam

pertemuan antara Menteri Luar Negeri Subandrio dengan Duta Besar China untuk Indonesia

(Huang Chen) di Jakarta, pemerintah Peking mendesak peninjauan kembali PP No. 10 dan

permintaan itu ditolak.29 Selanjutnya di depan sidang parlemen, Menteri Subandrio menegaskan,

sama sekali tidak diperdapat anasir-anasir anti China dalam hubungan pelaksanaan PP No. 10.

Pelaksanaan PP No. 10 tersebut, selain merupakan dimulainya nasioanalisasi dan sosialisasi di

bidang ekonomi, juga merupakan bagian pelaksanaan dalam revolusi Indonesia, katanya. Dalam

nasionalisasi tersebut, PP No.10 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing

di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat

tinggalnya. Sedangkan tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha

dan semua barang-barangnya yang berada di dalam tempatnya berjualan harus diserahkan

kepada koperasi.30 Pemerintah China pun berang, pada tanggal 10 Desember 1959 radio Peking

mengumumkan ajakan warga China perantauan untuk kembali ke "kehangatan Ibu Pertiwi".

Kedubes TIONGKOK di Jakarta segera mendaftar China perantau yang tertarik oleh ajakan itu.

Di sejumlah suratkabar, seperti Jen min Jih Pao, banyak kecaman-kecaman dari

pejabat-pejabat China ditujukan pada RI-1. Bahkan Tiongkok mengirimkan kapal untuk mengangkut

warga Tionghoa kembali ke tanah leluhurnya. Menurut sumber dari Indonesia, sekitar 102.000

28

Berita Peristiwa 60 Tahun Waspada: Penduduk China Dipulangkan (1960). PP No.10 dan Masalah Pemulangan Hoakiao, hal. 39.

29

Ibid.

30

(17)

17

warga Tionghoa diangkut menuju China, tetapi menurut sumber dari China hanya 96.000 yang

tiba di sana.31

Kepergian sejumlah besar warga Indonesia keturunan Tionghoa ini menimbulkan kesulitan

ekonomi bagi Indonesia dan dianggap memperlemah Soekarno. Sebaliknya, sentiment anti

Peking berkembang di militer, terutama Angkatan Darat. Saat itulah Soviet mendekat dan

memberikan sejumlah bantuan, termasuk bantuan militer untuk menghadapi Belanda di Irian

Barat.

Ketika pemberontakan PKI pecah, orang China perantauan kembali menjadi bola panas.

Pemberontakan PKI yang secara nyata disokong oleh Tiongkok memunculkan sentimen anti

Peking dan merembet pada sentimen rasial anti orang China. BAPERKI (Badan

Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang didirikan oleh beberapa keturunan China

untuk memuluskan integrasi keturunan China kepada Republik Indonesia pun turut terkena

getahnya. Pada awalnya BAPERKI memang tidak terafiliasi PKI atau komunis atau kiri, akan

tetapi seiring menguatnya hubungan PKI dengan Partai Komunis China maka pengaruh komunis

di BAPERKI semakin kuat dan mencengkram Baperki, dan hal ini sesuai dengan ideologi

Baperki yang menolak menghilangkan kebudayaan China dari warga negara Indonesia yang

keturunan China.

Persatuan China Sedunia

Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura pada bulan Agustus 1991

memprakarsai diadakannya Konvensi China Sedunia di Singapura untuk mengumpulkan

pengusaha-pengusaha China perantauan (Overseas Chinese) dari seluruh dunia. Konvensi ini

dihadiri 800 pengusaha besar China yang datang dari 30 negara termasuk dari Indonesia.

Pertemuan ini kembali membangkitkan premordialisme para pengusaha China bahwa

keberhasilan mereka dalam bidang ekonomi tidak lepas dari kesamaan mereka yang mewarisi

tradisi budaya super yaitu China. Ini kemudian dikaitkan dengan sifat-sifat tradisi budaya itu

untuk bersikap hemat, kerja keras, mengutamakan pendidikan, persatuan dan saling membantu,

bahkan ditekankan kembali Confucianisme sebagai etos pengikat orang-orang China.

31

(18)

18

Tujuan Konvensi ini adalah untuk "membentuk jaringan kerjasama ekonomi masyarakat

bisnis internasional China untuk memanfaatkan berbagai peluang bisnis." Karuan saja jaringan

kerjasama yang berbau rasialis ini menggoncang nasionalisme Pribumi di negara-negara

khususnya ASEAN, dan khususnya Indonesia yang sedang berusaha keras untuk mempersatukan

non-pri ke dalam kesatuan dengan yang pri sangat dibuat marah dengan perilaku Konvensi yang

dihadiri banyak pengusaha non-pri dari Indonesia itu. Konvensi ini kemudian disusul dengan

Konvensi serupa yang diadakan di Hongkong pada bulan November 1993 yang dihadiri 1000

pengusaha besar China dari seluruh dunia. Indonesia diwakili 40 konglomerat non-pri.

Dampak pertemuan-pertemuan itu telah membangkitkan kembali reaksi kesadaran kaum

Pribumi di negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Indonesia untuk mewaspadai gerak

langkah para pengusaha China dinegara-negara itu. Reaksi premordialisme ini bisa dilihat dari

reaksi pengusaha Probosutedjo yang sekalipun sejak tahun 1980 pemerintah sudah menganjurkan

untuk meninggalkan istilah pri dan non-pri yang menyebabkan usaha HIPPI berubah arti menjadi

'Himpunan Pengusaha Putera Indonesia', reaksi keras menyebabkan HIPPI kembali diartikan

menjadi 'Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia' seperti semula.

Reaksi itu dapat dimaklumi karena persatuan China Sedunia demikian ditakuti sebagai

usaha melarikan modal Indonesia ke luar negeri (capital flight) yang berarti merusak ekonomi

dalam negeri. Reaksi ini memang patut dimaklumi, soalnya, sudah lama pemerintah

TIONGKOK sendiri menganjurkan pengusaha-pengusaha China perantauan untuk menanamkan

modal mereka secara besar-besaran ke Tiongkok.

"Tanpa orang-orang keturunan China ini, sulit bagi Tiongkok untuk bisa mewujudkan

suatu pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi. Para pengamat memperkirakan bahwa 60%

investasi asing didaratan China ini dibawa oleh para pengusaha keturunan China. Tanpa

orang-orang keturunan China seperti Mochtar Riady atau Soedono Salim dari Indonesia. Robert Kuok

dari Malaysia atau Charoen Pokphan dari Thailand, tidak banyak modal yang akan masuk ke

daratan China untuk investasi."32

Reaksi juga datang dari Siswono Yudohusodo yang menyebut ada sembilan dosa

orang-orang keturunan China di Indonesia, yaitu antara lain: "mereka hidup secara eksklusif, segregasi

dalam kehidupan sosialnya, maunya cuma bergaul antara mereka, mereka yang menjadi

32

(19)

19

pengusaha membuat diskriminasi dalam penerimaan buruh (karyawan), antara yang Pri dan

Non-pri, diskriminasi dalam upah dan sebagainya."33

Isu Perkosaan Massal Mei 1998

Isu perkosaan massal gadis-gadis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 ini cukup menusuk

harga diri bangsa Indonesia dimata dunia. Menyebabkan ketakutan pada orang-orang Tionghoa,

sebagian dari mereka ada yang melarikan diri ke luar negeri karena merasa tidak aman lagi di

Jakarta.

Darimana isu itu berasal? Usut punya usut, ternyata awal ceritanya juga bermula dari

internet. Di salah satu news group (news:soc.culture.indonesia) di internet dikutip cerita

pengakuan seorang gadis etnis Tionghoa bernama Vivian serta beberapa amoy lainnya yang

diperkosa ramai-ramai oleh pemuda pribumi. Yang keterlaluan, dikisahkan para hidung belang itu berkata, “Kamu diperkosa karena kamu China dan non muslim,” lantas mereka bertakbir sebelum memperkosa.

Isu ini telah memancing sentimen ras dan keagamaan. Rasa saling curiga dan kebencian

menggerogoti hati anak-anak negeri ini yang sempat bersatu dalam menjatuhkan Soeharto. Jelas

berita perkosaan missal itu telah mencoreng wajah Islam dan kaum muslimin seluruhnya.

Celakanya, cerita seperti ini dipercaya begitu saja oleh kalangan pers dengan memblow-up

besar-besaran. Padahal berbagai media juga tidak kunjung berhasil mewawancari langsung

amoy-amoy yang menjadi korban, seperti ketika wartawan koran kriminal memberitakan kasus

perkosaan lainnya.

Para aktivis gerakan feminisme dan HAM seperti mendapatkan durian runtuh ketika

mendengar isu ini. Mereka sibuk menggerakkan demo menentang perkosaan missal yang tidak

jelas siapa dan dimana korbannya itu. Mereka pun lantas membentuk Tim Gabungan Pencari

Fakta (TGPF) bersama berbagai fihak lain untuk menyelidikinya.

Ironis, meski berkali-kali mendatangi DPR dan memberikan keterangan di media, TGPF

tetap tidak bisa membuktikan siapa korban dan data-data akurat lainnya. Padahal mengapa

mereka tidak membela ratusan – mungkin ribuan, warga Jakarta yang terpancing menjarah lalu

terjebak dalam pusat-pusat perbelanjan yang sengaja dibakar.

33

(20)

20

Meski demikian, isu perkosaan wanita Tionghoa terus menggelinding hingga ke luar

negeri. Surat kabar Sidney Herald Tribune dan New York Times yang bertiras besar tidak

ketinggalan memuat isu ini pula dan memperburuk citra Indonesia di mata dunia.

Tetapi, isu perkosaan massal ini masih simpang siur kebenarannya. Terutama ketika situs

Indonesia Huaren Crisis Center (IHCC) yang merupakan corong “resmi” kasus perkosaan ini, masih meragukan beberapa foto yang disertakan tim investigasi independen. IHCC bahkan

meminta pengunjung untuk melaporkan apabila foto-foto yang ditampilkan itu bersumber dari

situs lain yang tidak ada kaitannya dengan isu yang dipersoalkan.

Diduga beberapa foto perkosaan diambil dari situs pornografi dan tragedi kerusuhan Timor

Timur. Berikut kutipan dari web IHCC :

We've found some fake/false photos in internet. We believe that it can reduce the integrity

of our movement. So, we put a list of photos that we've confirmed as fake photos that have

nothing to do with Indonesian Huaren and May's riot. If you see the photos in other sites, please

contact the webmaster and tell them to remove it.

These photos are fake/false because of following reasons :

They are about Timor Timur crisis, which is not related to Indonesian Huaren, or

They can be found in pornographic sites, and available BEFORE May's riot.

Ketika penulis mencoba menelusuri halaman web yang berisi foto-foto perkosaan amoy,

link-link gambarnya tidak dapat diakses dan hanya menampilkan halaman putih atau tidak

ditemukan. Alamat situs IHCC dapat diakses di :

http://reocities.com/capitolhill/4120/index.html (sekarang linknya sudah dihapus).

Keraguan akan benar-tidaknya isu perkosaan amoy itu pun diungkapkan sebuah artikel di

Asian Wall Street Journal yang berjudul “Some Indonesia Rape Photos on the Internet Are

Frauds” ditulis oleh dua orang reporter Wall Street Journal, Jeremy Wagstaff dan Jay Solomon. Sayang, artikel itu hanya berumur pendek dan dihapus dari internet. Artikel itu selengkapnya

dapat dibaca di : http://www.asiafinest.com/forum/lofiversion/index.php/t158969.html

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa Kapolri saat itu, Letjend Roesmanhadi yang

mengancam akan menuntut kelompok hak-hak asasi manusia karena telah menyebarkan berita

dan informasi palsu, jika mereka tidak kunjung mampu menyediakan bukti-bukti yang

(21)

21

Sejumlah photo yang ditunjukkan kelompok HAM itu berasal dari sejumlah media massa

asing, seperti koran South China Morning Post di Hongkong bulan Juni 1998 yang menyoroti

kondisi etnis Tionghoa Indonesia pasca kerusuhan Mei. Setidaknya ada 15 gambar yang diambil

dari sebuah situs pornografi Asia, Sexy Asian Schoolgirls.

Krisis Moneter 1998

Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 ini diakui atau tidak ada peran tidak

langsung dengan orang China perantauan terutama konglomerat-konglomerat besar. Para

konglomerat yang juga pengutang BLBI itu memang sangat oportunis sehingga mereka

melarikan modal ke luar negeri, terutama ke Singapura, salah satunya oleh Liem Sioe Liong.

Adanya pelarian modal investasi khususnya yang berasal dari dana BLBI dalam bentuk US

dollar oleh para konglomerat Indonesia ke luar negeri juga menambah memperburuknya

perekonomian Indonesia.

Ada satu hal yang menarik ketika krisis 1998 lalu, ketika menjelang SI (Sidang Istimewa)

MPR bulan November, muncul saat itu nama-nama kandidat Presiden pengganti Presiden

Soeharto yang mengundurkan diri pada bulan Mei. Dua diantara nama yang muncul yaitu B.J.

Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Habibie, meski telah otomatis menggantikan Presiden

sebelumnya, tapi jelang SI MPR kedudukannya akan diputuskan kembali.

Sofyan Wanandi, salah satu konglomerat pengemplang hutang BLBI sekaligus mantan

aktivis 1966, menyatakan “Jika Habibie jadi Presiden RI, maka dollar akan naek jadi 15

ribu!” Benar saja, ketika Habibie naik menjadi Presiden RI hasil SI MPR 1998, dollar mulai

merangkak naik jadi 15 ribu, bahkan sempat menyentuh 17 ribu.

Pernyataan Sofyan Wanandi itu memantik kekritisan saya, “Apa hubungan Sofyan Wanandi dengan Krisis Moneter 98?” Kenapa pengusaha yang Tim Sukses Jokowi-JK, dan sohib kental Jusuf Kalla itu bisa dengan tepat memprediksi (atau merekayasa?) kenaikan harga

dollar?

Bagi penulis, Sofyan Wanandi adalah salah satu sosok yang patut diwaspadai dan

dicermati pergerakannya. Mengingat dia sejak lama cukup licin dalam setiap fase politik yang

ada di NKRI. Terlebih, selain sebagai pengusaha, Sofyan Wanandi juga aktivis politik yang

(22)

22

* Penulis adalah peminat dalam kajian politik, sosial, agama, budaya, sejarah, dan intelijen. Pernah menjadi kolumnis majalah INTELIJEN. Semasa mahasiswa pernah menjabat sebagai staf Kajian Strategis (Kastra) PP Himpunan Mahasiswa Persis, Sekjen Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Sektor Informal kota Bandung. Pernah mengadvokasi hak-hak pedagang kaki lima di kota

Gambar

Tabel 1. Pengiriman Uang dari China Perantauan ke Daratan China

Referensi

Dokumen terkait

Presentasi diri informan sebagai mahasiswi dan ayam kampus menunjukkan hasil dimana adanya perbedaan dari masing-masing informan dalam mengelola peran dan kesan yang

Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan makanan bergizi dengan praktek konsumsi makanan jajanan (p-value=0,538), tidak ada hubungan

Tidak menggunakan gelar kehormatan - atau disebut yobisute mengindikasikan bahwa ada hubungan intim dan biasanya digunakan untuk pasangan, anggota keluarga yang lebih mudah,

Akan tetapi untuk nilai koefisien redaman rotasi ( B ) ternyata perhitungan teoritis memiliki perbedaan yang cukup besar, hal ini kemungkinan disebabkan bahwa

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebenarnya isi pasal 10 ayat (2) ini adalah bertentangan dengan semangat saksi mahkota (Whistleblower), karena pasal

Metode yang digunakan dalam penelitin ini adalah metode eksperimental, dimana dilakukan dengan menggunakan 1 buah shockbreaker ori FU 150cc dan 1 buah shockbreaker variasi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa gel ekstrak etanol rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc. rubrum) menunjukkan

Dengan bantuan salah satu tombol fungsi Anda bisa beralih ke pengukuran kasar antena, pada tampilan yang diperluas yang menunjukkan noise offset, kualitas dan