Kebangkitan Politik Dunia Ketiga
Pasca-Dekolonialisasi
Wasisto Raharjo Jati
Tulisan ini berusaha untuk mengelaborasi lebih lanjut mengenai pemikiran Soekarno dengan Third Worldism. Adapun Third-Worldism
sendirimerupakan bentuk perspektif emansipasi kejuangan politik dan
ekonomi di negara dunia ketiga. Adapun pemikiran Soekarno sendiri mengenai sosio-demokrasi, sosio-nasionalisme, marhaenisme, maupun
revolusi banyak memberikan arah dalam pergerakan third-worldism.
Satu hal yang paling kentara dari Soekarno dan Third Worldism adalah kemandirian ekonomi maupun anti imperialisme dan neokolonialisme. Maka tulisan akan mendeskripsikan lebih lanjut mengenai pemikiran Soekarno tentang Third Worldism.
Dalam suatu kunjungan Presiden Hugo Chavez ke makam Soekano di Blitar di sela kunjungan kenegaraannya pada tahun 2007 silam. Chavez pernah berujar bahwa dia adalah pengagum pemikiran sekaligus guru politiknya setelah Simon Bolivar dan Fidel Castro. Chavez begitu terkesan dengan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menurutnya merupakan momentum besar bagi perjuangan politik negara dunia ketiga untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Soekarno merupakan
figur kunci bagi tergugahnya semangat bangsa terjajah untuk merebut
kemerdekaan dan terbebas dari pengaruh
kekuatan asing. Soekarno hingga kini masih dikagumi bagi kebanyakan negara berkembang baik di kawasan Afrika, Asia, maupun Amerika Latin yang notabene merupakan kawasan yang terlahir dari proses politik dekolonialisasi. Maka tidaklah mengherankan apabila nama Soekarno dikenang dalam berbagai bentuk memorabilia seperti Masjid Biru Soekarno di Saint Petersburg, Jalan Ahmed Soekarno di Maroko maupun Mesir, Bangunan Soekarno Square di Peshawar dan Lahore, maupun perangko Kuba pada
tahun 2008 silam. Oleh karena itulah bisa dikatakan sosokk Presiden Soekarno
namun juga menjadi bapak dunia ketiga melalui pemikiran politiknya, gerakan, maupun emansipasi perjuangan yang membuat namanya kemudian berkibar sebagai salah satu tokoh dunia yang berpengaruh pada abad ke 20.
Bersama dengan para the gangs of
founding father-nya yang memiliki
kesamaan visi dan misi dengan Soekarno seperti Muhammad Ali Jinnah dari Pakistan, Pandit Jawaharlal Nehru, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, maupun Kwame Nkrumah dari Ghana. Soekarno menyerukan adanya politik dekolonialisasi bagi negara-negara terjajah karena praktik imperialisme maupun kolonialisme yang dilakukan oleh Barat selama berabad-abad. Melalui visi politik dekolonialisasi yang dia bangun yakni “membangun dunia baru” (to rebuild world) dalam Sidang Umum P.B.B. ke – XV tanggal 30 September 1960 yakni dengan menawarkan konsepsi Pancasila sebagai dasar pembangunan dunia ketiga sekaligus membangun dunia baru yang lebih layak bagi negara paska kolonial agar lebih
sederajat dan seimbang posisinya dengan negara Barat1. Fase dekolonialisasi yang
tengah melanda di bangsa Afrika, Asia, maupun Amerika Latin harus dimaknai sebagai rangkaian membangun dunia yang
1
Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, diterjemahkan oleh Hasan Basri (Jakarta: LP3ES, 1987).
lebih berperikemanusiaan dan berkeadilan bagi semua bangsa dunia. Ide Soekarno tersebut kemudian terus dikembangkan oleh para pemimpin dunia ketiga seperti Che Guevara melalui gagasan dunia baru
(new world) yang banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Soekarno maupun gagasan revolusi Kuba, Patrice Lumumba dan
Kwame Nkrumah melalui dunia alternatif
(alternative world), yang hingga kini
kemudian ide tersebut masih terus bergelora melalui pertemuan tahunan Forum Sosial Dunia di Porto Alegre, Brazil yang mengumandangkan “sebuah dunia lain dimungkinkan hadir” (another
world is possible). Artinya bahwa politik
dekolonialisasi sendiri masih berjalan hingga saat ini, hanya saja yang dilawan oleh negara dunia ketiga bukan lagi bentuk imperialism maupn kolonialisme fisik. Namun sudah merambah kepada bentuk tekanan ekonomi yang ditujukan dalam bentuk penyesuaian strukturisasi ekonomi makro. Neokolonialisme dalam bentuk penjajahahan ekonomi memang sudah menjadi bayangan Soekarno pada tahun
1963 ketika menjabarkan konsep Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari secara
inti dari pemikiran Third Worldism yang menjadi teologi pembebasan bagi negara dunia ketiga untuk meraih kesederajatan dan kesamarataan.
Third-Worldism
Ada dua perspektif yang penting untuk diketahui dalam menganalisa ideologi Third-Worldism ini. Yang pertama adalah
perspektif pembilahan dunia menjadi kategorisasi tiga macam dunia yang dibagi menurut ideologinya. Adalah Albert Sauvy, seorang antropolog politik Prancis dalam bukunya yang berjudul Tiers Monde membagi dunia menjadi tiga macam yakni negara dunia pertama yang umumnya adalah negara-negara perekonomian berbasis industrialisasi maju dan berideologi kapitalis-liberal seperti Amerika Utara, Eropa Barat, maupun Jepang. Negara dunia kedua yang berideologi sosialis-komunis dan tingkat industrialisasinya belum sekuat negara dunia pertama seperti Uni Sovyet, Eropa Timur, maupun negara komunis-sosialis lainnya. Negara dunia ketiga yang notabene merupakan negara baru lepas
dari belenggu kolonialisme dan penjajahan yang umumnya berasal dari kawasan Asia,
Amerika Latin, maupun Afrika.2 Adapun pengertian Third-Worldism yang pertama juga mengandung maksud bahwa dunia ketiga distigmatisasikan secara politik
2 Mark Berger.”The End of Third World”, dalam
Third World Quarterly 15 (2007), hal. 265.
sebagai kawasan yang ekonominya timpang, marjinalisasi kehidupan sosial yang tinggi, maupun tingkat kemiskinan penduduk yang begitu ekstrim3.
Pengertian kedua dari Third-Worldism adalah Third-Worldism sendiri dimaknai sebagai bentuk ideologi pembebasan sekaligus juga resistensi terhadap
ketimpangan dan marjinalisasi yang diakibatkan oleh dominasi negara Barat atas negara dunia ketiga selama era kolonialisme dan pengaruhnya hingga kini. ideologi ini muncul paska perang dunia berakhir pada tahun 1945 bertepatan pula dengan masa dekolonialisasi negara kolonial menjadi negara baru. Secara garis besarnya, third-worldism sendiri menyeruakan sikap anti-imperialisme, anti-kolonialisme, non-blok, dan pro-dekolonialisasi terhadap gerakan politik menuntut kemerdekaan. Dalam perkembangannya, ideologi ini terdapat tiga fase perkembangan dalam menyeruakan anti dominasi Barat yakni era 1950-1960, era 1970-1980, dan 1990-sekarang yang secara kontinu mengalami
transformasi ideologi resistensinya. Adapun generasi pertama sendiri sebagai “Bandung Era” dengan tokoh-tokohnya seperti Presiden Indonesia Soekarno (1945-1966), Perdana Menteri India
3 Samir Amin, Unequal Development : An Essay on
Jawaharlal Nehru (1947-1964), maupun Presiden Ghana Kwame Nkrumah (1954-1969), Pemimpin Vietnam Utara Ho Chi Minh (1954-1969) dan lain sebagainya4. Ketiganya berperan penting dalam peletakan dasar Third-Worldism sebagai gerakan pembebasan dan anti dominasi asing dengan terbentuknya Konferensi
Asia Afrika yang dianggap sebagai pionir emanisipasi terhadap perjuangan bangsa-bangsa Afrika, Asia, dan Amerika Latin (Trikontinental) tahun 1955 maupun Gerakan Non-Blok (Non-Aligned
Movement) tahun 1961 yang mempertegas
sikap negara dunia ketiga sebagai entitas negara netral yang mandiri dan bebas dari pengaruh. Dalam era pertama ini, Third Worldism menekankan pada kemandirian ekonomi dan reformasi borjuasi nasional dengan melakukan nasionalisasi terhadap aset ekonomi asing yang merupakan peninggalan ekonomi negara kolonial sebagai upaya melawan dominasi Barat. Isu yang diangkat dalam Third Worldism jilid pertama sendiri adalah neokolonialisme. Neokolonialisme sendiri
merupakan imaji kolonialisme yang akan terjadi di masa mendatang dengan
masuknya borjuasi asing ke dalam perekonomian nasional untuk mengabsorsi sumber daya ekonomi yang hasilnya
4
Arif Dirlik, “Spectres of the Third World: Global Modernity and the End of the Three Worlds”, dalam Third World Quarterly 25 (2004), hal. 135.
digunakan untuk kepentingan negaranya sendiri. Neokolonialisme sendiri berwujud pada terbentuknya lembaga-lembaga dunia yang memiliki kekuatan kapital asing yang dapat menjajah suatu negara dengan memanfaatkan kondisi lemahnya prekonomian nasional.
Adapun generasi Third-Worldism jilid
kedua sendiri ditandai dengan munculnya pemimpin negara dunia ketiga berideologi sosialisme seperti Pemimpin Kuba Fidel Castro (1959-sekarang), Pemimpian Libya Muammar Qaddafi (1969-2011), Presiden Chile Salvador Allende (1970-1973), Presiden Nikaragua Samora Machel (1975-1986), Presiden Tanzania Julius Nyere (1965-1985). Masuknya sosialisme sebagai gerakan emansipasi third-worldism sendiri tidak terlepas dari banyaknya pemimpin dunia ketiga yang mulai bersinggungan dengan negara-negara komunis salah satunya adalah China dan Kuba sebagai cara melawan dominasi Barat. Hal inilah yang kemudian generasi kedua ini berkembang lebih radikal daripada generasi pertama yang
lebih mengarah pada perjuangan diplomatis dan kemandirian berekonomi.
revolusionerisme tersebut untuk memerangi penjajahan di dunia ketiga. Namun demikian, generasi kedua sendiri mengalami kemunduran karena makin banyaknya negara dunia ketiga yang menjadi klien ekonomi IMF dan Bank Dunia yang dianggap sebagai antek “neokolonialisme”. Hingga pada akhirnya Third Worldism sendiri kemudian menjadi ideologi “kosong” manakala terjadi pembangunan ekonomi yang pesat di negara dunia ketiga berkat adanya neoliberalisme tersebut5.
Generasi ketiga Third Worldism sekarang ini muncul kaitannya dengan krisis negara pembangunan
(developmental state) sebagai hasil
pembangunan ekonomi negara dunia ketiga yang didasarkan pada pinjaman hutang luar negeri, liberalisasi pasar, maupun perdagangan bebas. Krisis tersebut mengakibatkan ketimpangan dan marjinalisasi bagi masyarakat yang menjadi objek dari pembangunan tersebut seperti yang terjadi dalam kasus India, Pakistan, maupun Nigeria. Dalam era ini,
muncul berbagai varian pemikiran gerakan resistensi dalam Third Worldism jilid
ketiga seperti environmentalist (Vandana Shiva), post-developmentalist (Arturo Escobar), marxis-strukturalis (Samir
5
Cho Hee-Yeon, “Second Death‟, or Revival of the
„Third World‟ in the Context of Neo-liberal
Globalization.”, dalam Inter-Asia Cultural Studies 6 (2005), hal. 497-509.
Amin), neo-socialism (James Petras dan Walden Bello). Hadirnya berbagai varian tersebut mengindikasikan gerakan resistensi Third Worldism sendiri juga bergerak pada tataran diskursus disamping juga angkat senjata gerakan revolusionerisme seperti yang sudah ada sebelumnya. Sehingga resistensi Third
Worldism sendiri meliputi tiga hal yakni kontra hegemoni (counter-hegemony), kontra diskursi (counter-discourses), dan
counter-movement. Berkembangnya
gerakan kontra tersebut merupakan kulminasi dari tiga resistensi dominan dalam perspektif Third Worldism dalam menunjukkan sikap anti globalisasi yang telah berkembang dalam masyarakat dunia ketiga. Hal tersebut ditunjukkan dengan berbagai slogan seperti globalisasi dari bawah (globalization from below), Selatan
(global south), maupun dunia lain yang
dimungkinkan (another world is possible) yang jelas-jelas menunjukkan sikap bahwa solidaritas sosial harus lebih dikedepankan dalam globalisasi karena pembangunan ekonomi dengan mengutamakan
pertumbuhan ekonomi tinggi hanya membuahkan ketimpangan dan
marjinalisasi ekonomi.
lindung masyarakat dan kemiskinan masyarakat yang diakibatkan proses perdagangan bebas NAFTA tahun 1994. Subcomandante Marcos merupakan pionir dari gerakan third worldism yang mengangkat isu globalisasi sebagai neokolonialisme telah menimbulkan ketimpangan di negara dunia ketiga. Selain
itu dalam konteks makro, resistensi terhadap dominasi Barat disuarakan oleh para pemimpin neo-sosialisme kiri Amerika Latin seperti Chavez, Correa, Kirchner, Lula da Silva, dan Evo Morales yang menilai bahwa imperialisme Amerika Serikat hadir melalui tangan-tangan aktor global ekonomi seperti MNCs, lembaga donor dunia, maupun lain sebagainya. Third Worldism jilid ketiga turut merubah paradigma Barat-Timur paska tahun 1991 menjadi Utara-Selatan pada tahun 1994 bahwa Selatan sendiri perlu diberdayakan menjadi kekuatan ekonomi baru melawan Utara.
Soekarno, KAA, dan Emansipasi Dunia Ketiga
Inisiasi Presiden Soekarno dalam
menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung (Bandung Conference) adalah
untuk memperkuat jaringan kerjasama ekonomi antar negara Afro-Asia, mempromosikan asset kebudayaan kedua kawasan, serta memperkuat jaringan solidaritas antar negara kedua benua dalam menghadapi imperialisme dan
kolonialisme yang belum usai. Penyelenggaraan KAA dihelat di tengah berkecamuknya gerakan revolusioner melawan penjajahan negara Barat di berbagai negara sebut saja perjuangan Aljazair maupun kawasan Indochina dalam mengusir penjajahan Prancis, Indonesia yang tengah bersitegang dengan
Belanda melalui masalah Irian Barat, maupun Mesir dengan Inggris perihal konflik Terusan Suez. Ide besar yang ingin dibangun oleh Soekarno dalam pertemuan tersebut sebenarnya adalah membangun rasa empati mengenai penderitaan kolonialisme Barat sekaligus pula membangun aliansi kekuatan politik dunia baru di tengah persaingan dua kekuatan politik besar yang tengah menghegemoni dunia yakni Uni Sovyet melalui komunis-sosialisme maupun Amerika Serikat dengan kapitalisme-liberal.
Respon Barat terhadap
penyelenggaraan tersebut sangatlah menentang upaya Soekarno dalam membangun aliansi politik dunia ketiga. Yang ada kemudian, ideologi Soekarno
yang berupa semangat anti imperialisme maupun anti komunisme sendiri adalah
proses kelahirannya didasari atas penderitaan praktik kolonialisme Barat. Maka tidaklah mengherankan baik blok dunia ketiga maupun Timur memiliki sikap sama dalam menghadapi politik negara-negara Barat, meskipun blok dunia ketiga tetap menyatakan akan sikap kemandiriannya. yang memiliki Soekarno
beserta para sabahatnya seperti Jawaharalal Nehru, Gamal Abdul Nasser, maupun Chou Enlai tidaklah percaya begitu aksi filantropis yang dijalankan baik Amerika Serikat maupun Uni Sovyet karena hal itu merupakan strategi diplomatik untuk menarik negara-negara dunia ketiga untuk masuk ke dalam lingkaran perang kedua blok. Hal itulah yang sebenarnya ditentang oleh Soekarno bahwa dunia ketiga merupakan aliansi politik untuk membangun perdamaian dunia dan kerja sama mutualisme ekonomi yang berimbang dan menguntungkan6. Paska tahun 1955, Soekarno rajin menyambangi pemimpin negara-negara dunia ketiga yang ketika itu adalah
founding fathers di negaranya seperti
Nasser (Mesir) pada tahun 1956, Muhammad Ali Jinnah (Pakistan) 1957,
Kwame Nkrumah (Ghana) 1958, Raja Muhammad V (Maroko) 1961, maupun Fidel Castro (Kuba) 1963. Kesemua para
6
Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai:
Indonesia Sebelum dan Sesudah Suharto (Jakarta : Reform Institute, 2007), hal. 65.
pemimpin tersebut merupakan anak didik ideologis maupun sahabat Soekarno yang kerap kali menjuluki dirinya sebagai “Soekarno kecil” (Little Soekarno) sebagai bentuk penghormatan kepada Presiden Soekarno. Politik dekolonialisasi maupun revolusionerisme yang digagas oleh Soekarno dengan cepat diterima oleh
berbagai pemimpin revolusi di kawasan Asia, Afrika, bahkan Amerika Latin. Terhitung semenjak KAA digulirkan pada tahun 1955, sebanyak 73 negara baru terlahir dari proses dekolonialisasi yang sebelumnya malah tidak pernah memikirkan adanya kemerdekaan dari bangsa asing yang menjajahnya.
Semakin intensnya perang dingin yang berkecamuk dalam percaturan politik dunia dan semakin banyaknya negara baru yang terlahir dari proses dekolonialisasi. Soekarno mulai menginisasi terbentuknya Gerakan Non-Blok (Non Aligned
Movement) sebagai tindak lanjut dari KAA
di Bandung. Gerakan Non Blok merupakan tonggak dari supremasi perjuangan dekolonialisasi bagi Soekarno,
Joseph Broz Tito, Kwame Nkrumah, maupun Nasser di Beograd 1960. Skala
terbelenggu pada ketimpangan maupun marjinalisasi yang diakibatkan rivalitas kedua blok tersebut dalam merebut pengaruh di antara berbagai negara dunia. Non-Blok sejalan dengan KAA bahwa dunia alternatif yang cintai damai dan menghormati hak asasi manusia. Maka dalam konteks ini, penting kiranya untuk
melihat pemikiran Soekarno mengenai politik dekolonialisasi yang beliau canangkan dalam skala global
Pemikiran Soekarno tentang Third-Worldism dan Politik Dekolonialisasi
Perbincangan mengenai pemikiran politik Soekarno berkaitan terhadap dua hal tersebut memang sangatlah kompleks. Hal ini dikarenakan beragam banyak pemikiran tokoh dunia yang turut mengilhami pemikiran Soekarno seperti Karl Marx, Friederich Hegel, Mahatma Gandhi, Mao Zedong, Sun Yat Sen, John Locke, Martin Luther King, Mirabeau, Alexis Tocqueville, dan lain sebagainya7. Yang kemudian disadurkan dan diindonesiakan melalui versi Soekarno. Adapun bagi Soekarno yang turut
membidani pembukaan UUD 45 yang berbunyi “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai perikemanusiaan dan
7Tjipta Lesmana, “Dari Soekarno ke SBY : intrik
dan Lobi Politik Para Penguasa (Jakarta : Gramedia, 2010), hal. 145.
perikeadilan” menilai bahwa pembukaan tersebut tidak hanya berlaku bagi Indonesia saja namun juga berlaku universal bagi seluruh dunia di mata Soekarno
Hal inilah yang kemudian mendorong Soekarno untuk mempromosikan pembukaan UUD 1945 ke seluruh bangsa
dunia yang memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan dengan kondisi Indonesia. Adapun dunia ketiga dalam versi pemikiran Soekarno adalah dunia impian bagi terwujudnya perdamaian, kesetaraan, dan kesejahteraan yang terbebas dari segala bentuk intervensi kekuatan asing. Dunia ketiga seperti yang dia bayangkan dalam pidatonya berjudul Build A New World pada sidang Majelis Umum PBB 30 September 1960 adalah dunia dimana semua orang bisa hidup damai, dunia dimana terdapat keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang, dan dunia dimana rasa kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya Perspektif Soekarno tersebut sangatlah berbeda dengan perspektif Barat bahwa dunia ketiga adalah dunia yang
tanpa harapan (hopeless) yang tidak bisa berbuat apapun sepeninggal kolonialisasi,
Adanya ekspetasi Bung Karno terhadap dunia ketiga sebagai dunia impian tentu tak terlepas dari berbagai macam potensi ada. Seperti halnya, mayoritas 80 persen penduduk dunia berasal dari dunia ketiga yang bisa dijadikan sebagai tenaga pendorong ekonomi maupun pendorong konsumsi maysarakat, 85 persen
perekonomian Barat dan negara kapitalis-industrialis lainnya disokong dari hasil perdagangan ekstratif, dan 75 persen energi disumbangkan oleh negara dunia ketiga melalui hasil tambang dan mineral berupa minyak dan gas bumi, batu bara, dan sumber energinya. Soekarno menilai bahwa dengan kesemua potensi tersebut sebenarnya dunia ketiga yang sebenarnya sebagai aktor yang “menjajah” negara Barat dan industrialis lainnya dengan potensi perekonomian yang besar. Bagi Soekarno, faktor terpenting terjadinya praktik imperialisme dan kolonialisme terjadi lebih karena perang ideologi dan konstruksi pengetahuan yang menempatkan negara dunia ketiga pada posisi inferioritas. Konstruksi inferior
tersebut dengan cepat merambah ke dalam pemikiran orang negara dunia ketiga
bahwa Barat lebih maju dengan segala peradabannya sementara bangsanya jauh lebih tertinggal dengan capaian Barat8.
8
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitya Penebit Di Bawah Bendera Revolusi, 1960), hal. 130.
Padahal semuanya tersebut adalah konstruksi pengetahuan bahwa pengetahuan dunia ketiga sendiri adalah pusatnya peradaban dunia seperti peninggalan Piramida Mesir, Piramida Maya, Peradaban Andes, bahkan Eropa sendiri bisa maju karena Peradaban Islam di Andalusia. Maka yang terpenting bagi
Soekarno dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme adalah perubahan pola pikir (mindset) maupun penanaman ideologi perubahan bahwa posisi dunia adalah setara bagi semua bangsa dan tidak ada yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah.
Adapun sumbangsih pemikiran Soekarno terhadap ideologi Third-Worldism termaktub dalam dua hal yakni pemikiran dan gerakan. Kedua hal ini sangatlah berkaitan karena pemikiran memberikan landasan filosofis dan pemikiran merupakan intisasi dari gerakan. Dalam hal pemikiran Third-Worldism mengenai pemikiran, Soekarno banyak memberikan sumbangsih seperti halnya sosio ekonomi, sosio demokrasi, maupun
marhaenisme sebagai basis pemikiran primer terhadap gerakan revolusi yang
dianggap sebagai sekuder. Marhaenisme banyak diambil dari Proletarisme Marx yang kemudian berkembang menjadi gerakan chauvinisme komunis.
Marhaenisme adalah versi proletar Soekarno dalam bahasa yang lebih halus dan tidak mengandung maksud anarki. Secara lebih jelasnya, Marhaenisme merupakan gambaran dari ketertindasan dari masyarakat Indonesia akibat praktik penghisapan ekonomi yang eksploitatif oleh negara Barat semasa kolonialisme9.
Konteks penghisapan ekonomi yang dialami bangsa Indonesia tidakah terjadi dalam konteks depedensi yang dialami masyarakat Eropa sehingga berujung pada revolusi massa. Penguasa pribumi masih memiliki empati pada kaum marhaen untuk bekerja dalam sistem feodalisme. Marhaenisme juga dapat diartikan sebagai ideologi pembelaan terhadap ketimpangan ekonomi yang diakibatkan sistem ekonomi yang berpihak pada satu kelompok. Marhaen tidak hanya dijadikan sebagai politik identitas untuk menyebutkan perasaan ketertindasan tersebut, namun juga sebagai identitas solidaritas penguat bagi termajunya ekonomi dunia ketiga.
Intinya adalah arah kejuangan marhaenisme sendiri tidaklah mengarah
kepada aksi revolusi seperti dalam kasus Bolshevik tahun 1920, namun mengarah
pada pembangunan kemandirian dalam berekonomi. Kemandirian ekonomi bagi Soekarno adalah mendayagunakan seluruh
9
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitya Penebit Di Bawah Bendera Revolusi, 1960), hal. 184.
potensi ekonomi bangsa menjadi sumber ekonomi, termasuk paula melakukan nasionalisasi terhadap asset-aset perekonomian Barat yang menjadi biang permasalahan melemahnya ekonomi rakyat Indonesia. Konteks marhaenisme ekonomi mengarah pada industrialisasi pertanian sebenarnya yang diajarkan Bung
Karno ketika melawat ke Mesir maupun Kuba. Bung Karno menganjurkan Nasser untuk mengembangkan kapas dan manga yang kini menjadi komoditas pertanian utama Mesir. Sementara di Kuba, Bung Karno menganjurkan Castro mengembangkan tembakau dan gula yang juga sama-sama menjadi mesin perekonomian negara.
Marhaenisme ini dalam konteks Third-Worldism ini juga seringkali dianalogikan sebagai teologi pembebasan bagi negara dunia ketiga10. Adapun pemahaman teologi pembahasan dapat dimaknai dalam empat skope yakni futurisme, environmentalisme, neopopulisme, maupun strukturalisme. Futurisme sendiri terkait dengan pandangan atau pun
proyeksi pembangunan dunia seperti yang diharapkan ataukah tidak. Hal ini jelas
terkait dengan visi Bung Karno menjadi dunia ketiga adalah benua perdamaian bagi setiap bangsa maupun benua kesejahteraan bagi semua umat manusia.
10 Francis Nitiprawiro, Teologi Pembebasan
Environmentalisme sendiri merupakan bentuk protes dari kerusakan lingkungan dari praktik eksploitasi sumber daya alam yang membabi-buta selama masa imperialisme dan kolonialisme. Neopopulisme adalah pengembalian bentuk kekuasaan politik kepada rakyat sebagai pemegang mandat tertinggi sesuai
dengan cita demokrasi, dan strukturalisme merupakan bentuk hubungan relasi antar dunia yang tergariskan adanya hubungan atas-bawah yakni negara dunia pertama berada di atas sedangkan posisi dunia ketiga sendiri dalam posisi bawah.
Soekarno melihat bahwa esensi inferiotas yang terdapat dalam jiwa Marhaen baik dalam skala Indonesia maupun skala dunia ketiga harus dihilangkan dan dimusnahkan. Inferioritas dalam wujud rasa rendah diri terhadap perkembangan bangsa lain adalah bibit-bibit baru dalam neokolonialisme dan neoimperialisme yang mulai menjala selepas masa dekolonialisasi berakhir. Yang menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana Soekarno membingkai
neokolonialisme dan neoimperialisme dalam pemikirannya mengenai
third-worldism. Hal ini yang perlu ditelisik kembali dengan manautkannya dalam kondisi global saat itu.
Adapun pemikiran Soekarno tentang dua hal lainnya yakni sosio-nasionalisme maupun sosio-demokrasi sebenarnya
memberikan makna sosialisme dalam kedua arti tersebut. Pemahaman Soekarno mengenai nasionalisme sendiri mengajak pada pemahaman patriotisme dan cinta tanah air. Nasionalisme yang berperikemanusiaan yang mengormati hak asasi manusia, nasionalisme yang lapang dada dengan mengandalkan rasa empati,
nasionalisme yang internasionalisme, nasionalisme yang bergetar hatinya untuk membela apabila melihat masih ada bangsa yang terjajah oleh bangsa lainnnya. Nasionalisme Soekarno sebenarnya tidak mengajak pada sikap bermusuhan dengan bangsa asing lainnya, namun bagaimana penindasan dan rasa ketertindasan tersebut dihilangkan melalui negosiasi dan mutualisme. Makna sosial dalam nasionalisme juga bisa diartikan sebagai sebentuk rasa solidaritas dan soliditas masyarakat dalam menghadapi ancaman dari intervensi asing. Pemikiran sosio-nasionalisme Bung Karno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Tocqueville maupun Robert Owen bahwa sosialisme adalah kunci dalam membangun
patriotisme dan emansipasi negara dan masyarakat. Sosialisme memberikan
Pemikiran Bung Karno tentang sosio-demokrasi sebenarnya juga dibangun atas paradigma gemah ripah loh jinawi yang terdapat di semua negara dunia ketiga. Hampir negara yang dijajah oleh negara Barat adalah negara yang memiliki sumber daya yang melimpah ruah. Harusnya dengan memiliki segenap potensi
perekonomian yang ada, negara dunia ketiga dapat mewujudkan konsepsi negara kesejahteraan bagi rakyatnya. Negara kesejahteraan dalam bayangan Soekarno adalah negara yang memiliki tanggung jawab sosial yang peka terhadap layanan masyarakatnya. Hal inilah yang menjadikan kesejahteraan umum menjadi modal penting dalam membangun sebuah negara baru untuk tumbuh besar. Soekarno memang memegang prinsip kesejahteraan umum sebagai pilar untuk mencderdaskan kehidupan berbangsa. Aspek-aspek kesejahteraan umum dalam pemikiran Soekarno sendiri adalah layanan kesehatan dan pendidikan. Imaji terhadap pelaksanaan politik etis yang dilakukan Belanda di Indonesia tampaknya
memberikan pengaruh besar kepada Soekarno dimana kedua hal tersebut
merupakan pilar penting revolusi. Melalui pendidikan yang gratis dan layak merata bagi semua kalangan, keterbodohan dan ketimpangan dapat diangkat dan kecerdasan akan membawa kepada kemajuan engara. Melalui kesehatan yang
memadai akan diperoleh manusia-manusia yang kuat dan perkasa dalam membangun negara.
Adapun pemikiran mutakhir Soekarno yang popular dalam paradigma Third Worldism sendiri adalah revolusi terhadap nekolonialisme dan neoimperialisme. Kata neo yang disematkan kepada imperialisme
dan kolonialisme sendiri bukanlah retorika politik yang sedang dibuat Bung Karno terhadap permasalahan politik yang dihadapi saat konfrontasi di Irian Barat maupun Malaysia. Seokarno bersama dengan Kwame Nkrumah melihat bahwa potensi kolonialisme dan imperialism gaya baru tetap akan muncul selepas generasi para bapak bangsa (founding fathers) telah habis dan estafet kepemimpinan diteruskan kepada pemimpin baru. Bung Karno melihat gejala neokolonialisme dan neoimperialisme tersebut hadir dalam bentuk bantuan donor keuangan asing dengan bunga jangka panjang. Pada era 1960-an merupakan era paska perang dimana banyak infrastruktur di berbagai negara hancur karena perang sehingga
tidak bisa menghasilkan pendapatan negara. Bagi Soekarno, bantuan donor
Barat untuk semakin memperkuat cengkeramannya terhadap negara mantan jajahannya untuk semakin patuh dalam era politik modern.
Maka dalam konteks ini, terdapat pula strategi perubahan kapitalisme untuk berkuasa dalam pemikiran Bung Karno yakni ketika kekuatan kapitalis-kolonial
menjajah Nusantara pada abad 16 menggunakan strategi “Verdeel en heers” maupun “devide et impera” yakni dengan menanmkan modal dan membangun kota baru digunakan untuk memecahkan dan melemahkan perekonomian berbagai kerajaan saat itu hingga mudah ditaklukan. Saat ini dengan donor, maka akan menciptakan hubungan ketergantungan yang akut dimana efeknya bisa menjalar kesemua penjuru. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa Bung Karno selalu mengingatkan adanya prinsip self reliance (kepercayaan diri) maupun self help (berdiri di atas kaki sendiri) untuk membangun kemandirian ekonomi dunia ketiga. Namun sayangnya sebelum hal itu menjadi kenyataan, banyak diantara negara
dunia ketiga saat ini justru malah terbebani hutang akibat penyesuaian struktural dunia
ketiga. Para bangsa ini lupa akan ajaran Bung Karno agar jangan lupa sejarah bahwa kapitalisme hanya akan membawa penderitaan sedari dulu, sekarang, dan di masa depan.
Legasi Pemikiran Bung Karno tentang Third-Worldism
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran Bung Karno tentang prinsip Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadiaan secara budaya), marhaenisme, revolusi, neoimperialisme, neokolonialisme, sosio
demokrasi, maupun sosio nasionalisme banyak menginspirasi para pemimpin dunia ketiga dalam mengikuti ajaran Soekarnoisme tersebut. Fidel Castro mengikuti pemikiran Soekarno terhadap kemandirian ekonomi maupun sosio demokrasi dalam membangun negara yang menonjolkan aspek kesejahteraan umum. Castro memulai dengan progam Years of Education pada 1961 dan pembangunan klinik kesehatan segala penjuru sebagai bentuk kemandirian ekonomi. Hasilnya kini Cuba adalah negara paling terdidik dan terlatih dari segi pendidikan dan kesehatan. Sektor pertanian tebu digenjot sebagai mesin perekonomian negara yang kemudian menjadikan Kuba negara pengekspor terbesa gula nomor dua.
Nasser melalui Nasserisme juga menerapkan ajaran Bung Karno dengan
menentang Barat sebagai neoimperialis maupun neokolonialis. Chavizmo yang dbanyak dipengaruhi pemikiran Simon Bolivar dan Soekarno juga sukses menjadikan Venezuela sebagai negara dunia ketiga yang sukses berkat minyak maupun progam sosialisme Simon Bolivar dalam mengentaskan ketertinggalan sosial
dan ketimpangan ekonomi di negaranya. Maka kebangkitan sosialisme baru di abad 21 pada kawasan Amerika Latin kini maupun terbentuknya Forum Sosial Dunia dalam pencarian “dunia baru” sebenarnya merupakan warisan dari pemikiran Bung Karno yang masih terjaga dan dirawat oleh para penganggumnya di tingkat global. Sosialisme ala marhaenisme Bung Karno dengan mengandalkan kepada kemandirian dan solidaritas diakui sebagai cara
redsitribusi dalam Hal ini Dalam berbagai ulasan akademik pun, Soekarno diakui sebagai pencetus akan kebangkitan negara dunia ketiga dan jasa pemikirannya diakui sebagai landasan kerjasama di tingkatan regional. Maka jika konsep Soekarno banyak diakui dan diikuti oleh para pemimpin sosialis di negara dunia ketiga,