• Tidak ada hasil yang ditemukan

[klik di sini untuk DOWNLOAD] Modul Bahan Ajar 2 « Dr. Tjahjanulin Domai, MS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "[klik di sini untuk DOWNLOAD] Modul Bahan Ajar 2 « Dr. Tjahjanulin Domai, MS"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

T

tentang pendekatan pendekatan karismatik dan transformasional.

1. Pendahuluan 2. Prekursor Bagi Teori Karismatik dan Transformasional Kontemporer

3. Membandingkan Pendekatan Transaksional dan Transformasional ke Leadership Ohio State dan University of Michigan. Ekonomi US mulai surut di akhir 1970-an, dan ada minat besar untuk mencari leader kuat yang bisa memberikan strategi yang berani, dengan tampilan luas, dan melakukan perubahan menonjol. Sepertinya, masalah di banyak organisasi, khususnya organisasi yang gagal, adalah bahwa organisasi cenderung overmanaged dan minim leadership (underled) (Bennis dan Nanus, 1985). Pandangan ini dijelaskan di awal 1977 dalam Harvard Business Review oleh Abraham Zaleznik dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Managers and Leaders: Are They Different?”

2. PREKURSOR BAGI TEORI KARISMATIK DAN TRANSFORMASIONAL KONTEMPORER

Tiga studi mendasari teori ini di saat kemunculannya di pertengahan 1980-an. Yang paling awal dan terkenal adalah Max Weber, sosiolog Jerman ternama yang menganalisa struktur organisasi birokratik besar, atau sistem politik, ekonomi dan religius (terjemahan Inggris pertamanya dibuat di tahun 1930 dan 1947). Salahsatu wawasan Weber adalah struktur leadership karismatik. Dia mendapat makna istilah tersebut dari kata Yunani “charisma”, yang berarti memiliki berkah dari Tuhan, khususnya di konteks religius yang menggambarkan bakat ketuhanan, seperti kenabian. Dia mengadaptasi istilah ini untuk menggambarkan leader heroik

DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS

(2)

dengan kemampuan luar biasa. Dia mengatakan bahwa power harus didasarkan pada otoritas tradisional dan/atau formal (legal-rasional). Meski begitu, di saat krisis sosial dan ekonomi, orang ingin jawaban baru, dan selalu menerima sumber power lain. Di masa-masa tersebut, ada kemungkinan bahwa leader dengan ide radikal, kepribadian mencolok, dan kemampuan menunjukkan sukses awal, bisa memberikan alternatif selain status quo. Leader karismatik yang sukses akan merubah masyarakat atau organisasinya selama umur hidupnya. Meski begitu, struktur baru harus diinstitusikan dulu, dan karisma itu sendiri menjadi rutin, dan lalu terciptalah status quo baru. Meski pakar teori leadership terbaru sering meminjam konsep Weber, mereka juga sering mengabaikannya (Yukl, 2002).

Di tahun 1977, Robert House menerbitkan buku yang satu babnya berjudul “A 1976

Theory of Charismatic Leadership”. Conger dan Kanungo mendeskripsikan kontribusi penting dari teori leadership karismatik House:

House mengatakan bahwa leader karismatik bisa berbeda dari lainnya karena kecenderungan untuk dominan, keyakinan kuat ke ideal, perlu mempengaruhi orang lain, dan memiliki konfidensi diri tinggi. Lewat tujuan yang emosional dan perilaku yang memunculkan kebutuhan follower akan pencapaian, afiliasi dan power, leader karismatik mampu memotivasi terbentuknya level tinggi dari pencapaian tugas. Selain itu, House berteori bahwa leader tersebut sering memberitahukan harapan kinerja tinggi atau menunjukkan konfidensi ke kemampuan follower dalam memenuhi harapan tersebut. Aksi ini akan meningkatkan harapan follower bahwa usahanya akan menghasilkan pencapaian. Lewat model peran, leader karismatik memperlihatkan nilai dan keyakinan yang ingin dianut follower sehingga misi bisa sukses (Conger dan Kanungo, 1998).

Meski teori House tidak diartikulasikan penuh, dan memiliki kelemahan, ini “memodernkan” ide Weber tentang leadership karismatik, atau menyarankan jalur inquiry lain untuk leadership transformasional.

Meski begitu, James McGregor Burns adalah yang pertama kali mempelajari aspek berbeda dari ide Weber dan mempopulerkan istilah leadership transformasional (1978). Dengan tradisi ilmu politik, Burns mendiskusikan berbagai tipe layanan, khususnya yang membedakan leadership transaksional dari leadership transformasional. Leadership transaksional dianggap lebih menekankan motivasi self-interest follower, sedangkan leadership transformasional berusaha meningkatkan kesadaran follower untuk mereformasi dan meningkatkan institusi. Burns juga mengemukakan tipe ketiga leadership, yaitu leadership birokratik, yang didasarkan pada otoritas legal-rasional di tradisi Weber. Meski Burns tidak mengabaikan realitas dan pentingnya kekuatan kepribadian dalam transformasi leadership, dia sangat berminat menciptakan sebuah teori normatif yang menitikberatkan penggunaan power etika.

3. MEMBANDINGKAN PENDEKATAN TRANSAKSIONAL DAN TRANSFORMASIONAL KE LEADERSHIP

(3)

sistem tertutup. Peneliti ingin membuat variabel tetap terbatas dan teruji. Peneliti transformasional lebih berminat ke eksekutif, leader politik dan leader sosial dalam sistem relatif terbuka. Leader berfungsi sebagai neksus antara lingkungan ekonomi dan politik eksternal, dan lingkungan organisasi internal, dan harus menyesuaikan lingkungan internal terhadap lingkungan eksternal. Karena perspektif yang ingin dijelaskan bisa lebih luas, maka digunakan banyak variabel dan penjelasannya harus abstrak.

Leader transaksional menggunakan tipe power tertentu, seperti legitimate, reward, dan hukuman. Sebagai leader formal, mereka memiliki mantel otoritas dan kemampuan untuk mengatur dan menyesuaikan insentif. Karena itu, peneliti dalam tradisi ini cenderung menjelaskan pengaruh ekstrinsik dalam range dekat. Selain itu, peneliti transaksional mempelajari power pakar, dan mengabaikan power referen. Peneliti transformasional, sebaliknya, memberikan emphasis ke power pakar dan power referen. Agar memberikan dampak besar, leader harus bijak dan brilian, dan harus memiliki tampilan interpersonal cukup untuk menjual ide dan agar bisa dipercaya. Leader semacam itu bisa menggunakan powernya secara tidak langsung lewat tampilan emosi dan pada sebuah jarak lewat tampilan ideologi.

Peneliti transaksional selalu dipengaruhi oleh perspektif ekonomi, seperti pertukaran sosial dan teori ekspektansi. Self-interest dan kebutuhan mendesak dari follower menjadi fokusnya, dan itu beragam dari upah sampai instruksi yang jelas, hingga sumberdaya dan kondisi kerja yang cukup. Motivasi follower dalam fenomena leadership dianggap sebagai sebuah proses hitungan rasional. Di lain pihak, peneliti transformasional menitikberatkan pada minat individu di dalam produktivitas kelompok dan kesuksesan organisasi. Mereka juga mempelajari motivasi follower dalam meniru atau mengidolakan leader karena alasan personal atau ideologi. Motivasi follower lebih kepada proses simbolik yang didasarkan pada ideologi, inspirasi dan keyakinan intelektual sehingga pola masa lalu tidak lagi fungsional.

Dalam setting transaksional, kondisi organisasi dianggap stabil. Masalah di dalam organisasi selalu terkait dengan penyesuaian, pengecualian atau perbaikan di dalam sistem yang sudah berfungsi baik. Dalam setting transformasional, asumsinya adalah bahwa perubahan adalah tidak bisa dihindari, konstan dan sehat. Ini terjadi di ekonomi baru yang menjadi saingan pasar US di kompetisi global. Yang menjadi pertimbangan peneliti transformasional adalah peran krisis, kehancuran organisasi, dan bentuk dramatis lain dari kemerosotan sistem.

Harapan kinerja di teori transaksional cenderung ditekankan ke kinerja yang “baik”. Agar wajar, efisien, efektif, berkelanjutan, dan konsisten, maka kinerja harus diolah manajemen dengan input pegawai. Kinerja yang baik adalah tujuan dalam sistem yang didesain dengan baik. Teori transformasional cenderung berasumsi bahwa standar atau kualitas menjadi buruk, atau bahwa adaptasi ekstensif ke proses, teknologi, atau struktur organisasi yang baru jelas dibutuhkan. Kinerja yang luar biasa jelas dibutuhkan untuk kesuksesan organisasi, apakah itu berupa level produktivitas lebih tinggi, kontribusi lebih besar dalam adaptasi dan inovasi, atau transformasi organisasi yang efektif.

(4)

pengamatan lingkungan, perencanaan strategis, artikulasi visi, networking, pembuatan keputusan, dan pelaksanaan perubahan organisasi, atau memberikan informasi, delegasi (memberdayakan), mengelola inovasi teknis, konsultasi, mengembangkan staff, memotivasi, membuat tim, dan menjalankan perubahan personel.

Kepentingan relatif dari pendekatan transaksional versus transformasional bisa berbeda menurut banyak faktor. Pertama, skop definisi bisa menentukan. Contoh, jika perilaku supportif didefinisikan sebagai transformasional, maka perilaku transaksional bisa kurang memuaskan pegawai dan sulit meningkatkan kinerja (Trottier, Van Wart dan Wang, 2008). Dalam kisaran ekstrim, aktivitas leadership transaksional bisa didefinisikan sebagai fungsi non-leadership ke manajemen, dan karena itu, lebih dekat ke leadership “sebenarnya”. Kedua, kepentingan relatif bisa berbeda berdasarkan sektor dan lingkungan organisasi. Banyak review pihak-ketiga menunjukkan bahwa leadership transaksional dan transformasional adalah penting meski kadarnya berbeda (Rowold dan Heinitz, 2007; O’Shea dkk, 2009). Ini memberikan sentimen general ke setting sektor publik (Schrieshiem dkk, 2006), dengan beberapa emphasis diberikan ke kepentingan relatif leadership transaksional (Vecchio, Justin dan Pearce, 2008) versus leadership transformasional (Wright dan Pandey, 2010).

4. PENDEKATAN KARISMATIK DAN TRANSFORMASIONAL

Wajar bila mengelompokkan teori karismatik dan transformasional menjadi satu karena persamaannya kuat. Meski begitu, keduanya adalah berbeda (Strange dan Mumford, 2005). Pendekatan karismatik cenderung difokuskan ke kepribadian leader, dan karena itu, memperlihatkan minat lebih besar ke sifat leader, khususnya mistik dan harapan budaya. Di lain pihak, teori transformasional cenderung difokuskan ke leader yang melakukan perubahan dan “pemicu” perubahan. Peneliti karismatik lebih memberikan fokus ke atribusi follower terhadap leader, seperti identifikasi personal, internalisasi nilai, dan bahkan penularan sosial (social contagion), yang bisa menimbulkan kesenangan pada individu dan kelompok. Peneliti transformasional lebih berminat ke etika leadership besar dan pelestarian prinsip keteladanan. Karena pondasi sosiologi dan psikologi dari leadership karismatik, maka power dan perilaku leader lebih sering diselidiki untuk memastikan apakah leader dianggap baik atau buruk. Contoh dari topik ini adalah perilaku tidak konvensional, manajemen impresi, dan penggunaan dependensi follower. Karena pertimbangan etika dari pendekatan transformasional, maka penelitinya memberikan fokus ke pemberdayaan follower. Teori karismatik ini cenderung deskriptif dan mau mempelajari aspek negatif dari leader besar, kuat atau berpengaruh lewat topik semacam narsisme. Ini juga menghasilkan sebuah pemahaman bahwa leadership bisa salah karena sifat buruk, penyalahgunaan power, perilaku self-serving, dan follower lemah. Leadership transformasional terkesan lebih normatif dalam perspektif, dan selalu menfokuskan diri ke perilaku ideal dari leader besar. Bukannya membandingkan leader baik dan leader jahat, ini membandingkan leader transformasional dan transaksional. Ini bahkan jauh lebih preskriptif. Ketika teori dari dua pendekatan ini direvisi dan diperluas, ini cenderung dipadukan menjadi satu pendekatan, bukan sebaliknya.

(5)

4.1 Teori Leadership Karismatik Conger Dan Kanungo

Di tahun 1987, Conger dan Kanungo mengemukakan sebuah teori leadership karismatik (1987, 1988). Fokus mereka adalah pada bagaimana karisma bisa diatribusikan ke leader. Dalam konteks leader apa sifat dan perilaku leader bisa menghasilkan persepsi karisma?

Konteks yang dimaksud ini, menurut Conger dan Kanungo, bisa problematik bagi kemunculan leadership karismatik. Semakin besar kesan krisis atau darurat, semakin besar kemungkinan bahwa leadership karismatik akan muncul. “Di beberapa kasus, faktor kontekstual lebih mendukung transformasi yang mana seorang leader bisa meraih untung dari itu dengan merencanakan perubahan radikal pada sistem. Selama periode rawan, leader karismatik memainkan peran besar dalam memicu kebutuhan perubahan dengan menciptakan defisiensi atau memperbesar defisiensi kecil” (Conger dan Kanungo, 1998). Beberapa karismatik negatif bisa menciptakan kesan krisis atau defisiensi kemajuan personal, meski masalah semacam itu jarang ada. Karena itu, kebutuhan situasional bagi leadership karismatik adalah sebuah faktor moderasi. Kekecewaan jangka panjang, kegagalan, dan bencana, semuanya meningkatkan peluang munculnya leadership karismatik, tapi itu tidak menjamin kemunculannya atau kesuksesannya.

Meski jika lingkungan memiliki defisiensi besar atau dalam kondisi krisis, follower cenderung mengatribusi karakteristik karismatik ke leader yang memiliki sifat tertentu dan menunjukkan perilaku tertentu. Pertama, leader karismatik tidak puas dengan status quo dan ingin merubahnya. Mereka memiliki visi ideal tentang masa depan yang pastinya jauh beda dari masa sekarang. Leader karismatik mau menjelaskan prinsip bagaimana sesuatu akan terjadi dan ingin memimpin orang lain untuk masa depan yang lebih baik. Karena menentang status quo, leader karismatik mau saja dianggap banyak orang sebagai tidak konvensional, atau mengemukakan nilai yang berbeda dari nilai yang berlaku. Pendukungnya cenderung besar sehingga leader semacam ini mau mengambil resiko personal atau melakukan pengorbanan personal. Seperti yang dikatakan Conger dan Kanungo, “karena emphasisnya ke defisiensi sistem dan tingginya level ketidaktoleransiannya, maka leader karismatik selalu dianggap sebagai reformis organisasi atau entrepreneur” (1998).

(6)

power personal besar, maka peluang untuk menggunakan power tersebut untuk self-serving bisa besar, dan sering ada godaan untuk itu meski tanpa disadari. Conger dan Kanungo mendeskripsikan sisi negatif dari leader yang karismatik:

Leader karismatik bisa rawan narsisme ekstrim yang membuatnya memilih tujuan besar dan self-serving. Karena itu, perilaku leader bisa berlebihan, kehilangan sentuhan ke realita, atau menjadi kendaraan bagi pencarian keuntungan personal. Perilaku semacam itu bisa merugikan leader, follower, dan organisasi. Kuatnya keinginan untuk memenuhi kepentingan diri dan tuntutan menjadi pusat perhatian bisa membuat leader karismatik mengabaikan sudut pandang orang lain dan mengembangkan kemampuan leadership dari follower (1998).

Kekuatan dari teori leadership karismatik adalah bahwa ini mendeskripsikan dunia di sekitar kita. Ada banyak leader baik yang bisa karismatik seperti John F. Kennedy, Ronald Reagan, Margaret Thatcher, Charles DeGaulle, Nelson Mandela, dan George Patton, atau juga ada leader baik tapi tidak karismatik seperti Dwight Eisenhower, Harry Truman, Mikhail Gorbachev, dan Paul Volcker. Teori ini mencoba menjelaskan mengapa ada set prinsip ideal yang harus diikuti leader. Dalam satu studi di konteks high-tech, leadership karismatik menyumbang 15 % kontribusi ke organizational citizenship behavior dari follower, dan 11 persen ke kinerja manajerial yang berada di atas leadership transaksional (Sosik, 2005). Leadership karismatik bisa mempengaruhi follower di berbagai sektor (Bono dan Illies, 2006), tapi ini bisa berbeda kadarnya di setiap sektor (De Hoogh dkk, 2005).

Keunggulan kedua berasal dari keunggulan pertama. Bagi untuk setiap karismatik yang baik, ada juga karismatik yang negatif. Ada Roosevelts dan ada Hitler, ada Mother Theresa dan ada Jim Joneses, ada Mahatma Ghandis dan ada Saddam Hussein. Ada juga karismatik yang menyimpang seperti Bill Clinton, Olver North atau Mao. Apakah leader ini memimpin negara atau unit organisasi kecil, mereka selalu memiliki peluang untuk menggunakan kepribadian dan visi personalnya agar membentuk budaya dan mempengaruhi kesuksesan kelompok, atau mengalihkan otoritasnya agar bisa meredam ego atau membawa keuntungan personal kepada dirinya. Karena itu, penting untuk memahami sindrom negatif atau sindrom positif jika orang ingin memiliki pemahaman tentang leadership.

Teori leadership karismatik bukannya tanpa masalah. Ini bukanlah teori leadership komprehensif karena ini mengabaikan situasi non-karismatik dan juga situasi leadership yang tidak menghasilkan perubahan. Ini tidak pernah membicarakan leader non-karismatik meski itu ada banyak dan bahkan dibutuhkan dalam operasi keseharian organisasi. Ini terjadi karena leader karismatik selalu “terpanggil” untuk melakukan sesuatu yang besar, dan kekuatan kepribadiannya – didapat dari skill komunikasi, bakat ekselen dalam menghasilkan imej nyata, dan kemampuan membujuk pihak lain – relatif tidak biasa. Terakhir, emphasis dalam leadership karismatik selalu pada leadership basis-kepribadian. Perspektif ini tidak memberikan gambaran penuh tentang leadership karena emphasisnya ditekankan ke tipe leadership yang heroik (teladan) dan bahkan despotik (lalim). Sebelum beralih ke tipe leadership berorientasi-perubahan, kita perlu memahami bentuk paling ekstrim dari karisma.

4.2 Karisma Ekstrim dan Leadership Negatif

(7)

leader kuat dan rasa hormat dan keyakinan kuat ke kearifan leader – masih ada, karims ekstrim muncul meski sangat jarang (Bennis dan Nanus, 1985). Contoh, meski presiden United States memiliki kualitas karismatik (House, Spangler, dan Woycke, 1991), hanya sedikit yang memiliki karismatik ekstrim. Mengapa karisma ekstrim diperhatikan padahal ini jarang terjadi? Ada tiga alasan. Pertama, karisma ekstrim memiliki definisi menarik. Sebagai kelompok, orang karismatik ekstrim didefinisikan lewat power referennya yang besar. Orang dengan power referen sangat besar memiliki tampilan magnetis karena kecakapan pidato, ekspresi emosi, konfidensi yang luar biasa, dan keyakinan ke kemampuan, wawasan, atau sumber ketuhanan yang besar. Kombinasi faktor ini menciptakan sebuah mistik yang menarik hati orang bahkan saat mereka benci dengan leader karismatik yang bersangkutan. Kedua, karismatik ekstrim mungkin jarang ditemukan dalam sejarah, tapi apakah itu baik atau buruk, mereka itu adalah orang yang memiliki sejarah yang kuat. Mereka adalah orang yang menemukan kerajaan, agama dan organisasi yang baru. Mereka juga bisa merusak bangsa, memimpin organisasi hingga hancur, dan membawa bencana ke dalam kelompok. Terakhir, mudah mengidentifikasi karisma ekstrim dengan leadership. Leadership sering didefinisikan memiliki visi kuat atau kekuatan karakter untuk meyakinkan orang lain agar “tetap di jalurnya”. Karena itu, leader dengan karisma ekstrim cenderung sukses dibanding leader non-karismatik. Tentu saja, karisma memiliki liabilitas, seperti yang dikatakan Conger dan Kanungo sebelumnya, dan liabilitas ini diperburuk oleh karisma ekstrim.

Karismatik ekstrim bisa memperlihatkan perilaku yang naik efektivitasnya bila orang lain menganggapnya luar biasa atau memiliki visi atau peran luar biasa. Meski begitu, ada tiga karakteristik dari ini. Pertama, karismatik ekstrim memiliki power referen luas. Power personal sering bawaan lahir yang berisi kemampuan pesona, bicara baik, membujuk, memahami orang lain, dan memancarkan magnet. Ini sering dibantu oleh tampilan fisik, kelembutan sosial, kecakapan intelektual, kekayaan, dan atribut lain yang menghasilkan martabat personal dan sosial.

Kedua, karismatik ekstrim digambarkan oleh dominansi personal. Ini umumnya ditunjukkan oleh keyakinan kuat ke apa yang salah, apa yang harus dilakukan, dan aksi benar yang harus diambil. Ini juga berarti bahwa orang karismatik ekstrim memiliki keyakinan kuat ke cara bertindak dan apa yang harus diyakini. Karena yakin dengan nilai dan kebenarannya sendiri, ini berarti bahwa mereka ingin meraih visi dan rencananya pada biaya apapun. Insistensi karismatik ekstrim ke dominansi personal memicu diskusi panas tenatng nilai positif dan liabilitas dari dominansi. Banyak diktator berawal dari sebagai karismatik ekstrim idealistik, tapi kemudian berubah menjadi despotik yang membunuh dan rakus saat powernya menjadi absolut.

Ketiga, karismatik ekstrim digambarkan lewat perilaku yang tidak konvensional. Leader militer karismatik bisa menggunakan taktik teknologi baru, atau mampu menginspirasi atau menata tentaranya agar tidak mengalami kerugian militer serius. Karismatik agama bisa keluar dari dogma masa lalu, dan memberikan prinsip berbeda atau tatanan ketuhanan yang sepenuhnya baru. Leader politik bisa mengemukakan pandangan yang awalnya tidak populer atau melawan kearifan umum karena efek realita politik seperti kepatuhan ke power koloni kuat. Karismatik ekstrim dalam organisasi bisa memperkenalkan praktek manajemen radikal atau berusaha menciptakan organisasi yang baru.

(8)

Pikiran psikodinamis menjelaskan reaksi follower terhadap itu dalam cara regresi dan transferensi. Ketika orang melakukan regresi (mundur), secara psikologi mereka kembali ke kehidupan masa lalu – biasanya lebih senang dan lebih aman. Ketika orang melakukan transferensi (perpindahan), secara psikologi mereka menghubungkan nilai positif satu orang di masa lalu dengan nilai orang lain di masa depan. Kepribadian karismatik mampu menghasilkan kesan aman lewat tokoh bapak tradisional atau lewat tokoh ibu tradisional, baik apakah itu berasal dari orang riil atau archetype manusia (Lindholm, 1988). Archetype lain yang sering digunakan orang karismatik adalah nabi, orang bijak atau orang terpelajar. Karismatik juga sering meniru tokoh populer atau kuat dalam sejarah. Ketika imej positif tidak ada dalam masa lalu personal dari follower, maka kerinduan akan itu menjadi lebih kuat karena kemungkinan ketidakamanan bila itu tidak ada. Beberapa studi menunjukkan bahwa follower dari leader karismatik cenderung merasa tidak berdaya, frustasi, sendiri, marah, tidak percaya dan tidak pasti (Corsino, 1982; Galanter, 1982). Transferensi atau pemenuhan kebutuhan bisa memicu identifikasi personal kuat. Identifikasi personal ini adalah kecenderungan follower untuk berkoneksi ke keyakinan dan ideal leader, keinginan meniru leader, dan keinginan menyenangkan leader. Identifikasi personal ekstrim juga menghasilkan substitusi keyakinan pribadi dengan keyakinan leader, peniruan leader apa adanya, dan pemujaan yang berlebihan.

Kadang, kebutuhan follower berasal dari persepsi kemerosotan sosial, ekonomi, politik, agama atau ideologi. Meski leader non-karismatik memberikan solusi ke masalah, karismatik ekstrim bisa dihubungkan dengan solusi atau malah menjadi solusi. Ini bisa diintensifkan dengan kecenderungan memberikan solusi tidak konvensional yang menyentuh perasaan individu yang sebelumnya tidak tertarik, dan kemudian menularkannya ke orang lain. Menurut teori penularan sosial, seorang leader bisa mengemukakan sebuah keyakinan tidak konvensional tentang prinsip bagaimana sesuatu seharusnya ada. Ini bisa memberikan point referensi dan dukungan eksternal bagi follower, dan membuat follower menjadi lebih paham atau melihat keyakinan leader. Orang lain bisa kagum dengan kebaruan dan daya tarik keyakinan baru, dan lalu menggunakannya meski tidak dianut begitu dalam (Meindl, 1990). Penularan sosial adalah pedang bermata dua. Ini bisa menghasilkan reformasi sehat bila seorang leader karismatik membongkar perilaku self-dealing seorang elit politik atau sosial tertentu, atau malah bisa menghasilkan hasutan yang membuat minoritas menjadi kambing hitam.

Keberadaan krisis atau bencana bisa meningkatkan kecenderungan munculnya leadership karismatik ekstrim, tapi ini tidak menjamin kelahirannya. Contoh, beberapa petani memberontak dan beberapa unionwildcat” berunjuk rasa, tapi tidak ada leadership riil setelah itu (Bass, 1990). Di kasus lain, leader bisa lahir dari krisis, tapi tidak karismatik, seperti Stalin di awal Soviet Rusia atau Robespierre di awal revolusi Perancis. Meski begitu, krisis sering meningkatkan kualitas karismatik dari leader yang kemudian membuatnya sukses. Abraham Lincoln dan Robert E. Lee adalah pria sederhana kontemplatif, tapi ditiru perilakunya dan diingat sejarahnya karena situasi luar biasa yang diciptakan mereka sendiri.

(9)

Di beberapa tahun terakhir, ada penelitian tentang leadership negatif, yang sering disebut destruktif, toksik dan narsistik. Contoh, Schilling (2009) memecah leadership negatif menjadi delapan kategori, yaitu ketidaksungguhan, despotik, eksploitatif, restriktif, gagal, laissez-faire, dan dua tipe leadership avoidans. Padilla, Hogan dan Kaiser (2007) mengatakan bahwa leadership destruktif terjadi dari “konfluensi leader destruktif, follower yang lemah, dan lingkungan yang kondusif”. Satu review tentang leadership destruktif mendefinisikan itu dalam perilaku tirani, penyelewengan dan supportif-disloyal (Einarsen, Aasland dan Skogstad, 2007). Isu lingkungan kondusif mulai mendapat perhatian karena ada skandal finansial dan korporat yang terjadi sejak 2001, contohnya, lingkungan leadership di persoalan Enron (Tourish dan Vatcha, 2005). Hancurnya finansial di tahun 2008 membutuhkan studi tentang elemen destruktif yang dikemukakan Padilla, Hogan dan Kaiser sebelumnya, khususnya dalam konteks sektor privat dan publik.

Banyak keunggulan dan kelemahan yang dikemukakan teori atribusi Conger dan Kanungo bisa diterapkan ke teori psikososial karisma ekstrim. Wawasan yang dihasilkan dari analisis karisma ekstrim/narsistik bisa digunakan (Paunonen dkk, 2006; Rosenthal dan Pittinsky, 2006). Di lain pihak, meski ini adalah lensa penting dan legitimate yang dari situ orang bisa melihat fenomena leadership, ini bukanlah satu-satunya dan bukan yang terbaik. Teori transformasional malah memberikan pendekatan yang normatif dan lebih luas basisnya.

4.3 Teori Leader Transformasional dari Tichy dan Devanna

Sebuah model leadership yang sama seperti Conger dan Kanungo dikemukakan oleh Tichy dan Devanna (1986, 1990) tapi dalam mode transformasional. Bukannya memberikan emphasis ke sifat dan mekanisme perilaku yang dibutuhkan untuk kesuksesan leadership dalam lingkungan yang berubah, mode transformasional lebih menekankan kebutuhan organisasi terlebih dulu, dan baru memahami kaskade kebutuhan perilaku. Dikatakan bahwa “kunci ke daya saing global adalah kapabilitas institusi di dunia untuk melakukan transformasi kontinyu” (1990). Selain itu, “ekselensi adalah kondisi bukan hanya untuk dominansi, tapi juga untuk survival”. Karena itu, leadership transformasional adalah tentang perubahan, inovasi dan entrepreneurship”. Model ini juga menitikberatkan fase temporal dari perubahan seperti yang dikatakan Lewin, yang mengatakan bahwa perubahan selalu membutuhkan pencairan, perubahan, dan pembekuan organisasi (1951). Meski begitu, model ini menganggap proses tiga-aksi ini sebagai metafora, yang menghubungkan kebutuhan organisasi dan kebutuhan individu.

Ada dua gaya di sini, yaitu gaya manajerial dan gaya transformasional. Menurut tradisi Zaleznik (1977), Tichy dan Devanna mengatakan bahwa manajer adalah orang biasa, tapi leader transformasional adalah orang langka dan penting bagi kesuksesan organisasi. Manajer adalah “individu yang menjaga keseimbangan operasi dalam sebuah organisasi, berhubungan dengan orang lain berdasarkan peran, tidak terikat, impersonal, mencari solusi untuk kompromi pada konflik nilai, dan diidentifikasi total dengan organisasi” (1990). Leader, khususnya tipe transformasional, adalah “individu yang menciptakan pendekatan baru dan mencari area baru untuk dieksplorasi”. Mereka berhubungan dengan orang dalam cara intuitif dan empatik, mencari resiko dimana peluang dan rewardnya tinggi, dan memproyeksikan ide ke beberapa imej agar menarik perhatian orang”.

(10)

lingkungan tersebut, maka kebutuhan akan revitalisasi menjadi tersebar luas. Tantangan dan masalah di tahap ini adalah memastikan bahwa kebutuhan lingkungan tidak diabaikan, mengatasi resistansi ke perubahan, dan menghindari perbaikan cepat. Individu harus lepas dari masa lalu dan mengatasi kekecewaan akibat mengorbankan kesuksesan dan kenyamanan masa lalu.

Tahap kedua adalah menciptakan visi baru. Cara baru dalam melakukan bisnis harus dipahami, diperbaiki, dilatih dan diartikulasikan dengan bijak. Komitmen ke visi baru harus digerakkan lewat keterlibatan, penstrukturan internal strategis, dan komunikasi yang baik. Individu harus didorong untuk mengidentifikasi diri dengan visi baru, yang menjadi kombinasi antara persuasi logis tentang sifat masa depan yang lebih baik, dan keyakinan bahwa visi tersebut adalah akurat dan realistik.

Tahap ketiga adalah menginstitusionalisasikan perubahan. Ketika visi baru sudah dipahami dan diterima, maka struktur, mekanisme, dan insentif baru harus diadakan. Elemen dari budaya lama yang masih dipakai harus dipertahankan, sedangkan yang tidak layak harus diganti. Kecenderungan alami untuk menyesuaikan elemen mudah harus ditahan, sehingga proses perubahan yang lebih koheren dan mendasar bisa dijalankan. Ini membutuhkan destruksi kreatif dan pengaturan kembali serat sosial dari organisasi. Dengan menjaga motivasi individu tetap tinggi, maka kecocokan dan adaptasi ke skrip internal baru bisa berkelanjutan. Bila ini sudah merambah ke kepentingan individu, maka individu itu sendiri perlu menemukan energi baru dan mengatasi efek perubahan yang buruk.

Variabel dalam rantai kausalnya adalah sama seperti yang dikemukakan Conger dan Kanungo. “Pemicu” perubahan adalah variabel intervensi. Variabel moderasinya adalah level efektivitas perilaku leader yang menghasilkan perubahan transformasional. Karena itu, seperti kebanyakan model transformasional, model ini tidak berminat menspesifikasikan kondisi pasti ketika gaya preferen menjadi berguna, tapi lebih berminat untuk menjelaskan set perilaku general yang memiliki utilitas universal. Meski model menjelaskan proses adaptasi kritis, yang ingin dipertimbangkan adalah membuat model konseptual level-tinggi tentang hubungan antara perubahan dan leadership. Kesuksesan bisa diukur berdasarkan peningkatan kecocokan organisasi yang membutuhkan perubahan konstan atau perubahan individu baik dalam perilaku dan sikap.

4.4 Teori Transformasional Bass: “Teori Full Range” atau Kinerja Melebihi Harapan

Jika Tichy dan Devanna memberikan penjelasan tentang leadership transformasional sebagai sebuah proses seiring waktu, Bass (1985) memberikan penjelasan tentang kontinum faktor, atau gaya yang membentuk leadership. Bass menganggap leadership sebagai sebuah kontinum. Ini berkembang dari non-leadership ke leadership transaksional, lalu menjadi leadership transformasional. Non-leadership memberikan hasil sembarang. Leadership transaksional memberikan hasil konvensional. Leadership transformasional memberikan “kinerja melebihi harapan”.

Bass menegaskan bahwa leadership transformasional adalah fenomena luas di berbagai level manajemen, tipe organisasi dan di seluruh dunia. Karena itu, ini adalah sebuah teori universal tanpa variabel intervensi riil. Meski begitu, seperti teori transformasional lainnya, ini berasumsi bahwa kualitas faktor transformasional dan jumlah gaya/faktornya memiliki efek moderasi terhadap kinerja. Tepatnya, ada efek additif besar dari gaya tersebut.

(11)

cermat ke detail, menolak ikut dalam penyelesaian masalah, lambat dalam pembuatan keputusan, lupa memberikan feedback, dan tidak peduli dengan kebutuhan bawahan. Selain digambarkan dengan leader yang malas, leadership laissez-faire malah berada di eksekutif atau manajer senior yang memiliki fokus eksternal berlebihan, atau dalam manajer yang hampir pensiun dan siap mengawali posisi di “luar negeri”.

Management-by-exception adalah sebuah gaya yang menggunakan kesalahan atau deviasi dari standar sebagai peluang korektif, dan yang menitikberatkan pada feedback negatif. Dalam bentuk yang lebih lambat atau pasif dari management-by-exception, maka manajer melakukan intervensi atau mengambil aksi korektif hanya setelah terjadi kesalahan atau ketika masalah menjadi menonjol. Contoh, seorang manajer yang menerima banyak komplain tentang skill hubungan konsumen pada seorang pegawainya, dan yang kemudian mengomeli pegawai tersebut, sering menggunakan gaya management-by-exception pasif jika dia tidak memberitahukan atau mendiskusikan masalah sebelum bertindak. Sebuah gaya management-by-exception aktif berarti bahwa manajer melakukan pengawasan lebih dekat dan mengintervensi sebelum masalah keluar dari unit. Dalam kasus di atas, manajer mengawasi pegawai, mengamati perilaku defisien, dan mengambil tindakan korektif sebelum klien mengkomplain. Gaya mana pun tidak lalu buruk. Manajer tidak bisa di setiap tempat, dan bisa jadi tidak melihat apapun, dan kadang hanya bereaksi setelah kejadian. Manajer harus mengawasi aksi dan produksi sehati-hati mungkin agar bisa memastikan kontrol kualitas. Insentif negatif adalah alat legitimate dalam manajemen karena ini memberikan konsekuensi bagi pihak yang tidak menjalankan tanggungjawabnya. Meski begitu, Bass mengatakan bahwa ini adalah gaya inferior dan karena itu, hanya digunakan kadangkala. Penggunaan gaya ini secara ekstensif malah menimbulkan rasa takut dan intimidasi, dan malahan menghambat inisiatif dan kreativitas.

(12)

manajer dengan budgetnya yang dipangkas dan ada ancaman pemecahan unit pasti memiliki sedikit leverage psikologi jika dia hanya mengandalkan reward kontingen.

Salahsatu dari empat faktor yang disebut transformasional oleh Bass dan lainnya dalam pikiran transformasional adalah “pertimbangan ideal”. Meski begitu, pertimbangan ideal memiliki tradisi panjang di literatur transaksional. Apakah itu faktor pertimbangan yang dikemukakan studi Ohio State, pertimbangan orang dari Blake dan Mouton, gaya supportif dalam teori path-goal House, atau perilaku supportif di dalam model perkembangan Hersey dan Blanchard, pertimbangan ideal adalah kunci bagi leadership yang baik. Apakah pertimbangan tersebut adalah sebuah karakteristik transaksional atau transformasional bisa dijawab dengan definisi. Menurut Bass, istilah tersebut di dalam pertimbangan sering memiliki makna sama, seperti bimbingan, dukungan profresional dan personal, perlakuan individu berdasarkan kebutuhan spesifik, peningkatan delegasi ketika pegawai mature secara profesional, dan seterusnya. Pendeknya, ini menghasilkan rasa hormat dan empati.

Bass menyebut faktor atau gaya selanjutnya dengan “pengaruh ideal”, yang sama dengan konsep karisma. Pihak yang menunjukkan pengaruh individualis berfungsi sebagai model peran bagi follower. Follower mengidentifikasi dirinya dengan tujuan leader dan meniru aksinya. Ini membutuhkan sebuah persepsi follower tentang integritas dan kearifan yang tinggi di pihak leader. Bila paham karismatik menitikberatkan ke ikatan kuat berdasarkan ideologi atau psikologi, paham transformasional cenderung menekankan basis etika. Pengaruh ideal bisa membuat leader disukai dan dipercaya.

“Stimulasi intelektual” adalah faktor leadership yang mendorong orang menciptakan peluang baru, menyelesaikan masalah dalam cara baru, dan membayangkan masa depan yang berbeda. Ini bukan hanya memperkuat fleksibilitas intelektual di pihak follower, tapi membutuhkan kemampuan untuk memeriksa kembali nilai yang bersaing. Gaya ini mengedepankan teknik seperti pembagian informasi, brainstorming, artikulasi visi, dan pengembangan pegawai yang ditargetkan pada peningkatan organisasi spesifik. Tipe leader ini sering dianggap sebagai orang dengan ide atau visionaris.

Faktor akhir dalam taksonomi Bass adalah “motivasi inspirasional”, yang menjadi elemen paling penting dari sebuah gaya transformasional. Ketika leader menggunakan motivasi inspirasional, follower mampu menahan self-interest-nya cukup lama untuk merasakan kebanggaan organisasi, tujuan kelompok dan pencapaian kelompok. Lewat peningkatan semangat “tim”, leader mampu memotivasi follower untuk mengejar standar lebih tinggi atau membuat pengorbanan, tanpa harus menggunakan insentif ekstrinsik. Meski kebaikan yang lebih besar bisa diberikan ke follower di masa depan, masih sulit menghasilkan komitmen atau kontrak transaksi yang pasti karena efek ketidakpastian atau keabstrakan tujuan.

Empat elemen transformasional ini biasanya muncul bersama dalam inisiatif perubahan. Ini bukan berarti bahwa leader harus mensuplai semuanya. Para kolega mensuplai pertimbangannya sendiri. Kepercayaan dari orang rendah akan mengganti karisma yang ceroboh. Profesional muda yang termotivasi tinggi akan memberikan stimulasi intelektual. Motivasi inspirasional bisa terbentuk dari tradisi kaya dan kebanggaan, atau dari doktrinasi profesional yang melestarikan nilai etika kuat.

(13)

paling terlihat adalah universalitasnya, yang mana membuat leadership transformasional bisa terlihat lebih baik di semua level dan situasi leadership. Ini terus melayang di realita keseharian leader, yang mungkin bekerja di level operasional. Kedua, overlap dan kerumitan konsep transformasional cenderung problematik. Sebagian masalah adalah struktural karena motivasi manusia level-tinggi selalu abstrak dan berhubungan dalam cara kompleks. Selain itu, nomenklatur konsep tidak selalu mudah dipahami dan diingat. Meski begitu, faktor transformasional memiliki mnemonik “i”, seperti pertimbangan individual dan pengaruh ideal. Apapun itu, perbedaan antara itu harus dijelaskan.

4.5 Leadership Transformasional sebagai Praktek Ideal

Teori praktek leadership yang dikemukakan Kouzes dan Posner (1987) merepresentasikan pendekatan ketiga dalam paham transformasional. Daripada mengawalinya dengan pendekatan kronologis, seperti Tichy dan Devanna, atau pendekatan konseptual, seperti Bass, Kouzes dan Posner menggunakan pendekatan empiris. Mereka bertanya, berdasarkan leader sendiri, apa yang bisa menghasilkan leadership ekselen berdasarkan pengalaman personalnya? Mereka mensurvey 1330 individu dengan menggunakan metodologi insiden kritis yang hanya difokuskan pada pengalaman “terbaik personal”. Mereka mengatakan bahwa lima praktek diidentifikasi sebagai terbaik, dan masing-masing memiliki dua “komitmen”, yang merupakan 70 persen deskripsi skenario personal terbaik dari responden. Kouzes dan Posner menggunakan instrumen leadership yang disebut Leadership Practices Inventory yang sangat popular di konteks pelatihan dan penulisan. Instrumen dan framework-nya adalah pragmatis tapi ateoritis. Tepatnya, Kouzes dan Posner menggunakan penelitian survey tentang trend aktual, tapi penjelasan bagaimana semua praktek menjadi cocok masih sangat lemah, meski setiap praktek sudah konsisten dengan temuan penelitian. Mereka memberikan fokus sempit ke leadership transformasional, bukan ke pendekatan komprehensif seperti yang digunakan Bass. Mereka menghapus gaya laissez-faire, direktif dan pencapaian, dan menitikberatkan ke gaya supportif, partisipatif dan inspirasional. Meski gaya delegatif dan gaya eksternal tidak langsung dijelaskan, ini kadang ditunjukkan lewat tema pemberdayaan kuat dan tema orientasi perubahan.

Seperti pakar teori transformasional lainnya, Kouzes dan Posner menggunakan pendekatan universal. Metodologi insiden-kritis tidak melakukan diskriminasi berdasarkan level leadership atau tipe situasi. Satu-satunya variabel moderasi adalah kualitas implementasi praktek itu sendiri.

Mereka menegaskan bahwa leader harus “menantang proses”, dan ini adalah sebuah tipe leadership inspirasional yang sama dengan stimulasi intelektual Bass. Praktek ini berisi pencarian peluang, melakukan eksperimen, dan mengambil resiko. Leader yang sukses harus terbuka ke perubahan dan berusaha menemukan cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu. Mereka harus mau merubah status quo dan tradisi. Mereka harus menerima ide baik dari orang lain, karena dari situlah, kebanyakan ide baik berasal. “Kontribusi utama dari leader adalah rekognisi ke ide baik, dukungan ke ide tersebut, dan kemauan menantang sistem agar mendapat produk, proses dan layanan baru” (Kouzes dan Posner, 1987). Untuk menantang status quo dan mencoba ide baru, leader harus mau mengambil resiko yang tepat dan belajar dari kegagalan.

(14)

cara ke sana. “Imej masa depan yang jelas akan membawa orang ke depan”. Tapi, ide yang jelas juga berisi range ide mana yang bisa digunakan atau tidak bisa digunakan. Untuk membuat orang paham, maka mereka harus dilibatkan. Ini berarti bahwa leader harus menggunakan ide konkrit dan sentimen follower ke dalam visi bersama. Leader membentuk pemahaman tentang kerinduan kolektif. Leader mendengar suara dari sudut gelap. Leader perhatian ke petunjuk yang minim sekali pun. Leader menalar apa yang diinginkan orang, apa yang orang nilai, apa yang orang impikan (Kouzes dan Posner, 1987). Dari situ, leader kemudian mengemukakan visi bersama dengan bahasa, tampilan personal, dan keyakinan yang kuat.

Inklusi ide dan mimpi orang lain bisa mengalir ke praktek selanjutnya sehingga memudahkan orang lain bertindak. Ini adalah tipe gaya partisipatif. Ini berisi penguatan kolaborasi dan penguatan orang lain. Kouzes dan Posner menambahkan bahwa orang lain bisa menganggap ini sebagai praktek paling penting, dan bahwa leader selalu disebut 91 persen di praktek ini (1987). Leader perlu membuat tujuan kooperatif. Bila leadership bisa konstruktif dengan target atau kelompok eksternal, maka “penciptaan kompetisi dalam tim atau antar anggota tim tidak pernah dideskripsikan sebagai cara terbaik personal seseorang untuk mencapai sesuatu yang luar biasa di dalam organisasi” (1987). Tapi, kerjasama bisa menciptakan kepercayaan yang didasarkan pada integrasi ide orang lain dan sikap sensitif terhadap kebutuhan orang lain.

Praktek keempat adalah “memberikan teladan”, yang berisi pembentukan keteladanan dan perencanaan kemenangan kecil. Ini sama seperti pengaruh ideal dari Bass. Leader yang baik tahu apa filosofi yang dianutnya, bisa menjelaskannya, dan menganutnya. Kadang, ini adalah tantangan sulit, tapi follower bisa tahu kapan standar berbeda bisa dijalankan atau kapan ada praktek yang tidak fair atau tidak konsisten. Leader yang baik akan memimpin dengan keteladanan dan sering menjadi orang yang pertama membuat perubahan yang menyakitkan. Ketika dihadapkan dengan detail yang rumit tapi signifikan, leader tidak membuang ideal tinggi dengan prerogatif eksekutifnya. Leader harus bisa meningkatkan konsistensi filosofinya dengan menunjukkan bahwa perubahan bisa direplikasi dan diadaptasikan. Ini biasanya membutuhkan eksperimen kontinyu, membagi tugas menjadi potongan kecil, mengurangi item menjadi beberapa esensi, dan tidak memaksa orang ke perubahan. Ini juga melibatkan komitmen, yang dibentuk dengan memberikan peluang pilihan bagi orang lain, membuat pilihan tersebut terlihat ke orang lain, dan menciptakan pilihan yang sulit dirubah.

Praktek terakhir adalah “mendorong hati”. Ini adalah gaya supportif yang berisi rekognisi kontribusi dan perayaan pencapaian. Ini sama seperti pertimbangan individual dari Bass. Kouzes dan Posner menyatakan bahwa “panjatan ke atas adalah proses sulit dan panjang. Orang bisa lelah, frustasi dan kecewa. Mereka sering tergoda untuk berhenti. Leader harus mendorong hati para followernya agar tetap terus” (1987). Merekognisi kontribusi follower bisa diawali dengan harapan tinggi sehingga pencapaian bisa riil. Reward juga bisa riil dan bervariasi. Mungkin, reward kuncinya adalah perayaan dan pencapaian. Ini tidak perlu diadakan setiap waktu, tapi keceriaan, publikasi, dan kesosialan dari kesuksesan harus dirasakan bersama agar bisa menghasilkan semangat, apresiasi, dan komitmen kelompok.

(15)

kelemahan pendekatan ini juga signifikan. Pendekatan ini memberikan cerita persuasif dan rasional, tapi tidak memberikan teori sebenarnya atau menjelaskan data dari studi lain. Pendekatan ke penelitiannya adalah pendekatan grounded sehingga ini bisa disebut teori terapan, tapi tidak lalu memberikan basis yang kuat untuk uji yang lebih rigid. Teori ini tidak bisa disamakan dengan teori leadership komprehensif. Ini tidak komprehensif karena aspek paling pragmatis dari leadership – yaitu manajerial – masih kurang dalam hal ini.

5. KESIMPULAN

Dua pendekatan dan lima teori eksplisit atau implisit dari leadership dibahas di sini. Semua teori ini dibandingkan berdasarkan empat tipe variabel, yaitu variabel gaya (perilaku) leadership, variabel intervensi, variabel moderasi dan variabel kinerja.

Tidak seperti pendekatan transaksional, pendekatan karismatik dan transformasional cenderung menitikberatkan ke gaya inspirasional dan eksternal. Teori karismatik menekankan pada penggunaan power referen, utilitasnya dalam pencapaian dan perubahan, dan liabilitasnya bila disalahgunakan untuk tujuan anti sosial atau anti etika. Karismatik prososial atau sosial menyeimbangkan antara kebutuhan orang lain kebutuhan akan perubahan dan kesuksesan dan keuntungan personalnya. Karismatik personal menggunakan kepentingan psikologi, keamanan, personal, reputasional, atau lainnya untuk membentuk cara penggunaan power formal dan personalnya. Teori transformasional menjelaskan gaya inspirasional dan eksternal, tapi mengabaikan aspek personalist di dalam teori karismatik. Gaya transformasional Tichy dan Devanna menggambarkan perlunya skill manajemen perubahan. Teori kinerja tinggi Bass dijelaskan dalam gaya, dengan delapan sub-gaya telah diidentifikasi. Gaya transformasional ideal adalah kombinasi dari semua gaya kecuali gaya laissez-faire. Meski dua dari gaya yang disebut dalam studi ini – partisipatif dan delegatif – tidak dibicarakan langsung, ini tidak dibuang di framework Bass. Praktek leadership dari Kouzes dan Posner berisi lima dari delapan gaya yang ada di dalam taksonomi gaya. Yang menonjol adalah gabungan gaya transformasional. Gaya direktif tidak ditekankan karena dianggap tidak memberdayakan, atau gaya orientasi pencapaian tidak dipertimbangkan karena dianggap memicu kompetisi internal.

Variabel intervensi dalam teori karismatik Conger dan Kanungo menekankan pada efektivitas perilaku karismatik. Jika leader tidak menunjukkan itu secara efektif, maka mereka adalah non-karismatik. Dalam karisma ekstrim, variabel intervensi adalah eksistensi kebutuhan follower yang tidak terpenuhi. Tanpa kebutuhan tersebut, tidak ada kebutuhan akan karisma. Tentu saja, ini memunculkan pertanyaan bagaimana kebutuhan ini diciptakan, ditonjolkan atau ditemukan oleh individu yang memiliki sifat magnetis sejak lama tapi malu menggunakan bakatnya. Seperti Conger dan Kanungo, Tichy dan Devanna mengemukakan bahwa variabel intervensinya adalah efektivitas dari perilaku transformasional. Orang yang bukan transformasional adalah manajer dengan perilaku direktif-supportif. Bass dan juga Kouzes dan Posner menganggap gaya transformasional universal sebagai ideal, dan karena itu, tidak memiliki variabel intervensi.

(16)

transformasionalis kinerja-tinggi mengandalkan banyak gaya yang bisa digunakan bersamaan bila ada banyak praktek yang harus dijalankan, seperti yang ditunjukkan teori Kouzes dan Posner.

Meski hasil kinerja memiliki overlap, rangenya terbilang impresif. Teori karisma ekstrim difokuskan ke mekanisme pengaruh leader sukses terhadap follower (apakah pengaruh tersebut baik atau jahat). Teori karismatik memberikan emphasis ke tujuan kelompok dan perubahan lewat mekanisme leader kuat dengan suntikan power referen dan skill simbolik. Teori transformasional lebih menekankan pada tujuan primer termasuk kecocokan eksternal, perubahan organisasi, kinerja tinggi, kepuasan follower, perkembangan follower, dan kepercayaan follower ke leader. Tichy dan Devanna dan juga Bass memberikan sedikit perkenalan ke kebutuhan organisasi, sedangkan Kouzes dan Posner memberikan prioritas ke kebutuhan follower atau pemberdayaan.

Semua teori karismatik dan transformasional yang didiskusikan di sini adalah berpusat pada leader. Bukan teori yang berpusat ke follower.

TUGAS DAN DISKUSI KELAS

1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas 2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas 3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa

REFERENSI

Bennis dan Nanus (1985); Abraham Zaleznik (1977); Max Weber (1930 – 1947); Yukl (2002); Robert House (1977); Conger dan Kanungo (1988); Burns J. Mc (1978). Teori Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Bennis dan Nanus (1985); House, Spangler dan Woycke (1991); Lindholm (1988); Corsino (1982); Galanter (1982); Meindl (1990); Bass (1990); Schilling (2009). Teori Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Conger dan Konungo (1987 – 1988); Bono dan Illies (2006); De Hoogh et al., (2005). Teori Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

(17)

Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Padilla, Hogan dan Koiser (2007); Einarsen, Aasland Skogstad (2007); Enron, Toursh dan Vatcha (2005); Paunonen et al., (2006); Roseuthal dan Pittinsky (2006). Teori Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Strange dan Mumford (2005); Conger dan Kanungo (1998); Meindl (1985); Kets de Vries (1988); tichydan, Devana (1986 – 1990); Buss (1985); Kouzes dan Posner (1987). Teori Leadership : Pendekatan Karismatik dan Transformasional. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dijelaskan oleh De Porter dan Hernacki dalam bukunya Rachmawati dan Daryanto Teori Belajar dan Proses Pembelajaran yang mendidik : ” bahwa orang

[r]

The main theorem of this paper is the following result, which reduces level low- ering for the prime ℓ = 2 for totally real fields to a multiplicity one hypothesis, thus showing

bahwa terhadap impor barang dan bahan untuk industri pembuatan alat tulis berupa ballpoint telah memenuhi kriteria penilaian dan ketentuan barang dan bahan untuk

Dengan tata letak berdasarkan aliran produksi, maka mesin dan fasilitas produksi lainnya akan diatur menurut prinsip mesin sesudah mesin atau prosesnya selalu

Tujuannya untuk mengefektifkan proses komunikasi pembelajaran sehingga tercapai tujuan yang diinginkan (Azhar Arsyad, 2011:15). Salah satu media pembelajaran yang berbasis

Bambang Priyonoadi, M.Kes.. Rumpis Agus

partisipan yang telah diberikan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada huruf e, tetap melakukan pelanggaran pada pelaksanaan HBKB berikutnya daniatau berdasarkan hasil eyaluasi