• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEMANASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEMANASA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Mata Kuliah Dosen Pembimbing Keanekaragaman Hayati Zulfahmi, S.Hut.,M.Si

PERAN SEKTOR KEHUTANAN TERHADAP PEMANASAN GLOBAL

UIN SUSKA RIAU

Disusun oleh : Kelompok 6

Ari Syahputra 11382104684

Azrul Pajri 11382101476

Khairul Soleh 11382104430

Khamilatun Khusna 11382203026

Maharani Tirthasari 11382202820

Nurmalinda Pratiwi 11382203329

Yuni Ulfa Rahmi 11382200436

AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU PEKANBARU

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita sanjungkan hanya kepada Allah SWT. Kepadanya kita meminta, memohon ampunan, dan petunjuk. Kepadanya kita berlindung dari segala kejahatan diri kita dan kebutukan perbuatan kita. Atas rahmat dan kesempatan darinya kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Keanekaragaman Hayati ini, dengan dosen pembimbing bapak Zulfahmi S.Hut.,Msi.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan sebagai pembelajaran, agar kami bisa lebih baik lagi. Atar terselesaikannya makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, referensi-referensi buku dan jurnal oleh penulis-penulis yang luar biasa.

Semoga materi dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi teman-teman dan semua pihak yang membutuhkan.

Pekanbaru, Desember 2014

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ………. ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Rumusan Masalah ……….. 2

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Efek Rumah Kaca ……….. 3

2.2 Peran Kehutan dalam Pemanasan Global ………... 4

2.3 Perubahan Iklim dan Kehutanan ……….… 5

2.4 Kebijakan Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dunia ……….. 7

2.5 Dampak Pemanasan Global ………. 8

2.6 Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia ……….. 11

2.7 Upaya Mengatasi Pemanasan Global (Global Warming) ……….... 16

BAB III PENUTUP Kesimpulan ……….…………... 19

Saran ……….……. 21

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang

Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan darata-ratan bumi. Pemanasan bumi disebabkan karena gas-gas tertentu dalam atmosfer bumi seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O) dan uap air membiarkan radiasi surya menembus dan memanasi bumi, menghambat pemantulan sinar infra merah dan menyebabkan efek rumah kaca. Dengan naiknya konsentrasi gas-gas tersebut maka akan lebih banyak panas tertekan di dalam atmosfer dan menyebabkan suhu bumi naik (Mulyanto 2007). Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Dampak pemanasan global mengakibatkan kenaikan permukaan laut, perubahan iklim, kerusakan pada organisme dan ekosistem, dan pengaruh terhadap ketersediaan air dan pertanian. Naiknya suhu rata-rata bumi adalah salah satu bukti telah terjadi perubahan iklim menurut laporan IPCC (Intergovernmental on Panel Climate

Change).

Perubahan iklim yang terjadi disebabkan oleh berbagai kegiatan pembangunan antara lain, kehutanan, pertanian, peternakan, pertambangan, industri dan lain-lain yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Menurut IPCC konsentrasi gas-gas karbondioksida (CO2), metana, dan dinitrogen oksida (N2O) meningkat pesat sejak tahun 1750. Peningkatan konsentrasi CO2 terutama disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil serta alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomis, sementara aktifitas pertanian menyebabkan peningkatan konsentrasi gas metana dan dinitrogen oksida.

Pemanasan global akan menimpa bumi dan segenap isinya yang diuraikan oleh Wardhana (2010) sebagai berikut :

1. Panas matahari sebagian diserap bumi sebesar 160 watt/m2 . 2. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh atmosfer.

(5)

4. Panas matahari sebagian dipantulkan kembali oleh Gas Rumah Kaca sebesar 30watt/m2 ke bumi dan menjadikan bumi, atmosfer dan lingkungan menjadi panas.

Emisi rumah kaca sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Industrialisasi dan pembangunan memberikan andil terciptanya pemanasan global. Sudah banyak upaya untuk menekan atau mencegah peningkatan pemanasan global, tidak hanya dalam konteks lokal, tetapi juga di level internasional dan nasional (Rudy 2008).

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini akan membahas tentang :  Efek rumah kaca

 Peran Kehutan dalam Pemanasan Global  Perubahan Iklim dan Kehutanan

 Kebijakan Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dunia  Dampak Pemanasan Global

(6)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Efek Rumah Kaca

Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya.

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba di permukaan bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi, akan menyerap sebagian panas dan meman-tulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelom-bang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca, antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini me-nyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi.

Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus mening-kat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan makin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, makin banyak panas yang terpe-rangkap di bawahnya. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batubara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk menye-rapnya. Energi yang masuk ke Bumi:

 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer  25% diserap awan

 45% diserap permukaan bumi

(7)

Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permu-kaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh ber-beda.

Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa se-nyawa organik, seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.

2.2 Peran Kehutan dalam Pemanasan Global

Efek rumah kaca yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global berdampak buruk bagi perubahan cuaca dan iklim di permukaan bumi. Pemanasan global menyebabkan iklim mulai tidak stabil, peningkatan permukaan laut, suhu global cenderung meningkat, dan gangguan ekologis. hutan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi penyerapan karbon dioksida (CO2) yang menjadi salah satu penyebab efek rumah kaca, namun saat ini banyak aktivitas-aktivitas manusia yang merusak hutan dan berdampak buruk bagi alam. Sehingga hutan juga memiliki peranan dalam pemanasan global.

Hutan adalah komponen penting dalam masalah karbon dan daur hidrologis dunia. Sekitar 18-20% dari emisi anthropogenic GRK dunia berasal dari “perubahan tata guna lahan dan sector kehutanan” khususnya di negara berkembang seperti Indonesia (IPCC, 2007). Dengan kata lain, perubahan tata guna lahan, khususnya deforestasi memberikan kontribusi yang lebih besar pada perubahan iklim dibandingkan semua bentuk dan jenis alat transportasi yang digabungkan.

(8)

persen saja. Kawasan ini sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS).

Di Indonesia sendiri, penggunaan tanah dan alih fungsi tanah mengakibatkan pelepasan 2-3 milyar ton CO2 setiap tahun.

Ironisnya, hanya dalam kurun waktu setengah abad Indonesia menyandang dua rekor sekaligus. Bila dalam periodesasi awal Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa, maka pada tahun 2008 gelar tersebut sudah berganti sebagai Negara peghancur hutan tercepat versi Guiness book of record 2008. Indonesia mendapat sebutan Zamrud Khatulistiwa karena memiliki hutan yang hijau dan lebat. Hingga 1950, sekitar 84% daratan negeri ini berupa hutan. Indonesia pun menjadi salah satu dari 10 negeri pemilik hutan alam paling perawan sejagat. Tapi, itu sekitar setengah abad yang lalu. Mulai era orde baru, hutan pun tercabik-cabik. Industri kayu dan bubur kertas tumbuh tak terkendali. Setiap tahun industri ini membutuhkan kayu 74 juta meter kubik sedangkan kemampuan hutan untuk memasok bahan baku secara lestari hanya 20 juta meter kubik. Pembalakan liar pun merajalela, Sebagian besar hutan juga dikonversi menjadi perkebunan. Di era pemerintahan presiden Suharto, sekitar 16 juta hektar hutan dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit.

Pasca era pemerintahan presiden Suharto tidak lebih baik. Buku Rekor Guiness 2008 mencatat, dalam satu jam hutan seluas 300 lapangan sepakbola hancur. Dalam sepuluh tahun hutan seluas pulau jawa raib. Studi lembaga penelitian kehutanan International Centre for International Forestry Research (CIFOR) menyatakan, dari konversi lahan gambut saja (jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektar dan hampir separuhnya sudah rusak), Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara pertahun. Ini sama dengan seluruh emisi yang dikeluarkan Jerman. Hal ini mengakibatkan Indonesia muncul sebagai negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia sesudah Amerika Serikat dan Cina. Deforestasi (penebangan hutan), kebakaran hutan dan pengeringan lahan gambut disebut-sebut sebagai penyebab utama emisi Indonesia.

2.3 Perubahan Iklim dan Kehutanan

(9)

dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992, disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Pada KTT tersebut, terdapat 154 negara yang sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC). Indonesia sendiri telah meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim. Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan emisi GRK di atmosfer sehingga tidak berdampak buruk terhadap iklim di bumi. Jumlah GRK yang terlalu banyak di atmosfer bumi telah memicu ketidakstabilan suhu bumi dan hal ini berdampak pada seluruh aspek kehidupan.

Sebagai tindak lanjut dari UNFCCC tersebut, sejak tahun 1995 negara- negara para pihak yang terdiri dari Annex I (negara industri yang berkomitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkatan tahun 1990 pada tahun 2000), Annex II (negara yang mempunyai kewajiban untuk menyediakan sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang) dan non Annex I (negara berkembang yang telah menyetujui UUNFCCC dan tidak termasuk dalam Annex I) bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) untuk menerapkan UNFCCC. Pada CoP ke 3 tahun 1997 di Kyoto, dihasilkan suatu aturan hukum mengikat (legally binding) yaitu Protokol Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi emisi GRK bagi negara Annex I sedikitnya 5% dibandingkan tingkat GRK pada tahun 1990 dan hal ini harus dicapai pada tahun 2008-1012 (Ginoga et al,. 2008)

Terdapat tiga mekanisme untuk mencapai target penurunan emisi GRK, yaitu Joint Implementation (JI), Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) dan Perdagangan Emisi (Emission Trading, ET). Sebagai negara berkembang, Indonesia hanya bisa berpartisipasi dalam CDM melalui pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) yang dapat dilaksanakan melalui kegiatan pembangunan kehutanan (Aforestation/ Reforestation). Mekanisme Pembangunan Bersih ini dipayungi oleh Peraturan Menteri Kehutanan No.P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Pembangunan Bersih (A/R CDM).

(10)

mitigasi yang digunakan adalah ton setara CO2 untuk dibuat ke dalam sertifikat penurunan emisi (CER). Dalam pelaksanaannya, A/R CDM ini dilaksanakan pada lahan-lahan kritis yang membutuhkan upaya rehabilitasi.

2.4 Kebijakan Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Dunia

Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan berdasarkan peristiwa beberapa tahun ini, nampaknya Indonesia tidak cukup siap menghadapi bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim. Namun pada pertemuan G-20 di Pittsburgh tahun 2009, Indonesia menyatakan komitmennya untuk menurunkan tingkat emisi GRK sebanyak 26% pada tahun 2020 dengan skenario Business As Usual (tanpa ada rencana aksi) dan sebanyak 41% dengan dukungan internasional pada sektor energi dan penggunaan lahan termasuk kehutanan.

(11)

2.5 Dampak Pemanasan Global

Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipi-tasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa perkiraan mengenai dampak pema-nasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar, dan kesehatan manusia.

a. Iklim Mulai Tidak Stabil

(12)

di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan meng-alaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan makin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuwan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanas-an (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrem.

b. Peningkatan permukaan laut

(13)

G ambar 1. Perubahan tinggi muka laut dari tahun ke tahun

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau lainnya. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan meng-habiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi eko-sistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan me-nutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

c. Suhu global cenderung meningkat

(14)

sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

e. Dampak sosial dan politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-pe-nyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhu-bungan dengan bencana alam (banjir, badai, dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian di mana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnu-trisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

(15)

tertentu seperti ISPA (kemarau panjang/kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu).

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

2.6 Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia

Kekhawatiran orang akan menipisnya persediaan bahan pangan di dunia ini bagi pemenuhan kebutuhan umat manusia telah bergaung sejak beberapa abad lalu. Malthus, dalam karyanya yang menimbulkan perdebatan sengit, Essay on the Principle of Population, mengungkap kekhawatiran tersebut. Malthus mensinyalir bahwa, kelahiran yang tidak terkontrol, menyebabkan penduduk bertambah menurut deret ukur, sementara persediaan makanan tak akan mampu tumbuh lebih besar dari deret hitung. Kekhawatiran Malthus, dan juga banyak orang lainnya, jelas beralasan. Indikasi yang ditunjuknya telah hampir menjadi kenyataan. Menurut Bank Dunia, populasi global diperkirakan akan meningkat menjadi lebih 8,3 milyar pada tahun 2025, dari hanya sekitar 5,3 milyar saat ini. Dengan begitu, berpegang pada asumsi bahwa se-luruh manusia yang ada harus tetap makan, dengan standar gizi yang meningkat, maka produksi makanan harus dinaikkan beberapa ratus persen, dari tingkat pro-duksi saat ini. Artinya, beban itu utamanya harus diberikan pada sektor pertanian, sebagai sektor utama penghasil bahan pangan.

(16)

geologisnya menjadikan negeri ini semakin rawan terhadap berbagai bencana alam yang terkait dengan iklim. Menurut laporan IPCC, Indonesia diperkirakan akan menghadapi berbagai ancaman dan dampak dari per-ubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut, meluasnya kekeringan dan banjir, menu-runnya produksi pertanian, dan meningkatnya prevalensi berbagai penyakit yang ter-kait iklim merupakan beberapa dampak perubahan iklim yang sudah dan akan terjadi di Indonesia.

Sebagian besar, kota-kota di negeri ini yang berpenduduk padat berada di daerah pesisir pantai. Kota-kota ini beberapa dekade mendatang terancam akan teng-gelam akibat kenaikan permukaan air laut. Penelitian yang dilakukan oleg Gordon Mc Grahanan dari International Institute for Environment and Development, Inggris, mene-mukan bahwa sekitar 10% dari total penduduk bumi yang bermukim sekitar 10 meter dari pinggir pantai terancam akan tenggelam ketika es di kutub mencair akibat per-ubahan iklim. Jakarta, Makassar, Padang, dan beberapa kota di Jawa Barat akan teng-gelam beberapa dekade mendatang, jika kita merujuk pada penelitian ini. Menurunnya produksi pangan akibat gagal panen yang disebabkan oleh banjir dan kekeringan juga diperkirakan akan makin sering terjadi, beberapa daerah di bagian timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang paling rawan terhadap ancaman ini. Meningkatnya suhu memicu peningkatan prevalensi beberapa penyakit yang terkait iklim seperti malaria, diare, dan penyakit saluran pernapasan. Untuk kasus malaria, peningkatan suhu menyebabkan nyamuk, vektor malaria, yang sebelumnya hanya hidup di daerah rendah, kini dapat hidup di daerah dataran tinggi yang sebelumnya bebas malaria. Hal ini menyebabkan pening-katan penyakit malaria di berbagai daerah di Indonesia. Kelangkaan air bersih akibat kekeringan dan merembesnya air asin karena kenaikan permukaan air laut, memicu peningkatan penyakit diare di masa depan.

(17)

sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

1) Panen padi kosong di Indramayu

Bencana yang dialami petani Indramayu, oleh pemerintah daerah dianggap dampak meningkatnya suhu bumi, alias pemanasan global. Menanam varietas Talimas itu gagal panen di sini karena gabuk selap. Kena angin bugang. Kalau dihitung rata-rata kerugian petani untuk satu hektar mencapai satu juta lebih. Meningkatnya suhu bumi membuat iklim terus berubah, menjadi sulit untuk diraba. Sehingga Sering ter-jadi keterlambatan tanam. Ini pertanda telah terjadi dampak pemanasan global.

2) Musim yang tidak menentu (Anomali Iklim)

Pemanasan global yang memicu anomali iklim. Sederhananya, iklim menyim-pang dari biasanya. Penyimpangan iklim ini terus meningkat, baik seringnya, gawat-nya, maupun lamanya. Namun dampak perubahan iklim terhadap pertanian tidak langsung. Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana banjir dan kekeringan. Para petani, nelayan dan semua pihak yang berkaitan langsung dengan kondisi cuaca dibuat pusing oleh anomali cuaca ekstrem. Musim kemarau seolah bertumpuk dengan musim hujan sehingga sepanjang waktu selalu basah. Bahkan di sejumlah tempat hujan lebat tempat telah mengakibatkan banjir bandang yang menenggelam-kan ratusan hektar sawah, dan ladang. Anomali cuaca ini juga menggandeng angin puting beliung yang memporak porandakan sejumlah rumah dan pepohonan. Anomali cuaca ekstrem ini merupakan salah satu dampak dari global warming. Fenomena global ini membuat kalang kabut para petani dan pengusaha agribisnis. Tidak hanya banjir yang diterima juga terdapat peningkatan populasi hama. Banyak terjadi kasus ratusan hetar lahan benih milik sebuah BUMN yang hancur tidak dapat dipanen akibat adanya wereng. Serangan hama penggerek juga mengalami peningkat-an sehingga mengganggu petani padi. Dampak ini juga berpengaruh kepada petani tebu, karena mengakibatkan kadar air yang tinggi, sehingga terjadi penurunan ren-demen tebu.

(18)

Dalam jangka panjang akan terjadi pengurangan populasi tumbuhan yang tidak dapat hidup dalam iklim yang tidak me-nentu. Demikian juga terjadi sebaliknya.

3) Kalender tanam berubah

Di Subang yang merupakan sentra produksi pangan, hasil studi menunjukkan: jika intensitas anomali kuat, maka masa tanam mundur 30 hari. Itu terjadi jika musim kemarau maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Tapi kalau anomalinya sedang, mundurnya cuma 20 hari. Iklim yang sulit diperhitungkan menyebabkan petani sulit menyusun kalender tanam. Jadi kalau musim kemarau, lahan pertanian kekeringan. Sedang kalau musim hujan, yang dialami cuma banjir. Petani jelas rugi. Karena ramalan iklim susah ditebak. Kita kecolongan terus di lapangan. Yang kita mampu adalah menyiasati bagaimana sebelum kekeringan, panen sudah selesai. Ternyata perkiraan meleset. Seperti sekarang, kita perkirakan tanam Oktober 2010, tapi sekarang belum menanam. Apa ada prediksi kalau Januari 2011 tidak banjir? Sangat sulit untuk memprediksi hal tersebut. Sukar ditentukan kapan persisnya dampak perubahan iklim terjadi. Ada pakar yang berpendapat perubahan iklim sudah terjadi pada tahun 1970an, tapi ada juga yang bilang baru tahun 1997. Pemerintah sendiri melalui Direktur Pengelolaan Air Departemen Pertanian, mengakui dampak perubahan iklim untuk sektor pertanian di Indonesia baru diawasi 1997.

4) Penurunan Produksi Pertanian Indonesia

(19)

Sebagai gambaran, pada 1995 hingga 2005, total tanaman padi yang terendam banjir berjumlah 1.926.636 hektar. Dari jumlah itu, 471.711 hektar di antaranya mengalami puso. Sawah yang mengalami kekeringan pada kurun waktu tersebut ber-jumlah 2.131.579 hektar, yang 328.447 hektar di antaranya gagal panen. Adapun tahun lalu, 189.773 hektare tanaman padi mengalami gagal panen, dari 577.046 hektar sawah yang terkena banjir dan kekeringan. Dengan rata-rata produksi 5 ton gabah per hektar, gabah yang terbuang akibat kekeringan dan banjir pada 2006 mencapai 948.865 ton. Untuk tahun ini, Menteri Pertanian Anton Apriyantono menga-takan lahan pertanian yang mengalami puso karena banjir dan kekeringan hingga Februari mencapai 33 ribu hektar. Jumlah tersebut bukan angka tetap karena pada Maret lalu puluhan hektar tanaman juga terkena banjir. Akibat curah hujan yang tinggi dan pengelolaan irigasi yang tidak optimal, air yang diidentikkan sebagai rezeki dari langit tidak memberi berkah bagi penduduk bumi. Rosamond Naylor, Direktur Program Ketahanan Pangan dan Lingkungan dari Stanford University, melansir anomali cuaca El Nino, yang diperburuk oleh pemanas-an global, akan menimbulkan kerugian bagi produksi beras di kawasan Jawa-Bali karena mundurnya musim hujan. Diperkirakan pada masa kekeringan Juli-September nanti, tanaman pangan terancam mati tanpa irigasi memadai. Sebelumnya, pada 2002, Rasamond Naylor, Water Falcon, dan kawan-kawan telah melakukan penelitian tentang "penggunaan data klimatologi El Nino/Osilasi Selatan untuk memprediksi produksi dan perencanaan kebijakan pangan Indonesia". Penelitian ini menyebutkan bahwa anomali iklim pada El Nino dapat mengurangi produksi padi hingga 4,8 juta ton gabah atau setara dengan 2,88 juta ton beras.

Pemanasan global juga turut mempengaruhi peningkatan magnitude dan fre-kuensi kehadiran El Nino, yang memicu makin besarnya kebakaran hutan. Inilah yang terjadi di Indonesia pada 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998. Kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan pada 1997/1998 saja, menurut Konsorsium Nasional untuk Peles-tarian Hutan dan Alam Indonesia, mencapai US$ 8.855, termasuk di dalamnya kerugian sektor perkebunan (berdasarkan luas area lahan yang terbakar) US$ 319 juta dan kerugian sektor tanaman pangan (berdasarkan penurunan produksi beras) mencapai US$ 2.400 juta. Melihat berbagai realitas di atas, tidak salah jika Intergovernmental Panel on Climate Change dalam laporan yang berjudul "Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability" pada 6 April 2007 menyimpulkan perubahan iklim makin mengancam produksi pangan Indonesia.

(20)

1. Konferensi Climate Change (UNFCCC)

Isu perubahan iklim mulai mendapat perhatian dunia sejak diselenggarakan-nya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun 1992. Pada pertemuan itu para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi sebuah perjanjian mengenai perubahan iklim yang dikenal dengan Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk menjaga kestabilan emisi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang aman, sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Konsentrasi emisi gas rumah kaca di atmosfer yang tak terkendali adalah penyebab terjadinya perubahan iklim secara global. Di Indonesia sendiri, isu perubahan iklim belakangan ini mulai mendapat perhatian luas dari berbagai kalang-an. Laporan para ahli perubahan iklim yang tergabung dalam IPCC (Intergovern-mental Panel on Climate Change) yang dipublikasikan pada awal april ini, menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran berbagai kalangan terhadap ancaman per-ubahan iklim di negeri ini. Laporan yang bertajuk Climate Change Impacts, Adaptation, and Vulnerability menunjukkan ancaman-ancaman perubahan iklim yang sudah ter-jadi dan diperkirakan akan terjadi di masa depan. Selain itu, posisi Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim tahunan yang akan diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada akhir tahun ini, mau tidak mau mewajibkan pemerintah untuk mening-katkan perhatian dan kesadarannya terhadap isu ini.

2. Mitigasi

Mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan dan pengurangan pengaruh perubahan iklim melalui pencegahan emisi gas rumah kaca. Selanjutnya Malmsheimer dkk (2008) menyebutkan bahwa pencegahan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dapat dilakukan dengan substitusi kayu, substitusi biomassa, modifikasi kebakaran alam, menghindari konversi lahan.

(21)

Indonesia, yang tercatat sebagai penyumbang terbesar ketiga karbon dioksida -salah satu jenis gas rumah kaca -akibat kebakaran hutan, perlu mengambil langkah yang revolutif. Meski terlambat, inilah saatnya memprogramkan restorasi ekosistem nasional, pembangunan, dan pengelolaan hutan lestari serta moratorium logging di daerah-daerah tertentu. Pilihan kita, menahan sesaat kalkulasi ekonomi sektor ini atau bencana berkepanjangan. Dari data Badan Planologi (2004), diketahui kerusakan hutan di kawasan hutan produksi mencapai 44,42 juta hektare, di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta hektare, dan di kawasan hutan konservasi mencapai 4,69 juta hektare. Departemen Kehutanan menyebutkan pada 2000-2005, laju kerusakan hutan Indonesia rata-rata 1,18 juta per tahun. Klimaks kerusakan hutan negeri ini disebabkan oleh praktik ilegal, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara paling masif dalam laju kerusakan hutan.

3. Adaptasi

(22)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

 Efek rumah kaca, yang pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya.

 Energi yang masuk ke Bumi: 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer, 25% diserap awan,45% diserap permukaan bumi, 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi

 Hutan adalah komponen penting dalam masalah karbon dan daur hidrologis dunia. Sekitar 18-20% dari emisi anthropogenic GRK dunia berasal dari “perubahan tata guna lahan dan sector kehutanan” khususnya di negara berkembang seperti Indonesia (IPCC, 2007).

(23)

 Di Indonesia sendiri, penggunaan tanah dan alih fungsi tanah mengakibatkan pelepasan 2-3 milyar ton CO2 setiap tahun.

 Bila dalam periodesasi awal Indonesia dikenal sebagai Zamrud Khatulistiwa, maka pada tahun 2008 gelar tersebut sudah berganti sebagai Negara peghancur hutan tercepat versi Guiness book of record 2008.

 Studi lembaga penelitian kehutanan International Centre for International Forestry Research (CIFOR) menyatakan, dari konversi lahan gambut saja (jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,5 juta hektar dan hampir separuhnya sudah rusak), Indonesia melepas 1.100 juta ton karbon dioksida (CO2) ke udara pertahun.

 Perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini telah banyak dikaji oleh berbagai pihak karena dampak yang ditimbulkan nyata dirasakan.

 Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 terdapat 154 negara yang sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC).

 sejak tahun 1995 negara- negara para pihak yang terdiri dari Annex I (negara industri yang berkomitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkatan tahun 1990 pada tahun 2000), Annex II (negara yang mempunyai kewajiban untuk menyediakan sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang) dan non Annex I (negara berkembang yang telah menyetujui UUNFCCC dan tidak termasuk dalam Annex I)

 Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, IPCC) dalam salah satu laporannya menyebutkan bahwa deforestasi berkontribusi sebanyak 17% terhadap total emisi GRK global dibandingkan dengan sumber emisi lainnya.

(24)

 Dampak pemanasan global ; Iklim Mulai Tidak Stabil, Peningkatan permukaan laut, Suhu global cenderung meningkat, Gangguan ekologis, Dampak sosial dan politik,

 Ancaman Global warming Terhadap sektor Pertanian Indonesia ; Fenomenapanen padi kosong, Musim yang tidak menentu (Anomali Iklim), Kalender tanam berubah, Penurunan Produksi Pertanian Indonesia.

(25)

Saran

Mengurangi:

1. Hemat dalam menggunakan air, dan energi listrik,

2. Mengurangi pembakaran barang-barang yang tidak dapat didaur ulang

3. Mengurangi emisi CFC dan emisi pengganti CFC dengan tidak menggunakan aerosol dan menggunakan energi efisien.

4. Mengurangi penggunakan listrik dengan menggunakan lampu hemat energi.

Mengingatkan:

1. Pemerintah setempat akan komitmen mereka untuk mendaur ulang dan mengurangi pemborosan serta mempertahankan hukum daur ulang dan pemborosan agar tetap relevan.

2. Mengingatkan otoritas setempat untuk memelihara listrik dan menggunakannya dalam system yang efisien

3. Mengingatkan pemerintah akan komitmen mereka pada deklarasi dan protokol-protokol demi lingkungan hidup

4. Mengingatkan siapa saja agar hid up sederhana di bumi ini dan mengingatkan agar selalu menggunakan dan mendaur ulang barang yang digunakan.

5. Memulihkan hutan/penghijauan kembali

6. Menata Pembangunan yang berwawasan lingkungan

7. Rehabilitasi hutan dan lahan kritis, Pencagaran rosot karbon: Taman nasional, cagar alam dan hutan lindung,

8. Reduksi Emisi bersertifikat (RES) 9. Melaksanakan Protokol Kyoto

Sedangkan bagi pemerintah dan industri besar:

(26)

memungkinkan kerjasama yang dapat sating menguntungkan antara negara maju dengan negara berkembang. CDM memperbolehkan negara berkembang menjual emisinya yang masih rendah kepada Negara maju yang kelebihan emisi.

2. Bagi industri dalam bidang energi: membangun kilang LPG untuk

memberdayakan gas yang terasosiasi dengan minyak yang diproduksi dari lapangan yang san gat banyak jumlahnya, yang sebelumnya selalu dibakar dan memperburuk pemanasan global.

3. Memasuki industri pembangkit listrik tenaga gas~ merupakan pembangkit listrik yang ramah lingkungan.

4. Memproduksi bio-fuel, sehingga lebih sedikit bahan bakar fosil yang

dipergunakan dan pada saat yang sama juga menciptakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Andy T, dkk. 2007. Artikel L Efek Rumah Kaca terhadap Bumi Climate for Kids, US-EPA,

http://www .epa.gov/globalwarming/kids/

Ariwibowo dan Rufii. 2009. Peran Sektor Kehutanan Di Indonesia Dalam Perubahan Iklim. Tekno Hutan Tanaman Vol. 1. No. 1, November 2009. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Departemen Kehutanan Hal ; 23-32

Boer, R. 2002.Opsi Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan dan Aspek Metodologi Proyek Karbon Kehutanan. Semiloka Regional Kalimantan: Proyek Karbon Hutan.

www.acehpedia.org. 2009. Dampak Global Warming Terhadap Pertanian. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.

Abimanyu Anggito, Satriawan Elan. www.republika.co.id. 1995. Dampak Global Warming. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.

(27)

www.broadcast-edu.or.id. 2007. Bahan Bakar Biologis dari Nipah Bisa Membantu Menghalangi Pemanasan Global. Tanggal Akses: 15 Januari 2011.

www.id.wikipedia.org. 2010. Nipah. Tanggal Akses: 15 Januari 2011. www.id.wikipedia.org. Efek Rumah Kaca. Tanggal Akses: 15 Januari 2011. www.id.wikipedia.org. Pemanasan Global. Tanggal AKses: 15 Januari 2011.

Suberjo. www.aa-pemanasanglobal.blogspot.com. 2009. Adaptasi Pertanian Dalam Pemanasan Global. Tanggal Akses: 15 Januari 2011. www. antonsutrisno.webs.com. 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian dari Sistem akuntansi keuangan daerah adalah proses pengidentifikasian, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan transaksi ekonomi (keuangan) dari entitas

Konsep dalam penelitian ini adalah entertainment- education dalam drama radio, sehingga terdapat dua variabel di dalamnya: pertama, unsur hiburan (entertainment) dan

Perihal : Undangan Pelatihan Fasilitator Tahap II (Provinsi Jawa Tengah I) Program Pamsimas III TA 2016 Dalam rangka meningkatkan kapasitas Fasilitator Senior dan

Validasi Data Kepesertaan Peserta BPJS Kesehatan yang dilakukan dengan pemeriksaan data peserta, seperti data Penerima Bantuan Iuran dan data peserta Penerima Bantuan

[r]

Terima Kasih Yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Prof.. Fauzie Sahil, SpOG(K) dan

Bimbingan karir adalah suatu proses bantuan, layanan dan pendekatan terhadap individu (siswa/remaja), agar individu yang bersangkutan dapat mengenal

pembangunan infr astr uktur kabupaten skala besar. Untuk dapat menggunakan sur plus anggar an di atas, maka Pemer intah Kabupaten Manggar ai. Bar at akan