• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ontologi Sila Kesatu Pancasila Kajian Hu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ontologi Sila Kesatu Pancasila Kajian Hu"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

PENGANTAR REDAKSI

 Perlindungan Hukum Terhadap Istri Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga I.A. Indah Sukma Angandari ... 1-11  Strategi Penanggulangan Illegal Logging

Melalui Ekolabeling

I Wayan Suardana ... 12-29  Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Peran

Negara Dalam Perlindungan Pekerja

I Wayan Gde Wiryawan... 30-42  Filsafat Praktis Dalam Tataran Konsep Etika

Bagi Pendidik, Suatu Tinjauan Pramagtis Tentang Toxic World Sebagai Salah Satu Penyebab Awal Anak Berdelikuensi

Vieta Imelda Cornelis ... 43-53  Alternatif Sanksi Pidana Penjara Terhadap

Anak Delinquent

I Nyoman Ngurah Suwarnatha ... 54-68  Penyelesaian Pelanggaran Ham Yang Berat

1998 Melalui Out Court System

Ika Amilatun Nazah Email ... 69-76  Kebebasan Pers Di Indonesia

Jimmy Z Usfunan ... 77-87  Eksistensi Hukuman Mati Ditinjau Dari

Persepspektif Hak Asasi Manusia (Hak Untuk Hidup)

Sagung Putri M.E. Purwani ... 88-97  Penyelesaian Pelanggaran Rahasia Dagang

Di Indonesia

Ida Bagus Ketut Weda ... 98-113  Ontologi Sila Kesatu Pancasila (Kajian

Hukum Tata Negara)

Tomy M Saragih ... 114-126  The Legal Protection Toward Remuneration

Of Performing Artist In Bali

Tjok Istri Sri Harwathy, Made Emy Andayani Citra, Ni Luh Gede Yogi Arthani, And Dewi Bunga Faculty Of Law, University Of Mahasaraswati Denpasar. ... 127-134

Daftar Riwayat Penulis ... Ketentuan Umum Penulisan

(2)

1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTRI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I.A. Indah Sukma Angandari Imogena Consultants &Development

dayuindahsukma@yahoo.co.id

Abstract:

Wholeness and harmony of the household may be disrupted if the quality and self-control can not be controlled, which can ultimately lead to the occurrence of domestic violence. Domestic Violence is any action against someone, especially his wife, which resulted in misery or suffering physical, sexual, psychological. To prevent, protect the wife as a victim, and prosecution of domestic violence on September 22, 2004, was approved the introduction of Law Number 23 Year 2004 on the Elimination of Domestic Violence (PKDRT), which consists of 10 Chapters and 56 Articles. The law is expected to provide legal protection for members in the household, particularly women, the most victims of domestic violence.

Key words: Protection, violence and wife

Pendahuluan

Selama ini rumah tangga dianggap sebagai tempat yang aman karena seluruh anggota

keluarga merasa damai dan terlindungi. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang

bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.

Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang

dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap

orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat

terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya

dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul

ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga

tersebut.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai salah satu jenis kekerasan yang

berbasis gender dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini pertama dilatarbelakangi oleh

budaya patriarki yang terus langgeng, kesetaraan gender yang belum nampak serta nilai

budaya masyarakat yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cenderung selalu

menyalahkan perempuan.

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis

kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di

(3)

2

keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan

fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan

didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,

tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

Menurut pendapat Romli Atmasasmita, kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan,

maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah

membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan

menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka

semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan seriusnya kejahatan semacam ini1.

Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah

tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan

penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI

Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan

dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pada tanggal 22 September 2004, telah disahkan berlakunya Undang-undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang terdiri

atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan

perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, yang paling

banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Negara dan masyarakat wajib

memberikan perlindungan agar setiap anggota dalam rumah tangga terhindar dari ancaman

kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.

Segala bentuk kekerasan harus dicegah dan dihapuskan, karena merupakan pelanggaran hak

asasi manusia.

Perlindungan Hukum dalam Kasus KDRT

Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak berarti bahwa perjuangan perempuan sudah selesai,

karena sebetulnya perjuangan perempuan masih panjang. Masih perlu dicermati, diikuti dan

diawasi, sejauh mana komitmen pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk

melaksanakan undang-undang tersebut. Perlu diperhatikan problema apa saja yang timbul

(4)

3

dan bagaimana penanganan yang tepat untuk mencegah dan membebaskan anggota rumah

tangga, khususnya perempuan dari tindak kekerasan yang terjadi.

Kasus KDRT yang terjadi sesungguhnya dapat disebut sebagai fenomena gunung es.

Secara kuantitas sedikit yang terdata oleh karena faktor-faktor :

1) Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.

2) Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

3) Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi. 4) Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil. 5) Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.

6) Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

7) Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga.

8) Masalah budaya, Masyarakat yang patriarkis ditandai dengan pembagian kekuasaan yang sangat jelas antara laki –laki dan perempuan dimana laki –laki mendominasi perempuan. Dominasi laki – laki berhubungan dengan evaluasi positif terhadap asertivitas dan agtresivitas laki – laki, yang menyulitkan untuk mendorong dijatuhkannya tindakan hukum terhadap pelakunya. Selain itu juga pandangan bahwa cara yang digunakan orang tua untuk memperlakukan anak–anaknya , atau cara suami memperlakukan istrinya, sepenuhnya urusan mereka sendiri dapat mempengaruhi dampak timbulnya kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT).

9) Faktor Domestik Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga. Jadi rasa malu mengalahkan rasa sakit hati, masalah Domestik dalam keluarga bukan untuk diketahui oleh orang lain sehingga hal ini dapat berdampak semakin menguatkan dalam kasus KDRT.

Menurut hemat penulis faktor-faktor tersebutlah yang mengakibatkan kekerasan dalam

rumah tangga semakin marak terjadi.Kekerasan merupakan salah satu bentuk dari

kejahatan, yang tentunya akan sangat mengganggu dan meresahkan masyarakat,

sebagaimana yang telah dikatakan oleh Bonger bahwa "Kejahatan adalah perbuatan yang

sangat anti sosial, yang oleh Negara ditentang dengan sadar.2

Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang

suami, Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara

lain :

1. Kekerasan Fisik

(5)

4

Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian.

2. Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.

3. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.

4. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.

Penulis berpendapat bahwa Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat

untuk merespon apa yang terjadi, dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban. Karena bisa

saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya bukanlah hal yang penting karena

tidak direspon lingkungan, hal ini akan melemahkan keyakinan dan keberanian korban

untuk keluar dari masalahnya. Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri

berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam

masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga

yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan.

Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara

kultural pada setiap generasi. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang

memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga

dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan

masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai.

Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja,

(6)

5

sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai

kegiatan sampingan.3

Bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi

menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan

negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka.

Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia.4

Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak

yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul Sieghart.5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga memberikan perlindungan secara khusus bagi korban kekerasan yang terjadi

dalam lingkup rumah tangga, dan dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan hak asasi

manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi dan perlindungan korban, serta

mempunyai tujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,

melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga serta memelihara

keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Konsepsi kekerasan sebagai kejahatan dalam konteks kehidupan berumah tangga,

sebagaimana yang dikonsepsikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga selanjutnya disebut UU PKDRT, adalah

sebagai berikut:

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

3 Baquandi, 2009, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga”,

http://psikologi.or.id/mycontents/uploads/2010/10/kdrt.pdf diakses pada 18 Januari 2012

4 Romli Atmasasmita, “Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di Indonesia”, Makalah disampaikan pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta.

(7)

6

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Disahkannya Undang-undang tersebut merupakan titik awal keberhasilan perjuangan

perempuan dalam memperoleh perlindungan terhadap kekerasan yang sering terjadi dalam

lingkup rumah tangga, yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pribadi suami-isteri,

merupakan ‘aib keluarga’, tabu untuk diketahui dan dikemukakan kepada masyarakat.

Ketidakberdayaan perempuan yang disebabkan adanya keinginan untuk mempertahankan

posisi diri sebagai perempuan baik-baik dari keluarga yang terhormat, mengakibatkan

perempuan harus bersikap pasif dan mau menerima perlakuan apapun yang diperolehnya

demi mempertahankan ‘citra perempuan baik-baik atau keluarga harmonis. Hal-hal

demikian ini yang menyebabkan adanya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak

terungkap dan tidak dapat diatasi.

Penulis berpendapat meskipun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah disahkan bukan berarti bahwa

perjuangan perempuan sudah selesai, karena sebetulnya perjuangan perempuan masih

panjang dan harus diketahui apakah UU No. 23 Tahun 2004 digunakan secara cermat,

selektif dan limitative. Hal ini sependapat Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh

Sudarto, apabila menggunakan upaya penal maka penggunaanya sebaiknya dilakukan

dengan lebih hati-hati, cermat, hemat, selektif, dan limitative. Penyusunan suatu

perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana haruslah memperhatikan beberapa

pertimbangan kebijakan sebagai berikut :

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas masyarakat.

3. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)

4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting)6

6

(8)

7

Agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum

sebagai kaidah yakni:

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya,

kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.7

Penulis berpandangan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu persoalan sosial

yang menuntut penyelesaian, maka upaya untuk penanggulangan kejahatan telah dimulai

terus-menerus. Salah satu usaha pencegahan dan pengendalian kejahatan itu ialah menggunakan

hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Hal ini sesuai dengan apa yang telah

diungkapkanoleh Muladi dan Barda Nawawi Arief, bahwa ada tiga alasan mengenai perlunya

pidana dan hukum pidana dalampenanggulangan kejahatan yang pada intinya sebagai berikut :

a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atas hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.8

Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari

tiga tahap kebijakan yaitu :

a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.

b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.9

7

H. Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 94.

8Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal 152-153

(9)

8

Dihubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum, penulis

mengutip pendapat Lawrence friedman dalam buku “Hukum dan Masyarakat” karangan

Satjipto Raharjo, hukum dilihat sebagai suatu sistem hukum yang utuh, yang terdiri dari 3

komponen, yaitu:

a. Komponen substansi hukum, yang terdiri dari hasil aktual yang diberikan oleh sistem hukum, misalnya norma-norma peraturan dan sebagainya.

b. Komponen struktur hukum, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistim hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya hukum.

c. Komponen kultur atau budaya hukum, yaitu nilai-nilai yang merupakan kaidah yang mengikat sistim serta menentukan sistim hukum itu di tengah kultur bangsa secara keseluruhan.10

Bagi masyarakat Indonesia, lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan

menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Bila penegakan hukum lemah, masyarakat akan

mempersepsikan hukum tidak ada dan seolah-olah mereka berada dalam hutan rimba,

sebaliknya, bila penegakan hukum kuat dan dilakukan secara konsisten, barulah masyarakat

mempersepsikan hukum ada dan akan tunduk. Oleh karenanya penegak hukum yang tegas dan

berwibawa dalam kehidupan hukum masyarakat sangat diperlukan. Patuh hukum bukanlah

tataran tertinggi, melainkan adalah setiap individu dalam masyarakat yang bersikap di bawah

alam sadar sesuai dengan tujuan. Kultur hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial dan

nilai-nilai sosial yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan normatif dalam perilaku.

Penulis berpandangan bahwa istri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga berhak

mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,

lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah

perlindungan dari pengadilan. Selain itu istri sebagai korban juga berhak memperoleh pelayanan

kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan

kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, pada setiap tingkat

proses pemeriksaan karena hal-hal tersebut telah diatur didalam ketentuan pasal-pasal yang telah

termuat didalam UU. No. 23 Tahun 2004 tentang pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Korban kekerasan dalam rumah tangga juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi

pemulihan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing

rohani (Ketentuan Pasal 39 UU. No.23 Tahun 2004). Sehingga Pemerintah mempunyai

kewajiban dan tanggungjawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga

(Ketentuan Pasal 12 UU No. 23 Tahun 2004). Sedangkan masyarakat berkewajiban melakukan

(10)

9

upaya-upaya sesuai batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana,

memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu

proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan Korban kekerasan dalam rumah tangga,

selain memperoleh perlindungan secara fisik dan psikis dari pemerintah dan masyarakat, korban

juga memperoleh perlindungan hukum, dengan pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan

dalam rumah tangga, yang diatur dalam ketentuan Pasal 44 sampai dengan Pasal 53 UU No. 23

Tahun 2004, dengan ancaman sanksi pidana yang berlainan, tergantung perbuatan yang

dilakukan, dengan ancaman sanksi paling berat yaitu pidana penjara selama 20 (dua puluh)

tahun atau denda Rp. 500.000.000,(Lima ratus juta rupiah), dan paling ringan 4 (empat) bulan

penjara atau denda Rp.5.000.000 (Lima juta rupiah).

Peran aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, advokat dan pengadilan, dalam

memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga,

diatur secara khusus oleh UU No. 23 Tahun 2004, sebagai berikut:

- Kepolisian

Diatur dalam ketentuan Pasal l6 UU No. 23 Tahun 2004. Pada waktu kepolisian menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, harus segera dijelaskan kepada korban bahwa mereka mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Kepolisian memperkenalkan identitas mereka dan segera wajib melakukan penyelidikan serta wajib melindungi korban. Selanjutnya kepolisian akan meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap pelaku.

- Advokat

Diatur dalam ketentuan Pasal 25 UU. No. 23 Tahun 2004. Di dalam memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib memberikan konsultasi hukum mengenai hak-hak korban dan proses peradilan. Mendampingi korban pada penyidikan dan pemeriksaan di dalam sidang, serta melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

- Pengadilan

Diatur dalam ketentuan Pasal 28 sampai dengan 34, 37 dan 38 UU. No. 23 Tahun 2004. Pengadilan harus mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain yang diajukan oleh kepolisian.

Penutup

Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri antara lain kekerasan

fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Kekerasan fisik adalah suatu

tindakan kekerasan (seperti: memukul, menendang, dan lain-lain) yang mengakibatkan luka, rasa

sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan psikis adalah suatu

tindakan penyiksaan secara verbal (seperti: menghina, berkata kasar dan kotor) yang

(11)

10

untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat

mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya

menderita. Di sisi lain, kekerasan psikis juga dapat memicu dendam dihati istri. Kekerasan seksual

adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan

seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.

Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di

luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk

di-eksploitasi, sementara si suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami

juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan

gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi

uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak

mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.

Perlindungan terhadap istri sebagai Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak

mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,

lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah

perlindungan dari pengadilan dimana sudah diatur didalam UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun saran yang dapat penulis sampaikan

untuk mencegah agar istri tidak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain

peningkatan pendidikan bagi perempuan sehingga mereka menyadari hak-hak dan kewajibannya

sebagai warga negara dan warga masyarakat. Serta peningkatan kesempatan kerja dan lapangan

kerja bagi perempuan, sehingga secara ekonomi tidak tergantung sepenuhnya kepada

suami/laki-laki. Sosialisasi peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada istri

khususnya sosialisasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga lengkap dengan peran dan fungsi Ruang Pelayanan Khusus (RPK).

Memberikan advokasi dan pendampingan bagi korban serta Memberikan advokasi kebijakan

pemerintah di dalam menyusun peraturan-peraturan yang melindungi istri.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembanqan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

(12)

11

Bonger, W.A.,1977, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan A. Koesnoen, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Romli Atmasasmita, 2007, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, Bandung.

Satjipto Raharjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, PT. Angkasa, Bandung.

Sieghart, Paul, 1986, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights, Oxford University Press

Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung

Zainuddin Ali, H., 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

MAKALAH

Romli Atmasasmita, “Latar Belakang Penyusunan RUU tentang Pengadilan HAM di Indonesia” Makalah pada 18 Oktober 2000, Yogyakarta..

INTERNET

Baquandi, 2009, “Kekerasan Dalam Rumah Tangga”,

(13)

12

STRATEGI PENANGGULANGAN ILLEGAL LOGGING MELALUI EKOLABELING

I Wayan Suardana Dinas Kehutanan Provinsi Bali wayan_suardana@rocketmail.com

Abstract:

Indonesia is one of country that has not been able to tackle illegal logging. Increasing quantities of illegal logging results in deforestation. Deforestation is a threat to the lives of living things. To overcome this deforestation, we need a sustainable forest management. One form of sustainable forest management is ecolabeling or labeling of forest products is a form of forest inventory activities play an important role in preventing deforestation. Basically, this application is a breakthrough ecolabeling very well in the inventory of forest and prevent deforestation.

Key words: forest, deforestation, illegal logging and ecolabeling

Pendahuluan

Hutan merupakan aset besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Meskipun

Kepulauan Indonesia hanya terdiri sekitar 1% dari seluruh daratan di permukaan bumi,

cadangan hutan alaminya merupakan yang terbesar di Asia dan kedua terbesar di dunia,

yang diperkirakan membentang seluas lebih dari 100 juta hektar. Hutan merupakan karunia Tuhan yang tak ternilai harganya. Hutan memberikan manfaat besar untuk hidup dan kehidupan bagi seluruh makhluk, terutama manusia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, hutan merupakan sumber kehidupan. Disamping merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan, juga menjadi tempat hidup bagi sebagian besar masyarakat.

Indonesia mulai memanfatkan hutan pada awal tahun 1970-an, melalui pembangunan industri pengolahan kayu. Saat ini, Indonesia menjadi eksportir kayu lapis terbesar di dunia, dan juga produksi kayu gelondongan, kayu olahan dan bubur kayu untuk produksi kertas. Pada tahun 2001, terdapat data statistik yang akurat, produksi kayu menyumbang 1,1 % Gross Domestic Product Indonesia dan sekitar US$ 5,1 miliar dari hasil ekspor. Walaupun pentingnya industri kayu untuk ekonomi nasional, sektor ini menghadapi ancaman serius dari maraknya praktik penebangan liar.11

Pada Januari 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa aktivitas penebangan liar menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 30,24 trilliun (US$3,37 miliar). Selain itu, sekitar

11 Felicity Williams, 2004, “Asia Pulse Analyst”,

(14)

13

322 dari 460 perusahaan yang beroperasi di bidang ini mengalami kegagalan diakibatkan penebangan liar. Sebanyak 80% dari 70 juta meter kubik kayu setiap tahunnya diperjualbelikan secara ilegal. Jumlah kayu selundupan dari Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Riau, Aceh, Sumatera Utara dan Jambi yang diselundupkan ke luar negeri seperti Malaysia, Cina, Vietnam dan India kira-kira mencapai 10 juta meter kubik tiap tahunnya dan dari Papua sendiri bisa mencapai 600 ribu meter kubik.12

Di tahun 2001, Indonesia mengkonsumsi 19 juta kubik kayu dalam bentuk kertas, kayu gelondong, kayu lapis dan produk lain. Di tahun yang sama, Indonesia mengekspor sejumlah 40,7 juta meter kubik dalam bentuk-bentuk tersebut. Tetapi laporan resmi mengenai penebangan kayu pada tahun 2001 hanya sebanyak 10 juta kubik. Dengan kata lain, total jumlah penebangan kayu yang sebanyak 59,7 juta meter kubik termasuk di dalamnya sekitar 50 juta meter kubik kayu yang dihasilkan dari penebangan liar.

Penjagaan terhadap kelestarian hutan menjadi tanggung jawab semua pihak baik terhadap pemanfaatan sumber daya hutan yang ramah lingkungan hingga dalam memproteksi hasil-hasil hutan. Untuk itu badan-badan internasional yang memiliki kepedulian terhadap sumber daya hutan ini memperkenalkan kebijakan ekolabel atau biasa pula disebut dengan ekolabeling. Ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang membedakannya dari produk lain. Ekolabel membantu konsumen untuk memilih produk yang ramah lingkungan sekaligus berfungsi sebagai alat bagi produsen untuk menginformasikan konsumen bahwa produk yang diproduksinya ramah lingkungan.

Dengan adanya penandaan melalui ekolabel ini, maka akan diketahui karakteristik serta jumlah dari sumber daya yang ada di hutan. Ekolabel di Indonesia pada mulanya diterapkan pada hutan-hutan di daerah Jawa yang rawan akan pencurian kayu atau penebangan secara ilegal. Dengan inventarisasi semacam ini maka akan mudah bagi negara dan pihak swasta pengelola hutan untuk mengetahui persediaan kayu-kayu yang diekolabel.

Deskripsi Singkat Illegal Logging di Indonesia

Hutan merupakan karunia Tuhan yang mengandung banyak nilai dan fungsi strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber daya hayati ini memiliki begitu banyak kekayaan di dalamnya yang dapat dipergunakan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Namun dewasa ini penebangan liar semakin banyak terjadi. Penebangan liar atau yang

12

(15)

14

kemudian sering diistilahkan dengan illegal logging bukan hanya dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan namun juga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisir.

Istilah illegal logging sampai saat ini belum pernah ditemukakan dalam peraturan perundang-undangan manapun. Definisi illegal logging itu sendiri belum menemukan bentuk bakunya. Perbedaan dalam menentukan definisi ini seringkali terjadi, baik antara tataran lokal, tataran international dan masyarakat. Dalam The Comtemporary English Indonesian Dictionary sebagaimana yang diikuti Salim, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram. Dalam Black’s Dictionary, illegal artinya forbidden by law; unlawsful’s artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. Log dalam bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan dan logging artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.13 Dari aspek implikasi semantik illegal logging sering diartikan sebagai praktik penebangan liar. Adapun aspek integratif, illegal logging diartikan sebagai praktik pemanenan kayu beserta prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan. Proses tersebut mulai dari kegiatan perencanaan, perjanjian, permodalan, aktifitas memanen, hingga pasca pemanenan yang meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan, hingga penyelundupan.14

Illegal logging bukanlah sebuah masalah baru. Usianya hampir sama dengan sejarah penebangan komersial itu sendiri. Di Indonesia, sejak zaman penjajahan Belanda, pencurian kayu kecil-kecilan sering dilakukan di tanah-tanah yang diberikan izin konsesi penebangan oleh Belanda. Bahwa illegal logging menjadi perhatian yang sedemikian besar pada saat ini tidak lain karena skala dan intensitasnya yang memang sangat luar biasa. Illegal logging atau penebangan yang tidak sah muncul sebagai akibat dari peningkatan kapasitas industri kayu yang yang tidak diimbangi dengan analisa terhadap daya dukung lingkungan, penghormatan terhadap hak-hak tenurial, persiapan hutan tanaman industri yang akan mensuplai bahan baku dan kecenderungan untuk melihat hutan sebagai potensi ekonomi berdasarkan tegakan pohon yang ada didalamnya. Hutan itu sendiri dipandang dengan sudut pandang yang berbeda baik oleh masyarakat, perusahaan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.15

13

Salim, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus Papua) cetakan pertama, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, hal. 72.

14

Rahmi Hidayati D. dkk., 2006, Pemberantasan Illegal Logging dan Penyelundupan Kayu Melalui Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kinerja Sektor Kehutanan, Wanaaksara, Tangerang, hal. 128.

15

(16)

15

Sebuah penelitian dari World Bank mengestimasikan bahwa dalam 40 tahun Indonesia akan menjadi tandus, dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan kayu tanpa perhatian (World Bank, 1986). Pada tahun 2002, Departemen Kehutanan memperkirakan luas kawasan hutan yang terdegradasi mencapai 59,7 juta hektar dengan lahan kritis didalam dan diluar kawasan mencapai 42,1 juta hektar. Hingga 1999 hingga 2000, kapasitas produksi industri kehutanan meningkat menjadi 74 juta meter kubik pertahun. Sementara itu Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa produksi kayu yang ditebang secara legal pada tahun 2000 hanya mencapai 17 juta meter kubik. Bila produksi ini ditambah dengan kayu impor (yang menurut berbagai kalangan nilainya sangat kecil dan tidak signifikan) yang mencapai 3 juta meter kubik, maka kita mendapatkan pasokan kayu sebesar 20 juta meter kubik. Sampai disini, diketahui defisit untuk memenuhi kebutuhan kayu bagi industri mencapai angka 54 juta meter kubik. Jika diestimasi seluruh perusahaan tidak menggenjot angka produksinya dengan maksimal, asumsi ini memungkinkan mengingat mesin yang sudah tua, sehingga kapasitas produksi hanya 80 persen, maka akan mendapatkan gambaran defisit sebesar 39,2 juta meter kubik setiap tahunnya.

Dengan angka defisit seperti ini, ditambah gambaran bahwa pada tahun 2000 tidak ada satupun catatan yang menunjukkan terjadinya kebangkrutan disektor industri kayu, maka bisa dipastikan bahwa pada tahun 2000, lebih kurang 39 juta meter kubik kayu yang ditebang di Indonesia adalah ilegal. Angka tersebut sekaligus menggambarkan bahwa laju deforestasi pada tahun 2000 mencapai 1,85 juta hektar dengan kerugian nominal langsung dari kayu mencapai 47,01 trilyun rupiah.

(17)

16

kubik. Dengan figur ini dipastikan 30 juta meter kubik kayu ditebang secara illegal sehingga menciptakan angka deforestasi sebesar 2,6 juta ha. Belum termasuk kayu yang diselundupkan ke Malaysia yang diperkirakan mencapai 10 juta meter kubik setiap tahunnya.

Dengan kondisi kekurangan bahan baku ”resmi” dimulailah pembalakan besar-besaran dalam sejarah industri kehutanan di Indonesia. Pada awal tahun 2000, seorang pejabat senior Departemen Kehutanan mengakui bahwa industri pengolahan kayu telah diizinkan melakukan ekspansi tanpa mempertimbangkan kemampuan pasokan kayu yang tersedia, sehingga menyebabkan kelebihan kapasitas. Kegagalan memasok kayu secara resmi sebagian besar ditutupi dengan pembalakan illegal, yang telah mencapai proporsi epidemis.

Sampai disini, sudah jelas bahwa illegal logging adalah sebuah aktivitas kehutanan yang tidak saja merugikan secara lingkungan namun juga menciptakan sejumlah masalah besar lainnya baik dalam perannya dalam penghancuran sistem ekonomi maupun perannya sebagai pemicu konflik. Demikian halnya menjadi mustahil untuk menyangkal bahwa illegal logging adalah produk pokok masalah struktural di sektor kehutanan yang terus menyebar. Sejak tahun 2001 hingga 2006, diperkirakan angka kayu yang ditebang secara illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Jika dikalkulasi secara finansial, illegal logging tersebut menciptakan kerugian negara sebesar Rp. 27,9 trilyun setiap tahun sejak tahun 2001.

Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah menerapkan kebijakan operasi hutan lestari. Operasi hutan lestari ini dimaksudkan untuk mencegah pembalakan liar melalui pengawasan dari departemen Kehutanan. Operasi hutan lestari, meskipun mampu menekan keinginan orang untuk melakukan pembalakan secara liar namun dianggap belum mampu memenuhi target. Rata-rata setiap tahun, hanya 8 persen dari kayu yang tertebang secara illegal berhasil ditangkap. Dengan demikian kejahatan ini memang memerlukan konsentrasi yang tinggi untuk diselesaikan.

(18)

17

fenemona gunung es, realitas "illegal logging" dan illegal trade tentu saja lebih besar dari angka-angka resmi tersebut.

Praktek Illegal logging dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$ 1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumberdaya hutan.

Penebangan hutan secara illegal ini tentunya memerlukan penanganan secepatnya sebab penyelesaian kasus ini selalu berpacu dengan waktu. Deferostasi yang terus-menerus dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah, dan kalau sudah seperti itu tentu penanganannya akan semakin sulit. Penanganan tersebut bukan hanya bersifat represif namun juga bersifat preventif. Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan menginventarisasi persediaan keanekaragamanan hayati di hutan. Upaya inilah yang selanjutnya dikenal dengan prinsip ekolabeling. Inventarisasi yang dilakukan dengan ekolabeling memerlukan pengorganisasian yang solid, sebab walaupun hutan merupakan tanggung jawab negara namun hal tersebut tidak menutup akses bagi pihak swasta dan masyarakat untuk turut berpartisipasi. Praktiknya, ekolabeling ini kebanyakan dilakukan oleh pihak swasta baik yang bertujuan komersial maupun lembaga swadaya masyarakat.

Konstruksi Pemikiran Ekolabeling

Sejak tahun 1990 ekspor kayu lapis memberikan hasil devisa non migas kedua

terbesar setelah tekstil. Pada tahun 1993 hingga 1994 besarnya pangsa ekspor kayu lapis

terhadap total ekpor produk kehutanan adalah sebesar 70,8% dan terhadap total ekspor non

migas sebesar 17,5%. Peningkatan produksi dan volume ekspor kayu lapis Indonesia yang

cukup pesat memberikan sumbangan devisa yang sangat besar pula. Sejak tahun 1975

hingga 1986, kayu lapis hanya memberikan sumbangan sekitar 21,5 % dari total ekspor

hasil hutan, sekitar 5,3 % dari total ekspor Indonesia. Hingga tahun 1996 kayu lapis telah

memberikan sumbangan devisa yang cukup besar yaitu sekitar 70,7 % dari total ekspor hasil

hutan, 16,7 % dari nilai total ekspor Indonesia.16

16

(19)

18

Ekspor kayu lapis Indonesia pada 2010 ke Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah dan AS

diperkirakan naik 20% dibandingkan dengan realisasi ekspor 2009 sebanyak 3,1 juta ini.

Keyakinan itu mengacu pada peningkatan permintaan pasar internasional, terutama Jepang

yang menyerap 50% ekspor kayu lapis asal lndonesia. Harga pasar kayu lapis yang berlaku

di pasar internasional pada 2010, diprediksi berkisar pada US$ 500 hingga US$ 550/m.

Sebelum situasi krisis keuangan global, harga yang berlaku US$ 450 hingga US$500/m.

Produk kayu lapis nasional, katanya, sebenarnya mengalami peningkatan jika dibandingkan

2008 yang tercatat 3,6 juta m. Produk kayu lapis ekspor tercatat 3,1 juta rn, angka itu belum

termasuk produk kayu lapis yang dikonsumsi di dalam negeri yang jumlahnya 1,5 juta m.

Kalau melihat kapasitas kayu lapis yang diekspor pada 2009 tercatat 3.1 juta m memang

menurun jika dibandingkan ekspor kayu lapis 2008 yang tercatat 3,6 juta rn1.

Produksi kayu lapis nasional pada 2009 tidak turun karena sebagian hasil produksinya

sebesar 1,5 juta m1 dijual di dalam negeri. Banyak produsen yang memasarkan kayunya

untuk pasar domestik. Sementara itu, pemerintah hendaknya tidak hanya bersikap optimistis

akan terjadi kenaikan investasi. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah mempersiapkan

aturan tentang kemudahan ekspor dan memperbaiki kualitas ekspor kayu yang akan

diekspor. Permintaan pasar internasional terhadap kayu lapis Indonesia, tetap tinggi.

Namun, apakah hasil produksi kayu nasional memiliki daya saing di pasar internasional, itu

yang dipertanyakan. Perusahaannya setiap tahun memperoleh pesanan dari Amerika Serikat

sebesar 4.000 rn hingga 5.000 rn. Pada 2010 ada kenaikan permintaan hingga 6.000 in

Harganya pun masih lebih baik, bisa mencapai US$550. Daya saing kualitas kayu nasional

di pasar global, sebagian besar masih belum memenuhi standar yang ada.17

Menyimak dari data yang telah disajikan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa

sebenarnya kualitas kayu lapis Indonesia masih berada di bawah negara pengekspor kayu

lapis lainnya. Hal ini disebabkan karena pengkajian yang teliti dari negara pengimpor

mengenai asal-usul dari kayu lapis tersebut. Kayu lapis di Indonesia disinyalir berasal dari

hutan produksi yang tidak ramah lingkungan, sementara itu isu global yang semakin

berkembang membawa kecenderungan bagi negara pengimpor untuk membeli kayu dari

negara yang penghasil yang ramah lingkungan.

Ekspor kayu kini juga dihadapkan dengan tingginya angka illegal logging. Buruknya

pola penanganan konvensional oleh pemerintah sangat mempengaruhi efektivitas penegakan

17 Erwin Tambunan (Bisnis Indonesia), 2010, “ Ekspor kayu lapis 2010 akan naik 20%”,

(20)

19

hukum. Pola penanganan yang hanya mengandalkan 18 instansi sesuai ketentuan dalam

Inpres No.4 Tahun 2005 tentang pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan

hutan dan peredarannya di seluruh wilayah republik Republik Indonesia, dalam satu mata

rantai pemberantasan illegal logging turut menentukan proses penegakan hukum, di

samping adanya indikasi masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia akibat dari sistem

politik dan ekonomi yang korup. Kekebalan para dalang / mastermind/ aktor intelektual/

backing/ pemodal/ pelaku utama terhadap hukum disebabkan adanya keterlibatan oknum

aparat penegak hukum menjadi dinamisator maupun supervisor dan sebagian bahkan

menjadi ‘backing’ bisnis ini. Besarnya uang yang beredar sekitar US$1.3 milyar

(WWF/World Bank, 2005), serta banyaknya pihak yang turut menikmati hasil bisnis ilegal

ini, punya andil yang cukup besar untuk mempengaruhi proses kegagalan dalam

penanganan kejahatan kehutanan seperti illegal logging.

Penebangan liar menjadi isu politik utama tidak hanya di Indonesia tetapi juga di

beberapa negara importir seperti Jepang dan Inggris. Salah satu perusahaan pengolahan

kayu terbesar di Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), baru-baru ini didesak untuk

membersihkan praktik penebangan liar setelah sebuah konsumen dari perusahaan besar di

Jepang memperingatkan bahwa mereka mungkin akan berhenti membeli kayu lapis dari

perusahaan tersebut. Pada perjanjian awal dengan World Wild Fund for Nature (WWF),

APP telah memperuntukkan 58.500 hektare dari area konsesinya di Riau untuk area

konservasi dan berjanji berbuat sebaik mungkin untuk menghentikan penebangan liar di

areal mereka. Pada bulan Juni 2003, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan yang

melarang impor produksi kayu dari Indonesia yang berasal dari penebangan liar. Larangan

tersebut akhirnya kini telah dicabut.18

Buruknya pola penegakan hukum dalam menjerat pelaku illegal logging selama ini,

semakin mendorong peran CSO yang selama ini memberi perhatian terhadap maraknya

tindak pidana illegal logging di Indonesia. Perlu adanya pergeseran yang drastis dalam pola

penanganan tindak pidana illegal logging. Strategi tersebut bisa berupa strategi penanganan

bersama antara CSO yang selama ini melakukan investigasi di lapangan dan aparat penegak

hukum yang berwenang. Baik itu dari segi pendekatan hukum, peningkatan kapasitas aparat

maupun keterlibatan masyarakat/ CSO untuk menjerat mastermind pelaku illegal logging.19

18

Ibid. 19

(21)

20

Berdasarkan hasil analisis organisasi non pemerintah FWI dan GFW, dalam kurun

waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total

tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di

Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan

sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta

keuntungan pribadi.

Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak

dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan

hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta

hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan

sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang

sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun

2010.

Peningkatan kualitas ekspor kayu, maraknya illegal logging yang berakibat pada

deforestasi hutan memerlukan suatu manajemen penataan hutan yang profesional.

Berdasarkan hal tersebut maka dipopulerkanlah istilah ekolabeling melalui suatu lembaga

ekolabel. Pada tahun 2003, Lembaga Ekolabel Indonesia kemudian ditunjuk untuk

memprakarsai penyusunan definisi “Kayu Sah”. Melalui serangkaian pertemuan yang alot,

kemudian ditemukan definisi sah tidaknya kayu. “Kayu disebut sah jika kebenaran asal

kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi

angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan

memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku.”

Persyaratan kayu yang legal sebagaimana dikemukakan oleh Lembaga Ekolabel

Indonesia merupakan dasar yuridis dari pengusahaan hutan. Kekayaan alam merupakan

modal pembangunan nasional sehingga perlu digali dan dimanfaatkan secara optimal.

Penggalian kekayaan tersebut harus dilakukan dengan pengusahaan hutan secara modern di

seluruh Indonesia. Pengusahaan secara modern ini akan memberikan hasil yang

sebesar-besarnya apabila dilaksanakan pada wilayah kerja yang cukup luas sehingga merupakan

proyek produksi dan industri hasil hutan. Pengusahaan hutan tidak hanya menjadi monopoli

Pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negaranya, tetapi keterlibatan pihak swasta juga

sangat diperlukan.

Pengusahaan hutan sangat diperlukan untuk membangun perekonomian bangsa dan

(22)

21

manfaat bagi kemakmuran rakyat dan senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya

alam hutan agar mampu memberikan manfaat yang terus menerus.

Ekolabeling Sebagai Bentuk Inventarisasi Hutan

Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonsesia Tahun 1945

menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari rumusan Pasal ini,

dapat dilihat bahwa kemakmuran rakyat merupakan tujuan akhir dari penggunaan kekayaan

alam sedangkan negara berfungsi sebagai pengelola bukan pemilik. Dengan demikian

negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan hutan. Dalam pengelolaan hutan ini,

negara dapat bekerjasama dengan lembaga pengelola atau perencanaan di bidang kehutanan

dalam menata manajerial dengan melibatkan badan-badan dunia. Tujuannya adalah untuk

mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management), seperti

International Tropical Timber Organization Forest Management yang diterapkan pada

tahun 2003.20

World Wide Fund for Nature (WWF), telah menyusun target pengelolan hutan

berkelanjutan untuk seluruh dunia, yang dimulai pada tahun 1995, dan Forest Stewardship

Council (FSC), suatu badan internasional yang dapat memberikan akreditasi dan memantau

program sertifikasi, dengan maksud untuk memberikan jaminan kepada pengusahaan

pengelolaan hutan agar kegiatannya sesuai dengan standar pengelolaan hutan berkelanjutan

dilakukan oleh lembaga ekolabeling.21

Kebutuhan akan hasil kayu semakin meningkat karena kayu merupakan sumber

pemenuhan bagi kebutuhan primer manusia yakni kebutuhan akan perumahan. Pengelolaan

terhadap jumlah dan optimalisasi penggunaan kayu ini perlu dilakukan secara tepat, cepat

dan terpadu. Oleh sebab itu lembaga-lembaga yang mengatur mengenai hasil hutan berupa

kayu mulai bermunculan. Salah satu lembaga trersebut adalah lembaga ekolabeling.

Lembaga ekolabeling ini dibentuk oleh negara-negara Barat atau negar-negara industri yang

ingin menekan negara-negara yang memiliki hutan tropis agar menghentikan pengambilan

aset hutan, karena pengambilan aset hutan yang tidak terkendali akan menimbulkan

kerusakan ekosistem.

20

Surna T, Djajadiningrat,Imam Hendargo Ismoyo dan Rijaluzaman, 1995, Ecolabeling dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, Pen. Rena Pariwara, Jakarta, hal. 1.

21

(23)

22

Berdasarkan hal tersebut maka tergambarkan bahwa kegunaan ekolabel adalah untuk

membantu konsumen membuat suatu pilihan, karena ekolabel memungkinkan adanya

perbandingan antara produk-produk sejenis. Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan

melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independen untuk menilai bahwa suatu

produk diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup.

Mengacu pada GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ekolabel didasarkan

pada non-diskriminasi dan atas dasar sukarela. Dasar sukarela menekankan bahwa sistem

sertifikasi bekerja atas dasar insentif pasar. Produsen ikut serta ketika melihat ada insentif

pasar sebagaimana WTP bagi produk-produk berlabel atau kesempatan untuk

mengembangkan pasaran baru atau mereka tidak melakukan ancaman boikot ketika tidak

mendapatkan insentif pasar. Pemilihan kategori produk memasukkan seluruh produk-produk

sejenis dan menerapkan standar-standar yang sama guna menghindari diskriminasi

perdagangan, hal ini mengacu pada Pasal 7 Kesepakatan Technical Barriers to Trade (TBT)

GATT. (LEI, 1994).22

Tahun 1997 hingga 1998 produk kayu lapis masih merupakan komoditas andalan.

Namun mengingat meningkatnya persaingan terhadap produk kayu lapis Indonesia, maka

produksi kayu lapis massal (raw plywood) diarahkan pada produk kayu lapis yang sudah

diproses lebih ke hilir (processed plywood). Persaingan produk kayu-kayu tropis dengan

kayu non tropis akan semakin ketat, terlebih dengan diberlakukannya ekolabeling yaitu

penggunaan label terhadap produk yang ramah lingkungan.23 Produk-produk yang dapat

diterima di pasaran, terutama di pasar internasional adalah produk yang dihasilkan dari

pengelolaan hutan yang ramah lingkungan. Dengan demikian penerapan ketentuan

ekolabeling dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan merupakan suatu proses yang perlu

terus dikembangkan.

Meningkatnya persaingan produk kayu-kayu tropis terhadap kayu non tropis dan

bahan substitusinya menuntut pengusaha kehutanan untuk mencari peluang-peluang pasar

yang baru. Untuk itu perusahaan kehutanan harus meningkatkan kualitas, efisiensi,

diversifikasi pasar dan diversifikasi produk dalam menghadapi persaingan tersebut. Selain

kayu lapis, produk pulp dan kertas, produk kayu olahan lanjutan lainnya, hasil hutan non

kayu seperti gondorukem, lak dan jasa juga menjadi komoditas andalan karena

22

Muhlasin, 2008, “ Ekolabeling, Strategi Bisnis Jitu Peduli Hutan”, http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com, diakses pada 3 Januari 2012.

23

Suara Pembaruan, 2009, “Produk Kayu Lapis Masih Jadi Komoditas

(24)

23

menunjukkan permintaan yang meningkat. Oleh karena itu para pengusaha juga harus

memperhatikan komoditas itu.

Diingatkan, walaupun boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan dalam

kesepakatan internasional, tetapi ternyata masih ada kelompok masyarakat dan walikota

yang tetap memboikot, antara lain di Jermandan Belanda. Oleh karena itu untuk pasaran

Eropa tahun 1997 hingga 1998 perlu diarahkan pada pasaran negara-negara yang

masyarakatnya tidak memboikot. Seperti telah diketahui, dalam kesepakatan internasional

yang telah dicapai dalam sidang International Tropical Timber Organization (ITTO) 1996

yang berkaitan dengan ekolabeling dan perdagangan bebas, tindakan-tindakan unilateral

(sepihak) seperti boikot terhadap kayu tropis tidak dibenarkan.

Permasalahan yang menyangkut perdagangan kayu tropis harus diselesaikan secara

multilateral, bahkan perlu adanya tindakan-tindakan konkrit yang mendorong peningkatan

pasaran kayu tropis. Selain itu tidak dibenarkan membedakan perlakuan antara kayu tropis dan

kayu non tropis (non discriminatory treatment). Untuk hal ini telah diputuskan dalam

sidang-sidang pendukung Intergovernmental Panel on Forest (IPF) tahun 1996.

Mengenai pelaksanaan ekolabeling harus disesuaikan dengan keadaan masing-masing

negara serta harus disepakati antara negara produsen dan konsumen. Sedangkan target tahun

2000 yang telah diputuskan dalam sidang ITTO tahun 1992 adalah menyangkut pengelolaan

hutan secara lestari atau Sustainable Forest Management (SFM), di mana kriteria dan indikator

SFM perlu disusun dan dilaksanakan. Ekolabeling sangat penting dan dibutuhkan oleh

Indonesia. Karena sebagai anggota International Tropic Timber Organization (ITTO) yang

berkedudukan di Yokohama, Indonesia telah sepakat untuk melaksanakan ekolabeling produk

kehutanan mulai tahun 2000.

Organisasi kayu tropis dunia (ITTO) yang terdiri dari negara produsen dan konsumen

kayu tropis telah menetapkan pemberlakuan ekolabel mulai tahun 2000. Artinya mulai

tahun itu seluruh kayu tropis yang diperdagangkan di dunia internasional harus berasal dari

hutan yang dikelola secara lestari. Selama beberapa waktu ini, telah disusun tolak ukur

pengelolaan hutan yang berwawasan lingkungan, yaitu apakah hutan dikelola secara

berkelanjutan, apa dampak pengelolaan tersebut terhadap lingkungan, keanekaragaman

hayati, erosi sungai dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah apa dampak pengelolaan

hutan itu terhadap masyarakat sekitar hutan, apakah bermanfaat atau tidak.24

24

(25)

24

Tujuan dari pelaksanaan ekolabeling di Indonesia semula memang untuk menjaga

kelestarian hutan tanaman khususnya tanaman Jati di pulau Jawa yang semakin menipis.

Dengan pemberlakuan sertifikasi yang persyaratannya sangat ketat, diharapkan pencurian

kayu Jati di pulau Jawa bisa teratasi. Perhutani sendiri mulai menjadi anggota SmartWood

sekitar tahun 1990 lalu. Pada awalnya semua kawasan hutan tanaman Perhutani disertifikasi.

Namun sekitar tahun 1996-1997 dilakukan perubahan kebijakan dari Rainforest Alliance,

yaitu sertifikasi diberikan pada tingkat KPH akibat tidak konsistennya kinerja antar KPH

dalam sistem Perhutani. Selain Perhutani, di Jateng juga terdapat 32 pengusaha sekaligus

eksportir kayu juga menjadi anggota SmartWood. Semula proses kerjasama antara

pengusaha sekaligus eksportir kayu, Perhutani dan pihak Rainforest Alliance berjalan lancar

dan saling pengertian. Sehingga pihak Rainforest Alliance juga memberikan kepercayaan

besar kepada anggotanya untuk mencetak sendiri label SmartWood dengan memberikan

master label SmartWood kepada para pengusaha bersangkutan. Ini dilakukan mengingat

terbatasnya jumlah personil Rainforest Alliance yang berada di Indonesia. (Kedaulatan

Rakyat, 2001-09-20)25

Lembaga ekolabeling Indonesia berfungsi untuk menilai implementasi

prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan atau lestari (hutan alam dan hutan produksi) dengan

pemberian sertifikat ekolabel pada produk hasil hutan untuk menjamin bahwa pengelolaan

hutan memenuhi standar tertentu. Produk terbuat dari kayu yang berasal dari pengelolaan

hutan berkelanjutan, dan proses produksi hutan berkelanjutan. Standar pengelolaan hutan

berkelanjutan merupakan baku mutu yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan untuk

memperoleh sertifikat ekolabel.

Sertifikat ekolabel di bidang perkayuan adalah suatu cara untuk memberikan

informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan kepadanya dalam

bentuk sertifikat ekolabel yang menunjuk bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari

konsesi hutan yang dikelola secara berkelanjutan. Fungsi lembaga ekolabel ini adalah

menilai penerapan sistem pengelolaan hutan yang berdasarkan prinsip kelestarian

lingkungan hidup yang secara langsung dikaitkan dengan nilai tambah pedagang kayu.26

Sertifikasi adalah suatu proses pembuktian independen bahwa manajemen hutan telah

mencapai tingkatan yang diisyaratkan oleh suatu standar tertentu. Pada beberapa kasus, bila

25

Redaksi,___, “Ekolabel, Akibatkan Maraknya Pencurian Kayu”,

http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2130, diakses pada 3 Januari 2012. 26

(26)

25

digabungkan dengan suatu rangkaian sertifikasi perlindungan, sertifikasi memungkinkan

aliran produk dari suatu hutan tertentu yang telah memiliki sertifikat diberi ecolebel.

Sertifikasi telah berkembang dengan luas sebagai respons terhadap konsensus internasional

bahwa manajemen hutan lestari merupakan persoalan yang sangat signifikan. Keberhasilan

sangat tergantung kepada para konsumen, investor dan pihak-pihak lain yang menyediakan

insentif bagi manajer hutan untuk menerapkan manajemen hutan lestari, dengan memilih

mebeli produk-produk dari dan menanamkan investasi pada hutan-hutan yang dikelola

dengan baik. Ada dua faktor penting agar proses sertifikasi dapat dipercaya:

a. Isi standar sertifikasi harus dipublikasikan untuk masyarakat dan diterima secara luas. b. Lembaga sertifikasi (pemberi sertifikasi) harus terbukti independen dan memiliki

kemampuan untuk menunjukkan bahwa konsumen benar-benar memenuhi standar.27

Sektor kehutanan dan industri kayu serta sektor-sektor pendukung lainnya telah

memberikan kontribusi yang nyata terhadap GDP dan penyerapan tenaga kerja serta

peningkatan devisi negara. Andil kehutanan dan industri kehutanan terhadap GDP telah

mengingkat secara signifikan dari 4 % tahun 1980an menjadi 8,7 % pada pertengahan tahun

1990. Perkembangan penyerapan tenaga kerja lokal dan luar negeri yang langsung dan tidak

langsung terkait dengan berbagai industri perkayuan seperti industri pulp dan paper,

furniture, kayu gergajian dan kayu lapis diuraian secara detail dengan data-data yang utuh

dan lengkap.

Penerapan sertifikasi dan ekolabeling bagi produk-produk kayu industri kehutanan

dibahas berkaitan dengan prosedur dan teknis penilaiannya serta lembaga-lembaga

independen penilainya (LEI dan FSC).Ada beberapa kebijakan terkait dengan pengelolaan

hutan lestari yang dapat dicapai melalui pertumbuhan dan pemerataan, diantaranya:

a. memperbaiki efisiensi pemanfaatan sumber daya,

b. mendorong daya saing (kompetisi) untuk pasokan bahan baku,

c. melaksanakan rehabilitasi hutan dan mendorong partispasi kelompok-kelompok kepentingan dalam pengelolaan hutan lestari,

d. menerapkan secara konsiten sertifikasi hutan dan ekolabeling, dan

e. pemerintah daerah sebagainya menerima proporsi yang lebih besar terhadap pendapatan dan royalti yang dikumpulkan pemerintah.28

Semua produk kehutanan dari Indonesia yang akan diekspor ke Jepang harus

mempunyai sertifikat dari Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI). Kebijakan ini diambil

pemerintah Jepang melalui Kementerian Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Jepang dalam

27

Supriadi, 2010, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 35.

28

Subarudi,___, “Forestry and Wood Industry on The Move”,

(27)

26

rangka memperketat pengawasan terhadap kegiatan penebangan liar dan ekspor-impor

produk hutan yang akan mulai berlaku pada April tahun depan.

Kebijakan ini diambil Jepang setelah pada pertemuan G8 di Inggris, Pemerintah Jepang

menyatakan akan melakukan pengawasan terhadap penebangan liar (illegal logging) yang

terjadi di Jepang maupun di luar Jepang yang berkaitan dengan ekspor produk kayu ke Jepang.

Indonesia mengekspor produk-produk yang terkait dengan kehutanan ke Jepang berupa kayu

dan produk kayu, kertas dan produk kertas, serta pulp dari kayu, yang pada tahun 2004 nilainya

mencapai USD1,35 milliar.29 Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) menentang penghentian

penebangan kayu, karena sulit dipertanggungjawabkan secara ekonomi, ekologi dan sosial.

Kalau penghentian penebangan kayu diberlakukan, Indonesia akan mengalami krisis neraca

perdagangan karena harus mengimpor bahan baku kayu, sehingga ekspor barang yang berbahan

baku kayu Indonesia menurun sekitar US$ 5 miliar.30

Salah satu komponen perencanaan kehutanan yang memegang peranan penting dalam

mencegah terjadinya kerusakan hutan adalah kegiatan inventarisasi hutan. Secara teknis

inventarisasi kegiatan kehutanan menurut Abubakar M. Lahjie adalah membentuk dasar untuk

manajemen hutan lestari. Inventarisasi ini merupakan penilaian kuantitas dan kualitas sumber

daya hutan yang btersedia untuk manajemen. Inventarisasi sumber daya hutan pada alam

dilakukan untuk menilai sumber daya kayu, hasil hutan nir kayu, seperti perambat,

buah-buahan, kacang-kacangan, bambu dan satwa liar.

Dalam melakukan inventarisasi hutan perlu mengetahui manfaat yang terdapat dalam

inventarisasi. Pelaksanaan inventarisasi umumnya berarti pengukuran pohon-pohon (walaupun

mungkin juga mencakup hasil hutan nir kayu dan aspek-aspek lain, tergantung pada informasi

yang diperlukan). Suatu sampel pohon diukur dan hasil-hasil pengukuran tersebut di

diekstrapolasikan atau dijadikan dasar untuk mengestimasi pohon-pohon lainnya di hutan

tersebut dengan mempertimbangkan tipe dan luas. Pengambilan sampel dari proporsi pohon

yang cukup besar untuk mewakili seluruh hutan dengan akurat akan memerlukan biaya yang

mahal. Tergantung pada sasaran inventarisasi mungkin saja untuk menghimpun informasi yang

sama pentingnya dari sumber-sumber lain seperti informasi yang bermanfaat dapat dihimpun

29

Redaksi, 2005, ” Ekolabeling ke Jepang”,

ht t p:/ / w w w .fkkm.org/ Wart a/ index2.php?t erbit an=noe& act ion=det ail8& page=13#t op& lang=ind, diakses pada 3 Januari 2012.

30

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan data hasil belajar serta keaktifan siswa yang meningkat dari kondisi awal ke siklus I kemudian ke siklus II maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran materi

[r]

Dengan demikian, untuk meningkatkan harga teh hitam Indonesia maka industri teh harus mengetahui penilaian pasar yang terlihat dari kesediaan membayar (willingness to

Untuk itulah LDK AL Azzam Universitas Budi Luhur mengadakan suatu kegiatan Rangkaian Milad LDK Al Azzam dengan tema : “Al Azzam Evolut10n to Glory of Islam” yang diharapkan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Balai Agung Sekayu tentang hubungan antara pemberian susu formula dengan kejadian diare pada anak usia 0-24

[r]

2 Angket Siswa Mengetahui keefektifan pembelajaran IPA terpadu berbasis inkuiri terbimbing menggunakan conceptual metaphors.. Setelah pembelajaran

China membidik Asia Selatan, Asia Tengah dan wilayah timur laut Asia, dengan menawarkan konsep kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan bilateral (Hwang dan