• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review Makalah Paradigma Ilmu Sosial Bud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Review Makalah Paradigma Ilmu Sosial Bud"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

Review: Makalah Paradigma Ilmu Sosial Budaya

- Sebuah Pandangan

Oleh: Prof. Dr. Heddy Sri-Ahimsa Putra, M.A,

Disusun oleh:

Reza Pahlevi

NIM: 17/419215/PSA/08177

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada

(2)

2

Berdasarkan hal yang dapat saya simpulkan dari tulisan ini, apa yang disampaikan

Ahimsa Putra merupakan sebuah refleksi dalam sebuah karya oleh Thomas Kuhn melalui

pemikirannya dalam tulisan The Structure of Scientific Revolution, terbitan Chicago

University of Chicago Press, Second Edition, Enlarge, 1970, yang telah menampilkan kali

pertama sebuah istilah yang disebut sebagai ‘paradigma’ dalam ilmu pengetahuan.

Dalam tulisan ini, kemunculan pandangan tentang paradigma diasumsikan bahwasanya

adanya perubahan dalam ilmu pengetahuan didasarkan atas paradigma atau sebuah

kerangka pemikiran tentang cara memandang sebuah permasalahan.

Semenjak itu terjadilah perbincangan rumit dari berbagai kalangan ilmuwan dalam

merespon pemikiran Thomas Khun. Adapun obyek utama dari perdebatan ini terkait

dengan sebuah konsep yang di sebut dengan “paradigma” yang direfleksikan oleh Khun,

masih dirasa secara eksplisit belum menemukan titik terang terkait kejelasan dalam

mendefinisikan apa yang dimaksud dengan paradigma, dilihat dari beragamnya istilah

yang digunakan sehingga muncul tidak-konsistenan dalam memahami aspek yang

penting terhadap pengembangan narasi dari ilmu pengetahuan. Sehingga Ahimsa Putra

mencoba untuk menguraikan kembali apa yang dimaksud dengan paradigma maupun

komponen yang mencakup di dalamnya.

Dari pandangan tentang paradigma ini, bagi Ahimsa Putra guna memahami

tentang Paradigma dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan

satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk

memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi

(Ahimsa-Putra, 2009: 2). Dilihat secara harfiah, paradigma dapat dikatakan sebagai

sebuah kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran dibutuhkan untuk memahami fenomena

yang terlihat nampak di sekitar kita.

Dalam melihat sebuah kerangka pemikiran/paradigma, diperlukan sejumlah

komponen-komponen konseptual . Menurut (Ahimsa-Putra, 2009: 3) , ada 9 (sembilan)

unsur dalam sebuah paradigma, yaitu: (1) asumsi-asumsi/anggapan-anggapan dasar

(basic assumptions); (2) nilai-nilai (values); (3) model-model (models); (4) masalah yang

diteliti/yang ingin dijawab; (5) konsep-konsep pokok (main concepts, key words); (6)

metode-metode penelitian (methods of research); (7) metode-metode analisis (methods

of analysis); (8) hasil analisis/teori (results of analysis/theory); dan (9) representasi

(3)

3

Adapun Asumsi-asumsi/anggapan-anggapan dasar (basic assumptions) menurut

(Ahimsa-Putra, 2009: 4) sebagai komponen awal dapat dinilai sebagai suatu

pandangan-pandangan mengenai suatu hal (baik itu terkait kebendaan, ilmu pengetahuan dan

sebagainya) yang tidak dipertanyakan lagi kebenarannya atau sudah diterima

kebenarannya. Anggapan-anggapan ini bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan

filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-penelitian empiris yang canggih, bisa pula

dari (c) pengamatan yang seksama.

Untuk komponen kedua yakni Nilai-nilai (values) dapat didefinisikan sebagai

kriteria/patokan untuk menentukan baik atau buruk, bermanfaat atau tidak bermanfaat,

benar atau salah sesuatu. Nilai-nilai selalu ada di setiap cabang ilmu, tetapi rumusan,

penekanan, dan keeksplisitannya berbeda-beda (Ahimsa-Putra, 2009: 5). Nilai yang baik

berkenaan dengan ilmu pengetahuan contohnya adalah, “ilmu pengetahuan dianggap baik apabila memberikan manfaat yang berarti. Dalam paradigma, unsur yang mencakup

tentang nilai setidaknya terdiri dari beberapa hal, yakni a) ilmu pengetahuan, (b) ilmu

sosial-budaya; (c) penelitian ilmiah; (d) analisis ilmiah; (e) hasil penelitian. Nilai-nilai ini

ada di setiap cabang ilmu pengetahuan namun rumusan/penekanannya berbeda, hal

tersebut dipengaruhi nilai-nilai dari budaya masyarakat tempat ilmuwan menjalankan

aktivitas keilmuan.

Lalu pada unsur ketiga yang membentuk paradigma, terdapat Model-model

(models), dimana model-model dapat diartikan sebagai perumpamaan, analogi, maupun

kiasan tentang gejala yang dipelajari. Sebagai perumpamaan dari suatu kenyataan,

sebuah model bersifat menyederhanakan (Inkeles, 1964 dalam Ahimsa-Putra, 2009: 7).

Secara empiris dalam melihat gejala sosial budaya yang kadar kompleksitasnya memang

dirasa tinggi, perlu adanya model-model yang ditujukan untuk menyederhanakan

kompleksitas tersebut. Sehingga harapan yang ingin dicapai, adanya sebuah gejala yang

terlihat akan dapat terangkum untuk kemudian dipelajari dengan cara/metode tertentu

dengan cara yang tepat.

Model terbagi menjadi dua, yaitu model utama (primary model) dan model

pembantu (secondary model). Model utama dinilai lebih dekat dengan asumsi dasar,

berupa uraian/kata-kata maupun gambaran yang berguna untuk mengarahkan peneliti

dalam mempelajari sebuah gejala, sehingga model utama sudah semestinya ada

sebelum seorang peneliti melakukan penelitiannya. Sedangkan model pembantu

(4)

4

muncul dalam hasil analisis oleh ilmuwan setelah melakukan serangkaian aktivitas

penelitian.

Model dapat dinilai sebagai persamaan-persamaan tertentu antara fenomena

yang satu dengan lainnya, yang mengarahkan ilmuwan guna menentukan pola model

tertentu yang berarti ke arah gejala yang dipelajari. Keberadaan model secara umum

disampaikan dalam bentuk pernyataan yang bersifat perumpamaan atau biasa berupa

kata “seperti”, misalnya: “kebudayaan seperti organisme/makhluk hidup”.

Selanjutnya unsur keempat sebagai penyusun paradigma yakni, masalah yang

diteliti/yang ingin dijawab. Masalah dapat diartikan sebagai suatu pertanyaan yang ingin

dijawab/ hipotesa yang ingin diuji kebenarannya, dikarenakan setiap paradigma memiliki

masalah-masalahnya tersendiri yang berkaitan dengan asumsi dasar dan nilai-nilai,

sehingga rumusan masalah harus dipersiapkan secara matang saat mengawali sebuah

penelitian.

Suatu penelitian akan selalu berawal atas kebutuhan untuk: (1) memperoleh

jawaban dari serangkaian pertanyaan dan (2) sebagai alat dalam menguji hipotesa yang

terbentuk atas dugaan-dugaan pernyataan tertentu secara empiris. Secara harfiah

hipotesa menyimpan asumsi dasar berkaitan dengan gejala maupun tujuan yang akan

diteliti. Dari merumuskan pertanyaan maupun hipotesa secara tidak langsung akan

membentuk asumsi-asumsi dasar yang ditujukan untuk mengarahkan kita dalam bertanya

maupun membuat hipotesa, darinya juga akan memungkinkan kita untuk mengenal

serangkaian model-model yang ditujukan untuk kita mempelajari suatu gejala sosia

(Ahimsa-Putra, 2009: 8).

Adapun komponen kelima dari paradigma yaitu konsep-konsep pokok (main

concepts, key words). Konsep-konsep pokok dapat diartikan sebagai istilah/kata-kata

yang diberi makna tertentu, sebagai acuan untuk menafsirkan, menganalisis,

menjelaskan serta memahami sebuah gejala sosial yang tengah diteliti (Ahimsa-Putra,

2009: 9). Adanya konsep yang terbentuk dalam perkembangan ilmu sosial budaya sudah

semestinya dibuat batasan/definisi, sekalipun tidak ada satupun darinya yang dianggap

paling benar. Maka dari itu sebuah konsep yang baik adalah konsep yang mampu

mengarahkan ilmuwan untuk memahami, mempelajari, serta menjelaskan gejala objek

(5)

5

Sehingga hal pertama yang perlu dilakukan ilmuwan dalam merumuskan definisi

harus sudah melakukan kajian pustaka secara menyeluruh dengan harapan untuk

menghubungkan berbagai rangkaian definisi terkait dengan konsep-konsep yang berguna

dalam keberlangsungan penelitiannya. Dan di saat melakukan kajian pustaka ini

didapatkan definisi-definisi konsep yang dalam sudut pandang seorang ilmuwan masih

tidak sesuai dapat membuat definisi tersendiri yang dirasa lebih relevan akan penelitian

yang tengah dikaji. Hal tersebut bisa menjadi landasan teoritis dalam merumuskan

sebuah definisi baru yang lebih sesuai, dan secara tidak langsung ilmuwan sudah

memperbaharui konseptual terkait gejala-gejala sosial budaya yang dipelajarinya.

Kemudian komponen ke enam dari penyusunan paradigma, adanya

metode-metode penelitian (methods of research). Adanya penelitian menurut (Ahimsa-Putra,

2009: 12) dapat diartikan sebagai sebuah aktivitas dalam rangka “pengumpulan data”,

baik itu metode penelitian kualitatif maupun kuantitatif dapat berarti metode atau tata cara

memperoleh, adapun metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk

memperoleh, mengumpulkan data. Terdapat berbagai alternatif mengumpulkan data, dan

dalam pemilihan metode pengumpulannya akan bergantung pada jenis data seperti apa

yang diperlukan.

Secara umum dalam penelitian yang kita dalami terdapat “metode penelitian

kuantitatif” dan “metode penelitian kualitatif” yang umumnya digunakan terhadap proses

pengumpulan data. Pada dasarnya, tidak ada pemisah yang terlihat di antara “metode

penelitian kuantitatif” dengan “metode penelitian kualitatif”, dikarenakan pada dasarnya yang bersifat kuantitatif dan kualitatif bukanlah metodenya, melainkan datanya. Dari

adanya perbedaan sifat inilah yang memunculkan perbedaan tata cara dalam proses

mengumpulkan data, sehingga akan lebih tepat jika menggunakan istilah “metode

pengumpulan data kuantitatif” dan “metode pengumpulan data kualitatif” sehingga

metodelah yang harus menyesuaikan terkait sifat data seperti apa yang akan

dikumpulkan.

Kemunculan data dibentuk berdasarkan realita selanjutnya direpresentasikan

sebagai fakta. Realita adalah segala sesuatu yang dianggap ada. Realita dinilai memiliki

sifat yang relatif, karena segala sesuatu yang dianggap ada oleh seseorang belum tentu

dianggap ada oleh orang lain. “Ada” di sini tidak harus bersifat empiris, tetapi bisa juga bersifat logis, misalnya Malaikat atau segala bentuk hal ghaib atau tercermin dalam

konteks metafisik, secara tangkapan indra yang ada dalam tubuh tentu tidak akan menilai

(6)

6

segala variabel pada konteks metafisik ini tumbuh dan berkembang di dalam pikiran

manusia.

Adapun fakta dapat dianalogikan sebagai bagian dari pernyataan tentang

realita/representasi yang diciptakan oleh manusia. Fakta bersifat subjektif karena

dihasilkan lewat sudut pandang orang tertentu. Suatu realita yang sama bisa saja

dikemukakan dengan cara yang berbeda. Di lain pihak, fakta bersifat objektif karena

didasarkan pada suatu realita. Hal tersebut akan berimplikasi pada sebuah pernyataan

yang dinilai tidak didasarkan pada suatu realita sudah tentu tidak dapat dikatakan sebagai

fakta. Selanjutnya, fakta ini dapat menjadi data, tetapi tidak semua fakta adalah data.

Data adalah fakta yang relevan atau terkait dengan masalah yang diteliti dan

terkait pula dengan kerangka teori atau paradigma yang digunakan untuk menjawab

masalah tersebut. Dengan kata lain, data adalah kumpulan fakta yang telah dievaluasi

berdasarkan relevansinya diteliti (Ahimsa-Putra, 2009: 13). Data dalam suatu penelitian

bisa berupa kuantitatif, kualitatif, ataupun keduanya (campuran). Data kuantitatif

menunjukkan jumlah atau besaran dari suatu gejala, sehingga datanya berupa kumpulan

simbol (angka atau huruf disertai pernyataan). Sedangkan data kualitatif menunjukkan isi,

ciri, sifat, keadaan dari suatu gejala, atau hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang

lain, sehingga datanya berupa pernyataan-pernyataan.

Perbedaan jenis data menyebabkan pengumpulan datanya berbeda pula. Telah

disebutkan di atas bahwa terdapat dua metode pengumpulan data, yaitu metode

pengumpulan data kuantitatif dan metode pengumpulan data kualitatif. Dalam metode

pengumpulan data kuantitatif terdapat: (1) metode kajian pustaka; (2) metode survey; dan

(3) metode angket. Sedangkan dalam metode pengumpulan data kualitatif terdapat: (1)

metode kajian pustaka; (2) metode pengamatan; (3) metode pengamatan berpartisipasi;

(4) metode wawancara sambil lalu; (5) metode wawancara mendalam; dan (6) metode

mendengarkan.

Sedangkan skema dari data kuantitatif bisa dilihat berdasarkan (1) luas “wilayah,

kampung, lahan, dsb”, (2) jumlah “penduduk, aset, angka kelahiran, dsb” (3) berat “badan, kandungan karat, hasil panen”, lalu komponen dari data kualitatif terdiri dari (1) nilai, pandangan hidup, norma, aturan, (2) kategori sosial-budaya (3) ceritera, percakapan (4)

(7)

7

Komponen paradigma yang ketujuh yakni metode-metode analisis (methods of

analysis). Metode analisis data secara harfiah adalah cara untuk memilah atau

mengelompokkan data agar dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data

yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana halnya dengan metode penelitian,

metode analisis kuantitatif dan metode analisis kualitatif harus diartikan sebagai metode

menganalisis data kuantitatif dan metode menganalisis data kualitatif (Ahimsa-Putra,

2009: 15).

Adanya metode analisis data kualitatif memang ditujukan untuk menemukan

persamaan dan perbedaan dalam data kualitatif, dan ini hanya dapat dilakukan apabila

konsep-konsep teoritis yang digunakan didefinisikan dengan baik.dalam metode analisis

yang paling perlu diperhatikan adalah tujuan akhir dari kerja analisis. Output yang

diperoleh dapat berupa jawaban dari pertanyaan yang dikemukakan. Meskipun ada

berbagai macam jenis metode analisis, namun secara umum tujuan akhir analisis adalah

menetapkan hubungan antara suatu variabel/gejala/unsur tertentu dengan

variabel/gejala/unsur yang lain. tujuan akhir analisis adalah menetapkan

hubungan-hubungan antara suatu variable/gejala/unsur tertentu dengan variable/gejala/unsur yang

lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di situ. Dengan demikian kita dapat

menilai sendiri apakah analisis yang dilakukan telah mencapai hasil yang diinginkan.

Oleh karena itu, harus diperhatikan pertanyaan yang dikemukakan karena dari

pertanyaan itu bisa ditentukan penggunaan paradigmanya. Paradigma ini kemudian

menentukan metode analisis data, dan metode analisis data akan menentukan corak hasil

analisis atau teori. Masing-masing paradigma memiliki teori yang berbeda, sehingga

setiap paradigma juga memiliki perbedaan dalam metode analisis data.

Selanjutnya pada komponen kedelapan dari penyusun paradigma yakni hasil

analisis/teori (results of analysis/theory). Analisis data yang dilakukan dengan baik dan

tepat akan menghasilkan suatu “kesimpulan” atau hasil analisis. Hasil analisis ini harus

menyatakan relasi antarvariabel, antarunsur, atau antargejala yang diteliti. Hasil analisis

yang berupa pernyataan-pernyataan tentang hakekat gejala yang diteliti inilah yang

kemudian disebut sebagai teori, sehingga teori dapat didefinisikan sebagai pernyataan

mengenai hakekat sesuatu (gejala yang diteliti) atau mengenai hubungan antar variabel

atau antar gejala yang diteliti, yang sudah terbukti kebenarannya (Ahimsa-Putra, 2009:

(8)

8

Jika cakupan penelitian memang dinilai luas, data yang dianalisis berasal dari

banyak masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang dikemukakan dapat memberikan

penjelasan yang berlaku umum (universal), melampaui batas-batas ruang dan waktu,

maka disebut sebagai teori besar (grand theory). Jika teori tersebut hanya ditujukan untuk

menjelaskan gejala tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dapat

disebut sebagai teori menengah (middle-range theory) (Merton dalam Ahimsa-Putra,

2009: 17). Jika teori tersebut hanya berlaku untuk gejala yang diteliti saja, yang terjadi

hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang diteliti, maka disebut sebagai teori kecil

(small theory). Jadi, setiap penelitian yang dilakukan dengan baik dan tepat pada

dasarnya akan menghasilkan satu atau beberapa teori baru atau menguatkan teori

tertentu yang sudah ada. Dalam ilmu sosial-budaya, seperti antropologi budaya, hasil

analisis/teori disajikan dalam etnografi.

(Nb: Untuk sumber Merton tidak disebutkan di daftar pustaka dalam makalah)

Sebagai komponen akhir dari sebuah paradigma, keberadaan representasi

(etnografi) dapat dilihat sebagai wadah penyajian dalam karya ilmiah yang memaparkan

relasi antara kerangka pemikiran, analisis, dan hasil analisis dari penelitian yang sudah

terjadi. Terkait kajian antropologi, representasi umumnya dibahasakan sebagai

karya/tulisan etnografi. Etnografi dapat diartikan sebagai tulisan yang dihasilkan dari

penelitian atas suatu masalah dengan menggunakan paradigma tertentu.

Dimasa kini oleh seorang antropolog, melalui penulisan etnografi dapat dijadikan

sebagai ranah guna merepresentasikan kebudayaan, sekaligus juga sebagai area untuk

merespon, mengkounter maupun melakukan kritik kebudayaan (Marcus dan Fischer,

1986 dalam Ahimsa-Putra, 2009: 18). Etnografi menjadi bagian yang tidak bisa

terlepaskan dalam sebuah kajian mengenai data kebudayaan dan teori, dimana keduanya

membentuk satu kesatuan yang utuh dan saling mendukung. Sebagai hasil akhir,

representasi/etnografi mencerminkan keseluruhan elemen yang ada dalam sebuah

paradigma.

Dalam pandangan Ahimsa Putra, tidak sama dengan prosedur penelitian.

Paradigma adalah sebuah kerangka pemikiran yang mendasari sekaligus mewujud dari

sebuah penelitian yang dilakukan dengan baik dan benar, sedangkan prosedur penelitian

atau tahapan penelitian merupakan pola-pola perilaku atau kegiatan yang berbeda-beda,

yang diwujudkan secara sistematis. Paradigma juga tidak sama dengan format proposal.

(9)

9

Penelitian”, sedangkan dalam proposal penelitian tiga unsur tersebut memang semestinya harus ada.

Berdasarkan penyusunan kerangka paradigma yang telah dirunut secara

sistematis pada pembahasan sebelumnya, adapun bagi Ahimsa Putra melihat

sekurang-kurangnya ada 15 paradigma yang ditemukan dalam perkembangan keilmuan sosial

budaya, antara lain yaitu:

1. Paradigma Evolusionisme (Evolutionism)

2. Paradigma Diffusionisme (Diffusionism)

3. Paradigma (Partikularisme) Historis (Historical Particularism)

4. Paradigma Fungsionalisme (Functionalism)

5. Paradigma Fungsionalisme-Struktural (Structural-Functionalism)

6. Paradigma Analisis Variabel (Variable Analysis)

7. Paradigma Perbandingan Kebudayaan (Cross-Cultural Comparison)

8. Paradigma Kepribadian dan Kebudayaan (Culture and Personality)

9. Paradigma Strukturalisme (Structuralism)

10. Paradigma Tafsir Kebudayaan (Interpretive)

11. Paradigma Materialisme Budaya (Cultural Materialism)

12. Paradigma Materialisme Historis (Historical Materialism)

13. Paradigma Aktor (Actor-Oriented Approach)

14. Paradigma Etnosains (Ethnoscience/Phenomenological)

15. Paradigma Post-Modernisme (Post-Modernism)

Berdasarkan penjelasan dalam makalah “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya sebagai

sebuah pandangan”, saya setuju terkait konsep paradigma Ahimsa-Putra yang menilai

bahwasanya paradigma adalah seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain

secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami,

menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi

(Ahimsa-Putra, 2009: 2). Adanya sebuah definisi terkait paradigma tersebut menurut saya berarti

sebuah gambaran dari konsep ini untuk dapat membentuk suatu kedudukan yang menjadi

acuan dalam membuka relasi keterkaitan yang solid antara berbagai komponen variabel

(10)

10

Berdasarkan hal inilah pemahaman terkait membangun sebuah kerangka

pemikiran yang dibentuk berdasarkan beberapa bagian komponen sehingga menciptakan

sebuah paradigma telah terstruktur secara sistematis dan akurat sehingga akan

memudahkan seorang ilmuwan dalam menyusun kerangka pemikiran terkait penelitian

ilmiah yang akan diambil.

Selanjutnya, terkait kutipan yang saya masih kurang jelas pada halaman ke 17 di

dalam makalah, dimana penulis mengutip teori yang disampaikan Merton dalam bahasan

penelitian yang menggunakan teori besar (grand theory), teori sedang (midle-range

theory) maupun teori kecil (small theory). Untuk sumber referensi penulisan, kutipan yang

dimaksudkan tidak saya temukan di bagian akhir termasuk tahun kapan teori itu

diterbitkan oleh Merton.

Sumber Referensi:

Heddy Shri Ahimsa Putra, Paradigma Ilmu Sosial Budaya: Sebuah Pandangan, Kuliah

Umum pada Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan

Referensi

Dokumen terkait

Upaya Perempuan Buruh Pabrik dalam Membentuk Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah (Analisis pada Perempuan Buruh Pabrik Tekstil di Desa Gunung Kecamatan Simo Kabupaten

Sehingga atas rahmat dan hidayah-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul POLITIK HUKUM PERKOPERASIAN DI INDONESIA (Studi Yuridis Atas Putusan Mahkamah

KENDARAAN PERKARA TILANG DAN PENYELESAIANNYA.. : JUMAT : 21

Untuk mendapatkan media perkecambahan sesuai dengan syarat tersebut, maka bahan media yang dapat digunakan adalah kertas buram, koran, kertas saring, tissue,

Transisi ion besi(II) dari spin rendah ke spin tinggi pada kompleks dengan tiga molekul hidrat (trihidrat) dan anion klorida berlangsung pada rentang temperatur 260–310 K

yang dapat dipraktikumkan, yaitu: penyaringan; rekristalisasi; destilasi; dan sublimasi. Keempat percobaan penyaringan; rekristalisasi; destilasi; dan sublimasi;

Televisi Republik Indonesia Sulawesi Tengah kurang memberikan penghargaan atau apresiasi atas kinerja dan prestasi karyawan dalam bekerja. TVRI Pusat Jakarta secara

Pemanfaatan arus pada penghantar netral untuk lampu LED dapat diterapkan dan beroperasi secara maksimal sehingga untuk masa yang akan datang maka sistem pemanfaatan energi