• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL YURE HUMANO DITERBITKAN OLEH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MPU TANTULAR JAKARTA Volume 2, Juli Desember 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL YURE HUMANO DITERBITKAN OLEH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MPU TANTULAR JAKARTA Volume 2, Juli Desember 2009"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JURNAL YURE HUMANO

DITERBITKAN OLEH FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MPU TANTULAR JAKARTA Volume 2, Juli–Desember 2009

DAFTAR ISI

Daftar isi... i

Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dan Kaitannya Dengan Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan

Purbandari ... 1 Hubungan Hukum Antara Pemegang Hak Pengelolaan Dengan Pihak Ketiga

Paulus Subandi ... 24 Hak Anak Atas Identitas Dan Kriteria Anak Sah Menurut Hukum

Mandus Marpaung ... 42 Wewenang Jaksa Agung Melakukan Pencegahan Yang Diduga Melakukan Tindak

Pidana

Lina Sutadi ... 56 Pemberantasan Perdagangan Orang

(3)

FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH

DAN KAITANNYA DENGAN PEMBEBASAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN

Purbandari

Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular

ABSTRACT

Social function of land rights is one of the principle of land law that provided for in Article 6 of the BAL states that "all rights to the land has a social function". Not just any property that has a social function, but all rights to the land referred to in Article 16 BAL has a social function. Therefore, although holders of land rights is authorized to use and utilize his property, but with the social function of land rights, it is not justified that the land is used (or not used) solely for their personal use. So if the public interest to the construction of wills took land rights, the holders of land rights should be let go or give up rights to land with the provision of adequate compensation, through the mechanism of release of land rights. For his research and writing is made and prepared by the method of juridical normative research that uses qualitative analysis of data derived from primary legal materials and secondary legal materials relating to the social function of land rights associated.

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang senantiasa memanfaatkan tanah, seperti berjalan, bepergian dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut bisa dilakukan walaupun seseorang itu sama sekali tidak memegang hak atas sebidang tanah dan tidak mengeluarkan biaya apapun untuk kegiatan tersebut dan tidak pernah dipungut biaya jika melintasi pekarangan orang lain, atau berjalan di kampung orang lain. Pemakaian tanah seperti itu dapat terjadi karena adanya asas ”fungsi sosial hak atas tanah”. Fungsi sosial hak atas tanah maksudnya setiap hak atas tanah dapat dimanfaatkan oleh orang lain kalau dibutuhkan, bukan hanya oleh pemiliknya

sendiri (Maria S.W. Sumardjono dan Martin Samosir, 2000 : 60-61).

Fungsi sosial hak atas tanah diatur dalam Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Bukan hanya hak milik saja yang mempunyai fungsi sosial, tetapi semua hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UUPA memiliki fungsi sosial. Dalam Pasal 6 UUPA tersebut dimuat suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi mendasar hukum tanah nasional. Sifat kebersamaan atau kemasyarakatan tersebut ada pada setiap hak atas tanah, karena secara

(4)

langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama. Hak atas tanah adalah hak yang diterima oleh perseorangan atau badan hukum selaku pemegang kuasa atas tanah” (Hasan Wargakesumah : 67). Hak atas tanah tersebut meliputi hak absolut dan hak relatif sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA yang menyatakan, sebagai berikut :

1. Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

2. Hak-hak atas tanah yang dimaksuk dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk

kepentingan yang bersangkutan

berhuhungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan buku yang lebih tinggi.

Menurut Pasal 16 Undang Undang tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), hak-hak atas tanah tersebut adalah : 1) Hak Milik; b) Hak Guna Usaha; c) Hak Guna Bangunan; d) Hak Pakai; e) Hak Sewa; f) Hak Membuka Tanah; g) Hak Memungut Hasil Hutan; dan h) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan

undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Berdasarkan ketentuan tersebut, walaupun pemegang hak atas tanah dapat

mempunyai kewenangan untuk

menggunakan dan memanfaatkan tanah miliknya, namun dengan fungsi sosial hak atas tanah, maka tidaklah dibenarkan bahwa tanahnya itu digunakan (atau tidak digunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau itu merugikan masyarakat. Fungsi sosial atas tanah menentukan bahwa dalam menggunakan hak atas tanah harus mengedepankan kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara termasuk kepentingan

bersama dari rakyat daripada

kepentingannya sendiri sebagaimana

ketentuan Pasal 18 UUPA yang

menyebutkan bahwa, “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama bagi rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dalam Undang-undang.“ Lebih lanjut Penjelasan Pasal 18 UUPA tersebut menyebutkan bahwa pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak atas tanah. Pencabutan hak atas tanah dimungkinkan tetapi diikat dengan syarat-syarat, yaitu harus disertai dengan ganti kerugian yang layak.

(5)

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka

apabila kepentingan umum guna

pembangunan menghendakinya diambilnya hak atas tanah, maka pemegang hak atas tanah harus melepaskannya atau menyerahkan hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian yang layak melalui mekanisme pembebasan hak atas tanah. Pemberian ganti kerugian tersebut dimaksudkan agar antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat akan terjadi keseimbangan.

Pencabutan hak atas tanah atas dasar kepentingan umum seringkali dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan akan tanah untuk pembangunan, yang dikenal dengan istilah pembebasan tanah, yang dilakukan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Pembebasan tanah dapat diartikan dengan, melepaskan hubungan hukum yang semula diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti rugi (Dwi Fratmawati, 2006 : 39).

Pembebasan tanah yang

dimungkinkan untuk dilakukan oleh pemerintah mengingat tanah memiliki fungsi sosial. Namun dalam banyak hal pembebasan tanah atau pengambilan/ penggusuran tanah-tanah penduduk selalu menimbulkan “ekses” yang mempunyai dampak cukup besar terhadap stabilitas masyarakat, dimana seringkali timbul adanya ketidaksepakatan antara pemilik

dengan tanah/pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan diambil untuk keperluan proyek-proyek pembangunan dengan pihak penguasa yang bertugas untuk

melakukan/meminta dilakukannya

pembebasan tanah yang dimaksud, baik yang menyangkut status hak, besar dan bentuknya ganti kerugian ataupun pelaksanaan teknis lainnya. Dengan kondisi yang demikian, tak jarang fungsi sosial tersebut memiliki konsekuensi logis, dimana seringkali timbul permasalahan. Oleh karenanya pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan

benar, yaitu tidak hanya harus

mengindahkan prinsip-prinsip hukum akan

tetapi juga harus memperhatikan

kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana fungsi sosial hak atas tanah itu serta sejauh mana peranan pemerintah atas tanah dalam rangka melaksanakan pembangunan terkait dengan proses pembebasan tanah termasuk ketentuan ganti kerugiannya.

Tujuan penelitian dan penulisan ini adalah untuk membahas secara teoritis mengenai fungsi sosial hak atas tanah dan benturannya dalam proses pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan. Sehingga secara khusus penulisan ini

(6)

bertujuan untuk mengetahui, menganalisa dan menggambarkan mengenai fungsi sosial hak atas tanah, dan untuk

mengetahui, menganalisa dan

menggambarkan mengenai mana peranan pemerintah atas tanah dalam rangka melaksanakan pembangunan terkait dengan proses pembebasan tanah.

Penelitian dan tulisan ini dibuat dan disusun dengan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan melakukan studi kepustakaan untuk mengkaji kualitas dan penetapan suatu aturan atau norma hukum yang diambil dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku sehubungan dengan fungsi sosial hak atas tanah dan peranan pemerintah dalam proses pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan, dan bahan-bahan hukum sekunder berupa buku-buku, hasil penelitian dan pendapat para pakar terkait dengan fungsi sosial tanah dan pembebasan tanah. Penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah beberapa peraturan perundang-undangan dan regulasi lainnya yang bersangkut paut dengan ketentuan dan aturan mengenai fungsi sosial hak atas tanah dan pembebasan tanah.

PEMBAHASAN

1. Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah

Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 2 ayat (3) UUPA,

“seluruh bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah hak Bangsa Indonesia”. Sehingga semua tanah yang ada di wilayah Indonesia adalah kepunyaan rakyat Indonesia secara bersama yang disebut “tanah bersama”

yang untuk tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, dimana Bangsa dan Negara bertindak sebagai pemilik tanah (Penjelasan Umum II UUPA) (Boedi Harsono, 2003 : 269, 270).

Terhadap “tanah bersama”, para warga Negara juga diberikan kesempatan/ kemungkinan untuk menguasai dan menghaki atas bagian tanah bersama untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, penguasaan tanah tersebut mengandung amanat untuk diusahakan dan dimanfaatkan sesuai peruntukannya yang menurut Pasal 27, 34, dan 40 UUPA, tanah yang dihaki tersebut tidak boleh ditelantarkan (Ibid : 301). Dalam pemanfaatan tanah yang dihakinya, seseorang tidak hanya berpedoman pada kepentingan yang berhak tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat, sehingga ada keseimbangan kepentingan dalam kaitannya pemenuhan fungsi sosial atas tanah.

Dalam konsepsi hukum barat, pengertian fungsi sosial pada hakikatnya

(7)

berupa pengurangan atau pembatasan kebebasan individu bagi kepentingan bersama. Sebaliknya konsep fungsi sosial dalam Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional merupakan bagian dari alam pikiran asli orang Indonesia, yaitu bahwa manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus mahluk sosial, yang mengusahakan terwujudnya keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama, dan kepentingan masyarakatnya. Fungsi sosial hak atas tanah tercantum dalam ketentuan Pasal 6 UUPA menyatakan,

Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.

Menurut ALM. Prof. DR. A.P. Parlindungan (Guru Besar Hukum Agraria) USU), dalam masalah kepemilikan/ penguasaan tanah tidak dikenal apa yang berkembang dinegara-negara barat, yaitu sikap bahwa mempunyai tanah itu sacre (bersih/ suci), sehingga setiap orang harus menghormati hak orang lain tersebut, dan juga setiap orang (petani) yang menguasai tanah tersebut dapat berbuat sesukanya tanpa orang lain dapat intervensi. Ketika

Indonesia merdeka, para pendiri Republik menolak konsepsi itu.

Karena jika individu diberi kebebasan dalam pemilikan tanah tanpa ada intervensi negara, akan terjadi praktik akumulasi tanah tanpa batas yang

berkembang menjadi monopoli

penguasaan tanah pada segelintir

orang, dan ketidakmerataan

penguasaan dan pemanfaatan tanah. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau

kebersamaan dalam penggunaan.

Kebebasan individu dikurangi dan

dimasukkan unsur kebersamaan

kedalam hak individu. Dalam hak individu ada hak kebersamaan, inilah disebut tanah mempunyai fungsi sosial.

Filosofi inilah yang mendasari perlu dilaksanakannya land reform. Negara

berwenang membatasi individu

maupun badan hukum dalam

penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan land reform, orang tidak boleh punya tanah lebih dari lima hektar. Untuk itu land reform bukan hanya sekedar distribusi tanah bagi para penggarap, tetapi juga harus dilihat sebagai prasyarat mutlak bagi suatu proses demokratisasi politik yang menyeluruh. Lebih jauh dari itu, demokrasi tidak sekedar masalah partisipasi politik dan pengembangan politik semata. Tapi, dan ini lebih

penting, yakni sebagai upaya

pengembangan kekuatan masyarakat khususnya rakyat miskin (petani). Dengan demikian tugas negara yang mewakili kepentingan bersama menjadi lebih luas dalam mengusahakan peningkatan kemakmuran yang adil dan merata, atau disebut sebagai welfare state (Boedi Harsono; 2003).

(8)

2. Pengadaan Tanah dan fungsi sosial guna kepentingan umum dan pembangunan

a. Peranan Pemerintah Atas Tanah Dalam Rangka Melaksanakan Pembangunan

Pembangunan nasional yang meliputi

berbagai aspek kebidupan baik

pembangunan yang dilakukan oleh

perorangan/keluarga atau kelompok sosial juga membutuhkan tanah. Jadi dalam

menyongsong lajunya pembangunan,

permasalahan yang berhubungan dengan tanah merupakan permasalahan yang cukup peka, karena dengan meningkatnya kegiatan pembangunan dewasa ini maka kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai proyek juga turut meningkat. Sedangkan dilain pihak penyediaan tanah untuk itu kurang. Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah tersebut perlu penanggulangan yang serius, mengingat persoalan tanah adalah sangat sensitif karena hubungan tanah bukan halnya sekedar mengandung aspek ekonomis, tetapi juga kesejahteraan sosial, politik, kultural, psikologis, religius.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip-prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar

masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu kestabilitas masyarakat. Salah satu prinsip dasar yang diletakkan oleh pemerintah dalam rangka pemanfaatan tanah adalah untuk kemakmuran rakyat yang dengan cara meletakkan kepentingan nasional diatas kepentingan individu sekalipun ini tidak berarti kepentingan individu atau golongan tertentu dapat dikorbankan begitu saja untuk kepentingan umum. Hal ini terlihat secara tegas dalam berbagai ketentuan dari Undang-Undang Pokok Agraria antara lain yaitu :

1. Pasal 6 UUPA

Bahwa semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial. Dalam

pemakaian sesuatu hak atas tanah harus memperhatikan kepentingan masyarakat seperti juga dalam pasal 33 UUD 1945 ; Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara,dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sungguhpun dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (3) tidak mencantumkan dengan tegas kata-kata fungsi sosial, namun harus di tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik primair diartikan hak milik itu tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat.

Dengan demikian pengertian fungsi sosial dari pada tanah adalah jalan komprorni atau hak mutlak dari tanah

(9)

seperti tersebut dalam memori penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria. Bahwa keperluan tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai tanah juga

bermanfaat untuk maasyarakat dan

kepentingan perorangan harus saling

imbang mengimbangi. Noto Negoro

menyatakan bahwa :

"Hak untuk mempunyai fungsi sosial itu sebenarnya mendasarkan yang individualistis, ditempelkan padanya sifat yang sosialis, sedangkan kalau berdasarkan Pancasila, hukum kita

tidak berdasarkan atas corak

individualism tetapi corak dwi tunggal ". Jadi maksud dwi tunggal adalah

bahwa setiap individualistis

mempunyai fungsi sosial sesuai dengan Pancasila bahwa dalam individu tersebut melekat kepentingan sosial, misalnya hak milik dapat dicabut demi kepentingan sosial. Berarti semua hak atas tanah dalam pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria berarti bukan saja hak milik tetapi semua hak atas tanah dalam arti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai mempunyai fungsi sosial, dengan ini berati semua hak atas tanah dapat mengisi kepentingan nasional dari rakyat untuk kemakmuran rakyat.

2. Pasal 18 UUPA

Pasal ini mengatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Pasal ini berbunyi: “Untuk kepentingan umum, temasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari

rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.”.Dimana dalam pasal ini memungkinkan negara untuk mencabut hak atas tanah untuk kepentingan sosial. Ketentuan pencabutan hak ini adalah merupakan ketentuan, yang memungkinkan negara untuk melaksanakan politik dan strategi pertahanan keamanan. Dalam pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana yang kemudian diatur dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 1961, “maka pencabutan

hak dimaksud hanya kemungkinkan

bilamana ada suatu kepentingan umum yang benar-benar menghendakinya, seperti untuk pembuatan jalan raya, Pelabuhan, bangunan untuk industri pertambangan, perumahan dan kesehatan masyarakat serta lainnya dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional.

b. Pengadaan Tanah

Untuk kegunaan pembangunan

tersebut harus dilakukan pengadaan tanah. Fungsi dan peranan tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia memiliki 4 (empat) aspek yang sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, politik, hukum, dan aspek sosial. Keempat aspek tersebut merupakan isu sentral yang paling terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam pengambilan proses kebijakan hukum

(10)

pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah (H. Idham, 2004). Demikian pentingnya peranan (kegunaan) tanah dalam rangka pembangunan sehingga pada akhirnya

mengharuskan masyarakat untuk

mengorbankan hak-hak pribadinya demi berlangsungnya pembangunan.

Berdasarkan fungsi sosial hak atas tanah, maka atas nama kepentingan umum seringkali terjadi suatu pembebasan hak-hak atas tanah. Dalam hal ini negara akan bertindak melalui alat eksekusinya untuk membebaskan tanah tersebut. Dadang Juliantara menyatakan sebagai berikut : ”Jika merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dengan jelas

pada UUPA, terlihat bahwa untuk

menjalankan amanat keadilan, pemerataan dan upaya meningkatkan produktivitas nasional, guna memenuhi kebutuhan masyarakat, diyakini hanya bisa diraih apabila negara memiliki suatu kekuasaan besar (2003 : 36).

Lembaga pengadaan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak, diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang pengadaan tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum yang menggantikan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 dan telah diubah lagi dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, merupakan realisasi dari

konsekuensi salah satu sifat pencabutan hak yaitu sebagai satu-satu nya jalan terakhir

untuk mendapatkan tanah karena

pemilikanya tidak setuju. Lembaga ini sebelumnya lebih dikenal sebagai lembaga pembebasan tanah. Menurut pasal 1 butir 3 Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 pengadaan tanah adalah :”Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah."

c. Cara Perolehan Hak Atas Tanah Oleh Pemerintah Demi Kepentingan Umum.

Untuk memperoleh tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, pemerintah dapat melakukan 3 (tiga) cara, yaitu Pencabutan hak, Pembebasan hak dan Pelepasan hak, berikut ini akan dijabarkan satu persatu.

1) Pencabutan Hak

Pencabutan hak diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya. Pencabutan hak merupakan wewenang dari Presiden

sebagai Kepala Pemerintahan dan

kewenangan ini tidak dapat dilimpahkan kepada pejabat dibawahnya, sehingga pencabutan hak harus melalui Keputusan Presiden (Keppres). Menurut Prof. Muchsan, definisi dari pencabutan hak atas

(11)

tanah adalah hapusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemengang haknya yang dilakukan secara paksa demi memenuhi kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak. Jika melihat definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pencabutan hak atas tanah memiliki 4 (empat) unsur, yaitu: a. Harus ada penghapusan hubungan

hukum antara tanah dengan pemegang

haknya. Wujud konkrit dari

penghapusan hak adalah hilangnya hak dan kewajiban atas tanah.

b. Penghapusan tersebut dilakukan secara paksa. Pencabutan adalah perbuatan yang sepihak, dan dipaksakan tanpa perlu menunggu kesepakatan.

c. Pencabutan dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum. Yang dimaksud dengan kepentingan umum disini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:

“Untuk kepentingan umum, temasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.

d. Ada ganti kerugian yang layak. Ganti

kerugian dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 1961, berlandaskan

pada 3 (tiga) hal, yaitu: 1)Ada panitia pencabutan hak atas tanah yang dibentuk oleh eksekutif; 2)Ganti rugi yang layak meliputi harga tanah dan benda-benda yang ada diatasnya; 3) Harus ada pemukiman pengganti (Pemukti).

2) Pembebasan Hak

Mengenai pembebasan hak diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Pembebasan

tanah adalahhapusnya hubungan

hukum antara tanah dengan pemegang

haknya yang dilakukan secara

musyawarah mufakat, demi pemenuhan kepentingan umum dengan pemberian ganti rugi yang layak. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembebasan hak harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu: a) Ada suatu tindakan yang menghapus hubungan hukum antara tanah dengan pemiliknya; b) Ada

musyawarah dan mufakat dalam

pengambilan keputusan; Artinya

perbuatan pembebasan tanah tidak boleh dipaksakan; c) Harus ada kepentingan umum; d) Harus ada ganti rugi yang layak.

Untuk dapat melaksanakan

pembebasan hak atas tanah, maka harus melalui prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur pembebasan hak atas tanah meliputi: a) Harus ada panitia

(12)

pembebasan hak. Struktur organisasi dan kewenangannya sama dengan panitia pencabutan hak; b) Panitia pembebas hak melakukan musyawarah dengan pemilik tanah; c) Apabila mufakat gagal, kewenangan terakhir ada pada Gubernur. Dalam hal ini Gubernur dapat melaksanakan prosedur pencabutan hak atas tanah.

3) Pelepasan Hak

Mengenai pelepasan hak atas tanah diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam Keppres ini yang dimaksud dengan Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah : kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Kepentingan umum dalam Keppres ini dirumuskan sebagai kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat.

Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum. Cara memperoleh tanah yang diatur dalam Keppres ini juga bemacam-macam, yaitu dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan dilaksanakan bedasarkan prinsip penghomatan terhadap hak atas tanah. Pada Perpres ini, dijelaskan mengenai pembatasan tentang pembangunan apa saja yang dapat menggunakan prosedur ini, diantaranya untuk:

a) Jalan umum, saluran

pembuangan air; b) Waduk,

bendungan dan bangunan

pengairan lainnya temasuk saluran irigasi; c) Rumah Sakit

Umum dan Pusat-pusat

Kesehatan Masyarakat;

d) Pelabuhan atau bandar udara atau teminal; e) Peribadatan; f) Pendidikan atau sekolahan; g). Pasar Umum atau Pasar Inpres; h) Fasilitas pemakaman umum; i) Fasilitas pemakaman umum Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana; j) Pos dan telekomunikasi; k) Sarana olah raga; l) Stasiun penyiaran radio, televisi beserta

sarana pendukungnya; m)

Kantor Pemerintah; n) Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Mengenai panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah dan dibentuk juga di setiap Kabupaten dan Kotamadya. Susunan dari panitia

(13)

pengadaan tanah untuk kepentingan umum serta wewenangnya tersebut diatur dalam Pasal 7 dan 8 Perpres ini. Musyawarah pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum, dilaksanakan langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan instansi Pemerintah yang memerlukan, yang dipimpin langsung oleh Ketua Panitia Pengadaan Tanah.

Perihal ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah, diberikan untuk: a) hak atas tanah; b) bangunan; c) tanaman; d) benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah. Adapun bentuk ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah, dapat berupa: a) uang; b) tanah pengganti; c) pemukiman kembali; d) gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; dan e) bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Bagi penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi masyarakat setempat. Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar diatur dalam Pasal 15 Perpres ini, yaitu: a) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/

sebenarnya dengan memperhati-kan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;b) nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang

bertanggung jawab di bidang

bangunan;c) nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

3. Pembebasan Hak-Hak Atas Tanah a. Aspek hukum pembebasan hak-hak

atas tanah

Seperti telah diuraikan di atas, salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan atas tanah (pengadaan tanah) adalah dengan cara pembebasan tanah milik penduduk atau masyarakat (Soedharyo Somin, 2001 : 72). Bila dikaji, tidak satupun persoalan pembebasan tanah, maka dijumpai dalam peraturan yang secara tegas mengatur masalah pembebasan tanah. UUPA tidak ada mengatur secara jelas mengenai pembebasan tanah ini Pasal 18 UUPA

hanya mengatakan bahwa, ““untuk

kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.

Memori penjelasan Pasal 18 UUPA menyebutkan jaminan bagi rakyat mengenai

(14)

hak-haknya atas tanah. Dengan demikian yang diatur dalam UUPA adalah mengenai pencabutan hak atas tanah bukanlah tentang pembebasan hak atas tanah. Pasal 27 UUPA menegaskan bahwa hak milik itu hapus karena pencabutan hak untuk kepentingan umum dan karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, sedangkan di dalam Pasal 34 dan 40 UUPA hanya mengenai hapusnya hak-hak tertentu. Seperti disebutkan di dalam Pasal 34 UUPA, bahwa Hak Guna Usaha hapus karena : 1)Jangka waktunya berakhir; 2) Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; 3) Dilepas oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; 4) Dicabut untuk kepentingan umum; 5) Diterlantarkan; 6) Tanahnya musnah; 7) Ketentuan dalam pasal 40 ayat (2) UUPA.

Sedangkan Pasal 40 UUPA

menyebutkan bahwa Hak Guna Bangunan hapus karena: Jangka waktunya berakhir; 2) Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; 3) Dilepas oleh pemegang haknya sebelumnya jangka waktunya berakhir; 4) Dicabut untuk kepentingan umum; 5) Diterlantarkan; 6) Tanahnya musnah; 7) Ketentnuan Pasal 36 ayat (2) UUPA.

Dengan kata lain bahwa, di dalam UUPA mengenai hapusnya hak atas tanah itu, yaitu mengenai hak guna usaha dan hak guna bangunan secara tegas disebutkan

karena dicabut haknya atau oleh karena dilepaskan haknya sebelum jangka waktunya berakhir.

Pembebasan masalah tanah, janganlah dikacaukan dengan pencabutan hak atas tanah. Sebab pencabutan hak atas tanah secara tegas telah diatur dalam UUPA, akan tetapi mengenai pembebasan tanah diatur dengan peraturan-peraturan lainnya H. Abdurrahman mengatakan bahwa :

Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum adalah merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah-tanah yang sangat diperlukan guna keperluan-keperluan tertentu untuk kepentingan umum, setelah berbagi cara lain baik itu melalui musyawarah dengan si empunya tanah menempuh jalan buntu dan tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan, sdangkan keperluan untuk pengguna tanah dimaksud

sangat mendesak sekali

(H. Abdurrahman, 1996 : 44).

Pembebasan hak atas tanah ini tak terlepas dengan fungsi sosial (Pasal 6

UUPA), yaitu bahwa pada hak-hak

perseorangan terdapat hak dari masyarakat, sehingga kalau disatu masa kepentingan dari masyarakat lebih tinggi maka kepentingan perseorangan harus mengalah. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No.

65 tahun 2006 dinyatakan bahwa,

“kepentingan umum tersebut adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”, dan lebih lanjut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005

(15)

jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 menyebutkan bahwa :

Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, meliputi : a) jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b) waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; d) fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; e)tempat pembuangan sampah; f) cagar alam dan cagar budaya; g) pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik."

Dalam rangka pembebasan tanah ini, apabila telah tercapai kata sepakat mengenai bentuk atau besarnya ganti rugi maka pembayaran harus dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan penyerahan atau pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya empat orang anggota panitia pembebasan tanah, diantaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan.

Untuk kepentingan swasta yang pada asasnya adalah sejajar dengan kepentingan

anggota-anggota masyarakat maka

pembebasan tanah untuk kepentingan swasta, pihak-pihak yang berkepentingan

dengan pemberian ganti rugi yang besarnya ditentukan secara musyawarah. Mencegah terjadinya hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan maupun garis-garis

kebijaksanaan pemerintah mengenai

persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah, diwajibkan kepada Pemerintah daerah untuk menguasai pelaksanaan pembebasan dan pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh pihak swasta. Pasal 6 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 menyatakan,

(1) Pengadaan tanah untuk

kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.

(2) Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.

(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur. (4) Pengadaan tanah yang terletak di

dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait. (5) Susunan keanggotaan panitia

pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait.

Menurut Pasal 7 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006, tugas-tugas dari panitia

(16)

di atas adalah sebagai berikut: a) mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; b) mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya; c) menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; d) memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah; e) mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi; f) menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah; g) membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; h) mengadministrasikan dan mendokumen-tasikan semua berkas pengadaan tanah dan

menyerahkan kepada pihak yang

berkompeten.

b. Pembebasan Tanah

Masalah pembahasan tanah sangat rawan dalam penanganannya, karena di dalamnya menyangkut hajat sangat banyak. Menurut H. Abdurrahman, bahwa salah satu masalah pokok yang mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembebasan tanah ini adalah persoalan mengenai ganti rugi, karena persoalan ganti rui ini adalah menyangjkut hak-hak dari sipemilik tanah yang tanahnya dibebaskan, sehingga dapatlah dikatakan bahwa unsur uang mutlak harus ada dalam dalam pelaksanaan pembebasan tanah adalah unsur ganti rugi ini (Ibid : 51).

Pengadaan tanah yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 adalah semata-mata hanya digunakan

pemenuhan kebutuhan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum, yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Substansi ketentuan ini bersifat keperdataan yang meliputi ketentuan Pasal 1320 jo. Psal 1338 KUH Perdata. Yang berarti, bahwa harus

(17)

memenuhi syarat-syarat sahnya persetujuan yang dilaksanakan para pihak dan dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam hal pokok-pokok pengadaan tanah untuk pembangunan dalam Pasal 2 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan menyebutkan bahwa:

(1) Pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

(2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum oleh

Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan."

Dalam praktek pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah selalu menimbulkan masalah hukum di antaranya adalah disebabkan tidak jelasnya pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan umum dan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi yang tetapkan oleh panitia sehingga masyarakat yang memiliki atau yang menguasai hak atas tanah selalu bertahan dan tidak bersedia untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Dengan berlakunya Peraturan

Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan

Presiden No. 65 tahun 2006 tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pokok-pokok

kebijakan pengadaan tanah untuk

pemenuhan kebutuhan bagi pelaksanan pembangunan untuk kepentingan umum dapat dicapai dengan dua cara, yaitu: a) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah; b) Persetujuan jual beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tidak merumuskan secara pasti tentang apa yang dimaksud dengan

kepentingan umum, tetapi hanya

menyatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Pengertian ini sangat abstrak dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan konflik dalam masyarakat umum. Berdasarkan ketentuan Peraturan Presiden tersebut diatas, maka, pada dasarnya, penyelesaian sengketa dalam pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum, dilakukan dengan cara musyawarah. Apabila musyawarah yang telah dilakukan berulang kali, dan kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tidak tercapai juga, maka panitia pengadaan tanah mengeluarkan ganti

(18)

pendapatan dan keinginan serta perimbangan yang berlangsung dalam musyawarah.

c. Ganti rugi dalam Pembebasan tanah Di dalam pasal 16 UUPA dikatakan bahwa,hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negara atau masyarakat yang paling utama adalah hak milik kemudian hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-ungdang serta hak-hak yang bersifat sementara sebagai disebutkan dalam pasal 53 UUPA, yaitu hak-hak yang sifatnya sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.

Dapat diketahui bahwa jenis dari hak-hak atas tanah tersebut secara ekonomis mempunyai nilai, dengan demikian ganti rugi atas tanah juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu.

1. Tinjauan Umum Ganti Rugi A. Dari sudut KUHPerdata

Menurut KUHPerdata tinjauan

tentang ganti rugi meliputi persoalan yang menyangkut, apa yang dimaksud dengan ganti rugi, bilamana ganti rugi itu timbul dan apa ukuran ganti rugi itu serta

bagaiman peraturannya dalam UU. Dalam pasal 1243 KUHPerdata dirumuskan : “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan bila debitor, walaupun telah dinyatakan lalai tetaplalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberitakan ataudilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang talah ditentukan.”

KUHPerdata menegaskan bahwa

ganti rugi itu terdiri dari tiga unsur yaitu: biaya, rugi, dan bunga, kecuali wanprestasi itu dapat dibuktikan karena adanya overmacht dan tidak ada itikad buruk dari debitor. Ganti rugi yang dapat dituntut penggantiannya adalah atas rugi yang dideritanya dan keuntungan yang sedianya harus dinikmatinya. Biaya, rugi dan bunga dalam bahasa Belanda sering disebut kosten, schadenen, intersten. Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyatanya sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Rugi atau kerugian adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitor yang diakibatkan kelalaian debitor atau wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bunga adalah rugi yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh debitor.

Walaupun debitor telah melakukan wanprestasi diharuskan membayar ganti

(19)

rugi kepada kreditor, namun Undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu : dalam hal ganti rugi

yang bagaimana yang seharusnya

dibayar oleh debitor atas tuntutan kreditor. Ada dua pembatasan kerugian yaitu, 1) Kerugian yang diduga ketika membuat perikatan; 2) kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai).

Dua macam kerugian inilah yang harus dibayar oleh debitor kepada kreditor sebagai akibat dari wanprestasi. Jadi, tegasnya ganti rugi hanya dapat diwajibkan terhadap kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan yang timbul akibat ingkar janji atau wanprestasi. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara kekayaan-kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji/wanprestasi dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji (wanprestasi) sebelumnya. Atau yang dapat diduga ketika perikatan dilahirkan dan apa yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi/ingkar janji.

Selain dari pembatasan kerugian tersebut, pembatasan pembayaran ganti rugi

juga diatur dalam hal perjanjian

yang pretasinya berupa pembayaran sejumlah uang sebagaimana ketentuan Pasal 1250 KUHPerdata : 1) Dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan sejumlah uang penggantian biaya, kerugian, dan bunga yang timbul karena keterlambatan

pelaksanaanya hanya terdiri atas lima yang ditentukan atas undang-undang, tanpa mengurangi berlakunya undang-undang khusus; 2) Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu, tanpa perlu dibuktikan oleh adanya suatu kerugian oleh kreditor; 3) Pengganti biaya, kerugian dan bunga itu,

baru wajib dibayar sejak dimuka

pengadilan, kecuali jika undang-undang mengatakan hal itu belaku demi hukum.

Pembayaran ganti rugi berupa bunga adalah bunga karena lalainya atau terlambatnya membayar sejumlah uang itu. Bunga yang harus dibayar karena lalai disebut “moratoir interest” sebagai hukuman bagi debitor. Besarnya bunga itu adalah 6% setahun, tanpa mengurangi ketentuan lainnya dengan undang-undang yang menetapkan bunga yang lebih tinggi (Stb.1848/22 jo Stb. 1849/63). Dan menurut pasal 1250 KUHPerdata, “bunga yang dituntut tidak boleh melebihi persentasi yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut kecuali dalam perjanjian telah ditentukan cara perhitungan atau besarnya bunga itu, maka yang diberlakukan adalah apa yang telah diperjanjikan. Jika ditentukan bahwa bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan atau sejak dimasukkannya surat gugatan.”

(20)

B. Dari sudut UU Pokok Agraria (UUPA)

Undang-undang Pokok Agraria yang berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah, diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi: “untukkepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dan rakyat hal-hak atas tanah dapat docabut, dengan memberikan ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”

Sebagai realisasi dari ketentuan pasal 18 UUPA, maka pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana yaitu UU No. 20 tahun 1961 tentang Pencabutan hak-hak atas tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya, yaitu “bahwa pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya

sesuai dengan ketentuan-ketentuan

Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku”.

Cara pengadaan tanah yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961 dilakukan dengan lembaga pencabutan hak atas tanah. Cara ini mengandung hakekat dan tindakan hukum yang berbeda jika dibandingkan dengan cara-cara pelepasan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993. Pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah yang

sebelumnya disebut sebagai pembebasan

tanah, adalah merupakan kegiatan

melepaskan hubungan hukum antara

pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.

2. Syarat-syarat Persetujuan Ganti Rugi Tanah

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana yang dirumuskan pada pasal 1 ayat (2) Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 adalah

Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Dengan demikian, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah tidak dapat dibenarkan dengan cara-cara paksaan/ atau tanpa kesepakatan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka kegiatan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai dasar hukum materilnya adalah hukum perdata yang terletak dalam bidang hukum perikatan. Perbuatan hukum untuk melepaskan hubungan hukum pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, tergantung kepada ada tidaknya kesepakatan atau persetujuan diantara kedua belah pihak. Hal

(21)

ini berarti bahwa kesepakatan hukum tersebut harus memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata.

Persetujuan kehendak dari kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus dilakukan secara bebas yaitu tanpa paksaan, kekhilafan, dan penipuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 1321, 1322 dan 1328 KUHPerdata. Persetujuan kehendak mengenai pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960, UU No. 20 Tahun 1961, Peraturan Pemerintah No Tahun 1973 , PMDN No. 15 Tahun 1975, dan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 harus dilakukan dengan musyawarah.

Pelaksanaan pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah untuk

kepentingan umum, juga harus

dilaksanakan dengan itikad baik yang diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, maka dalam pelaksanaan pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah untuk

kepentingan umum tidak boleh ada unsur paksaan atau ancaman dari pihak mana pun juga.

3. Bentuk-bentuk Ganti Rugi

Pada asasnya bentuk ganti rugi yang lazim dipergunakan adalah uang. Oleh karena menurut para ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling praktis, yang paling sedikit

menimbulkan masalah dalam

menyelesaikan suatu sengketa. Selain uang masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai bentuk ganti rugi, yaitu pemulihan keadaan semula (in natura) dan larangan untuk mengulangi. Keduanya ini kalau tidak ditepati dapat diperkuatdengan uang paksa.

Bentuk ganti rugi dalam pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah berbeda dengan ganti rugi dalam KUHPerdata tersebut diatas. Dalam hal ini ganti rugi yang utama adalah merupakan penggantian kerugian, bilamana harta seorang pemilik yang dicabut dari harta pribadinya. Nilai ganti rugi yang dibayar tersebut harus sama dengan nilai yang diambil padanya karena tujuan dari ganti rugi itu untuk mendapatkan uang yang nilainya setara dengan yang diambil. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006, Pasal 13 merinci bentuk-bentuk ganti rugi dapat berupa : a) Uang; dan/atau; b) Tanah pengganti; dan/atau; c)

Pemukiman kembali; dan/atau; d)

Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; atau e) Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan."

(22)

4. Penetapan dan Yang Berhak Menerima Ganti Rugi

Ketentuan tentang ganti rugi terhadap pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dapat dilihat anatara lain dalam PMDN No. 15 Tahun 1975 dan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006. Berdasarkan pasal PMDN No. 15 Tahun19775 ditentukan sebagai berikut:

a. Dasar dan Kriteria Pemberian Ganti Rugi

Yang berhak menerima ganti rugi bukan hanya pemilik yang melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah melainkan juga pemilik bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda yang lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan. Karena di dalam masyarakat bisa saja pemilik tanah sekaligus sebagai pemilik bangunan dan tanaman dan bisa juga pemilik tanah berbeda dengn pemilik bangunan maupun tanaman serta benda-benda yang diatasnya. Dalam upaya pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum ada perbedaan antara pemberian ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah, tetapi menempati/memakai tanah yang akan dibebaskan.

1. Bagi mereka yang tidak

mempunyai hak atas tanah, diberikan uang santunan/uang

pesangon, yang besarnya

ditetapkan oleh panitia menurut pedoman yang ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya.

2. Terhadap tanah yang digarap tanpa

izin yang berhak atau

kuasanya, penyelesaian dilakukan berdasarkan UU No 51 Prp Tahun 1960, tentang Larangan Pemakaian

Tanpa yang Berhak Atau

Kuasanya. Bagi mereka tidak diberikan ganti rugi, namun harus diselesaikan secara musyawarah dan memberikan uang pesangon/ santunan bagi mereka. Jika kita mengacu pada Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 jo Peraturan Menteri Agraria No 1 Tahun 1994, maka bagi mereka yang tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah : tidak berhak atas ganti rugi tersebut. Mereka ini hanya berhak atas uang santunan, yang besarnya ditentukan oleh Bupati/ Walikota.

3. Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat

diberikan dengan bentuk

pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi

masyarakat setempat. Yang

dikatakan ulayat adalah tanah masyarakat hukum adat yang tidak mengandung unsur kepemilikan perseorangan. Begitu juga terhadap

bidang tanah wakaf ganti

kerugiannya diberikan dalam bentuk tanah, bangunan dan perlengkapan yang diperlukan.

b. Kriteria penetapan Standar Harga Dasar

Dengan berlakunya Peraturan

Presiden No. 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006, dasar dan cara perhitungan ganti rugi ditetapkan atas dasar harga dasar yang sebenarnya, nilai jual bangunan dan nilai jual tanaman. Disamping itu, bentuk dan besarnya ganti

(23)

rugi ditetapkan dengan musyawarah. Dengan memperhitungkan harga tanah yang sebenarnya/ nilai tanah yang berdasarkan nilai nyata, harus dilakukan dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tahun terakhir tanah yang bersangkutan.

c. Konsinyasi/Penawaran Pembayaran Tunai diikuti Penitipan

Konsinyasi/Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan, adalah merupakan salah satu cara untuk

menghapuskan suatu perikatan,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata yang merumuskan :

(1) Jika Kreditor menolak pembayaran,

maka debitor dapat

melakukan penawaran pembayaran

tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jikakreditor menolaknya, maka debitor dapat menitipkan uang atau barangnyake pengadilan.

(2) Penawaran demikian, yang diikuti

dengan penitipan, membebaskan

debitor, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut cara-cara yang diatur oleh undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara demikan adalah atas tanggungan kreditor.

Berdasarkan ketentuan tersebut

diatas, suatu perikatan dapat

berakhir dengan suatu konsinyasi, dengan syarat bila kreditor menolak pembayaran dari debitor, dan konsinyasi tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang diatur oleh UU. Maka dalam hal pembebasan, pelepasan hak atas

tanah, bentuk dan besarnya ganti rugi yang telah ditetapkan panitia, walaupun pemilik tanah belum bersedia namun

dalam prakteknya pihak yang

membutuhkan tanah melakukan

penitipan pembayaran tunai ke

Pengadilan Negeri agar mereka dapat melakukan pengosongan tanah dan melakukan pembangunan. Kenyataan ini adalah sangat merugikan pihak pemilik tanah, hal ini disebabkan belum adanya kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.

Untuk sahnya suatu konsinyasi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal 1405 KUHP. Sedangkan agar penyimpanan atau penitipan barang atau uang yang dilakukan oleh debitor itu sah menurut hukum haruslah berdasarkan pasal 1406 KUHPerdata. Ketentuan dari 1405

KUHPerdata sampai dengan 1407

KUHPerdata tersebut adalah prosedur yang harus dipenuhi untuk melakukan konsinyasi atau penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan barang atau uang yang ditawarkan,

(24)

PENUTUP

Menurut ketentuan Pasal 6 UUPA jo Pasal 18 UUPA, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah)

semata hanya untuk kepentingan

pribadinya. Sehingga apabila pemerintah atau kepentingan umum menghendaki

digunakan tanah tersebut untuk

kepentingan pembangunan, maka

pemiliknya harus melepaskannya.

Pemanfaatan tanah yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk kemakmuran rakyat. Hal ini memungkinkan negara untuk mencabut hak atas tanah untuk kepentingan sosial atau umum Berdasarkan fungsi sosial hak atas tanah, maka atas nama kepentingan umum seringkali terjadi suatu pembebasan hak-hak atas tanah. Dalam hal ini negara akan bertindak melalui alat eksekusinya untuk membebaskan tanah untuk keperluan pengadaan tanah. Pengadaan tanah dilakukan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan cara : Pencabutan hak, Pembebasan hak dan Pelepasan hak. Dari ketiga cara tersebut yang umum dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pengadaan tanah

untuk kepentingan umum dan

pembangunan adalah pembebasan tanah. Ganti rugi dalam pembebasan tanah dapat berbentuk uang atau in natura. Atau dapat dirinci bentuk ganti rugi tersebut adalah meliputi berentuk Uang; dan/atau Tanah

pengganti; dan/atau Pemukiman kembali; dan/atau Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian; Bentuk lain yang

disetujui oleh pihak-pihak yang

bersangkutan."

Oleh karena masalah pembebasan tanah seringkali menimbulkan konflik,

maka pemerintah harus membuat

pengaturan yang jelas mengenai peruntukan tanah dan proses penyelesaiannya jika

tanah tersebut diperlukan untuk

kepentingan umum.

DAFTAR PUSTAKA Buku Ilmiah:

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia

: Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1, m Ed. Rev.

Cet. 9, Jakarta : Djambatan, 2003.

Dadang Juliantara. Pembaharuan Desa, Bertumpu Pada Yang terbawah. Yogjakarta : Penerbit Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2003.

H. Abdurrahman. Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Indonesia. (Edisi Revisi). Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Hasan Wargakusumah. Hukum Agraria I. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

H. Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Prespektif Otonomi Daerah, Bandung, 2004.

(25)

Noer Fauzi. Budaya Menyangkal Konsep dan Praktek Politik Hukum Agraria yang Menyangkal Kenyataan Hak-Hak Masyarakat. Dalam Jurnal Wacana, Edisi 6 Tahun II 2000.

Soedharyo Soimin. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

Perundang Undangan

Kitab Undang Undang Hukum Perdata

Indonesia. Undang Undang tentang

Peraturan Dasar Pokok Pokok

Agraria. UU No. 5 Tahun 1960, L.N. No. 104, TLN. No. 1125.

_____. Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres No. 36 Tahun 2005.

_____. Peraturan Presiden tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres No. 65 Tahun 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Pokja Bidang Konstruksi 3 ULP Kabupaten Klaten akan melaksanakan [Pelelangan Umum/Pemilihan Langsung] dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara

Guru bertanggung jawab dalam membangun karakter anak murid di dalam kelas terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah dan

Mengawasi pemeriksaan limbah pabrik baik dari hasil kegiatan produksi. pabrik maupun kegiatan-kegiatan lain dan

Setelah melakukan pengujian pada data yang telah diperoleh dari penyebaran kuesioner, pengujian tersebut menunjukan hasil bahwa pengetahuan nasabah memiliki pengaruh

Accordingly, a multi- institutional initiative called 'Map the Neighbourhood in Uttarakhand' (MANU) was conceptualised with the main objective of collecting

Three paper withdrew for various reasons after the review process, two were rejected, three were accepted for the ISPRS archives and 21 papers have been accepted for inclusion

[r]

Anggaran ini sifatnya statis dari periode bulan yang satu ke periode bulan yang lain, dan dalam anggaran yang dibuat tidak dilaku­ kan pemisahan antara unsur biaya tetap dan