• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bisnis militer pada era orde baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bisnis militer pada era orde baru"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

i

BISNIS MILITER PADA ERA ORDE BARU

SKRIPSI

Oleh:

Rika Wastika Andriyani NIM: X 4406010

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii

BISNIS MILITER PADA ERA ORDE BARU

Oleh :

Rika Wastika Andriyani NIM: X 4406010

Skripsi

Ditulis Dan Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

iii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Juli 2010

Pembimbing I Pembimbing II

(4)

iv

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari : Tanggal :

Tim Penguji Skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M. Pd ………

Sekretaris : Isawati, S.Pd ………

Anggota I : Drs. Djono, M.Pd ………

Anggota II : Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum ………

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(5)

v ABSTRAK

Rika Wastika Andriyani. X4406010. Bisnis Militer Pada Era Orde Baru. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) Latar belakang masing-masing satuan militer memiliki bisnis; (2) Eksistensi militer pada Era Orde Baru; (3) Dampak bisnis militer terhadap profesionalisme militer Indonesia.

Metode penelitian ini adalah metode historis dengan langkah-langkah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis historis, dengan melakukan kritik ekstern dan intern.

(6)

vi ABSTRACT

Rika Wastika Andriyani. X4406010. Military Business On the New Order Regime. Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret Surakarta University, July 2010.

The purpose of this study is to describe: (1) The background of each military unit has a business, (2) military existence in the New Order Regime, (3) The impact of the military business for professionalism.

This research method is the historical method with heuristic steps, criticism, interpretation, and historiography. Source of data used in this study are primary sources and secondary sources. Collecting data by literature study. The data analysis technique used is the technique of historical analysis, by performing external and internal criticism.

(7)

vii MOTTO

Jika Secara Moral Suatu Perilaku Ternyata Salah, Kemungkinan Besar (Walaupun Tidak Pasti) Perilaku Itu Melanggar Hukum Juga.

(Boatright)

Kuasa Politik Berlaku Juga Bagi Kuasa Ekonomis.

(Lord Acton)

(8)

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada: 1. Bapak dan Ibu tercinta

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi;

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surakarta yang telah menyetujui permohonan ijin penyusunan skripsi;

3. Ketua Program Studi Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin demi kelancaran penyusunan skripsi;

4. Drs. Djono, M.Pd., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan nasehat, waktu, serta kritikan yang membangun selama memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;

5. Drs. Tri Yuniyanto, M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan waktu dan motivasi selama memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi;

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

Disadari dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan, tetapi diharapkan penulisan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan mahasiswa Program Pendidikan Sejarah pada khususnya.

Surakarta, Juli 2010

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL……….... i

HALAMAN PENGAJUAN………... ii

HALAMAN PERSETUJUAN………... iii

HALAMAN PENGESAHAN………... iv

HALAMAN ABSTRAK………... v

HALAMAN MOTTO………... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN………... viii

KATA PENGANTAR……….. ix

DAFTAR ISI………... x

DAFTAR LAMPIRAN………... xii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Perumusan Masalah………. 6

C. Tujuan Penelitian………. 6

D. Manfaat Penelitian……….. 6

BAB II KAJIAN TEORI……… 8

A. Tinjauan Pustaka………. 8

B. Kerangka Berpikir………... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 30

A. Tempat dan Waktu Penelitian………. 30

B. Metode Penelitian……… 31

C. Sumber Data……… 32

D. Teknik Pengumpulan Data……….. 35

E. Teknik Analisis Data………... 36

F. Prosedur Penelitian………. 37

BAB IV HASIL PENELITIAN……….. 42

A. Latar Belakang Militer Berbisnis …..………. 42

(11)

xi

C. Dampak Bisnis Militer Terhadap Profesionalisme Militer

Indonesia………... 63

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN………... 72

A. Kesimpulan………... 72

B. Implikasi………... 73

C. Saran………... 75

DAFTAR PUSTAKA………... 76

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

1. MAJALAH INFOBANK, EDISI NOVEMBER NO. 155/ 1992………… 80 2. MAJALAH TIRAS NO.26 / THN.III / 28 JULI 1997……... 102 3. MAJALAH TEMPO,16 OKTOBER 1993... 104 4. PP 6/ 1974, PEMBATASAN KEGIATAN PEGAWAI NEGERI

DALAM USAHA SWASTA... 105 5. SURAT PERMOHONAN IJIN PENYUSUNAN SKRIPSI... 114 6. SURAT KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS KEGURUAN

(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Keterlibatan militer di Indonesia dalam bisnis sesungguhnya sejak awal terbentuknya negara Indonesia. Perjuangan untuk meraih kemerdekaan, selain dilakukan melalui diplomasi di forum-forum internasional, juga didukung dengan gerakan bersenjata yang dilakukan oleh embrio militer. Berbagai cara pencarian dana pun dilakukan, dengan “kesatuan” masing-masing (yang sama sekali belum teratur, termasuk pasukan-pasukan “reguler”) mencari variasi kegiatan ekonomi perang ini. Salah satu aktivitas paling poluler adalah penyelundupan dan perdagangan candu, yang merupakan komoditas paling menguntungkan pada masa itu. Hasilnya kemudian ditukarkan dengan senjata. Secara umum, pertumbuhan keterlibatan ABRI dalam bisnis mengikuti perkembangan organisasi ABRI itu sendiri karena besaran organisasi serta kebutuhan kontemporer memberi peluang, atau bahkan mensyaratkan, skala, sifat, dan kedalaman tertentu keterlibatan tersebut. (Indria Samego, 1998: 45).

(14)

kemudian yang berkembang menjadi bisnis militer pada era Orde Baru. Seiring dengan semakin berkembangnya aktivitas bisnis militer pada era Orde Lama aktivitas bisnis militer pada era Orde Baru juga semakin mudah berkembang serta terbukanya ruang bagi peran politik militer melalui doktrin dwifungsi ABRI.(Danang Widoyoko, 2000:17-30).

Persoalan mendasar dibalik keterlibatan tentara di luar bidang pertahanan dan keamanan adalah supremasi sipil atas militer. Supremasi sipil adalah keniscayaan dalam negara demokrasi, seperti digariskan oleh konstitusi, tetapi prakteknya lain. Keberadaan TNI di DPR/MPR misalnya, walaupun tidak ada pasalnya dalam konstitusi, bertahun-tahun berlangsung tanpa dipertanyakan. Pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam usaha swasta seperti digariskan dalam PP No. 6 tahun 1974, TNI justru menjadi salah satu konglomerat besar di Indonesia.(Danang Wodoyoko,2003: 4).

(15)

Secara umum, bisnis militer diklasifikasikan ke dalam dua bagian utama, yaitu bisnis institusional atau formal dan non institusional atau informal. Tetapi, masih ada satu lagi bisnis yang tidak banyak dibicarakan, apalagi diakui keberadaannya oleh militer, yaitu criminal economy.

Bisnis formal adalah kategori untuk bisnis yang melibatkan TNI secara kelembagaan dalam bisnis. Contohnya adalah bisnis militer dengan bentuk yayasan. Susunan pengurus yayasan mengikuti struktur komando. Dengan demikian, bisnis ini dimiliki oleh institusi militer, khususnya kesatuan atau markas yang bersangkutan. Bisnis dalam bentuk yayasan tidak hanya dijalankan di tingkat kesatuan atau di tingkat Markas Besar. Pada hierarki militer di bawahnya, seperti KODAM, juga memiliki yayasan sendiri. Bentuk lain dari bisnis formal adalah koperasi. Koperasi di lingkungan militer juga mengikuti struktur komando. Di tingkat markas besar (mabes), koperasi menggunakan nama Induk. Sedangkan di tingkat Kodam, koperasi menggunakan nama Pusat dan di tingkat Korem atau Kodim, digunakan nama Primer.

Bisnis informal adalah bisnis militer yang tidak melibatkan militer sebagai institusi melainkan individu-individu pensiunan militer atau anggota yang sudah tidak aktif lagi. Namun demikian, bisnis informal ini sudah dirintis sejak pejabat militer dikaryakan di perusahaan swasta atau BUMN dan kemudian mengembangkan usaha mereka sendiri. Dalam kategori bisnis informal ini dapat dilihat pada sejumlah kelompok-kelompok usaha seperti Kelompok Usaha Nugra Santana (Letjen TNI Purn. Ibnu Sutowo), Kelompok Usaha Krama Yudha ( Brigjen TNI Sjarnoebi Said) dan lain-lain.

(16)

kelabu akan meningkat, tidak hanya anggaran militer tetapi juga omset bisnis leveransir tentara.

Dari ketiga bentuk bisnis militer di atas tidak memadai jika melakukan analisis secara terpisah, karena sesungguhnya, militer sendiri tidak membedakan apakah pengelola bisnis tersebut militer yang masih aktif, pensiunan atau keluarga militer. Militer juga tidak terlalu membedakan antara “oknum” atau kebijakan resmi institusi. Contohnya, dalam bisnis kelabu seperti illegal logging yang dibacking oleh anggota TNI. Sangat sulit bagi polisi atau penegak hukum untuk mengusutnya. Ketiga bentuk bisnis tersebut sesungguhnya tidak terpisah satu dengan yang lain. Ada kaitan diantara ketiganya, walaupun tidak pernah diakui secara langsung. (Danang Widoyoko, 2000:8-10).

Bisnis di lingkungan militer awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan logistik dan operasional yang tidak terdukung secara layak oleh pemerintah. Dalam perkembangan selanjutnya keterlibatan itu tampak semakin menjadi dan dicemari oleh kronisme dan semangat antipasar. Pada masa Orde Baru, hubungan ABRI dan bisnis terimplementasi secara lebih luas dan intensif karena tidak satupun sektor produksi dan usaha nasional penting yang tidak tersentuh oleh jaringan bisnis ABRI, baik secara individual maupun secara institusional. (Indria Samego, 1998).

Diketahui bahwa kajian ini tidak akan mengupas secara menyeluruh setiap bisnis yang dikelola oleh militer pada Era Ode Baru, melainkan akan dibatasi pada bisnis Angkatan Darat Pada Era Orde Baru. Hal ini terkait dengan suatu pandangan bahwa kajian yang dilakukan hanya bersifat mikro atau spesifik secara terbatas. Dengan demikian, diharapkan melalui kajian mikro itu akan dapat mengungkapkan dimensi bisnis militer, khususnya bisnis Angkatan Darat Pada Era Orde Baru.

(17)

“Segera setelah peralihan kekuasaan di akhir tahun 1945, secara resmi tentara menerima asas keunggulan kekuasaan sipil. Para perwira beranggapan bahwa peranan mereka di bidang politik sesewaktu diperlukan,...Namun sepadan dengan kelemahan kehidupan politik yang disebabkan oleh sistem parlementer yang makin nyata, bagaimanapun telah memperkuat keyakinan kalangan perwira militer bahwa mereka juga mempunyai beban tanggung jawab untuk campur tangan agar negara dapat diselamatkan. Meskipun pihak pimpinan tentara tidak secara langsung bertanggung jawab terhadap kemacetan sistem parlementer di tahun 1957, mereka dapat memanfaatkan situasi untuk mengumumkan keadaan darurat perang, yang akhirnya setapak memungkinkan para perwira tentara mendapatkan peran yang lebih besar dalam fungsi-fungsi politik, administrasi dan ekonomi.” (Harold Crouch,1999 :21)

Militer Indonesia telah terlibat dalam aktivitas ekonomi sejak awal tahun 1950-an, dimana mereka melakukan itu untuk mencari pemasukan ekstra (extra-budgetary revenue) untuk operasi maupun income pribadi dan pembiyaan aktivitas politik. Mula-mula aktivitas bisnis militer terbatas pada “pengadaan barang secara ilegal” berupa penyelundupan -penyelundupan. (Iswandi, 1998: 103-104).

(18)

sebagai imbalannya, para anak buah (sebagai klien) akan memberikan dukungan dan loyalitasnya kepada bapak (patron). (Yahya A Muhaimin, 1990: 1-11)

Berdasarkan uraian masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut pelaksanaan bisnis militer di Indonesia terutama pada masa orde baru sehingga penulis mengangkat judul ”Bisnis Militer Pada Era Orde Baru” sebagai obyek penelitian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dijadikan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Mengapa masing-masing satuan militer memiliki bisnis? 2. Bagaimana eksistensi bisnis militer pada era Orde Baru?

3. Bagaimana dampak bisnis militer terhadap profesionalisme militer Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui alasan militer melakukan bisnis

2. Untuk mengetahui eksistensi bisnis militer pada era Orde Baru

3. Untuk mengetahui dampak bisnis militer terhadap profesionalisme militer Indonesia

(19)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a. Menambah pengetahuan dan wawasan ilmiah tentang bisnis militer

pada era Orde Baru.

b. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan sumber data dalam bidang sejarah, khususnya sejarah lokal.

2. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk a. Menambah khasanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

b. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan bisnis di Indonesia dan khususnya kebijakan bisnis dalam tubuh militer.

(20)

8 1. Bisnis a. Pengertian Bisnis

Secara langsung atau tidak langsung setiap hari manusia akan terlibat dalam kegiatan yang banyak ragamnya dengan kebutuhan. Kebutuhan manusia tentunya tidak ada batasnya sehingga semakin banyak dan beragamlah bisnis yang ada.

Bisnis adalah suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia, organisasi atau masyarakat luas, manusia bisnis (Businessman) akan selalu melihat adanya kebutuhan masyarakat dan kemudian mencoba untuk melayaninya secara baik sehingga masyarakat menjadi puas. Dari kepuasan itulah si pengusaha akan mendapatkan keuntungan yang pada akhirnya keuntungan tersebut digunakan untuk mengembangkan usahanya. (Indrio Gito Sudarmo dalam Mintansih Indrayu, dkk, 2002: 1)

Bisnis adalah suatu usaha yang meliputi semua aspek kegiatan untuk mengeluarkan barang-barang melalui saluran produktif dari membeli bahan mentah sampai barang jadi. Jadi pada pokoknya kegiatan bisnis meliputi perdagangan, pengangkutan, penyimpanan, pembelanjaan dan pemberian informasi. (Basu Swasta DH,1998: 11)

(21)

Brown dan Petrello yang dikutip oleh Buchari Alma dalam Mintansih indrayu, dkk (2002:1) bisnis adalah suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat sambil memperoleh laba. Kegiatan bisnis mencakup usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak pemerintah dan swasta baik yang mengejar laba ataupun tidak.

Dari berbagai pendapat tentang definisi bisnis diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa bisnis adalah suatu usaha yang menghasilkan barang dan jasa untuk memperoleh laba.

b. Klasifikasi dan Ruang Lingkup Kegiatan Bisnis

Menurut Buchari Alma dalam Mintansih Indrayu, dkk (2002: 3-4) kegiatan bisnis yang bergerak dalam bidang komersial diklasifikasikan menjadi: 1. Usaha pertanian

Usaha ini banyak macamnya, seperti usaha peternakan,usaha perkebunan, pertanian, perikanan dan sebagainya.

2. Produksi bahan mentah

Usaha ini menghasilakan bahan mentah penting bagi industri lainnya, seperti pertambangan, kehutanan, perikanan dan lain-lain

3. Usaha pabrik/ manufaktur

Usaha ini mengolah bahan mentah menjadi bahan baku sampai menjadi barang jadi. Usaha ini banyak dijumpai di sepanjang jalan raya ataupun lokasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

4. Usaha konstruksi

Usaha ini bergerak dalam usaha pembangunan seperti pembangunan jalan-jalan, bangunan rumah, gedung,pertokoan, rumah sakit,sekolah dan lain-lain. 5. Usaha perdagangan

(22)

6. Usaha pengangkutan

Usaha ini sangat membantu kelancaran usaha-usaha lainnya dengan melakukan kegiatan pengangkutan barang di darat, laut, sungai maupun di luar udara.

7. Usaha keuangan dan asumsi

Usaha ini memberikan kemudahan kepada kegiatan bisnis dalam hal keuangan, seperti Bank, dan lembaga keuangan non bank. Demikian pula usaha asumsi membantu mengatasi resiko yang mungkin dihadapi oleh bisnis.

8. Usaha jasa

Usaha ini membantu kegiatan bisnis, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti: Biro Reklame, Konsultan Hukum, Dokter dan lain-lain.

Menurut Indriyo Gitosudarmo dalam Mintansih Indrayu (2002: 4-5) berdasarkan jenis kegiatannya, bisnis diklasifikasikan menjadi:

1. Ekstraktif, yaitu bisnis yang melakukan kegiatannya dalam bidang pertambangan. Sebagai contoh adalah bisnis alumunium, baja, batu bara, emas, intan dan lain-lain.

2. Agraria, yaitu menjalankan bisnisnya dalam bidang pertanian misalnya: beras, tembakau, cengkeh, kedelai dan lain-lain. Dalam hal ini termasuk pula perusahaan agraria adalah budidaya perikanan udang ataupun peternakan.

3. Industri/manufaktur, yaitu bisnis yang bergerak di bidang industri seperti tekstil, garmen, konfeksi, mebel, perumahan dan lain-lain.

(23)

c. Jaringan Bisnis

Bisnis diserap dari bahasa Inggris “Business” yang berarti kegiatan usaha. Secara luas, bisnis sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjual belikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan ( Richard Burton Simatupang disampaikan dalam makalah legal bisnis oleh Anjar Sri Ciptorukmi N, 2010: 1). Dari pengertian tersebut maka yang menjalankan usaha bisa orang perseorangan , kumpulan orang atau badan usaha. Obyek kegiatan usaha tidak hanya berupa benda berwujud (barang) tapi juga dapat berupa benda tidak berwujud (jasa atau fasilitas).

Secara kelembagaan, jaringan bisnis dikembangkan melalui perseroan terbatas, koperasi, yayasan. Model Soeharto-Liem berkembang dengan pesat dalam bisnis tentara. (http://www.ksatrian.or.id. Diunduh Pada Tanggal 5 Mei 2010)

1) PT

(24)

2) Koperasi

Menurut UU No 25 Tahun 1992 tentang koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Pendirian koperasi dengan membuat akte pendirian yang kemudian dimintakan pengesahannya kepada Dinas Koperasi yang membawahi wilayah koperasi berkedudukan hukum. Pembubaran koperasi dapat terjadi karena keputusan rapat anggota atau keputusan pemerintah. (Anjar Sri Ciptorukmi N, 2010: 3).

3) Yayasan

Setelah didesak oleh IMF, Pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU No.16/2001 tentang yayasan. Ini adalah peraturan pertama tentang yayasan di Indonesia. Sebelumnya, tidak ada aturan yang jelas tentang yayasan. Peraturan yang bisa dipergunakan sebagai dasar hukum yayasan adalah KUH Perdata Pasal 365,900,1680, selain pasal 236 Rv. Tetapi pasal-pasal tersebut tidak memberikan rumusan tentang pengertian yayasan. Apalagi memberikan aturan secara jelas dan tegas. Karena itulah, yayasan dipergunakan oleh banyak organisasi sebagai badan hukum. Termasuk untuk kepentingan bisnis, seperti yayasan milik Soeharto dan yayasan militer. Badan hukum yayasan sebetulnya dipilih oleh militer untuk mengantisipasi peraturan yang melarang tentara berbisnis. Pada umumnya, tujuan pendirian yayasan di lingkungan militer untuk meningkatkan kesejahteraan TNI. (Danang Widoyoko, 2003: 69-70).

(25)

Juga yayasan yang mengelola sekolah, terutama yayasan kecil di mana pengurus adalah pelaksana sehari-hari.

Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, untuk mendirikan yayasan diperlukan pengesahan oleh Menteri Kehakiman dan HAM (pasal 11). Tetapi dalam UU No.16 Tahun 2001 diperlukan pengesahan oleh negara. Besarnya campur tangan negara juga bisa dilihat dalam pembubaran yayasan. UU No.16 Pasal 62 menyatakan bahwa yayasan dapat dibubarkan apabila:

 Masa waktu pendiriannya telah habis  Tujuan pendirian yayasan telah terpenuhi

 Putusan pengadilan yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:

1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan

2) Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit atau

3) Harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.

(26)

2. Militer a. Pengertian Militer

Karakteristik militer yang paling utama adalah profesionalisme. Tugas utama terbatas pada pelaksanaanya, bukan perumusan kebijaksanaan, tetapi bekerja dalam satu kesatuan dengan para elit politik di tingkat pengambilan keputusan. Angkatan bersenjata tidak memiliki komitmen ideologi khusus yang terpisah dari apa yang sudah dirumuskan oleh para elit politik sipil. Militer bekerja dengan kode-kode etik organisasional yang dirumuskan dengan tegas, dengan memberikan tekanan kecil terhadap personalitas, kecuali pada masa-masa perang dan untuk tujuan-tujuan propaganda. (Horowitz, 1985: 8-9).

Kekuatan negara banyak ditentukan oleh kuantitas maupun kualitas militernya. Sebuah negara akan disegani, diperhitungkan dan bahkan bias mempengaruhi negara lain apabila mempunyai kekuatan yang menyediakan sarana untuk integrasi nasional. Yahya Muhaimin, (1982: 1-2) menjelaskan bahwa militer adalah satu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin dan dipersenjatai, yang diperbedakan dari orang-orang sipil, yang mempunyai tugas pokok melakukan pertempuran dan memenangkan peperangan sebagai tanggungjawabnya guna mempertahankan dan memelihara keamanan dan keselamatan umum serta eksistensi negara.

Dari berbagai pendapat tentang definisi militer diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa militer adalah sekumpulan orang-orang yang mempunyai ciri berbeda dari orang-orang sipil, yang terorganisir dan dipersenjatai, yang berperan di bidang pertahanan dan keamanan.

b. Tipe-Tipe Militer

(27)

1. Militer Profesional

Tipe militer profesional terutama muncul di dalam sistem politik yang stabil. Perwira profesional di zaman modern merupakan satu kelas sosial yang baru dan mempunyai ciri-ciri dasar: 1) keahlian (manajemen kekerasan), 2) Pertautan (tanggung jawab kepada klien, masyarakat atau negara), 3) Korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi), 4) Ideologi (semangat militer). (Burhan Magenda mengacu pendapat Samuel P. Huntington dalam Iswandi, 1998: 5-6).

Sedangkan Talcot Parson, yang disitir oleh Almost Perlmutter dalam Iswandi (1998: 6) menjelaskan, profesi militer merupakan contoh menarik dari profesionalisme organisasi yang otonom. Seperti halnya profesi-profesi modern lainnya, profesi militer merupakan ekspresi dari ”tipe sosial” yang baru. ”Suatu pengelompokan kultural dan sosial yang mencolok yang terdiri atas para individu yang bukan kapitalis dan bukan buruh, juga mereka bukan administrator-administrator pemerintahan dan birokrasi.

Pada perkembangannya, karakter korporasi yang kuat yang ditunjang dengan otonomi, menyebabkan mereka ”justru bergerak ke arah otoriterisme seiring dengan pertumbuhan industri negaranya. Hal itu menunjukkan bahwa industrialisasi makin melibatkan militer profesional dalam formulasi kepentingan nasional yang menjadikannya berwatak ekspansionis” (Burhan Magenda dalam Iswandi 1998: 6). Sikap intervensionis yang ekspansif dari militer seringkali didasarkan pada beberapa faktor, tapi ”faktor-faktor penting yang menyebabkan golongan militer melakukan intervensi bukan alasan yang bersifat militer, melainkan politis,” (Samuel P. Huntington dalam Iswandi, 1998: 6). Hal ini disepakati (Almost Perlmutter dalam Iswandi, 1998: 6) yang berpendapat bahwa: ” motivasi tentara untuk melakukan campur tangan jelas adalah politik, bahkan kalau ia didorong oleh kondisi-kondisi sosial yang tidak dilembagakan ”.

(28)

Di dalam setiap masyarakat, golongan militer melibatkan diri di bidang politik dengan tujuan untuk memperoleh gaji yang tinggi dan pengaruh militer yang lebih besar. Di dalam masyarakat yang sedang berkembang, golongan militer tidak hanya menaruh perhatian terhadap masalah gaji dan promosi, meskipun memang demikian, tetapi juga terhadap distribusi kekuasaan dan status dalam seluruh sistem politik.

Menurut Harris Jenkins Gwyn dalam Iswandi (1998:7) mengatakan, ”sebagai suatu organisasi yang mempunyai tujuan, suatu lembaga yang dinamis dan bukan statis dalam masyarakat, perubahan dalam angkatan bersenjata bukanlah fenomena baru”. Lebih jauh lagi, menurut Gwyn, baik sebagai suatu organisasi maupun sebagai profesi, militer penuh dengan contoh sifat dan pangaruh inovasi. Perkembangan teknologi, perubahan peranan, pergeseran doktrin strategi dan taktik, dan di atas segalanya, pengaruh perang dengan berbagai cara secara bersama-sama meninggalkan bekas pada angkatan bersenjata sekarang ini. Militer sebagai cermin masyarakat, perubahan masyarakatnya jelas dipengaruhi format angkatan bersenjata.

Samuel P. Huntington dalam Iswandi (1998: 7) pernah mengatakan bahwa sampai sebegitu jauh, tidak banyak aspek modernisasi yang lebih menonjol atau senilai dengan campur tangan militer dalam bidang politik. Junta dan Kup, pemberontakan militer dan rezim militer merupakan fenomena yang senantiasa muncul. Sedangkan menurut Morris Janowitz dalam Iswandi (1998: 8) bahwa keterlibatan militer dalam bidang poltik karena etos mereka untuk memberikan pelayanan umum. Struktur kemampuan mereka yang memadukan kapasitas manajerial dengan sikap heroik. Hal itu dilihat dari segi kelas menengah dan kelas menengah tingkat yang lebih rendah, dan persatuan intern mereka”.

2. Militer Pretorian

(29)

militer) memang lebih sering timbul di masyarakat-masyarakat yang bersifat agraris atau transisi secara ideologis terpecah-pecah.

Jenis-jenis pretorianisme menurut Perlmutter dalam Iswandi (1998: 11) dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, pretorianisme modern otokrasi; adalah bentuk tirani militer yang sederhana, pemerintahan oleh satu orang. Dalam sistem ini, kekuasaan pribadi yang tidak dibatasi terwujud dalam diri penguasa tertinggi. Kedua, pretorianisme modern oligarki; adalah bentuk pemerintahan yang dikuasai oleh segelintir orang. Ketiga, pretorianisme modern otoroter; adalah bentuk pemerintahan yang ditandai oleh fusionis militer-sipil.

Adapun pembagian pretorianisme berdasar peran dalam kelembagaan politik menurut Samuel P. Huntington yang disepakati oleh Almost Perlmutter dalam Iswandi (1998: 11-12) sebagai berikut: Pertama, tentara sebagai penengah (arbitrator); sifat intervensionis iliter adalah pada saat muncul konflik. Setelah berhasil mengelola konflik, kekuasaan dikembalikan pada sipil. Kedua, tentara sebagai yang memerintah (the rule army); model tentara ini tampak dari ambisi militer yang kuat untuk menguasai negara, yang seringkali meraihnya dengan cara-cara kekerasan. Ketiga, tentara revolusioner, merupakan model tentara yang kelahirannya berawal dari sebuah proses revolusioner.

3. Militer Revolusioner

Tipe tentara revolusioner jelas dapat dibedakan dari tipe profesional dan tipe pretorian karena tentara revolusioner lahir didasarkan pada kebutuhan akan kekuatan fisik yang mendukung terselenggaranya sebuah revolusi seperti yang lazim terjadi di negara dunia ketiga, yakni revolusi merebut kemerdekaan dari kekuasaan pemerintahan kolonial. (Iswandi, 1998:12).

Hal diatas diperkuat dengan penjelasan Burhan Magenda yang mengacu pendapat Amos Perlmutter dalam Iswandi (1998: 12) bahwa lahirnya tentara revolusioner adalah sebagai hasil proses persenjataan seluruh bangsa (nation in arms), lebih lanjut Magenda mengatakan:

(30)

perwira. Bahkan banyak yang sama sekali tidak bermaksud menjadi tentara, tapi karena panggilan bangsa maka masuk tentara"(1988:xxi).” Dari ketiga tipe militer berdasarkan klasifikasi Perltmutter di atas, maka militer di Indonesia atau TNI bisa digolongkan ke dalam dua tipe yaitu tipe tentara revolusioner dan tentara pretorian. Sebagai tentara revolusioner, TNI sebagai institusi militer di Indonesia adalah suatu angkatan bersenjata yang lahir dari rahim suatu revolusi, yakni Revolusi Nasional Indonesia. Militer adalah alat negara yang bersama-sama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara. Militer bermaksud untuk hidup dan mati dengan negara hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila, sehingga keselamatan negara dan bangsa merupakan kepentingan utama militer.

c. Sistem Militerisme

Politik tidak dapat dilepaskan dari masalah ruling class (golongan yang memerintah), yaitu suatu minoritas yang memegang kekuasaan di setiap masyarakat dan negara atas golongan terbesar yakni rakyat. Di negara manapun, baik di negara kita maupun di negara-negara lain, tidak mungkin setiap warga memiliki pengaruh yang sama atas pemerintahan, yang memerintah hanyalah segolongan kecil orang berpengaruh dengan memberikan arah serta jalan ada negara dan masyarakat. Golongan kecil ini menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasan dan menikmati keuntungan dari fungsi-fungsi itu. Dengan bermacam-macam cara, kekuasaan ini dijalankan oleh golongan tersebut. Kadang-kadang menurut hukum yang berlaku, Kadang-kadang secara sewenang-wenang dan kadang dengan kekerasan, kadang atas nama Tuhan atau atas nama rakyat, atas nama revolusi atau demi tujuan mencapai masyarakat adil dan seterusnya.

(31)

men of the pen ” para cerdik-pandai” yang dikenal dengan berbagai istilah seperti klerk literati, cendekiawan dan kadang juga kaum teknokrat. Golongan cendekia ini dapat ditemukan dalam berbagai lembaga resmi, tergantung dari zaman dan masyarakat masing-masing seperti, misalnya para Brahmana (India/Jawa), ulama (Islam), Gereja (Eropa Abad Pertengahan), birokrat (kekaisaran Tiongkok). Pada zaman sekarang, golongan ini dapat ditemui di antara para politisi, cendekiawan dan sebagainya.

Dewasa ini militer telah tumbuh sebagai suatu profesi bersama dengan profesi-profesi lain yang diperlukan untuk mengatasi keadaan-keadaan sosial, politik, keamanan dan sebagainya. Sebagai profesi, golongan militer dengan sendirinya tidak hanya terdiri dari kelas bangsawan atau priyayi, melainkan telah pula merakyat dan dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat bawah. Sementara itu, profesi militer mengalami sosialisasi dalam bentuk birokratisasi. Hal ini menandai suatu tahap baru dari perkembangan militerisme modern.

Jika di zaman lampau gejala militerisme tercermin dalam feodalisme dan warlordisme (warlord = pemimpin atau panglima perang), maka dewasa ini

adanya klik-klik militer merupakan gejala lain pula. Klik-klik militer ini biasanya tumbuh dalam keadaan ketika kesadaran akan batas-batas teritorial negara dan kesatuan nasional telah mantap. Tujuan suatu klik militer yang hendak berkuasa bukanlah untuk memisahkan diri dari pemerintahan pusat seperti pada bentuk feodalisme dan warlordisme, melainkan untuk memperebutkan pengaruh dan

(32)

d. Perkembangan Militer Indonesia

Pembentukan birokrasi militer diawali dari peristiwa 17 Oktober 1952. Dalam peristiwa ini militer menuntut hak tidak hanya sebagai alat negara, namun juga sebagai anggota birokrasi yang ikut menentukan kehidupan negara. Adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan perkebunan Belanda, tahun 1957-1958, militer mengambil peranan untuk ikut menguasai perusahaan dan perkebunan. Mulai dari itu militer mengembangkan tugasnya di bidang usaha, dan lebih jauh mendirikan perusahaan-perusahaan sendiri yang dilakukan oleh setiap angkatan, maupun pribadi. Setelah tahun 1965, memasuki era Orde Baru, militer mulai menguasai birokrasi pemerintahan di Indonesia. Birokrasi militer itu tidak hanya ditingkat pusat, namun sampai juga di daerah-daerah. Kemudian dalam masyarakat muncul pameo/ pamflet, bahwa republik sedang mengadakan “penghijauan” yang artinya aparatur birokrasi diusahakan dipegang oleh militer.

Strategi ekonomi Orde Baru ialah mengarahkan pertumbuhan ekonomi yang maksimal dengan menggunakan modal asing dan teknologi asing secara besar-besaran. Dalam masalah pengelolaan modal asing dan modal Cina, kaum birokrat militer menggunakan kesempatan mengambil keuntungan, yaitu dengan memberikan konsesi, lisensi dan kontrak. Dengan menggunakan kekuasaan dan jabatan, birokrat militer menguasai pusat-pusat perdagangan, mereka mendapatkan bagian keuntungan dari modal asing dan Cina. Keuntungan dari modal asing dan modal Cina itu juga dipergunakan untuk memperkuat struktur kekuasaan birokrasi militer. Oleh karena itu ada simbiosis mutualisme antara modal asing dan modal Cina dengan birokrasi militer. Penguasa birokrasi militer selalu berusaha menciptakan stabilitas nasional, untuk menjamin keselamatan modal asing dan modal Cina. Sebaliknya pengusaha pemilik modal asing dan Cina memberikan keuntungan kepada para birokrat militer.

(33)

lemah. Akibat dari kondisi permodalan negara atau yang dipegang oleh birokrasi secara resmi itu lemah, maka akan melemahkan kedudukan birokrasi itu sendiri dan perekonomian negara. Apabila pihak penanam modal asing dan Cina itu memutuskan tidak menanamkan modalnya lagi di Indonesia atau membawa lari modalnya keluar negeri, maka posisi birokrasi akan goyah, dan negara juga dapat mengalami krisis moneter. Agar perekonomian negara dan perekonomian rakyat kuat, maka diperlukan pendekatan terhadap pengusaha asli. Pengusaha asli dapat diharapkan mengumpulkan modal produktif, yang dapat menyangga (sebagai pelopor) perekonomian negara dan perekonomian rakyat. Seharusnya para birokrat dan pengusaha militer mulai menyadari, perlu adanya pendekatan dengan pengusaha asli. Disertai pengembangan modal pengusaha asli, sehingga sewaktu-waktu modal asing dan Cina lari, dalam negeri masih mempunyai modal yang produktif. (http://sejarah.fib.ugm.ac.id/. Diunduh Pada Tanggal 17 Februari 2010). Perkembangan militer di Indonesia dimulai dari:1) Perang Kemerdekaan (1945-1949) yang sangat menentukan profil, sifat dan watak prajurit ABRI sebagai pejuang prajurit dan prajurit pejuang. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, tidak segera dibentuk tentara kebangsaan. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri hanya memuat dua pasal mengenai Angkatan Perang dan pembelaan negara, yaitu pasal 10 yang menetapkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dan pasal 30 yang menentukan bahwa tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara yang syarat-syaratnya diatur Undang-Undang, tidak mengherankan perkembangan tentara Indonesia dalam Negara Republik Indonesia lebih banyak ditentukan oleh dinamika jalannya

revolusi perjuangan bangsa daripada oleh ketentuan Undang-Undang Dasar. 2) Zaman Demokrasi Liberal (1949-1959) dimana ABRI, walaupun menyadari

(34)

karenanya peran ABRI pada waktu itu selaku kelompok kepentingan yang dalam usaha mencapai aspirasi politiknya ada kalanya melakukan tekanan-tekanan terhadap pemerintah.

Kegagalan penerapan sistem Demokrasi Liberal, telah melahirkan pemikiran untuk kembali ke sistem ketatanegaraan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, berakhirlah posisi ABRI selaku kelompok kepentingan dan sejak saat itu ABRI mempunyai kedudukan resmi dalam system politik dan pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan memainkan peranannya di bidang politik sebagai salah satu golongan fungsional (golongan karya) yang sesuai semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hak-hak politik seperti halnya dengan partai-partai politik. 3) Demokrasi Terpimpin yang merupakan konsep pemikiran Presiden Soekarno memberikan tempat dan peranan bagi golongan fungsional dalam kehidupan politik kenegaraan, khususnya di lembaga-lembaga perwakilan, di samping partai-partai lainnya. Konsep tersebut hanya dapat terlaksana apabila sistem politik dan ketatanegaraan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Ternyata dalam Demokrasi Terpimpin (1959-1966) tersebut masih juga terjadi penyelewengan-penyelewengan konstitusional yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dan menjurus menjadi pemerintahan diktator. Disamping itu muncul kembali bahaya dari partai Komunis Indonesia yang telah berhasil menjadi partai terkuat pada masa itu. Dalam keadaan yang demikian tidak dapat dihindari adanya sikap permusuhan antara PKI dan ABRI, yang memuncak dengan meledaknya pemberontakan G30S/PKI. Sebagaimana diketahui pemberontakan itu akhirnya berhasil ditumpas oleh ABRI bersama rakyat, baik secara fisik maupun politis. Keraguan Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan politik menyebabkan hilangnya kewibawaannya, dan akhirnya pada tanggal 11 Maret 1966 dikeluarkan surat perintah kepada Menteri/ Pangad Letnan Jenderal Soeharto untuk menyelamatkan bangsa dan negara.

(35)

nasional, serta mempercepat pembangunan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam usaha-usaha ini ABRI merupakan kekuatan pendorong, bertindak selaku dinamisator dan stabilisator, bersama-sama dengan kekuatan sosial politik lainnya bertanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa.(Soebijono,1992:8-9).

3. Politik Orde Baru

Sasaran pembangunan Orde Baru bertumpu pada aspek ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik yang bisa mendukung pembangunan ekonomi. Bahkan ada pula pakar yang berpendapat bahwa cita-cita utama Orde Baru adalah menegakkan negara Pancasila, mengamankan/menyelamatkan kehidupan politik agar tidak mengganggu pembangunan ekonomi, serta menjamin peran tentara dalam mengarahkan kehidupan masyarakat. Orde Baru pernah berjanji atau memberikan jaminan untuk menyelamatkan stabilitas politik dan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melaksanakan pemilihan umum, melaksanakan landasan luar negeri yang bebas dan aktif dan meneruskan perjuangan melawan imperialisme.

Pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno didesak oleh tentara untuk mengalihkan kekuasaannya kepada Soeharto dengan demikian Soekarno memberikan kendali pemerintahan kepada tentara. Tentara menjalankan kekuasaan setelah 1965, tetapi tidak punya gagasan mengenai bagaimana mengatur negara. Benar bahwa ABRI mempunyai doktrin dwi fungsi yang menganggap bahwa memiliki peranan ganda dalam fungsi militer maupun non-militer, tetapi tidak ada pernyataan yang tegas menyangkut apa yang harus dikerjakannya setelah berkuasa. Apakah akan mengatur negara melalui pembentukan sebuah pemerintahan militer, atau sebuah partai politik yang akan mewakili kepentingan-kepentingan militer.

(36)

bahwa militer di samping berfungsi untuk bertempur dan memenangkan peperangan guna mempertahankan eksistensi negara juga harus berusaha untuk menciptakan atau menjaga agar kehidupan masyarakat dapat terbina dengan baik.

Istilah dwi fungsi baru dugunakan secara luas pada zaman Orde Baru, walaupun sebenarnya konsep dwi fungsi itu sudah ada sejak zaman revolusi, mungkin karena istilah dwi fungsi baru digunakan secara luas pada zaman Orde Baru ketika tentara memang dominan dalam pemerintah, muncullah kecenderungan dalam masyarakat untuk menyamakan dwi fungsi dengan dominasi militer (A.H.Nasution,1971:100).

Masa Orde Baru adalah puncak keterlibatan militer dalam politik sepanjang sejarah kemerdekaan. Dalam masa ini militer terlibat secara jauh di dalam birokrasi, partai masa dominan (mass-dominant party: Golkar), legislatif praktik ekonomi dan bisnis. Realisasi program pembangunan yang memungkinkan militer bersentuhan langsung dengan rakyat banyak dan praktik-praktik keamanan dan intelejen dalan rangka pengamanan pembangunan.

Saran untuk menyelenggarakan pemilihan umum disambut oleh MPRS ( Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan diteruskan oleh pejabat tentara yang lebih moderat yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Pada mulanya, pada 1996 sidang MPRS memutuskan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu dua tahun (yaitu sebelum 5 Juli 1968). Pemilu ini akan menjadi penting dari sudut pandangan militer karena akan mengabsahkan kedudukannya di Indonesia. Partai-partai politik juga diharapkan muncul kembali melaui pemilihan umum.

(37)

memberi peluang besar bagi wakil militer untuk mempengaruhi keputusan penguasa dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat MPR.

Bagian yang tidak terpisahkan dari peran sosial politik militer adalah keterlibatan militer dalan praktek ekonomi dan bisnis secara luas. Pada masa Orde Baru praktek ekonomi dan bisnis oleh militer semakin luas. Hal ini merupakan strategi politik Soeharto untuk menetapkan loyalitas militer ke Soeharto. Kedudukan militer dalam birokrasi mengakibatkan militer dapat memanfatkan kekuasaan birokrasi untuk membuat jaringan ke dalam lingkungan ekonomi dan bisnis. Praktek ini memunculkan kelompok borjuis birokrasi militer dalam masa Orde Baru yang memberikan kesempatan peranan dominan dalam perusahaan-perusahaan negara dan kemudian meluas pada sektor usaha swasta. (Yahya A Muhaimin, 1990: 189).

B. Kerangka Berfikir Dwi fungsi ABRI

Militer

Bisnis Militer

Dampak terhadap profesionalisme militer Keterangan:

(38)

keamanan dan juga turut menangani masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Para anggota BKR berasal dari pemuda-pemuda pejuang Indonesia, diantaranya para mantan anggota Peta, Heiho, Seinendan, Barisan Pelopor dan para pemuda lainnya yang secara suka rela mencatatkan diri untuk menjadi anggota BKR. Keputusan PPKI yang hanya membentuk BKR sebagai wadah perjuangan bersenjata mengundang ketidakpuasan kalangan pemuda. Mereka menghendaki dibentuknya sebuah tentara kebangsaan nasional sebagaimana pernah diputuskan PPKI sebelumnya. Ketidakpuasan itu ditunjukkan dengan membentuk laskar perjuangan. Keadaan ini menimbulkan dualisme yang mengakibatkan konflik internal dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapai sekutu yang ingin kembali ke Indonesia.

Setelah mendapat desakan dari berbagai pihak, pada tanggal 5 oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat No. 2/X/45 yang berisi tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dengan maklumat ini secara otomatis BKR dan badan-badan laskar perjuangan berubah menjadi TKR. Keadaan ini disambut baik oleh rakyat. Banyak pemuda yang belum tergabung dalam BKR dan laskar perjuangan mendaftarkan diri sebagai anggota TKR. Tanggal 5 Oktober tersebut kemudian diakui sebagai hari TNI (ABRI).

(39)

Dwi fungsi ABRI dalam perkembangannya telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Demokrasi Pancasila, harus diakui secara jujur bahwa masih ada sementara pihak yang mempersoalkan eksistensinya. Mereka yang menolak dwi fungsi ABRI menganggap bahwa tidak seharusnya ABRI menempati jabatan-jabatan di luar fungsi Hankam, karena menganggap bahwa jabatan tersebut merupakan porsi golongan sipil. Mereka mengemukakan bahwa keberadaan ABRI di luar fungsi Hankam disebabkan oleh adanya keadaan darurat di masa lalu yang dipertahankan. Maka kritik yang tajam dilontarkan dengan mengatakan bahwa konsep dwi fungsi ABRI adalah merupakan "pembenaran" terhadap keadaan darurat yang hendak dipertahankan tersebut.

Mereka yang tidak menghendaki dwi fungsi ABRI mempunyai alasan yang tidak sama. Pertama, mereka yang menganut paham demokrasi parlementer, atau demokrasi liberal yang menganut konsep supremasi sipil atas militer (civilian supremacy). Mereka melihat keberadaan ABRI di luar fungsi Hankam sebagai

intervensi militer yang mengarah kepada militerisme. Kedua, mereka yang dapat menerima dwi fungsi ABRI, namun banyaknya karyawan ABRI dianggap mengurangi " jatah " dan mengganjal "carier planing" pegawai negeri sipil. Memang cukup banyak mereka yang tidak senang terhadap Dwifungsi ABRI bukan karena tidak setuju dengan konsep dwi fungsi ABRI, tetapi karena dalam implementasinya masih terdapat kelemahan-kelemahan. (Soebijono, 1992:1-2)

Gerakan etika bisnis mulai bergulir di Amerika Serikat setelah terjadi sejumlah skandal bisnis. Pada permulaannya etika bisnis itu sering diragukan. Malah ditanyakan apakah paham "etika bisnis" tidak merupakan sebuah oxymoron atau kontradiksi dalam sebutan, karena menurut kodratnya bisnis sering dianggap justru tidak etis. Keraguan itu sekarang sudah banyak hilang. Rupanya dalam dunia bisnis kini telah terbentuk sikap lebih positif. Sudah tertanam keinsafan bahwa bisnis harus berlaku etis demi kepentingan bisnis itu sendiri. Terdengar semboyan baru seperti Ethics Pay (etika membawa untung), Good business is ethical business, Corporate ethics: a prime business asset. Tentang etika bisnis

(40)

membawa untung! Tidak perlu Anda menipu untuk menang). Akan tetapi di Indonesia, sampai sekarang jarang tampak keyakinan bahwa moralitas yang baik merupakan salah satu kunci untuk berhasil di bidang bisnis. Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral. Moralitas tidak merupakan suatu komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu kerangka sosial. Di Indonesia cukup lama etika bisnis mengalami kesulitan karena tidak didukung oleh suatu kerangka sosial-politik yang sehat. Salah satu buktinya, di Indonesia pun tidak kekurangan skandal-skandal bisnis (seperti juga di negara-negara lain), tetapi tidak satu pun diselesaikan sampai tuntas, karena backing-backingan dari pihak penguasa. Banyak pengamat berpendapat bahwa krisis yang dialami bangsa Indonesia saat pergantian abad pada dasarnya merupakan krisis moral, bukan krisis moneter, ekonomis atau politik saja. Jika pelaksanan hukum, umpamanya, dapat dibeli dengan uang dan direkayasa oleh penguasa politik, hal itu merupakan masalah moral yang amat mendasar. (K Bertens, 2000: 387-389).

(41)

human traficking, serta perdagangan gelap senjata dan narkotika. Usaha-usaha

lebih tidak diketahui lagi nilai keuntungannya, lantaran juga tidak terkontrol dan kerap diingkari, meskipun sudah banyak temuan yang diungkap melaui media massa dan sejumlah penelitian. ( M. Najib Azca,dkk, 2004: 18-19).

Dari segi professionalism, keberadaan dan posisi militer pada umumnya langsung dikaitkan dengan keahlian yang mereka miliki yakni sebagai penguasa alat-alat kekerasan (manager of violence) yang mereka manfaatkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil. Dalam konteks ini, militer adalah instrument yang harus ada dalam seluruh system penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat. (Iswandi, 1998: 3).

(42)

30

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul "Bisnis Militer Pada Era Orde Baru", penulis melaksanakan penelitian dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan untuk melaksanakan penelitian ini, antara lain:

a. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan PIPS FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

e. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. f. Perpustakaan Daerah Surakarta.

g. Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta. h. Perpustakaan Institut Seni Indonesia Surakarta. i. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.

(43)

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Juli 2010.

B. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Gilbert J. Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 43) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.

Dari pengertian tersebut, maka metode dapat didefinisikan sebagai cara, jalan, dan teknik yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah-langkah sistematis. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji serta tujuan yang akan dicapai, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk direkonstruksikan menjadi cerita sejarah melalui langkah atau metode historis. Dengan demikian metode historis merupakan langkah (cara) ilmiah yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini.

(44)

Berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode historis adalah suatu kegiatan mengumpulkan, mengkaji, menganalisis, dan menafsirkan gejala-gejala atau peristiwa masa lampau yang secara imajinasi didasarkan dari data yang diperoleh serta menyertakan suatu sintesa hasil yang dicapai dalam penulisan sejarah sehingga membentuk suatu historiografi.

Penelitian ini menggunakan metode historis karena substansi tema penelitian ini tentang peristiwa masa lampau, maka metode historis dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa, yaitu:

”Bisnis Militer Pada Era Orde Baru”. TNI sebagai kesatuan militer yang

bersifat intervensionis tidak dapat dipisahkan dari isu soal anggaran dan bisnis militer. Bisnis dikalangan militer, baik legal maupun ilegal, adalah problem yang menjadi dekorasi rumitnya upaya membangun kontrol sipil atas militer. Hubungan sipil dan militer dalam kerangka ideal sering diharapkan mencerminkan hubungan yang subordinatif, dimana otoritas politik sipil memegang kendali penggunaan militer. Militer semata sebuah kekuatan bersenjata, terlatih, profesional, yang hanya memiliki orientasi membangun diri menjadi kekuatan efektif mendukung putusan politik otoritas sipil dalam kerangka mewujudkan tujuan-tujuan negara. Sementara realitas memang menggambarkan kondisi sebaliknya, dimana militer menjadi semacam kekuatan sosial otonom, yang membangun berbagai orientasinya sendiri.

C. Sumber Data

(45)

Sehubungan dengan hal tersebut maka sumber sejarah dapat berupa lisan, tertulis ataupun benda-benda sejarah. Sumber sejarah dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang disampaikan langsung oleh saksi mata. Dikatakan sebagai sumber sekunder karena tidak disampaikan langsung oleh saksi mata dan bentuknya dapat berupa buku-buku, artikel, koran, majalah (Dudung Abdurrahman, 1999: 56). Louis Gottschalk (1975: 17) berpendapat bahwa penelitian historis tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi atau penyaksian yang dituliskan pada waktu peristiwa terjadi. Data sekunder diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang lain yang satu kali atau lebih lepas dari aslinya. Diantara kedua sumber tersebut, sumber primer dipandang memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama dan diberi prioritas dalam pengumpulan data.

(46)

Maruli H. Panggabean.1992. Oktober 13. "Strategi Kemiliteran Berbeda Dengan Strategi Bisnis". Suara Pembaharuan. 2, Pria Takari Utama.1992. Edisi November. “ Kiat PolisiMengejar Premi ”.No.155. Info bank. 26-27, Rustam Effendy. 1992. Oktober 16 . "Tanggapan Ulang Terhadap Strategi Militer dalam Bisnis". Suara Pembaharuan. 2, Syahriel Mochtar, dkk. 1992. Edisi November. “ Yayasan Milik ABRI ( Bisnis Uang Militer) ”.No.155. Info bank. 14-17, TB Silalahi. 1992. Oktober 5. "Strategi Militer Dalam Bisnis". Suara Pembaharuan.1, TB Silalahi. 1992. Edisi November. “ Ya, Dagang Benaran! ”.No.155. Info bank. 22-23. Eko Budi Supriyanto .1992. Edisi November.“ Bank Milik Empat Angkatan ”.No.155. Info bank. 19, Eko Budi Supriyanto. 1992. Edisi November. “ Dari Siliwangi Ke Eka Paksi ”.No.155. Info bank. 20-21, Eko Budi Supriyanto .1992. Edisi November. “ Saham AL Mau Dilepas ”.No.155. Info bank. 24, Eko Budi Supriyanto .1992. Edisi November. “ Yang Belum Mengangkasa ”.No.155. Majalah Info bank. 25.

Sumber data sekunder yang digunakan seperti buku karangan Indria Samego “TNI Di Era Perubahan”, buku karangan M.C. Ricklefs “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004”, buku karangan M. Najib Azca "Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga" , buku karangan Mintansih Indrayu "P engantar Bisnis" , buku karangan Soebijono "Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan P eranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia" , buku karangan Usdiyanto "Bahasa Militer" , buku karangan Danang Widoyoko " Bisnis Militer Mencari Legitimasi"

, buku karangan Basu Swastha. "P engantar Bisnis Modern" , buku karangan Iswandi "Bisnis Militer Orde Baru".

(47)

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heuristik.Teknik pengumpulan data dalam penelitian historis merupakan salah satu langkah yang penting. Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Menurut Koenjaraningrat (1986: 36), bahwa keuntungan dari studi pustaka ada empat hal, yaitu: (1) memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga memperdalam dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian.

Menurut Florence M.A. Hilbish, mengemukakan bahwa catatan-catatan dalam pengumpulan data ada tiga bentuk, yaitu: (1) quation (kutipan langsung), (2) citation atau indirect quation (kutipan tidak langsung), (3) summary (ringkasan) dan comment (komentar)

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data melalui studi pustaka yang dilakukan terhadap arsip, buku, majalah, surat kabar yang terbit pada masa itu atau yang terbit kemudian. Bahan ini dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang diteliti. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut:

(48)

Indonesia, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Perpustakaan Institut Seni Indonesia Surakarta.

2) Membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku literatur karangan sejarawan yang dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian yang tersimpan di perpustakaan berdasarkan periodisasi waktu atau secara kronologis.

3) Mengumpulkan data yang telah diperoleh dari perpustakaan untuk digunakan dalam menyusun karya ilmiah.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Syamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.

Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992: 2) analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan penelitian.

(49)

Heuristik Kritik

Sumber Interpretasi Historiografi

Fakta Sejarah Heuristik

diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan dengan materi penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah tersebut dengan bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian sejarah, kemudian menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami, fakta tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta menjadi karya yang menyeluruh dan masuk akal.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Adapun prosedur penelitian ini adalah melalui empat tahap yang merupakan proses metode sejarah. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Adapun prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Keterangan:

1. Heuristik

(50)

Pada tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan sumber atau data-data yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji, yaitu mengenai Bisnis Militer Pada Era Orde Baru melalui teknik studi pustaka. Dalam hal ini penulis melakukan pengumpulan data dan sumber dibeberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Daerah Surakarta, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Perpustakaan Universitas Gajah Mada dan Museum Angkatan Darat Yogyakarta . Sumber - sumber sejarah dalam penelitian ini adalah berupa Arsip-Arsip dan Dokumen.

2. Kritik

Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah itu sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik sumber dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 58) kritik ekstern yaitu menguji suatu keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) sedangkan kritik intern menguji keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas).

(51)

Edisi November. “ Managemen Gaya Militer ”.No.155. Majalah Info bank. 30-31, Budoyo Pracahyo.1992. Edisi November. “ Cengkraman Kasir Militer ”.No.155. Majalah Info bank. 32-33, Burhan. D. Magenda.1992. Edisi November. “ Bukan Sekedar Trend ”.No.155. Majalah Info bank. 36, Eko Budi Supriyanto. 1992. Edisi November. “ Kongsi Itu Indah ”.No.155. Majalah Info bank. 18, Eri Eko Putranto. 1997. Juli 28. ” Antara Perang Dan Bisnis”. No. 26. Tahun III. Tiras. 21, Imelda Sari K, dkk. 1997. Juli 28. ” Bisnis Berbagai Yayasan Dalam ABRI Mulai Menggeliat”. No.26. Tahun III. Tiras. 20. Maruli H. Panggabean.1992. Oktober 13. "Strategi Kemiliteran Berbeda Dengan Strategi Bisnis". Suara Pembaharuan. 2, Pria Takari Utama.1992. Edisi November. “ Kiat Polisi Mengejar Premi ”.No.155. Info bank. 26-27, Rustam Effendy. 1992. Oktober 16 . "Tanggapan Ulang Terhadap Strategi Militer dalam Bisnis". Suara Pembaharuan. 2, Syahriel Mochtar, dkk. 1992. Edisi November. “ Yayasan Milik ABRI ( Bisnis Uang Militer) ”.No.155. Info bank. 14-17, TB Silalahi. 1992. Oktober 5. "Strategi Militer Dalam Bisnis". Suara Pembaharuan.1, TB Silalahi. 1992. Edisi November. “ Ya, Dagang Benaran! ”.No.155. Info bank. 22-23. Eko Budi Supriyanto .1992. Edisi November.“ Bank Milik Empat Angkatan ”.No.155. Info bank. 19, Eko Budi Supriyanto. 1992. Edisi November. “ Dari Siliwangi Ke Eka Paksi ”.No.155. Info bank. 20-21, Eko Budi Supriyanto .1992. Edisi November. “ Saham AL Mau Dilepas ”.No.155. Info bank. 24, Eko Budi Supriyanto .1992. Edisi November. “ Yang Belum Mengangkasa ”.No.155. Majalah Info bank. 25.

(52)

Misalnya dengan membaca buku karangan Danang Widoyoko,dkk yang berjudul ”Bisnis Militer Mencari Legitimasi” dan dengan membaca buku karangan M. Najib Azca,dkk yang berjudul ” Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga”.

3. Interpretasi

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah. Langkah interpretasi data dalam penelitian ini menyangkut kegiatan menyeleksi dan membuat periodisasi sejarah.

Langkah – langkah operasional dalam interpretasi penelitian ini adalah : 1. Membaca buku – buku, majalah, surat kabar yang berisi tentang

peristiwa yang berkaitan dengan penelitian. Membandingkan dengan sumber lain sehingga penulis dapat memilih fakta – fakta yang relevan dan menyingkirkan fakta – fakta yang tidak relevan.

2. Langkah selanjutnya, penulis menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain sehingga dapat diketahui hubungan sebab – akibat antara peristiwa satu dengan yang lain.

3. Yang terakhir penulis melakukan penafsiran semua hasil data yang telah dibuat untuk di hubungkan antara data yang satu dengan yang lain. Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh kemudian menjadi suatu fakta sejarah.

(53)

4. Historiografi

Historiografi merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu dengan menulis jejak-jejak sejarah yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa dan ditafsirkan. Dalam hal ini imajinasi penulis sangat diperlukan untuk merangkai fakta satu dengan yang lain sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan juga diperlukan kemahiran dalam memilih dan merangkai kalimat serta penggunaan bahasa yang baik dan benar. Peneliti juga tidak lupa memperlihatkan unsur keindahan bahasa sehingga didapatkan cerita sejarah yang diharapkan mampu menarik minat pembaca. Dari langkah-langkah tersebut dapat tersusun sebuah hasil karya penelitian yang berwujud skripsi dengan judul “Bisnis Militer Pada Era Orde Baru”.

(54)

42

Keterlibatan militer dalam bisnis mengalami perkembangan yang semakin kuat dan bahkan melembaga sejak 1970-an. Sepak terjang mereka sudah berkembang semakin canggih, mulai dari transportasi, kehutanan, perkebunan, perkapalan hingga perbankan. Pada masa revolusi dan Orde Lama, alasan utama keterlibatan militer dalam bisnis berkaitan dengan keterbatasan anggaran untuk operasi militer dan kesejahteran anggota dan keluarganya. Dalam era Orde Baru, ada satu corak baru yang masuk dalam bisnis militer, yakni dengan bertambahnya usia para senior militer, maka membantu kalangan pensiunan menjadi salah satu concern utama. Atas dasar itu, tidak mengherankan jika kalangan militer aktif dan duduk dalam Dewan Komisaris di perusahaan-perusahaan swasta maupun BUMN, dan bahkan mereka juga berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan ekonomi yang penting. (Indria Samego, 1998:67)

Secara institusional ada tiga bentuk keterlibatan militer dalam bisnis di Indonesia. Pertama, koperasi yang memiliki tujuan kesejahteraan anggota dan keluarganya. Kedua, unit-unit usaha yang dikelola oleh yayasan-yayasan untuk tujuan kesejahteraan dan pendidikan. Ketiga, keterlibatan militer di perusahaan-perusahaan negara (BUMN) seperti Pertamina, Bulog dan Berdikari. (Indria Samego, 1998: 67-68).

Gambar

TABEL JARINGAN PERUSAHAAN ANGKATAN DARAT DI BAWAH
TABEL JARINGAN PERUSAHAAN ANGKATAN LAUT DI BAWAH
TABEL JARINGAN PERUSAHAAN ANGKATAN UDARA DI BAWAH
TABEL JARINGAN PERUSAHAAN ANGKATAN KEPOLISIAN DI BAWAH

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, dampak yang timbul akibat proyek pembangunan Citra Alam Mandiri antara lain : debu beterbangan akibat mobilitas kendaraan

Hasil dari penelitian ini adalah aplikasi chatting yang memiliki fitur-fitur tambahan yaitu penerjemahan pesan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan

Fitur sistem pengamanan fisik meliputi akses user ke data center berupa kunci akses memasuki ruangan (kartu akses atau biometrik) dan segenap petugas keamanan yang

LM35 memiliki keakuratan tinggi dan kemudahan perancangan jika dibandingkan dengan sensor suhu yang lain, LM35 kemudahan perancangan jika dibandingkan dengan sensor suhu yang

Nasabah tidak mendapatkan klaim sebagaimana yang dijanjikan di awal dan tertulis dalam polis perjanjian asuransi, Sering timbul keluhan dari klien perusahaan

kepadatan penduduk berbeda dan risiko yang beragamketika terjadi bahaya tsunami. Dengan demikian Kecamatan Padang Utara dapat dibagi menjadi tiga zona evakuasi

Decomposition of Mangrove Leaf Landscape Rhizophora apiculata in Bagan Asahan Village Tanjungbalai Sub-district of Asahan Regency, North Sumatera Province.. Guided

Hasil pemikiran manusia yang sungguh-sungguh secara sistematis radikal itu kemuduian dituangkan dalam suatu rumusan rangkaian kalimat yang mengandung suatu