• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Mencit (Mus musculus L) Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Mencit (Mus musculus L) Jantan"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL

TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT DAN

HITUNG JENIS LEUKOSIT PADA

MENCIT (Mus musculus L) JANTAN

TESIS

Oleh

NOVITA SARI HARAHAP

067008009/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL

TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT DAN

HITUNG JENIS LEUKOSIT PADA

MENCIT (Mus musculus L) JANTAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

dalam Program Studi Ilmu Biomedik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVITA SARI HARAHAP

067008009/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENGARUH AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT DAN HITUNG JENIS LEUKOSIT PADA MENCIT

(Mus musculus L) JANTAN Nama Mahasiswa : Novita Sari Harahap

Nomor Pokok : 067008009

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Yasmeini Yazir) (Prof. dr. Azmi S. Kar. SpPD, KHOM) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 26 Agustus 2008

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Yasmeini Yazir

Anggota : 1. Prof. dr. Azmi S. Kar. SpPD, KHOM

(5)
(6)

ABSTRAK

Aktifitas Fisik Maksimal (AFM) dapat meningkatkan ambilan oksigen pada sel otot yang aktif, menimbulkan pembentukan radikal bebas yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan jumlah leukosit dan mempengaruhi persentase hitung jenis leukosit. Jumlah leukosit perifer dapat menjadi sumber informasi untuk diagnostik dan prognosa adanya gambaran kerusakan organ dan pemulihan setelah aktifitas fisik. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit dan hitung jenis sel leukosit.

Penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan pretest-posttest group

design. Subyek penelitian adalah mencit jantan Mus musculus L, strain Balpsy,

berumur kira-kira 2 – 4 bulan dengan berat badan antara 30 – 35 gram. Hewan coba diperoleh dari Badan Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan. Pada subyek diberikan aktifitas fisik maksimal berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam. Selanjutnya dilakukan uji normalitas distribusi data, kemudian dilanjutkan analisis data dengan menggunakan uji t berpasangan (jika distribusi data normal) atau Wilcoxon (bila distribusi data tidak normal).

Terjadi peningkatan jumlah leukosit sebelum dan setelah AFM (6338.10 ± 525.81–11542.86 ± 1084.70) secara signifikan (p = 0.000). Terjadi peningkatan hitung jenis leukosit sebelum dan setelah AFM, limfosit (37.95 ± 2.94 – 59.95 ± 4.50) secara signifikan (p = 0.000). Terjadi penurunan hitung jenis leukosit sebelum dan setelah AFM, neutrofil (57.19 ± 2.84 – 38.90 ± 4.34) secara signifikan (p = 0.000), eosinofil (1.52 ± 0.51 – 0.19 ± 0.4) secara signifikan (p = 0.000), monosit (3.19 ± 0.75 – 1.10 ± 0.44) secara signifikan (p = 0.000), sedangkan hitung jenis basofil tidak terjadi perubahan.

AFM dapat meningkatkan jumlah leukosit dan hitung jenis limfosit secara signifikan dan AFM dapat menurunkan hitung jenis neutrofil, eosinofil dan monosit secara signifikan, sedangkan hitung jenis basofil tidak ada perubahan.

(7)

ABSTRACT

The Maximal Physical Activity (MPA) could increase ovygen intake in the active

muscle cell, causing the formation of the free radical mhich is at high point could cause an increase in the number of leucocytes and influence the percentage of leucocytes count. The number of peripheral leucocytes could become the source of information for diagnostic and prognosis of organ damage and restoration after the physical activity. The aim of the research is of knowing the influence of the maximal physical activity on the number of leucocytes and specific count of the leucocytes cell.

This research is experimental with the pretest-posttest group design. The subject of the research were male mice Mus musculus L, strain Balpsy, aged approximately 2-4 months, weighing in between 30-35 gram. The animals were received from Badan Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV). First the subject were given the maximal physical activity in the form of swimming as strongly as possible until almost sank. Then, a test of normality on data distribution was done, continued by the analysis of the data using the t test in pair (if the distribution of data was normal) or Wilcoxon test (when the distribution of the data was abnormal).

The number of leucocytes before and after MPA (6338.10 ± 525.81–11542.86 ± 1084.70) increase significantly (p = 0.000). The increase also happened in specific count of leucocytes before and after MPA, lymphocytes (37.95 ± 2.94 – 59.95 ± 4.50) significantly (p = 0.000). A decline took place in specific count of the leucocytes

before and after MPA, neutrophyl (57.19 ± 2.84 – 38.90 ± 4.34) significantly (p = 0.000), eosinophyl (1.52 ± 0.51 – 0.19 ± 0.4) significantly (p = 0.000), monocyte

(3.19 ± 0.75 – 1.10 ± 0.44) significantly (p = 0.000), however, there was no change in the specific count of basophyl.

MPA could increase the number of leucocytes and specific count of the lymphocytes significantly, and MPA could lower specific count of neutrophly, eosinophyl and monocyte significantly, where as the specific count of basophyl did not show any difference.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, atas limpahan berkat dan

karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul “Pengaruh

Aktifitas fisik maksimal terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit pada

Mencit (Mus musculus) Jantan” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan

jenjang pendidikan strata 2 pada Program Studi Biomedik Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara.

Proses penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan

doa dari berbagai pihak, pada kesempatan ini ucapan terimakasih saya sampaikan

kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, Msc, Direktur Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Yahwardiah Srg, PhD, Ketua Program Studi Biomedik Sekolah Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. dr. Yasmeini Yazir, selaku ketua komisi pembimbing yang senantiasa

bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan

pemikiran dengan penuh kesabaran kepada penulis untuk menyelesaikan tesis

ini.

5. Prof. dr. Azmi S Kar Sp.PD. KHOM, anggota komisi pembimbing yang telah

banyak memberikan bimbingan dan transfer ilmu, masukan serta dukungan

yang diberikan untuk penyelesaian tesis ini.

6. dr. Dedi Ardinata, M..Kes, selaku dosen pembanding yang telah memberikan

masukan mulai dari usulan penelitian hingga penyelesaian tesis ini.

7. Drs. Jumadin I.P. M.Kes, dosen pembanding yang juga banyak memberikan

(9)

8. Seluruh staf dosen Program Studi Biomedik Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pembelajaran dan selama

penulis mengikuti pendidikan.

Kepada Ibunda dan Almarhum Ayahanda, ananda mengucapkan terima kasih tak

terhingga atas kasih sayang serta dukungannya. Kepada suamiku tercinta

dr. Awaluddin Sibuea, terima kasih atas pengertian, perhatian dan dukungan

semangat, serta anak-anakku tersayang (Fanny, Rafli dan Akbar) yang selama dua

tahun ini banyak waktu bersama yang terlewatkan, menjadi inspirasi untuk dapat

menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada teman-teman Biomedik seangkatan 2006, terima kasih atas bantuan

morilnya, kalian adalah teman-temanku yang terbaik.

Medan, September 2008

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Novita Sari Harahap

2. Tempat/Tanggal lahir : Medan, 18 September 1974

3. Agama : Islam

4. Status : Menikah

5. Alamat : Jl. Benteng Hilir Perumahan Banyu Indah

Blok C No 61 Medan

6. Telpon/HP : 77494758 / 081375770455

7. Pendidikan :

SD Negeri 060855 Medan Tahun 1981-1987

SMP Negeri 10 Medan Tahun 1987-1990

SMAK Negeri Medan Tahun 1990-1993

Sarjana (S1) Fakultas Kedokteran USU Tahun 1994-1998

Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran USU Tahun 1998-2000

Sekolah Pascasarjana, Program Biomedik, USU Tahun 2006-2008

8. Riwayat Pekerjaan :

Dokter PTT Puskesmas Sei Tualang Raso Tanjung Balai Tahun 2001-2004

(11)
(12)

3.6 Definisi Operasional ... 24

3.7 Bahan ... 25

3.8 Alat ... 25

3.9 Pelaksanaan Penelitian... 26

3.10 Analisa Data ... 31

3.11 Jadwal Penelitian... 32

3.12 Kerangka Kerja... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1 Hasil... 34

4.2 Pembahasan ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 59

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Penelitian Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Jumlah Leukosit

dan Hitung Jenis Leukosit ... 4

2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 32

3. Distribusi Jumlah Leukosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal ... 38

4. Hasil Uji t Berpasangan Rata-rata Jumlah Leukosit dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 39

5. Distribusi Hitung Jenis Neutrofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal .. 42

6. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Neutrofil dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 43

7. Distribusi Hitung Jenis Eosinofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal .. 44

8. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Eosinofil dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 45

9. Distribusi Hitung Jenis Basofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal ... 46

10. Distribusi Hitung Jenis Limfosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal .... 47

11. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Limfosit dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 48

12. Distribusi Hitung Jenis Monosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal ... 49

13. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Monosit dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 50

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Peningkatan Jumlah

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat Ethical Clearence ... 66

2. Hasil Laboratorium Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit... 67

3. Hasil Uji Statistik Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit... 69

4. Pernyataan Telah Melakukan Penelitian dari Laboratorium

(16)
(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan harapan

dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan dan

martabat manusia. Aktifitas fisik dapat memberikan pengaruh terhadap berbagai

aspek kehidupan seperti psikologis, sosial, ekonomi, budaya, politik dan fungsi

biologis. Terhadap fungsi biologis Aktifitas fisik merupakan modulator dengan

spektrum pengaruh yang luas dan dapat terjadi pada berbagai tingkat fungsi.

Pengaruh aktifitas fisik terhadap fungsi biologis dapat berupa pengaruh positif yaitu

memperbaiki maupun pengaruh negatif yaitu menghambat atau merusak.

(Adam, 2002, Harjanto, 2005)

Manfaat aktifitas fisik bila dilakukan dalam keadaan sehat secara teratur dan

menyenangkan, dengan intensitas ringan sampai sedang akan meningkatkan

kesehatan dan kebugaran tubuh. Aktifitas aerobik yang demikian akan memperbaiki

dan memperlambat proses penurunan fungsi organ tubuh, serta dapat meningkatkan

ketahanan tubuh terhadap infeksi. Aktifitas fisik dengan intensitas maksimal dan

melelahkan, dilaporkan justru dapat menyebabkan gangguan imunitas. Atlet yang

berlatih dengan intensitas latihan yang maksimal dan melelahkan untuk menghadapi

suatu pertandingan, sering tidak dapat melanjutkan ke pertandingan berikutnya

(18)

Aktifitas fisik akan menyebabkan perubahan homoiostasis dalam tubuh yang akan

berpengaruh terhadap sistem ketahanan tubuh imunologik. Batas toleransi perubahan

homoiostasis dalam tubuh adalah sempit, (Sherwood,1996) oleh karena itu pemberian

beban aktifitas fisik maksimal, baik selama latihan maupun saat pertandingan yang

berat dapat menyebabkan gangguan terhadap sistem ketahanan tubuh imunologik

yang mempengaruhi penampilan atlet, dan pada akhirnya menyebabkan

kegagalan atlet meraih prestasi puncak. (Rowbottom, 1998, Putra, 1999)

Pada beberapa penelitian mengenai pemberian beban maksimal saat pelatihan fisik

atau kelelahan yang berat ditemukan adanya perubahan jumlah leukosit pada darah

tepi, yang diduga menjadi penyebab meningkatnya kejadian infeksi saluran nafas,

karena terjadi penekanan fungsi imunitas, sehingga terjadi penurunan penampilan

atlet. (Castel, 1993, Ksnig, 2000) Jumlah leukosit perifer dapat menjadi sumber

informasi untuk diagnostik dan prognosa, gambaran adanya kerusakan organ dan

pemulihan setelah aktifitas fisik yang maksimal. (McCarthy DA et al, 1987, Ali,

2008)

Pada penelitian terdahulu, ditemukan bahwa 33% dari 140 orang pelari maraton

menderita infeksi saluran nafas atas setelah melakukan pertandingan, sedangkan

kejadian infeksi pada kontrol hanya 15%. (Mackinnon, 1998) Insiden infeksi saluran

nafas pada pelari maraton ternyata meningkat 6 kali lipat setelah pertandingan.

(Shephard, 1999, Simonson, 2004) Kelelahan akibat aktifitas fisik maksimal akan

menyebabkan terjadinya perubahan komponen seluler dari imunitas yang dapat

(19)

mengalami perubahan akibat pertandingan yang berat. Akibatnya akan terjadi suatu

periode yang sangat peka terhadap infeksi. Beban maksimal juga menyebabkan

menurunnya produksi antibodi (Maree, 2000, Woods, 2000) dan penurunan fungsi

limfosit secara umum. (Keast, 1996)

Selanjutnya aktifitas fisik maksimal dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan

antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan tubuh, yang dikenal

sebagai stres oksidatif. (Leeuwenburgh & Heinecke, 2001) Menurut Ji (1999), selama

aktifitas fisik maksimal, konsumsi oksigen seluruh tubuh meningkat sampai 20 kali,

sedangkan konsumsi oksigen pada serabut otot diperkirakan meningkat 100 kali lipat.

Peningkatan konsumsi oksigen ini berakibat meningkatnya produksi radikal bebas

yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Stres oksidatif dapat berakibat terjadinya

peningkatan jumlah leukosit melebihi 10.000 sel/µl. Peningkatan leukosit merupakan

respon protektif terhadap stres seperti invasi mikroba, aktifitas yang berat, anestesi

dan pembedahan. (Andrian, 2001, Tortora dan Grabowski, 2003)

Keterlibatan anion superoksida pada kerusakan jaringan akibat aktifitas, pertama

kali dilaporkan sekitar tahun 1970-an, akan tetapi baru tahun 1982 dikemukakan

hubungan sebab akibat, antara pembentukan radikal bebas dengan kerusakan sel oleh

Davies et al. (Astuti, 1999) Penelitiannya membuktikan adanya radikal bebas pada

otot tungkai dan hati tikus, yang ditandai dengan adanya semiquinone, disertai

dengan berbagai kerusakan seluler akibat peroksida-lipid, diantaranya hilangnya

kelenturan retikulum sarkoplasma dan uncoupling mitokondria. Peningkatan kadar

(20)

peroksida-lipid, yang dapat mengubah integritas membran dan dapat menyebabkan

kematian sel. (Astuti, 1999) Penelitian lain pada tikus putih setelah pemberian

aktifitas fisik maksimal berupa renang sampai hampir tenggelam, ditemukan adanya

peningkatan jumlah limfosit darah tikus putih. (Jawi, 2001)

Beberapa penelitian mengenai pengaruh aktifitas fisik berat terhadap jumlah

leukosit dan hitung jenis leukosit, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Penelitian Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit

Nama peneliti Subjek Jenis latihan Efek

Andersen, 1955 Atlet Latihan fisik berat Leukopenia,

neutrofilia Mc. Carthy &

Dale, 1988

Orang tdk terlatih Latihan fisik berat Limfositosis,

neutropenia

Sodique, 2000 Orang tdk terlatih Latihan fisik berat Pr : Leukositosis,

eosipenia,

Orang tdk terlatih Latihan fisik berat Lk:leukositosis

Risøyet et al, 2003

Atlet

Bukan atlet

Latihan fisik berat Lk:Leukositosis,

Lk:leukositosis,

neutrofilosis dan monositosis.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan, ada indikasi bahwa aktifitas dapat

mempengaruhi pembentukan radikal bebas dan mempengaruhi jumlah leukosit.

(21)

akibat aktifitas makismal yang dapat ditunjukkan dengan perubahan dari jumlah

leukosit dan jenis-jenis leukosit.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah aktifitas fisik maksimal dapat mempengaruhi jumlah leukosit sehingga

dapat digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan sel. Masalah lainnya apakah

aktifitas fisik maksimal dapat mempengaruhi jumlah dari eosinofil, basofil, neutrofil,

limfosit dan monosit.

1.3. Kerangka Teori

Aktifitas otot yang meningkat selama aktifitas maksimal dan melelahkan,

mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat 20 kali dibanding pada waktu istirahat,

sehingga meningkatkan metabolisme energi melalui fosforilasi oksidatif. Aktifitas

fisik maksimal potensial untuk menimbulkan ketidakseimbangan antara radikal bebas

dengan antioksidan, yaitu saat antioksidan tidak dapat mengatasi radikal bebas yang

terbentuk selama aktifitas fisik. Situasi ini dikenal sebagai stres oksidatif. Stres

oksidatif yang dihasilkan dari aktifitas fisik maksimal dapat menyebabkan kerusakan

enzim, reseptor protein, membran lipid, dan DNA. Substansi oksigen reaktif

merupakan ancaman serius terhadap sistem pertahanan antioksidan seluler dan

meningkatkan kerentanan jaringan terhadap kerusakan oksidatif. (Leeuwenburgh &

Heinecke, 2001) Stres oksidatif digambarkan sebagai suatu peningkatan produksi

(22)

potensial terhadap peningkatan produksi radikal bebas di dalam tubuh, salah satunya

adalah akibat aktifitas leukosit. Aktifitas fagositosis dimulai setelah ada isyarat

kemotaksis. Kerusakan jaringan akibat stres oksidatif menyebabkan leukosit

berdiapedesis ke jaringan yang rusak dan memfagositosis jaringan yang rusak, terjadi

peningkatan leukosit.

Aktifitas fisik maksimal

Peningkatan ambilan oksigen pada sel otot yang aktif

Peningkatan pembentukan radikal bebas

Respon akut Adaptasi

Perusakan sel otot yang aktif

Respon akut Peningkatan pertahanan

Peningkatan jumlah leukosit antioksidan antioksidan

Gambar 1. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Peningkatan Jumlah

Leukosit

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aktifitas fisik

(23)

1.4.2. Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini didesain untuk mencapai tujuan-tujuan berikut :

a. Untuk mengkaji secara jelas perubahan dari jumlah leukosit yang terjadi akibat

pengaruh aktifitas fisik maksimal.

b. Untuk mengkaji secara jelas perubahan dari hitung jenis leukosit yang terjadi

akibat pengaruh aktifitas fisik maksimal.

1.5. Hipotesis

1. Aktifitas fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya perubahan jumlah

leukosit

2. Aktifitas fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya perubahan hitung jenis

leukosit.

1.6. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai informasi ilmiah

bagi dunia kesehatan/kedokteran dan olahraga khususnya mengenai pengaruh

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik adalah kerja fisik yang menyangkut sistem lokomotor tubuh yang ditujukan dalam menjalankan aktifitas hidup sehari-harinya, jika suatu aktifitas fisik

memiliki tujuan tertentu dan dilakukan dengan aturan-aturan tertentu secara sistimatis

seperti adanya aturan waktu, target denyut nadi, jumlah pengulangan gerakan dan

lain-lain disebut latihan. Sedangkan yang dimaksud dengan olahraga adalah latihan

yang dilakukan dengan mengandung unsur rekreasi. (Doyle, 1997, Lesmana, 2002)

Menurut Fox (1993) aktifitas fisik berdasarkan sumber tenaganya atau

pembentukan ATP melalui tiga sistem,yaitu 1) Sistem aerobik, 2) Sistem glikolisis

anaerobik (Lactic acid system) dan 3) Sistem ATP- Creatin Phospat ( phosphagen

system). Aktifitas aerobik merupakan aktifitas yang bergantung terhadap ketersediaan

oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi sehingga juga akan

bergantung pada kerja optimal organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru dan juga

pembuluh darah untuk dapat mengangkut oksigen agar proses pembakaran sumber

energi dapat berjalan sempurna. Aktifitas ini biasanya merupakan aktifitas olahraga

dengan intensitas rendah-sedang yang dapat dilakukan secara kontinu dalam waktu

yang cukup lama, seperti jalan kaki, bersepeda atau jogging. Aktifitas anaerobik

merupakan aktifitas dengan intensitas tinggi yang membutuhkan energi yang cepat

(25)

waktu yang lama. Aktifitas ini juga biasanya memerlukan interval istirahat agar ATP

(Adenosin Tri Phospat) dapat diregenerasi sehingga kegiatannya dapat dilanjutkan

kembali. Jenis olahraga yang memiliki aktifitas anaerobik dominan adalah lari cepat

(sprint), push-up, body building, gimnastik atau loncat jauh. Dalam beberapa jenis

olahraga beregu atau juga individual akan terdapat gerakan-gerakan/aktifitas seperti

meloncat, mengoper, melempar, menendang bola, memukul bola, atau juga mengejar

bola dengan cepat yang bersifat anaerobik. Oleh sebab itu, maka beberapa cabang

olahraga seperti sepakbola, bola basket atau tenis lapangan merupakan kegiatan

olahraga dengan kombinasi antara aktifitas aerobik dan anaerobik. Pada ATP- Creatin

phospat, aktifitas dengan beban maksimal dan waktu yang sangat pendek. (Ina, 2001)

Olah raga menurut jenisnya ada 3 macam, yaitu latihan kondisi (orhiba, aerobik

dan yang belum dikenal banyak total fitnes), latihan rekreasi (berburu, tenis) serta

latihan prestasi untuk memecahkan rekor yang ada (atletik, bulu tangkis, renang).

Latihan rekreasi dan prestasi memerlukan latihan kondisi, dengan maksud agar

kemampuan kerja atau kesegaran jasmani dapat melayani keinginin pemiliknya.

(Soempeno, 1981, Brooks, 1995)

Aktifitas fisik akan menyebabkan perubahan-perubahan pada faal tubuh manusia,

baik bersifat sementara/sewaktu-sewaktu (respons) maupun yang bersifat menetap

(adaption). Aktifitas fisik dengan intensitas tinggi (antara sub maksimal hingga

maksimal) akan menyebabkan otot berkontraksi secara anaerobik. Kontraksi otot

secara anaerobik membutuhkan penyediaan energi (ATP) melalui proses glikolisis

(26)

menghasilkan poduk akhir berupa asam laktat. Jadi, aktifitas dengan intensitas sub

maksimal hingga intensitas maksimal akan menyebabkan akumulasi asam laktat

dalam otot dan darah. (Bompa, 1990, Fox, 1993)

Pada aktifitas fisik terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu meningkatkan

konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO2 max).

Sesudah VO2 max tercapai, kerja akan ditingkatkan dan dipertahankan hanya dalam

waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang melakukan aktifitas.

Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh cardiac output, kemampuan sistem respirasi

untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang bekerja untuk

menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali atlet pada yang sangat

terlatih), cardiac output adalah faktor yang menentukan VO2 max. (Bompa, 1990)

Pengaruh aktifitas fisik dapat seketika yang disebut respon akut dan pengaruh

jangka panjang akibat latihan yang teratur dan terprogram yang disebut adaptasi.

Termasuk respon akut adalah bertambahnya frekwensi denyut jantung, peningkatan

frekwensi pernafasan, peningkatan tekanan darah dan peningkatan suhu badan.

Termasuk adaptasi antara lain peningkatan massa otot, bertambahnya massa tulang,

bertambahnya sistem pertahanan antioksidan serta penurunan frekwensi denyut

jantung istirahat. (Sutarina dan Tambunan, 2004)

Aktifitas fisik yang dapat meningkatkan sistem pertahanan antioksidan adalah

aktifitas fisik dengan intensitas rendah dan intensitas sedang, karena aktifitas fisik

(27)

meminimalkan pengeluaran radikal bebas. Sedangkan aktifitas fisik yang maksimal

dan melelahkan dapat meningkatkan jumlah leukosit dan neutrofil baik dalam

sirkulasi maupun di jaringan. (Cooper, 2000)

2.2. Radikal Bebas dan Stres Oksidatif

Sampai permulaan abad ke 20, tidak seorangpun percaya bahwa suatu senyawa

bernama radikal bebas dapat berada dalam keadaan bebas. Para ilmuwan masih

menggunakan istilah radikal bebas untuk suatu kelompok atom yang membentuk

suatu molekul. Perubahan terjadi ketika pada abad ke 20 seorang ilmuwan Rusia,

membuat radikal bebas organik pertama dari trifenilmetan, senyawa hidrokarbon

yang digunakan sebagai bahan dasar berbagai zat pewarna. Berdasarkan penelitian

para ilmuwan lainnya, istilah radikal bebas kemudian diartikan sebagai molekul yang

relatif tidak stabil, mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di

orbit luarnya. Molekul tesebut bersifat reaktif dalam mencari pasangan elektronnya.

Jika sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai yang disebut

peroksidasi lipid dan menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya terus

bertambah. (Cuzzocrea et al., 2001)

Oksigen yang kita hirup akan diubah oleh sel tubuh secara konstan menjadi

senyawa yang sangat reaktif, dikenal sebagai senyawa reaktif oksigen yang

diterjemahkan dari reactive oxygen species (ROS), satu bentuk radikal bebas.

Perisitiwa ini berlangsung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau proses

(28)

fisiologis ini merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan aerobik.

Sebagian ROS berasal dari proses fisiologis tersebut (ROS endogen) dan lainnya

adalah ROS eksogen, seperti berbagai polutan lingkungan (emisi kendaraan bermotor

dan industri, asbes, asap roko, dan lain-lain), radiasi ionisasi, infeksi bakteri, jamur

dan virus, serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat mengoksidasi. Ada

berbagai jenis ROS, contohnya adalah superoksida (O2 ), hidroksil (OH ), alkoksil

(RO ), peroksil (ROO ) dan hidroperoksil (ROOH). (Cuzzocrea et al., 2001)

Pada kenyatannya, segala sesuatu dalam hidup ini memang diciptakan sang

pencipta alam secara seimbang. Sistem defensif dianugerahkan terhadap setiap sel

berupa perangkat antioksidan enzimatis (glutathione, ubiquinol, catalase, superoxide

dismutase, hydroperoxidase, dan lain sebagainya). Antioksidan enzimatis endogen ini

pertama kali dikemukakan oleh Mc Cord dan Fridovich yang menemukan enzim

antioksidan alami dalam tubuh manusia dengan nama superoksida dismutase (SOD).

Hanya dalam waktu singkat setelah teori tersebut disampaikan, selanjutnya

ditemukan enzim-enzim antioksidan endogen lainnya seperti glutation peroksidase

dan katalase yang mengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan oksigen.

(Cooper, 2000)

Sebenarnya radikal bebas, termasuk ROS, penting artinya bagi kesehatan dan

fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan

mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah dan organ-organ dalam tubuh kita.

Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka

(29)

Struktur sel yang berubah turut merubah fungsinya, yang akan mengarah pada proses

munculnya penyakit. (Cooper, 2000)

Stres oksidatif (oxidative stress) adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas

(prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum: kurangnya

antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas. Dugaan bahwa radikal bebas

tersebar di mana-mana, pada setiap kejadian pembakaran seperti merokok, memasak,

pembakaran bahan bakar pada mesin dan kendaraan bermotor. Paparan sinar

ultraviolet yang terus-menerus, pestisida dan pencemaran lain di dalam makanan kita,

bahkan karena aktifitas atau olah raga yang berlebihan, menyebabkan tidak adanya

pilihan selain tubuh harus melakukan tindakan protektif. Langkah yang tepat untuk

menghadapi "gempuran" radikal bebas adalah dengan mengurangi paparannya atau

mengoptimalkan pertahanan tubuh melalui aktivitas antioksidan.

(Claudia dan Alvaro, 2004)

Pada keadaan normal, radikal bebas terbentuk sangat perlahan, 5% dari konsumsi

oksigen akan membentuk radikal bebas kemudian dinetralisir oleh antioksidan yang

ada dalam tubuh. Namun jika laju pembentukan radikal bebas sangat meningkat

melebihi 5% karena terpicu oleh aktifitas yang berat dan melelahkan, jumlah radikal

bebas akan melebihi kemampuan kapasitas sistem pertahanan antioksidan. Radikal

bebas ini dapat menyerang membran sel sehingga mengakibatkan kerusakan sel-sel

otot dan tulang yang aktif bekerja. Kelelahan dan nyeri pada otot yang aktif yang

sering menyertai aktifitas fisik yang berat dan melelahkan, merupakan tanda paling

(30)

Mekanisme terbentuknya radikal bebas selama aktifitas fisik maksimal ada 2 cara.

Pertama disebabkan lepasnya elektron superoksida dari mitokondria.

Pada saat aktifitas fisik maksimal terjadi peningkatan konsumsi oksigen sampai 20

kali, bahkan dalam otot dapat mencapai 100 kali. Penggunaan oksigen yang berlebih

ini dapat memicu pembentukan radikal bebas di berbagai jaringan tubuh. Selama

aktifitas fisik maksimal, pengeluaran radikal bebas terutama superoksida dapat

meningkat dalam mitokondria, atau pusat-pusat energi di dalam sel.

Kedua, terbentuknya radikal bebas selama aktifitas fisik maksimal, erat hubungannya

dengan proses iskemia-perfusi. Pada saat aktifitas fisik maksimal, terjadi hipoksia

relatif sementara di jaringan beberapa organ yang tidak aktif seperti ginjal, hati dan

usus. Hal ini untuk kompensasi peningkatan pasokan darah ke otot yan aktif dan

kulit. Disamping itu selama aktifitas fisik dengan intensitas tinggi dengan denyut nadi

80-85% denyut nadi maksimal, serabut otot menjadi relatif hipoksia, karena pada saat

otot berkontraksi dengan kuat, memeras pembuluh darah intramuskular di bagian otot

yang aktif, akibatnya terjadi penurunan aliran darah ke otot yang aktif untuk

sementara. Setelah selesai aktifitas fisik, darah dengan cepat kembali ke berbagai

organ yang kekurangan aliran darah tadi, sehingga terjadi perfusi yang dapat

menyebabkan sejumlah radikal bebas turut dalam sirkulasi. (Cooper, 2000)

Sumber utama produksi senyawa oksigen reaktif (ROS) selama aktifitas fisik

adalah sebagai berikut :

1. Rantai transfor elektron mitokondria, terutama pada komplek 1

(31)

yaitu tempat pembentukan radikal superoksida dan hydrogen peroksida.

2. Jalur xanthin oxidase melalui mekanisme iskemia-reperfusi jantung. Selama

iskemia, ATP diubah menjadi AMP. Jika suplai oksigen kurang AMP akan

diubah menjadi hypoxanthin yang selanjutnya diubah menjadi xanthin dan asam

urat oleh xanthin oxidase, yang akhirnya membentuk radikal superoksida.

3. Neutrofil dan respon inflamasi, yang merupakan sumber sekunder produksi ROS

selama periode recovery setelah latihan fisik berat.

4. Katekolamin, yaitu pada latihan fisik jangka panjang. Pada latihan ini terjadi

peningkatan metabolisme oksidatif yang melalui aktivasi reseptor ß-adrenergik

menyebabkan produksi ROS mitokondria meningkat. (Rohimah, 2005)

2.3. Leukosit

Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih.

Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 4000-11000

sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 11000 sel/mm3, keadaan ini disebut leukositosis,

bila kurang dari 4000 sel/mm3 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya

maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan

hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti

yang bervariasi, yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti

bentuk bulat atau bentuk ginjal. (Bellanti, 1993)

Terdapat dua jenis leukosit agranuler : limfosit sel kecil, sitoplasma sedikit;

(32)

leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (eosinofil) yang dapat dibedakan

dengan afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan asam. Granula dianggap

spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian

besar precursor (pra zatnya). (Guyton, 1997)

Leukosit dan turunannya berperan sebagai (1) menahan invasi oleh patogen

(mikroorganisme penyebab penyakit, misalnya bakteri dan virus) melalui proses

fagositosis; (2) mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel kanker yang muncul di

dalam tubuh; dan (3) berfungsi sebagai ”petugas pembersih” yang membersihkan

”sampah” tubuh dengan memfagosit debris yang berasal dari sel yang mati atau

cedera. Yang terakhir penting dalam penyembuhan luka dan perbaikan jaringan .

Untuk melaksanakan fungsinya, leukosit terutama menggunakan strategi ”cari dan

serang” yaitu sel-sel tersebut pergi ke tempat invasi atau jaringan yang rusak. Alasan

utama mengapa sel darah putih terdapat di dalam darah adalah agar mereka cepat

diangkut dari tempat pembentukan atau penyimpanannya ke manapun mereka

diperlukan. (Sherwood, 1996)

Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme

terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui

proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara

sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per

mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir

15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai

(33)

waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai.

(Guyton, 1997)

Jumlah leukosit dalam sirkulasi sangat mudah dan cepat berubah. Nilai absolut

maupun relatif dapat berubah oleh stimulasi selama beberapa menit atau beberapa

jam. Dampak yang paling jelas terlihat bila kelenjar adrenal dirangsang, baik secara

farmakologis maupun sebagai respon terhadap kebutuhan fisiologis. Sebagian besar

stimulasi fisiologis seperti olahraga, emosi, pemaparan terhadap suhu yang ekstrim,

mengakibatkan leukositosis. (Widmann, 1983, Natale, 2003)

2.4.Hitung JenisLeukosit

Leukosit tidak memiliki hemoglobin (berbeda dengan eritrosit), sehingga tidak

berwarna (putih) kecuali jika diwarnai secara khusus agar dapat terlihat di bawah

mikroskop. Tidak seperti eritrosit, yang strukturnya uniform, berfungsi identik, dan

jumlahnya konstan, tetapi leukosit bervariasi dalam struktur, fungsi dan jumlah.

Terdapat lima jenis leukosit yang bersirkulasi yaitu neutrofil, eosinofil, basofil,

monosit dan limfosit dan masing-masing dengan struktur serta fungsi yang khas.

Mereka semua berukuran sedikit lebih besar daripada eritrosit. (Sherwood, 1996)

Kelima jenis leukosit tersebut dibagi ke dalam dua kategori utama, bergantung

pada gambaran nukleus dan ada tidaknya granula di sitoplasma sewaktu dilihat di

bawah mikroskop. Neutrofil, eosinofil, dan basofil dikategorikan sebagai granulosit

(sel yang banyak mengandung granula) atau polimorfonukleus (banyak bentuk

(34)

bentuk, dan sitoplasma mereka mengandung banyak granula terbungkus membran.

(Sherwood, 1996; Guyton, 1997)

Terdapat tiga jenis granulosit berdasarkan afinitas mereka terhadap zat warna yaitu

eosinofil memiliki afinitas terhadap zat warna merah eosin, basofil cenderung

menyerap zat warna biru basa dan neutrofil bersifat netral, tidak memperlihatkan

kecenderungan zat warna. Monosit dan limfosit dikenal sebagai agranulosit (sel tanpa

granula) atau mononukleus (satu nukleus). Keduanya memiliki sebuah nukleus besar

tidak bersegmen dan sedikit granula. Monosit lebih besar daripada limfosit dan

memiliki nukleus berbentuk oval atau seperti ginjal. Limfosit, leukosit terkecil,

ditandai oleh nukleus bulat besar yang menempati sebagian besar sel (Sherwood,

1996). Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang

terutama dengan cara mencernakannya yaitu melalui fagositosis. Fungsi utama

limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imum. (Guyton, 1997,

Nieman, 2000)

Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis

sel. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai

relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/ µl). Hitung jenis leukosit berbeda

tergantung umur. Pada anak limfosit lebih banyak dari netrofil segmen, sedang pada

orang dewasa kebalikannya. Hitung jenis leukosit juga bervariasi dari satu sediaan

apus ke sediaan lain, dari satu lapangan ke lapangan lain. Kesalahan karena distribusi

ini dapat mencapai 15%. Bila pada hitung jenis leukosit, didapatkan eritrosit berinti

(35)

(Dharma, 2007) Selanjutnya akan dibahas satu persatu hitung jenis leukosit di bawah

ini.

2.4.1. Neutrofil

Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, sel-sel

ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu

inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik

(0,3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuranjenis

romanovky.

Granul pada neutrofil ada dua :

a. Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.

b. Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal

(protein Kationik) yang dinamakan fagositin.

Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokondria,

apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis

depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan

aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam

penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses

fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil

berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekul tirosin dinding sel

bakteri dan menghancurkannya.

Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus

(36)

diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil. Neutrofil mempunyai

metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob

maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob

sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu

membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrofil merangsang

aktifitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan glikogenolisis. (Effendi, 2003)

2.4.2. Eosinofil

Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9 µm

(sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, retikulum endoplasma,

mitokondria dan apparatus golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid

yang dengan eosin asidofilik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae

asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai

pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih

selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi,

ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap

komplek antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga

berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya

diubah oleh proses-proses Patologi. (Effendi, 2003)

2.4.3. Basofil

Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu,

besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi

(37)

ireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak

lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan

keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan ini dinamakan

hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai hubungan

kekebalan. (Effendi, 2003)

2.4.4. Limfosit

Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah.

Normal, inti relative besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat,

anak inti baru terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit

basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan

Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribosom. Klasifikasi lainnya dari

limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan

membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptor seperti

imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya.

Lirnfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang

lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut

dengan limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening

dan akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini

inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan

berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat

(38)

2.4.5. Monosit

Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter

9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih.

Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda.Kromatin

kurang padat, susunan lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap monosit. Sitoplasma

relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian kering. Granula

azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulum

endoplasma sedikit. Juga ribosom, poliribosom sedikit, banyak mitokondria. Aparatus

Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada

daerah identasi inti.

Monosit ditemui dalam darah, jaringan penyambung, dan rongga-rongga tubuh.

Monosit tergolong fagositik mononuclear (sistem retikuloendotel) dan mempunyai

tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin dan

komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk

kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi

dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental

laboratorium dengan Rancangan pretest-posttest group design. Jumlah sampel

sebanyak 21 mencit jantan (Mus musculus L) yaitu berdasarkan rumus t (r-1) ≥20 .

Jika t adalah jumlah kelompok (dalam penelitian ini terdiri dari 1 kelompok) dan

r adalah jumlah ulangan per kelompok, maka jumlah ulangan yang diharapkan

(teoritis) adalah sebesar 1 (r – 1) ≥ 20. (Sugandi, 1994)

3.2. Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri

Medan. Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan penelitian ini adalah lebih kurang

5 (lima) minggu.

3.3. Populasi Penelitian

Hewan coba yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan Mus

musculus L, strain Balpsy, berumur kira-kira 2 – 4 bulan dengan berat badan antara

30 – 35 gram. Hewan coba diperoleh dari Badan Penyidikan dan Pengujian Veteriner

(40)

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel bebas, yaitu aktifitas fisik maksimal berupa renang sekuat-kuatnya

sampai hampir tenggelam.

3.4.2. Variabel tergantung, yaitu hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.

3.4.3. Variabel kendali, yaitu jenis kelamin, berat badan, makanan, umur, kandang

hewan coba, suhu yang ekstrim dan lingkungan.

3.5. Kerangka Konsep

Aktifitas fisik maksimal

Jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit

Gambar 2. Kerangka Konsep

3.6. Definisi Operasional

Aktifitas Fisik Maksimal adalah kerja fisik maksimal yang menyangkut sistem

lokomotor tubuh yang ditujukan dalam menjalankan aktifitas hidup sehari-harinya,

(41)

tenggelam atau nampak tanda-tanda kelelahan berupa tenggelamnya hampir semua

badan kecuali hidung dan melemahnya gerakan anggota gerak. Lamanya renang

berkisar antara 25-45 menit. (Jawi,2001)

Jumlah Leukosit yaitu jumlah total leukosit yang diambil dari darah tepi yang

diperiksa dengan menggunakan Kamar Hitung Improved Neubaeur dengan satuan

sel/mm3.

Hitung Jenis Leukosit yaitu jenis-jenis leukosit yang diambil dari darah tepi yang

diperiksa pada sediaan hapusan darah dengan mikroskop dengan satuan %.

3.7. Bahan

a) Darah EDTA

b) Larutan Turk untuk hitung jumlah leukosit.

c) Larutan ØGiemsa untuk pembuatan hapusan darah yang berguna untuk

pemeriksaan hitung jenis leukosit.

d) Minyak imersi

3.8. Alat

Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a) Stop watch untuk menghitung waktu atau lamanya mencit dapat berenang sampai

hampir tenggelam.

b) Pipet Leukosit

(42)

d) Objek glass (kaca objek) dan deck glass

e) Mikroskop cahaya

f) Bak yang dirancang dengan ukuran panjang 10 cm dan diameter 25 cm, dimana

hanya untuk satu ekor mencit berenang. (Ozaslan, M et al, 2004)

3.9. Pelaksanaan Penelitian

3.9.1. Penerbitan ethical clearance

Diminta penerbitan ethical clearance kepada komisi etik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

3.9.2. Pemeliharaan hewan coba

Sebelum perlakuan, semua mencit diadaptasikan dan dipelihara secara

berkelompok (empat ekor mencit per kandang) dalam kandang hewan coba Jurusan

Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan, yang terbuat dari bahan plastik

( 30 x 20 x 10 cm) yang ditutup dengan kawat kasa halus. Makanan berupa pellet dan

minuman (air PAM) secara berlebih (ad libitum). Dasar kandang dilapisi dengan

sekam padi setebal 0,5 – 1 cm dan diganti setiap hari. Cahaya ruangan pemeliharaan

dikontrol persis 12 jam terang dan 12 jam gelap, sedangkan temperatur dan

kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah.

3.9.3. Perlakuan hewan coba

a) Sebelum perlakuan, diambil darah dari pangkal ekor mencit, kenudian dilakukan

pemeriksaan jumlah leukosit dengan alat Haemocytometer dan pemeriksaan

(43)

b) Selanjutnya mencit satu persatu diberikan perlakuan aktifitas fisik maksimal

berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam atau nampak tanda-tanda

kelelahan berupa tenggelamnya hampir semua badan kecuali hidung dan

melemahnya gerakan anggota gerak. Lamanya renang berkisar antara 25-45 menit

(Jawi, 2001).

c) Mencit diberi stimulus ((kepalanya ditekan kedalam air) agar terus tetap berenang

sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam sehingga aktifitas fisik maksimal

mencit tercapai.

d) Untuk memastikan bahwa mencit benar-benar telah melakukan aktifitas fisik

maksimal, peneliti dibantu oleh tim independen dari fakultas olahraga UNIMED.

e) Selanjutnya diambil darah dengan segera secara intrakardial

f) Kemudian dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit.

3.9.4. Prosedur pemeriksaan jumlah leukosit

Alat yang diperlukan : a. Pipet Leukosit

b. Kamar hitung Improved Neubauer

c. Deck glass

Reagensia : Larutan Turk, saring sebelum dipakai

Cara Pemeriksaan :

1. Sampel darah kapiler atau darah EDTA / Oksalat Wintrobe

2. Pipet lekosit diisi dengan darah sampai garis 0,5 bila diduga lekopeni sampai

garis 1, bersihkan ujung pipet dengan kertas tissue

(44)

angka 11, letakkan pipet horizontal untuk menghindari mengalirnya larutan keluar

4. Ujung pipet ditekan dengan kedua jari kemudian digoyang membuat angka 8

selama 3 sampai 5 menit

5. Buang 3 tetes larutan tersebut, kemudian dnegan membuat sudut 30 derajat

teteskan larutan ke dalam kamar hitung yang telah ditutup dengan kaca penutup

6. Diamkan kamar hitung selama 2 menit

7. Hitung dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x bidang besar kamar. Hitung

A+B+C+D

8. Perhitungan :Pengencer pipet 20 x luas bidang besar 1 mm2 dan tinggi kamar

hitung 1/10 mm. Lekosit yang dihitung dalam 4 bidang besar adalah A+B+C+D,

jumlah luasnya 4 mm3. Faktor perkalian 50 kali Jumlah lekosit adalah

(A+B+C+D) x 50 /mm3 (Depkes, 1992)

(45)

A B

C D

Gambar 3. Kamar Hitung Improved Neubauer 3.9.5 Prosedur pemeriksaan hitung jenis leukosit

3.9.5.1. Cara membuat sediaan hapus

1. Letakkan satu tetes kecil darah, pada 2 - 3 mm dari ujung kaca objek. Letakkan

kaca penghapus dengan sudut 30 - 45 derajat terhadap kaca objek di depan tetes

darah.

(46)

sampai darah menyebar pada sudut tersebut.

3. Dengan gerak yang mantap doronglah kaca penghapus sehingga terbentuk

hapusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek.

4. Biarkan hapusan darah mengering di udara. (Depkes, 1992)

Gambar 4. Cara Membuat Sediaan Hapus 3.9.5.2. Cara mewarnai sediaan hapus

1.Letakkan sediaan hapus pada dua batang gelas di atas bak tempat pewarnaan.

2.Fiksasi sediaan hapus dengan metanol absolut selama 2-3 menit.

3.Genangi sediaan hapus dengan zat warna Giemsa 5%. Biarkan selama 20-30 menit.

4. Bilas dengan air, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih kuat dengan

tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Biarkan mengering.

(47)

3.9.5.3.Pemeriksaan hitung jenis leukosit

1. Periksa hapusan darah yang telah diwarnai dan dikeringkan di bawah mikroskop

dengan pembesaran 10 x, cari bagian dimana eritrosit tersebar merata. Biasanya

terdapat di bagian tipis sediaan.

2. Lensa obyektif diganti dengan pembesaran 40x, kemudian 100x dan sediaan

diberi minyak emersi.

3. Golongkan dan catat tiap sel berinti pada daerah yang dilalui sampai genap 100

sel. Kemudian masing-masing dibuat persentasenya. (Depkes, 1992)

Nilai normal hitung jenis lekosit : (Dharma, 2007)

Eosinofil : 1 – 3 % Neutrofil Segmen : 50 -70 %

Basofil : 0 – 1 % Limfosit : 20 - 40 %

Neutrofil Batang : 2 – 6 % Monosit : 2 - 8 %

3.10. Analisa Data

Setiap data yang didapat terlebih dulu ditentukan distribusinya dengan uji

Normalitas. Apabila data berdistribusi normal akan dilakukan uji t berpasangan

dengan = 0.05, untuk melihat perbedaan hitung leukosit dan hitung jenis sel

leukosit antara sebelum dan sesudah aktifitas fisik maksimal sedangkan apabila data

(48)

3.11. Jadwal Penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian dari persiapan sampai pada penulisan hasil

penelitian adalah lebih kurang lima minggu. Urutan kegiatan dan jadwal pelaksanaan

secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian MINGGU KE NO KEGIATAN

1 2 3 4 5

1 PERSIAPAN √

2 PELAKSANAAN √ √

3 ANALISA DATA √

(49)

3.12. Kerangka Kerja

Pemeliharaan Hewan Coba (Tujuh Hari)

Pengambilan darah melalui pangkal ekor mencit

Aktifitas fisik maksimal berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam

Pengambilan darah intrakardial

Pemeriksaan

Hitung Jenis Leukosit

Uji Statistik Pemeriksaan

Jumlah Leukosit

(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Karakteristik subyek penelitian

Subyek pada penelitian ini adalah mencit jantan Mus musculus L, strain Balpsy, sebanyak 21 ekor, berumur 2 - 4 bulan dengan berat badan berkisar antara 30 – 35

gram. Pada subyek diberikan perlakuan untuk melakukan aktifitas fisik maksimal

(AFM) berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam dengan waktu 25-45

menit (gambar 3 – 8). Sebelum dan setelah aktifitas fisik maksimal dilakukan

pemeriksaan jumlah leukosit dengan menggunakan kamar hitung Improve Neubauer

dan hitung jenis leukosit dengan sedíaan hapusan darah. Penelitian dilakukan selama

3 hari dari tanggal 14 – 16 Juli 2008 di laboratorium FMIPA UNIMED dan

(51)

Gambar 6. Aktifitas Fisik Maksimal Renang Sekuat-Kuatnya

(52)

Gambar 8. Aktifitas Fisik Maksimal Renang Sekuat-Kuatnya

(53)

Gambar 10. Mencit Hampir Tenggelam

(54)

3.1.2. Pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit

Sebelum dan setelah melakukan AFM berupa renang sampai hampir tenggelam, dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit dan didapat hasil seperti pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Distribusi Jumlah Leukosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal Jumlah Leukosit

Pada tabel 3 di atas didapatkan bahwa nilai rata-rata jumlah leukosit setelah AFM

berupa renang sampai hampir tenggelam mengalami peningkatan (rata-rata =

11542.86 ) dari sebelum AFM (rata-rata = 6338.10 ). Kemudian data dilakukan uji

(55)

Selanjutnya dilakukan uji t berpasangan pada hasil pemeriksaan jumlah leukosit

seperti terlihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Hasil Uji t Berpasangan Rata-Rata Jumlah Leukosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Variable Mean SD SE P value Ket

Nilai jumlah leukosit Sebelum AFM

jumlah leukosit pada pengukuran sebelum AFM adalah 6338.10/mm3 darah dengan

standar deviasi 525.81. Pada pengukuran setelah AFM didapat rata-rata nilai jumlah

leukosit adalah 11542.86/mm3 darah dengan standar deviasi 1084.70/mm3 darah.

Terlihat nilai rata-rata perbedaan antara pengukuran sebelum dan setelah AFM adalah

5204.76 dengan standar deviasi 718.53 berarti dengan kata lain bahwa terjadi

peningkatan jumlah leukosit pada pengukuran setelah AFM. Rata-rata jumlah

leukosit setelah AFM naik sebesar 82.12% dari sebelum AFM, secara statistik

kenaikannya bermakna ( P < 0,05 ) Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.00,

dengan demikian H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan secara

(56)

3.1.3. Pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap hitung jenis leukosit

Sebelum dan setelah melakukan AFM berupa renang sampai hampir tenggelam, dilakukan pemeriksaan hitung jenis leukosit dengan sediaan hapusan darah yang

terdiri dari neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit (gambar 9 – 12).

Gambar 12. Hapusan Darah Jenis Neutrofil

(57)

Gambar 14. Hapusan Darah Jenis Limfosit

(58)

3.1.3.1. Hitung jenis neutrofil

Pada tabel 5 dibawah ini dapat dilihat hasil uji statistik hitung jenis neutrofil yang

telah dilakukan pengukuran sebelum dan setelah AFM berupa renang sampai hampir

tenggelam.

Tabel 5. Distribusi Hitung Jenis Neutrofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal Hitung Jenis Neutrofil

sebelum AFM

Hitung Jenis Neutrofil setelah AFM

Dari tabel 5 di atas didapatkan bahwa nilai rata-rata hitung jenis neutrofil setelah

(59)

38.90, SD = 4.34) dari sebelum AFM ( rata-rata = 57.19, SD = 2.84 ). Kemudian data

dilakukan uji Normalitas, didapat data hitung jenis neutrofil tidak berdistribusi

normal, maka untuk uji t berpasangan tidak dapat dilakukan, oleh karena itu

dilanjutkan dengan uji Wilcoxon seperti pada tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Neutrofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Keterangan :

Dari tabel 6 di atas diketahui bahwa pengukuran hitung jenis neutrofil sebelum

dan setelah melakukan AFM didapatkan P = 0.000 maka Ho ditolak. Dengan

demikian terdapat perbedaan hitung jenis neutrofil antara sebelum dan setelah AFM

secara signifikan.

4.1.3.2. Hitung jenis eosinofil

Pada tabel 7 , dapat dilihat hasil uji statistik hitung jenis eosinofil yang didapat

(60)

Tabel 7. Distribusi Hitung Jenis Eosinofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal melakukan AFM berupa renang sampai hampir tenggelam lebih rendah (rata-rata =

0.19, SD = 0.40 ) dari sebelum AFM ( rata-rata = 1.52, SD = 0.51 ). Kemudian

dilakukan uji Normalitas, didapat data hitung jenis eosinofil tidak berdistribusi

normal, maka untuk uji t berpasangan tidak dapat dilakukan, oleh karena itu

(61)

Tabel 8. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Eosinofil dengan

Dari tabel 8 di atas diketahui bahwa pengukuran hitung jenis eosinofil sebelum dan setelah melakukan AFM didapatkan P = 0.000 maka Ho ditolak. Dengan

demikian terdapat perbedaan hitung jenis eosinofil antara sebelum dan setelah AFM

secara signifikan.

4.1.3.3. Hitung jenis basofil

Pada tabel 9, dapat dilihat tidak ada perubahan hitung jenis basofil yang didapat

(62)

Tabel 9. Distribusi Hitung Jenis Basofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal Hitung Jenis Basofil

Sebelum AFM

Hitung Jenis Basofil Setelah AFM

Dari tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa untuk nilai hitung jenis leukosit

khususnya basofil, tidak dapat dianalisis karena nilainya 0% karena tidak ada

perubahan pada saat sebelum dan setelah AFM sehingga variabel tersebut tidak

dilakukan uji statistik.

4.1.4.4. Hitung jenis limfosit

(63)

didapat dari pengukuran sebelum dan setelah AFM berupa renang sampai hampir

tenggelam.

Tabel 10. Distribusi Hitung Jenis Limfosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Hitung JenisLimfosit

Sebelum AFM

Dari tabel 10 di atas didapatkan bahwa nilai rata-rata hitung jenis limfosit setelah

AFM berupa renang sampai hampir tenggelam mengalami peningkatan

(rata-rata = 59.95, SD = 4.50) dari sebelum AFM berupa renang sampai hampir

(64)

didapat data hitung jenis limfosit tidak berdistribusi normal, maka untuk uji t

berpasangan tidak dapat dilakukan, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji Wilcoxon

seperti pada tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Limfosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Dari tabel 11 di atas diketahui bahwa pengukuran hitung jenis limfosit sebelum

dan setelah AFM didapatkan P = 0.000 maka Ho ditolak. Dengan demikian terdapat

perbedaan hitung jenis limfosit antara sebelum dan setelah AFM secara signifikan.

4.1.3.5. Hitung jenis monosit

Pada tabel 12, dapat dilihat hasil uji statistik hitung jenis monosit yang diukur

(65)

Tabel 12. Distribusi Hitung Jenis Monosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Dari tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata hitung jenis monosit

pada pengukuran setelah AFM lebih rendah (rata-rata = 1.10, SD = 0.44) dari

sebelum AFM (rata-rata = 3.19, SD = 0.75). Kemudian dilakukan uji Normalitas,

didapat data hitung jenis monosit tidak berdistribusi normal, maka untuk uji t

berpasangan tidak dapat dilakukan, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji wilcoxon

(66)

Tabel 13. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Monosit dengan

Dari tabel 13 di atas diketahui bahwa pengukuran hitung jenis monosit sebelum

dan setelah AFM didapatkan nilai P = 0.000, maka H0 ditolak. Dengan demikian

terdapat perbedaan hitung jenis monosit antara sebelum dan setelah AFM secara

signifikan.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit

Dari hasil uji statistik jumlah leukosit (tabel 4) didapat bahwa rata-rata nilai jumlah leukosit mengalami peningkatan pada saat pengukuran setelah AFM dari

(67)

0

Gambar 16. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Jumlah Leukosit

Keterangan :

Sebelum AFM : Sebelum Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Setelah AFM : Setelah Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Pada penelitian ini, hasil uji t berpasangan untuk variabel jumlah leukosit

peningkatannya menunjukkan perbedaan yang bermakna (P<0,05) antara pengukuran

sebelum dan sesudah AFM. Adapun peningkatan jumlah leukosit setelah AFM

rata-rata mencapai 82.12 % dari jumlah leukosit sebelum AFM dengan jumlah leukosit

rata-rata 11542.86 sel/ mm3 darah. Data ini sesuai dengan laporan Peake dan Suzuki

(2004) yang menyatakan bahwa beberapa kelompok penelitian yang mendapatkan

adanya peningkatan jumlah leukosit melebihi normal setelah aktifitas fisik yang berat

secara singkat yang berkisar antara 15 menit, maupun aktifitas fisik yang berat dan

(68)

bahwa aktifitas fisik yang berat dapat meningkatkan produksi radikal bebas. Menurut

Cooper (2000) pada keadaan normal, radikal bebas terbentuk sangat perlahan, 5%

dari konsumsi oksigen akan membentuk radikal bebas kemudian dinetralisir oleh

antioksidan yang ada di dalam tubuh. Namun jika laju pembentukan radikal bebas

sangat meningkat melebihi 5% karena terpicu oleh aktifitas fisik yang berat dan

melelahkan, jumlah radikal bebas akan melebihi kemampuan kapasitas sistem

pertahanan antioksidan. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan stres oksidatif

dan merangsang aktifitas sel leukosit.

Peningkatan leukosit oleh adanya suatu aktifitas, dalam hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor, diantaranya diawali oleh karena adanya mediasi dari katekolamin,

kortisol , demarginasi, neuron transmiters dan peptida atau purine chemical

transmiters. Peningkatan jumlah leukosit setelah aktifitas dikarenakan banyaknya

leukosit yang mengikut (masuk) ke dalam dinding pembuluh darah (endothelium)

dengan cara merembes (diapedesis) ke dalam sirkulasi dari penyimpanannya

(cadangan) secara tiba-tiba. (Sodique,2000, Malm, 2004) Demarginasi dipengaruhi

oleh hormon adrenalin yang menyebabkan menurunnya perlekatan leukosit pada

endotelium.

Hasil dari penelitian ini berupa peningkatan jumlah leukosit juga sejalan dengan

penelitian yang dilaporkan bahwa pada aktifitas yang singkat (< 1 jam), hanya

pengaruh katekolamin yang menyebabkan terjadi peningkatan ratio sirkulasi ke non

sirkulasi sel yang mengakibatkan peningkatan mobilisasi leukosit dari sumsum tulang

(69)

diapedesis. (Sodique, 2000. Risøy, 2003, Edwards 2005)

Dari hasil penelitian ini yang didapat adanya peningkatan jumlah leukosit

mencapai rata-rata 82% memberikan suatu gambaran atau informasi terhadap

perubahan sistem kekebalan tubuh pada saat melakukan AFM. Hal ini dapat menjadi

pertimbangan bagi olahragawan yang kompetitif agar memperhatikan masa

pemulihan di musim-musim pertandingan untuk menghindari atau mencegah

terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh yang dapat mempengaruhi performance

olahragawan tersebut.

4.2.2. Pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap hitung jenis sel leukosit 4.2.2.1. Hitung jenis neutrofil

Berdasarkan hasil uji statistik pada penelitian ini (tabel 6), dapat diketahui bahwa

pengukuran yang dilakukan setelah aktifitas fisik maksimal didapatkan rata-rata

hitung jenis neutrofil (38.90%) menurun secara signifikan dari pada sebelum aktifitas

(70)

0

Gambar 17. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Neutrofil

Keterangan :

Sebelum AFM : Sebelum Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Setelah AFM : Setelah Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Sejalan dengan penelitian lain didapatkan bahwa terjadi penurunan neutrofil

setelah aktifitas fisik yang berat secara signifikan. Dalam hal ini terjadinya

penurunan neutrofil sangat tergantung pada berat dan durasi dari latihan tersebut,

karena latihan yang keras dan berat, dapat mengakibatkan otot (skeletal) mengalami

anaerobic respiratori dan akan menghasilkan penumpukkan asam laktat di dalam

otot. Asam laktat di dalam otot ini akan mengiritasi dan merangsang terjadinya

inflamasi (Sodique, 2000). Seperti diketahui bahwa merupakan garis terdepan untuk

pertahanan (Guyton, 1997), mereka meninggalkan ruang pembuluh darah dengan cara

(71)

kemotaksis.

4.2.2.2. Hitung jenis eosinofil

Berdasarkan hasil uji statistik pada penelitian ini (tabel 7), didapat hasil bahwa

terjadi penurunan rata-rata hitung jenis eosinofil dari sebelum aktifitas fisik maksimal

(1.52%) dibanding setelah aktifitas fisik maksimal (0.19%), seperti terlihat pada

gambar 18 berikut ini.

0

Gambar 18. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Eosinofil

Keterangan :

Sebelum AFM : Sebelum Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Setelah AFM : Setelah Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Dilaporkan pada penelitian lain bahwa terjadi penurunan eosinofil akibat diberikan

latihan yang berat. Hal ini disebabkan adanya stres akibat aktifitas mengakibatkan

Gambar

Gambar 1.  Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Peningkatan Jumlah                        Leukosit
Gambar 2. Kerangka Konsep
Gambar 3. Kamar Hitung Improved Neubauer
Gambar 4. Cara Membuat Sediaan Hapus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini selasa tanggal tiga puluh satu bulan juli tahun dua ribu dua belas, berdasarkan hasil evaluasi dokumen kualifikasi, penawaran dan pembuktian

The objectives of this research are to study: (i) the effects of temperature and light on oospore formation, (ii) oospore formation with polycarbonate membrane, (iii)

Throughout the study the researcher obtained three findings and those were (i) how testing is different from assessment and why it is less appropriate for

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

Kita berbeda dengan manusia yang lain selayaknya sidik jari kita, maka dari itu, kita dituntut untuk menjadi seorang pemenang dalam hidup ini dengan keunikan dalam diri kita,

Saat ini telah kegiatan responsif gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan, Neighborhood Upgrading and Shelter

(1) Jaminan Pemerintah dapat diberikan oleh menteri yang. menyelenggarakan urusan pemerintah di

Dari hasil identifikasi sistem dihitung nilai kecocokan atau nilai fitness terhadap data keluaran yang sebenarnya untuk menghitungnya dengan mendapatkan nilai RMSE