• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Kerusakan Situ Rawa Badung (Kasus: Kelurahan Jatinegara, Jakarta Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Kerusakan Situ Rawa Badung (Kasus: Kelurahan Jatinegara, Jakarta Timur)"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah perairan di Indonesia terdiri atas perairan laut dan perairan darat. Perairan laut berupa lautan serta selat sedangkan perairan darat mencakup sungai dan danau. Selain sungai, danau merupakan perairan darat yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia khususnya sebagai penyedia sumber air. Pemanfaatan sumber air bagi aktivitas kehidupan tidak hanya untuk keperluan domestik. Aktivitas berbagai sektor lain seperti pertanian, perindustrian, ketenagalistrikan, serta pariwisata juga melakukan pemanfaatan pada sumber air.

Kondisi danau-danau di Indonesia saat ini menunjukkan kondisi yang semakin memprihatinkan. Hal ini ditandai dengan fungsi danau yang mengalami penurunan. Penurunan fungsi ini disebabkan oleh sedimentasi atau pendangkalan, pencemaran, ataupun kerusakan lainnya yang terjadi pada sebagian besar danau di wilayah Indonesia.

DKI Jakarta juga memiliki danau-danau yang tersebar di beberapa titik lokasi. Danau-danau di Jakarta memiliki ukuran danau yang lebih kecil dibandingkan dengan danau-danau di wilayah Indonesia lainnya yakni kurang dari 50 hektar. Oleh karena itu, danau di Jakarta lebih disebut situ. Situ adalah penamaan bagi danau yang memiliki ukuran yang kecil1.

Berdasarkan data Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta (2008), jumlah situ-situ di DKI Jakarta tercatat sebanyak 40 buah. Situ yang berada di wilayah Jakarta Utara adalah sebanyak 12 situ dengan luas

1A e Ahira. Maca

(2)

2 total 179,5 hektar. Di Jakarta Barat terdapat 2 buah situ dengan luas 5 hektar. Jakarta Pusat memiliki 3 situ dengan luas 7,4 hektar. Sebanyak 16 situ dengan luas 66,875 hektar terdapat di Jakarta Timur. Sedangkan di Jakarta Selatan terdapat 7 situ dengan luas 66,5 hektar. Dua belas situ tersebut merupakan situ buatan, sedangkan selebihnya yaitu 28 situ merupakan situ yang terbentuk secara alami.

(3)

3 Tabel 1. Kondisi Situ di DKI Jakarta

No Wilayah / Nama Situ Kondisi Keterangan Jakarta Utara (12 buah)

1 Situ Marunda Pencemaran dan Pendangkalan

2 Waduk Pantai Indah Kapuk Utara Pencemaran dan Pendangkalan Buruk 3 Waduk Pantai Indah Kapuk Selatan Pencemaran dan Pendangkalan Buruk 4 Situ Rawa Kendal Telah menjadi daratan

5 Waduk Muara Angke Pencemaran dan Pendangkalan

6 Situ Pluit Pencemaran dan Pendangkalan Buruk

7 Waduk Sunter I Terpelihara Sedang

8 Waduk Sunter II Terpelihara 9 Waduk Sunter III Terpelihara 10 Situ Sunter Barat Terpelihara

11 Situ Pademangan Pendangkalan Buruk 12 Situ Rorotan Pendangkalan

Jakarta Barat (2 buah)

1 Situ Rawa Kepa Pendangkalan

2 Situ Empang Bahagia Pencemaran dan Pendangkalan Buruk Jakarta Pusat (3 buah)

1 Waduk Taman Ria Remaja Pendangkalan

2 Waduk Melati Pendangkalan Buruk

3 Situ Lembang Pendangkalan Sedang

Jakarta Timur (16 Buah)

1 Situ Arman Pendangkalan 2 Waduk Elok Pendangkalan

3 Situ Rawa Penggilingan Mengering dan menjadi daratan 4 Situ Rawa Badung Pendangkalan

5 Situ Rawa Pendongkelan Pendangkalan Buruk

6 Waduk PDAM -

7 Situ Bea Cukai Pendangkalan 8 Situ Rawa Wadas Pendangkalan

9 Situ Ria Rio Pendangkalan Buruk

10 Situ TMII Pendangkalan 11 Waduk TMII Pendangkalan

12 Situ Rawa Segaran Sudah diurug jadi tegalan 13 Situ Dirgantara Sudah diurug jadi lahan pertanian 14 Situ Halim Pendangkalan

15 Situ Rawa Dongkal Pencemaran dan Pendangkalan Sedang 16 Situ Kelapa Dua Wetan Pencemaran dan Pendangkalan

Jakarta Selatan (7 buah)

1 Situ Ragunan Pencemaran dan Pendangkalan Sedang 2 Situ MBAU Pancoran Pendangkalan

3 Situ Kalibata Pencemaran dan Pendangkalan Buruk 4 Situ Rawa Ulu jami Pendangkalan

5 Waduk Setiabudi Pendangkalan

6 Situ Babakan Pencemaran dan Pendangkalan Sedang 7 Situ Mangga Bolong Pendangkalan

Sumber : BPLHD DKI Jakarta (2008)

(4)

4 danau/situ kerap menjadi penyebab pendangkalan. Misalnya anggapan masyarakat bahwa situ merupakan tempat penampungan sampah serta pembangunan bangunan liar di sekitar bantaran situ. Pendangkalan tersebut menyebabkan penurunan fungsi situ sebagai tempat penampung air. Sehingga dapat menyebabkan terjadinya banjir apabila situ tidak cukup untuk menampung air ketika hujan turun.

Pencemaran adalah masalah terbesar dalam ekosistem situ. Pencemaran berasal dari sampah, limbah domestik rumah tangga masyarakat, limbah pertanian, limbah buangan pabrik yang biasanya zat kimia berbahaya, dan sebagainya. Pencemaran pada situ sangat mempengaruhi kualitas air pada situ tersebut. Penurunan kualitas air mempengaruhi masyarakat sekitar maupun biota-biota yang hidup pada situ tersebut. Bagi masyarakat, menurunnya kualitas air situ akan menimbulkan kerugian antara lain ketidaknyamanan bermukim karena menimbulkan bau tak sedap serta terjangkitnya penyakit.

Kerusakan yang terjadi pada situ tidak dapat dibiarkan terus menerus. Perhatian khusus serta pengelolaan yang terpadu dari pihak-pihak yang terkait sangat diperlukan dalam menangani hal tersebut. Kondisi situ yang semakin menunjukkan penurunan fungsi akan memberikan dampak yang merugikan bagi masyarakat. Berdasarkan keadaan tersebut, peneliti merasa perlu adanya studi yang mengkaji dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan situ.

1.2 Perumusan Masalah

(5)

5 sampah-sampah tersebut dapat menyebabkan berbagai penyakit saluran pernafasan. Kondisi situ yang demikian memberikan keleluasaan bagi bibit penyakit untuk berkembang biak. Hal ini memungkinkan bibit penyakit menyebarkan wabah penyakit bagi manusia maupun biota-biota yang hidup di dalam maupun di sekitar Situ Rawa Badung.

Konversi lahan di sekitar maupun di bantaran Situ Rawa Badung serta pendangkalan yang terjadi menyebabkan situ tidak dapat berfungsi secara maksimal sebagai tempat penampung air hujan. Bantaran situ terdapat bangunan-bangunan liar yang menyebabkan penyempitan pada luas danau ditunjukkan dengan meningginya permukaan air Situ Rawa Badung. Pembangunan Jalan KRT Radjiman Widyodiningrat menimbulkan masalah tersendiri terhadap keberadaan Situ Rawa Badung. Pembangunan jalan tersebut membelah situ menjadi dua bagian. Situ Rawa Badung bagian barat semakin dipadati permukiman, sementara sisi timur situ tetap berisi air. Akibatnya ketika hujan lebat sering kali air Situ Rawa Badung meluap dan membanjiri perkampungan di sekelilingnya.

Masalah pengelolaan danau atau situ menjadi salah satu penyebab kerusakan danau. Pemerintah daerah memiliki wewenang terhadap lahan sekitar danau. Sedangkan Dinas Pekerjaan Umum yang memiliki tanggung jawab memperhatikan kondisi sumberdaya air pada danau. Apabila terjadi tumpang tindih ataupun ketidakjelasan batasan wewenang maupun tanggung jawab akan mengakibatkan ketidakmaksimalan dalam pengelolaan danau. Akhirnya akan tetap merugikan masyarakat dan lingkungan sekitar danau.

(6)

6 1. Bagaimana keragaan pengelolaan pada Situ Rawa Badung?

2. Bagaimana persepsi masyarakat sekitar mengenai kerusakan yang terjadi di Situ Rawa Badung?

3. Berapa besarnya kerugian yang diderita masyarakat akibat kerusakan Situ Rawa Badung?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian meliputi: 1. Mendeskripsikan keragaan pengelolaan Situ Rawa Badung.

2. Mengidentifikasi persepsi masyarakat mengenai kerusakan yang terjadi di Situ Rawa Badung.

3. Mengestimasi kerugian ekonomi yang diderita masyarakat akibat kerusakan Situ Rawa Badung.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai media pembelajaran dan penerapan ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan.

2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pelengkap dalam khasanah ilmu pengetahuan.

3. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi masukan dalam pengelolaan maupun kebijakan mengenai pemulihan kondisi situ atau danau sehingga pengelolaan lebih efektif dan efisien.

(7)

7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(8)

8 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Danau atau Situ

Danau merupakan cekungan yang terjadi karena peristiwa alami atau sengaja dibuat manusia untuk menampung dan menyimpan air yang berasal hujan, mata air, dan atau air sungai (Susmianto, 2004). Pengertian situ menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2003) adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alamiah dan atau air permukaan sebagai siklus hidrologi, dan merupakan salah satu bagian yang juga berperan potensial dalam kawasan lindung.

Danau-danau di Indonesia terbentuk secara alamiah dan buatan akibat dari aktivitas manusia. Menurut Naryanto dkk. (2009), berdasarkan tipe pembentukannya, genesa atau asal kejadian danau dan reservoir di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 14 tipologi yaitu, tektonik, tektono-vulkanik, vulkanik, kawah, kaldera, patahan lingkar-kaldera, paparan banjir, oksbow, longsoran, pelarutan, morain/gletser, embung buatan, dan sisa galian/kolong.

(9)

9 menyeimbangkan aliran air antara hulu dan hilir sungai, serta memasok air ke kantung-kantung air lain seperti akuifer (air tanah), sungai dan persawahan. Dengan demikian danau dapat mengendalikan dan meredam banjir pada musim hujan, serta menyimpannya sebagai cadangan pada musim kemarau (Naryanto dkk., 2009).

Menurut Susmianto (2004), terdapat berbagai ancaman penyebab kerusakan ekosistem danau baik secara alami maupun akibat aktivitas manusia. Penyebab kerusakan secara alami, misalnya banjir, gempa bumi, vulkanik. Sedangkan ancaman kerusakan yang disebabkan aktivitas manusia, misalnya sedimentasi, pencemaran (limbah rumah tangga, limbah pertanian, limbah industri), pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, memasukkan spesies eksotik, konversi lahan, perubahan sistem hidrologi, serta pembangunan pemukiman.

2.2 Pengelolaan Situ/Danau

Sesuai dengan UU. No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, pengelolaan danau/situ terdiri atas tiga komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan, dan pengendalian daya rusak air. Waduk embung, situ, dan danau yang merupakan sumber air telah banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan danau yang banyak mengalami kendala. Dalam UU tersebut telah mengamanatkan untuk melakukan pengelolaan danau dengan melakukan konservasi, pemanfaatan, pengendalian daya rusak air. Selain itu, masih ada peraturan lain seperti:

(10)

10  PP. No. 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air;

 PP. No. 32 Tahun 1990, tentang Kawasan Lindung;

 Keppres No. 123/2001, tentang Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air pada Tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten, dan Kota;

 Keputusan Menteri lainnya yang terkait dengan Pengelolaan sumberdaya Air; Menurut Manik (2003), pengelolaan dilakukan dengan pendekatan sosial ekonomi, kelembagaan, dan teknologi. Pendekatan sosial ekonomi menjelaskan aspek sosial ekonomi. Pendekatan kelembagaan menentukan lembaga terkait. Pendekatan teknologi menguraikan pilihan teknologi. Ketiga pendekatan ini digunakan dalam upaya pengendalian dampak.

Susmianto (2004), penyelenggaraan pengelolaan berdasarkan kesepakatan semua pihak yang dilakukan secara transparan, saling tanggung jawab, tanggung gugat, resiko, melalui Collaborative Management. Collaborative Management

merupakan proses kerjasama yang dilakukan oleh para pihak yang bersepakat atas dasar prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling percaya, dan saling memberikan kemanfaatan. Pihak-pihak yang terdiri dari: pemerintah pusat, pemerintah daerah, kelompok masyarakat sekitar, perorangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan institusi lainnya yang terkait dalam pengelolaan.

Selanjutnya Susmianto (2004), mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan kendala dalam melakukan pengelolaan sumberdaya air antara lain: a. Banyaknya instansi yang terkait dalam melakukan pengelolaan DAS danau,

(11)

11 b. Banyaknya instansi yang terkait dalam pemanfaatan air danau sehingga

menimbulkan konflik kepentingan.

c. Perbedaan batas ekologis dan administratif, sehingga ada keengganan pemerintah tempat berlokasinya danau untuk melakukan upaya konservasi yang optimal.

d. Masih lemahnya kapasitas kemampuan instansi pengelola dalam melakukan konservasi.

e. Kurangnya pemahaman dan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan untuk melakukan konservasi bagi penduduk yang ada di sekitar DAS ataupun yang bermukim di sekitar danau.

2.3 Penilaian terhadap Kerusakan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dalam buku Kegiatan Pelatihan Teknik dan Metode Pengumpulan Data Valuasi Ekonomi disebutkan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan merupakan aset kehidupan memiliki nilai intristik. Hal ini merupakan bentuk dari nilai ekonomi secara intristik (intristic value) dari eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan (Adrianto dkk., 2007).

Penilaian kerusakan adalah proses yang sistematis dalam menentukan dan menilai sejauh mana kerugian dan penderitaan yang diterima masyarakat sebagai akibat kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh manusia. Menurut Precht, et al.

(2000), penilaian kerusakan SDAL merupakan proses untuk mengidentifikasi dan mengukur injury sumberdaya alam, menentukan kerusakan akibat injury serta mengembangkan dan melaksanakan restorasi sesuai tindakan.

(12)

12 moneter yang akan digunakan untuk mengembalikan kondisi sumberdaya alam tersebut. Sebagai tambahan terhadap biaya restorasi, kerusakan dapat meliputi biaya untuk melakukan penilaian kerusakan dan kompensasi untuk kerugian sementara dari hilangnya jasa sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi sebelum pemulihan sumberdaya selesai (Martin Marietta Energy System, Inc, 1993).

Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan ditandai dengan penurunan yang terjadi pada SDAL baik kualitas maupun kuantitasnya. Menurut Suparmoko (2006), penurunan kualitas SDAL dapat diukur dengan menggunakan metode

before dan after project, penilaian untuk waktu atau tahun yang berbeda atau secara kuantitatif, dinilai secara ekonomi (valuasi ekonomi) dengan menggunakan teknik penilaian tergantung pada jenis dan manfaat atau pelayanan jasa lingkungan yang ada. Penghitungan biaya kerusakan menggunakan asumsi bahwa SDAL memberikan pelayanan atau jasa secara langsung maupun tidak langsung dimana perhitungan kerusakan ditentukan oleh bagaimana rehabilitasi dilakukan. 2.4 Pencemaran Air

(13)

13 jenis susunan kimia, limbah dibedakan menjadi limbah organik dan anorganik, sedangkan menurut dampaknya terhadap lingkungan dibedakan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun serta limbah tidak berbahaya atau beracun (Manik, 2003).

Menurut Wardhana (1995), indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati melalui: 1. Adanya perubahan suhu air;

2. Adanya perubahan pH atau konsentrasi ion Hidrogen; 3. Adanya perubahan warna, bau, dan rasa air;

4. Timbulnya endapan, koloidal, bahan pelarut; 5. Adanya mikroorganisme;

6. Meningkatnya radoiaktivitas air lingkungan.

Limbah organik dan non organik seperti bahan berbahaya dan beracun, di darat telah mencemari sumber air permukaan hingga mengancam kesehatan makhluk hidup termasuk manusia dan kelangsungan hidupnya. Dampak negatif yang sama juga terjadi di wilayah perairan yang memunculkan fenomena eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan salah satu dampak pencemaran limbah organik dari kegiatan manusia terhadap ekosistem danau, waduk, pesisir, dan laut. Definisi eutrofikasi adalah pengayaan perairan oleh unsur inorganik yang pada saatnya akan mengakibatkan berbagai konsekuensi berupa peningkatan kesuburan perairan secara berlebihan dan membawa berbagai konsekuensi negatif seperti tumbuh secara berlebih tanaman air atau fitoplankton. Hal ini disebut sebagai

(14)

14 Pencemaran air oleh logam sangat membahayakan bagi kehidupan. Sunu (2001) pencemaran logam pada dasarnya tidak berdiri sendiri, namun terbawa oleh air maupun udara. Berbagai logam berat yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan baik berupa pencemaran udara maupun pencemaran air antara lain: merkuri (Hg), timbal (Pb), arsen (As), kadmium (Cd), khromium (Cr), dan nikel (Ni). Logam berat yang sering terkontaminasi air yaitu merkuri dan timbal.

Keracunan merkuri yang akut dapat menyebabkan kerusakan perut dan usus, gagal kardiovaskuler (jantung dan pembuluh-pembuluhnya), dan gagal ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian. Dampak utama pencemaran timbal terhadap kesehatan antara lain: kelambanan dalam pengembangan neurologis saraf dan fisik pada anak-anak; keguguran kandungan, dan kerusakan sistem reproduksi pria; penyakit saraf, perubahan daya pikir dan perilaku; tekanan darah tinggi; anemia (Sunu, 2001).

Djajadiningrat (2001) menyebutkan penyakit atau gangguan kesehatan yang dapat timbul karena air tercemar dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu penyakit menular dan penyakit tidak menular. Penyakit menular dibagi dalam tiga kelompok yaitu:

1) Water-borne desease: kolera, tipus perut, hepatitis infeksiosa, disentri basiler, polionelitis, penyakit cacing perut;

2) Water-washes desease: diare pada bayi, shigellosis, infeksi kulit dan mata,

(15)

15 1) Keracunan akut karena minum air yang mengandung racun;

2) Gangguan saraf, kerusakan ginjal, otak, dan hati karena bioakumulasi logam berat melalui makan dan minuman;

3) Iritasi kulit dan “mucous membrance” karena terkena air yang mengandung iritan;

4) Kanker karena secara terus menerus minum air yang mengandung zat yang bersifat karsinogenik;

5) Gangguan terhadap gen yang menyebabkan cacat pada bayi yang dilahirkan karena sang ibu pada waktu hamil terpapar zat yang bersifat mutagenik dan teratogenik melalui air;

6) Tekanan darah tinggi, bila dalam air minum terkandung banyak garam (NaCl);

7) Batu ginjal, bila dalam air minum terkandung banyak kapur atau mineral lain dengan kadar yang melampaui batas;

Menurut Manik (2003), pencemaran air oleh limbah domestik dan industri atau kegiatan lainnya dapat dicegah atau diminimalkan dengan cara:

a) Mengumpulkan limbah padat domestik sehingga tidak masuk ke perairan umum;

b) Memanfaatkan limbah padat domestik untuk keperluan lain, seperti pengomposan untuk limbah bahan organik dan sistem daur ulang bagi limbah lainnya;

(16)

16 d) Memisahkan limbah padat dari limbah cair sehingga limbah padat tidak

bercampur dengan limbah cair;

e) Mengolah limbah cair industri sehingga dapat digunakan kembali (sistem daur ulang);

f) Membangun Instalasi Pengolahan Limbah Cair (IPLC) sehingga kualitas limbah cair yang dibuang ke perairan umum tidak melampaui baku mutu yang berlaku;

g) Mengurangi atau mengganti bahan kimia (penolong) dalam proses produksi sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan;

h) Mengumpulkan limbah bahan berbahaya dan beracun dan diolah secara khusus.

2.5 Banjir

Pengertian banjir menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2003), adalah aliran air di permukaan tanah (surface water) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia. Yayasan IDEP (2005), menyebutkan bahwa banjir merupakan ancaman musiman yang terjadi apabila meluapnya tubuh air dari saluran yang ada dan menggenangi wilayah sekitarnya. Banjir juga merupakan ancaman alam yang paling sering terjadi dan paling banyak merugikan, baik dari segi kemanusiaan maupun ekonomi.

(17)

17 ruang dan berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada daerah aliran sungai, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya.

Masalah banjir cenderung meningkat dari tahun ke tahun terutama disebabkan oleh adanya perubahan watak banjir serta pesatnya pembangunan berbagai kegiatan manusia di dataran banjir. Perkembangan tersebut sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan di daerah dataran banjir.

2.6 Konsep Cost of Illness

Cost of Illness (COI) studi merupakan salah satu dari alat yang ada dalam evaluasi ekonomi. Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai dan menghitung biaya-biaya yang timbul oleh berbagai masalah kesehatan yang ada. Meskipun studi COI bukanlah sebagai suatu teknik evaluasi ekonomi yang lengkap, akan tetapi studi ini dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai pemilihan alokasi sumberdaya yang akan dipergunakan dengan mempertimbangkan estimasi dan konsekuensi dari permasalahan kesehatan yang timbul dan saling berhubungan (Yanuar, 2003).

Menurut Dixon et al. (1996), pendekatan Cost of Illness dapat digunakan untuk mengukur nilai dari kerugian kesehatan karena pencemaran, pendekatan ini didasarkan kepada keterkaitan fungsi kerusakan yang berhubungan dengan tingkat pencemaran dan pengaruhnya terhadap kesehatan fisik. Metode Cost of Illness

(18)

18 kesehatan. Metode ini memperkirakan pengeluaran privat dan umum untuk kesehatan dan nilai kehilangan pendapatan, dalam hubungan morbidity dan

mortality serta tingkat pencemaran.

Pendekatan Cost of Illness umumnya digunakan untuk menilai biaya dari penyakit yang disebabkan oleh suatu pencemaran. Seperti pada pendekatan perubahan dalam produktivitas, pendekatan ini didasarkan pada pokok fungsi kerusakan. Pendekatan ini berhubungan dengan fungsi dose-response, yang berhubungan dari sakit dengan sehat atau kematian pada tingkat pencemaran. Pada kasus ini, fungsi kerusakan berhubungan dengan tingkat polusi (pencemaran) terhadap kesehatan (Dixon et al., 1996).

Menurut Dosi (2000), metode ini dapat diterapkan ketika perubahan lingkungan berakibat pada kesehatan manusia dan ketika (diasumsikan bahwa) individu tidak mampu bereaksi, yakni ketika mereka tidak dapat melakukan tindakan defensif untuk mengurangi risiko kesehatan. Biaya dari peningkatan pencemaran dapat diestimasi dengan menggunakan informasi tentang: hubungan (i) antara kualitas lingkungan perubahan dan perubahan tingkat morbiditas, dan (ii) biaya ekonomi (manfaat) terkait dengan perubahan di tingkat morbiditas.

Yanuar (2003), menyebutkan bahwa terdapat pokok-pokok dari metode

(19)

19 kasus/penyakit, pengetahuan yang kurang terhadap riwayat alamiah penyakit, dan sebagainya. Langkah kedua dalam studi COI ini adalah mengidentifikasi biaya-biaya yang ditimbulkan oleh suatu penyakit. Identifikasi biaya-biaya ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif untuk mendapatkan sumber-sumber biaya yang akan dihitung.

Menurut Karyana (2003), biaya-biaya yang dihitung dalam COI adalah sebagai berikut:

a) Direct Cost (Biaya Langsung), adalah biaya-biaya yang ada pada sistem pelayanan kesehatan, masyarakat/pasien, dan keluarga yang langsung berhubungan dengan penyakit yang diderita.

b) Indirect Cost (Biaya Tidak Langsung), adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pasien, masyarakat, maupun keluarga pasien yang tidak langsung sebagai penyakit yang diderita.

c) Opportunity Cost (Biaya Peluang), adalah biaya-biaya untuk kesempatan yang hilang selama pasien menderita sakit, ini dilihat dari hari kerja produktif pasien dan keluarga yang menunggui yang hilang akibat penyakit yang diderita.

d) Intangible Cost adalah biaya-biaya yang tidak dapat atau sulit dihitung/dikuantifikasi, yang biasanya terdiri dari rasa sakit, kesedihan/dukacita, atau penderitaan.

(20)

20 imunisasi lainnya, sistem filtrasi udara atau spesial) dan mengadakan biaya untuk mengurangi resiko kesehatan. Sebagai tambahan, pendekatan ini meniadakan kehilangan non pasar yang dihubungkan dengan penyakit, seperti rasa sakit dan penderitaan pada individu dan perhatian lainnya, dan pembatasan pada aktifitas non kerja.

2.7 Konsep Value of Sick Leave

Berdasarkan form State of New York Departement of Civil Service, Value of Sick Leave (VSL) merupakan suatu pendekatan untuk mengestimasi nilai dari cuti sakit bagi pegawai. Bagi pegawai yang hendak pensiun sebaiknya melakukan estimasi terhadap nilai aktual dari cuti sakit mereka yang mana hal itu bisa digunakan untuk mengurangi premi asuransi kesehatan ketika masuk pada masa pensiun. Berikut adalah langkah-langkah menghitung Value of Sick Leave:

Hourly Rate of Pay (HRP)

Langkah 1. Menentukan jumlah jam kerja per hari dengan cara membagi jumlah jam kerja perminggu dengan 5. Contohnya, 40 jam per minggu dibagi 5 sama dengan 8 jam per hari, walaupun seseorang bekerja dalam empat hari dengan jam kerja 10 jam per harinya.

Langkah 2. Menentukan HRP dengan cara membagi total gaji dalam satu tahun dengan jumlah jam kerja dalam satu tahun.

Sick Leave Credit

Langkah 3. Menentukan nilai rupiah cuti sakit dengan cara mengalikan HRP dengan akumulasi jam cuti sakit.

(21)

21 2.8 Averting Behavior Methods

The Averting Behavior Methods (ABM) menggambarkan pengeluaran yang dibuat atau dikeluarkan masyarakat dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif degradasi lingkungan. Metode ini menggunakan biaya dari pembelian barang (produk) tertentu untuk menilai kualitas lingkungan. Secara umum, metode ini sangat sesuai diaplikasikan untuk kasus-kasus dimana pencegahan kerusakan atau pengeluaran untuk barang-barang pengganti benar-benar ada atau benar-benar-benar-benar akan dibuat (Jones, et al. 2000).

Averting Behavior Methods didasarkan pada asumsi bahwa apabila orang menerima biaya untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh hilangnya jasa lingkungan atau mengganti jasa ekosistem, maka nilai jasa lingkungan tersebut setidaknya harus sama dengan harga yang dibayarkan individu untuk penggantian tersebut (Jones, et al. 2000). Adapun asumsi lain dalam ABM adalah sebagai berikut :

 Individu mengenali dampak negatif kerusakan lingkungan terhadap kesejahteraan mereka;

 Individu mampu menyesuaikan kebiasaan mereka untuk mencegah atau mengurangi dampak tersebut.

Jones, et al. (2000) menyebutkan bahwa terdapat tiga tipe Averting Behavior Methods, yaitu:

a. Damage Cost Avoided atau Preventive Expenditure

(22)

22 untuk mencegah kerusakan sebagai sebuah ukuran dari manfaat yang disediakan ekosistem (lingkungan). Pendekatan ini secara khusus sangat bermanfaat dalam penilaian ekosistem yang menyediakan suatu bentuk perlindungan alami. Tahapan pelaksanaan Damage Cost Avoided Method:

1) Mengenali jasa perlindungan yang disediakan dan menaksir area proteksi yang akan berubah sesuai skenario kehilangan ekosistem tertentu; mencakup informasi mengenai kemungkinan peristiwa kerusakan yang terjadi dan tingkat kerusakan dibawah skenario ecosystem loss yang berbeda.

2) Mengenali infrastruktur, properti dan populasi manusia yang akan terkena dampak perubahan proteksi menjelaskan batasan dampak yang tidak akan dianalisa.

3) Mengestimasi skala tambahan kerusakan di bawah skenario kehilangan ekosistem.

4) Mengestimasi biaya kerusakan tersebut dengan menggunakan informasi dari nilai aset yang mempunyai resiko.

b. Replacement Cost

(23)

23 c. Substitute Cost

Substitute Cost adalah metode yang mengestimasi nilai jasa lingkungan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk mensubsitusi barang dan jasa yang hilang akibat kerusakan lingkungan, dapat dengan menggunakan teknologi. Barang dan jasa yang digunakan untuk mensubsitusi sebaiknya harus sama atau lebih baik dari kondisi yang ada.

Averting Behavior Methods memiliki beberapa kelebihan sebagai metode dalam penilaian kerusakan (Aravossis dan Karydis, 2004), antara lain:

1) Data yang dibutuhkan relatif sederhana;

2) Estimasi nilai menggunakan data pengeluaran aktual;

Selain kelebihan diatas, Averting Behavior Methods memiliki permasalahan dan keterbatasan sebagai berikut (Hadley, et al., 2011):

1) Metode ini bukan metode yang sering digunakan;

2) Metode ini hanya dapat memperkirakan use value dari sumberdaya alam dan lingkungan;

3) Penggunaan metode ini terbatas pada kasus-kasus dimana rumah tangga menghabiskan uang untuk mengimbangi penurunan kualitas lingkungan; 4) Penggunaan metode ini terbatas pada kasus-kasus dimana mereka yang

terkena dampak langsung, bertindak mengurangi permasalahan kualitas lingkungan;

5) Sulit mendapatkan data yang sesuai. 2.9 Konsep Time Preference dan Discounting

(24)

24 pengelolaan lingkungan, pemilihan tingkat diskonto adalah pertimbangan utama dan sering menjadi sumber kontroversi. Discount rate atau tingkat diskonto adalah tingkat di mana masyarakat secara keseluruhan bersedia trade off untuk manfaat masa depan. Tingkat diskonto diperlukan karena satu dolar yang diterima saat ini dianggap lebih berharga dari satu diterima di masa depan.

Ada empat alasan utama untuk menerapkan tingkat diskonto yang positif. Pertama, tingkat positif inflasi mengurangi daya beli dolar dari waktu ke waktu. Kedua, dolar dapat diinvestasikan hari ini, mendapatkan tingkat pengembalian yang positif. Ketiga, ada ketidakpastian seputar kemampuan untuk memperoleh pendapatan masa depan yang dijanjikan. Artinya, ada risiko bahwa manfaat masa depan (misalnya, hasil tangkapan ikan ditingkatkan) tidak akan pernah terwujud. Akhirnya, manusia umumnya tidak sabar dan lebih memilih kepuasan instan untuk menunggu keuntungan jangka panjang. Tingkat diskonto yang digunakan untuk kompres aliran manfaat masa depan dan biaya menjadi jumlah nilai tunggal ini. Dengan demikian, present value adalah nilai sekarang dari aliran pembayaran, penerimaan, atau biaya yang terjadi dari waktu ke waktu, sebagai diskon melalui penggunaan tingkat suku bunga. Secara matematis, nilai sekarang dari manfaat masa depan atau biaya dihitung berdasarkan persamaan (1) berikut ini:

Persamaan (2) merupakan persamaan yang dapat menghitung nilai masa depan dari manfaat saat ini.

Keterangan:

(25)

25 PV = Present Value (nilai sekarang dari manfaat atau biaya)

r = Tingkat suku bunga atau discount rate

t = Jumlah periode antara sekarang dan saat manfaat atau biaya yang diharapkan terjadi.

2.10 Penelitian Terdahulu

Hendrawan (2005), melakukan penelitian dengan judul “Kualitas Air Sungai dan Situ di DKI Jakarta”. Kepadatan penduduk dapat mempengaruhi pencemaran lingkungan sungai dan situ. Hal ini dikaitkan dengan tingkat kesadaran penduduk dalam memelihara lingkungan yang sehat dan bersih. Pendugaan pencemaran dapat dilakukan dengan melihat pengaruh polutan terhadap kehidupan organisme perairan dan lingkungannya. Unit penduga adanya pencemar tersebut diklasifikasikan dalam parameter fisika, kimia, dan biologi. Dalam menetapkan kualitas air, parameter-parameter tersebut sebaiknya tidak berdiri sendiri tapi dapat ditransformasikan dalam suatu nilai tunggal yang mewakili yang disebut Indeks Kualitas Air. Hasil perhitungan terhadap nilai IKA menunjukkan bahwa 83% sungai dan 79% situ yang ada di DKI Jakarta ada dalam katergori buruk.

(26)

26 Gita (2010), melakukan penelitian dengan judul “Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Pencemaran Lingkungan Terhadap Kesehatan Masyarakat: Studi Kasus di Kelurahan Kapuk Muara”. Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi persepsi responden terhadap pencemaran lingkungan; (2) mengestimasi nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran lingkungan terhadap kesehatan masyarakat Kelurahan Kapuk Muara; dan (3) mengidentifikasi bagaimana keinginan dan kemauan responden terhadap keadaan lingkungan. Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh hasil: (1) persepsi responden terhadap kualitas udara dan kenyamanan tempat tinggal adalah cukup; (2) estimasi nilai kerugian ekonomi riil dari dampak pencemaran lingkungan terhadap kesehatan masyarakat dalam satu tahun adalah sebesar Rp 2.225.935.275; (3) masyarakat menginginkan lingkungan yang bebas dari pencemaran.

(27)

27 III. KERANGKA PEMIKIRAN

Situ Rawa Badung merupakan salah satu danau yang terdapat di DKI Jakarta, tepatnya berada pada Kelurahan Jatinegara. Saat ini kondisi situ tersebut mengalami kerusakan, yaitu penurunan kualitas sebagai ekosistem danau. Hal ini ditandai dengan pendangkalan dan pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun secara alami.

Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan keragaan pengelolaan Situ Rawa Badung. Tahap ini menggunakan teknik analisis deskriptif. Tahap kedua dalam penelitian ini adalah mengidentifikasikan persepsi responden yang bermukim disekitar Situ Rawa Badung terhadap kerusakan yang terjadi pada danau tersebut. Tahap ini menggunakan teknik analisis deskriptif dan kualitatif.

Tahap ketiga dalam penelitian ini adalah mengestimasi nilai kerugian ekonomi masyarakat sekitar Situ Rawa Badung akibat kerusakan situ tersebut. Kerusakan danau hanya dilihat dari sisi terjadinya pencemaran dan pendangkalan yang terjadi pada situ tersebut. Pertama, pencemaran dan banjir yang terjadi akan mempengaruhi kesehatan masyarakat sekitar yang dapat menimbulkan penyakit. Bagi masyarakat yang menderita sakit, akan menimbulkan biaya pengobatan. Kerugian ekonomi dari segi kesehatan akan diestimasi menggunakan pendekatan

(28)

28 akan diestimasi menggunakan pendekatan Averting Behavior Method yaitu

Preventive Expenditure.

(29)

29 Gambar 1. Diagram Alur Kerangka Berpikir

Situ Rawa Badung, Kelurahan Jatinegara, Jakarta Timur

(30)

30 IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di pemukiman sekitar Situ Rawa Badung, Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Kotamadya Jakarta Timur, Propinsi DKI Jakarta. Lokasi Situ Rawa Badung dapat dilihat pada Gambar 2. Pemilihan lokasi dipilih secara sengaja (purposive) karena berdasarkan data, daerah ini mengalami dampak secara langsung dari kerusakan Situ Rawa Badung. Penelitian ini dilaksanakan selama bulan April hingga Juni 2011.

Sumber: google.co.id

Gambar 2. Peta Lokasi Situ Rawa Badung

Situ Rawa

(31)

31 4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari wawancara berupa kuesioner kepada responden dan observasi lapang. Data primer yang digunakan antara lain: data mengenai besarnya biaya kesehatan yang dikeluarkan masyarakat akibat kerusakan situ tersebut serta biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pencegahan ataupun penanggulangan apabila air pemukaan situ meluap atau banjir.

Sedangkan data sekunder yang dibutuhkan antara lain data-data yang terkait dengan daerah penelitian serta data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian. Data sekunder berasal dari buku referensi, internet, informasi dan sumber dari kantor Kelurahan Jatinegara, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, Suku Dinas Perkerjaan Umum Propinsi DKI Jakarta, serta badan atau lembaga yang terkait dengan penelitian.

4.3 Penentuan Jumlah Responden

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability sampling yaitu purposive sampling. Purposive sampling yaitu memilih secara sengaja responden dengan kriteria tertentu untuk dijadikan sampel. Pengambilan responden dilakukan dengan memilih rumah tangga yang lokasi tinggalnya berdekatan dengan Situ Rawa Badung dan mudah ditemui karena masyarakat tersebut yang merasakan dampak secara langsung berupa kerugian ekonomi akibat kerusakan situ. Jumlah Sampel yang diambil adalah sebanyak 96 Kepala Keluarga (KK). Jumlah responden ditentukan dengan rumus Slovin berikut ini:

(32)

32 Keterangan:

n = ukuran sampel, N = ukuran populasi,

e = batas maksimum kesalahan yang masih diterima, asumsi: 10% Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 1954 KK yang berada di RT 001, RT 002, RT 013 (RW 008) dan RT 003 (RW 013) Kelurahan Jatinegara. Berikut adalah perhitungan penentuan jumlah sampel berdasarkan Persamaan (2).

4.4 Pengumpulan Data

Pada penelitian ini metode prosedur penelitian yang digunakan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2. Metode Analisis dan Sumber Data

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

3. Estimasi kerugian ekonomi masyarakat akibat

(33)

33 4.5 Metode dan Analisis Data

Penelitian ini menganalisis data yang diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007. Kemudian data diolah dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif serta disajikan dalam bentuk gambar, tabel, dan perhitungan matematis.

4.5.1 Keragaan Pengelolaan Situ

Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui deskripsi pengelolaan Situ Rawa Badung. Pengelolaan situ/danau dideskripsikan secara lebih jelas. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui keragaan pengelolaan situ/danau secara umum di Indonesia. Analisis yang digunakan dalam tahap ini adalah analisis deskriptif. 4.5.2 Persepsi Masyarakat Mengenai Kerusakan Situ

Menurut Effendy (1984) persepsi adalah penginderaan terhadap kesan yang timbul dari lingkungannya. Daya persepsi seseorang dapat diperkuat oleh adanya pengetahuan dan pengalaman. persepsi merupakan proses secara sadar dari stimulus. Lebih lanjut diungkapkan bahwa persepsi kita tergantung dari kemampuan psikologis serta kekuatan melihat, merasakan, mencium, mendengar dan meraba (Parteus, 1997).

(34)

34 4.5.3 Estimasi Kerugian Ekonomi

4.5.3.1Cost of Illness

Lingkungan yang tercemar menyebabkan kesehatan masyarakat terganggu dengan menimbulkan berbagai macam penyakit. Ketika seseorang menderita sakit, akan menimbulkan biaya-biaya untuk mengobati penyakit tersebut. Menurut Dwight et al, (2004) pendekatan Cost of Illness atau biaya penyakit dapat digunakan untuk mengukur nilai dari kerugian kesehatan karena pencemaran, pendekatan ini didasarkan kepada keterkaitan fungsi kerusakan yang berhubungan dengan tingkat pencemaran dan pengaruhnya terhadap kesehatan fisik. Metode ini digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit.

Cost of Illness terdiri dari Direct Cost, Indirect Cost, Opportunity Cost,

serta Intangible Cost. Dalam penelitian ini mengestimasi Cost of Illness melalui

Direct Cost, Indirect Cost, dan Opportunity Cost. Direct Cost merupakan biaya langsung yang dikeluarkan penderita apabila terjangkit penyakit. Indirect Cost

merupakan biaya yang dikeluarkan oleh seseorang yaitu kepala keluarga apabila anggota keluarganya menderita penyakit. Opportunity Cost merupakan biaya kesempatan produktivitas yang hilang akibat menderita penyakit.

Direct Cost dan Indirect Cost dalam penelitian ini dianggap sebagai nilai dari biaya pengobatan untuk menyembuhkan penyakit baik diderita responden maupun anggota keluarganya. Opportunity Cost adalah hilangnya pendapatan responden karena tidak dapat bekerja akibat sakit yang diderita. Nilai Cost of Illness dapat dilihat pada persamaan (3) berikut ini.

(35)

35 Keterangan:

C = biaya penyakit

P = hilangnya pendapatan MC = biaya pengobatan a) Nilai Pendapatan yang Hilang

Nilai pendapatan responden yang hilang karena sakit dihitung berdasarkan Cost of Time. Cost of Time adalah kerugian responden yang tidak masuk kerja pada saat terkena sakit. Perhitungan nilai Cost of Time dibedakan pada responden yang bekerja sebagai pegawai dan non-pegawai.

Bagi responden yang bekerja sebagai pegawai, pendapatan tetap mereka saat ini tidak dipengaruhi oleh jumlah waktu tidak bekerja karena sakit. Namun, untuk mengetahui kehilangan pendapatan tersebut dapat diestimasi melalui pendekatan Value of Sick Leave sebagai proxy dari Cost of Time.Value of Sick Leave menjelaskan bagaimana mengestimasi nilai aktual dari cuti sakit yang dapat digunakan untuk mengurangi premi asuransi kesehatan pada masa pensiunan. Cost of Time pada responden non-pegawai sama dengan nilai hilangnya pendapatan per hari. Nilai ini diperoleh dari jumlah hari tidak bekerja responden non pegawai dikalikan dengan tingkat pendapatan responden per hari. Jadi, nilai pendapatan responden yang hilang dapat dihitung dengan persamaan (4) berikut ini:

Keterangan:

(36)

36 JHTK = jumlah jam/hari tidak kerja responden ke-i

TPR = tingkat pendapatan responden ke-i per jam/hari (Rp) n = jumlah responden

i = responden ke-i (1, 2, 3,…, n) b) Biaya Pengobatan

Biaya pengobatan yang ditanggung oleh responden dihitung dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk berobat, terdiri dari biaya kunjungan ke dokter atau puskesmas dan atau biaya pembelian obat. Biaya pengobatan responden merupakan biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati sakit pada saat responden tersebut atau anggota keluarga responden yang menderita sakit yang menjadi tanggungan responden, karena dalam penelitian ini responden adalah kepala keluarga, bukan hanya terdiri dari satu individu saja. Biaya pengobatan yang dikeluarkan responden dapat dilihat pada persamaan (5) berikut ini:

∑[ ]

Keterangan:

MC = biaya pengobatan per responden (Rp) BKD = biaya kunjungan ke dokter (Rp) BO = biaya pembelian obat (Rp) n = jumlah responden

i = responden ke-i (1, 2, 3, ..., n)

(37)

37

∑[ [ ]]

4.5.3.2Averting Behavior Method Pendekatan Preventive Expenditure

Biaya pencegahan dalam menghadapi banjir oleh responden dihitung dari jumlah uang yang dikeluarkan untuk melakukan tindakan pencegahan. Biaya rata-rata dapat dicari dengan cara total jumlah uang yang dikeluarkan untuk melakukan pencegahan dibagi dengan jumlah responden yang mengeluarkan biaya untuk tindakan pencegahan. Nilai kerugian yang dicari adalah nilai pada tahun 2011 berdasarkan biaya yang dikeluarkan masyarakat dalam pencegahan luapan banjir dari Situ Rawa Badung dari tahun 2000 sampai 2011. Nilai rata-rata biaya pencegahan dapat dilihat pada Rumus (7) berikut ini:

Keterangan:

RBP = rata-rata biaya pencegahan BPi = biaya pencegahan (Rp)

n = jumlah responden yang mengeluarkan biaya i = responden ke-i (1, 2, 3, ..., n)

(38)
(39)

39 V. GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1 Gambaran Umum Kelurahan Jatinegara

Kelurahan Jatinegara merupakan salah satu kelurahan dari tujuh kelurahan yang berada pada Kecamatan Cakung, Kotamadya Jakarta Timur. Secara administratif, Kelurahan Jatinegara berbatasan dengan Kelurahan Rawa Terate di sebelah utara, Kelurahan jatinegara Kaum di sebelah Barat, Kelurahan Klender di sebelah selatan, dan Kelurahan Penggilingan di sebelah timur. Kelurahan Jatinegara memiliki luas kurang lebih sebesar 659,75 ha yang terbagi dalam 13 Rukun Warga (RW) dan 160 Rukun Tetangga (RT). Uniknya, sebagian besar luas dari kelurahan tersebut merupakan Kawasan Industri Pulogadung atau lebih dikenal dengan sebutan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP). Penggunaan luas lahan di Kelurahan Jatinegara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Penggunaan Luas Lahan di Kelurahan Jatinegara

No Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Kawasan Industri 398 60,35

Total Luas Kelurahan Jatinegara 659,75 100

Sumber: Profil Kelurahan Jatinegara (2011)

(40)

40 Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan

Jatinegara Tahun 2011

Sumber: Profil Kelurahan Jatinegara (Februari 2011)

(41)

41 Tabel 5. Sarana Kesehatan di Kelurahan Jatinegara

No Jenis Sarana Kesehatan Jumlah

1 Rumah Sakit 1

2 Puskesmas 2

3 Bidan Praktek 19

4 Dokter Praktek 11

5 Pos Kesehatan 10

6 Pos Usaha Perbaikan Gizi Keluarga 6

7 UPGK 2

Sumber: Profil Kelurahan Jatinegara (2011)

Tabel 6. Sarana Perkonomian di Kelurahan Jatinegara

No Jenis Sarana Perekonomian Jumlah

1 Industri Kecil 100

Sumber: Profil Kelurahan Jatinegara (2011)

(42)

42 musik, alat kantor, alat rumah tangga termasuk ke dalam industri sedang. Industri logam berat, elektronik, perminyakan, pipa, aluminium, perkayuan, kimia pertanian, kabel, makanan dan minuman dalam kemasan, sabun, deterjen, dan komponen kendaraan bermotor termasuk ke dalam industri besar.

5.1.2 Gambaran Umum Situ Rawa Badung

Situ Rawa Badung merupakan salah satu dari 40 situ yang berada di DKI Jakarta. Situ Rawa Badung berlokasi di RW 008 Kelurahan Jatinegara, Kecamatan Cakung, Kota Jakarta Timur. Secara administratif, sebelah utara Situ Rawa Badung berbatasan dengan pemukiman RW 013 Kelurahan Jatinegara, sebelah timur berbatasan dengan kawasan industri PT. JIEP, sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman RW 008, dan sebelah barat berbatasan dengan Jalan Dr. Radjiman Widyodiningrat.

Situ Rawa Badung memiliki kedalaman enam meter. Semula Situ Rawa Badung memiliki luas mencapai 5 ha akan tetapi saat ini luas situ hanya 3 ha. Hal ini dikarenakan sebagian luas situ telah diurug dan dijadikan jalan raya dan pemukiman warga (lihat Gambar 3).

Keterangan:

Luas situ saat ini 3 ha Lahan yang diurug warga ± 2 ha

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Propinsi DKI Jakarta (2004)

(43)

43 5.1.3 Kualitas Air Situ Rawa Badung

Tabel 7 merupakan data uji kualitas air Situ Rawa Badung tahun 2010 Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Propinsi DKI Jakarta, status kualitas air situ tersebut tergolong dalam kategori cemar ringan. Pengujian kualitas air situ menggunakan baku mutu air sungai golongan C yaitu air yang penggunaannya untuk sektor perikanan dan peternakan sesuai dengan Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995.

Tabel 7. Laporan Hasil Uji Kualitas Air Situ Rawa Badung

No Parameter Satuan Hasil Uji Baku Mutu Air

(44)

44 a. Zat Padat Tersuspensi dan Kekeruhan

Zat padat tersuspensi (TSS) terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap. TSS pada inlet, tengah maupun outlet situ tersebut melebihi baku mutu air sungai golongan C. Artinya, kepekatan warna air atau kekeruhan yang terjadi pada situ tersebut diindikasikan akibat kelebihan TSS dari baku mutu. Hal ini dibuktikan dengan tingkat kekeruhan pada inlet, tengah maupun outlet situ tersebut yang juga melebihi baku mutu.

b. Oksigen Terlarut

Kadar oksigen terlarut pada outlet situ tersebut lebih rendah dari baku mutu air sungai golongan C. Hal ini disebabkan masukan dari limbah penduduk yang mengandung bahan organik sangat tinggi. Proses perombakan senyawa organik yang merupakan reaksi biokimia memerlukan oksigen yang terlarut dalam air, sehingga dapat menyebabkan berkurangnya kandungan oksigen terlarut. Hasil penguraian bahan organik dapat menghasilkan unsur-unsur hara yang bersifat menyuburkan perairan, tetapi pada konsentrasi tertentu bisa membahayakan kehidupan organisme lain.

c. Ammonia (NH3)

(45)

45 berdampak negatif bagi kesehatan karena dapat menyebabkan iritasi terhadap saluran pernapasan, hidung, tenggorokan dan mata.

d. Chlorida (Cl)

Kadar zat Chlorida (Cl) pada inlet, tengah maupun outlet situ melebihi baku mutu air sungai golongan C. Toksisitas zat tersebut tergantung pada gugus zatnya. Tingginya kadar Cl pada air akan menimbulkan rasa asin karena Cl merupakan zat yang mengandung garam. Untuk beberapa gugus Cl yang memiliki tiksisitas tinggi berpotensi menyebabkan kanker pada manusia.

e. Derajat Keasaman (pH)

Inlet pada situ tersebut memiliki pH yang melebihi baku mutu air sungai golongan C. Artinya pH pada inlet situ tersebut adalah basa. Buangan limbah rumah tangga seperti deterjen merupakan salah satu penyebab kebasaan yang terjadi pada inlet situ tersebut.

f. Phosphat (PO4)

Kadar zat Phosphat (PO4) pada inlet, tengah maupun outlet pada situ tersebut melebihi baku mutu air sungai golongan C. Buangan rumah tangga yang mengandung deterjen merupakan salah satu kontributor masuknya unsur fosfat ke perairan situ. Zat ini berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktivitas badan air. Tingginya kadar PO4 pada perairan menyuburkan tanaman air yang selanjutnya mempercepat pendangkalan pada situ tersebut.

g. Seng (Zn)

(46)

46 apabila terkontaminasi dengan air dapat menimbulkan rasa kesat, dapat menimbulkan gejala muntaber. Kandungan zat ini pada situ berasal dari limbah rumah tangga maupun industri seperti kosmetik, keramik, karet, dan sebagainya. h. Sulfida (H2S)

Kadar zat Sulfida (H2S) pada inlet, tengah maupun outlet situ tersebut melebihi baku mutu air sungai golongan C. Sulfida (H2S) merupakan gas tidak berwarna, beracun, dan sangat mudah terbakar, bau seperti bau telur busuk. Gas ini dapat timbul dari aktivitas biologis ketika bakteri mengurai bahan organik dalam keadaan tanpa oksigen (aktivitas anaerobik), seperti di rawa, dan saluran pembuangan kotoran. Zat tersebut bersifat iritan paru-paru dan dapat melumpuhkan saluran pernapasan.

i. Fenol

Kadar zat fenol pada inlet, tengah maupun outlet situ tersebut melebihi baku mutu air sungai golongan C. Fenol dalam perairan dapat berasal dari alam, limbah industri dan buangan rumah tangga. Pada air buangan rumah tangga, fenol biasanya banyak terdapat pada desinfektan, antiseptik, insektisida dan zat pewarna. Air limbah yang mengandung senyawa fenol atau turunannya sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena bersifat toksik dan karsinogenik. j. Organik (KMnO4)

(47)

47 k. BOD dan COD

Kadar BOD dan COD pada inlet, tengah maupun outlet situ tersebut melebihi baku mutu air sungai golongan C. BOD (Biological Oxygent Demand) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorgasnisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan secara biologi, sedangkan COD (Chemical Oxygent Demand) adalah banyaknya oksigen yang di butuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimia.

Tingginya bahan organik berarti oksigen terlarut yang dibutuhkan semakin besar dalam proses perombakan. semakin tinggi nilai BOD, maka semakin tinggi pula zat pencemar organik yang terkandung dalam air tersebut. Semakin tinggi nilai COD, maka semakin banyak oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi material-material organik yang terdapat dalam air. Akibatnya oksigen yang tersedia di dalam air akan berkurang. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus akan mengganggu self-purification di dalam air yang mempengaruhi proses kehidupan biota air didalamnya.

l. Bakteri Coli dan Bakteri Coli Tinja

Kadar bakteri Coli dan bakteri Coli Tinja pada inlet, tengah maupun outlet

(48)

48 5.2 Karakteristik Responden

Karekteristik umum responden sekitar lokasi Situ Rawa Badung diperoleh berdasarkan hasil wawancara kuisioner kepada 96 responden. Responden merupakan wakil dari setiap rumah tangga yang mewakili warga RW 008 dan RW 013 Kelurahan Jatinegara. Karakteristik umum responden meliputi jenis kelamin, usia, status pernikahan, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan formal terakhir, jenis pekerjaan, total pendapatan per bulan satu rumah tangga, status tempat tinggal, dan lama tinggal di sekitar lokasi Situ Rawa Badung.

5.2.1 Jenis Kelamin

Jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki dalam penelitian ini berjumlah 52 responden (54%), sedangkan responden perempuan berjumlah 44 responden (46%). Responden laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan responden perempuan. Hal ini sesuai dengan asumsi peneliti bahwa pada umumnya kepala keluarga yang mengambil keputusan di dalam rumah tangganya pada umumnya adalah laki-laki. Perbandingan antara jumlah responden laki-laki dengan perempuan dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

54% 46%

(49)

49 5.2.2 Usia

Tingkat usia responden tergolong bervariasi dengan distribusi usia antara kurang dari 31 tahun hingga lebih dari 60 tahun. Jumlah responden paling banyak terdapat pada selang usia 41-50 tahun, yaitu sebanyak 33 responden (34%). Sedangkan jumlah responden paling sedikit terdapat pada usia lebih dari 60 tahun, yaitu sebanyak 3 responden (3%). Perbandingan distribusi tingkat usia responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia 5.2.3 Status Perkawinan

Status perkawinan responden didominasi dengan status menikah. Jumlah responden yang menikah adalah sebanyak 88 responden (92%), sedangkan jumlah responden yang belum menikah atau lajang adalah sebanyak 8 responden (8%). Perbandingan status perkawinan responden dapat dilihat pada Gambar 6.

10%

31%

34% 22%

3%

(50)

50 Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan 5.2.4 Jumlah Tanggungan

Jumlah tanggungan yang dihitung hanya terhadap responden yang status perkawinannya telah menikah. Dengan demikian, jumlah responden yang dihitung jumlah tanggungannya adalah sebanyak 88 orang. Berdasarkan hasil wawancara kuisioner, jumlah tanggungan responden paling banyak pada selang 3-5 orang yaitu sebanyak 43 responden (49%). Sedangkan jumlah responden paling sedikit pada jumlah tanggungan lebih dari 5 orang, yaitu sebanyak 9 responden (10%). Perbandingan jumlah responden berdasarkan jumlah tanggungan dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan

92% 8%

menikah belum menikah

41%

49%

10%

(51)

51 5.2.5 Pendidikan Formal Terakhir

Mayoritas pendidikan terkahir responden adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan jumlah responden sebanyak 33 responden (35%). Sedangkan Sekolah Dasar (SD) menjadi pendidikan formal terakhir yang jumlah respondennya paling sedikit, yaitu sebanyak 13 responden (14%). Perbandingan jumlah responden terhadap pendidikan formal terakhir dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Formal Terakhir

5.2.6 Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan responden sangat bervariasi, mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai swasta (PS), wiraswasta, ibu rumah tangga (IRT), sopir, hingga buruh. Selain yang telah disebutkan, beberapa jenis pekerjaan lainnya seperti tukang ojek dan pemulung dikategorikan sebagai jenis pekerjaan lainnya. Jumlah responden paling banyak pada jenis pekerjaan ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 27 responden (29%). Sedangkan jumlah responden paling sedikit pada jenis pekerjaan sopir, dan lainnya yaitu masing-masing sebanyak 6 responden

14%

27%

34% 25%

(52)

52 (6%). Perbandingan jumlah responden terhadap jenis pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 9.

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan 5.2.7 Total Pendapatan Rumah Tangga

Total pendapatan rumah tangga responden bervariasi mulai dari kurang dari Rp 1.000.001,- per bulan sampai dengan lebih dari Rp 4.000.000,- per bulan. Mayoritas responden memiliki total pendapatan rumah tangga per bulan pada selang Rp 1.000.001,- sampai dengan Rp 2.000.000,- yaitu sebanyak 39 responden (41%). Sedangkan hanya 3 responden (3%) yang memiliki total pendapatan rumah tangga per bulan lebih dari Rp 4.000.000,-. Perbandingan tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 10.

(53)

53 Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Total Pendapatan Rumah Tangga per Bulan

5.2.8 Status Tempat Tinggal

Status kepemilikan tempat tinggal mayoritas responden adalah milik sendiri yaitu sebanyak 62 responden (65%). Sedangkan 34 responden (35%) lainnya, status tempat tinggalnya adalah sewa atau kontrak. Perbandingan jumlah responden terhadap status tempat tinggal dapat dilihat pada Gambar 11.

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Tempat Tinggal 5.2.9 Lama Tinggal

Lama tinggal responden di loasi tersebut bervariasi mulai dari kurang 6 tahun hingga lebih dari 20 tahun. Sebanyak 31 responden (32%) sudah tinggal di lokasi tersebut selama lebih dari 20 tahun. Sedangkan 10 responden (10%) lainnya

19%

41% 23%

14% 3%

<1000001 1000001-2000000 2000001-3000000 3000001-4000000 >4000000

65% 35%

(54)

54 telah menetap di lokasi dengan selang lama tinggal antara 11 hingga 15 tahun. perbandingan jumlah responden terhadap lama tinggal di lokasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Tinggal

24%

21% 10%

13%

32% <6 tahun

(55)

55 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Deskripsi Pengelolaan Situ Rawa Badung

Situ Rawa Badung merupakan salah satu situ DKI Jakarta yang terbentuk secara alami. Semula luas Situ Rawa Badung mencapai 5 Ha, namun saat ini luas situ ini sekitar 3 Ha dengan kedalaman ± 6 meter. Penyusutan luas situ terjadi akibat pembangunan jalan dan pemukiman (lihat Gambar 3).

Situ Rawa Badung berfungsi sebagai resapan atau penampung air hujan, pengendali banjir serta sebagai sumber air irigasi daerah Buaran dan Cakung Barat. Dengan luas 3 Ha, Situ Rawa Badung memiliki daya tampung hingga 180.000 m3. Namun, di bagian tepi situ telah dipenuhi sampah dan bagian permukaan air situ ditutupi oleh tanaman air seperti eceng gondok menyebabkan situ tersebut tidak dapat berfungsi secara optimal. Akibatnya, apabila hujan turun dengan curah yang cukup tinggi air situ mudah meluap dan menggenangi pemukiman yang ada di sekitarnya.

Selain dipenuhi sampah dan eceng gondok, di sekeliling bantaran situ tersebut telah dibangun bangunan-bangunan rumah liar tidak permanen. Bangunan liar yang dibangun oleh warga yang tidak bertanggung jawab tersebut membuat luasan dari situ semakin menyempit. Hal ini karena para warga tersebut mengurug atau menimbun tanah pada lahan situ untuk memperkuat fondasi bangunan yang mereka bangun. Dampak bangunan liar tersebut membuat kondisi situ semakin semeraut dan tidak sedap dipandang.

(56)

56 pun merasa terganggu akan hal tersebut. Bau busuk menyengat diduga berasal dari tumpukan sampah yang semakin banyak dan endapan lumpur yang ada pada situ tersebut.

Berdasarkan kondisi situ fisik Situ Rawa Badung yang cukup buruk, dipertanyakan bagaimana sebenarnya pengelolaan terhadap situ tersebut. Ternyata, Situ Rawa Badung belum dikelola secara serius oleh pihak-pihak terkait seperti Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Propinsi DKI Jakarta, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, maupun pemerintahan setempat. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pegawai Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Propinsi DKI Jakarta, belum adanya pengelolaan secara khusus dan serius terhadap Situ Rawa Badung dikarenakan belum tercapainya upaya untuk melakukan perluasan situ tersebut. Hal ini karena warga pemilik lahan yang berada di sekeliling situ tersebut belum bersedia membebaskan lahan mereka untuk perluasan situ.

(57)

57 perluasan terhadap Situ Rawa Badung demi pengelolaan yang lebih baik terhadap kondisi fisik situ tersebut.

Menurut Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Propinsi DKI Jakarta, untuk sementara pengelolaan terhadap situ tersebut mengacu pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumberdaya air dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air. Apabila masyarakat telah bersedia membebaskan lahannya untuk perluasan situ, maka pihak terkait dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum Tata Air Propinsi DKI Jakarta akan mengkaji kembali mengenai pengelolaan Situ Rawa Badung.

Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat tujuan yang menyebutkan bahwa menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengelolaan secara terpadu terhadap Situ Rawa Badung perlu diupayakan sesegera mungkin karena apabila situ tersebut dibiarkan terus menerus tanpa pengelolaan akan merugikan warga yang bermukim disekitar situ tersebut. Perbuatan segelintir warga yang tidak bertanggung jawab dapat berakibatkan kerugian bagi masyarakat lainnya. Jadi, selain dibutuhkan turun tangan pemerintah terkait, diperlukan juga kesadaran diri bagi masyarakat untuk lebih memperhatikan kebersihan serta kelestarian Situ Rawa Badung.

6.2 Identifikasi Persepsi Responden Mengenai Kerusakan Situ Rawa Badung

(58)

58 sekitarnya. Dengan kata lain, penurunan kualitas suatu ekosistem akan mengganggu ekosistem lainnya yang berdampingan baik secara langsung maupun tidak langsung. Demikan halnya dengan Situ Rawa Badung yang saat ini mengalami penurunan kualitas ekosistemnya. Kerusakan yang terjadi pada situ tersebut berdampak negatif bagi masyarakat yang bermukim di sekitar situ. Misalnya, pencemaran yang menimbulkan bau busuk menyengat dan banjir luapan yang terjadi akibat pendangkalan Situ Rawa Badung.

6.2.1 Persepsi Responden Terhadap Kondisi Fisik Situ Rawa Badung

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 96 responden di RW 008 dan RW 013 Kelurahan Jatinegara menunjukkan bahwa penilaian responden terhadap kondisi fisik Situ Rawa Badung berbeda-beda, antara lain sangat buruk, buruk, dan cukup baik. Statistik penilaian responden terhadap kondisi fisik Situ Rawa Badung dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Statistik Penilaian Responden Terhadap Kondisi Fisik Situ Rawa Badung

Kategori Jumlah Persentase (%)

1 Sangat buruk 22 23

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

(59)

59 tersebut pada kondisi cukup baik. Tidak ada responden yang menyebutkan kondisi fisik situ pada kategori baik dan sangat baik.

Nilai rata-rata (mean) yang mendekati nilai 2 menunjukkan bahwa persepsi responden mengenai kondisi fisik Situ Rawa Badung termasuk dalam kategori buruk. Demikian pula dengan nilai tengah (median) yang bernilai 2, nilai tersebut juga menunjukkan kondisi fisik situ tersebut termasuk dalam kategori buruk menurut persepsi responden. Nilai standar deviasi berdasarkan data tersebut adalah 0.488014, artinya luas penyimpangan nilai data tersebut dari nilai rata-ratanya adalah sebesar 0.488014. Sample variance berdasarkan data tersebut adalah 0.238158, nilai tersebut menunjukkan bahwa data tersebut homogen karena data tersebut tersebar di sekitar nilai rata-ratanya sejauh 0.238158.

Kondisi Situ Rawa Badung yang terlantar akibat ketidaksadaran masyarakat sekitar mengenai pentingnya kelestarian situ tersebut. Tindakan masyarakat sekitar yang tidak bertanggung jawab seperti membuang sampah dan limbah domestik rumah tangga langsung ke situ tersebut. Akibatnya, di tepi situ dipenuhi sampah, seperti plastik-plastik, dedaunan kering, botol-botol, kaleng-kaleng bekas, serta jenis sampah lainnya. Akumulasi limbah domestik rumah tangga yang dibuang langsung ke situ tersebut menyebabkan kekeruhan pada warna air situ semakin pekat dan menimbulkan bau busuk yang menyengat. Selain itu, pada permukaan air situ juga dipenuhi tanaman air seperti eceng gondok yang tumbuh subur pada permukaan situ tersebut.

(60)

60 mampu memberikan penilaian terhadap kondisi dari situ tersebut seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

6.2.2 Persepsi Responden Terhadap Kebersihan Lingkungan Sekitar Situ Rawa Badung

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 96 responden di RW 008 dan RW 013 Kelurahan Jatinegara menunjukkan bahwa penilaian responden terhadap kebersihan linkungan di sekitar Situ Rawa Badung bervariasi. Penilaian responden antara lain tidak bersih, kurang bersih, cukup bersih, dan bersih. Sebanyak 50 responden menilai kebersihan lingkungan di sekitar situ pada kategori kurang bersih. Sedangkan sebanyak satu responden menilai pada kategori bersih. Statistik penilaian reponden terhadap kebersihan lingkungan di sekitar Situ Rawa Badung dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Statistik Penilaian Responden Terhadap Kebersihan Lingkungan di Situ Rawa Badung

Kategori Jumlah Persentase (%)

1 Tidak bersih 34 35

Sumber: Hasil Analisis Data Primer (2011)

Gambar

Gambar 2. Peta Lokasi Situ Rawa Badung
Tabel 2. Metode Analisis dan Sumber Data
Tabel 3. Penggunaan Luas Lahan di Kelurahan Jatinegara
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kelurahan Jatinegara Tahun 2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsep Jones tersebut sejalan dengan pendapatnya Dessler (2001:341), “empowering employees means giving employees the authority, tools, and information they need to do

Kuesioner ini merupakan alat untuk menggali informasi mengenai pendapat saudara yang berkaitan mengenai pemanfaatan Koleksi buku langka yang ada di perpustakaan PPKS.. Jawaban

Insisi kornea dibuat pada bagian kornea sebelah sentral dari limbus, yaitu kornea yang sudah bebas pembuluh darah dari arkade limbus, sehingga insisi tidak menyebabkan

Artinya, ketika perawat mengalami konflik dari pekerjaan yang dibawa ke keluarga, namun perawat tersebut mempunyai sentralitas pekerjaan, menjadikan kepuasan

Pokja ULP Polres Lombok Timur Pada Pekerjaan Pembangunan Garasi Kendaraan Operasional Polres Lotim(Lelang. Ulang)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga skripsi dengan judul Efektivitas Gel Putih Telur

• media tiga dimensi yaitu dalam bentuk model seperti model padat (solid model), model. penampang, model susun, model kerja, mock up , diorama, dan